• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Anak Buah Kapal Bagian Kamar Mesin Terhadap Gangguan Pendengaran Akibat Bising di Kapal Tunda PT PELINDO I Cabang Belawan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Anak Buah Kapal Bagian Kamar Mesin Terhadap Gangguan Pendengaran Akibat Bising di Kapal Tunda PT PELINDO I Cabang Belawan"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perilaku

Perilaku merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau makhluk

hidup yang bersangkutan. Maka, perilaku manusia merupakan sesuatu aktivitas

dari manusia itu sendiri pada dasarnya perilaku berorientasi pada tujuan. Terdapat

2 hal yang dapat mempengaruhi perilaku yaitu faktor genetik (keturunan) dan

faktor lingkungan. Faktor keturunan merupakan konsepsi dasar untuk

perkembangan perilaku mahluk hidup itu. Lingkungan adalah kondisi untuk

perkembangan perilaku tersebut (Notoatmodjo, 2010a).

Menurut Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2010a) mengemukakan

bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus

(rangsangan dari luar). Dengan demikian perilaku manusia terjadi melalui proses

“Stimulus-Organisme-Respons”.

Perilaku kesehatan adalah suatu proses seseorang terhadap stimulus yang

berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan dan makanan

serta lingkungan (Notoatmodjo, 2010a).

Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2003) membagi perilaku ke dalam 3

domain tetapi tidak mempunyai batasan yang jelas dan tegas yaitu pengetahuan,

sikap, dan tindakan.

2.2. Pengetahuan

2.2.1. Pengertian pengetahuan

Pengetahuan (knowledge) adalah hasil dari tahu dari manusia, yang sekedar menjawab pertanyaan “what” (Notoatmodjo, 2010a). Pengetahuan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.

Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku

(2)

Pengetahuan pada dasarnya terdiri dari sejumlah fakta dan teori yang

memungkinkan seseorang untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapinya.

Pengetahuan tersebut diperoleh baik dari pengalaman langsung maupun melalui

pengalaman orang lain (Notoatmodjo, 2010a).

2.2.2. Tingkatan pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2003), ada 6 tingkatan pengetahuan yang dicakup

dalam domain kognitif, yaitu :

a. Tahu (know)

b. Memahami (comprehension)

c. Aplikasi (application) d. Analisis (analysis) e. Sintesis (synthesis) f. Evaluasi (evaluation)

2.2.3. Pengukuran pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket

yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau

responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin diketahui atau diukur dapat

disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas (Arikunto 2009).

Penilaian pengetahuan dapat dilihat dari setiap item pertanyaan yang akan

diberikan peneliti kepada responden. Menurut Arikunto dalam Machfoedz (2009),

kategori pengetahuan dapat ditentukan dengan kriteria :

a. Pengetahuan baik : jika jawaban benar 76 – 100 %

b. Pengetahuan cukup : jika jawaban benar 56 – 75 %

(3)

2.3. Sikap

2.3.1. Pengertian sikap

Sikap (attitude) merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat

langsung dilihat, tetapi hanya dapat langsung ditafsirkan terlebih dahulu dari

perilaku yang tertutup. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan

tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap masih merupakan

reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka.

Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu

sebagai penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2010a).

Gambar 2.1. Proses Terbentuknya Sikap dan Reaksi (dikutip dari Notoatmodjo, 2010a)

2.3.2. Komponen sikap

Menurut Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2010a), sikap mempunyai 3

komponen pokok, yaitu:

a. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek, artinya

bagaimana keyakinan , pendapat atau pemikiran seseorang terhadap objek.

b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek, artinya bagaimana

penilaian (terkandung didalamnya faktor emosi) orang tersebut terhadap

objek.

c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave), artinya sikap adalah

merupakan komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka. Stimulus

Rangsangan Proses Stimulus

Reaksi

Tingkah laku (terbuka)

(4)

Ketiga komponen ini bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude).

2.3.3. Tingkatan sikap

Seperti halnya pengetahuan, sikap terdiri dari berbagai tingkatan (Notoatmodjo

2010a), yakni:

a. Menerima (receiving) b. Menanggapi (responding) c. Menghargai (valuing)

d. Bertanggung jawab (responsible)

2.3.4. Pengukuran sikap

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak

langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan

responden terhadap suatu objek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan

pernyataan-pernyataan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat responden

(Notoatmodjo, 2010a).

Pendapat responden diukur dengan skala Likert yang telah dimodifikasi

yaitu responden diminta untuk menyatakan pendapatnya setuju, kurang setuju atau

tidak setuju. Masing-masing skala diberi skor dengan ketentuan untuk pertanyaan

yang favourable jawaban setuju diberi skor 3, jawaban kurang setuju diberi skor 2 dan jawaban tidak setuju diberi skor 1. Sedangkan untuk pertanyaan yang

unfavourable jawaban setuju diberi skor 1, jawaban kurang setuju diberi skor 2 dan jawaban tidak setuju diberi skor 3.

Hasil penjumlahan dari skor yang didapat dari jawaban responden tersebut

diubah kedalam data kualitatif berupa baik, cukup, atau kurang baik dengan

kriteria sebagai berikut (Arikunto, 2009):

a. Sikap baik : jika jawaban benar 76 – 100 %

b. Sikap cukup baik : jika jawaban benar 56 – 75 %

(5)

2.4. Tindakan

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk terwujudnya sikap untuk menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain

adalah fasilitas. Di samping faktor fasilitas, juga diperlukan faktor pendukung

(support) dari pihak lain, misalnya orang tua, mertua, suami atau istri (Notoadmodjo, 2010a).

Notoadmodjo (2010a), menggolongkan tingkat praktek sebagai berikut :

a. Praktik terpimpin (guided respon).

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan

tuntutan atau panduan. Misalnya, seorang ibu dapat memasak sayur dengan

benar, mulai dari cara mencuci dan memotong-motongnya, lama memasak,

menutup pancinya, dan sebagainya.

b. Praktik secara mekanisme (mechanism).

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara

otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah

mencapai praktek. Misalnya, seorang ibu selalu membawa anaknya ke

posyandu untuk ditimbang, tanpa harus menunggu dari kader atau petugas

kesehatan.

c. Adopsi (adoption)

suatu tindakan atau praktek yang sudah berkembang. Artinya, apa yang

dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi sudah dilakukan

modifikasi yang lebih berkualitas. Misalnya menggosok gigi, bukan sekedar

(6)

2.5. Kebisingan

2.5.1. Definisi kebisingan

Sebagai definisi standar, tiap bunyi yang tak diinginkan oleh penerima

dianggap sebagai bising (Silaban, 2008). Sensasi bising ini ditimbulkan oleh

getaran yang bersifat tidak periodik dan tidak berulang (Ganong, 2008).

Sedangkan secara audiologi bising adalah campuran bunyi nada murni dengan

berbagai frekuensi (Bashiruddin dan Soetirto, 2007).

Berdasarkan keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. Kep

48/MENLH/11/1996 tentang baku tingkat kebisingan menyebutkan “kebisingan

adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan

waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan

kenyamanan lingkungan’’ (Mulia, 2005).

2.5.2. Pengukuran tingkat kebisingan

Alat yang dapat digunakan untuk mengukur kebisingan adalah : Sound Level Meter, Octave Band Analyzer, Noise Dosimeter, Spectrum Analyzer dan

Oscilloscopes. Dari sekian banyak alat, alat yang biasanya digunakan untuk mengukur kebisingan di lingkungan kerja adalah Sound Level Meter (SLM). SLM dilengkapi alat yang dapat merinci frekuensi bunyi berbeda. SLM juga dapat

mengukur gelombang suara dan dapat membedakan besar amplitudo suara dalam

berbagai frekuensi. Mekanisme kerja SLM apabila ada benda bergetar, maka

akan menyebabkan terjadinya perubahan tekanan udara yang dapat ditangkap oleh

alat ini, selanjutnya akan menggerakkan meter penunjuk (Humess dan Bess,

2008).

2.5.3. Nilai ambang batas kebisingan

Nilai Ambang Batas Kebisingan telah direkomendasi menurut ACGIH

(American Conference of Governmental Industrial Hygienist) dan ISO (International Standard Organization) sebesar 85 dB(A), sedang menurut OSHA (Occupational Safety and Health Administration) sebesar 90 dB(A) untuk waktu

(7)

Tabel 2.2. Lama Kerja yang Diperkenankan Berdasarkan Intensitas Bising dB(A) menurut ACGIH, OSHA dan ISO.

Lama Kerja (Jam) ACGIH OSHA ISO Ketentuan Nilai Ambang Batas Kebisingan di Indonesia yang ditetapkan

dalam Kepmenaker No. 51 tahun 1999 tentang NAB Faktor Fisik. Di tempat

kerja mengadopsi berdasarkan rekomendasi ISO (tabel 2.2.). NAB Kebisingan di

tempat kerja sebesar 85 dB(A) untuk waktu kerja 8 jam per hari atau 40 jam

seminggu

Tabel 2.3. Batas pajanan bising yang diperkenankan sesuai keputusan menteri tenaga kerja 1999.

Waktu pemaparan per hari Intensitas kebisingan

(8)

0,88 0,44 0,22 0,11

130 133 136 139

Catatan : tidak boleh terpapar lebih dari 140 dB(A) walaupun sesaat.

2.5.4. Tingkat kebisingan maksimum di kamar mesin kapal

Berdasarkan aturan yang dikeluarkan oleh American Bureau of Shipping

(ABS) dalam ABS Guide For American Bureau of Shipping – Guide for Passenger Comfort on Ships tentang tingkat kebisingan maksimum yang diijinkan dalam ruangan kamar mesin adalah sebagai berikut :

Tabel 2.4. Tingkat kebisingan maksimum di kamar mesin menurut ABS

Ruangan Intensitas Kebisingan (dB)

Kamar mesin dengan ABK berada terus

menerus di dalam kamar mesin 100

Kamar mesin dengan ABK yang tidak terus

menerus berada di dalam kamar mesin 110

Workshop (ruang yang biasa digunakan untuk

perbaikan, alat-alat bengkel) 100

Ruang control (ruangan yang digunakan

untuk mengontrol ruangan lain, permesinan) 100 Ruang kipas (ruangan yang terdapat kipas

untuk ventilasi udara) 100

(Yudo dan Jokosisworo, 2006)

2.5.5. Jenis kebisingan

Berdasarkan sifat dan spektrum frekuensi bunyi, maka Silaban (2008)

membagi bising atas :

a. Bising yang kontinyu dengan spektrum frekuensi yang luas. Bising ini relatif

tetap dalam batas kurang lebih 5 dB untuk periode 0.5 detik berturut-turut.

(9)

b. Bising yang kontinyu dengan spektrum frekuensi yang sempit. Bising ini juga

relatif tetap, akan tetapi ia hanya mempunyai frekuensi tertentu saja (pada

frekuensi 500, 1000, dan 4000 Hz). Misalnya gergaji serkuler, katup gas.

c. Bising terputus-putus ( Intermitten ). Bising disini tidak terjadi secara terus

menerus, melainkan ada periode relatif tenang. Misalnya suara lalu lintas,

kebisingan di lapangan terbang.

d. Bising Implusif. Bising jenis ini memiliki perubahan tekanan suara melebihi

40 dB dalam waktu sangat cepat dan biasanya mengejutkan pendengarnya.

Misalnya tembakan, suara ledakan mercon, meriam.

e. Bising Implusif berulang. Sama dengan bising implusif hanya saja disini

terjadi secara berulang-ulang. Misalnya mesin tempa.

2.5.6. Pengaruh bising terhadap tenaga kerja

Bising menyebabkan berbagai gangguan terhadap tenaga kerja, seperti

gangguan fisiologis, ganguan psikologis, gangguan komunikasi dan ketulian atau

ada yang menggolongkan gangguannya berupa gangguan auditory, misalnya gangguan terhadap pendengaran dan gangguan non auditory seperti komunikasi terganggu, ancaman bahaya keselamatan, menurunnya performance kerja, kelelahan dan stres (Buchari, 2007).

Hearing loss (berkurangnya kemampuan pendengaran) merupakan epidemi yang hening (the silent epidemic) pada tenaga kerja karena kejadian ini

tidak ada sakit dan tidak dapat dilihat (Silaban, 2007).

Silaban (2007) membagi efek kebisingan berdasarkan kemampuan untuk

dapat diukur atau tidak dapat dibedakan atas:

a. Quantifiable effects (efek bising dapat diukur), yaitu Temporary Threshold Shift/TTS; Permanent Threshold Shift/PTS; Noise-Induced Hearing Loss/NIHL .

(10)

Diantara sekian banyak gangguan yang ditimbulkan oleh bising, gangguan

terhadap pendengaran adalah gangguan yang paling serius karena dapat

menyebabkan hilangnya pendengaran atau ketulian. Ketulian ini dapat bersifat

permanen atau awalnya bersifat sementara tapi bila bekerja terus-menerus

ditempat bising tersebut maka daya dengar akan menghilang secara menetap atau

tuli (Bashiruddin, 2009).

Buchari (2007) mengklasifikasikan manifestasi klinis akibat dari

kebisingan yang dikelompokkan atas dua tipe yaitu badaniah dan fisiologis.

Tabel 2.5. Jenis-jenis gangguan akibat-akibat kebisingan (Buchari 2007).

Tipe Uraian

Perubahan ambang batas sementara akibat

kebisingan, perubahan ambang batas permanen

Akibat-akibat

Fisiologis

Rasa tidak nyaman atau stres meningkat,

tekanan darah meningkat, sakit kepala, bunyi

berdenging

Gangguan tidur atau istirahat, hilang konsentrasi

waktu bekerja, membaca dsb

2.6. Gangguan Pendengaran Akibat Bising

2.6.1. Defenisi

Gangguan pendengaran akibat bising / Noise Induced Hearing Loss

(GPAB) adalah gangguan pendengaran yang disebabkan oleh terpajan bising yang

cukup keras dan dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan

oleh bising lingkungan kerja (Bashiruddin dan Soetirto, 2007). Menurut Mahdi

(1993) dalam Rambe (2003) GPAB adalah hilangnya sebagian atau seluruh

pendengaran seseorang yang bersifat permanen, mengenai satu atau kedua telinga

(11)

bising lingkungan pekerjaan (Noise Occupational Induced Hearing Loss/ NOIHL)

menurut Morris (2006) adalah gangguan pendengaran yang berasal dari

kebisingan yang berlebihan dari lingkungan kerja.

2.6.2. Manifestasi klinis

Kurang pendengaran dapat disertai tinnitus (berdenging di telinga) atau

tidak. Monley (1995) dalam Morris (2006) melaporkan bahwa prevalensi tinnitus

65% pada tenaga kerja yang mengalami GPAB. Bila sudah cukup berat disertai

keluhan sukar menangkap percakapan dengan kekerasan biasa dan bila sudah

lebih berat percakapan yang keras pun sukar dimengerti (Bashiruddin dan

Soetirto, 2007). Derajat GPAB ini dipengaruhi oleh intensitas bising, frekuensi

bising, lamanya terpapar bising, sifat kebisingan, faktor individual yang

mempermudah untuk terjadinya GPAB (usia yang tua, pemakaian obat ototoksik)

(Mathur, 2012).

Secara klinis pajanan bising pada organ pendengaran dapat menimbulkan

reaksi adaptasi, peningkatan ambang dengar sementara (Temporary Threshold

Shift/TTS) dan peningkatan ambang dengar menetap (Permanent Threshold Shift/

PTS) (Bashiruddin dan Soetirto, 2007).

a. Reaksi adaptasi merupakan respons kelelahan akibat rangsangan oleh bunyi

dengan intensitas 70 dB SPL (Sound Pressor Level) atau kurang, keadaan ini merupakan fenomena fisiologis pada saraf telinga yang terpajan bising.

b. Peningkatan ambang dengar sementara (TTS), terjadi akibat pajanan bising

dengan intensitas yang cukup tinggi. Pemulihan menjadi normal kembali,

dapat terjadi minimal dalam 16 jam pertama setelah pajanan bising

dihilangkan sampai berhari-hari bahkan dapat sampai dalam hitungan bulan

(Mathur, 2012).

c. Peningkatan ambang dengar menetap (PTS), terjadi akibat pajanan bising

dengan intensitas sangat tinggi berlangsung singkat (eksplosif) ataupun TTS yang terus berlanjut dengan terpajan bising. Hal inilah yang menyebabkan

kerusakan pada berbagai struktur koklea antara lain kerusakan organ Corti,

(12)

GPAB berbeda dengan trauma akustik, GPAB disebabkan oleh pajanan

bising yang intesitasnya berlebihan, durasinya lama dan berulang. Dimana GPAB

didahului oleh TTS, kemudian pulih kembali menjadi normal jika pajanan bising

dihentikan. Jika TTS dipaparkan terus dengan kebisingan maka berlanjut ke PTS.

sedangkan trauma akustik pajananannya hanya sekali dari bising yang sangat

kuat. Hal ini menyebabkan terjadinya PTS tanpa didahului oleh TTS (Probst,

Grevers dan Iro, 2006).

2.6.3. Patologi

Telah diketahui secara umum bahwa bising menimbulkan kerusakan di

telinga dalam. Biasanya yang sering mengalami kerusakan adalah organ Corti

untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi 3000 Hertz (Hz) sampai dengan 6000 Hz

dan terberat kerusakan organ Corti untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi 4000

Hz (Bashiruddin dan Soetirto, 2007).

Lesi kerusakan pada GPAB tidak hanya terjadi pada sel-sel rambut sensori

(Outer HairCells/OHCs ataupun Inner Hair Cells/IHCs), tetapi juga terjadi pada sel-sel penunjang, stereocilia, sel ganglion, saraf, membrana tektorial, pembuluh

darah dan stria vaskularis (Henderson, 1999). Alberti (2006) menjelaskan, ketika

terpaparnya kebisingan pada tahap awal (TTS) maka Hair Cells danstereocilia yang terdapat dalamorgan Corti menjadi lelah karena terjadinya stress metabolik,

tetapi hal ini hanya berlangsung sementara dan dapat kembali normal jika telinga

diistirahatkan. OHC lebih cenderung mudah terganggu daripada IHC (Henderson, 1999).

Jenis kerusakan pada struktur organ tertentu yang ditimbulkan bergantung

pada intensitas, lama pajanan dan frekuensi bising. Penelitian menggunakan

intensitas bunyi 120 dB dan kualitas bunyi nada murni sampai bising dengan

waktu pajanan 1-4 jam menimbulkan beberapa tingkatan kerusakan pada sel

rambut. Kerusakan juga dapat dijumpai pada sel penyangga, pembuluh darah dan

serat aferen (Bashiruddin dan Soetirto, 2007).

Stimulasi bising dengan intensitas sedang mengakibatkan perubahan

(13)

lebih keras dengan waktu pajanan yang lebih lama akan mengakibatkan kerusakan

pada struktur organela sel rambut seperti: pada mitokondria, granula lisosom, lisis

sel dan robekan di membrana Reissner. Pajanan bunyi dengan efek destruksi yang

tidak begitu besar menyebakan terjadinya ‘floppy silia’ yang sebagian masih

reversibel. Kerusakan silia menetap ditandai dengan fraktur ‘rootlet’ silia pada

lamina retikularis (Bashiruddin dan Soetirto, 2007).

Gambar 2.2. dikutip dari (Alberti, W.P., 2006)

a. Perubahan stereocilia pada marmut, pembesaran 1700X Mik. Elektron

setelah 30 menit terpajan kebisingan dengan intesitas 110 dB. Tanda panah putih menunjukkan adanya pembengkokan dan pemisahan pada ujung-ujung stereocilia b. Perubahan stereocilia marmut kelompok a, setelah 8 hari tidak dipaparkan dengan kebisingan. Pendengaran dan struktur stereocilia kembali normal.

Gambar 2.3. dikutip dari (Alberti, W.P., 2006)

a. Perubahan stereocilia marmut, pembesaran 1700X Mik. Elektron setelah 30 menit terpajan kebisingan dengan intesitas 120 dB. Tampak terjadinya kolaps pada basis stereocilia.

a

a

b

(14)

b. Perubahan stereocilia pada permukaan apex organ Corti marmut kelompok a., 8 hari setelah pajanan hampir tidak tampak stereocilia maupun Hair Cells.

2.6.4. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, riwayat perkejaan,

pemeriksaan fisik dan otoskopi serta pemeriksaan penunjang untuk pendengaran

seperti audiometri (Bashiruddin dan Soetirto, 2007) .

Pada Anamnesis adanya riwayat pernah bekerja atau sedang berkerja di

lingkungan bising dalam jangka waktu yang cukup lama biasanya lima tahun atau

lebih (Bashiruddin dan Soetirto, 2007). Perlu ditanyakan juga tentang riwayat :

penggunaan obat, penyakit telinga sebelumnya, trauma kepala, keluarga yang

mengalami gangguan pendengaran, riwayat penyakit seperti diabetes ataupun

yang lainnya supaya dapat menyingkirkan diagnosis banding GPAB (Irwin,

1997).

Pada pemeriksaan otoskopi tidak ditemukan adanya kelainan seperti

serumen prop, adanya benda asing, adanya cairan, ataupun perforasi membran

timpani. Jika ada serumen prop atau benda asing maka harus dikeluarkan terlebih

dahulu dan liang telinga harus bebas dari cairan (discharge) (Irwin, 1997).

Pada pemeriksaan audiologi test penala didapatkan hasil Rinne (+), Weber

lateralisasi ke telinga yang pendengarannya yang lebih baik dan Schawabach

memendek, kesan jenis ketuliannya tuli sensorineural (Bashiruddin dan Soetirto,

2007). Tetapi Irwin (1997) berpendapat pemeriksaan dengan menggunakan test

garpu tala, dan test berbisik untuk untuk mendiagnosis kasus NIHL kurang akurat

sehingga harus di konfirmasi pemeriksaan audiometri.

Coles, Lutman dan Buffin (2000) pada pemeriksaan audiometri nada

murni didapatkan tuli sensorineural pada frekuensi antara 3000-6000 Hertz dan

pada frekuensi 4000 Hz sering terdapat takik (notch) yang patognomik untuk jenis

(15)

Gambar 2.4. Adanya takik/ notch pada frekuensi tinggi (4000 Hz) di Audiogram, merupakan tanda patognomik NIHL (dikutip dari Coles, Lutman dan Buffin, 2000)

Pemeriksaan audiologi khusus seperti SISI (Short Increment Sensitivity Index), ABLB (Alternate Binaural Loudness Balance), MLB (Monoaural Loudness Balance), Audiometry Bekes, Audiometry Tutur (speech audiometry), hasil menunjukkan adanya fenomena rekrutmen yang patognomik untuk tuli

sensorineural koklea (Bashiruddin dan Soetirto, 2007).

Orang yang menderita tuli sensorineural koklea sangat terganggu oleh

bising latar belakang (background noise), sehingga bila orang tersebut

berkomunikasi di tempat yang ramai akan mendapat kesulitan mendengar dan

mengerti pembicaraan. Keadaan ini disebut sebagai cocktail party deafness

(Bashiruddin dan Soetirto, 2007).

AM

B

ANG

P

E

NDE

NG

ARAN (

d

B

)

(16)

Kirchner et.al., (2012) menyimpulkan bahwakarekteristik NIHL antara lain :

a. Biasanya jenis gangguan pendengarannya ialah sensorineural, hal yang paling

utama dipengaruhi ialah hair cells di telinga dalam. b. Biasanya terjadi secara bilateral

c. Biasanya disertai gejala tinnitus

d. Satu dari tanda gangguan pendengaran akibat bising adanya “notching” pada

audiogram di 3000, 4000, atau 6000Hz dengan pemulihan kembali di 8000

Hz.

e. Jika terjadi gangguan pada frekuensi tinggi jarang melebihi 75 dB, dan jika

terjadi pada frekuensi rendah jarang melebihi 40 dB

f. Gangguan pendengaran akibat pajanan bising maksimum terjadi dalam 10-15

tahun pertama setelah pajanan.

g. Banyak ahli berpendapat berdasarkan bukti bahwa telinga yang telah

mengalami NIHL sebelumnya tidak menjadi sensitve terhadap pajanan bising

berikutnya.

h. Belum adanya bukti yang cukup kuat untuk menyimpulkan proses NIHL akan

terus berlanjut walaupun seseorang sudah tidak terpajan dengan kebisingan.

i. Resiko NIHL sangat rendah sekali jika terpajan <85 dB (dalam waktu 8

jam/hari) dan resiko ini akan meningkat secara signifikan jika melebihi

intensitas tersebut

j. Adanya TTS dengan atau tanpa tinnitus merupakan indikator resiko menjadi

Permanent NIHL

2.6.5. Penatalaksanaan

Penderita sebaiknya dipindahkan kerjanya dari lingkungan yang bising,

bila tidak muungkin dipindahkan dapat dipergunakan alat pelindung telinga

terhadap bising, seperti sumbat telinga (ear plug), tutup telinga (ear muff) dan

pelindung kepala (helmet) (Bashiruddin dan Soetirto, 2007).

Jika gangguan pendengaran sudah mengakibatkan kesulitan berkomunikasi

dengan volume percakapan biasa, dapat dicoba pemasangan alat bantu dengar /

(17)

dengan memakai ABD pun tidak dapat berkomunikasi dengan adekuat perlu

dilakukan psikoterapi agar dapat menerima keadaannya. Latihan pendengaran

(auditory training) agar dapat menggunakan sisa pendengaran dengan ABD secara efisien dibantu dengan membaca ucapan bibir (lip reading), mimik dan gerakan anggota badan, serta bahasa isyarat untuk dapat berkomunikasi.

Disamping itu, oleh karena pasien mendengar suaranya sendiri sangat lemah,

rehabilitasi suara juga diperlukan agar dapat mengendalikan volume, tinggi

rendah dan irama percakapan (Bashiruddin dan Soetirto, 2007).

Pada pasien yang telah mengalami tuli total bilateral dapat

dipertimbangkan untuk pemasangan implan koklea (cochlear implant)

(Bashiruddin dan Soetirto, 2007).

2.6.6. Pencegahan

Pencegahan gangguan pendengaran akibat bising di lingkungan kerja dapat

dilakukan dengan cara pencegahan kebisingan di lingkungan kerja itu sendiri.

Pada hakikatnya pencegahan ini dilakukan dengan cara mengurangi suara

kebisingan tersebut seminimal mungkin terpapar pada telinga (Bashiruddin dan

Soetirto, 2007). Pencegahan yang paling baik ialah diadakannya program

konservasi pendengaran di tempat kerja tersebut.

2.7. Program Konservasi Pendengaran

Program konservasi pendengaran adalah program yang bertujuan untuk

mencegah atau mengurangi kerusakan atau kehilangan pendengaran tenaga kerja

akibat kebisingan di tempat kerja (Bashiruddin, 2009).

Tidak ada pengobatan untuk GPAB. Solusi masalah GPAB hanya

tergantung pada pencegahannya. Semua usaha pencegahan akan lebih berhasil

bila diterapkan Program Konservasi Pendengaran (PKP) yang merupakan

rangkaian kegiatan sistematis dan seharusnya dilaksanakan pada tempat kerja

yang bising. Buchari (2007) menjelaskan secara jelas unsur dari program

(18)

2.7.1 Unsur program konservasi pendengaran

Unsur Program Konservasi Pendengaran yang efektif meliputi:

a. Survei Bising/Analisis Kebisingan

Program Konservasi Pendengaran harus selalu dimulai dengan survei bising

pendahuluan.

Tujuan dari survei bising pendahuluan adalah mengenal area pada tempat

kerja dimana pekerja terpapar oleh bahaya pada tingkat kebisingan.

b. Pengendalian Teknik (Engineering Control)

Dalam hal ini dilakukan upaya mengurangi kebisingan pada sumber bising

dan media perambatannya, dapat dilakukan dengan cara :

a) desain mesin yang kurang bising.

b) isolasi mesin.

c) peredam (insulasi) bunyi mesin.

d) pembuatan barier (penempatan penghalang) transmisi bunyi.

e) perawatan (maintenance) mesin

Pengendalian bising dengan pengendalian teknik merupakan ukuran

pengendalian paling penting dalam PKP. Ukuran lainnya yang akan

diimplementasikan jika pengendalian teknik tidak memungkinkan.

c. Administration (Scheduling Control)

Bila pengendalian teknik tidak memungkinkan, maka pengendalian

administrasi dapat dilakukan dengan pengaturan waktu kerja secara bergilir

atau dengan cara job rotation, changing job schedule sehingga durasi pemaparan bising dapat dikurangi.

d. Pemakaian Alat Pelindung Diri

Langkah yang paling baik untuk melindungi pendengaran adalah melalui

teknologi pengendalian secara teknis. Akan tetapi cara tersebut tidak selalu

dapat dilakukan, sehingga sebagai alternatif terakhir diperlukan pemakaian

alat pelindung telinga. Tergantung dari jenis bahan dan cara pemakaiannya,

alat pelindung telinga tersebut dapat mengurangi kebisingan sampai 30 dB.

Jenis alat pelindung telinga yang dikenal adalah yang akan dimasukkan

(19)

Pre-molded ear - Semi-insert ear - Earmuffs Helmet -

plugs plugs mounted-

earmuffs

telinga, (ear muff) atau tutup telinga, dan berupa penutup kepala yang sekaligus juga melindungi telinga. Masing-masing alat pelindung tersebut

memiliki keuntungan dan kerugian yang berbeda. Dalam menentukan jenis

alat pelindung telinga yang akan dipakai perlu dipertimbangkan berbagai

faktor seperti kemampuan alat untuk melindungi telinga, intensitas

kebisingan, kenyamanan, harga dan sebagainya

Gambar 2.5. Beberapa jenis alat pelindung pendengaran (dikutip dari

CCHSA, 2007)

e. Pemeriksaan Audiometri (sebelum bekerja, periodik dan pindah

kerja/pensiun).

Untuk menilai pengaruh kebisingan terhadap pendengaran dapat dilakukan

pemeriksaan/ pengukuran pendengaran dengan menggunakan audiometer.

Program ini merupakan bagian penting dalam upaya pemeliharaan

pendengaran pekerja.

f. Evaluasi

Penilaian dari hasil pemeriksaan audiometeri dan rujukan penting dilakukan

di sini adalah antara lain :

a) Mereview apakah program pemeliharaan pendengaran di atas sudah

dilakukan secara menyeluruh dan juga kualitas pelaksanaan masing-

masing komponennya.

b) Membandingkan baseline audiogram dengan audiogram lainnya untuk

mengukur keberhasilan usaha pencegahan tersebut.

(20)

d) Buat check list yang spesifik untuk masing-masing daerah kerja untuk

menyakinkan apakah semua komponen program telah ditinjak lanjuti

sesuai standart yang berlaku.

g. Penyuluhan dan Pendidikan Kesehatan

Kegiatan ini hendaknya dilakukan semua orang di perusahaan, baik yang

terlibat langsung maupun tidak dalam PKP, sehingga dapat dipahami

manfaat program, cara pelaksanaannya, bahaya kebisingan di tempat kerja,

cara pemakaian dan perawatan alat pelindung telinga dan aspek lain yang

berkaitan.

Dari ketujuh unsur program PKP terdapat tiga hal yang dapat mengontrol

secara langsung gangguan pendengaran yaitu : program pengendalian teknik,

kontrol administrasi, dan pemakaian alat pelindung pendengaran (Bashiruddin,

Gambar

Gambar 2.1. Proses Terbentuknya Sikap dan Reaksi (dikutip dari Notoatmodjo, 2010a)
Tabel 2.2. Lama Kerja yang Diperkenankan Berdasarkan Intensitas Bising dB(A) menurut ACGIH, OSHA dan ISO
Tabel 2.4. Tingkat kebisingan maksimum di kamar mesin menurut ABS
Tabel 2.5. Jenis-jenis gangguan akibat-akibat kebisingan (Buchari 2007).
+4

Referensi

Dokumen terkait

10 Pada penelitian ini, hasil analisis bivariat dengan uji Spearman mendapatkan hasil yang signifikan oleh karena teknisi yang bekerja pada intensitas bising 87 dB lebih