penyaluran tahap III dengan memperhitungkan jumlah dana yang telah
dicairkan selama tahap I dan II.
2. Perhitungan dana bagi Hasil bPHTb
a. Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan obyek Pajak (NPoP). NPoP
dapat berupa harga transaksi atau nilai pasar obyek pajak. Yang dimaksud
dengan harga transaksi adalah harga yang terjadi dan telah disepakati oleh
pihak-pihak yang bersangkutan. Nilai pasar obyek pajak adalah harga
rata-rata dari transaksi jual beli secara wajar yang terjadi di sekitar letak tanah
dan atau bangunan.
b. Harga transaksi digunakan untuk obyek pajak karena jual beli dan penunjukkan
pembeli dalam lelang. Sedangkan nilai pasar obyek pajak digunakan dalam hal
tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perseroan, pemisahan hak, perolehan
hak karena putusan hakim, dan pemberian hak baru.
c. Besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara menaikkan tarif pajak
dengan Nilai Perolehan obyek Pajak Kena Pajak (NPoPKP). NPoPKP adalah
NJoP dikurang dengan NPoPTKP. Sehingga cara penghitungan pajak yang
terutang adalah sebagai berikut:
BPHTB terutang = NPOPKP x tarif
= (NPoP -NPoPTKP) x Tarif
= (NPoP -Rp. 30.000.000,00) x 5 %
d. Apabila dasar pengenaan pajak yang digunakan adalah NJoP PBB, maka cara
perhitungan pajaknya adalah sebagai berikut:
BPHTB terutang = (NJOP PBB -Rp. 30.000.000,00) x 5%. e. Besarnya NPoPTKP tersebut dapat diubah dengan peraturan pemerintah,
dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta
3.2.1.4. Dbh Cukai haSil tembakau (Dbh Cht)
DBH CHT merupakan amanat Pasal 66A undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 yang
bersumber dari penerimaan cukai hasil tembakau yang diproduksi dalam negeri yang
dibagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau sebesar 2% (dua persen).
Dalam pengelolaan dan penggunaannya, gubernur menetapkan pembagian dana bagi
hasil cukai hasil tembakau kepada bupati/walikota di daerahnya masing-masing
berdasarkan besaran kontribusi penerimaan cukai hasil tembakaunya. Pembagian
DBH CHT dilakukan dengan persetujuan menteri, dengan komposisi 30% (tiga puluh
persen) untuk provinsi penghasil, 40% (empat puluh persen) untuk kabupaten/kota
daerah penghasil, dan 30% (tiga puluh persen) untuk kabupaten/kota lainnya.
Dalam pelaksanaannya, gubernur/bupati/walikota bertanggung jawab untuk
menggerakkan, mendorong, dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan prioritas dan
karakteristik daerah masing-masing daerah. Adapun penggunaan DBH CHT diarahkan
untuk mendanai kegiatan. undang-undang Nomor 39 tahun 2007 tersebut juga
mengamanatkan penggunaan DBH CHT kedalam 5 (lima) kelompok kegiatan utama,
yaitu (1) Peningkatan bahan baku industri hasil tembakau, (2) Pembinaan industri
hasil tembakau, (3) Pembinaan lingkungan sosial, (4) Sosialisasi ketentuan di bidang
cukai, dan (5) Pemberantasan barang kena cukai ilegal. untuk menjabarkan lima
kegiatan utama menjadi rincian kegiatan, Menteri Keuangan menetapkan Peraturan
Menteri Keuangan No 84/PMK.07/2008 sebagai berikut:
1) Peningkatan kualitas bahan baku industri hasil tembakau, yang meliputi:
a) Standardisasi kualitas bahan baku;
b) Pembudidayaan bahan baku dengan kadar nikotin rendah;
c) Pengembangan sarana laboratorium uji dan pengembangan metode
pengujian;
d) Penanganan panen dan pascapanen bahan baku; dan/atau
2) Pembinaan industri hasil tembakau, yang meliputi:
a) Pendataan mesin/peralatan mesin produksi hasil tembakau (registrasi mesin/
peralatan mesin) dan memberikan tanda khusus;
(i) Jumlah mesin/peralatan mesin produksi hasil tembakau di setiap pabrik
atau tempat lainnya;
(ii) Identitas mesin/peralatan mesin produksi hasil tembakau (merek, tipe,
kapasitas, asal negara pembuat);
(iii) Identitas kepemilikan mesin/peralatan mesin produksi hasil tembakau;
dan
(iv) Perpindahan kepemilikan mesin/peralatan mesin produksi hasil
tembakau.
b) Penerapan ketentuan terkait Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI);
c) Pembentukan kawasan industri hasil tembakau;
d) Pemetaan industri hasil tembakau berupa kegiatan pengumpulan data yang
berkaitan dengan industri hasil tembakau di suatu daerah, meliputi :
(i) Nama pabrik, Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC),
dan nomor izin usaha industri;
(ii) lokasi/alamat pabrik (jalan/desa, kota/kabupaten, dan provinsi);
(iii) Realisasi produksi;
(iv) Jumlah tenaga kerja linting/ giling, tenaga kerja pengemasan, dan tenaga
kerja lainnya;
(v) Realisasi pembayaran cukai;
(vi) Wilayah pemasaran;
(vii) Jumlah, merek, tipe, dan kapasitas mesin/peralatan mesin produksi hasil
tembakau;
f) Kemitraan usaha Kecil Menengah (uKM) dan usaha besar dalam pengadaan
bahan baku;
g) Penguatan kelembagaan asosiasi industri hasil tembakau; dan/atau
h) Pengembangan industri hasil tembakau dengan kadar tar dan nikotin rendah
melalui penerapan Good Manufacturing Practices (gMP). 3) Pembinaan lingkungan sosial, meliputi :
a) Pembinaan kemampuan dan ketrampilan kerja masyarakat di lingkungan
industri hasil tembakau dan/atau daerah penghasil bahan baku industri hasil
tembakau;
b) Penerapan manajemen limbah industri hasil tembakau yang mengacu kepada
Analisis Dampak lingkungan (AMDAl);
c) Penetapan kawasan tanpa asap rokok dan pengadaan tempat khusus untuk
merokok di tempat umum; dan/ atau
d) Peningkatan derajat kesehatan masyarakat dengan penyediaan fasilitas
perawatan kesehatan bagi penderita akibat dampak asap rokok.
4) Sosialisasi ketentuan di bidang cukai berupa sosialisasi ketentuan di bidang cukai
merupakan kegiatan menyampaikan ketentuan di bidang cukai kepada masyarakat
yang bertujuan agar masyarakat mengetahui, memahami, dan mematuhi ketentuan
di bidang cukai yang dilaksanakan dalam periode tertentu dan/atau secara
insidentil.
5) Pemberantasan barang kena cukai ilegal, meliputi:
a) Pengumpulan informasi hasil tembakau yang dilekati pita cukai palsu di
peredaran atau tempat penjualan eceran;
b) Pengumpulan informasi hasil tembakau yang tidak dilekati pita cukai di
peredaran atau tempat penjualan eceran; dan
c) Pengumpulan informasi barang kena cukai berupa etil alkohol dan minuman
d) Apabila dalam pelaksanaan kegiatan pengumpulan informasi ditemukan
indikasi adanya hasil tembakau yang dilekati pita cukai palsu, hasil tembakau
yang tidak dilekati pita cukai, atau etil alkohol dan minuman mengandung etil
alkohol yang ilegal di peredaran atau tempat penjualan eceran, gubernur/
bupati/walikota menyampaikan informasi secara tertulis kepada Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai
Setelah mengevaluasi pelaksanaan ketentuan penggunaan DBH CHT tahun 2008
khususnya mengenai penggunaan DBH CHT, dan dengan mempertimbangkan usulan
dari daerah, serta dalam rangka membantu program pengentasan kemiskinan dan
pengurangan pengangguran maka ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 84/PMK.07/2008 khususnya Pasal 1, Pasal; 3, Pasal 6 , Pasal 7, dan Pasal 9
disempurnakan melalui penetapan PMK Nomor 20/PMK.07/2009. Dalam PMK ini
ditetapkan pemambahan 2(dua) butir kegiatan yang cukup memperluas penggunaan
DBH CHT yaitu:
Butir e : Penguatan sarana dan prasarana kelembagaan pelatihan bagi tenaga kerja
industri hasul tembakau, dan/atau
Butir f : Penguatan ekonomi masyarakat di lingkungan industri hasil tembakau
dalam rangka pengentasan kemiskinan, mengurangi pengangguran, dan mendorong
pertumbuhan ekonomi daerah, dilaksanakan antara lain melalui bantuan permodalan
dan sarana produksi.
Keberhasilan pemanfaat DBH CHT sebagaimana diatur dalam PMK No 84/
PMK.07/2008 dan PMK No 20/PMK.07/2009 adalah tergantung dari bagaimana para
gubernur/bupati/walikota menjabarkan lebih lanjut kegiatan-kegiatan penggunaan
DBH CHT sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah. Penjabaran tersebut
masing-1. What – kegiatan apa : Nama kegiatan yang akan didanai dari DBH CHT;
2. Which – kegiatan yang mana : Penjelasan kaitannya dengan salah satu kegiatan
yang mana dari PMK No 84/PMK.07/2008 dan PMK No 20/PMK.07/2009
3. Why – mengapa perlu kegiatan tersebut : Penjelasan alasan perlunya, maksud dan
tujuan dari kegiatan tersebut bagaimana cara melaksanakannya, dilengkapi dengan
data dan gambaran kasus-kasus yang telah terjadi sehingga mendorong perlunya
solusi melalui kegiatan tersebut;
4. Who – siapa yang melaksanakan : penjelasan mengenai pelaksanan kegiatan antara
lain SKPD, unit dibawah SKPD yang sesuai dengan tugas dan fungsinya.
5. Whom – siapa penerima manfaat : penjelasan mengenai masyarakat yang akan
menerima manfaat dari keluaran
6. Where – lokasi kegiatan : Penjelasan mengenai dimana kegiatan dilaksanakan dan
dimana keluaran (output) kegiatan akan berada.
7. When – waktu kegiatan : penjelasan mengenai waktu mulai dan waktu selesai
pelaksanaan kegiatan (lamanya), dengan tabel penjadualan pelaksanaan kegiatan
rinci dan jelas.
8. How – bagaimana cara melaksanakannya : Penjelasan mengenai cara-cara mencapai
keluaran, misalnya melaui proses pengadaan, melalui pengerahan tenaga kerja
(padat karya), melalui koperasi dan sebagainya;
9. How much –berapa harga kegiatan : Penjelasan mengenai sumber dana dan besaran
dana yang diperlukan, pengembangan dari butir how much ini adalah Rincian
3.2.2. dANA bAGi HAsil sUmbER dAYA AlAm
DBH SDA adalah dana yang bersumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
dalam APBN yang dibagihasilkan kepada daerah dengan angka persentase tertentu
didasarkan atas daerah penghasil untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi.
DBH Sumber Daya Alam berasal dari penerimaan:
a. Pertambangan Minyak Bumi;
b. Pertambangan gas Bumi;
c. Pertambangan umum;
d. Pertambangan Panas Bumi;
e. Kehutanan; dan
f. Perikanan.
gambar 3.1
Skema Bagi Hasil SDA
Sumber: undang-undang Nomor 33 Tahun 2004
Beberapa hal baru yang diatur dan ditegaskan dalam hal DBH Sumber Daya Alam oleh
undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 adalah sebagai berikut:
1) Adanya penambahan obyek dana bagi hasil sumber daya alam, yaitu:
Dana Reboisasi (sebelumnya DAK-DR). Mulai tahun 2006 dilakukan pengalihan
sumber penerimaan yang berasal dari kehutanan yakni semula Dana Alokasi
Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR) menjadi DBH Dana Reboisasi (DBH-DR)
SDA Panas Bumi. •
2) Adanya penegasan mekanisme, yakni:
Penetapan alokasi dana bagi hasil sumber daya alam dilakukan berdasarkan
daerah penghasil, dan dasar perhitungan.
Jadwal penetapan.
Penyaluran DBH SDA dilakukan secara triwulanan.
3) Penambahan persentase sebesar 0,5% dari penerimaan pertambangan minyak
bumi kepada daerah yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan
setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Bagian pemerintah dari minyak bumi menjadi sebesar 84,5%.
Bagian daerah dari minyak bumi menjadi sebesar 15,5%.
4) Penambahan persentase sebesar 0,5% dari penerimaan gas bumi kepada daerah
yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi
komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Bagian pemerintah dari minyak bumi menjadi sebesar 69,5%.
Bagian daerah dari minyak bumi menjadi sebesar 30,5%.
5) Tambahan DBH dari pertambangan minyak bumi dan gas bumi untuk daerah
sebesar 0,5% dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar dan
dilaksanakan mulai tahun anggaran 2009.
Adapun pembagian porsi tambahan tersebut dibagikan dengan perincian:
untuk provinsi yang bersangkutan sebesar 0,1%.
6) Realisasi penyaluran DBH dari sektor minyak bumi dan gas bumi tidak melebihi
130% dari asumsi dasar harga minyak bumi dan dan gas bumi dalam APBN tahun
berjalan; dan apabila melebihi 130%, penyalurannya dilakukan melalui mekanisme
formula DAu.
3.2.2.1. Dbh SDa Pertambangan minyak Dan gaS bumi (Dbh SDa migaS)
1. Pola Pembagian dana bagi Hasil migas
Dalam rangka mendukung pelaksanaan kebijakan dimaksud diperlukan
kegiatan-kegiatan yang meliputi penyusunan rencana (perkiraan) dan realisasi di bidang Dana
Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH SDA) Migas dari hasil kegiatan KKKS.
Terkait dengan perhitungan DBH SDA Migas per provinsi/kabupaten/kota, Direktorat
Jenderal Perimbangan Keuangan selanjutnya menghitung perkiraan alokasi maupun
realisasi DBH SDA Migas sebagai dasar penyaluran DBH SDA Migas per provinsi/
kabupaten/kota.
Porsi pembagian DBH SDA Migas menurut undang-undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
yang ditindaklanjuti dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana
Perimbangan adalah sebagai berikut :
a. DBH SDA Minyak Bumi sebesar 15,5% berasal dari penerimaan negara SDA
pertambangan minyak bumi dari wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan
setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya. DBH tersebut dibagi
dengan rincian sebagai berikut :
3,1% dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan;
6,2% dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil; dan
6,2% dibagikan untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang •
•
b. DBH SDA Minyak Bumi sebesar 15,5% berasal dari penerimaan negara SDA
pertambangan minyak bumi dari wilayah provinsi yang bersangkutan setelah
dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya. DBH tersebut dibagi dengan
rincian sebagai berikut :
5,17% dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan; dan
10,33% dibagikan untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang
bersangkutan.
gambar 3.2
Porsi Pembagian DBH SDA Minyak Bumi
c. DBH SDA gas Bumi sebesar 30,5% berasal dari penerimaan negara SDA
pertambangan gas Bumi dari wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan setelah
dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya. DBH tersebut dibagi dengan
rincian sebagai berikut :
6,1% dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan;
12,2% dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil; dan
12,2% dibagikan untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang •
•
•
•
d. DBH SDA gas Bumi sebesar 30,5% berasal dari penerimaan negara SDA
pertambangan gas Bumi dari wilayah provinsi yang bersangkutan setelah dikurangi
komponen pajak dan pungutan lainnya. DBH tersebut dibagi dengan rincian sebagai
berikut :
10,17% dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan; dan
20,33% dibagikan untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang
bersangkutan.
gambar 3.3
Porsi Pembagian DBH SDA gas Bumi
e. Pengecualian untuk Daerah otonomi Khusus yaitu Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD) dan Papua Barat, selain mendapatkan DBH Migas, daerah
otonomi khusus tersebut mendapatkan tambahan DBH Migas yang merupakan
bagian dari penerimaan pemerintah provinsi dengan ketentuan sebagai berikut :
Bagian dari pertambangan Minyak Bumi sebesar 55%; dan
Bagian dari pertambangan gas Bumi sebesar 40%. •
•
•
2. Penyusunan Perkiraan dbH sdA migas
a. mekanisme Penyusunan
Perkiraan DBH SDA Migas per provinsi/kabupaten/kota yang dihitung oleh Ditjen
Perimbangan Keuangan selanjutnya akan dituangkan ke dalam Peraturan Menteri
Keuangan mengenai Perkiraan Alokasi Dana Bagi Hasil SDA Migas. Data-data yang
digunakan sebagai dasar perhitungan perkiraan dan mekanisme perhitungannya
sebagai berikut :
1) Data
a) Prognosa lifting per daerah penghasil berdasarkan Surat Keputusan Menteri ESDM tentang Penetapan Daerah Penghasil Migas dan Dasar Perhitungan DBH
SDA Migas;
b) Surat Dirjen Anggaran-Kementerian Keuangan tentang Perkiraan PNBP Migas
per KKKS.
2) Mekanisme
a) Ditjen Perimbangan Keuangan melakukan grouping KKKS berdasarkan data Prognosa lifting dalam Surat Keputusan Menteri ESDM tentang penetapan daerah penghasil Migas dan Dasar Perhitungan DBH SDA Migas yang
disampaikan oleh Ditjen Migas dengan data perkiraan PNBP per KKKS yang
disampaikan Ditjen Anggaran. lifting yang tersusun perdaerah penghasil
per KKKS pada data Ditjen migas dikonsolidasi dengan data lifting per KKKS dari Ditjen Anggaran sehingga didapatkan data lifting per KKKS per daerah
penghasil;
tentang Perkiraan PNBP Migas) untuk mengetahui PNBP per KKKS per daerah
penghasil;
d) PNBP per KKKS per daerah penghasil yang berada pada daerah penghasil yang
sama dijumlahkan sehingga didapatkan PNBP per daerah penghasil;
e) PNBP per daerah penghasil dihitung porsi DBH-nya untuk bagian pemerintah
pusat, daerah penghasil dan daerah pemerataan berdasarkan undang-undang
dan peraturan pemerintah;
f) Porsi DBH dari masing-masing daerah penghasil tersebut dijumlah sehingga
didapat perkiraan alokasi DBH SDA Migas per provinsi/kabupaten/kota untuk
selanjutnya ditetapkan dalam peraturan Menteri Keuangan.
b. Penetapan
Proses penetapan perkiraan alokasi DBH SDA Migas sebagai berikut:
1) Penetapan besaran asumsi dasar berupa prognosa lifting, kurs Rupiah terhadap
Dollar, dan harga minyak Indonesia (ICP) melalui penetapan asumsi makro APBN antara Pemerintah dengan DPR;
2) Berdasarkan asumsi tersebut Menteri ESDM menetapkan daerah penghasil dan
dasar perhitungan DBH SDA Migas. Ketetapan tersebut paling lambat 60 hari
sebelum tahun anggaran bersangkutan setelah berkonsultasi dengan Menteri
Dalam Negeri. Selanjutnya ketetapan tersebut disampaikan ke Menteri Keuangan.
Dalam hal lapangan migas tersebut berada pada wilayah yang berbatasan atau
berada pada lebih dari satu daerah, Menteri Dalam Negeri menetapkan daerah
penghasil berdasarkan pertimbangan menteri teknis paling lambat 60 hari setelah
diterimanya usulan pertimbangan dari menteri teknis. Ketetapan Menteri Dalam
Negeri tersebut menjadi dasar perhitungan lifting per daerah penghasil SDA Migas oleh Menteri ESDM.
3) Bersamaan dengan proses tersebut, BP Migas melakukan perhitungan perkiraan
Cost Recovery, Gross Revenue, First Trance Petroleoum (FTP), dan Bagian Pemerintah per KKKS;
DMo, Fee usaha Hulu Migas, PPN, PBB sektor pertambangan Migas, PDRD). Hasil perhitungan PNBP SDA Migas per KKKS tersebut disampaikan kepada Dirjen
Perimbangan Keuangan;
5) Berdasarkan Ketetapan Menteri ESDM dan perhitungan Dirjen Anggaran tersebut,
Dirjen Perimbangan Keuangan melakukan perhitungan Perkiraan Alokasi DBH SDA
Migas yang kemudian diajukan kepada Menteri Keuangan untuk ditetapkan sebagai
Peraturan Menteri Keuangan tentang Perkiraan Alokasi DBH SDA Migas paling
lambat 30 hari setelah diterimanya ketetapan Menteri ESDM dan perhitungan
Dirjen Anggaran.
Diagram proses pelaksanaannya sebagai berikut:
gambar3.4
Mekanisme Penetapan Perkiraan Alokasi DBH SDA Migas
3. Penyusunan Realisasi dbH sdA migas
Penghitungan realisasi DBH SDA Migas dilakukan setiap triwulan;
Dana yang dibagihasilkan adalah penerimaan negara dari wilayah daerah yang
bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai
peraturan perundang-undangan;
Mekanisme perhitungan realisasi DBH SDA Migas hampir sama dengan
penghitungan perkiraan alokasi DBH SDA Migas, yang membedakannya adalah
data yang dirasiokan yakni data Realisasi Gross Revenue, sedangkan pada mekanisme penghitungan perkiraan alokasi DBH SDA Migas yang digunakan
adalah data prognosa lifting. Hal ini dikarenakan Realisasi gross Revenue sudah berbentuk satuan mata uang, sehingga perhitungan yang dihasilkan
dianggap lebih mendekati dibanding jika menggunakan realisasi lifting; Data yang disajikan baik oleh Ditjen Migas maupun Ditjen Anggaran dalam
mekanisme penghitungan realisasi DBH SDA Migas ini merupakan kumulatif
triwulanan, sehingga dikenal data realisasi triwulan I, realisasi s.d. triwulan II,
realisasi s.d. triwulan III dan realisasi s.d. triwulan IV.
Data-data yang digunakan sebagai dasar penghitungan dan mekanisme penghitungan
realisasi DBH SDA Migas adalah sebagai berikut :
1) Data
a) Realisasi lifting per daerah penghasil per KKKS berdasarkan berita acara rekonsiliasi lifting yang disampaikan oleh Ditjen Migas;
b) Perkiraan Realisasi PNBP per KKKS yang disampaikan oleh Ditjen Anggaran.
2) Mekanisme
a) Ditjen Perimbangan Keuangan melakukan grouping KKKS berdasarkan data
Realisasi Gross Revenue yang disampaikan oleh Ditjen Migas dengan data perkiraan realisasi PNBP per KKKS yang disampaikan Ditjen Anggaran. Gross Revenue yang tersusun per daerah penghasil per KKKS pada data Ditjen migas dielaborasi dengan data Gross Revenue per KKKS dari Ditjen Anggaran 1.
2.
3.
b) Data Gross Revenue per KKKS per daerah penghasil hasil grouping tersebut di persentase-kan dengan total Gross Revenue per KKKS sehingga didapat rasio
Gross Revenue per KKKS per daerah penghasil. Rasio Gross Revenue dimaksud untuk mengetahui porsi Gross Revenue yang dihasilkan KKKS pada daerah penghasil tertentu;
c) Rasio Gross Revenue per KKKS per daerah penghasil tersebut dikalikan dengan PNBP per KKKS (sebagaimana yang tercantum dalam Surat Dirjen Anggaran
tentang Perkiraan PNBP Migas) untuk mengetahui PNBP per KKKS per daerah
penghasil;
d) PNBP per KKKS per daerah penghasil yang berada pada daerah penghasil yang
sama dijumlahkan sehingga didapatkan PNBP per daerah penghasil;
e) Dihitung porsi DBH-nya dari PNBP per daerah penghasil untuk bagian
pemerintah pusat, daerah penghasil dan daerah pemerataan berdasarkan
undang-undang dan peraturan pemerintah;
f) Porsi DBH dari masing-masing daerah penghasil tersebut dijumlah sehingga
didapat realisasi DBH SDA Migas per provinsi/kabupaten/kota untuk
selanjutnya disalurkan ke tiap-tiap daerah;
g) Sebelum disalurkan, realisasi DBH SDA Migas dikurangi terlebih dahulu
dengan kelebihan salur tahun sebelumnya dan total DBH SDA Migas yang telah
Diagram proses pelaksanaan perhitungannya sebagai berikut:
gambar 3.5
Mekanisme Perhitungan DBH SDA Migas
b. Penyaluran
Setelah diketahui hasil perhitungan DBH SDA Migas yang akan disalurkan ke
masing-masing provinsi/kabupaten/kota, maka dilakukan proses rekonsiliasi data antara
pemerintah pusat (yang diwakili oleh BP Migas, Kemendagri, Ditjen Migas, Ditjen
Anggaran, Ditjen Pajak dan Ditjen Perimbangan Keuangan) dengan daerah penghasil.
Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 28 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005
yang menyatakan bahwa perhitungan realisasi DBH SDA dilakukan secara triwulanan
melalui mekanisme rekonsiliasi data antara pemerintah pusat dan daerah penghasil.
Hasil rekonsiliasi dituangkan dalam berita acara rekonsiliasi yang kemudian menjadi
Proses penyaluran DBH SDA Migas dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Di awal tahun:
a) Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan perkiraan Alokasi DBH SDA Migas,
Dirjen Perimbangan Keuangan mengajukan Surat Permintaan Penerbitan DIPA
Migas ke Dirjen Perbendaharaan;
b) Berdasarkan surat permintaan tersebut, Dirjen Perbendaharaan menerbitkan
DIPA Migas untuk satu tahun anggaran.
2) Setiap triwulan penyaluran:
a) Berdasarkan DIPA dan Berita Acara Rekonsiliasi, Direktur Dana
Perimbangan-Ditjen Perimbangan Keuangan mengajukan SPM Migas ke Perimbangan-Ditjen
Perbendaharaan;
b) Berdasarkan SPM Migas tersebut, Direktur PKN-Ditjen Perbendaharaan
menerbitkan SP2D;
c) Berdasarkan SP2D tersebut, BI mentransfer dana dari Rekening Kas Negara
ke Rekening Kas pemda provinsi/kabupaten/kota.
Format Penyaluran DBH SDA Migas sudah mengalami beberapa perubahan sejalan
dengan kebijakan Dirjen Perimbangan Keuangan. Penyaluran DBH Migas mulai dari
tahun 2008 dilakukan secara triwulan dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Penyaluran DBH Migas triwulan I dan triwulan II masing-masing dilaksanakan
sebesar 20% dari pagu perkiraan alokasi sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan
Menteri Keuangan. DBH SDA Migas triwulan I disalurkan pada bulan Maret dan
triwulan II pada bulan Juni;
b. Penyaluran DBH Migas triwulan III memperhitungkan realisasi DBH SDA Migas
Desember s.d. Mei dikurangi penyaluran triwulan I dan triwulan II. DBH SDA Migas
c. Penyaluran DBH Migas triwulan IV memperhitungkan realisasi DBH SDA Migas
Desember s.d. Agustus dikurangi penyaluran triwulan I s.d. triwulan III. DBH SDA
Migas triwulan IV disalurkan pada bulan Desember;
d. Penyaluran DBH Migas rampung (Triwulan V) memperhitungkan realisasi DBH
SDA Migas Desember s.d. November (satu tahun anggaran) dikurangi penyaluran
triwulan I s.d. triwulan IV dengan batas maksimal sebesar pagu perkiraan alokasi
sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan. Sisa rampung DBH
SDA Migas tersebut disalurkan pada bulan Februari tahun anggaran berikutnya;
e. Apabila penyaluran DBH SDA Migas terdapat kekurangan yakni pemerintah kurang
bayar, maka penyaluran dilakukan melalui mekanisme APBN dan/atau APBN-P
tahun berikutnya;
f. Realisasi penyaluran DBH SDA Migas tidak boleh melebihi 130% dari asumsi
dasar harga Minyak dan gas Bumi dalam APBN. Apabila melebihi maka penyaluran
dilakukan melalui mekanisme APBN Perubahan.
Adapun diagram proses pelaksanaan perhitungannya sebagai berikut:
gambar 3.6
gambar 3.7
Penyaluran DBH SDA Migas
4. mekanisme Counter balance dana Penyaluran dbH migas
4.1. Prinsip dbH
Prinsip DBH secara umum meliputi : (1) harus ada PNBP-nya, (3) besarannya adalah
persentase tertentu dari PNBP (migas 84,5% pusat, 15,5% daerah); (3) alokasinya
dalam APBN berdasarkan perkiraan PNBP dalam satu tahun – dalam hal migas
perkiraan tersebut sangat tergantung dari asumsi jumlah lifting, harga ICP, serta kurs
Rp thd uS$ dalam APBN; (4) penyalurannya kepada daerah berdasarkan realisasi
PNBP dalam satu tahun – dalam hal DBH Migas, waktu satu tahun tersebut dimulai
4.2. Waktu Perhitungan realisasi PNbP/dbH migas.
Penetapan segmen waktu tersebut semula dimaksudkan agar alokasi DBH SDA
seluruhnya dapat tersalur ke daerah pada akhir tahun anggaran. Realisasi PNBP
dihitung mulai dari Awal Desember sampai dengan Akhir November agar hasil
perhitungan PNBP tersebut dapat disalurkan DBH-nya pada bulan Desember. Namun
kenyataannya sampai dengan bulan Desember pihak penyedia data PNBP Migas belum
siap menyediakan data , baru kemudian pada pertengahan Februari data realisasi
PNBP satu tahun dapat disediakan yang berarti sudah melewati tahun anggaran. Hal
ini menimbulkan masalah tersendiri dalam penyaluran DBH Migas sehingga perlu
diambil kebijakan penyaluran DBH Migas pada setiap tahunnya.
4.3. Kebijakan Pengalihan sisa Anggaran ke Rekening Cadangan
Pada bulan Desember data realisasi yang tersedia hanya sampai pada bulan Agustus,
idealnya (yang menjadi harapan semula) sudah sampai pada bulan November. Dengan
demikian pagu anggaran DBH Migas baru akan dibebani untuk membayar realisasi
migas dari Desember sampai dengan Agustus atau 9 bulan, yang berarti masih tersia
pagu anggaran 3 bulan. Sisa pagu ini akan hangus setelah akhir Desember apabila
tidak direalisasikan. oleh karena itu perlu diambil kebijakan untuk mengalihkan
sisa anggaran tersebut ke Rekening Cadangan Menteri Keuangan (atau biasa disebut
dengan Escrow Account) pada Bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan (dalam hal
ini kewenangannya dilimpahkan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan selaku
Pengelola Rekening Kas Negara).
Dengan kebijakan tersebut, status sisa anggaran yang ditampung di rekening cadangan
sudah sebagai belanja dari rekening Kas Negara . Penyalurannya ke rekening kas
daerah dilaksanakan setelah data realisasi PNBP Migas (per KKKS) diterima unit
penyalur (DJPK) dan dihitung DBH-nya (per daerah). Dengan demikian realisasi PNBP
2008 s/d Agustus 2009 yang disalurkan pada Desember 2009, dan September s/d
November 2009 yang disalurkan pada Pertengahan Februari 2010).
Kebijakan ini akan dilakukan setiap tahun sepanjang unit penyedia data realisasi
belum bisa menyediakan data selama 12 bulan pada akhir November, yang berarti
terjadi selisih waktu antara realisasi dan penyaluran selama satu triwulan.
4.4. Kebijakan mekanisme Counter balance
Dari aspek pergeseran waktu penyaluran yang seharusnya selesai pada Bulan
Desember menjadi bulan Februari memang jelas menunjukkan keterlambatan. Namun
dari aspek jumlah bulan realisasi tetap meliputi waktu 12 bulan, yang bearti hak
daerah atas DBH satu tahun tidak berkurang. Pengalihan penyaluran dari Desember
menjadi Februari namun tetap berdasarkan data realisasi tahun yang bersangkutan
biasa disebut dengan kebijakan Counter Balance. Sisa anggaran tersebut tetap
membebani anggaran tahun lalu namun daerah mencatatn pendapatan sebagai
penerimaan tahun betrikutnya (lihat skema Counter Balance)
gambar 3.8
4.5. Pola baru penyaluran dbH sdA
Sejak tahun 2008 Pemerintah melaksanakan penyaluran dana Transfer ke erah
dengan pendekatan baru yang mengedepankan semangat untuk menjamin kepastian,
kecepatan, akurasi, dan akuntabilitas. Semangat ini diwujudkan dengan penyaluran
DBH Migas Triwulan I dan Triwulan II masing-masing 20% dari alokasi per daerah,
disalurkan dalam bulan Maret dan bulan Juni . Maksud dari pola ini adalah agar daerah
mendapatkan kepastian waktu dan ketepatan jumlah, tanpa menunggu perhitungan
realisasi PNBP Migas. Selanjutnya Triwulan III disalurkan pada bulan September
berdasarkan hasil rekonsiliasi PNBP yang disetor ke kas negara mulai Bulan Desember
sampai dengan bulan Mei, yang datanya sudah dapat disediakan dalam bulan Agustus.
Besarnya penyaluran Triwulan III adalah jumlah DBH suatu daerah berdasarkan hasil
rekonsiliasi dikurangi penyaluran Triwulan I dan Triwulan II. Sedangkan Triwulan IV
disalurkan dalam bulan Desember berdasarkan realisasi PBNP sampai dengan bulan
Agustus.
Selanjunta realisasi sampai dengan Bulan November akan disalurkan ke daerah sebagai
Triwulan V pada bulan Februari. Pemakaian terminologi Triwulan V dimaksudkan
hanya untuk memudahkan adanya urutan yang baku bahwa penyaluran DBH Migas
yang berasal dari realisasai PNBP Migas disalurkan sebanyak 5 kali. Alasan lain adalah
agar terdapat perbedaan yang jelas antara Penyaluran Triwulan V pada bulan Februari
dengan penyaluran Triwulan I pada bulan Maret.
4.5. Kebijakan Triwulan V
Pola penyaluran Triwulan I s/d Triwulan IV ditambah Triwulan V telah dilaksanakan
secara rutin dan terpola. Pola yang direalisasikan secara urut sebenarnya adalah
Tabel 3.2
Pola Penyaluran DBH Pertambangan Minyak Bumi dan gas Bumi
Waktu
20% dari perkiraan alokasi Maret
II Tidak mempertimbangkan realisasi
20% dari perkiraan alokasi Juni
III Desember s/d Mei Realisasi dikurangi penyaluran Tw I dan Tw II
September
IV Desember s/d Agustus Realisasi dikurangi penyaluran Tw I s/d Tw III
Desember
V Desember s/d November Realisasi dikurangi penyaluran Tw I s/d Tw IV
Februari
Sumber : Kementerian Keuangan
Dengan pola yang rutin dan tetap tersebut maka kebijakan counter balance dalam
management penyaluran DBH Migas dapat dipersepsikan tidak ada keterlambatan
penyaluran DBH Migas, dengan penjelasan : (1) hak yang dibagikan meliputi waktu 12
bulan; (2) besaran dana yang disalurkan sesuai realisasi; (3) pelaksanaan penyaluran
dengan pola yang konsisiten. Pola ini dapat diacu oleh daerah dalam membukukan
penerimaan yang bersumber dari DBH Migas, yaitu penerimaan yang masuk ke Kas
Daerah dalam satu tahun, dibelanjakan pada tahun saya sama (dalam satu tahun
anggaran Januari s/d Desember terdapat 5 kali penerimaan DBH Migas yang masuk
ke Kas Daerah pada Februari, Maret, Juni, September dan Desember). Dari pola ini
dapat dipersepsikan bahwa tidak ada keterlambatan dalam penyaluran DBH Migas.
5. Pemantauan dan Evaluasi
porsi DBH SDA Migas harus digunakan untuk sektor pendidikan dasar yang tata cara
penggunaannya akan diatur lebih lanjut dalam PMK.
Menteri Keuangan melakukan pemantauan dan evaluasi atas penggunaan dana
tambahan anggaran pendidikan dasar tersebut. Pemantauan atas dana tambahan ini
menyangkut apakah penggunaannya sesuai dengan peruntukannya.
Apabila hasil pemantauan dan evaluasi mengindikasikan adanya penyimpangan dalam
pelaksanaannya, maka Menteri Keuangan meminta aparat pengawasan fungsional
untuk melakukan pemeriksaan. Hasil pemeriksaan tersebut dapat dijadikan sebagai
bahan pertimbangan dalam pengalokasian DBH SDA Migas untuk tahun anggaran
berikutnya, yaitu daerah tersebut dapat dikenai sanksi administrasi berupa
pemotongan penyaluran DBH SDA Migas untuk periode berikutnya.
3.2.2.2. Dbh SDa Pertambangan umum
Penerimaan negara bukan pajak dari sektor pertambangan umum terdiri dari iuran
eksplorasi dan eksploitasi (royalty) dan iuran tetap (landrent). Kedua Iuran tersebut ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003 tentang Tarif
Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen ESDM.
Dalam peraturan tersebut, tarif iuran tetap merupakan tarif satuan atas nilai uS $ per
luas area eksploitasi/eksplorasi (hektar). Besarnya tarif dibedakan atas dasar tahap
kegiatan dan status (perpanjangan atau tidak).
untuk Kuasa Pertambangan, tarif iuran tetap yang dikenakan pada kuasa
pertambangan merupakan tarif satuan atas nilai rupiah per satuan luas eksploitasi/
eksplorasi (hektar) dan besarnya tarif juga dibedakan atas dasar tahap kegiatan dan
status (perpanjangan atau tidak). Pemungutan iuran tetap, yang dikenakan di sektor
pertambangan dilakukan setiap semester.
galian yang tergali atas kesempatan eksplorasi yang diberikan kepadanya serta atas
hasil yang diperoleh dari usaha pertambangan eksploitasi satu atau lebih bahan galian.
Royalty adalah pembayaran kepada Pemerintah berkenaan dengan produksi mineral
yang berasal dari area penambangan. Royalti harus dibayar dalam satuan rupiah atau
satuan lainnya yang disetujui bersama. Tarif royalti untuk pertambangan mineral dan
batubara ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003, tarif royalti
bersifat advalorem (dalam persentasi) dan dikenakan terhadap harga jual yang telah
dikalikan dengan jumlah produksi.
Tatacara penghitungan Iuran Eksplorasi/Eksploitasi (royalty) sebagai berikut:
Jumlah Produksi yang Terjual x Persentase Tarif (%) x Harga Jual (US$)
Besarnya tarif berbeda-beda untuk setiap jenis dan kualitas bahan galian. Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003 ini juga memasukkan peraturan mengenai
besarnya tarif royalti untuk bahan tambang batubara. Sebelumnya pengenaan royalti
untuk batubara sudah termasuk dalam bagian pemerintah dari Dana Hasil Produksi
Batubara (DHPB) yang diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1996.
Dalam peraturan tersebut, pemerintah mendapat 13,5% dari produksi batubara (dana
hasil produksi batubara/DHPB). Bagian pemerintah sebesar 13,5 persen tersebut
sudah mencakup pembayaran royalti yang diestimasikan sebesar 3,3% dari 13,5%
DHPB.
Iuran Tetap (landrent/deadrent) adalah seluruh penerimaan iuran yang diterima
Negara sebagai imbalan atas kesempatan Penyelidikan umum, Eksplorasi atau
Eksploitasi pada suatu Wilayah Kuasa Pertambangan (dalam hal ini termasuk Kontrak
Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara).
Selanjutnya untuk perhitungan DBH SDA Pertambangan umum sebagaimana diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005, bagian daerah dari landrent
adalah sebesar 80 persen dengan rincian 16 persen untuk Provinsi yang bersangkutan
dan 64 persen untuk Kabupaten/Kota penghasil (lihat gambar 3.9). untuk bagian
daerah dari royalti adalah sebesar 80 persen dengan rincian 16 persen untuk Provinsi
yang bersangkutan, 32 persen untuk Kabupaten/Kota penghasil dan 32 persen untuk
Kabupaten/Kota lainnya dalam Provinsi yang bersangkutan.
gambar 3.9
Perhitungan DBH SDA Pertambangan umum
Tabel 3.3
Porsi Pembagian DBH SDA Pertambangan umum
JENIS DBH
PERTAMBANGAN UMUM
%
UNTUK
DAERAH
PORSI
PRoV KAB/KoTA PENgHASIl
KAB/KoTA lAIN DAlAM
PRoV
A. lAND RENT PENgHASIl KAB/KoTA 80% 16% 64%
-B. lAND RENT PENgHASIl PRoVINSI 80% 80% -
3.2.2.3. Dbh SDa kehutanan
Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Kehutanan berasal dari Penerimaan Negara
Bukan Pajak dari sektor kehutanan terdiri: (1) Iuran Izin usaha Pemanfaatan Hutan
(IIuPH), (2) Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang merupakan royalti; dan (3) Dana
Reboisasi.
Definisi masing-masing penerimaan adalah berikut :
a. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH); adalah pungutan yang dikenakan kepada Pemegang Izin usaha Pemanfaatan Hutan atas suatu kawasan hutan
tertentu yang dilakukan sekali pada saat izin tersebut diberikan.
b. Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH); adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil yang dipungut dari Hutan Negara, dan
c. Dana Reboisasi (DR); adalah dana yang dipungut dari pemegang Izin usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dari Hutan Alam yang berupa kayu dalam rangka
reboisasi dan rehabilitasi hutan
d. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH); adalah pungutan yang bersifat
license fee (terkait dengan perizinan). Tarif IIuPH terakhir diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1998. Di dalam peraturan tersebut dinyatakan bahwa
tarif yang dikenakan adalah tarif satuan Rupiah per satuan luas HPH (hektar).
Besarnya tarif tergantung dari (1) kategori wilayah dan (2) status HPH (baru/
perpanjangan/ HPHTI). IHPH dikenakan satu kali untuk jangka waktu berlakunya
HPH (atau sekitar 20 tahun).
Tarif PSDH tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan
Nomor 859/Kpts-II/1999. Dalam peraturan tersebut, tarif yang dikenakan adalah
tarif satuan Rupiah per m3, yang besarnya tergantung dari (1) kategori wilayah dan
(2) kelompok jenis kayu/bukan kayu. PSDH dikenakan terhadap pemegang HPH,
pemegang Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) dan pemegang Izin Pemanfaatan
Kayu (IPK) (lihat undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 juga Peraturan Pemerintah
dilakukan oleh pemegang HPH pada saat pengangkutan. Pembayaran dilakukan setiap
bulan atas dasar produksi bulan sebelumnya, disetor langsung ke Rekening Menteri
Kehutanan dan Perkebunan.
Perhitungan jumlah kayu yang dikenai kewajiban untuk membayar PSDH dan Dana
Reboisasi didasarkan dari laporan Hasil Penebangan (lHP). Sistem pelaporan
produksi hasil hutan tersebut bersifat self assesment yaitu perusahaan pemegang HPH mengisi volume produksi dan jenis tanaman. Setelah itu diterbitkan dokumen SKSHH
(Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan) yang sebelumnya disebut SAKo. Pengesahan
lHP dilakukan setelah diadakan pengukuran sampling 10 persen dari area produksi
oleh petugas kehutanan untuk menguji kebenaran pengisisan dokumen lHP. Jika
terjadi penyimpangan volume <5%, lHP tetap disahkan, namun tidak berlaku untuk
kesalahan pengisian jenis tanaman.
gambar 3.10
Perhitungan DBH SDA Kehutanan
Mulai tahun 2006 dilakukan pengalihan sumber penerimaan yang berasal dari
Negeri (WPoPDN) dan PPh Psl 21 masing-masing kabupaten/kota yang sebelumnya
ditetapkan oleh gubernur mulai tahun 2006 ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Dalam
perkembangannya, realisasi DBH senantiasa menunjukkan kecenderungan meningkat
dari tahun ke tahun seiring dengan meningkatnya realisasi penerimaan dalam negeri
yang dibagihasilkan.
Tarif Dana Reboisasi diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 1999 yang
merupakan perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1999. Tarif
Dana Reboisasi merupakan tarif satuan uS $ per m3, dimana besarnya tergantung
dari (1) kategori wilayah dan (2) kelompok jenis kayu/bukan kayu. Menurut
undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pungutan Dana Reboisasi ini
dikenakan terhadap pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan pemegang Hak
Pemungutan Hasil Hutan.
Perhitungan bagian daerah akan ditetapkan berdasarkan rencana produksi hasil hutan
dan rencana penerbitan izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) atau usaha Pemanfaatan
Hutan (uPH) dengan perhitungan sebagai berikut:
Perkiraan penerimaan IHPH/IIuPH, baik hutan alam maupun tanaman yang
dihitung dari luas areal yg akan diterbitkan izin HPH/uPH dikalikan tarif IHPH
yang berlaku
Perkiraan penerimaan PSDH yang dihitung dari target produksi hasil hutan kayu
dan bukan dan dikali tarif PSDH yang berlaku
Perkiraan Penerimaan PSDH dan yang bersumber dari tunggakan PSDH
3.2.2.4. Dbh SDa Perikanan
DBH Sumber Daya Alam Perikanan berasal dari Pungutan Pengusahaan Perikanan
(PPP) dan Pungutan Hasil Perikanan (PHP). Pungutan Pengusahaan Perikanan, yaitu
pungutan hasil perikanan yang dikenakan kepada perusahaan perikanan Indonesia
yang memperoleh Izin usaha Perikanan (IuP), Alokasi Penangkapan Ikan Penanaman
Modal (APIPM), dan Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), sebagai imbalan atas
–
–
perikanan dalam wilayah perikanan Republik Indonesia. Pungutan Hasil Perikanan,
yaitu pungutan hasil perikanan yang dikenakan kepada perusahaan perikanan
Indonesia yang melakukan usaha penangkapan ikan sesuai dengan Surat Penangkapan
Ikan (SPI) yang diperoleh.
Pungutan untuk sektor perikanan ini diatur dalam SK Menteri Pertanian Nomor 424/
Kpts/7/1977. Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) bersifat license fee, dikenakan satu kali pada saat pengajuan permohonan Surat Ijin Kapal Perikanan. Tarif PPP
merupakan tarif nominal (uS $) dan didasarkan atas ukuran kapal penangkapan
ikan (Dead weight Ton -DWT). Dalam hal ini tarif dikenakan atas dasar berat kosong
kapal. Adapun Pungutan Hasil Perikanan (PHP) dikenakan pada hasil produksi sektor
perikanan yang diekspor. Tarif yang dikenakan bersifat ad valorem (persentasi), dimana besar tarif dibedakan menurut kelompok jenis ikan.
Perhitungan dbH sdA Perikanan
a. Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) objek yang penting dalam penghitungan
PPP adalah: Kapal Penangkapan Ikan.
Rumus yang dipakai untuk menghitung PPP adalah:
PPP = Tarif (US $) x Ukuran Kapal (DWT)
Data yang dibutuhkan untuk dapat menghitung PPP adalah:
1. Data Jumlah Surat Izin Kapal Perikanan yang dikeluarkan.
2. Daftar Tarif Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP)
Tabel 3.4
Tarif Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP)
No. Ukuran Kapal Tarif
1 <50 DWT uS $ 500
2 50-100 DWT uS $ 1000
Sumber: SK Mentan No.424/Kpts/7/1977
b. Pungutan Hasil Perikanan (PHP)
objek dalam penghitungan PHP ini adalah: Hasil Produksi Sektor Perikanan yang
diekspor, dengan rumus sebagai berikut:
PHP = Hasil Produksi (Ton) x Tarif (%)
atau yang diperlukan adalah:
1. Data Hasil Ekspor Produksi Sektor Perikanan.
2. Daftar Tarif PHP untuk setiap jenis ikan.
Dalam penghitungan ini hal yang paling penting untuk diperhatikan adalah jumlah
kapal dan volume hasil produksi perikanan yang akan diekspor.
Tabel 3.5
Tarif Pungutan Pungutan Hasil Perikanan (PHP)
No. Golongan Jenis Tarif (%)
1 udang 2
2 Ikan Tuna, Cakalang. 1.5
3 lain-lain yang tidak termasuk gol.1 dan 2 1
Sumber: SK Mentan No.424/Kpts/7/1977
gambar 3.11
3.2.3. PENETAPAN AlOKAsi dbH sUmbER dAYA AlAm
Penetapan Alokasi DBH SDA diatur dalam PP 55 tahun 2005 pasal 27 sebagai berikut:
a. Menteri Teknis menetapkan daerah penghasil dan dasar penghitungan DBH
SDA paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum tahun anggaran bersangkutan
dilaksanakan setelah berkonsultasi dengan Menteri Dalam Negeri.
b. Dalam hal sumber daya alam berada pada wilayah yang berbatasan atau berada
pada lebih dari satu daerah, Menteri Dalam Negeri menetapkan daerah penghasil
sumber daya alam berdasarkan pertimbangan menteri teknis terkait paling lambat
60 (enam puluh) hari setelah diterimanya usulan pertimbangan dari menteri
teknis.
c. Ketetapan Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud menjadi dasar
penghitungan DBH sumber daya alam oleh menteri teknis.
d. Ketetapan Menteri teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
kepada Menteri Keuangan.
e. Menteri Keuangan menetapkan perkiraan alokasi DBH SDA untuk masing-masing
daerah paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya ketetapan dari
menteri teknis.
f. Perkiraan alokasi DBH Sumber Daya Alam Minyak Bumi dan/atau gas Bumi untuk
masing-masing daerah ditetapkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah
menerima ketetapan dari menteri teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
perkiraan bagian pemerintah, dan perkiraan unsur-unsur pengurang lainnya.
3.3. dANA AlOKAsi UmUm
3.3.1. PENYUsUNAN fORmUlA dAN PERHiTUNGAN dAU
JDalam uu No.34/20004 porsi DAu ditetapkan sekurang-kurangnya 26 persen dari
Penerimaan Dalam Negeri Netto. Sementara itu, proporsi pembagian DAu adalah
gambar 3.12
Kebijakan Jumlah Alokasi DAu Berdasarkan undang-undang Nomor 33/2004
Pengaturan terakhir pemerintah mengenai jumlah alokasi DAu ini secara tegas
dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana
Perimbangan. Dalam PP tersebut dinyatakan bahwa alokasi DAu sekurang-kurangnya
26 persen dari Penerimaan Dalam Negeri Neto. Proporsi DAu antara provinsi dan
kabupaten/kota dihitung dari perbandingan antara bobot urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten/kota. Jika penentuan proporsi tersebut
belum dapat dihitung secara kuantitatif, maka imbangan alokasi DAu antara provinsi
3.3.1.2. FOrmula Dau Dalam kerangka unDang-unDang nOmOr 33 tahun 2004
Bentuk umum formula alokasi DAu kepada masing-masing daerah secara formula
dapat ditunjukkan pada persamaan berikut ini:
dAU = Ad + Cf
Dimana:
DAu = Dana Alokasi umum
AD = Alokasi Dasar
CF = Celah Fiskal
Dimana
CF = KbF – KpF (celah fiskal merupakan selisih dari kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal).
3.3.1.3. Variabel Dau
1. Variabel Alokasi Dasar adalah belanja pegawai yang dicerminkan oleh jumlah gaji
PNSD.
2. Variabel kebutuhan fiskal terdiri dari jumlah penduduk, luas wilayah darat dan
perairan, Indeks Pembangunan Manusia, Indeks Kemahalan Konstruksi, dan Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita. (sesuai undang-undang Nomor 33
Tahun 2004)
3. Variabel kapasitas fiskal yang merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal
dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Bagi Hasil Pajak dan Dana Bagi Hasil
SDA.
gambar 3. 13
Formula umum Dana Alokasi umum Menurut undang-undang Nomor 33 Tahun 2004
Rumusan tentang kebutuhan fiskal (KbF) dapat ditunjukkan sebagai berikut:
KbF = TBR (α1IP + α2IW + α3IPM + α4IKK + α5iPdRb/kap)
Dimana:
TBR = Total Belanja Rata-rata APBD
IP = Indeks Jumlah Penduduk
IW = Indeks luas Wilayah
IPDRB/kap = Indek Produk Domestik Regional Bruto per kapita
α1, α2, α3, α4, α5 = Bobot dari masing-masing indeks variable α1 + α2 + α3 + α4 + α5 = 100%
Sementara itu, terkait dengan daerah pemekaran baru, perhitungan alokasi DAu untuk
daerah tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.14.
gambar 3.14
Pembagian DAu bagi Daerah Pemekaran
Selanjutnya, sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut,
kebijakan dalam pengalokasian DAu tahun 2010 adalah sebagai berikut:
a. DAu ditetapkan 26 persen dari Pendapatan Dalam Negeri (PDN) Neto yang
ditetapkan dalam APBN. Besaran alokasi per daerah sesuai dengan
undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005,
b. Pengalokasian DAu kepada masing-masing daerah menggunakan formula DAu,
yaitu DAU dihitung berdasarkan formula atas dasar celah fiskal (CF) dan alokasi dasar (AD). CF suatu daerah merupakan selisih kebutuhan fiskal (KbF) dengan kapasitas fiskal (KpF), sedangkan AD dihitung berdasarkan jumlah gaji PNSD.
c. Alokasi dasar mengakomodir kebijakan kenaikan gaji pokok PNS sebesar 5 persen,
mempertimbangkan formasi PNS dan gaji ke-13.
d. Variabel kebutuhan fiskal daerah meliputi (i) jumlah penduduk, (ii) luas wilayah,
(iii) indeks kemahalan konstruksi, (iv) produk domestik regional bruto (PDRB) per
kapita, dan (v) indeks pembangunan manusia (IPM). Sedangkan variabel kapasitas
fiskal daerah merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD, Dana
Bagi Hasil Pajak, dan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam.
Pada tahun 2010, DAu ditetapkan sebesar Rp203.485,2 miliar, yang terdiri dari:
a. DAu Murni Rp192.490,3 miliar; dan
b. DAu Tambahan untuk Tunjangan Profesi guru Rp10.994,9 miliar.
untuk mendapatkan alokasi DAu yang ditujukan dalam rangka pemerataan
kemampuan keuangan antardaerah (equalization grant) digunakan indikator koefisien
variasi dan indeks Williamson yang dapat menggambarkan tingkat pemerataan yang
paling optimal, serta jumlah daerah yang mengalami penurunan DAu paling sedikit.
Alokasi DAu tahun 2009 dan 2010 dapat dilihat pada Tabel 3.6 berikut ini:
No. Tahun DAU
Sejak dimulainya implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia
telah memberikan warna baru dengan adanya pemekaran daerah baik di tingkat
provinsi serta terutama di tingkat kabupaten/kota. Pemekaran daerah memberi
dampak terhadap jumlah DAu yang diterima oleh daerah pemekaran. Pembagian DAu
pada daerah yang mengalami pemekaran dialokasikan pada daerah induk sebelum
pemekaran, dan dibagi secara proporsional dengan menggunakan 3 variabel luas
wilayah, jumlah penduduk, dan jumlah PNSD.
3.4. dANA AlOKAsi KHUsUs
Sesuai dengan Pasal 39 undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 disebutkan bahwa
Dana Alokasi Khusus (DAK) dialokasikan kepada pemerintah daerah tertentu untuk
mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah. Sementara itu, Pasal 51
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 menyebutkan bahwa DAK dialokasikan
kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan bagian dari
program yang menjadi prioritas nasional dan menjadi urusan daerah.
1. Diprioritaskan membantu daerah-daerah yang kemampuan keuangan daerahnya
relatif rendah, dalam rangka mendorong pencapaian SPM kepada masyarakat,
melalui penyediaan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat;
2. Mendukung prioritas percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin,
serta penataan kelembagaan dan pelaksanaan sistem perlindungan sosial, terutama
dalam rangka perluasan akses pelayanan dasar masyarakat miskin;
3. Mendukung prioritas peningkatan kualitas sumber daya manusia, khususnya
dalam rangka meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan, percepatan
penurunan angka kematian ibu dan anak, perbaikan gizi masyarakat dan
pengendalian penyakit, peningkatan jaminan pelayanan penduduk miskin dan
penduduk di daerah tertinggal, terpencil, perbatasan, dan kepulauan, pemantapan
revitalisasi program KB, dan peningkatan kualitas wajib belajar pendidikan dasar
sembilan tahun yang merata;
4. Mendukung prioritas pemantapan reformasi birokrasi dan hukum, serta
pemantapan demokrasi dan kemanan nasional, terutama dalam rangka penguatan
kapasitas pemerintahan daerah dan kualitas pelayanan publik;
5. Mendukung prioritas penguatan perekonomian domestik yang berdaya saing,
yang didukung oleh pembangunan pertanian infrastruktur dan energi, khususnya
dalam rangka peningkatan stabilitas harga dan pengamanan pasokan bahan pokok,
peningkatan ketahanan pangan, revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan,
perluasan akses pelayanan dasar masyarakat miskin, peningkatan pelayanan
infrastruktur sesuai standar pelayanan minimal (SPM), dan dukungan infrastruktur
bagi peningkatan saya saing sektor riil;
6. Mendukung prioritas peningkatan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
hidup, khususnya dalam rangka peningkatan pengelolaan sumber daya air,
peningkatan rehabilitasi dan konservasi sumber daya alam, dan peningkatan
Berdasarkan arah kebijakan DAK tersebut, serta memperhatikan kemampuan
keuangan negara, DAK tahun 2010 dialokasikan sebesar Rp21.133,4 miliar, yang
berarti turun sekitar 15 persen dari tahun sebelumnya. Penurunan tersebut terutama
terjadi pada penurunan DAK di bidang infrastruktur jalan, irigasi, air minum, dan
sanitasi sekitar 37 persen, serta penurunan DAK bidang kesehatan sekitar 30 persen
dari tahun sebelumnya. Sementara itu, untuk mendukung kebijakan 20 persen
anggaran pendidikan di APBN, DAK Pendidikan ditetapkan sama dengan tahun
sebelumnya.
Selain itu, pada tahun 2010 terdapat pemisahan bidang DAK, yaitu DAK Air Minum
dan Sanitasi yang pada tahun 2009 masih berdiri dalam satu bidang, pada tahun 2010
sudah dipisah menjadi 2 bidang, yaitu DAK Air Minum dan DAK Sanitasi.
Selanjutnya, alokasi DAK dari tahun 2009 dan 2010 dapat dilihat pada Tabel 3.7 di
1 Pendidikan 9.334.882.000.000,00 9.334.882.000.000,00 0,00%
2 Kesehatan 4.017.370.000.000,00 2.829.760.000.000,00 -29,56%
a. Kesehatan Dasar 3.411.270.000.000,00 2.223.660.000.000,00 -34,81%
b. Kesehatan Rujukan 606.100.000.000,00 606.100.000.000,00 0,00%
3 Jalan 4.500.916.800.000,00 2.810.207.000.000,00 -37,56%
4 Irigasi 1.548.980.000.000,00 968.402.000.000,00 -37,48%
5 Air Minum 1.142.290.000.000,00 357.231.500.000,00
-37,45%
6 Sanitasi - 357.231.500.000,00
7 Prasarana Pemerintahan 562.000.000.000,00- 386.253.000.000,00 -31,27%
8 Kelautan dan Perikanan 1.100.360.000.000,00 1.207.840.000.000,00 9,77%
9 Pertanian 1.492.170.000.000,00 1.543.633.000.000,00 3,45%
No Bidang DAK 2009 DAK 2009 %
12 Kehutanan 100.000.000.000,00 250.000.000.000,00 150,00%
13 Sarana dan Prasarana Perdesaan 190.000.000.000,00 300.000.000.000,00 57,89%
14 Perdagangan 150.000.000.000,00 107.322.500.000,00 -28,45%
Jumlah 24.819.588.800.000,00 21.133.382.500.000,00 -14,85%
Sumber : APBN 2010
3.4.1. fORmUlAsi KEbijAKAN dANA AlOKAsi KHUsUs
Formulasi yang berkaitan dengan alokasi DAK secara garis besar dapat dibagi menjadi
4 kelompok besar, yaitu (1) penetapan program dan kegiatan, (2) penghitungan
alokasi DAK, (3) arah dan penggunaan DAK, dan (4) administrasi pengelolaan DAK.
3.4.1.1. PenetaPan PrOgram Dan kegiatan
Sebagaimana disebutkan pada awal bab ini kegiatan khusus yang di danai dari DAK
merupakan bagian dari program yang menjadi prioritas nasional dan menjadi urusan
daerah. Pasal 52 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 menyatakan bahwa
program yang menjadi prioritas nasional dimaksud dimuat dalam Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) tahun anggaran bersangkutan. Berdasarkan prioritas nasional
sebagaimana tercantum dalam RKP tersebut, menteri teknis mengusulkan kegiatan
khusus dan ditetapkan setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri, Menteri
Keuangan, dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. Selanjutnya,
menteri teknis menyampaikan kegiatan khusus yang telahditetapkan tersebut kepada
Menteri Keuangan.
gambar 3.15
Mekanisme Penetapan Program dan Kegiatan
Sumber: PP Nomor 55 Tahun 2005
3.4.1.2. Penghitungan alOkaSi Dak
Penghitungan alokasi DAK dilakukan melalui 2 tahapan, yaitu:
1. Penentuan daerah tertentu yang menerima alokasi DAK
2. Penentuan besaran alokasi DAK masing-masing daerah.
Penentuan daerah tertentu yang mendapat alokasi DAK harus memenuhi kriteria
umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Sementara itu, penentuan besaran alokasi
Perhitungan alokasi DAK 2009 tetap berdasarkan pada ketentuan perundangan
yang berlaku dengan memperhatikan beberapa perubahan tujuan dan sasaran yang
hendak dicapai. Hal baru yang terdapat dalam pelaksanaan alokasi DAK 2009 adalah
lebih dioptimalkannya kriteria teknis, baik dalam penentuan daerah tertentu maupun
besaran alokasi masing-masing daerah. Hal tersebut ditujukan untuk meminimumkan
terjadinya miss allocation, sekaligus mengoreksi berbagai kebijakan alokasi DAK tahun-tahun sebelumnya. Implikasi dari itu semua adalah adanya beberapa daerah
yang mengalami penurunan alokasi, namun di beberapa daerah lainnya justru
mengalami kenaikan alokasi.
1. Kriteria Umum
Sesuai dengan pasal 40 undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 dinyatakan bahwa
alokasi DAK mempertimbangkan kemampuan Keuangan Daerah dalam APBD. Kriteria
umum dihitung untuk melihat kemampuan APBD untuk membiayai
kebutuhan-kebutuhan dalam rangka pembangunan daerah yang dicerminkan dari penerimaan
umum APBD dikurangi belanja pegawai. Dalam bentuk rumus, kriteria umum tersebut
dapat ditunjukkan pada beberapa persamaan di bawah ini:
Kemampuan Keuangan Daerah = Penerimaan Umum APBD – Belanja Pegawai Daerah
Penerimaan Umum = PAD + DAU + (DBH – DBHDR)
Belanja Pegawai Daerah = Belanja PNSD
Dimana:
PAD = Pendapatan Asli Daerah
APBD = Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
DAu = Dana Alokasi umum
Kemampuan keuangan daerah dihitung melalui indeks fiskal neto (IFN) tertentu yang
ditetapkan setiap tahun. Dalam tahun 2009, arah kebijakan umum DAK adalah untuk
membantu daerah-daerah yang kemampuan keuangan daerahnya relatif rendah. Hal
ini diterjemahkan bahwa DAK dialokasikan untuk daerah-daerah yang kemampuan
keuangan daerahnya berada di bawah rata-rata nasional atau IFN-nya kurang dari 1
(satu). Dalam hal ini, rata-rata kemampuan keuangan daerah secara nasional dihitung
dengan menggunakan rumus di bawah ini.
Rata-rata Nasional Kemampuan Kauangan Daerah =
Total Kemampuan Keuangan Daerah secara Nasional
Jumlah Daerah
Selanjutnya, perhitungan IFN dilakukan dengan membagi kemampuan keuangan
daerah dengan rata-rata nasional kemampuan keuangan daerah. Jika IFN < 1, atau
dengan kata lain daerah tersebut memiliki kemampuan keuangan daerah lebih kecil
dibandingkan dengan rata-rata nasional, maka daerah tersebut mendapatkan prioritas
dalam memperoleh DAK. Rumus IFN dapat dilihat di bawah ini.
Indeks Fiskal Netto Daerah Z = Kemampuan Keuangan Daerah Z Rata-rata Nasional Kemampuan Keuangan Daerah
2. Kriteria Khusus
Kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan
dan karakteristik daerah. Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan
adalah undang-undang yang mengatur tentang kekhususan suatu daerah, Seperti
undang-undang otonomi Khusus Papua. Seluruh daerah (kabupaten/kota) di Provinsi
Papua akan diprioritaskan mendapatkan DAK.
Dalam tahun 2009, kriteria khusus yang dipergunakan dalam perhitungan alokasi DAK
2. Karakteristik wilayah, meliputi:
a. Daerah pesisir dan/ atau kepulauan;
b. Daerah perbatasan dengan negara lain;
c. Daerah rawan bencana
d. Daerah yang masuk kategori ketahanan pangan, dan;
d. Daerah pariwisata.
3. Kriteria Teknis
Kriteria teknis dirumuskan oleh kementerian negara/departemen teknis terkait.
Kriteria teknis tersebut dicerminkan dengan indikator-indikator yang dapat
digunakan untuk menggambarkan kondisi sarana-prasarana pada masing-masing
bidang/kegiatan yang akan didanai oleh DAK.
3.1. Kriteria Teknis dan Ruang lingkup Kegiatan dAK Pendidikan
Indikator Teknis untuk bidang pendidikan meliputi :
a. Jumlah Sekolah Dasar (SD)/Sekolah luar Biasa (SlB)
b. Jumlah ruang kelas SD rusak
c. Jumlah SD/SlB yang belum memiliki perpustakaan
d. Jumlah Sekolah Menengah Pertama (SMP)
e. Jumlah ruang kelas SMP rusak ringan
f. Jumlah ruang kelas SMP rusak sedang
g. Jumlah ruang kelas SMP rusak berat
h. Jumlah ruang kelas SMP susut
i. Jumlah SMP yang belum memiliki perpustakaan
m. Alat Pembelajaran Matematika
n. Alat Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
o. Alat Kesenian
p. Alat olah Raga
Indikator teknis ini ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional.
Adapun ruang lingkup kegiatan DAK Pendidikan dalam tahun 2010 diarahkan juga
untuk kegiatan di tingkat SMP. Selanjutnya, ruang lingkup kegiatan DAK Pendidikan
meliputi:
a. SD/SDlB:
Pembangunan perbaikan ruang perpustakaan
Perabot pendukung perpustakaan
Pengadaan sarana peningkatan mutu pendidikan meliputi alat peraga,
kit multimedia, buku pengayaan, buku referensi, ICT pendidikan, dan alat
elektronik pendidikan
b. SMP
Pembangunan ruang kelas baru
Pembangunan ruang perpustakaan/pusat sumber belajar beserta perabotnya
Pemenuhan kebutuhan buku referensi, pengayaan dan panduan sesuai standar
BNSP
Pemenuhan kebutuhanalat-alat peraga dan pembelajaran bagi sekolah
3.2. Kriteria Teknis dan Ruang lingkup Kegiatan dAK Kesehatan
Dalam tahun 2010, DAK Kesehatan dibagi menjadi dua, yaitu sarana pelayanan
kesehatan dasar, dan pelayanan kesehatan rujukan. Pada DAK Kesehatan untuk
pelayanan kesehatan dasar diperuntukkan untuk pelayanan dasar dan pengadaan
obat.
Indikator teknis DAK Kesehatan terdiri dari:
1. Indikator Pelayanan Kesehatan Dasar:
a. Indeks Jumlah penduduk;
b. Indeks luas Wilayah;
c. Indeks Wilayah Khusus;
d. Indeks Kemiskinan Masyarakat.
2. Indikator Pelayanan Kesehatan Rujukan
a. Indeks Instalasi gawat Darurat Rumah Sakit (IgDRS)
1) Kelas RS;
2) Jumlah Tempat Tidur RS;
3) Jenis RS;
4) Jenis Menu;
5) Alokasi Tahun Sebelumnya.
b. Indeks Tempat Tidur Kelas III
1) Bed Occupancy Rate (BoR) kelas III; 2) Jumlah Tempat Tidur RS;
3) Jumlah Tempat Tidur Kelas III;
4) Jenis Menu;
5) Alokasi Tahun Sebelumnya.
c. Indeks Pelayanan obstetri Neo-natal Emergensi Komprehensif (PoNEK) RS
3) Pelayanan Darah;
4) Jenis Menu;
5) Alokasi Tahun Sebelumnya.
d. Indeks PoNEK RS : Bobot uTDRS
e. Indeks Balai latihan Kerja (BlK) Provinsi : Bobot labkes
f. Indeks Jumlah Penduduk : Jumlah Penduduk
g. Indeks Human Poverty Index (HPI): Data Kemiskinan Masyarakat
Adapun ruang lingkup kegiatannya mencakup :
a. Pelayanan Dasar:
1. Pembangunan Pos Kesehatan Desa;
2. Pembangunan Puskesmas, Puskesmas perawatan;
3. Melengkapi puskesmas perawatan mampu Pelayanan obstetri Neo-natal
Emergensi Dasar (PoNED) minimal 4 puskesmas perawatan kab/kota melalui
pengadaan alat medis;
4. Pengadaan roda 2 utk petugas dan bidan desa;
5. Pengadaan pusling perairan dan roda 4;
6. Pengadaan sarana pendukung penyimpanan vaksin/obat di instansi farmasi;
dan
7. Pengadaan obat generik .
b. Pelayanan Rujukan:
1. Peningkatan fasilitas tempat tidur kelas III RS;
2. Pemenuhan peralatan unit Transfusi Darah (uTD) RS;
3. Pemenuhan peralatan Instalasi gawat Darurat (IgD) RS;
4. Pembangunan sarana prasarana dan pemenuhan peralatan PoNEK RS; dan
3.3. Kriteria Teknis dan Ruang lingkup dAK infrastruktur
Indikator teknis DAK untuk infrastruktur meliputi:
1. Bidang Infrastruktur Jalan
a. luas Wilayah;
b. Jumlah Penduduk;
c. Total Panjang Jalan; dan
d. Kondisi Jalan.
2. Bidang Infrastruktur Irigasi
a. luas Wilayah;
b. Jumlah Penduduk;
c. luas Daerah Irigasi; dan
d. luas Daerah Irigasi Kondisi Rusak.
3. Bidang Infrastruktur Air Minum
a. luas Wilayah;
b. Jumlah Penduduk;
c. Jumlah Penduduk Miskin; dan
d. Jumlah Desa Rawan Air Bersih.
4. Bidang Infrastruktur Sanitasi
a. Jumlah Penduduk;
b. luas Wilayah;
c. luas Kawasan Kumuh Perkotaan; dan
d. Kondisi Sanitasi.
Adapun ruang lingkup untuk DAK Infrastruktur adalah sebagai berikut: