ANALISIS HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR
8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
TERHADAP PEMBULATAN TIMBANGAN PADA JASA
LAUNDRY
DI KAEY LAUNDRY
SKRIPSI
Oleh :
Tri Wahyuni Bashiroh
NIM. C72212134
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Hukum Ekonomi Syariah ( Muamalah) Surabaya
ANALISIS HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PEMBULATAN TIMBANGAN PADA JASA LAUNDRY DI KAEY
LAUNDRY SURABAYA
SKRIPSI Diajukan kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu
Syariah dan Hukum
Oleh:
Tri Wahyuni Bashiroh NIM. C72212134
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syari’ah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah) Surabaya
ABSTRAK
Skripsi dengan judul Analisis Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Terhadap Pembulatan Timbangan Pada Jasa Laundry Di Kaey Laundry ini merupakan penelitian yang akan menjawab permasalahan, 1) Bagaimana mekanisme pembulatan timbangan pada
jasa laundry di KAEY Laundry Surabya? Dan 2) Bagaimana analisis hukum
Islam daan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen terhadap pembulatan timbangan pada jasa laundry di KAEY Laundry
Surabaya?
Penelitian ini adalah penelitian jenis lapangan dan merupakan penelitian kualitatif, yaitu menggambarkan kondisi, situasi, atau fenomena yang tertuang dalam data yang diperoleh tentang pembulatan timbangan pada jasa laundry di KAEY Laundry Surabaya. Kemudian dianalisis menggunkan pola pikir deduktif, yakni dengan menjelaskan terlebih dahulu kenyataan-kenyataan yang terjadi di lapangan. Setelah menjelskan kenyataan-kenyataan akan dihubungkan dengan konsep ija>rah dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
Hasil penelitian di KAEY Laundry memperoleh kesimpulan bahwa yang
pertama adalah mengenai sistem pembulatan timbangan di KAEY Laundry yaitu dengan cara konsumen datang terlebih dahulu dan memilih produk cuciannya, setelah itu karyawan menimbang cucian dan langsung membulatkan berat timbangan cucian tersebut tnpa memberitahukan berat timbangan yang asli. Pembulatan yang dilakukan KAEY Laundry yaitu dengan cara berat cucian yang ditimbang jika 1,35 kg atau lebih maka akan dibulatkan menjadi 2 kg. Apabila dilihat dari rukun ija>rah maka praktek yang dilakukan KAEY Laundry adalah fasakh karena salah satu dari syarat sah ija>rah tidak terpenuhi, hal tersebut sesuai dengan pendapat Hanafiah. Tetapi jika konsumen tidak merasa dirugikan maka kegiatan yang dilakukan oleh KAEY Laundry adalah sah. Sedangkan yang kedua berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pasal 4 huruf (g) mengenai hak-hak konsumen, pasal 7 huruf (c) mengenai kewajiban pelaku usaha, kemudian di pasal 8 huruf (b) dan (c) mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, dan di pasal 62 ayat 1 mengenai sanksi-sanksi, dapat disimpulkan bahwa praktek pembulatan timbangan yang dilakukan KAEY Laundry adalah kontradiktif atau bertentangan atau tidak sesuai. Tetapi kepada konsumen yang merasa tidak dirugikan maka kegiatan yang dilakukan oleh KAEY Laundry ini sudah sesuai dan sah karena tidak melanggar aturan yang sudah ada karena sudah sama-sama rela.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR BAGAN ... x
DAFTAR TRANSLITERASI ... xii
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 10
C. Rumusan Masalah ... 11
D. Kajian Pustaka ... 11
E. Tujuan Penelitian ... 14
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 14
G. Definisi Operasional ... 16
H. Metode Penelitian ... 17
I. Sistematika Pembahasan ... 12
BAB II : TEORI IJA>RAH DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A.Pengertian Ija>rah ... 24
B.Dasar Hukum Ija>rah ... 29
C.Rukun Ija>rah ... 31
D.Syarat Ija>rah ... 32
E. Sifat Ija>rah ... 38
F. Hukum Ija>rah ... 39
G.Jenis-Jenis Ija>rah ... 40
H.Ujrah (Upah) ... 40
J. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen ... 47 BAB III : MEKANISME PEMBULATAN TIMBANGAN PADA JASA
LAUNDRY DI KAEY LAUNDRY SURABAYA
A. Gambaran Umum Tentang Perusahaan ... 62
B. Mekanisme Pembulatan Timbangan Di Kaey Laundry ... 67
C. Sistem Berlipatnya Tarif ... 69
BAB IV : ANALISIS HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PEMBULATAN TIMBANGAN DI KAEY LAUNDRY SURABAYA
A. Analisis Hukum Islam Terhadap Pembulatan Timbangan di Kaey
Laundry ... 71
B. Analisis Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen Terhadap Pembulatan Timbangan Di Kaey Laundry ... 75
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ... 78 B. Saran ... 79
DAFTAR PUSTAKA
BAFTAR BAGAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kata mua>malah berasal dari bahasa arab yang secara etimologi sama dan
semakna dengan al mufa>’alah (saling berbuat). Kata ini menggambarkan
suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dengan seseorang atau
beberapa orang dalam memenuhi kebutuhan masing-masing.1 Kata
muamalah menggambarkan suatu peraturan Allah SWT yang harus diikuti
dan ditaati dalam kehidupan bermasyarakat. Muamalah juga dipahami
sebagai aturan yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam
mengembangkan dan memperoleh harta. Beberapa bentuk muamalah sesama
manusia adalah jual beli, sewa menyewa, upah mengupah, gadai, salam,
pemindahan utang, serta yang lain.
Tidak semua umat Islam yang mengerti akan pelaksanaan kegiatan
muamalah dengan benar. Dalam pelaksanaanya muamalah juga memiliki
larangan-larangan dan aturan yang harus diperhatikan dan tidak boleh
dilanggar. Seiring dengan berjalannya waktu banyak larangan-larangan yang
dilarang dalam fiqh muamlah tapi justru dilakukan dalam kehidupan
sehari-hari dan sudah menjadi kebiasaan dan rutinitas. Contohnya seperti riba,
masyir, gharar, haram dan batil.2
2
Dalam bermuamalah yang harus diperhatikan adalah bagaimana
seharusnya menciptakan suasana dan kondisi bermuamalah yang tertuntun
oleh nilai-nilai ketuhanan. Paling tidak dalam setiap melakukan aktivitas
bermuamalah ada semacam keyakinan dalam hati bahwa Allah SWT selalu
mengawasi seluruh gerak langkah kita dan selalu berada bersama kita.3 Jika
pemahaman ini terbentuk pada setiap pelaku muamalah, maka kegiatan
bermuamalah akan menjadi lebih baik lagi. Kegiatan bermuamalah yang baik
adalah menjunjung tinggi kejujuran, amanah, sesuai tuntutan syariah, dan
menjauhi larangan-larangan dalam bermuamalah.
Kegiatan bermuamalah juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari manusia. Kebutuhan manusia semakin hari semakin banyak.
Semakin banyak kebutuhan maka semakin sedikit waktu yang dimiliki.
Untuk memenuhi kebutuhannya manusia tidak bisa melakukannya sendiri,
oleh karena itu perlu adanya bantuan dari orang lain.
Adanya bantuan dari orang lain merupakan salah satu bentuk tolong
menolong dalam usaha bekerjasama membantu menyelesaikan kebutuhan
tersebut. Kerja sama tersebut dilakukan oleh dua orang atau lebih dan ada
pemberian upah atau gaji atas pemenuhan kebutuhan yang sudah dipenuhi.
Kerja sama ini dimaksudkan agar kedua belah pihak bisa saling
menguntungkan. Disatu sisi ada yang terpenuhi kebutuhannya dan disisi lain
ada yang mendapat upah atas pekerjaan yang dilakukannya.
3
Dalam Islam upah-mengupah atau sewa menyewa disebut dengan akad
ija>rah. Secara etimologi kata “al-Ujrah atau “al-Ajru” yang menurut bahasa
berarti al-Iwad}u (ganti dan upah), dengan kata lain suatu imbalan yang
diberikan sebagai upah atau ganti suatu perbuatan.4 Seperti yang dijelaskan
dalam al-Qur’a>>n surat at-Thalaq ayat 6 yang berbunyi:
Artinya: kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu
maka berikanlah kepada mereka upahnya.5
Sedangkan menurut istilah atau terminologi, para fuqaha berbeda
pendapat mengenai pengertian ija>rah, tetapi pada dasarnya ija>rah adalah
sebuah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran
upah atau imbalan, tanpa diikuti dengan pemindahaan kepemilikan.6
Jasa adalah kegiatan yang dapat diidentifikasikan, yang bersifat tak
teraba, yang direncanakan untuk pemenuhan kepuasan konsumen. Jadi, jasa
tidak pernah ada dan hasilnya dapat dilihat setelah terjadi.7 Sektor jasa pada
masa sekarang ini perkembangannya semakin pesat. Banyak sekali kegiatan
bisnis dalam sektor jasa yang semakin berkembang dalam usahanya.
Bisnis jasa pada era yang modern ini banyak diminati oleh masyarakat
yang ingin serba praktis dalam pemenuhan kebutuhannya. Saat ini terdapat
berbagai macam sektor jasa seperti jasa konsultan, jasa penyewaan
4 Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Isla. (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), 422.
5 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahannya (Jakarta: CV. Toha Putra Semarang, 1989), 946
6 Nasroen Harun, Fiqh Muamala, (Jakarta: Gaya Media Pratama Cet 1, 2000), 228
4
penginapan, jasa pencucian pakaian (laundry), jasa rekreasi, jasa kesehatan,
jasa komunikasi, jasa transportasi, jasa keuangan, jasa pendidikan dan
sebagainya. Macam-macam jasa tersebut sedikit banyak dilakukan untuk
pemenuhan kebutuhan dalam kegitan sehari-hari. Salah satu bidang usaha
jasa yang dibutuhkan untuk kebutuhan sehari hari adalah jasa pencucian
pakaian (laundry). Jasa ini sangat dibutuhkan bagi orang yang tidak memiliki
waktu banyak atau pun malas untuk mencuci pakaiaannya sendiri.
Perusahaan jasa laundry ini sangat berkembang pesat, karena banyak sekali
tempat-tempat laundry yang ada disekeliling kita.
Banyaknya usaha jasa laundry disebabkan oleh semakin banyaknya
peminat dalam sektor jasa ini, selain itu biaya yang ditawarkan relatif
murah, pengelolaan yang tidak terlalu sulit dan dengan prosentase
keuntungan yang menjanjikan. Di surabaya saja sudah tidak terhitung berapa
jumlah perusahaan laundry yang ada. Masing-masing perusahaan
berlomba-lomba berusaha memberikan pelayanan yang terbaik bagi pengguna jasanya.
Setiap pelaku usaha jasa harus tetap memperhatikan kewajibannya
sebagai pelaku usaha dan juga hak-hak konsumen sebagai pengguna jasa.
Dalam kegiatan bisnis yang sehat terdapat keseimbangan perlindungan
hukum antara konsumen dengan produsen. Tidak hanya perlindungan yang
seimbang menyebabkan konsumen berada pada posisi yang lemah.
5
yang terbatas, produsen dapat menyalahgunakan posisinya yang
monopolistis tersebut.8
Di Indonesia juga mempunyai aturan dan perlindungan terhadap pelaku
usaha maupun konsumen, perlindungan tersebut diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Adanya
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 ini merupakan suatu pintu gerbang
yang oleh masyarakat diharapkan dapat menciptakan suatu kegiatan usaha
yang baik dan benar tidak hanya bagi pelaku usaha saja tapi juga untuk
kepentingan konsumen selaku pengguna, pemanfaat, maupun pemakai
barang ataupun jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha.
Seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen maka hak-hak konsumen sudah dapat
diperjuangkan dengan dasar hukum yang telah disahkan tersebut. Secara
umumpun dikenal adanya empat hak konsumen yang sifatnya universal,
yaitu:
1. Hak untuk mendapatkan keamanan
2. Hak untuk mendapatkan informasi
3. Hak untuk memilih
4. Hak untuk didengar.9
Keempat hak tersebut kemudian dikembangkan dalam pasal 4
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 yang mengatur hak-hak konsumen antara lain:
6
1. Hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan
barang dan/atau jasa
3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaiaan
sengketa Perlindungan Konsumen secara patut
6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen
7. Hak mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau
tidak sebagaimana mestinya
8. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.10
Bisa kita lihat peraturan diatas yang paling diperhatikan adalah masalah
kerugian yang dialami oleh konsumen yang dilakukan oleh pelaku usaha
yang dengan sengaja ataupun tidak telah melalaikan hak-hak konsumen.
Fakta dilapangan telah menunjukkan bahwa kerugian yang dialami oleh
konsumen laundry sekarang adalah pembulatan timbangan yang dilakukan
oleh perusahaan jasa laundry.
7
Dalam penentuan tarif pencucian pakaian (laundry) perusahaan melihat
dari segi berat timbangan pakaian yang akan di laundry. Dan pemberian tarif
tersebut merupakan upah yang diberikan pelanggan kepada pihak jasa
laundry sebagai imbalan atas pencucian pakaian. Maka pelanggan harus
memberikan upah yang pantas, hal ini agar sesuai dengan firman Allah
dalam surat al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi:
Artinya: Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha
melihat apa yang kamu kerjakan.11
Praktek timbangan menurut hukum Islam harus menyempurnakan antara
takaran dan timbangan seadil-adilnya, hal tersebut sesuai dengan firman
Allah dalam al-Qur’a>n surat al-An’a>m ayat 152 yang berbunyi:
Artinya: dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu Berlaku adil, Kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.
8
Perusahaan jasa laundry khususnya di KAEY laundry menggunakan
berat timbangan kg (kilogram) dalam perhitungannya. Apabila barang
ditimbang dan beratnya mencapai 1,4 atau 1 kilogram (kg) lebih 4 ons maka
oleh pihak jasa laundry barang tersebut tarif laundrynya sudah termasuk
dalam 2 kilogram (kg). Dalam ilmu matematika 1,4 bila dibulatkan akan
tetap menjadi 1 kilogram (kg), kecuali bila 1,487 maka akan menjadi 1,5.
Pembulatan timbangan ini tidak pernah di beritahukan kepada konsumen,
jadi konsumen tidak pernah tau berapa berat sesungguhnya pakaian yang
akan di laundrynya.12
Pembulatan timbangan yang dilakukan oleh KAEY Laundry ini tidak
hanya pada pencucian pakaian saja tetapi juga pada pencucian badcover,
sprei, boneka, dll. Pembulatan timbangan yang dilakukan berlaku sama
untuk semua produk-produk yang ada di KAEY Laundry, karena perhitungan
timbangannya ditentukan diawal bukan berdasarkan hasil akhirnya.
Dalam penentuan pembulatan timbangan sebenarnya sudah ada
ketentuan dari pihak pemilik¸ yakni jika berat timbangan 1 kilogram (kg) 5
ons atau 1,5 kilogram (kg) maka beratnya sudah mengikuti berat selanjutnya
yaitu 2 kilogram (kg).13 Tetapi yang dilakukan karyawan di KAEY Laundry
jika pelanggan sudah ramai sering kali tidak memperhatikan timbangan
secara seksama. Beratnya hanya 1 kilogram (kg) 3 ons atau 1,3 kilogram (kg)
9
sudah dihitung untuk masuk ke berat selanjutnya. Dan harganya juga sudah
mengikuti tarif yang 2 kilogram (kg).
Dalam penentuan tarif laundry di KAEY Laundry bermacam-macam
tarifnya sesuai dengan produk yang ada di KAEY Laundry dan sesuai dengan
apa yang pelanggan laundry. Dalam setiap produknya tarif yang dipasang
berbeda-beda dalam setiap kilogramnya tetapi pembulatan timbangan yang
dilakukan sama.
Jika diberlakukan pembulatan seperti yang terjadi diatas yaitu apabila 1
kilogram (kg) 4 ons atau 1,4 sudah dibulatkan menjadi 2 kilogram (kg) maka
tarif dalam laundry tersebut akan mengikuti tarif 2 kilogram (kg) yang
mulanya 1 kilonya Rp. 7000,- maka akan naik menjadi Rp. 8000,-.14
Kenaikan harga yang hanya 1000 rupiah ini disebabkan juga oleh permainan
harga yang terjadi di laundry, karena jika semakin banyak kilogramnya maka
harga atau tarifnya akan semakin sedikit kenaikannya dan semakin murah.
Kenaikan harga yang tidak adil inilah yang membuat penulis tertarik untuk
meneliti masalah ini.
Dengan kondisi yang ada seperti ini maka penulis ingin mengetahui
lebih mendalam dan tertarik untuk melakukkan penelitian tentang
bagaimana prespektif hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 ketika dihadapkan dengan pembulatan timbangan yang berdampak
terhadap berlipatnya tarif laundry yang dilakukan di KAEY Laundry.
10
Dari fenomena yang terjadi di lapangan tersebut maka penulis
menganalisis menggunakan analisis ija>rah dan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999. Karena kesadaran yang kurang maka masih banyak konsumen
yang belum mengerti akan hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan
sehingga mereka hanya menjadi konsumen yang patuh.
Berangkat dari pemikiran tersebut penulis akan mengkaji masalah dalam
sebuah penelitian yang tertulis dalam bentuk skripsi dengan judul “Analisis
Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen terhadap Pembulatan Timbangan pada Jasa
Laundry di Kaey Laundry”.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Demi lebih memfokuskan kepada pokok penelitian dan memperdalam
lagi materi yang dikaji maka penulis merasa perlu untuk memberikan
identifikasi masalah dan batasan masalah kaitannya dengan Analisis Hukum
Islam dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen Terhadap Pembulatan Timbangan Pada Jasa Laundry di Kaey
Laundry. Dari uraian latar belakang diatas maka masalah-masalah yang
dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Mekanisme penentuan tarif
2. Mekanisme pembulatan timbangan yang terjadi pada jasa laundry di Kaey
Laundry
11
4. Tinjauan hukum islam dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen terhadap pembulatan timbangan pada jasa
laundry di Kaey Laundry.
Dari beberapa identifikasi masalah tersebut, perlu diperjelas batasan
atau ruang lingkup persoalan yang akan dikaji dalam penelitian ini agar
fokus dan terarah pembahasan dalam skripsi ini dibatasi pada persoalan
sebagai berikut:
1. Mekanisme pembulatan timbangan pada jasa laundry di KAEY Laundry
JL. Wonocolo Pabrik Kulit No. 15 Surabaya.
2. Analisis hukum Islam dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen terhadap pembulatan timbangan pada jasa
laundry di KAEY Laundry.
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana mekanisme pembulatan timbangan pada jasa laundry di
KAEY Laundry ?
2. Bagaimana analisis hukum Islam dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen terhadap pembulatan timbangan pada
jasa laundry di KAEY Laundry ?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian
12
terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan
pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah ada.15
Tujuan dari kajian pustaka sebenarnya adalah untuk memudahkan
peneliti dalam mengembangkan dan membandingkan penelitian terahulu
yang sudah ada dengan penelitian yang akan dilakukan sekarang. Bahkan
kajian pustaka digunakan untuk sumber rujukan atas penelitian terdahulu
dengan tema yang hampir serupa sehingga menunjukkan perbedaannya dan
keaslian untuk penelitian selanjutnya. Setelah ditelusuri melalui kajian
pustaka, sebenarnya sudah ada beberapa skripsi yang memiliki tema yang
hampir sama diantaranya:
Skripsi yang ditulis oleh Silvi Khaulia Maharani dengan judul “Analisis
Hukum Islam Terhadap Pembulatan Timbangan Pada Jasa Pengiriman
Barang di PT.TIKI Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) Jalan Karimun Jawa
Surabaya” pada tahun 2015. Dalam skripsinya tersebut disimpulkan bahwa
pembulatan timbangan yang dilakukan oleh pihak tiki bertentangan dengan
hukum Islam terutama dengan akad ijarah. Dalam pelaksanaan pembulatan
timbangan juga terdapat unsur riba. Dalam kegiatan ini pihak konsumen
merasa dirugikan karena berat yang harusnya hanya 1,4 kg tetapi ditarif
mengikuti kg berikutnya yakni dengan berat 2 kg.16
15 Surat Keputusan Dekan Fak. Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel, Petunjuk Teknis
Penulisan Fakultas Syari’ah, 9, 8
16Silvi Khaulia Maharani, “Analisis Hukum Islam Terhadap Pembulatan Timbangan Pada Jasa
Pengiriman Barang di PT.TIKI Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) Jalan Karimun Jawa Surabaya”
13
Disamping skripsi diatas ada juga yang membahas tentang pembulatan
harga, yakni saudara M. Alfian Yazdad dengan judul skripsi “Analisis
Hukum Islam Terhadap Pembulatan Harga Jual Dalam Transaksi Jual Beli
Bensin di SPBU Pertamina di Surabaya Selatan”. Dalam skripsinya tersebut
disimpulkan bahwa pembulatan harga jual BBM dalam hukum islam itu
diperbolehkan dengan alasan untuk menghilangkan kesulitan antara kedua
belah pihak yang bertransaksi dengan catatan asal terdapat unsur saling suka
rela antara kedua belah pihak dan pembulatan tersebut tidak melebihi batas
minimal uang pecahan receh yakni Rp. 50,00. Untuk konsumen yang tidak
setuju, transaksi terbilang tidak sah karena adanya unsur tidak saling suka.17
Selain itu juga ada skripsi dari Riski Dwi Puspita Ningrum yang berjudul
“Analisis Hukum Islam dan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen Terhadap Usaha Jasa Laundry Di Kalijaten Taman
Sidoarjo”. Dalam skripsinya tersebut menyimpulkan bahwa praktik usaha
jasa laundry di Kalijaten Taman Sidoarjo kebanyakan kerugian yang dialami
konsumen akibat proses produksi yang dilakukan pelaku usaha jasa laundry.
Dan hal ini tidak sesuai dengan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen dan hukum islam terkait pemberian ujroh yang
diberikan konsumen kepada pelaku usaha.18
17M. Alfian Yazdad, “Analisis Hukum Islam Terhadap Pembulatan Harga Jual Dalam Transaksi
Jual Beli Bensin di SPBU Pertamina di Surabaya Selatan” (Skripsi-- IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2011)
18Riski Dwi Puspita Ningrum, “Analisis Hukum Islam dan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Terhadap Usaha Jasa Laundry di Kalijaten Taman Sidoarjo”
14
Setelah mengkaji penelitian-penelitian sebelumnya, bahwa terdapat
perbedaan dari penelitian sebelumnya dengan penelitian yang dilakukan oleh
penulis kali ini. Perbedaan yang terjadi antara penelitian yang sebelumnya
dengan penelitian yang akan penulis bahas yaitu penelitian sebelumnya
membahas pembulatan timbangan yang dianalisis dengan hukum Islam saja,
maka kali ini penulis akan membahas pembulatan timbangan yang dianalisis
dengan hukum Islam dan Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Dalam pembulatan timbangan yang dilakukan di
KAEY Laundry juga terjadi permainan harga dalam penetapan tarif laundry
dan objek yang dikaji juga berbeda tempat.
E. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini mempunyai
tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan mekanisme pembulatan
timbangan pada jasa laundry di KAEY Laundry
2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan analisis hukum islam dan
undang-undang no. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
terhadap pembulatan timbangan pada jasa laundry di KAEY Laundry.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Dengan adanya penelitian ini penulis berharap agar penelitian yang
15
konsumen, bagi pelaku usaha, bagi konsumen dan mempunyai nilai tambah
dan dapat bermanfaat bagi para pembaca dan terlebih bagi penulis. Maka
dari itu, secara lebih terinci kegunaan penelitian dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu:
1. Secara teoritis, karya tulis ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran dan informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam
rangka menyelesaikan kasus-kasus yang serupa dan juga digunakan
untuk pengembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan
hukum Islam dan hukum Perlindungan Konsumen.
2. Secara praktis, diharapkan hasil dari penelitian ini dapat meningkatkan
kesadaran konsumen pengguna jasa laundry akan hak dan kewajibannya
sebagai konsumen dalam rangka penegakan perlindungan konsumen.
Bagi pelaku usaha diharapkan dapat meningkatkan kesadaran akan hak
dan kewajibannya sebagai pelaku usaha untuk melakukan kegiatannya
sesuai dengan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen dan
hukum Islam dalam hal pembulatan timbangan yang dilakukan dalam
kegiatan usahanya agar tidak merugikan pihak lain. Sedangkan bagi
penulis sendiri dapat digunakan sebagai rujukan atau perbandingan bagi
peneliti selanjutnya yang tertarik untuk membahas masalah pembulatan
timbangan yang dikaji dengan hukum Islam dan perlindungan hukum
terhadap konsumen sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
16
G. Definisi Operasional
Penelitian ini berjudul “Analisis Hukum Islam dan Undang-Undang
No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Terhadap Pembulatan
Timbangan pada Jasa Laundry di KAEY Laundry”. Agar pembaca bisa
memahami penelitian ini, maka ada beberapa istilah yang perlu mendapatkan
penjelasan dari judul tersebut adalah:
1. Hukum Islam adalah suatu aturan yang ditetapakan sesuai dengan
pemikiran para fuqaha dan berkaitan dengan amal perbuatan seorang
mukallaf, baik perintah itu mengandung sebuah tuntutan, larangan,
ataupun perbolehan terhadap suatu hal dan yang berdasarkan Al-Qur’an
dan as Sunnah tentang akad ija>rah.
2. Undang – Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
adalah aturan yang mengatur tentang perlindungan terhadap
kepentingan konsumen dan pelaku usaha agar tercipta perekonomian
yang sehat. Dalam pasal 4 huruf g menjelaskan mengenai hak konsumen
dan pasal 7 huruf b menjelaskan mengenai kewajiban pelaku usaha.
3. Pembulatan Timbangan adalah proses, membulatkan suatu berat
timbangan yang seharusnya 1 kg 4 ons tetapi dihitung menjadi 2 kg.
Dan tarif yang dihitung menjadi masuk tarif kg selanjutnya, yang
dianalisis dengan menggunakan prinsip ija>rah dan Undang-undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
4. Usaha Jasa Laundry adalah usaha yang memberikan pelayanan jasa
17
pemberian layanan yaitu usaha jasa laundry di KAEY Laundry yang
berada di JL. Wonocolo Pabrik Kulit No. 15 Surabaya.
H. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian tentang “Analisis Hukum Islam dan Undang-Undang
No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Terhadap
Pembulatan Timbangan pada Jasa Laundry di KAEY Laundry”
merupakan penelitian yang bersifat penelitian lapangan (field research)
yakni jenis penelitian yang dilakukan dengan mengumpulkan di
lapangan. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah penelitian
kualitatif, karena kualitatif memuat tentang prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif, berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang diamati.
2. Objek Penelitian
Objek penelitian merupakan bagian yang penting dalam sebuah
penelitian. Objek dipilih oleh peneliti dan dianggap memiliki
kredibilitas untuk memberikan informasi dan data kepada peneliti yang
sesuai dengan permaslahan yang diangkat dalam permasalahan ini.
18
3. Data yang dikumpulkan
Data adalah bahan keterangan tentang sesuatu obyek uraian-uraian,
bahkan dapat berupa cerita pendek.19 Data yang dapat dikumpulkan oleh
peneliti dalam penelitian ini, diantaranya adalah:
a. Data Primer
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
2. Akad Ija>rah
3. Sistematika pembulatan timbangan di KAEY Laundry
4. Data berlipatnya tarif di KAEY Laundry
b. Data Sekunder
1. Usaha jasa KAEY Laundry
2. Poduk-produk KAEY Laundry
3. Profil usaha jasa KAEY Laundry
4. Sejarah usaha jasa KAEY Laundry
4. Sumber Data
Penelitian ini pada dasarnya merupakan penelitian yang bersumber
lapangan yang mana langsung meneliti ditempat kejadian melalui proses
yaitu wawancara. Sumber data tersebut berupa:
19
a. Sumber primer
Sumber primer yaitu sumber asli yang memberi informasi
langsung dalam penelitiaan. Penulis dalam penelitian inni
menggunakan antara lain:
1. Pemilik dari jasa laundry
2. Karyawan dari jasa laundry
3. Konsumen dari jasa laundry
b. Sumber Sekunder
Sumber sekunder adalah sumber yang bersifat membantu
melengkapi dan memperkuat serta memberi penjelasan mengenai
sumber data primer. Antara lain:
1. Daftar harga di KAEY Laundry
2. Daftar produk-produk yang ada di KAEY Laundry
3. Pembukuan yang ada di KAEY Laundry
4. Daftar wawaancara pelaku usaha dan konsumen di KAEY
Laundry
5. Nota untuk konsumen KAEY Laundry
5. Teknik Pengumpulan Data
Secara lebih rinci teknik pengumpulan data yang akan dilakukan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Observasi
Observasi, yakni pengamatan dan pengumpulan data yang
20
mengamati dan memantau serta mengikuti kegiatan-kegiatan,
yang dilakukan para pelaku jasa laundry di Kaey Laundry.
Mencantumkan foto saat terjadinya transaksi pembulatan
timbangan di KAEY Laundry.
b. Wawancara
Wawancara atau interview yaitu pengumpulan data dengan
cara mengadakan wawancara kepada responden yang didasarkan
atas tujuan penelitian yang ada. Di samping memerlukan waktu
yang cukup lama untuk mengumpulkan data, peneliti harus
memikirkan tentang pelaksanaannya.20 Dalam penelitian ini,
wawancara dilakukan langsung baik secara struktural maupun
bebas dengan pihak responden yang terdiri atas pemilik laundry,
karyawan laundry dan juga pendapat konsumen laundry.
c. Dokumentasi
Dokumentasi yaitu teknik pengumpulan data yang tidak
langsung ditujukan pada subyek penelitian, namun melalui
dokumen.21 Penggalian data ini dengan cara mengumpulkan,
meneliti serta mengamati data ataupun dokumen-dokumen yang
ada di Kaey Laundry.
6. Teknik Pengolahan Data
20 Suharsimi Aritmoko, prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998), 117
21
Selanjutnya data yang diperoleh secara langsung dari pihak yang
bersangkutan (studi lapangan) dan bahan pustaka yang akan diolah
dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Editing, yaitu sebelum data diolah (mentah), data tersebut perlu
diedit lebih dahulu dengan perkataan lain, data atau keterangan
yang telah dikumpulkan dalam record book, daftar pertanyaan
ataupun interview quide perlu dibaca sekali lagi, jika disana sini
masih terdapat hal-hal yang salah atau masih meragukan. Kerja
memperbaiki kualitas data serta menghilangkan
keraguan-keraguan data dinamakan mengedit data.22
b. Organizing, yaitu pengaturan dan penyusunan data yang diperoleh
sedemikian rupa sehingga menghasilkan bahan untuk menyusun
laporan skripsi dengan baik.23
c. Penemuan hasil, pada tahap ini penulis menganalisis data-daata
yang telah diperoleh dari penelitian untuk memperoleh kesimpulan
mengenai kebenaran fakta yang ditemukan, yang akhirnya
merupakan sebuah jawaban daari rumusan masalah.24
7. Teknik Analisis Data
Untuk mempermudah penulisan penelitian ini maka penulis
menggunakan teknik sebagai berikut:
22 Muhammad Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), 406.
22
Metode deskriptif analisis, yaitu memaparkan data-data dan
informasi tentang praktek pelaksanaan pembulatan timbangan yang
menyebabkan tarif berlipat, kemudian dianalisis berdasarkan hukum
Islam dan Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen.
Pola pikir yang digunakan adalah deduktif, yaitu metode berpikir
yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk
seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus.
I. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah dalam pembahasan dan penyusunan skripsi ini,
maka sistematika pembahasan dalam penelitian ini dikelempokkan menjadi
lima bab, yang terdiri dari sub bab-sub bab yang masing-masing mempunyai
hubungan dengan yang lain dan merupakan rangkaian yang berkaitan.
Adapun sistematikanya sebagai berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan, yang memuat tentang latar belakang
masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka,
tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode
penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua adalah landasan teori, yang berisikan tentang teori ujrah dan
Undang-Undang No.8 tahun 1999. Dalam hal ini memuat pengertian, dasar
hukum, rukun dan syarat, pemikiran fuqaha tentang ujrah. Serta latar
23
Perlindungan Konsumen, tujuan ditetapkannya Undang-Undang No.8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen, pengertian konsumen, hak dan
kewajiban konsumen, pengertian pelaku usaha, hak dan kewajiban pelaku
usaha, dan definisi laundry.
Bab tiga ini merupakan hasil penelitian yang berisi tentang gambaran
umum Kaey Laundy, sejarah Kaey Laundry. Pelaksanaan usaha jasa laundry,
di Kaey Laundry, produk-produk yang ada di KAEY Laundry, gambaran
pelaku usaha jasa laundry di Kaey Laundry, dan kegiatan usaha yang terkait
dengan pembulatan timbangan.
Bab empat ini menjelaskan analisis hukum Islam dan Undang-Undang
No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen terhadap pembulatan
timbangan yang terjadi di jasa laundry di Kaey Laundry.
Bab lima ini merupakan bab terakhir atau penutup dari keseluruhan isi
24
BAB II
TEORI IJA>RAH DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
A.Pengertian Ija>rah
Al-Ija>rah berasal dari kata “Al-Ajru” yang berarti al-‘iwad}u (ganti). Dari
sebab itu al-Thawa>b (pahala) dinamai Ajru (upah).1
Ija>rah menurut bahasa adalah jual beli manfaat, sedangkan secara syara’
adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.2
Secara istilah syari’at menurut ulama fiqh antara lain disebutkan oleh Al
-Jazairi sewa (Ija>rah) dalam akad terrhadap manfaat untuk masa tertentu juga
dengan harga tertentu.3
Menurut MA. Tihami sebagaimana yang dikutip oleh Sohari Sahrani,
al-ija>rah (sewa-menyewa) ialah akad (perjanjian) yang berkenaan dengan
kemanfaatan (mengambil manfaat sesuatu) tertentu, sehingga sesuatu itu legal
untuk diambil manfaatnya, dengan memberikan pembayaran (sewa) tertentu.4
Al-Ija>rah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam
memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa menyewa, kontrak, atau
menjual jasa perhotelan dan lain-lain.5
1 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 13 dan Terjemahan (Bandung: PT. Al-Maarif, 1987), 7. 2 Ibid., 7.
3 Ismail Nawawi Uha, Fiqh Muamalah (Jakarta: Dwi Putra Pustaka Jaya, 2010), 312.
25
Pada garis besarnya ija>rah terdiri atas dua pengertian, yakni pertama,
Pemberian imbalan karena mengambil manfaat dari suatu ‘ain, seperti: rumah
dan pakaian, kedua: Pemberian imbalan akibat suatu pekerjaan yang dilakukan
oleh seseorang, seperti: seorang pelayan, pengertian pertama mengarah kepada
sewa-menyewa, sedangkan pengertian yang kedua lebih tertuju kepada
upah-mengupah.6
Arti ija>rah secara luas adalah akad yang berisi suatu penukaran manfaat
dengan jalan memberikan imbalan (upah) dalam jumlah tertentu yang sesuai
dengan hasil yang diperoleh. Hal ini sama artinya dengan menjual manfaat
barang apabila dilihat dari segi barangnya dan juga bisa diartikan menjual jasa
apabila dilihat dari segi orangnya.7
Manakala akad sewa menyewa telah berlangsung, penyewa sudah berhak
mengambil manfaat. Dan orang yang menyewakan berhak pula mengambil
upah, karena akad ini adalah mu’a>wadah (penggantian).8
Pengertian ija>rah secara terminologi menurut Amir Syarifuddin dalam
buku Abdul Rahaman Ghazaly ija>rah secara sederhana dapat diartikan dengan
akad atau transaksi manfaat atau jasa dengan imbalan tertentu. Bila yang
menjadi objek transaksi adalah manfaat atau jasa dari suatu benda disebut
ija>rah al-‘Ain, seperti sewa menyewa rumah untuk ditempati. Bila yang
menjadi objek transaksi adalah manfaat atau jasa dari tenaga seseorang
disebut Ija>rah ad-Dhimah atau upah mengupah, seperti upah mengetik skripsi.
26
Sekalipun objeknya berbeda keduanya dalam konteks fiqh disebut al-Ija>rah,
dalam hukum islam upah sering disebut dengan ujrah.9
Menurut ulama Hanafi dan Maliki kewajiban upah berdasarkan pada tiga
perkara yaitu:
1. Mensyaratkan upah untuk dipercepat dalam akad
2. Mempercepat tanpa adanya syarat
3. Membayar kemanfaatan sedikit demi sedikit jika 2 orang akad bersepakat
untuk mengakhirkan upah, hal itu dibolehkan.10
Dari definisi diatas bahwasannya ija>rah dengan objek transaksi dari tenaga
seseorang merupakan transaksi atas suatu sumber daya manusia yang lazim
disebut perburuan (upah kerja).11
Nurimansyah haribuan dalam buku Zainul Asikin mendefinisikan
bahwasannya upah adalah segala macam bentuk penghasilan (earming) yang
diterima buruh (tenaga kerja) baik berupa uang ataupun barang dalam jangka
waktu tertentu pada suatu kegiatan ekonomi.12
Menurut Afzalurrahman Upah atau ujrah adalah harga yang dibayarkan
pekerjaan atas jasanya dalam produksi kekayaan, seperti faktor produksi
lainnya, tenaga kerja diberikan imbalan atas jasanya, dengan kata lain. Upah
merupakan harga dan tenaga yang dibayar atas jasanya dalam produksi.13
9 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalah (Jakarta: Prenada Media Grup, 2010), 277. 10 Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islamiy wa Aqillatuhu (Damaskus: Darul Fikr, 1989), 3811. 11 Ibid., 3811.
27
Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam
bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha/pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja,
kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan termasuk tunjangan bagi
pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan atau akan dilakukan.
(Undang-Undang Tenaga Kerja No.13 Tahun 2000, bab 1, pasal 1, ayat 30).
Definisi ija>rah menurut para fuqaha berbeda-beda pendapatnya
diantaranya:
1. Menurut Hanafiyah dalam Abdul Al-Rahman Al-Jaziri bahwa ija>rah
adalah:
ٌ دْقع
ٌ
ٌدْي ي
ٌ
ٌكْي ْ ت
ٌ
ٌ ةع ْنم
ٌ
ٌ ةم ْعم
ٌ
ٌ د ْ صْقم
ٌ
ٌنم
ٌ
ٌنْيعْلا
ٌ
أتْس ْلا
ٌ
ٌ ج
ٌ
ٌعب
ٌ ٍ ْ
“Akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan
disengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan”.14
2. Menurut Malikiyah dalam Abdul Al-Rahman Al-Jaziri bahwa ija>rah
adalah:
ٌةي ْست
ٌ
ٌدقاعّتلا
ٌ
ى ع
ٌ
ٌةع ْنم
ٌ
ٌ ىمدآا
ٌ
ٌٌ
ٌضْعب
ٌ
ا ْ قْن لا
“Nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan
untuk sebagian yang dapat dipindahkan”.15
3. Menurut Syaikh Syihab Al-Din dan Syaikh Umairah dalam buku Hendi
Suhendi bahwa yang dimaksud ija>rah adalah:
ٌ دْقع
ٌ
ى ع
ٌ
ٌ ةع ْنم
ٌ
ٌ ةم ْ ْعم
ٌ
ٌ د ْ صْقم
ٌ
ٌ ة باق
ٌ
ٌ ْ ْ ل
ٌ
ٌةحابإْا
ٌ
ٌ ٍ عب
ٌ
ٌْض
اًع
28
“Akad atas manfaat yang diketaahui dan disengaja untuk memberi dan
membolehkan dengan imbalan yang diketahui ketika itu”.16
4. Menurut Muhammad Al-Syarbini al-Khatib bahwa yang dimaksud
dengan ija>rah adalah:
ٌكْي ْ ت
ٌ
ٌ ةع ْنم
ٌ
ٌ ٍ عب
ٌ
ٌ ط ْ شب
“Pemilikan manfaat dengan adanya imbalan dan syarat-syarat”.17
5. Menurut Sayyid Sabiq bahwa ija>rah merupakan suatu jenis akad untuk
mengambil manfaat dengan jalan penggantian”.18
6. Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie bahwa ija>rah adalah:
ٌ دْقع
ٌ
ٌةع ْ ض ْ م
ٌ
ٌةلدا لْا
ٌ
ى ع
ٌ
ٌءْيّشلاةع ْنم
ٌ
ٌّد ب
ٌ
ٌ د ْ دْحم
ٌأ
ٌ
ا ْي ْ ت
ٌ
ٌعب
ٌ ٍ
ٌ
ٌي ف
ٌ
ٌغْيب
ٌ
ٌفان لْا
“Akad yang objeknya adalah penukaran manfaat untuk masa tertentu,
yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan menjual
manfaat”.19
7. Menurut Idris Ahmad dalam buku Hendi Suhendi bahwa upah artinya
mengambil manfaat tenaga orang lain dengan jalan memberi ganti
menurut syarat-syarat tertentu.20
B.Dasar Hukum
Adapun yang dijadikan dasar hukum oleh para ulama atas kebolehan
ija>rah, antara lain:
16 Hendi Suhendi, Fiqih muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), 114. 17 Ibid., 115.
18 Sayyid Sabiq, fikih Sunnah 13 dan Terjemahan, 7. 19 Hendi Suhendi, Fiqih muamalah, 115.
29
1. Al-Qur’an
Banyak ayat al-Qur’an dan h}adi>s yang dijadikan argumen oleh para
ulama’ untuk kebolehan ija>rah adapun landasan al-Qur’an diantaranya
sebagai berikut: ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ … ٌ
Artiya: “… Jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka
berikanlah kepada mereka upahnya…”21 (QS. At-Thala>q: 6)
ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌٌٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌٌٌ ٌ ٌ
Artinya: Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku
ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". Berkatalah Dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku Termasuk orang- orang yang baik".22 (QS. Al-Qashash: 26-27).
ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ
30 ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌٌٌ ٌ
Artinya: “… dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu
kerjakan”.23 (QS. Al-Baqarah: 233).
2. As-Sunnah
Hadis riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi bersabda:
ُبَْو اَنَ ثهدَح يَِْشَمِ دَا ِديََِوَْا ُنْب ُساهََِْْا اَنَ ثهدَح
يَِْس ُنْب
َع اَنَ ثهدَح يِمَلهسَا َةهيِطَع ِنْب ِد
ُدِْ
َق َرَمُع ِنْب ِهَا ِدَِْع ْنَع ِهيِبَأ ْنَع َمَلْسَأ ِنْب ِدْيَز ُنْب ِنَْْهرَا
َلا
َ ق َُُرَُْأ َرَُِْْا اوُطْعَأ َمهلَسَو ِهْيَلَع ُهَا ىهلَص ِهَا ُلوُسَر َلاَق
َع هفََِ َُْأ َلِْ
ُهُقَر
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Al Abbas bin Al Walid Ad Dimasyqi berkata, telah menceritakan kepada kami Wahb bin Sa'id bin Athiah As Salami berkata, telah menceritakan kepada kami 'Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari Bapaknya dari Abdullah bin Umar ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Berikanlah upah kepada pekerja sebelum
kering keringatnya.24
Hadis riwayat Abdul Razaq dari Abu Hurairah, bahwa Nabi bersabda:
ِ نم
ِ
ِ جْأتْسا
ِ
اً ْي جأ
ِ
ِهْ ْعيْ ف
ِ
ِ ْجأ
Artinya: Barang siapa yang meminta menjadi buruh (pekerja), maka
beritahukanlah upahnya.25
23 Ibid., 47.
24 Ibnu Majjah, Kitab Ibnu Majjah, Hadist No. 2434, Lidwah Pustaka i-Software-Kitab Sembilan Imam.
31
Hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi
bersabda:
ِهَنا
ِ
َ ص
ِ
ِل
ِ
ِ هْي ع
ِ
ِمَ سو
ِ
ِمجتْح ا
ِ
طْعاو
ِ
ِاَجحْلا
ِ
ِ ْجا
ِ
ِ.
او
ِ
يسلا
ا
Artinya: Berbekamlah kalian dan berikanlah upah bekamnya kepada
tukang bekam tersebut.26
Hadis riwayat Bukhari, bahwa Nabi bersabda:
ا ثَدح
ِ
ِدَ حم
ِ
ِنْب
ِ
ِ ءَعْلا
ِ
ِثَدح
اِ
وبأ
ِ
ِةماسأ
ِ
ِْنع
ِ
ِ دْي ب
ِ
ِ نْب
ِ
ِ دْ ع
ِ
ِ َّا
ِ
ِْنع
ِِأ
ي ب
ِ
ِ ْ ب
ِ
ِْنع
ِ
ي بأ
ِ
سوم
ِ
ِي ض
ِ
َِّا
ِ
ِهْ ع
ِ
ِْنع
ِ
ِ ي َ لا
ِ
َ ص
ِ
َِّا
ِ
ِ هْي ع
ِ
ِسو
ِمَِ
ِلاق
ِ
ِ ا ْلا
ِ
ِني م ْْا
ِ
َلا
ِ
ِق فْ ي
ِ
ا َب و
ِ
ِلاق
ِ
َلا
ِ
ي طْعي
ِ
ام
ِ
ِ مأ
ِ
ِ ه ب
ِ
ًَِ ماك
ِ
اً َفوم
ِ
اً يط
ِ
ِهسْفن
ِ
ل إ
ِ
َلا
ِ
ِ مأ
ِ
ِ ه ب
ِ
ِدحأ
ِ
ِ نْيق دصت ْلا
Artinya: Dari Abu Musa Asy’ari dari Nabi SAW, beliau bersabda’, kasir
(juru uang) yang jujur, yang melakukan pekerjaannya dengan
senang hati, termasuk salah seorang yang bersedekah.27
C.Rukun Ija>rah
Menurut Hanafiyah rukun al-ija>rah hanya satu yaitu ijab dan qabul dari
dua belah pihak yang bertransaksi. Adapun menurut jumhur ulama rukun
ija>rah ada empat (4)28, yaitu:
1. Mu’jir dan Musta’jir, yaitu orang melakukan akad sewa-menyewa dan
upah mengupah. Adapun mu’jir adalah orang yang menerima upah dan
yang menyewakan, adapun musta’jir adalah orang yang menerima upah
untuk melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu.29 Dalam bahasa
26 Imam Bukhari, Matan Bukhari Juz II Bab Ijarah (Beirut: Maktabah wa Mathba’ah), 36. 27 Bukhari, Kitab Bukhari, Hadist No. 2151, Lidwah Pustaka i-Software-Kitab Sembilan Imam. 28 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalah (Jakarta: Prenada Media Grup, 2010), 278.
32
indonesia mu’jir adalah orang yang memberikan jasa (pelaku usaha)
sedangkan muata’jir adalah penikmat jasa (konsumen).
2. As-si>gha (ija>b dan qabu>l) antara mu’jir dan musta’jir, ijab qabul sewa
menyewa dan upah-mengupah.30
3. Ujrah (upah) disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak,
baik dalam sewa-menyewa maupun dalam upah mengupah.31
4. Ma’qu>d bih dalam bahasa Indonesia disebut dengan Barang yang
disewakan atau sesuatu yang dikerjakan dalam upah-mengupah.32
D.Syarat Ija>rah
Syarat ija>rah terdiri dari empat macam, sebagaimana syarat dalam
jual-beli, yaitu syarat al-inqad (terjadinya akad), syarat an-nafadz (syarat
pelaksanaan akad), syarat sah, syarat lazim.
1. Syarat Terjadinya Akad
Untuk kedua belah pihak yang melakukan akad disyaratkan
berkemampuan, yaitu kedua-duanya berakal dan dapat membedakan. Jika
salah seorang yang berakad itu gila atau anak kecil yang belum dapat
membedakan, maka akad menjadi tidak sah.33
Menurut ulama Mazhab Syafi’i dan Hanbali, disyaratkan telah balig
dan berakal. Oleh sebab itu apabila orang yang belum atau tidak berakal,
30 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 113. 31 Ibid., 118.
33
seperti anak kecil dan orang gila, menyewakan harta mereka atau diri
mereka (sebagai buruh), maka ijarahnya tidak sah.34
Menurut ulama Hanafi, ‘a>qid (orang yaang melakukan akad)
disyaratkan harus berakal dan mumayyiz (minimal 7 tahun), serta tidak
disyaratkan harus balig. Ulama Maliki berpendapat bahwa tamyiz adalah
syarat ija>rah dan jual-beli, sedangkan balig adalah syarat penyerahan.35
2. Syarat Pelaksanaan (an-nafadh)
Agar ija>rah terlaksana, barang harus dimiliki oleh ‘aqid atau ia
memiliki kekuasaan penuh untuk akad (ahliah). Dengan demikian ija>rah
al-fud}ul (ijarah yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kekuasaan
atau tidak diizinkan oleh pemiliknya) tidak dapat menjadikan adanya
ija>rah.36
3. Syarat Sah Ija>rah
Keabsahan ija>rah sangat berkaitan dengan ‘a>qid (orang yang akad), dan
ma’qud alaih (barang yang menjadi objek akad), ujrah (upah), dan zat akad
(nafs al-‘aqad), yaitu:
a. Adanya keridaaan dari kedua belah pihak yang akad
Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya untuk
melakukan akad al-ija>rah. Apabila salah seorang diantaranya terpaksa
34 Abdul Azizs Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam jilid 2 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), 661
34
melakukan akad itu, maka akadnya tidak sah. Syarat ini didasarkan
kepada firman Allah dalam surat an-Nisa>’ (4) ayat 29 yang berbunyi37:
ٌ
ٌ
ٌ
ٌ
ٌ
ٌ
ٌ
ٌ
ٌ
ٌ
ٌ
ٌ
ٌ
ٌ
ٌ
ٌ
ٌ
ٌ
ٌ
ٌ
ٌ
ٌ
ٌ
ٌ
ٌ
ٌArtinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Ulama Hanafi berpendapat bahwa adanya uzur juga bisa
membatalkan ija>rah sebab manfaat akan hilang apabila adanya uzur.
Uzur yang dimaksud disini adalah sesuatu yang baru yang
menyebabkan kemudaratan bagi yang berakad.
Menurut ulama Syafi’i jika tidak ada uzur, tetapi masih
memungkinkan untuk diganti dengan barang yang lain, ijarah tidak
batal, tetapi diganti dengan yang lain. Ija>rah dapat dikatakan batal jika
kemanfaatannya betul-betul hilang, seperti hancurnya rumah yang
disewakan.38 Uzur ada tiga macam, yaitu:
1. Uzur dari pihak penyewa, seperti berpindah-pindah dalam
mempekerjakan sesuatu sehingga tidak menghasilkan sesuatu atau
pekerjaan menjadi sia-sia.
35
2. Uzur dari pihak yang disewa, seperti barang yang disewakan harus
dijual untuk menbayar utang dan tidak ada jalan lain, kecuali
menjualnya.
3. Uzur pada barang yang disewa, seperti menyewa kamar mandi,
tetapi menyebabkan penduduk dan semua penyewa harus pindah.39
b. Ma’qu>d ‘Alaih bermanfaat dengan jelas
Adanya kejelasan pada barang menghilangkan pertentangan
diantara ‘aqid. Cara untuk mengetahui keadaan barang adalah dengan
menjelaskan manfaatnya, pembatasan waktu, atau menjelaskan jenis
pekerjaan jika ija>rah atas pekerjaan atau jasa seseorang.
1) Penjelasan Manfaat
Manfaat yang menjadi objek ija>rah harus di ketahui secara
sempurna sehingga tidak muncul perselisihan dikemudian hari.
Apabila manfaat yang akan menjadi objek ija>rah tersebut tidak
jelas, maka akadnya tidak sah. Kejelasan manfaat itu dapat
dilakukan dengan menjelaskan jenis manfaatnya, dan penjelasan
berapa lama manfaat ditangan penyewa.40
2) Penjelasan Waktu
Jumhur ulama tidak memberikan batasan waktu maksimal
ataupun minimal. Jadi, dibolehkan selamanya dengan syarat
39 Ibid., 130.
36
asalnya masih tetap ada sebab tidak ada dalil yang mengharuskan
untuk membatasinya.41
Ulama Hanafi dan Syafi’i memiliki pendapat yang berbeda
diantara keduanya. Ulama Hanafi tidak mensyaratkan untuk
penetapan awal waktu akad, sedangkan menurut ulama Syafi’i
mensyaratkannya sebab bila tak dibatasi hal itu dapat
menyebabkan ketidaktahuan waktu yang wajib dipenuhi.42
3) Penjelasan Jenis Pekerjaan
Penjelasan tentang jenis pekerjaan sangat penting dan
diperlukan ketika menyewa orang untuk bekerja sehingga tidak
terjadi kesalahan atau pertentangan.43
c. Kemanfaatan benda dibolehkan menurut syara’
Pemanfaatan barang harus digunakan untuk perkara-perkara yang
dibolehkan syara’, seperti menyewakan rumah untuk ditempati atau
menyewakan jaring untuk memburu, dll.44
4. Syarat Barang Sewaan (Ma’qu>d Alaih)
a. Objek ija>rah juga termasuk syarat yang perlu diperhatikan dalam akad
ija>rah. Objek yang digunakan bisa diserahkan dan dipergunakan secara
langsung dan tidak bercacat. Ulama fikih sepakat menyatakan bahwa
tidak boleh menyewakan sesuatu yang tidak bisa diserahkan dan
41Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, 127. 42 Ibid., 127.
43 Ibid., 127
37
dimanfaatkan langsung oleh penyewa.45 Jika barang yang disewakan
cacat maka penyewa boleh memilih antara meneruskan dengan
membayar penuh atau pun membatalkannya.
b. Hendaklah barang yang menjadi obyek transaksi (akad) dapat
dimanfaatkan kegunaannya menurut kriteria, realita, dan syara’.46
Menurut pendapat Abu Hanifah dan sekelompok ulama berpendapat
bahwa menyewakan barang yang tidak dapat dibagi tanpa dalam
keadaan lengkap, hukumnya tidak boleh, sebab manfaat kegunaannya
tidak dapat ditentukan.47 Tidak hanya seperti yang disebutkan diatas,
objek ija>rah juga harus sesuatu yang dihalalkan oleh syara’. Menurut
ulama fikih jika barang yang disewakan digunakan untuk kegiatan
yang dilarang maka kegiatan tersebut termasuk maksiat.
c. Objek ija>rah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan, seperti
rumah, mobil, dan hewan tunggangan.48
5. Syarat Ujrah (upah)
a. Upah atau sewa dalam akad ija>rah harus jelas, tertentu dan sesuatu
yang bernilai harta.49
b. Beberapa ulama telah menetapkan syarat upah yaitu berupa haart tetap
yang dapat diketahui dan juga tidak boleh sejenis dengan barang
45 Abdul Azizs Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam jilid 2, 661 46 Sayyid Sabiq, fikih Sunnah 13 dan Terjemahan, 12. 47 Ibid., 12
38
manfaat dari ija>rah, seperti upah menyewa rumah untuk ditempati
dengan menempati rumah tersebut.50
c. Ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa upah/sewa itu tidak sejenis
dengan manfaat yang disewa.51
E. Sifat Ija>rah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa ija>rah adalah akad yang lazim yang
didasarkan pada firman Allah Swt:
ف ا
ٌ
ا
ٌ
دقعلاب
yang artinya bolehdibatalkan. Pembatalan tersebut dikaitkan pada asalnya, bukan didasarkan
pada pemenuhan akad.52 Pembatalan bisa terjadi karena sebelumnya keadaan
barang yang diakadkan sudah tidak memenuhi syarat-syarat ija>rah yang sudah
ditentukan.
Sebaliknya, jumhur ulama berpendapat bahwa ija>rah adalah akad lazim
yang tidak dapat dibatalkan, kecuali dengan adanya sesuatu yang merusak
pemenuhannya, seperti hilangnya manfaat. Jumhur ulama pun mendasarkan
pendapatnya pada ayat al-Qur’an di atas.53
Berdasarkan dua pandangan tersebut, menurut ulama Hanafiyah, ija>rah
bisa dikatakan batal jika salah seorang yang berakad meninggal dan tidak
dapat dialihkan kepada ahli waris. Sedangkan menurut jumhur ulama, ija>rah
tidak batal, tetapi berpindah kepada ahli warisnya.
50Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, 129.
51 Abdul Azizs Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam jilid 2, 662. 52Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, 130.
39
F. Hukum Ija>rah
Menurut Rahmat Syafe’i hukum ija>rah ada yang hukum ija>rah sahi>h dan
hukum ija>rah rusak. Hukum ija>rah yang sahi>h adalah tetapnya kemanfaatan
bagi penyewa, dan tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan
ma’qud ‘alaih, sebab ija>rah adalah jual beli pertukaran, hanya saja dengan
kemanfaatan. Ij>rah berbeda dengan jual beli, jika jual beli mendapatkan barang
maka di ija>rah mendapatkan manfaat. Dan jika di jual beli mendapatkan
keuntungan maka di ija>rah mendapatkan upah sebagai imbalan dalam
pekerjaannya.
Adapun hukum yang fasid (rusak) menurut ulama Hanafiyah, jika
penyewa telah mendapat manfaat tetapi orang yang menyewakan atau yang
bekerja dibayar lebih kecil dari kesepakatan pada waktu akad. Ini bila
kerusakan terjadi pada syarat. Akan tetapi, jika kerusakan disebabkan
penyewa tidak memberitahukan jenis pekerjaan perjanjiannya, upah harus
diberikan semestinya.54
Jafar dan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa ija>rah yang fasid sama
dengan jual beli fasid, yakni harus dibayar sesuai dengan nilai atau ukuran
yang dicapai oleh barang sewaan.55
G.Jenis-jenis Ija>rah
Ija>rah ada dua jenis, yaitu ija>rah atas manfaat, dan ija>rah atas pekerjaan.56
40
1. Ija>rah atas manfaat
Yaitu ija>rah yang objek akadnya (ma’qud ‘alaih) adalah manfaat,
seperti rumah, warun