DALAM PUTUSAN NOMOR 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda TENTANG
HARTA BERSAMA DI PENGADILAN AGAMA SIDOARJO
SKRIPSI
Oleh Nur Aini Hidayati
NIM. C01212044
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah Dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga Islam
Surabaya
i
ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan
yang berjudul “Analisis
Yuridis Terhadap Gugatan
Obscuur Libel dalam Putusan Nomor
0201/Pdt.G/2014/PA.Sda tentang Harta Bersama di Pengadilan Agama
Sidoarjo”.
Rumusan masalah adalah: bagaimana pertimbangan hukum yang
dipakai
oleh
Majelis
Hakim
dalam
memutus
perkara
Nomor
0201/Pdt.G/2014/PA.Sda tentang harta bersama di Pengadilan Agama Sidoarjo
dan bagaimana kesesuaian pertimbangan hukum yang dipakai oleh Majelis
Hakim dalam memutus perkara Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda dengan Hukum
Acara Peradilan Agama.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, data yang digunakan adalah isi
putusan Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda meliputi identitas para pihak, posita,
petitum, pertimbangan hukum, dasar hukum dan amar putusan. Sumber data
meliputi sumber primer yakni dokumen putusan Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda
dan sumber sekunder berupa buku-buku yang terkait dengan pembahassan.
Teknik penggumpulan data dilakukan melalui pembacaan dan kajian teks (text
reading) dan selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif analisis dan
menggunakan pola pikir deduktif yaitu dengan menggunakan teori-teori bersifat
umum tentang putusan harta bersama dalam Hukum Acara Peradilan Agama
yang digunakan untuk menganalisi putusan Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pertimbangan hukum yang
digunakan oleh Majelis Hakim dalam memutus perkara Nomor
0201/Pdt.G/2014/PA>Sda adalah mengenai alamat Tergugat yang dinilai Majelis
Hakim kabur (obscuur libel). Padahal didapati relaas panggilan yang pertama
telah sampai ke Tergugat dan pada persidangan pertama Tergugat hadir dalam
persidangan. Namun pada panggilan selanjutnya yang disampaikan oleh jurusita,
relaas panggilan tidak sampai kepada Tergugat dikarenakan Tergugat sudah
tidak ada di alamat sebagaimana yang tercantum dalam surat gugatan. Hal ini
yang menjadi pertimbangan hukum yang digunakan Hakim dalam memutus
gugatan
Niet Ontvankelijike Verklaard. Padahal jika dilihat dalam Pasal 390
dikatakan bahwa jika Penggugat tidak diketahui alamat keberadaannya maka
jurusita harus menyampaikan panggilan ke Bupati dan mengumumkan di papan
pengumuman Pengadilan Agama dan kemudian persidangan tersebut dilanjutkan
dengan pemeriksaan acara biasa atau contradictoir. Namun jika melihat petitum
dan objek gugatan yang mana petitum hanya berisi tuntutan
ax aequo et bono
dan objek sengketa tidak menyebutkan secara rinci letak atau alamat objek
sengketa dan salah dalam menyebutkan batas-batas dari objek sengketa, sehingga
menjadikan gugatan Penggugat
obscuur libel. Seharusnya dalam memutus
gugatan Penggugat tidak dapat diterima Hakim menggunakan pertimbangan
hukum petitum dan objek sengketa yang kabur atau obscuur libel, bukan karena
alamat Tergugat.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... ...
i
PERNYATAAN KEASLIAN ...
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ...
v
KATA PENGANTAR ... vi
PERSEMBAHAN ... viii
MOTTO ...
x
DAFTAR ISI... ... xi
DAFTAR TRANSLITERASI ... xiv
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang ... 1
B.
Identifikasi dan Batasan Masalah... 11
C.
Rumusan Masalah ... 12
D.
Kajian Pustaka ... 12
E.
Tujuan Penelitian ... 15
F.
Kegunaan Hasil Penelitian ... 16
G.
Definisi Operasional... 16
BAB II GUGATAN
OBSCUUR LIBEL
DAN ALASANNYA DALAM
HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA DI INDONESIA
A.
Harta Bersama ... 23
1.
Pengertian dan Dasar Hukum Harta Bersama ... 23
2.
Macam-macam Harta Bersama ... 26
3.
Pembagian Harta Bersama ... 27
B.
Gugatan dan Formulasinya ... 29
1.
Pengertian Gugatan ... 29
2.
Bentuk Gugatan ... 31
3.
Macam-macam Gugatan dalam Amar Putusan ... 32
4.
Prinsip-prinsip Gugatan ... 34
5.
Syarat-syarat Gugatan ... 36
6.
Formulasi Gugatan ... 39
C.
Gugatan
Obscuur Libel
... 43
1.
Pengertian Gugatan
Obscuur Libel
... 43
2.
Macam-macam Gugatan
Obscuur Libel
... 44
BAB III ALASAN GUGATAN
OBSCUUR LIBEL
DALAM PUTUSAN
PENGADILAN AGAMA SIDOARJONOMOR O2O1/Pdt.G/2014/PA.Sby
TENTANMG HARTA BERSAMA
A.
Profil Pengadilan Agama Sidoarjo ... 48
BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP GUGATAN
OBSCUUR LIBEL
DALAM PERKARA NOMOR 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda TENTANG HARTA
BERSAMA DI PENGADILAN AGAMA SIDOARJO
A.
Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo dalam
Memutus Perkara Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda Tentang Harta
Bersama di Pengadilan Agama Sidoarjo ... 58
B.
Analisis Yuridis Terhadap Kesesuaian Pertimbangan Hukum yang
Digunakan Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo dalam Memutus Obscuur
Libel Perkara Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda dengan Hukum Acara
Peradilan Agama ... 63
BAB IV PENUTUP
A.
Kesimpulan ... 72
B.
Saran ... 73
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah Negara hukum1 oleh karena itu segala sesuatu tindakan
penyelenggara Negara harus berdasarkan hukum. Peran hukum dalam
kehidupan bermasyarakat sangatlah penting, karena dalam pergaulan
masyarakat terdapat aneka macam hubungan antara masyarakat, yakni
hubungan yang ditimbulkan oleh kepentingan-kepentingan anggota
masyarakat, disinilah peran hukum sebagai penjamin kelangsungan
keseimbangan dalam hubungan antar anggota masyarakat tersebut. Setiap
pelanggar peraturan hukum yang ada akan dikenakan sanksi yang berupa
hukuman sebagai reaksi terhadap perbuatan yang melanggar hukum yang
dilakukannya.2 Untuk itu diperlukan suatu lembaga yang mempunyai
kewenangan untuk menjalankan dan menegakkan hukum yang belaku dan
mengikat bagi setiap subjek hukum. Hal ini diperlukan untuk mencegah
terjadinya tindakan main hakim sendiri (
eigenrichting
).3Di Indonesia lembaga yang mempunyai kewenangan tersebut adalah
Pengadilan. Pengadilan merupakan penyelenggara Peradilan atau organisasi
yang menyelenggarakan hukum dan keadilan sebagai pelaksana dari
kekuasaan kehakiman. Sebagai cerminan dari kekuasaan kehakiman, itu
1Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
2C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 40.
3Bambang Sugeng dan Sujayadi, Hukum Acara Perdat dan Dokumen Litigasi Perkara Perdata, (Surabaya: Kencana, 2009), 1.
dilihat sejak diundangkan dan diberlakukan Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 sampai berlakunya Undang Undang Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 2004, disebutkan bahwa: “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasan
Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terlaksananya Negara
Hukum Republik Indonesia.”4
Penyelenggara kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan-badan
Peradilan yang ditetapkan dengan Undang-Undang. Peradilan adalah
kekuasaan Negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan
menyelesaikan masalah untuk menegakkan hukum dan keadilan. Adapun
yang dimaksud dengan kekuasaan Negara adalah kekuasaan kehakiman yang
memiliki kebebasan dari campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan
bebas dari paksaan, direktifa atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra
yuidisial, kecuali dalam hal-hal yang diizinkan oleh undang-undang.5 Sejalan
dengan tugas pokok tersebut, maka Pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak atau kurang jelas. Hal ini berarti Pengadilan wajib untuk
memeriksa dan mengadili suatu perkara tersebut.6
Dalam ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa penyelenggaraan kekuasaan
4A. Rahmat Rosyid dan Sri Hatini, Advokat dalam Prespektif Islam dan Hukum Positif, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), 57.
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan
Peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Adapun badan Peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung meliputi
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata
Usaha Negara.7
Dalam Bab III Pasal 49 sampai dengan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dijelaskan tentang kewenangan dan
kekuasaan mengadili yang menjadi beban tugas Peradilan Agama. Dalam
Pasal 49 ditentukan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara-perkarta di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan,
kewarisan, wasiat, hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, serta
wakaf dan sedekah.8
Dalam menjalankan tugas Peradilan terdapat tiga tahap tindakan. Yaitu
tahap pendahuluan, tahap penentuan dal tahap pelaksanaan. Tahap
pendahuluan merupakan persiapan menuju kepada penentuan atau
pelaksanaan. Dalam tahap penentuan diadakan pemeriksaan peristiwa dan
pembuktian sekaligus sampai pada putusannya. Sedang dalam tahap
pelaksanaan diadakan pelaksanaan dari pada putusan.9
7M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syari’ah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), 2.
8Abdul Manan,Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2005), 12-13.
Sengketa perkawinan merupakan salah satu kewenangan absolut yang
dimiliki oleh Pengadilan Agama. Perkawinan sendiri merupakan suatu
perbuatan hukum yang meimbulkan hak dan kewajiban kepada para pihak
yang mengikatkan diri pada perkawinan tersebut. Hak dan kewajiban tersebut
harus dipenuhi oleh pasangan suami istri yang terikat dalam perkawinan.
Akibat hukum yang ditimbulkan oleh perkawinan tidak hanya sebatas dalam
hal hubungan kekeluargaan, terlebih dari itu juga dalam bidang harta
kekayaanya.10
Harta yang dapat disengketakan ketika terjadi percaraian adalah harta
yang diperoleh selama perkawinan (harta bersama) saja, sedangkan harta
bawaan tidak dapat disengketakan atau dibagi dan tetap berada di bawah
kekuasaan masing-masing pihak. Pembagian harta bersama dapat dilakukan
dengan musyawarah kekeluargaan atau atas dasar kesepakatan antara kedua
belah pihak. Tidak jarang cara kekeluargaan tersebut tidak berhasil
menyelesaikan permasalahan pembagian harta bersama dikarenakan adanya
pihak yang merasa diragukan, sehingga seringkai terjadi sengketa atas
pembagian harta bersama tersebut. Pengajuan gugatan atas harta bersama
bisa dilakukan dilakukan di Pengadilan Agama.11
Agar Hakim Pengadilan Agama dapat mempertimbangkan dan
mengabulkan gugatan Penggugat, maka Penggugat harus mencantumkan
permohonan dalam
petitum
gugatannya yang diajukan ke Pengadilan.10J. Andy Hartanto,Hukum Harta Kekayaan Perkawinan, (Yogyakarta: Laksbang Grafika, 2012), 1.
Pengajuan gugatan hak pada dasarnya adalah merupakan salah satu upaya
mendapatkan jaminan kepastian hukum atas hak perdata materiil.12 Tiap
orang yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang
dianggap merugikan lewat Pengadilan.13 Pengajuan gugatan bisa secara tulis
ataupun secara lisan. Gugatan lisan dibenarkan kepada mereka yang buta
huruf. Namun dalam perkembangannya, praktek Peradilan sekarang tidak
lazim lagi ditemukan pengajuan gugatan secara lisan.14
Dalam tata hukum Indonesia, kata gugatan atau permohonan hanya
dipakai dalam kaitan Acara Perdata.15 Perbedaan antara gugatan dan
permohonan adalah bahwa dalam perkara gugatan ada suatu sengketa atau
konflik yang harus diselesaikan dan diputus oleh Pengadilan. Sedangkan yang
disebut permohonan tidak ada sengketa, misalnya apabila segenap ahli waris
almarhum secara bersama-sama menghadap ke Pengadilan untuk mendapat
suatu penetapan perihal bagian masing-masing dari warisan almarhum.16
Cara pengajuan gugatan diatur dalam Pasal 118 H.I.R, akan tetapi pasal
118 H.I.R tidak mengatur hal-hal apa saja yang harus dimuat dalam surat
gugatan.17 Namun mengenai persyaratan tentang isi daripada gugatan kita
dapat melihat dalam Pasal 8 ayat (3) Rv yang mengharuskan adanya pokok
12Edi As’Adi, Hukum Acara Perdata dalam Prespektif Mediasi (ADR) di Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), 9.
13R, Soeroso, Tata Cara dan Proses Persidangan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 26.
14Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004), 25.
15Roihan A. Rasyid,Hukum Acara Peradilan Agama,(Jakarta: PT Raja Grafindo, 1994), 63. 16Retnowulan Sutanto, Iskandar Oeripkartawinata,Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek,(Bandung: Mandar Maju, 1997), 10.
gugatan yang meliputi:18 “(a) Identitas dari para pihak; (b) Dalil-dalil konkret
tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan
dari tuntutan. Dalil-dalil ini lebih dikenal dengan istilah
fundamentium petebdi
; (c) Tuntutan atau ini harus jelas dan tegas. H.I.Rdan R.Bg sendiri hanya mengatur mengenai cara mengajukan gugatan.”
Formulasi gugatan yang disusun dan diajukan penggugat merupakan dasar
serta acauan dalam pemeriksaan perkara tersebut di Pengadilan. Apabila
gugatan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat formil sebuah gugatan, maka
akibat hukumnya adalah gugatan tersebut akan dinyatakan tidak dapat
diterima (
Neit Ont Van Kelijk Ver Klaard
) yang disingkat NO. Dengandemikian, surat gugatan yang diajukan ke Pengadilan harus disusun dan
dirumuskan secara sistematis.19
Jika ada ketidakjelasan dari gugatan yang diajukan, maka Pengadilan
berhak untuk tidak menerima gugatan tersebut. Karena gugatan dianggap
kabur (
obscuur libel
) sehingga perkara tidak dapat diterima dan harusmembuat gugatan baru jika ingin perkara tersebut diperiksa di Pengadilan.20
Yang dimaksud
obscuur libel
adalah surat gugatan Penggugat yang tidakjelas. Sebab kejelasan suatu surat gugatan merupakan syarat formil dari
sebuah gugatan. Ada beberapa alasan atau pertimbangan Hakim dalam
menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima, salah satunya adalah
18Sophar Maru Hutangalung,Praktik Peradilan Perdata Teknis Mengenai Perkara di Pengadilan, (Jakrta: Sinar Grafika, 2011), 17
dengan alasan
obscuur libel
, misalnya menyangkut batas-batas objeksengketa yang tidak jelas. Hakim memegang peranan penting dalam menilai
dan mempertimbangkan formalitas sebuah gugatan, yakni apakah telah
memenuhi syarat formil berdasarkan Pasal 8 Rv atau tidak. Setiap pihak yang
ingin mengajukan gugatan haruslah mempunyai kepentingan hukum yang
cukup.21
Patokan perkara
obscuur libel
adalah:22“
(a)Fundamentum Petendi
tidakmenjelaskan dasar gugatan; (b) Tidak jelas objek yang disengketakan; (c)
Penggabungan perkara yang tidak jelas; (d) Bertentangan antara posita dan
petitum; (e) Petitum tidak terinci.”
Untuk mengatasi adanya kekurangan-kekurangan yang dihadapi oleh para
pencari keadilan dalam memperjuangkan kepentingannya, Pasal 119 HIR
atau Pasal 143 RBg memberi wewenang kepada Ketua Pengadilan untuk
memberi nasehat dan bantuan kepada pihak Penggugat dalam pengajuan
gugatannya. Dengan demikian hendak dicegah pengajuan gugatan-gugatan
yang cacat formil atau gugatan yang tidak sempurna, yang akan dinyatakan
tidak dapat diterima.23 Namun pada prakteknya masih ada atau sering perkara
yang berakhir dengan
dictum
putusan yang menyatakan gugatan Penggugattidak dapat diterima.
21Sudikmo Mertokusumo, Hukum Acara…, 53.
22Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), 88-89.
Sebelum memasuki pemeriksaan perkara di persidangan maka para pihak
yang berperkara harus dipanggil terlebih dahulu. Panggilan menurut Hukum
Acara Perdata ialah menyampaikan secara resmi
(official)
dan patut(properly)
kepada pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara diPengadilan, agar memenuhi dan melaksanakan hal-hal yang diminta dan
diperintahkan majelis hakim atau pengadilan. Meurut pasal 388 dan pasal 390
ayat (1) HIR, yang berfungsi melakukan panggilan adalah jurusita. Hanya
yang dilakukan jurusita panggilan dianggap resmi dan sah. Kewenangan
jurusita ini berdasarkan pasal 121 ayat (1) HIR diperolehnya lewat perintah
ketua (Majelis Hakim) yang dituangkan pada penetapan hari sidang atau
penetapan pemberitahuan,24
Pemanggilan terhadap tergugat harus dilakukan secara patut. Setelah
melakukan panggilan, jurusita harus menyerahkan risalah (relaas) panggilan
kepada Hakim yang akan memeriksa perkara tersebut yang merupakan bukti
bahwa tergugat telah dipanggil. Oleh karena itu, sah tidaknya pemanggilan
dan pemberitahuan yang dilakukan oleh pihak pengadilan sangat menentukan
baik atau buruknya proses pemeriksaan persidangan di pengadilan.25
Perkara ini diawali dengan gugatan harta bersama yang diajukan oleh
Pemohon tanggal 20 Januari 2014 di Pengadilan Agama Sidoarjo. Pada saat
hari sidang yang telah ditentukan atau persidangan pertama Penggugat dan
Tergugat hadir dan Majelis Hakim telah berusaha mendamaikan kedua belah
pihak namun tidak berhasil. Kemudian Penggugat dan Tergugat juga telah
menjalankan mediasi akan tetapi hasil dari mediasi antara para pihak tidak
berhasil atau telah gagal mencapai kesepakatan. Pada saat persidangan kedua
dan selanjutnya Tergugat tidak pernah datang menghadap, dan menurut
relaas panggilan yang disampaikan oleh juru sita Pengadilan Agama Sidoarjo,
Tergugat sudah tidak tinggal di alamat sebagaimana alamat Tergugat di
dalam surat gugatan Penggugat, bahkan Majelis Hakim telah memerintahkan
kepada Penggugat untuk mencari alamat Tergugat, akan tetapi Penggugat
masih tetap memberikan alamat sebagaimana alamat Tergugat yang ada di
dalam surat gugatan.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, maka gugatan
Penggugat dikatakan tidak jelas (
obscuur libel
), oleh karenanya MajelisHakim menyatakan bahwa gugatan harta bersama yang diajukan oleh
Penggugat tidak dapat diterima (di NO =
Nit Onvankeljke Verklaard
).Dari pemaparan diatas penulis tertarik untuk meneliti dan mengkaji lebih
lanjut mengenai bagaimana prosedur Hakim dalam menetapkan
obscuur libel
sebagaimana yang telah diputus oleh pihak Pengadilan Agama Sidoarjo
terhadap putusan perkara 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda dan disamping itu penulis
ingin mengetahui bagaimana kesesuaian pertimbangan hukum dan dasar
hukum yang digunakan Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo dengan Hukum
Acara Peradilan Agama. Sehingga penulis bermaksud mengadakan penelitian
Disini penulis mengangkat masalah
obscuur libel
dari sudut pandang yangberbeda dengan Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo. Hakim Pengadilan
Agama Sidoarjo menganggap bahwa gugatan Penggugat
obscuur libel
dikarenakan alamat Tergugat tidak jelas atau kabur, sedangkan ketika dilihat
dalam fakta persidangan Tergugat hadir dalam persidangan pertama sehingga
dapat dikatakan bahwa Tergugat telah dipanggil secara sah dan patut dengan
relaas panggilan yang disampaikan oeleh jusu sita. Maka dapat disimpulkan
bahwa alamat Tergugat jelas atau tidak kabur.
Kalaupun relaas terebut tidak samapai kepada Tergugat sejak panggilan
pertama dan Kepala Desa menerangkan bahwa Tergugat sudah tidak
bertempat tinggal sebagaimana dalam alamat surat gugatan maka Juru Sita
seharusnya menyampaikan surat panggilan kepada Bupati dan selanjutnya
menempelkannya pada papan pengumuman Pengadilan Agama agar Tergugat
tahu bahwa dia merupakan pihak yang berperkara dalam perkara tersebut. Hal
tersebut sesuai dengan Pasal 390 ayat (3) HIR atau Pasal 718 ayat (3) RBg.
Disini penulis berpendapat lain bahwa
obscuur libel
dalam gugatanNomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda terletak pada objek sengketa dan petitum.
Objek sengketa harus rinci baik alamat atau letak objek, luas objek, serta
batas-batas objek sengketa. Sedangkan dalam merumuskan petitum gugatan
harus secara jelas dan tegas apa yang dimintakan kepada Hakim. Dalam
jelas, dan petitumnya hanya berbentuk
ex-aequo et beno
(mohon keadilan)saja sehingga tidak memenuhi syarat formil suatu gugatan.
Dari pemaparan tersebut diatas penulis membahas masalah tersebut
dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap Gugatan
Obscuur Libel
DalamPutusan Nomor 0201/Pdt.G/2014/Pa.Sda Tentang Harta Bersama Di
Pengadilan Agama Sidoarjo”.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Sesuai dengan paparan latar belakang masalah di atas dapat diketahui
timbulnya beberapa masalah yang berhubungan dengan
obscuur libel
dalamperkara Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda tentang harta bersama di
Pengadilan Agama Sidoarjo sebagai berikut:
1. Syarat-syarat bentuk dan formulasi gugatan.
2. Syarat-syarat gugatan
obscuur libel
.3. Gugatan tidak dapat diterima.
4. Hukum Acara Peradilan Agama.
5. Pertimbangan hukum putusan Pengadilan Agama Sidoarjo menyatakan
obscuur libel
gugatan 0201/Pdt.G/’2014/PA.Sda tentang harta bersama.6. Dasar hukum putusan Pengadilan Agama Sidoarjo menyatakan
obscuur
libel
putusan 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda tentang harta bersama.7. Kesesuaian putusan Pengadilan Agama Sidaorjo perkara Nomor
0201/Pdt.G/2014/PA.Sda yang menggunakan pertimbangan hukum dan
Dari identifikasi masalah tersebut peneliti membatasi masalah yaitu:
1. Pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim dalam memutus
perkara Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda tentang harta bersama di
Pengadilan Agama Sidaorjo.
2. Kesesuaian pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim
dalam memutus perkara Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda dengan Hukum
Acara Peradilan Agama.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah, maka dapat ditarik
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim
dalam memutus perkara Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda tentang harta
bersama di Pengadilan Agama Sidaorjo?
2. Bgaimana kesesuaian pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis
Hakim dalam memutus perkara Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda dengan
Hukum Acara Peradilan Agama?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka pada penelitian ini pada dasarnya untuk memperoleh
gambaran mengenai permasalahan yang akan diteliti dengan penelitian
sejenis yang pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya sehingga diharapkan
tidak ada pengulangan penelitian secara mutlak. Sepanjang data yang penulis
peroleh tentang gugatan
obscuur libel
di Pengadilan Agama yang pernah1. Skripsi yang disusun oleh saudari Fatmawati dengan judul “Analisis
Yuridis Terhadap Putusan Hakim No.1359/Pdt.G/2013/PA.Mlg dengan
Alasan Gugatan
Obscuur Libel
dalam Perkara Cerai Gugat.” Penelitianini membahas tentang pertimbangan Majelis Hakim bahwasanya gugatan
dari Penggugat tidak secara spesifik mendalilkan dan mengemukakan
alasannya sendiri melainkan hanya mengangkat dalil dan alasan
sebagaimana yang dipergunakan dalam jawaban dan duplik dalam perkara
No.1122/Pdt.G/2009/PA.Mlg. Adapun analisis terhadap putusan Hakim
No. 1359/Pdt.G/2013/PA.Mlg yang menyatakan gugatan
obscuur libel
dalam perkara cerai gugat adalah jika dilihat dari asas Peradilan yang
sederhana, cepat dan biaya ringan.26
2. Skripsi yang disusun oleh saudara Syihabuddin yang berjudul “Tinjauan
Yuridis Terhadap Putusan
Neit OnvantKelijk
(NO
) (Studi Kasus PerkaraNo. 0380/Pdt.G/2013/PA.Mlg).” Penelitian ini membahas tentang dasar
Majelis Hakim menjatuhkan putusan tidak dapat menerima gugatan cerai
Penggugat dikarenakan gugatan
obscuur libel
sebab kuasa hukum dariPenggugat telah melampaui batasan kewenangan dari hak kuasa.
Bahwasanya Penggugat telah memberi kuasa kepada kuasa hukumnya
untuk menggugat cerai Tergugat saja tidak termasuk menggugat lainnya.
Hal ini sudah sesai dengan Pasal 123 ayat (1) HIR dan SEMA No. 1
Tahun 1971 jo. SEMA No.6 Tahun 1994.27
3. Skripsi yang disusun oleh saudari Rasidatul Fitriah dengan judul
“Pembatalan Putusan Oleh MA Terhadap Putusan PTA Surabaya
Tentang Gugatan Obscuur Libel dalam Perkara Sengketa Waris (Analisis
Putusan 466 K/AG/1999).” Penelitian ini membahas tentang
pertimbangan hukum yang dipakai oleh Pengadilan Tinggi Agama
Surabaya membatalkan putusan Pengadilan Agama Pasuruan dan
memutus tidak menerima gugatan dari Penggugat karena
obscuur libel
dengan adanya ketidakjelasan kebenaran hubungan nasab ahli waris yang
merupakan subjek gugatan. Akan tetapi Mahkamah Agung membatalkan
putusan Pengadilan Tinggi Agama Surabaya tentang gugatan
obscuur
libel
dalam perkara sengketa waris. Menurut Mahkamah Agung tidakadanya unsur
obscuur libel
dalam gugatan yang diajukan olehPenggugat28.
4. Skripsi yang disusun oleh saudara M. Riyan Fadli dengan judul “Analisis
Terhadap Putusan Nomor: 318/Pdt.G/2007/PA.Sda tentang Penolakan
Pembagian Harta Bersama.” Penelitian ini membahas tentang dasar
pertimbangan hukum yang dipakai oleh Pengadilan Agama Sidoarjo
dalam memutus perkara Nomor: 318/Pdt.G/2007/PA.Sda yang mana
27Syihabuddin, Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Neit OnvantKelijk (NO) (Studi Kasus Perkara No. 0380/Pdt.G/2013/PA.Mlg), Jurusan Ahwalus Syakhsiyah, Fakultas Syariah, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2013.
Hakim telah mengabulkan gugatan dari istri tentang harta bersama semua
jatuh kepada istri dikarenakan perjanjian yang dibuat dari sisi hukum
yang dipakai di Indonesia dalam hal pembuatan perjanjian.29
Dalam skripsi ini penulis mencoba mengkaji putusan Pengadilan Agama
Nomor 0201/Pdt.g/2014/PA.Sda tentang gugatan harta bersama yang tidak
dapat diterima oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo karena
pertimbangan hukum yang menyatakan alamat Tergugat kabur sehingga
menyebabkan gugatan
obscuur libel
. Dari pemaparan penulis tentang tinjauanpustaka diatas, penulis memilih bahwa topik yang akan dibahas disini
berbeda dengan skripsi-skripsi yang terdahulu. Judul skripsi yang akan
dibahas penulis adalah “Analisis Yuridis Terhadap Gugatan
Obscuur Libel
Dalam Putusan Nomor 0201/Pdt.G/2014/Pa.Sda Tentang Harta Bersama Di
Pengadilan Agama Sidoarjo”, belum ada yang membahas.
E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan dari rumusan
masalah diatas, sehingga dapat diketahui secara jelas dan terperinci tujuan
diadakannya penelitian ini. Adapun tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hukum yang digunakan oleh
Majelis Hakim dalam memutus perkara Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda
tentang harta bersama di Pengadilan Agama Sidaorjo.
2. Untuk mengetahui bagaimana kesesuaian pertimbangan hukum yang
digunakan oleh Majelis Hakim dalam memutus perkara Nomor
0201/Pdt.G/2014/PA.Sda dengan Hukum Acara Peradilan Agama.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dan bermanfaat
sekurang-kurangnya dalam dua hal sebagai berikut:
1. Kegunaan secara teoritis, yaitu memperkaya khazanah keilmuan, dapat
dijadikan sebagai bahan referensi penelitian selanjutnya dan untuk
memperkaya literatur pengetahuan tentang gugatan
obscuur libel
.2. Kegunaan secara praktis, sebagai acuan pembaca untuk lebih memahami
arti sebuah gugatan
obscuur libel
khususnya bagi masyarakat yangberperkara.
G. Definisi Operasional
Untuk menghindari terjadinya multi interpertasi terhadap pengertian yang
dimaksud penulis perlu menjelaskan dan memberikan definisi terhadap
istilah-istilah yang menunjukkan ke arah pembahasan yang sesuai dengan
maksud dan tujuan pokok tersebut, yaitu:
1. Analisis Yuridis adalah suatu penguraian berdasarkan pandangan Hukum
Acara Peradilan Agama.
2.
Obscuur Libel
adalah surat gugatan penggugat tidak jelas. Sebabkejelasan suatu surat gugatan merupakan syarat formil dari sebuah
gugatan. Dalam putusan ini yang dianggap
obscuur libel
mengenai alamatdimaksud dengan
obscuur libel
adalah alamat Tergugat yang tidak jelas(kabur)
3. Harta Bersama adalah harta yang diperoleh suami istri selama perkawinan
berlangsung.
4. Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo adalah produk hukum yang
dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Sidoarjo terhadap gugatan perkara
harta bersama Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda.
H. Metode Penelitian
Di dalam skripsi ini penulis membahas tentang analisis yuridis terhadap
gugatan
obscuur libel
dalam putusan nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda tentangharta bersama di Pengadilan Agama Sidoarjo. Agar tercipta penulisan skripsi
yang sistematis jelas dan benar, maka perlu dijelaskan tentang metode
penelitian sebagai berikut:
1. Data yang dikumpulkan
Dengan adanya penelitian ini maka data yang diperlukan adalah isi
putusan Pengadilan Agama Sidoarjo Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda
tentang harta bersama, yang meliputi:
a. Identitas dari para pihak.
b.
Posita
ataufundamentium petendi
.c.
Petitum
atau tuntutan.d. Pertimbangan hukum.
e. Dasar hukum.
2. Sumber data
Yang menjadi sumber data dalam penelitian adalah dari mana data
dapat diperoleh.30 Maka berdasarkan data yang akan dihimpun di atas,
yang menjadi sumber data penelitian ini adalah:
a. Sumber primer adalah sumber yang diperoleh secara langsung dari
subyek penelitian. Dalam penelitian ini sumber primer adalah:
1) Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo Nomor
0201/Pdt.G/2014/PA.Sda.
b. Sumber sekunder yaitu data yang diambil dan diperoleh dari bahan
pustaka dengan mencari data informasi berupa benda-benda tertulis
seperti buku-buku, majalah, dokumen peraturan-peraturan dan catatan
harian lainnya. Adapun dalam penelitian ini penulis menggunakan
data sekunder berupa buku-buku yang terkait dengan pembahasan ini,
yaitu:
1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
3) Kompilasi Hukum Islam
4) HIR dan RBg
5) Buku“Praktek Perkara Perdata”karya Mukti Arto.
6) Buku “Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah
Syar’iyah”
karya Mardani.7) Buku
“Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama”
karya Yahya Harahap.
8) Buku
“Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek”
karyaRetnowulan.
9) Buku
“Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama”
karyaAhmad Mujahidin.
10) Buku
“Hukum
Acara
Perdata
Tentang
Gugatan,
Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Putusan Pengadilan”
karya Yahya Harahap.
11) Sumber-sumber lain yang berkaitan dengan skripsi ini.
3. Teknik pengumpulan data
a. Dokumentasi
Dokumentasi yakni mengumpulkan data yang dilakukan
melalui data tertulis dengan menggunakan
contetct analysis
.31Dalam hal ini dokumentasi dilakukan dengan telaah dan mengutip
isi putusan.
b. Wawancara (
Interview
)Wawancara adalah suatu bentuk komunikasi atau
percakapan antara dua prang atau lebih guna memperoleh
informasi, yakni dengan cara bertanya langsung kepada sebyek
atau informasi yang diinginkan guna mencapai tujuan dan
memperoleh data yang dijadikan sebagai bahan laporan
penelitian.32 Mengadakan tanya jawab kepada Majelis Hakim dan
Penitera di Pengadilan Agama Sidoarjo yang memutus perkara
Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda sebagai narasumber dan Hakim
lain Pengadilan Agama yang tidak memutus perkara tersebut
sebagai informan.
4. Teknik analisis data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan teknik deskriptif analisis dengan pola pikir deduktif.
Teknik deskriptif analisis yaitu suatu metode yang menggambarkan
dan menafsirkan data yang telah terkumpul dengan pola pikir
deduktif, yaitu dengan menggunakan teori-teori bersifat umum
tentang putusan harta bersama dalam hukum acara Peradilan Agama
kemudian digunakan untuk menganalisis isi putusan perihal putusan
harta bersama yang dalam amarnya menyatakan gugatan tidak dapat
diterima karena
obscuur libel
secara khusus untuk memeperolehkesimpulan.
I. Sistematika Pembahasan
Agar terbangun pemahaman yang jelas tentang kajian skripsi ini, penulis
menyusun sistematika pembahasannya menjadi V bab sebagai berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan meliputi Latar Belakang, Identifikasi
dan Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Kajian Pustaka, Tujuan Penelitian,
Kegunaan Hasil Penelitian, Definisi Operasional, Metode Penelitian dan
Sistematika Pembahasan.
Bab kedua adalah landasan teori alasan gugatan
obscuur libel
dalamHukum Acara Peradilan Agama yang memeparkan tentang harta bersama
(pengertian dan dasar hukum harta bersama. macam-macam harta bersama,
pembagian harta bersama). Kemudian tentang gugatan dan formulasinya
(pengertian gugatan, bentuk gugatan, macam-macam gugatan dalam putusan,
prinsip-prinsip gugatan. Serta memaparkan tentang alasan gugatan
obscuur
libel (pengertian gugatan
obscuur libel,
macam-macam gugatanobscuur libel
.Bab ketiga adalah alasan gugatan
obscuur libel
dalam putusan PengadilanAgama Sidoarjo perkara Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda merupakan bab
yang memeparkan data tentang profil Pengadilan Agama Sidoarjo (letak
geografis, wewenang Pengadilan Agama Sidoarjo, dan struktur organisasi
Pengadilan Agama Sidoarjo). Serta mendeskripsikan gugatan Nomor
0201/Pdt.G/2014/PA.Sda .
Bab keempat adalah analisis yuridis terhadap gugatan
obscuur libel
dalamperkara Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda tentang harta bersama di
Pengadilan Agama Sidoarjo merupakan bab yang menguraikan tentang
analisis yuridis terhadap pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Agama
Sidoarjo dalam memutus perkara nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda dan
analisis yuridis terhadap kesesuaian pertimbangan hukum yang digunakan
Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo dalam memutus
obscuur libel
PerkaraBab kelima adalah penutup yang berisi tentang kesimpulan dari kajian ini
BAB II
GUGATAN
OBSCUUR LIBEL
DAN ALASANNYA DALAM HUKUMACARA PERADILAN AGAMA DI INDONESIA
A. Harta Bersama
1. Pengertian dan Dasar Hukum Harta Bersama
Harta bersama dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh
suami istri selama dalam ikatan perkawinan, Hal ini diatur dalam Pasal 35
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu sebagai
berikut:33
a. Harta bersma yang diperoleh selama perkawian menjadi harta
bersama.
b. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda
yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di
bawah penguasaan masing-masig sepanjan para pihak tidak
menentukan lain.
Dari pengetian Pasal 35 diatas, dapat dipahami bahwa segala harta
yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan di luar harta warisan,
hibah dan hadiah merupakan harta bersama. Karena itu, harta yang
diperoleh suami atau istri berdasarkan usahanya masing-masing
merupakan milik bersama suami istri. Lain halnya harta yang diperoleh
masing-masing suami dan istri sebelum akad nikah, yaitu harta asal atau
33Zainuddin Ali. Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta; Sinar Grafika, 2012), 56.
harta bawaan. Harta asal itu, akan diwarisi oleh masing-masing
keluarganya bila pasangan suami istri itu meninggal dan tidak
mempunyai anak.34
Menurut Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan
penjelasan pasalnya, akibat hukum perceraian terhadap harta bersama
diatur menurut hukumnya masing-masing, yang mencakup hukum agama,
hukum adat atau hukum lain. Ini berarti bahwa Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 menyerahkan kepada para pihak (mantan suami dan mantan
istri) yang bercerai untuk memilih hukum mana dan hukum apa yang akan
berlaku, dan jika tidak ada kesepakan maka Hakim di Pengadilan dapat
mempertimbangkan menurut rasa keadilan yang sewajarnya.35
Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberi pengertian harta bersama adalah
harta benda yang diperoleh suami dan istri selama berlangsungnya
perkawinan. Dalam Pasal 85 KHI disebutkan adanya harta bersama dalam
perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik
masing-masing suami istri, bahkan dalam Pasal 86 ayat (1) disebutkan bahwa
pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan istri dalam
perkawinan.36
Sedangkan menurut hukum Islam, harta suami istri tidak terpisah,
dalam arti masing-masing mempunyai hak untuk menggunakan atau
34Ibid. 35
Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 425.
membelanjakan harta sepenuhnya, tanpa boleh diganggu oleh pihak lain.
Harta benda yang menjadi hak sepenuhnya masing-masing pihak adalah
harta bawaan masing-masing sebelum terjadi perkawinan ataupun harta
yang diperoleh masing-masing pihak dalam masa perkawinan yang bukan
merupakan usaha bersama, misalnya menerima warisan, hibah, dan lain
sebagainya.37
Dalam kitab-kitab fiqh tradisional, harta bersama diartikan
sebagai harta kekayaan yang dihasilkan oleh suami istri selama mereka
diikat oleh tali perkawinan atau dengan perkaatan lain disebutkan bahwa
harta bersama itu adalah harta yang dihasilkan dengan jalan
syirkah
antara suami istri sehingga terjadi percampuran harta yang satu dengan
yang lain dan tidak dapat dibeda-bedakan lagi. Dasar hukumnya adalah
Al-Qur’an surat An-Nisaa’ ayat 32 dimana dikemukakan bahwa bagi
semua laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan semua
wanita ada bagian dari apa yang mereka usahakan pula.38
Jadi ketika mereka (suami istri) telah terikat dalam perjanjian
perkawinan sebagai suami istri maka semuanya menjadi bersatu, baik
harta maupun anak-anak seperti yang diatur dalam Al-Qur’an surat
An-Nisa’ ayat 21. Tidak perlu diiring dengan
syirkah
(perjanjian dalamperkawinan). Sebab perkawinan dengan ijab qobul serta memenuhi
37Ibid., 413. 38
persyaratan lain-lainnya seperti wali, saksi, mahar sudah dapat dianggap
adanya
syirkah
antara suami istri.392. Macam-Macam Harta Bersama
Mengenai macam-macam harta dalam perkawinan, menurut pasal
35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
menyebutkan sebagai berikut:40
a. Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama
b. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda
yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di
bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain.
Sedangkan dalam KHI pasal 85 sanpai dengan pasal 97
disebutkan, bahwa harta perkawinan dapat dibagi menjadi:41
a. Harta bawaan suami, yaitu harta yang dibawa suami sejak sebelum
perkawinan.
b. Harta bawaan istri, yaitu harta yang dibawa istri sejak sebelum
perkawinan.
c. Harta bersama suami dan istri, yaitu harta benda yang diperoleh
selama perkawinan menjadi harta bersama suami dan istri.
d. Harta dari hasil hadiah, hibah, waris dan shadaqah suami, yaitu harta
yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan.
39Idris Ramulyo,Hukum Perkawinan Islam,(Jakarta: Sinar Grafika, 1995), 232. 40Abdul Manan,Aneka Masalah Hukum…,11.
e. Harta dari hasil hadiah, hibah, waris dan shadaqah istri, yaitu harta
yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa harta benda yang
menjadi hak sepenuhnya masing-masing pihak adalah harta bawaan
masing-masing sebelum terjadi perkawinan ataupun yang diperoleh
masing-masing pihak dalam masa perkawinan yang bukan merupakan
usaha bersama, misalnya menerima warisan, hibah, shadaqah dan lain
sebagainya. Sedangkan harta bersama adalah harta yang diperoleh
masing-masing suami istri dalam masa perkawinan melalui usaha mereka
berdua atau dari usaha salah satu dari mereka. Dalam hal ini, suami istri
dapat mempergunakan harta bersama atas persetujuan kedua belah pihak.
3. Pembagian Harta Bersama
Menurut Pasal 96 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Pasal 37
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dikemukakan
bahwa harta bersama antara suami istri apabila terjadi putusnya
perkawinan, baik karena kematian atau perceraian, maka kepada suami
dan istri tersebut masing-masing mendapat setengah bagian dari harta
yang mereka peroleh selama perkawinan berlangsung.
Sehubungan dengan hal tersebut, pembagian harta bersama adalah
setengah untuk suami dan setengah untuk istri. Dalam kasus-kasus
tertentu, dapat dilenturkan mengingat realita dalam kehidupan keluarga
di beberapa daerah Indonesia ini ada pihak suami yang tidak
sebaiknya para praktisi hukum, lebih hati-hati dalam memeriksa
kasus-kasus tersebut, agar memenuhi rasa keadilan, kewajaran dan kepatutan.
Oleh karena itu, perlu adanya pertimbangan khusus tentang partisipasi
pihak suami dalam mewujudkan harta bersama keluarga, sehingga bagian
yang menetapkan setengah dari harta bersama untuk istri dan untuk suami
perlu dilenturkan lagi, sehingga yang diharapkan oleh Pasal 229
Kompilasi Hukum Islam.42
Sedangkan cara mendapatkan harta bersama adalah sebagai
berikut:43
a. Pembagian harta bersama dapat diajukan bersamaan dengan saat
mengajukan gugat cerai dengan menyebutkan harta bersama dan
bukti-bukti bahwa harta tersebut diperoleh selama perkawinan dalam
“posita” (alasan pengajuan gugatan). Permintaan pembagian harta
disebutkan dalam“petitum” (tuntutan).
b. Pembagian harta bersama dapat diajukan setelah adanya putusan
perceraian, artinya mengajukan gugatan atas harta bersama. bagi yang
beragama Islam gugatan atas harta bersama diajukan ke Pengadilan
Agama di wilayah tempat tinggal istri. Untuk non-Islam gugatan
pembagian harta bersama diajukan ke Pengadilan Negeri tempat
tinggal “termohon”.
B. Gugatan dan Formulasinya
1. Pengerian Gugatan
Untuk mengajukan tuntutan hak ke pengadilan, maka seseorang
harus membuat gugatan44. Yang dimaksud dengan gugatan adalah suatu
tuntutan hak yang diajukan oleh penggugat kepada tergugat melalui
pengadilan.45 Menurut pakar hukum positif, gugatan adalah tindakan
guna memperoleh perlindungan hakim untuk menuntut hak atau
memeriksa pihak lain memenuhi kewajibannya.46
Gugatan dapat disimpulkan sebagai suatu tuntutan hak dari setiap
orang atau pihak (kelompok) atau badan hukum yang merasa hak dan
kepentingannya dirugikan dan menimbulkan perselisihan, yang ditujukan
kepada orang lain atau pihak lain yang menimbulkan kerugian itu melalui
pengadilan.47
Surat gugatan ialah surat yang diajukan oleh penggugat kepada
ketua pengadilan yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang di
dalamnya mengandung suatu sengketa dan sekaligus merupakan landasan
dasar pemeriksan perkara.48
Dalam perkara gugatan terdapat dua pihak yang saling berhadapan
(yaitu penggugat dan tergugat).49 Permohonan atau gugatan yang
44Wahju Muljiono, Teori dan Praktek Peradilan Perdata di Indonesia,(Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2012), 53.
45Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 31.
46Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), 48. 47Sopar Maru Hutagalung, PraktikPeradilan., 1.
prinsipnya harus dibuat tertulis oleh pemohon atau penggugat atau
kuasanya,50
Secara umum dan teoritis untuk membuat suatu surat gugatan
dikenal dua pola penyusunan, yaitu:51
a.
Substantieringstheorie
Suatu teori yang membahas cara pembuatan surat gugatan
hendaknya harus diperinci secara detail mulai dari adanya hubungan
hukum sebagai dasar gugatan (
rechtsfronden, legal grounds
), dasardan sejarah gugatan, serta kejadian formal atau material dari gugatan.
Misalnya penggugat mendalilkan dalam surat gugatannya bahwa ia
sebagai pemilik dari sebidang tanah dengan luas dan batas-batas
tertentu sebagaimana sertifikat hak atas tanah. Maka menurut
substantieringstheorie
, tidak cukup penggugat hanya menyebutkandalam gugatannya bahwa ia sebagai pemilik, tetapi juga harus
diuraikan terlebih dahulu secara mendetail dan terperinci dalam
gugatannya dengan menyebutkan data dan hubungan hukum.
b.
Individualiseringstheorie
Suatu teori yang membahas agar dalam penyusunan surat
gugatan dibuat secara garis besarnya saja tentang dasar hubungan
hukum dalam gugatan atau kejadian material. Jadi, terhadap
ketentuan kaidah atau pasal tersebut dirumusakn secara umum
50Sulaikin Lubis dkk,Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia,2012), 53.
kemudian diindualisasikan pada gugatan dan terhadap hal lainnya,
seperti dasar pokok gugatan, sejarah gugatan, dan lainnya dapat
dijelaskan dalam sidang berikutnya, baik dalam tahap replik, duplik
maupun pembuktian. Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung RI
perumusan kejadian material secara singkat telah memenuhi syarat
dan gugatan tidak
obscuur libel
.2. Bentuk Gugatan
Tentang bentuk gugatan dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal
118 ayat (1) HIR atau Pasal 142 ayat (1) RBg dan Pasal 120 HIR atau
Pasal 144 ayat (1) RBg. Dari ketentuan pasal-pasal tersebut, gugatan
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:52
a. Bentuk tertulis
Pada prinsipnya semua gugatan atau permohonan harus dibuat
secara tertulis.53 Gugatan tertulis diatur dalam Pasal 118 HIR dan
Pasal 142 ayat (1) R.Bg. Dalam kedua Pasal ini ditentukan bahwa
gugatan harus diajukan secara tertulis dan diajukan kepada Ketua
Pengadilan yang berwenang mengadili perkara tersebut. Surat
gugatan yang ditulis itu harus ditandatangani oleh Penggugat atau
para Pengggat. Jika perkara itu dilimpahkan kepada kuasa hukumnya,
maka yang menandatangani surat gugat itu adalah kuasa hukumnya
52Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,(Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 186-187
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 123 ayat (1) HIR dan Pasal 147
ayat (1) R.Bg.54
b. Bentuk lisan
Bilamana Penggugat tidak dapat menulis, maka gugatan dapat
diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan,55 Terhadap gugatan
lisan tersebut, Ketua Pengadilan mencatat atau menyuruh mencatat
kepada salah seorang pejabat pengadilan. Kemudian dari catatan
tersebut Ketua Pengadilan menformulasikan berupa surat gugatan.56
3. Macam-Macam Gugatan dalam Amar Putusan
a. Gugatan dikabulkan
Dikabulkannya suatu gugatan adalah dengan syarat bila dalil
gugatannya dapat dibuktikan oleh penggugat sesuai alat bukti
sebagaimana diatur dalam Pasal 1865 kitab Undang-Undang Hukum
Perdata atau Pasal 164 HIR. Dikabulkannya gugatan ini pun ada yang
dikabulkan sebagian, ada yang dikabulkan seluruhnya, ditentukan oleh
pertimbangan majelis hakim.57
b. Gugatan ditolak
Bahwa bila penggugat dianggap tidak berhasil membuktikan
dalil-dalil gugatannya, akibat hukum yang harus ditanggungnya atas
kegagalan membuktikan dalil gugatannya adalah gugatannya mesti
ditolak seluruhnya. Jadi, bila suatu gugatan tidak dapat dibuktikan
54Abdul Manan,Penerapan Hukum…,27. 55M. Fauzan,Pokok-pokok Hukum.., 13 56Ibid., 188.
dalil gugatannya bahwa tergugat patut dihukum karena melanggar
hal-hal yang disampaikan dalam gugatan, maka gugatan akan
ditolak.58
c. Gugatan tidak dapat diterima
Bahwa ada berbagai cacat formil yang mungkin melekat pada
gugatan.59 Antara lain, gugatan yang ditandatangai kuasa berdasarkan
surat kuasa tidak memenuhi syarat yang digariskan Pasal 123 yat (1)
HIR jo. SEMA Nomor 4 Tahun 1996:60
1) Gugatan tidak memiliki dasar hukum;
2) Gugatan
error in persona
dalam bentuk dikualifikasi atauplurium
litis consortium
;3) Gugatan mengandung cacat atau
obscuur libel
, atau4) Gugatan melanggar yuridiksi (kompetensi) absolut atau relatife
dan sebagainya.
Menghadapi gugatan yang cacat formil (surat kuasa,
error in
persona, obscuur libel, premature,
kadaluwarsa, ne bis in idem
),putusan yang dijatuhkan harus dengan jelas dan tegas mencantumkan
dalam amar putusan menyatakan gugatan tidak dapat diterima (
neit
ontvankerlijke verklaard/
N.O)58Yahya Harahap, Hukum Acara.,812. 59Ibid, 811.
4. Prinsip-Prinsip Gugatan
Abdul Manan dalam bukunya menyebutkan ada 5 prinsip yang
harus ada dalam suatu gugatan, yaitu:61
a. Harus ada dasar hukum
Para pihak yang dimaksud mengajukan gugatan kepada
pengadilan haruslah mengetahui terlebih dahulu dasar hukumnya.
Gugatan yang tidak ada dasar hukumnya sudah pasti akan ditolak oleh
hakim dalam sidang pengadilan karena dasar hukum inilah yang
menjadi dasar putusan yang diambilnya. Disamping mempunyai
hubungan yang sangat erat dengan masalah persidangan, terutama
hal-hal yang berhubungan dengan pembantah jawaban lawan dan
pembuktian. Dalam mempertahankan dalil-dalil di dalam persidangan
tidak hanya sekedar menjawab atau membantah saja, akantetapi
semuanya haruslah didukung oleh dasar hukum yang kuat dalam
mempertahankan dalil gugat. Dasar hukum ini dapat berupa peraturan
perundang-undangan, doktrin, praktek pengadilan dan kebiasaan yang
sudah diakui sebagai hukum.62
b. Adanya kepentingan hukum
Penggugat haruslah mempunyai kepentingan hukum secara
langsung yang melekat pada dirinya sebelum menuangkan suatu
tindakan dan sebuah gugatan, hal ini menjadi syarat mutlak untuk
dapat mengajukan gugatan. Orang yang tidak mempunyai
61Abdul Manan,Penerapan HukumAcara., 17-23.
kepentingan hukum tidak dibenarkan mengajukan gugatan, hanya
orang yang berkepentingan langsung yang dapat mengajukan gugatan,
sedangkan orang yang tidak mempunyai kepentingan langsung
haruslah mendapat kuasa terlebih dahulu dari orang untuk dapat
mengajukan gugatan ke pengadilan.
c. Merupakan suatu sengketa
Gugatan yang diajukan kepada pengadilan haruslah bersifat
sengketa dan persengketaan itu telah menyebabkan kerugian dari
pihak penggugat, sehingga perlu diselesaikan melalui pengadilan
sebagai instansi yang berwenang dan tidak memihak. Dalam gugatan
ini, tuntutan haknya harus mengandung sengketa sebagaimana yang
dimaksud Pasal 118 HIR/ Pasal 132 RBg.
d. Dibuat dengan cermat dan terang
Gugatan secara tertulis haruslah disusun dalam surat gugatan
yang dubuat secara cermat dan terang, jika tidak dilakukan secara
demikian maka akan mengalami kegagalan dalam sidang pengadilan.
Surat gugatan tersevut harus disusun secara singkat, padat dan
mencakup dalam persoalan yang disengketakan. Gugatan tidak boleh
obscuur libel
, artinya tidak boleh kabur baik mengenaipihak-pihaknya, objek sengketanya, dan landasan hukum yang
dipergunakannya sebagai dasar gugat.
Pemahaman dalam hukum formil dan materiil merupakan
prinsip gugatan, sebab kedua hukum tersebut berkaitan erat dengan
seluruh isi gugatan yang akan dipertahankan dalam sidang pengadilan.
Namun jika seorang belum memahami hukum formil atau materiil
maka sebagaimana tertuang dalam Pasal 119 HIR dan Pasal 143 RBg
dengan tujuan agar tidak mengalami kesulitan dalam membuat
gugatan bagi orng-orang yang kurang pengetahuannya tentang hukum
formil dan materiil.
5. Syarat-Syarat Gugatan
Mengenai persyaratan tentang isi daripada gugatan tidak ada
ketentuannya, akan tetapi jika kita melihak dalam Rv Pasal 8 angka (3)
yang mengharuskan pokok gugatan yang meliputi:63
a. Identitas para pihak
Yang dimaksud dengan identitas adalah ciri-ciri dari
penggugat dan tergugat, yaitu:
1) Nama (beserta bin/binti dan aslinya)
2) Umur
3) Agama
4) Pekerjaan
5) Tempat tinggal
6) Kewarganegaraan (jika perlu).64
Identitas ini merupakan bagian penting dalam gugatan, sebab apabila
penggugat salah menuliskan nama ataupun alamat si tergugat
kemungkinan bisa menimbulkan gugatan tidak dapat diterima atau
bisa terjadi subjek yang mengajukan gugatan termasuk tidak
memenuhi persyaratan undang-undang (
error in persona
).65b.
Fundamentum petadi
/posita gugatanFundamentum petadi
adalah dalil-dalil posita konkret tentangadanya hubungan hukum yang merupakan dasar dari suatu tuntutan
hak,66
Fundamentum petadi
terbagi atas dua bagian:1) Bagian yang menguraikan tentang kejadian atau peristiwa
(
feitelijke gronden
)2) Bagian yang menguraikan tentang dasar hukumnya
(
rechtgronden
)67Uraian dalam posita harus memuat fakta hukum dan bukan
fakta rill (apa adanya). Untuk itu diperlukan pengetrahuan hukum
yang memadai, khususnya yang ada kaitannya dengan materi gugatan
agar dapat melakukan seleksi atau analisis fakta rill yang ada. Fakta
mana yang harus dikesampingkan atau cukup disampaikan melalui
keterangan saksi di depan sidang.68
c. Petitum (tuntutan)
65Sophar Maru,Praktik Peradilan…,18. 66Pasal 193 HIR (283 RBg, 1865 BW).
Dalam surat gugatan harus pula dilengkapi dengan petitum,
yaitu hal-hal apa yang diinginkan atau diminta oleh penggugat untuk
diputuskan, ditetapkan dan diperintahkan Hakim. Petitum ini harus
lengkap dan jelas, karena bagian dari surat gugatan ini yang
terpenting. Apabila petitum tidak jelas atau tidak sempurna dapat
berakibat tidak diterimannya petitum tersebut.69
Demikian pula gugatan yang berisi pernyataan-pernyataan
yang bertentangan satu sama lain disebut
obscuur libel
(gugatan yangtidak jelas atau gugatan kabur), yang berakibat tidak diterimanya atau
ditolaknya gugatan tersebut.70
Petitum ini dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bagian
pokok, yaitu:
1) Petitum primer (pokok) yang langsung berhubungan dengan pokok
perkara.
Merupakan tuntutan yang sebenarnya diminta penggugat
dan Hakim tidak boleh mengabulkan lebih dari apa yang diminta
(dituntut).
2) Petitum tambahan, bukan tuntutan pokok tetapi masih ada
hubungannya dengan pokok perkara.
69
Merupakan tuntutan pelengkap daripada tuntutan pokok
seperti dalam perceraian berupa tuntutan pembayaran nafkah
anak, mut’ah, nafkah iddah dan pembagian harta bersama.71
3) Tuntutan subsidair atau pengganti72
Petitum subsidair atau pengganti. Biasanya berisi
kata-kata, “apabila Majelis Hakim perkara pendapat lain, mohon
putusan yang seadil-adilnya (
ex aequo et bono
).”Jadi, maksud dan tujuan tuntutan subsidair adalah apabila
tuntutan primer ditolak masih ada kemungkinan dikabulkannya
gugatan yang didasarkan atas kebebasan atau kebijaksanaan hakim
berdasarkan keadilan.73
6. Formulasi Gugatan
Formulasi gugatan ialah rumusan dan sistematika gugat yang
tepat menurut hukum dan praktek peradilan. Sehubungan dengan masalah
formulasi gugatan masih sering digunakan gugatn yang tidak memenugi
syarat. Dari sinilah akan ditentukan formulasi dan sistimatika yang tepat
dan memenuhi syarat, yaitu sebagai berikut:
a. Pencantuman tanggal gugatan
Kealpaan mencantumkan tanggal tidak mempengaruhi
keabsahan gugat. Karena tanggal bukan bagian daripada syarat formal
dari surat gugatan dalam praktek peradilan, tanggal surat gugatan
secara resmi dicantumkan dalam putusan.tetapi sekiranya alpa, dasar
tanggal resminya surat gugatan dapat diambil dari tanggal
pendaftaran dalam buku register perkara.74
b. Pencantuman alamat Ketua Pengadilan
Surat gugatan dialamatkan kepada Ketua Pengadilan.75 Oleh
karena itu, surat gugatan harus mencantumkan bahwa gugatan
dialamatkan kepada Ketua Pengadilan. Hal ini bukan keabsahan surat
gugatan. Seandainya penggugat lupa, tidak mengakibatkan gugatan
tidak sah. Kelalaian itu dianggap sudah tercantum dalam gugatan.
c. Pencantuman lengkap dan terang nama dan alamat para pihak
Sistematika berikut adalah pencantuman nama lengkap serta
alamat yang terang dari para pihak. Hal ini merupakansalah satu
faktor
esensial
syarat formal surat gugatan. Mengenai penyebutanpekerjaan, umur, agama dan kewarganegaraan tidak mesti. Tetapi
lebih tepat dicantumkan untuk memperkuat kebenaran identitas
gugatan.76
d. Penegasan para pihak dalam perkara
Formulasi penegasan para pihak dalam gugatan, penulisannya
langsung mengikuti penyebutan identitas. Penegasan ini merupakan
syarat formal. Kelalaian atsnya dapat dianggap gugatan
obscuur libel
.Sebab tujuan penegasan kedudukan para pihak berkaitan erat dengan
74Ibid., 19.
75Pasal 118 ayat (1) HIR dan Pasal 142 ayat (1) RBg.
hak membela dan mempertahankan kepentingan para pihak.
Disamping dalam posita diuraikan hubungan hukum yang terjadi
antara para pihak harus ditegaskan satu persatu kedudukan para pihak
dalam surat gugatan. Jika tidak, gugatan dianggap kabur atau
obscuur
libel
.77e. Uraian posita atau dalil gugat
Posita gugat adalah penjelasan dalil atau alasan gugatan. Ia
merupakan esensi gugatan yang berisi hal-hal penegasan hubungan
hukum antara penggugat dengan objek yang disengketakan pada satu
segi, hubungan hukum antara penggugat dan tergugat serta hubungan
tergugat dengan objek sengketa pada segi lain.
Pada prinsipnya dalil gugat supaya jelas harus merupakan
rangkaian dari beberapa hubungan hukum dan peristiwa atau
rechtsfeiten
. Posita gugat harus cukup ringkas, jelas dan terinciperistiwa-peristiwa yang berkenaan dengan dalil dan persengketaan.
Banyak gugatan yang panjang lebar tapi berbeli-belit sehingga
terkadang bias mengakibatkan gugatan menjadi kabur.
f. Perumusan hal-hal yang bersifat
assecor
Dalil gugatan dengan segala penjelasan yang membarenginya
adalah bagian dari pokok perkara atau materi perkara. Tapi terkadang
gugatan pokok sering diikuti dengan gugatan atau permohonan yang
bersifat
assecor
. Maksudnya, dengan adanya gugatan pokok, hukummembenarkan penggugat mengajukan gugatan tambahan yang
melekat pada gugatan pokok.
Maka sesuai dengn sistematika formulasi gugatan, gugat
assecor
mengikuti urutan rumusan dalil gugatan pokok. Tidak bolehterbalik karena dapat berakibat gugatan menjadi
obscuur libel
, sebabtidak jelas mana yang pokok dan mana yang
assecor
.78g. Pencantuman permintaan untuk dipanggil dan diperiksa
Pencantuman permintaan agar para pihak dipanggil dan
diperiksa adalam persidangan adalah rumusan formal.79 Namun
rumusan ini bukan syarat formal yang menentukan keabsahan surat
gugatan. Sekiranya lalai mencantumkan, tidak mengakibatkan surat
gugatan mengandung cacat.
h. Petitum gugatan
Petitum gugatan juga disebut juga diktum gugatan. Petitum
gugatan yang berisi rincian satu persatu tentang apa yang diminta dan
dikehendaki penggugat untuk dinyatakan dan dihukumkan kepada
para pihak, terutama kepada pihak tergugat. Dengan kata lain,
petitum ini menjadi kesimpulan akhir gugatan yang berisi rincian
tuntutan penggugat kepada pihak tergugat.
Kedudukan petitum dalam surat gugatan merupakan syarat
formil yang bersifat mutlak. Suatu gugatan yang tidak berisi
78 Ibid.
perumusan petitum dianggap kabur atau tidak sempurna, dan gugatan
dinyatakan tidak dapat diterima.80
C. Gugatan
Obscuur Libel
.1. Pengertian Gugatan
Obscuur Libel
Yang dimaksud dengan
obscuur libel
adalah surat gugatan tidakterang isinya atau isinya gelap (
onduidlijk
). Bisa disebut juga denganformulasi gugatan tidak jelas, padahal agar gugatan itu dianggap sudah
memenuhi syarat formil, maka dalil gugatan harus terang dan jelas atau
tegas (
duidelijk
).Obscuur libel
juga dapat diartikan dengan gugatan yangberisi penyataan-pernyataan yang bertentangan satu sama lain.81
Penyataan-pernyataan yang bertentangan tersebut mengakibatkan
gugatan tidak jelas dan mengakibatkan gugatan menjadi kabur.
Ketentuan Pasal 118 ayat (1), Pasal 120 dan Pasal 121 HIR tidak
dapat penegasan merumuskan gugatan secara jelas dan terang. Namun
praktik peradilan memedomani pasal 8 Rv sebagai rujukan berdasarkan
asas
process doelmatigheid
(demi kepentingan beracara). Menurut pasal 8Rv, pokok-pokok gugatan disertai kesimpulan yang jelas dan tertentu
(
een duidelijk en bapaalde conclusive
). Berdasarkan ketentuan itu, praktikperadilan mengembangkan penerapan eksepsi gugatan kabur (
obscuur
libel
) atau eksepsi gugatan tidak jelas.80Ibid., 196
2. Macam-macam Gugatan
Obscuur Libel
Obscuur libel
yaitu surat gugatan penggugat tidak terang ataukabur. Disebut juga formulasi gugatan yang tidak jelas. Gugatan kabur ini
dikarenakan oleh:82
a. Posita (
fundamentum petendi
) tidak menjelaskan dasar hukum dankejadian yang mendasari gugatan
b. Tidak jelas objek yang disengketakan
c. Penggabungan dua atau beberapa gugatan yang masing-masing berdiri
sendiri
d. Terdapat saling bertentangan antara posita dengan petitum
e. Petitum tidak terinci, tetapi hanya berupa
ex aequo et bono
Gugatan
obsscuur libel
(tidak jelas atau kabur) terdiri dari:83a.
Obscuur libel fundamentum petendi
Dasar hukum gugatan atau posita atau
fundamentum petendi
,yakni dasar hukum dan kejadian atau peristiwa yang mendasari
gugatan. Dapat terjadi jika dasar atau landasan hukum yang
digunakan dalam gugatan salah atau tidak ada. Karena dasar hukum
yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, doktrin-doktrin,
kebiasaan yang telah diakui, ini merupakan dasar pengambilan suatu
putusan yang berguna untuk mempertahankan dalil gugatan dalam
82M. Yahya Harahap, Beberapa Permasalahan Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 1994), 18.
persidangan serta meyakinkann para pihak bahwa kejadian dan
peristiwa hukum benar-benar terjadi.84
b.
Obscuur libel
objek sengketaHal ini terjadi jika objek dalam persengketaan tidak jelas,
misalnya dalam perkara harta bersama, tanah sengketa yang digugat
tidak jelas batas-batas atau luasnya.85
Jika objek gugatan tidak dijelaskan dengan jelas dan pasti,
maka gugatan dapat dinyatakan
obsscuur libel
. Hal tersebut mengacupada Yurisprudensi MA Nomor 556/K/Sip/1973 tanggal 21 Agustus
1974 yang menyatakan bahwa: “Jika objek gugatan tidak jelas, maka
gugtan tidak dapat diterima”.86
Sesuai dengan Yurisprudensi MA Nomor 81 K/Sip/1971
tanggal 9 Juli 1973 yang menyatakan bahwa, “Karena tanah yang
dikuasai Tergugat ternyata tidak sama batas-batas dan luasnya dengan
yang tercantum dalam gugatan, maka gugatan harus dinyatakan tidak
dapat diterima”. Maka tidak jelasnya objek gugatan dapat terjadi
seperti jika ukuran objek gugatan yang tercantum dalam gugatan
tidak sama dengan yang sebenarnya dikuasai oleh tergugat maka
gugatan tersebut dapat dikatan
obsscuur libel
.87Selain itu objek gugatan yang tidak menerangkan batas-batas
objek yang disengketakan, tidak disebutkan dengan jelas di mana
84
Abdul Manan,Peneraoan Hukum., 8. 85Ibid., 26.
letak objek perkara, tidak menjelaskan ukuran objek perkara, ukuran
objek perkara berbeda dengan hasil pemeriksaan langsung dan
lain-lain. Ketentuan tersebut berdasarkan yurisprudensi MA Nomor 1149
K/Sip/1979 tanggal 17 April 1979 yang menyatakan bahwa: “Karena
dalam surat gugatan tidak disebutkan jelas letak atau batas-batas
tanah sengketanya, gugatan tidak dapat diterima”. Dan Yurisprudensi
MA Nomor 1159 K/PDT/1983 tanggal 23 Oktober 1984 yang
menyatakan bahwa, “Gugatan yang tidak menyebutkan batas-batas
objek sengketa dinyatakan
obscuur libel
dan gugatan tidak dapatditerima”.88
c. Penggabungan dua gugatan yang masing-masing berdiri sendiri
Yang menjadi masalah ialah jika terjadi penggabungan antara
wanprestasi dan PMH hal tersebut dapat mengakibatkan gugatan
dinyatakan
obsscuur libel
, kecuali dalam penggabungan tersebut jelasdirinci pemisahan antara keduanya.
Beberapa permasalahan diatas mengakibatkan gugatan
obsscuur libel
dengan demikian hendaknya tergugat mengajukantangkisan atau eksepsi terhadap gugatan penggugat, disertai dengan
alasan-alasan yang jelas sesuai dengan hukum acara yang berlaku,
dimaksudkan untuk memperjelas hal-hal yang hendak dimintakan
keadilan terhadap Majelis Hakim.
d.
Obsscuur libel
petitumPetitum atau tuntutan harus jelas dan tegas. HIR dan RBg
sendiri hanya mengatur menegenai cara mengajukan gugatan.
Tuntutan atau petitum adalah segala hal yang dimintakan atau
dimohonkaan oleh penggugat agar diputuskan oleh majelis hakim.
Jadi, petitum itu akan terjawab di dalam amar atau diktum putusan.
Oleh karenanya, petitum harus dirumuskan secara jelas dan tegas.
Apabila petitum yang tidak jelas atau tidak sempurna dapat berakibat
tidak diterimanaya petitum tersebut. Demikian pula gugatan yang
berisi penyataan-pernyataan yang bertentangan satu sama lain disebut
obsscuur libel
(gugatan yang tidak jelas atau gugatan kbur), yangberakibat tidak diterimanya atau ditolaknya gugatan tersebut.89
Menurut Yurispru