• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS TERHADAP GUGATAN OBSCUUR LIBEL DALAM PUTUSAN NOMOR 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda TENTANG HARTA BERSAMA DI PENGADILAN AGAMA SIDOARJO.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS YURIDIS TERHADAP GUGATAN OBSCUUR LIBEL DALAM PUTUSAN NOMOR 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda TENTANG HARTA BERSAMA DI PENGADILAN AGAMA SIDOARJO."

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

DALAM PUTUSAN NOMOR 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda TENTANG

HARTA BERSAMA DI PENGADILAN AGAMA SIDOARJO

SKRIPSI

Oleh Nur Aini Hidayati

NIM. C01212044

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah Dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga Islam

Surabaya

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

i

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan

yang berjudul “Analisis

Yuridis Terhadap Gugatan

Obscuur Libel dalam Putusan Nomor

0201/Pdt.G/2014/PA.Sda tentang Harta Bersama di Pengadilan Agama

Sidoarjo”.

Rumusan masalah adalah: bagaimana pertimbangan hukum yang

dipakai

oleh

Majelis

Hakim

dalam

memutus

perkara

Nomor

0201/Pdt.G/2014/PA.Sda tentang harta bersama di Pengadilan Agama Sidoarjo

dan bagaimana kesesuaian pertimbangan hukum yang dipakai oleh Majelis

Hakim dalam memutus perkara Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda dengan Hukum

Acara Peradilan Agama.

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, data yang digunakan adalah isi

putusan Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda meliputi identitas para pihak, posita,

petitum, pertimbangan hukum, dasar hukum dan amar putusan. Sumber data

meliputi sumber primer yakni dokumen putusan Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda

dan sumber sekunder berupa buku-buku yang terkait dengan pembahassan.

Teknik penggumpulan data dilakukan melalui pembacaan dan kajian teks (text

reading) dan selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif analisis dan

menggunakan pola pikir deduktif yaitu dengan menggunakan teori-teori bersifat

umum tentang putusan harta bersama dalam Hukum Acara Peradilan Agama

yang digunakan untuk menganalisi putusan Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pertimbangan hukum yang

digunakan oleh Majelis Hakim dalam memutus perkara Nomor

0201/Pdt.G/2014/PA>Sda adalah mengenai alamat Tergugat yang dinilai Majelis

Hakim kabur (obscuur libel). Padahal didapati relaas panggilan yang pertama

telah sampai ke Tergugat dan pada persidangan pertama Tergugat hadir dalam

persidangan. Namun pada panggilan selanjutnya yang disampaikan oleh jurusita,

relaas panggilan tidak sampai kepada Tergugat dikarenakan Tergugat sudah

tidak ada di alamat sebagaimana yang tercantum dalam surat gugatan. Hal ini

yang menjadi pertimbangan hukum yang digunakan Hakim dalam memutus

gugatan

Niet Ontvankelijike Verklaard. Padahal jika dilihat dalam Pasal 390

dikatakan bahwa jika Penggugat tidak diketahui alamat keberadaannya maka

jurusita harus menyampaikan panggilan ke Bupati dan mengumumkan di papan

pengumuman Pengadilan Agama dan kemudian persidangan tersebut dilanjutkan

dengan pemeriksaan acara biasa atau contradictoir. Namun jika melihat petitum

dan objek gugatan yang mana petitum hanya berisi tuntutan

ax aequo et bono

dan objek sengketa tidak menyebutkan secara rinci letak atau alamat objek

sengketa dan salah dalam menyebutkan batas-batas dari objek sengketa, sehingga

menjadikan gugatan Penggugat

obscuur libel. Seharusnya dalam memutus

gugatan Penggugat tidak dapat diterima Hakim menggunakan pertimbangan

hukum petitum dan objek sengketa yang kabur atau obscuur libel, bukan karena

alamat Tergugat.

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... ...

i

PERNYATAAN KEASLIAN ...

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ...

v

KATA PENGANTAR ... vi

PERSEMBAHAN ... viii

MOTTO ...

x

DAFTAR ISI... ... xi

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiv

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang ... 1

B.

Identifikasi dan Batasan Masalah... 11

C.

Rumusan Masalah ... 12

D.

Kajian Pustaka ... 12

E.

Tujuan Penelitian ... 15

F.

Kegunaan Hasil Penelitian ... 16

G.

Definisi Operasional... 16

(8)

BAB II GUGATAN

OBSCUUR LIBEL

DAN ALASANNYA DALAM

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA DI INDONESIA

A.

Harta Bersama ... 23

1.

Pengertian dan Dasar Hukum Harta Bersama ... 23

2.

Macam-macam Harta Bersama ... 26

3.

Pembagian Harta Bersama ... 27

B.

Gugatan dan Formulasinya ... 29

1.

Pengertian Gugatan ... 29

2.

Bentuk Gugatan ... 31

3.

Macam-macam Gugatan dalam Amar Putusan ... 32

4.

Prinsip-prinsip Gugatan ... 34

5.

Syarat-syarat Gugatan ... 36

6.

Formulasi Gugatan ... 39

C.

Gugatan

Obscuur Libel

... 43

1.

Pengertian Gugatan

Obscuur Libel

... 43

2.

Macam-macam Gugatan

Obscuur Libel

... 44

BAB III ALASAN GUGATAN

OBSCUUR LIBEL

DALAM PUTUSAN

PENGADILAN AGAMA SIDOARJONOMOR O2O1/Pdt.G/2014/PA.Sby

TENTANMG HARTA BERSAMA

A.

Profil Pengadilan Agama Sidoarjo ... 48

(9)

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP GUGATAN

OBSCUUR LIBEL

DALAM PERKARA NOMOR 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda TENTANG HARTA

BERSAMA DI PENGADILAN AGAMA SIDOARJO

A.

Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo dalam

Memutus Perkara Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda Tentang Harta

Bersama di Pengadilan Agama Sidoarjo ... 58

B.

Analisis Yuridis Terhadap Kesesuaian Pertimbangan Hukum yang

Digunakan Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo dalam Memutus Obscuur

Libel Perkara Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda dengan Hukum Acara

Peradilan Agama ... 63

BAB IV PENUTUP

A.

Kesimpulan ... 72

B.

Saran ... 73

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah Negara hukum1 oleh karena itu segala sesuatu tindakan

penyelenggara Negara harus berdasarkan hukum. Peran hukum dalam

kehidupan bermasyarakat sangatlah penting, karena dalam pergaulan

masyarakat terdapat aneka macam hubungan antara masyarakat, yakni

hubungan yang ditimbulkan oleh kepentingan-kepentingan anggota

masyarakat, disinilah peran hukum sebagai penjamin kelangsungan

keseimbangan dalam hubungan antar anggota masyarakat tersebut. Setiap

pelanggar peraturan hukum yang ada akan dikenakan sanksi yang berupa

hukuman sebagai reaksi terhadap perbuatan yang melanggar hukum yang

dilakukannya.2 Untuk itu diperlukan suatu lembaga yang mempunyai

kewenangan untuk menjalankan dan menegakkan hukum yang belaku dan

mengikat bagi setiap subjek hukum. Hal ini diperlukan untuk mencegah

terjadinya tindakan main hakim sendiri (

eigenrichting

).3

Di Indonesia lembaga yang mempunyai kewenangan tersebut adalah

Pengadilan. Pengadilan merupakan penyelenggara Peradilan atau organisasi

yang menyelenggarakan hukum dan keadilan sebagai pelaksana dari

kekuasaan kehakiman. Sebagai cerminan dari kekuasaan kehakiman, itu

1Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

2C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 40.

3Bambang Sugeng dan Sujayadi, Hukum Acara Perdat dan Dokumen Litigasi Perkara Perdata, (Surabaya: Kencana, 2009), 1.

(11)

dilihat sejak diundangkan dan diberlakukan Undang-Undang Nomor 14

Tahun 1970 sampai berlakunya Undang Undang Republik Indonesia Nomor 4

Tahun 2004, disebutkan bahwa: “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasan

Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terlaksananya Negara

Hukum Republik Indonesia.”4

Penyelenggara kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan-badan

Peradilan yang ditetapkan dengan Undang-Undang. Peradilan adalah

kekuasaan Negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan

menyelesaikan masalah untuk menegakkan hukum dan keadilan. Adapun

yang dimaksud dengan kekuasaan Negara adalah kekuasaan kehakiman yang

memiliki kebebasan dari campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan

bebas dari paksaan, direktifa atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra

yuidisial, kecuali dalam hal-hal yang diizinkan oleh undang-undang.5 Sejalan

dengan tugas pokok tersebut, maka Pengadilan tidak boleh menolak untuk

memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa

hukum tidak atau kurang jelas. Hal ini berarti Pengadilan wajib untuk

memeriksa dan mengadili suatu perkara tersebut.6

Dalam ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa penyelenggaraan kekuasaan

4A. Rahmat Rosyid dan Sri Hatini, Advokat dalam Prespektif Islam dan Hukum Positif, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), 57.

(12)

kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan

Peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Adapun badan Peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung meliputi

Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata

Usaha Negara.7

Dalam Bab III Pasal 49 sampai dengan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dijelaskan tentang kewenangan dan

kekuasaan mengadili yang menjadi beban tugas Peradilan Agama. Dalam

Pasal 49 ditentukan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang

memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara-perkarta di tingkat

pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan,

kewarisan, wasiat, hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, serta

wakaf dan sedekah.8

Dalam menjalankan tugas Peradilan terdapat tiga tahap tindakan. Yaitu

tahap pendahuluan, tahap penentuan dal tahap pelaksanaan. Tahap

pendahuluan merupakan persiapan menuju kepada penentuan atau

pelaksanaan. Dalam tahap penentuan diadakan pemeriksaan peristiwa dan

pembuktian sekaligus sampai pada putusannya. Sedang dalam tahap

pelaksanaan diadakan pelaksanaan dari pada putusan.9

7M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), 2.

8Abdul Manan,Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2005), 12-13.

(13)

Sengketa perkawinan merupakan salah satu kewenangan absolut yang

dimiliki oleh Pengadilan Agama. Perkawinan sendiri merupakan suatu

perbuatan hukum yang meimbulkan hak dan kewajiban kepada para pihak

yang mengikatkan diri pada perkawinan tersebut. Hak dan kewajiban tersebut

harus dipenuhi oleh pasangan suami istri yang terikat dalam perkawinan.

Akibat hukum yang ditimbulkan oleh perkawinan tidak hanya sebatas dalam

hal hubungan kekeluargaan, terlebih dari itu juga dalam bidang harta

kekayaanya.10

Harta yang dapat disengketakan ketika terjadi percaraian adalah harta

yang diperoleh selama perkawinan (harta bersama) saja, sedangkan harta

bawaan tidak dapat disengketakan atau dibagi dan tetap berada di bawah

kekuasaan masing-masing pihak. Pembagian harta bersama dapat dilakukan

dengan musyawarah kekeluargaan atau atas dasar kesepakatan antara kedua

belah pihak. Tidak jarang cara kekeluargaan tersebut tidak berhasil

menyelesaikan permasalahan pembagian harta bersama dikarenakan adanya

pihak yang merasa diragukan, sehingga seringkai terjadi sengketa atas

pembagian harta bersama tersebut. Pengajuan gugatan atas harta bersama

bisa dilakukan dilakukan di Pengadilan Agama.11

Agar Hakim Pengadilan Agama dapat mempertimbangkan dan

mengabulkan gugatan Penggugat, maka Penggugat harus mencantumkan

permohonan dalam

petitum

gugatannya yang diajukan ke Pengadilan.

10J. Andy Hartanto,Hukum Harta Kekayaan Perkawinan, (Yogyakarta: Laksbang Grafika, 2012), 1.

(14)

Pengajuan gugatan hak pada dasarnya adalah merupakan salah satu upaya

mendapatkan jaminan kepastian hukum atas hak perdata materiil.12 Tiap

orang yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang

dianggap merugikan lewat Pengadilan.13 Pengajuan gugatan bisa secara tulis

ataupun secara lisan. Gugatan lisan dibenarkan kepada mereka yang buta

huruf. Namun dalam perkembangannya, praktek Peradilan sekarang tidak

lazim lagi ditemukan pengajuan gugatan secara lisan.14

Dalam tata hukum Indonesia, kata gugatan atau permohonan hanya

dipakai dalam kaitan Acara Perdata.15 Perbedaan antara gugatan dan

permohonan adalah bahwa dalam perkara gugatan ada suatu sengketa atau

konflik yang harus diselesaikan dan diputus oleh Pengadilan. Sedangkan yang

disebut permohonan tidak ada sengketa, misalnya apabila segenap ahli waris

almarhum secara bersama-sama menghadap ke Pengadilan untuk mendapat

suatu penetapan perihal bagian masing-masing dari warisan almarhum.16

Cara pengajuan gugatan diatur dalam Pasal 118 H.I.R, akan tetapi pasal

118 H.I.R tidak mengatur hal-hal apa saja yang harus dimuat dalam surat

gugatan.17 Namun mengenai persyaratan tentang isi daripada gugatan kita

dapat melihat dalam Pasal 8 ayat (3) Rv yang mengharuskan adanya pokok

12Edi As’Adi, Hukum Acara Perdata dalam Prespektif Mediasi (ADR) di Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), 9.

13R, Soeroso, Tata Cara dan Proses Persidangan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 26.

14Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004), 25.

15Roihan A. Rasyid,Hukum Acara Peradilan Agama,(Jakarta: PT Raja Grafindo, 1994), 63. 16Retnowulan Sutanto, Iskandar Oeripkartawinata,Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek,(Bandung: Mandar Maju, 1997), 10.

(15)

gugatan yang meliputi:18 (a) Identitas dari para pihak; (b) Dalil-dalil konkret

tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan

dari tuntutan. Dalil-dalil ini lebih dikenal dengan istilah

fundamentium petebdi

; (c) Tuntutan atau ini harus jelas dan tegas. H.I.R

dan R.Bg sendiri hanya mengatur mengenai cara mengajukan gugatan.”

Formulasi gugatan yang disusun dan diajukan penggugat merupakan dasar

serta acauan dalam pemeriksaan perkara tersebut di Pengadilan. Apabila

gugatan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat formil sebuah gugatan, maka

akibat hukumnya adalah gugatan tersebut akan dinyatakan tidak dapat

diterima (

Neit Ont Van Kelijk Ver Klaard

) yang disingkat NO. Dengan

demikian, surat gugatan yang diajukan ke Pengadilan harus disusun dan

dirumuskan secara sistematis.19

Jika ada ketidakjelasan dari gugatan yang diajukan, maka Pengadilan

berhak untuk tidak menerima gugatan tersebut. Karena gugatan dianggap

kabur (

obscuur libel

) sehingga perkara tidak dapat diterima dan harus

membuat gugatan baru jika ingin perkara tersebut diperiksa di Pengadilan.20

Yang dimaksud

obscuur libel

adalah surat gugatan Penggugat yang tidak

jelas. Sebab kejelasan suatu surat gugatan merupakan syarat formil dari

sebuah gugatan. Ada beberapa alasan atau pertimbangan Hakim dalam

menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima, salah satunya adalah

18Sophar Maru Hutangalung,Praktik Peradilan Perdata Teknis Mengenai Perkara di Pengadilan, (Jakrta: Sinar Grafika, 2011), 17

(16)

dengan alasan

obscuur libel

, misalnya menyangkut batas-batas objek

sengketa yang tidak jelas. Hakim memegang peranan penting dalam menilai

dan mempertimbangkan formalitas sebuah gugatan, yakni apakah telah

memenuhi syarat formil berdasarkan Pasal 8 Rv atau tidak. Setiap pihak yang

ingin mengajukan gugatan haruslah mempunyai kepentingan hukum yang

cukup.21

Patokan perkara

obscuur libel

adalah:22

(a)

Fundamentum Petendi

tidak

menjelaskan dasar gugatan; (b) Tidak jelas objek yang disengketakan; (c)

Penggabungan perkara yang tidak jelas; (d) Bertentangan antara posita dan

petitum; (e) Petitum tidak terinci.”

Untuk mengatasi adanya kekurangan-kekurangan yang dihadapi oleh para

pencari keadilan dalam memperjuangkan kepentingannya, Pasal 119 HIR

atau Pasal 143 RBg memberi wewenang kepada Ketua Pengadilan untuk

memberi nasehat dan bantuan kepada pihak Penggugat dalam pengajuan

gugatannya. Dengan demikian hendak dicegah pengajuan gugatan-gugatan

yang cacat formil atau gugatan yang tidak sempurna, yang akan dinyatakan

tidak dapat diterima.23 Namun pada prakteknya masih ada atau sering perkara

yang berakhir dengan

dictum

putusan yang menyatakan gugatan Penggugat

tidak dapat diterima.

21Sudikmo Mertokusumo, Hukum Acara…, 53.

22Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), 88-89.

(17)

Sebelum memasuki pemeriksaan perkara di persidangan maka para pihak

yang berperkara harus dipanggil terlebih dahulu. Panggilan menurut Hukum

Acara Perdata ialah menyampaikan secara resmi

(official)

dan patut

(properly)

kepada pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara di

Pengadilan, agar memenuhi dan melaksanakan hal-hal yang diminta dan

diperintahkan majelis hakim atau pengadilan. Meurut pasal 388 dan pasal 390

ayat (1) HIR, yang berfungsi melakukan panggilan adalah jurusita. Hanya

yang dilakukan jurusita panggilan dianggap resmi dan sah. Kewenangan

jurusita ini berdasarkan pasal 121 ayat (1) HIR diperolehnya lewat perintah

ketua (Majelis Hakim) yang dituangkan pada penetapan hari sidang atau

penetapan pemberitahuan,24

Pemanggilan terhadap tergugat harus dilakukan secara patut. Setelah

melakukan panggilan, jurusita harus menyerahkan risalah (relaas) panggilan

kepada Hakim yang akan memeriksa perkara tersebut yang merupakan bukti

bahwa tergugat telah dipanggil. Oleh karena itu, sah tidaknya pemanggilan

dan pemberitahuan yang dilakukan oleh pihak pengadilan sangat menentukan

baik atau buruknya proses pemeriksaan persidangan di pengadilan.25

Perkara ini diawali dengan gugatan harta bersama yang diajukan oleh

Pemohon tanggal 20 Januari 2014 di Pengadilan Agama Sidoarjo. Pada saat

hari sidang yang telah ditentukan atau persidangan pertama Penggugat dan

Tergugat hadir dan Majelis Hakim telah berusaha mendamaikan kedua belah

(18)

pihak namun tidak berhasil. Kemudian Penggugat dan Tergugat juga telah

menjalankan mediasi akan tetapi hasil dari mediasi antara para pihak tidak

berhasil atau telah gagal mencapai kesepakatan. Pada saat persidangan kedua

dan selanjutnya Tergugat tidak pernah datang menghadap, dan menurut

relaas panggilan yang disampaikan oleh juru sita Pengadilan Agama Sidoarjo,

Tergugat sudah tidak tinggal di alamat sebagaimana alamat Tergugat di

dalam surat gugatan Penggugat, bahkan Majelis Hakim telah memerintahkan

kepada Penggugat untuk mencari alamat Tergugat, akan tetapi Penggugat

masih tetap memberikan alamat sebagaimana alamat Tergugat yang ada di

dalam surat gugatan.

Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, maka gugatan

Penggugat dikatakan tidak jelas (

obscuur libel

), oleh karenanya Majelis

Hakim menyatakan bahwa gugatan harta bersama yang diajukan oleh

Penggugat tidak dapat diterima (di NO =

Nit Onvankeljke Verklaard

).

Dari pemaparan diatas penulis tertarik untuk meneliti dan mengkaji lebih

lanjut mengenai bagaimana prosedur Hakim dalam menetapkan

obscuur libel

sebagaimana yang telah diputus oleh pihak Pengadilan Agama Sidoarjo

terhadap putusan perkara 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda dan disamping itu penulis

ingin mengetahui bagaimana kesesuaian pertimbangan hukum dan dasar

hukum yang digunakan Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo dengan Hukum

Acara Peradilan Agama. Sehingga penulis bermaksud mengadakan penelitian

(19)

Disini penulis mengangkat masalah

obscuur libel

dari sudut pandang yang

berbeda dengan Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo. Hakim Pengadilan

Agama Sidoarjo menganggap bahwa gugatan Penggugat

obscuur libel

dikarenakan alamat Tergugat tidak jelas atau kabur, sedangkan ketika dilihat

dalam fakta persidangan Tergugat hadir dalam persidangan pertama sehingga

dapat dikatakan bahwa Tergugat telah dipanggil secara sah dan patut dengan

relaas panggilan yang disampaikan oeleh jusu sita. Maka dapat disimpulkan

bahwa alamat Tergugat jelas atau tidak kabur.

Kalaupun relaas terebut tidak samapai kepada Tergugat sejak panggilan

pertama dan Kepala Desa menerangkan bahwa Tergugat sudah tidak

bertempat tinggal sebagaimana dalam alamat surat gugatan maka Juru Sita

seharusnya menyampaikan surat panggilan kepada Bupati dan selanjutnya

menempelkannya pada papan pengumuman Pengadilan Agama agar Tergugat

tahu bahwa dia merupakan pihak yang berperkara dalam perkara tersebut. Hal

tersebut sesuai dengan Pasal 390 ayat (3) HIR atau Pasal 718 ayat (3) RBg.

Disini penulis berpendapat lain bahwa

obscuur libel

dalam gugatan

Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda terletak pada objek sengketa dan petitum.

Objek sengketa harus rinci baik alamat atau letak objek, luas objek, serta

batas-batas objek sengketa. Sedangkan dalam merumuskan petitum gugatan

harus secara jelas dan tegas apa yang dimintakan kepada Hakim. Dalam

(20)

jelas, dan petitumnya hanya berbentuk

ex-aequo et beno

(mohon keadilan)

saja sehingga tidak memenuhi syarat formil suatu gugatan.

Dari pemaparan tersebut diatas penulis membahas masalah tersebut

dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap Gugatan

Obscuur Libel

Dalam

Putusan Nomor 0201/Pdt.G/2014/Pa.Sda Tentang Harta Bersama Di

Pengadilan Agama Sidoarjo”.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Sesuai dengan paparan latar belakang masalah di atas dapat diketahui

timbulnya beberapa masalah yang berhubungan dengan

obscuur libel

dalam

perkara Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda tentang harta bersama di

Pengadilan Agama Sidoarjo sebagai berikut:

1. Syarat-syarat bentuk dan formulasi gugatan.

2. Syarat-syarat gugatan

obscuur libel

.

3. Gugatan tidak dapat diterima.

4. Hukum Acara Peradilan Agama.

5. Pertimbangan hukum putusan Pengadilan Agama Sidoarjo menyatakan

obscuur libel

gugatan 0201/Pdt.G/’2014/PA.Sda tentang harta bersama.

6. Dasar hukum putusan Pengadilan Agama Sidoarjo menyatakan

obscuur

libel

putusan 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda tentang harta bersama.

7. Kesesuaian putusan Pengadilan Agama Sidaorjo perkara Nomor

0201/Pdt.G/2014/PA.Sda yang menggunakan pertimbangan hukum dan

(21)

Dari identifikasi masalah tersebut peneliti membatasi masalah yaitu:

1. Pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim dalam memutus

perkara Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda tentang harta bersama di

Pengadilan Agama Sidaorjo.

2. Kesesuaian pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim

dalam memutus perkara Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda dengan Hukum

Acara Peradilan Agama.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah, maka dapat ditarik

rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim

dalam memutus perkara Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda tentang harta

bersama di Pengadilan Agama Sidaorjo?

2. Bgaimana kesesuaian pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis

Hakim dalam memutus perkara Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda dengan

Hukum Acara Peradilan Agama?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka pada penelitian ini pada dasarnya untuk memperoleh

gambaran mengenai permasalahan yang akan diteliti dengan penelitian

sejenis yang pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya sehingga diharapkan

tidak ada pengulangan penelitian secara mutlak. Sepanjang data yang penulis

peroleh tentang gugatan

obscuur libel

di Pengadilan Agama yang pernah
(22)

1. Skripsi yang disusun oleh saudari Fatmawati dengan judul “Analisis

Yuridis Terhadap Putusan Hakim No.1359/Pdt.G/2013/PA.Mlg dengan

Alasan Gugatan

Obscuur Libel

dalam Perkara Cerai Gugat.” Penelitian

ini membahas tentang pertimbangan Majelis Hakim bahwasanya gugatan

dari Penggugat tidak secara spesifik mendalilkan dan mengemukakan

alasannya sendiri melainkan hanya mengangkat dalil dan alasan

sebagaimana yang dipergunakan dalam jawaban dan duplik dalam perkara

No.1122/Pdt.G/2009/PA.Mlg. Adapun analisis terhadap putusan Hakim

No. 1359/Pdt.G/2013/PA.Mlg yang menyatakan gugatan

obscuur libel

dalam perkara cerai gugat adalah jika dilihat dari asas Peradilan yang

sederhana, cepat dan biaya ringan.26

2. Skripsi yang disusun oleh saudara Syihabuddin yang berjudul “Tinjauan

Yuridis Terhadap Putusan

Neit OnvantKelijk

(

NO

) (Studi Kasus Perkara

No. 0380/Pdt.G/2013/PA.Mlg).” Penelitian ini membahas tentang dasar

Majelis Hakim menjatuhkan putusan tidak dapat menerima gugatan cerai

Penggugat dikarenakan gugatan

obscuur libel

sebab kuasa hukum dari

Penggugat telah melampaui batasan kewenangan dari hak kuasa.

Bahwasanya Penggugat telah memberi kuasa kepada kuasa hukumnya

untuk menggugat cerai Tergugat saja tidak termasuk menggugat lainnya.

(23)

Hal ini sudah sesai dengan Pasal 123 ayat (1) HIR dan SEMA No. 1

Tahun 1971 jo. SEMA No.6 Tahun 1994.27

3. Skripsi yang disusun oleh saudari Rasidatul Fitriah dengan judul

“Pembatalan Putusan Oleh MA Terhadap Putusan PTA Surabaya

Tentang Gugatan Obscuur Libel dalam Perkara Sengketa Waris (Analisis

Putusan 466 K/AG/1999).” Penelitian ini membahas tentang

pertimbangan hukum yang dipakai oleh Pengadilan Tinggi Agama

Surabaya membatalkan putusan Pengadilan Agama Pasuruan dan

memutus tidak menerima gugatan dari Penggugat karena

obscuur libel

dengan adanya ketidakjelasan kebenaran hubungan nasab ahli waris yang

merupakan subjek gugatan. Akan tetapi Mahkamah Agung membatalkan

putusan Pengadilan Tinggi Agama Surabaya tentang gugatan

obscuur

libel

dalam perkara sengketa waris. Menurut Mahkamah Agung tidak

adanya unsur

obscuur libel

dalam gugatan yang diajukan oleh

Penggugat28.

4. Skripsi yang disusun oleh saudara M. Riyan Fadli dengan judul “Analisis

Terhadap Putusan Nomor: 318/Pdt.G/2007/PA.Sda tentang Penolakan

Pembagian Harta Bersama.” Penelitian ini membahas tentang dasar

pertimbangan hukum yang dipakai oleh Pengadilan Agama Sidoarjo

dalam memutus perkara Nomor: 318/Pdt.G/2007/PA.Sda yang mana

27Syihabuddin, Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Neit OnvantKelijk (NO) (Studi Kasus Perkara No. 0380/Pdt.G/2013/PA.Mlg), Jurusan Ahwalus Syakhsiyah, Fakultas Syariah, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2013.

(24)

Hakim telah mengabulkan gugatan dari istri tentang harta bersama semua

jatuh kepada istri dikarenakan perjanjian yang dibuat dari sisi hukum

yang dipakai di Indonesia dalam hal pembuatan perjanjian.29

Dalam skripsi ini penulis mencoba mengkaji putusan Pengadilan Agama

Nomor 0201/Pdt.g/2014/PA.Sda tentang gugatan harta bersama yang tidak

dapat diterima oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo karena

pertimbangan hukum yang menyatakan alamat Tergugat kabur sehingga

menyebabkan gugatan

obscuur libel

. Dari pemaparan penulis tentang tinjauan

pustaka diatas, penulis memilih bahwa topik yang akan dibahas disini

berbeda dengan skripsi-skripsi yang terdahulu. Judul skripsi yang akan

dibahas penulis adalah “Analisis Yuridis Terhadap Gugatan

Obscuur Libel

Dalam Putusan Nomor 0201/Pdt.G/2014/Pa.Sda Tentang Harta Bersama Di

Pengadilan Agama Sidoarjo”, belum ada yang membahas.

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan dari rumusan

masalah diatas, sehingga dapat diketahui secara jelas dan terperinci tujuan

diadakannya penelitian ini. Adapun tujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hukum yang digunakan oleh

Majelis Hakim dalam memutus perkara Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda

tentang harta bersama di Pengadilan Agama Sidaorjo.

(25)

2. Untuk mengetahui bagaimana kesesuaian pertimbangan hukum yang

digunakan oleh Majelis Hakim dalam memutus perkara Nomor

0201/Pdt.G/2014/PA.Sda dengan Hukum Acara Peradilan Agama.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dan bermanfaat

sekurang-kurangnya dalam dua hal sebagai berikut:

1. Kegunaan secara teoritis, yaitu memperkaya khazanah keilmuan, dapat

dijadikan sebagai bahan referensi penelitian selanjutnya dan untuk

memperkaya literatur pengetahuan tentang gugatan

obscuur libel

.

2. Kegunaan secara praktis, sebagai acuan pembaca untuk lebih memahami

arti sebuah gugatan

obscuur libel

khususnya bagi masyarakat yang

berperkara.

G. Definisi Operasional

Untuk menghindari terjadinya multi interpertasi terhadap pengertian yang

dimaksud penulis perlu menjelaskan dan memberikan definisi terhadap

istilah-istilah yang menunjukkan ke arah pembahasan yang sesuai dengan

maksud dan tujuan pokok tersebut, yaitu:

1. Analisis Yuridis adalah suatu penguraian berdasarkan pandangan Hukum

Acara Peradilan Agama.

2.

Obscuur Libel

adalah surat gugatan penggugat tidak jelas. Sebab

kejelasan suatu surat gugatan merupakan syarat formil dari sebuah

gugatan. Dalam putusan ini yang dianggap

obscuur libel

mengenai alamat
(26)

dimaksud dengan

obscuur libel

adalah alamat Tergugat yang tidak jelas

(kabur)

3. Harta Bersama adalah harta yang diperoleh suami istri selama perkawinan

berlangsung.

4. Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo adalah produk hukum yang

dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Sidoarjo terhadap gugatan perkara

harta bersama Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda.

H. Metode Penelitian

Di dalam skripsi ini penulis membahas tentang analisis yuridis terhadap

gugatan

obscuur libel

dalam putusan nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda tentang

harta bersama di Pengadilan Agama Sidoarjo. Agar tercipta penulisan skripsi

yang sistematis jelas dan benar, maka perlu dijelaskan tentang metode

penelitian sebagai berikut:

1. Data yang dikumpulkan

Dengan adanya penelitian ini maka data yang diperlukan adalah isi

putusan Pengadilan Agama Sidoarjo Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda

tentang harta bersama, yang meliputi:

a. Identitas dari para pihak.

b.

Posita

atau

fundamentium petendi

.

c.

Petitum

atau tuntutan.

d. Pertimbangan hukum.

e. Dasar hukum.

(27)

2. Sumber data

Yang menjadi sumber data dalam penelitian adalah dari mana data

dapat diperoleh.30 Maka berdasarkan data yang akan dihimpun di atas,

yang menjadi sumber data penelitian ini adalah:

a. Sumber primer adalah sumber yang diperoleh secara langsung dari

subyek penelitian. Dalam penelitian ini sumber primer adalah:

1) Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo Nomor

0201/Pdt.G/2014/PA.Sda.

b. Sumber sekunder yaitu data yang diambil dan diperoleh dari bahan

pustaka dengan mencari data informasi berupa benda-benda tertulis

seperti buku-buku, majalah, dokumen peraturan-peraturan dan catatan

harian lainnya. Adapun dalam penelitian ini penulis menggunakan

data sekunder berupa buku-buku yang terkait dengan pembahasan ini,

yaitu:

1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

3) Kompilasi Hukum Islam

4) HIR dan RBg

5) Buku“Praktek Perkara Perdata”karya Mukti Arto.

6) Buku “Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah

Syar’iyah”

karya Mardani.
(28)

7) Buku

“Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama”

karya Yahya Harahap.

8) Buku

“Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek”

karya

Retnowulan.

9) Buku

“Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama”

karya

Ahmad Mujahidin.

10) Buku

“Hukum

Acara

Perdata

Tentang

Gugatan,

Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Putusan Pengadilan”

karya Yahya Harahap.

11) Sumber-sumber lain yang berkaitan dengan skripsi ini.

3. Teknik pengumpulan data

a. Dokumentasi

Dokumentasi yakni mengumpulkan data yang dilakukan

melalui data tertulis dengan menggunakan

contetct analysis

.31

Dalam hal ini dokumentasi dilakukan dengan telaah dan mengutip

isi putusan.

b. Wawancara (

Interview

)

Wawancara adalah suatu bentuk komunikasi atau

percakapan antara dua prang atau lebih guna memperoleh

informasi, yakni dengan cara bertanya langsung kepada sebyek

atau informasi yang diinginkan guna mencapai tujuan dan

memperoleh data yang dijadikan sebagai bahan laporan

(29)

penelitian.32 Mengadakan tanya jawab kepada Majelis Hakim dan

Penitera di Pengadilan Agama Sidoarjo yang memutus perkara

Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda sebagai narasumber dan Hakim

lain Pengadilan Agama yang tidak memutus perkara tersebut

sebagai informan.

4. Teknik analisis data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini

menggunakan teknik deskriptif analisis dengan pola pikir deduktif.

Teknik deskriptif analisis yaitu suatu metode yang menggambarkan

dan menafsirkan data yang telah terkumpul dengan pola pikir

deduktif, yaitu dengan menggunakan teori-teori bersifat umum

tentang putusan harta bersama dalam hukum acara Peradilan Agama

kemudian digunakan untuk menganalisis isi putusan perihal putusan

harta bersama yang dalam amarnya menyatakan gugatan tidak dapat

diterima karena

obscuur libel

secara khusus untuk memeperoleh

kesimpulan.

I. Sistematika Pembahasan

Agar terbangun pemahaman yang jelas tentang kajian skripsi ini, penulis

menyusun sistematika pembahasannya menjadi V bab sebagai berikut:

Bab pertama adalah pendahuluan meliputi Latar Belakang, Identifikasi

dan Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Kajian Pustaka, Tujuan Penelitian,

(30)

Kegunaan Hasil Penelitian, Definisi Operasional, Metode Penelitian dan

Sistematika Pembahasan.

Bab kedua adalah landasan teori alasan gugatan

obscuur libel

dalam

Hukum Acara Peradilan Agama yang memeparkan tentang harta bersama

(pengertian dan dasar hukum harta bersama. macam-macam harta bersama,

pembagian harta bersama). Kemudian tentang gugatan dan formulasinya

(pengertian gugatan, bentuk gugatan, macam-macam gugatan dalam putusan,

prinsip-prinsip gugatan. Serta memaparkan tentang alasan gugatan

obscuur

libel (pengertian gugatan

obscuur libel,

macam-macam gugatan

obscuur libel

.

Bab ketiga adalah alasan gugatan

obscuur libel

dalam putusan Pengadilan

Agama Sidoarjo perkara Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda merupakan bab

yang memeparkan data tentang profil Pengadilan Agama Sidoarjo (letak

geografis, wewenang Pengadilan Agama Sidoarjo, dan struktur organisasi

Pengadilan Agama Sidoarjo). Serta mendeskripsikan gugatan Nomor

0201/Pdt.G/2014/PA.Sda .

Bab keempat adalah analisis yuridis terhadap gugatan

obscuur libel

dalam

perkara Nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda tentang harta bersama di

Pengadilan Agama Sidoarjo merupakan bab yang menguraikan tentang

analisis yuridis terhadap pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Agama

Sidoarjo dalam memutus perkara nomor 0201/Pdt.G/2014/PA.Sda dan

analisis yuridis terhadap kesesuaian pertimbangan hukum yang digunakan

Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo dalam memutus

obscuur libel

Perkara
(31)

Bab kelima adalah penutup yang berisi tentang kesimpulan dari kajian ini

(32)

BAB II

GUGATAN

OBSCUUR LIBEL

DAN ALASANNYA DALAM HUKUM

ACARA PERADILAN AGAMA DI INDONESIA

A. Harta Bersama

1. Pengertian dan Dasar Hukum Harta Bersama

Harta bersama dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh

suami istri selama dalam ikatan perkawinan, Hal ini diatur dalam Pasal 35

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu sebagai

berikut:33

a. Harta bersma yang diperoleh selama perkawian menjadi harta

bersama.

b. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda

yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di

bawah penguasaan masing-masig sepanjan para pihak tidak

menentukan lain.

Dari pengetian Pasal 35 diatas, dapat dipahami bahwa segala harta

yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan di luar harta warisan,

hibah dan hadiah merupakan harta bersama. Karena itu, harta yang

diperoleh suami atau istri berdasarkan usahanya masing-masing

merupakan milik bersama suami istri. Lain halnya harta yang diperoleh

masing-masing suami dan istri sebelum akad nikah, yaitu harta asal atau

33Zainuddin Ali. Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta; Sinar Grafika, 2012), 56.

(33)

harta bawaan. Harta asal itu, akan diwarisi oleh masing-masing

keluarganya bila pasangan suami istri itu meninggal dan tidak

mempunyai anak.34

Menurut Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan

penjelasan pasalnya, akibat hukum perceraian terhadap harta bersama

diatur menurut hukumnya masing-masing, yang mencakup hukum agama,

hukum adat atau hukum lain. Ini berarti bahwa Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 menyerahkan kepada para pihak (mantan suami dan mantan

istri) yang bercerai untuk memilih hukum mana dan hukum apa yang akan

berlaku, dan jika tidak ada kesepakan maka Hakim di Pengadilan dapat

mempertimbangkan menurut rasa keadilan yang sewajarnya.35

Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dalam

Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberi pengertian harta bersama adalah

harta benda yang diperoleh suami dan istri selama berlangsungnya

perkawinan. Dalam Pasal 85 KHI disebutkan adanya harta bersama dalam

perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik

masing-masing suami istri, bahkan dalam Pasal 86 ayat (1) disebutkan bahwa

pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan istri dalam

perkawinan.36

Sedangkan menurut hukum Islam, harta suami istri tidak terpisah,

dalam arti masing-masing mempunyai hak untuk menggunakan atau

34Ibid. 35

Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 425.

(34)

membelanjakan harta sepenuhnya, tanpa boleh diganggu oleh pihak lain.

Harta benda yang menjadi hak sepenuhnya masing-masing pihak adalah

harta bawaan masing-masing sebelum terjadi perkawinan ataupun harta

yang diperoleh masing-masing pihak dalam masa perkawinan yang bukan

merupakan usaha bersama, misalnya menerima warisan, hibah, dan lain

sebagainya.37

Dalam kitab-kitab fiqh tradisional, harta bersama diartikan

sebagai harta kekayaan yang dihasilkan oleh suami istri selama mereka

diikat oleh tali perkawinan atau dengan perkaatan lain disebutkan bahwa

harta bersama itu adalah harta yang dihasilkan dengan jalan

syirkah

antara suami istri sehingga terjadi percampuran harta yang satu dengan

yang lain dan tidak dapat dibeda-bedakan lagi. Dasar hukumnya adalah

Al-Qur’an surat An-Nisaa’ ayat 32 dimana dikemukakan bahwa bagi

semua laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan semua

wanita ada bagian dari apa yang mereka usahakan pula.38

Jadi ketika mereka (suami istri) telah terikat dalam perjanjian

perkawinan sebagai suami istri maka semuanya menjadi bersatu, baik

harta maupun anak-anak seperti yang diatur dalam Al-Qur’an surat

An-Nisa’ ayat 21. Tidak perlu diiring dengan

syirkah

(perjanjian dalam

perkawinan). Sebab perkawinan dengan ijab qobul serta memenuhi

37Ibid., 413. 38

(35)

persyaratan lain-lainnya seperti wali, saksi, mahar sudah dapat dianggap

adanya

syirkah

antara suami istri.39

2. Macam-Macam Harta Bersama

Mengenai macam-macam harta dalam perkawinan, menurut pasal

35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

menyebutkan sebagai berikut:40

a. Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama

b. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda

yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di

bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak

menentukan lain.

Sedangkan dalam KHI pasal 85 sanpai dengan pasal 97

disebutkan, bahwa harta perkawinan dapat dibagi menjadi:41

a. Harta bawaan suami, yaitu harta yang dibawa suami sejak sebelum

perkawinan.

b. Harta bawaan istri, yaitu harta yang dibawa istri sejak sebelum

perkawinan.

c. Harta bersama suami dan istri, yaitu harta benda yang diperoleh

selama perkawinan menjadi harta bersama suami dan istri.

d. Harta dari hasil hadiah, hibah, waris dan shadaqah suami, yaitu harta

yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan.

39Idris Ramulyo,Hukum Perkawinan Islam,(Jakarta: Sinar Grafika, 1995), 232. 40Abdul Manan,Aneka Masalah Hukum…,11.

(36)

e. Harta dari hasil hadiah, hibah, waris dan shadaqah istri, yaitu harta

yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa harta benda yang

menjadi hak sepenuhnya masing-masing pihak adalah harta bawaan

masing-masing sebelum terjadi perkawinan ataupun yang diperoleh

masing-masing pihak dalam masa perkawinan yang bukan merupakan

usaha bersama, misalnya menerima warisan, hibah, shadaqah dan lain

sebagainya. Sedangkan harta bersama adalah harta yang diperoleh

masing-masing suami istri dalam masa perkawinan melalui usaha mereka

berdua atau dari usaha salah satu dari mereka. Dalam hal ini, suami istri

dapat mempergunakan harta bersama atas persetujuan kedua belah pihak.

3. Pembagian Harta Bersama

Menurut Pasal 96 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Pasal 37

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dikemukakan

bahwa harta bersama antara suami istri apabila terjadi putusnya

perkawinan, baik karena kematian atau perceraian, maka kepada suami

dan istri tersebut masing-masing mendapat setengah bagian dari harta

yang mereka peroleh selama perkawinan berlangsung.

Sehubungan dengan hal tersebut, pembagian harta bersama adalah

setengah untuk suami dan setengah untuk istri. Dalam kasus-kasus

tertentu, dapat dilenturkan mengingat realita dalam kehidupan keluarga

di beberapa daerah Indonesia ini ada pihak suami yang tidak

(37)

sebaiknya para praktisi hukum, lebih hati-hati dalam memeriksa

kasus-kasus tersebut, agar memenuhi rasa keadilan, kewajaran dan kepatutan.

Oleh karena itu, perlu adanya pertimbangan khusus tentang partisipasi

pihak suami dalam mewujudkan harta bersama keluarga, sehingga bagian

yang menetapkan setengah dari harta bersama untuk istri dan untuk suami

perlu dilenturkan lagi, sehingga yang diharapkan oleh Pasal 229

Kompilasi Hukum Islam.42

Sedangkan cara mendapatkan harta bersama adalah sebagai

berikut:43

a. Pembagian harta bersama dapat diajukan bersamaan dengan saat

mengajukan gugat cerai dengan menyebutkan harta bersama dan

bukti-bukti bahwa harta tersebut diperoleh selama perkawinan dalam

“posita” (alasan pengajuan gugatan). Permintaan pembagian harta

disebutkan dalam“petitum” (tuntutan).

b. Pembagian harta bersama dapat diajukan setelah adanya putusan

perceraian, artinya mengajukan gugatan atas harta bersama. bagi yang

beragama Islam gugatan atas harta bersama diajukan ke Pengadilan

Agama di wilayah tempat tinggal istri. Untuk non-Islam gugatan

pembagian harta bersama diajukan ke Pengadilan Negeri tempat

tinggal “termohon”.

(38)

B. Gugatan dan Formulasinya

1. Pengerian Gugatan

Untuk mengajukan tuntutan hak ke pengadilan, maka seseorang

harus membuat gugatan44. Yang dimaksud dengan gugatan adalah suatu

tuntutan hak yang diajukan oleh penggugat kepada tergugat melalui

pengadilan.45 Menurut pakar hukum positif, gugatan adalah tindakan

guna memperoleh perlindungan hakim untuk menuntut hak atau

memeriksa pihak lain memenuhi kewajibannya.46

Gugatan dapat disimpulkan sebagai suatu tuntutan hak dari setiap

orang atau pihak (kelompok) atau badan hukum yang merasa hak dan

kepentingannya dirugikan dan menimbulkan perselisihan, yang ditujukan

kepada orang lain atau pihak lain yang menimbulkan kerugian itu melalui

pengadilan.47

Surat gugatan ialah surat yang diajukan oleh penggugat kepada

ketua pengadilan yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang di

dalamnya mengandung suatu sengketa dan sekaligus merupakan landasan

dasar pemeriksan perkara.48

Dalam perkara gugatan terdapat dua pihak yang saling berhadapan

(yaitu penggugat dan tergugat).49 Permohonan atau gugatan yang

44Wahju Muljiono, Teori dan Praktek Peradilan Perdata di Indonesia,(Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2012), 53.

45Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 31.

46Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), 48. 47Sopar Maru Hutagalung, PraktikPeradilan., 1.

(39)

prinsipnya harus dibuat tertulis oleh pemohon atau penggugat atau

kuasanya,50

Secara umum dan teoritis untuk membuat suatu surat gugatan

dikenal dua pola penyusunan, yaitu:51

a.

Substantieringstheorie

Suatu teori yang membahas cara pembuatan surat gugatan

hendaknya harus diperinci secara detail mulai dari adanya hubungan

hukum sebagai dasar gugatan (

rechtsfronden, legal grounds

), dasar

dan sejarah gugatan, serta kejadian formal atau material dari gugatan.

Misalnya penggugat mendalilkan dalam surat gugatannya bahwa ia

sebagai pemilik dari sebidang tanah dengan luas dan batas-batas

tertentu sebagaimana sertifikat hak atas tanah. Maka menurut

substantieringstheorie

, tidak cukup penggugat hanya menyebutkan

dalam gugatannya bahwa ia sebagai pemilik, tetapi juga harus

diuraikan terlebih dahulu secara mendetail dan terperinci dalam

gugatannya dengan menyebutkan data dan hubungan hukum.

b.

Individualiseringstheorie

Suatu teori yang membahas agar dalam penyusunan surat

gugatan dibuat secara garis besarnya saja tentang dasar hubungan

hukum dalam gugatan atau kejadian material. Jadi, terhadap

ketentuan kaidah atau pasal tersebut dirumusakn secara umum

50Sulaikin Lubis dkk,Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia,2012), 53.

(40)

kemudian diindualisasikan pada gugatan dan terhadap hal lainnya,

seperti dasar pokok gugatan, sejarah gugatan, dan lainnya dapat

dijelaskan dalam sidang berikutnya, baik dalam tahap replik, duplik

maupun pembuktian. Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung RI

perumusan kejadian material secara singkat telah memenuhi syarat

dan gugatan tidak

obscuur libel

.

2. Bentuk Gugatan

Tentang bentuk gugatan dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal

118 ayat (1) HIR atau Pasal 142 ayat (1) RBg dan Pasal 120 HIR atau

Pasal 144 ayat (1) RBg. Dari ketentuan pasal-pasal tersebut, gugatan

dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:52

a. Bentuk tertulis

Pada prinsipnya semua gugatan atau permohonan harus dibuat

secara tertulis.53 Gugatan tertulis diatur dalam Pasal 118 HIR dan

Pasal 142 ayat (1) R.Bg. Dalam kedua Pasal ini ditentukan bahwa

gugatan harus diajukan secara tertulis dan diajukan kepada Ketua

Pengadilan yang berwenang mengadili perkara tersebut. Surat

gugatan yang ditulis itu harus ditandatangani oleh Penggugat atau

para Pengggat. Jika perkara itu dilimpahkan kepada kuasa hukumnya,

maka yang menandatangani surat gugat itu adalah kuasa hukumnya

52Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,(Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 186-187

(41)

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 123 ayat (1) HIR dan Pasal 147

ayat (1) R.Bg.54

b. Bentuk lisan

Bilamana Penggugat tidak dapat menulis, maka gugatan dapat

diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan,55 Terhadap gugatan

lisan tersebut, Ketua Pengadilan mencatat atau menyuruh mencatat

kepada salah seorang pejabat pengadilan. Kemudian dari catatan

tersebut Ketua Pengadilan menformulasikan berupa surat gugatan.56

3. Macam-Macam Gugatan dalam Amar Putusan

a. Gugatan dikabulkan

Dikabulkannya suatu gugatan adalah dengan syarat bila dalil

gugatannya dapat dibuktikan oleh penggugat sesuai alat bukti

sebagaimana diatur dalam Pasal 1865 kitab Undang-Undang Hukum

Perdata atau Pasal 164 HIR. Dikabulkannya gugatan ini pun ada yang

dikabulkan sebagian, ada yang dikabulkan seluruhnya, ditentukan oleh

pertimbangan majelis hakim.57

b. Gugatan ditolak

Bahwa bila penggugat dianggap tidak berhasil membuktikan

dalil-dalil gugatannya, akibat hukum yang harus ditanggungnya atas

kegagalan membuktikan dalil gugatannya adalah gugatannya mesti

ditolak seluruhnya. Jadi, bila suatu gugatan tidak dapat dibuktikan

54Abdul Manan,Penerapan Hukum…,27. 55M. Fauzan,Pokok-pokok Hukum.., 13 56Ibid., 188.

(42)

dalil gugatannya bahwa tergugat patut dihukum karena melanggar

hal-hal yang disampaikan dalam gugatan, maka gugatan akan

ditolak.58

c. Gugatan tidak dapat diterima

Bahwa ada berbagai cacat formil yang mungkin melekat pada

gugatan.59 Antara lain, gugatan yang ditandatangai kuasa berdasarkan

surat kuasa tidak memenuhi syarat yang digariskan Pasal 123 yat (1)

HIR jo. SEMA Nomor 4 Tahun 1996:60

1) Gugatan tidak memiliki dasar hukum;

2) Gugatan

error in persona

dalam bentuk dikualifikasi atau

plurium

litis consortium

;

3) Gugatan mengandung cacat atau

obscuur libel

, atau

4) Gugatan melanggar yuridiksi (kompetensi) absolut atau relatife

dan sebagainya.

Menghadapi gugatan yang cacat formil (surat kuasa,

error in

persona, obscuur libel, premature,

kadaluwarsa

, ne bis in idem

),

putusan yang dijatuhkan harus dengan jelas dan tegas mencantumkan

dalam amar putusan menyatakan gugatan tidak dapat diterima (

neit

ontvankerlijke verklaard/

N.O)

58Yahya Harahap, Hukum Acara.,812. 59Ibid, 811.

(43)

4. Prinsip-Prinsip Gugatan

Abdul Manan dalam bukunya menyebutkan ada 5 prinsip yang

harus ada dalam suatu gugatan, yaitu:61

a. Harus ada dasar hukum

Para pihak yang dimaksud mengajukan gugatan kepada

pengadilan haruslah mengetahui terlebih dahulu dasar hukumnya.

Gugatan yang tidak ada dasar hukumnya sudah pasti akan ditolak oleh

hakim dalam sidang pengadilan karena dasar hukum inilah yang

menjadi dasar putusan yang diambilnya. Disamping mempunyai

hubungan yang sangat erat dengan masalah persidangan, terutama

hal-hal yang berhubungan dengan pembantah jawaban lawan dan

pembuktian. Dalam mempertahankan dalil-dalil di dalam persidangan

tidak hanya sekedar menjawab atau membantah saja, akantetapi

semuanya haruslah didukung oleh dasar hukum yang kuat dalam

mempertahankan dalil gugat. Dasar hukum ini dapat berupa peraturan

perundang-undangan, doktrin, praktek pengadilan dan kebiasaan yang

sudah diakui sebagai hukum.62

b. Adanya kepentingan hukum

Penggugat haruslah mempunyai kepentingan hukum secara

langsung yang melekat pada dirinya sebelum menuangkan suatu

tindakan dan sebuah gugatan, hal ini menjadi syarat mutlak untuk

dapat mengajukan gugatan. Orang yang tidak mempunyai

61Abdul Manan,Penerapan HukumAcara., 17-23.

(44)

kepentingan hukum tidak dibenarkan mengajukan gugatan, hanya

orang yang berkepentingan langsung yang dapat mengajukan gugatan,

sedangkan orang yang tidak mempunyai kepentingan langsung

haruslah mendapat kuasa terlebih dahulu dari orang untuk dapat

mengajukan gugatan ke pengadilan.

c. Merupakan suatu sengketa

Gugatan yang diajukan kepada pengadilan haruslah bersifat

sengketa dan persengketaan itu telah menyebabkan kerugian dari

pihak penggugat, sehingga perlu diselesaikan melalui pengadilan

sebagai instansi yang berwenang dan tidak memihak. Dalam gugatan

ini, tuntutan haknya harus mengandung sengketa sebagaimana yang

dimaksud Pasal 118 HIR/ Pasal 132 RBg.

d. Dibuat dengan cermat dan terang

Gugatan secara tertulis haruslah disusun dalam surat gugatan

yang dubuat secara cermat dan terang, jika tidak dilakukan secara

demikian maka akan mengalami kegagalan dalam sidang pengadilan.

Surat gugatan tersevut harus disusun secara singkat, padat dan

mencakup dalam persoalan yang disengketakan. Gugatan tidak boleh

obscuur libel

, artinya tidak boleh kabur baik mengenai

pihak-pihaknya, objek sengketanya, dan landasan hukum yang

dipergunakannya sebagai dasar gugat.

(45)

Pemahaman dalam hukum formil dan materiil merupakan

prinsip gugatan, sebab kedua hukum tersebut berkaitan erat dengan

seluruh isi gugatan yang akan dipertahankan dalam sidang pengadilan.

Namun jika seorang belum memahami hukum formil atau materiil

maka sebagaimana tertuang dalam Pasal 119 HIR dan Pasal 143 RBg

dengan tujuan agar tidak mengalami kesulitan dalam membuat

gugatan bagi orng-orang yang kurang pengetahuannya tentang hukum

formil dan materiil.

5. Syarat-Syarat Gugatan

Mengenai persyaratan tentang isi daripada gugatan tidak ada

ketentuannya, akan tetapi jika kita melihak dalam Rv Pasal 8 angka (3)

yang mengharuskan pokok gugatan yang meliputi:63

a. Identitas para pihak

Yang dimaksud dengan identitas adalah ciri-ciri dari

penggugat dan tergugat, yaitu:

1) Nama (beserta bin/binti dan aslinya)

2) Umur

3) Agama

4) Pekerjaan

5) Tempat tinggal

6) Kewarganegaraan (jika perlu).64

(46)

Identitas ini merupakan bagian penting dalam gugatan, sebab apabila

penggugat salah menuliskan nama ataupun alamat si tergugat

kemungkinan bisa menimbulkan gugatan tidak dapat diterima atau

bisa terjadi subjek yang mengajukan gugatan termasuk tidak

memenuhi persyaratan undang-undang (

error in persona

).65

b.

Fundamentum petadi

/posita gugatan

Fundamentum petadi

adalah dalil-dalil posita konkret tentang

adanya hubungan hukum yang merupakan dasar dari suatu tuntutan

hak,66

Fundamentum petadi

terbagi atas dua bagian:

1) Bagian yang menguraikan tentang kejadian atau peristiwa

(

feitelijke gronden

)

2) Bagian yang menguraikan tentang dasar hukumnya

(

rechtgronden

)67

Uraian dalam posita harus memuat fakta hukum dan bukan

fakta rill (apa adanya). Untuk itu diperlukan pengetrahuan hukum

yang memadai, khususnya yang ada kaitannya dengan materi gugatan

agar dapat melakukan seleksi atau analisis fakta rill yang ada. Fakta

mana yang harus dikesampingkan atau cukup disampaikan melalui

keterangan saksi di depan sidang.68

c. Petitum (tuntutan)

65Sophar Maru,Praktik Peradilan…,18. 66Pasal 193 HIR (283 RBg, 1865 BW).

(47)

Dalam surat gugatan harus pula dilengkapi dengan petitum,

yaitu hal-hal apa yang diinginkan atau diminta oleh penggugat untuk

diputuskan, ditetapkan dan diperintahkan Hakim. Petitum ini harus

lengkap dan jelas, karena bagian dari surat gugatan ini yang

terpenting. Apabila petitum tidak jelas atau tidak sempurna dapat

berakibat tidak diterimannya petitum tersebut.69

Demikian pula gugatan yang berisi pernyataan-pernyataan

yang bertentangan satu sama lain disebut

obscuur libel

(gugatan yang

tidak jelas atau gugatan kabur), yang berakibat tidak diterimanya atau

ditolaknya gugatan tersebut.70

Petitum ini dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bagian

pokok, yaitu:

1) Petitum primer (pokok) yang langsung berhubungan dengan pokok

perkara.

Merupakan tuntutan yang sebenarnya diminta penggugat

dan Hakim tidak boleh mengabulkan lebih dari apa yang diminta

(dituntut).

2) Petitum tambahan, bukan tuntutan pokok tetapi masih ada

hubungannya dengan pokok perkara.

69

(48)

Merupakan tuntutan pelengkap daripada tuntutan pokok

seperti dalam perceraian berupa tuntutan pembayaran nafkah

anak, mut’ah, nafkah iddah dan pembagian harta bersama.71

3) Tuntutan subsidair atau pengganti72

Petitum subsidair atau pengganti. Biasanya berisi

kata-kata, “apabila Majelis Hakim perkara pendapat lain, mohon

putusan yang seadil-adilnya (

ex aequo et bono

).”

Jadi, maksud dan tujuan tuntutan subsidair adalah apabila

tuntutan primer ditolak masih ada kemungkinan dikabulkannya

gugatan yang didasarkan atas kebebasan atau kebijaksanaan hakim

berdasarkan keadilan.73

6. Formulasi Gugatan

Formulasi gugatan ialah rumusan dan sistematika gugat yang

tepat menurut hukum dan praktek peradilan. Sehubungan dengan masalah

formulasi gugatan masih sering digunakan gugatn yang tidak memenugi

syarat. Dari sinilah akan ditentukan formulasi dan sistimatika yang tepat

dan memenuhi syarat, yaitu sebagai berikut:

a. Pencantuman tanggal gugatan

Kealpaan mencantumkan tanggal tidak mempengaruhi

keabsahan gugat. Karena tanggal bukan bagian daripada syarat formal

dari surat gugatan dalam praktek peradilan, tanggal surat gugatan

(49)

secara resmi dicantumkan dalam putusan.tetapi sekiranya alpa, dasar

tanggal resminya surat gugatan dapat diambil dari tanggal

pendaftaran dalam buku register perkara.74

b. Pencantuman alamat Ketua Pengadilan

Surat gugatan dialamatkan kepada Ketua Pengadilan.75 Oleh

karena itu, surat gugatan harus mencantumkan bahwa gugatan

dialamatkan kepada Ketua Pengadilan. Hal ini bukan keabsahan surat

gugatan. Seandainya penggugat lupa, tidak mengakibatkan gugatan

tidak sah. Kelalaian itu dianggap sudah tercantum dalam gugatan.

c. Pencantuman lengkap dan terang nama dan alamat para pihak

Sistematika berikut adalah pencantuman nama lengkap serta

alamat yang terang dari para pihak. Hal ini merupakansalah satu

faktor

esensial

syarat formal surat gugatan. Mengenai penyebutan

pekerjaan, umur, agama dan kewarganegaraan tidak mesti. Tetapi

lebih tepat dicantumkan untuk memperkuat kebenaran identitas

gugatan.76

d. Penegasan para pihak dalam perkara

Formulasi penegasan para pihak dalam gugatan, penulisannya

langsung mengikuti penyebutan identitas. Penegasan ini merupakan

syarat formal. Kelalaian atsnya dapat dianggap gugatan

obscuur libel

.

Sebab tujuan penegasan kedudukan para pihak berkaitan erat dengan

74Ibid., 19.

75Pasal 118 ayat (1) HIR dan Pasal 142 ayat (1) RBg.

(50)

hak membela dan mempertahankan kepentingan para pihak.

Disamping dalam posita diuraikan hubungan hukum yang terjadi

antara para pihak harus ditegaskan satu persatu kedudukan para pihak

dalam surat gugatan. Jika tidak, gugatan dianggap kabur atau

obscuur

libel

.77

e. Uraian posita atau dalil gugat

Posita gugat adalah penjelasan dalil atau alasan gugatan. Ia

merupakan esensi gugatan yang berisi hal-hal penegasan hubungan

hukum antara penggugat dengan objek yang disengketakan pada satu

segi, hubungan hukum antara penggugat dan tergugat serta hubungan

tergugat dengan objek sengketa pada segi lain.

Pada prinsipnya dalil gugat supaya jelas harus merupakan

rangkaian dari beberapa hubungan hukum dan peristiwa atau

rechtsfeiten

. Posita gugat harus cukup ringkas, jelas dan terinci

peristiwa-peristiwa yang berkenaan dengan dalil dan persengketaan.

Banyak gugatan yang panjang lebar tapi berbeli-belit sehingga

terkadang bias mengakibatkan gugatan menjadi kabur.

f. Perumusan hal-hal yang bersifat

assecor

Dalil gugatan dengan segala penjelasan yang membarenginya

adalah bagian dari pokok perkara atau materi perkara. Tapi terkadang

gugatan pokok sering diikuti dengan gugatan atau permohonan yang

bersifat

assecor

. Maksudnya, dengan adanya gugatan pokok, hukum
(51)

membenarkan penggugat mengajukan gugatan tambahan yang

melekat pada gugatan pokok.

Maka sesuai dengn sistematika formulasi gugatan, gugat

assecor

mengikuti urutan rumusan dalil gugatan pokok. Tidak boleh

terbalik karena dapat berakibat gugatan menjadi

obscuur libel

, sebab

tidak jelas mana yang pokok dan mana yang

assecor

.78

g. Pencantuman permintaan untuk dipanggil dan diperiksa

Pencantuman permintaan agar para pihak dipanggil dan

diperiksa adalam persidangan adalah rumusan formal.79 Namun

rumusan ini bukan syarat formal yang menentukan keabsahan surat

gugatan. Sekiranya lalai mencantumkan, tidak mengakibatkan surat

gugatan mengandung cacat.

h. Petitum gugatan

Petitum gugatan juga disebut juga diktum gugatan. Petitum

gugatan yang berisi rincian satu persatu tentang apa yang diminta dan

dikehendaki penggugat untuk dinyatakan dan dihukumkan kepada

para pihak, terutama kepada pihak tergugat. Dengan kata lain,

petitum ini menjadi kesimpulan akhir gugatan yang berisi rincian

tuntutan penggugat kepada pihak tergugat.

Kedudukan petitum dalam surat gugatan merupakan syarat

formil yang bersifat mutlak. Suatu gugatan yang tidak berisi

78 Ibid.

(52)

perumusan petitum dianggap kabur atau tidak sempurna, dan gugatan

dinyatakan tidak dapat diterima.80

C. Gugatan

Obscuur Libel

.

1. Pengertian Gugatan

Obscuur Libel

Yang dimaksud dengan

obscuur libel

adalah surat gugatan tidak

terang isinya atau isinya gelap (

onduidlijk

). Bisa disebut juga dengan

formulasi gugatan tidak jelas, padahal agar gugatan itu dianggap sudah

memenuhi syarat formil, maka dalil gugatan harus terang dan jelas atau

tegas (

duidelijk

).

Obscuur libel

juga dapat diartikan dengan gugatan yang

berisi penyataan-pernyataan yang bertentangan satu sama lain.81

Penyataan-pernyataan yang bertentangan tersebut mengakibatkan

gugatan tidak jelas dan mengakibatkan gugatan menjadi kabur.

Ketentuan Pasal 118 ayat (1), Pasal 120 dan Pasal 121 HIR tidak

dapat penegasan merumuskan gugatan secara jelas dan terang. Namun

praktik peradilan memedomani pasal 8 Rv sebagai rujukan berdasarkan

asas

process doelmatigheid

(demi kepentingan beracara). Menurut pasal 8

Rv, pokok-pokok gugatan disertai kesimpulan yang jelas dan tertentu

(

een duidelijk en bapaalde conclusive

). Berdasarkan ketentuan itu, praktik

peradilan mengembangkan penerapan eksepsi gugatan kabur (

obscuur

libel

) atau eksepsi gugatan tidak jelas.

80Ibid., 196

(53)

2. Macam-macam Gugatan

Obscuur Libel

Obscuur libel

yaitu surat gugatan penggugat tidak terang atau

kabur. Disebut juga formulasi gugatan yang tidak jelas. Gugatan kabur ini

dikarenakan oleh:82

a. Posita (

fundamentum petendi

) tidak menjelaskan dasar hukum dan

kejadian yang mendasari gugatan

b. Tidak jelas objek yang disengketakan

c. Penggabungan dua atau beberapa gugatan yang masing-masing berdiri

sendiri

d. Terdapat saling bertentangan antara posita dengan petitum

e. Petitum tidak terinci, tetapi hanya berupa

ex aequo et bono

Gugatan

obsscuur libel

(tidak jelas atau kabur) terdiri dari:83

a.

Obscuur libel fundamentum petendi

Dasar hukum gugatan atau posita atau

fundamentum petendi

,

yakni dasar hukum dan kejadian atau peristiwa yang mendasari

gugatan. Dapat terjadi jika dasar atau landasan hukum yang

digunakan dalam gugatan salah atau tidak ada. Karena dasar hukum

yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, doktrin-doktrin,

kebiasaan yang telah diakui, ini merupakan dasar pengambilan suatu

putusan yang berguna untuk mempertahankan dalil gugatan dalam

82M. Yahya Harahap, Beberapa Permasalahan Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 1994), 18.

(54)

persidangan serta meyakinkann para pihak bahwa kejadian dan

peristiwa hukum benar-benar terjadi.84

b.

Obscuur libel

objek sengketa

Hal ini terjadi jika objek dalam persengketaan tidak jelas,

misalnya dalam perkara harta bersama, tanah sengketa yang digugat

tidak jelas batas-batas atau luasnya.85

Jika objek gugatan tidak dijelaskan dengan jelas dan pasti,

maka gugatan dapat dinyatakan

obsscuur libel

. Hal tersebut mengacu

pada Yurisprudensi MA Nomor 556/K/Sip/1973 tanggal 21 Agustus

1974 yang menyatakan bahwa: “Jika objek gugatan tidak jelas, maka

gugtan tidak dapat diterima”.86

Sesuai dengan Yurisprudensi MA Nomor 81 K/Sip/1971

tanggal 9 Juli 1973 yang menyatakan bahwa, “Karena tanah yang

dikuasai Tergugat ternyata tidak sama batas-batas dan luasnya dengan

yang tercantum dalam gugatan, maka gugatan harus dinyatakan tidak

dapat diterima”. Maka tidak jelasnya objek gugatan dapat terjadi

seperti jika ukuran objek gugatan yang tercantum dalam gugatan

tidak sama dengan yang sebenarnya dikuasai oleh tergugat maka

gugatan tersebut dapat dikatan

obsscuur libel

.87

Selain itu objek gugatan yang tidak menerangkan batas-batas

objek yang disengketakan, tidak disebutkan dengan jelas di mana

84

Abdul Manan,Peneraoan Hukum., 8. 85Ibid., 26.

(55)

letak objek perkara, tidak menjelaskan ukuran objek perkara, ukuran

objek perkara berbeda dengan hasil pemeriksaan langsung dan

lain-lain. Ketentuan tersebut berdasarkan yurisprudensi MA Nomor 1149

K/Sip/1979 tanggal 17 April 1979 yang menyatakan bahwa: “Karena

dalam surat gugatan tidak disebutkan jelas letak atau batas-batas

tanah sengketanya, gugatan tidak dapat diterima”. Dan Yurisprudensi

MA Nomor 1159 K/PDT/1983 tanggal 23 Oktober 1984 yang

menyatakan bahwa, “Gugatan yang tidak menyebutkan batas-batas

objek sengketa dinyatakan

obscuur libel

dan gugatan tidak dapat

diterima”.88

c. Penggabungan dua gugatan yang masing-masing berdiri sendiri

Yang menjadi masalah ialah jika terjadi penggabungan antara

wanprestasi dan PMH hal tersebut dapat mengakibatkan gugatan

dinyatakan

obsscuur libel

, kecuali dalam penggabungan tersebut jelas

dirinci pemisahan antara keduanya.

Beberapa permasalahan diatas mengakibatkan gugatan

obsscuur libel

dengan demikian hendaknya tergugat mengajukan

tangkisan atau eksepsi terhadap gugatan penggugat, disertai dengan

alasan-alasan yang jelas sesuai dengan hukum acara yang berlaku,

dimaksudkan untuk memperjelas hal-hal yang hendak dimintakan

keadilan terhadap Majelis Hakim.

(56)

d.

Obsscuur libel

petitum

Petitum atau tuntutan harus jelas dan tegas. HIR dan RBg

sendiri hanya mengatur menegenai cara mengajukan gugatan.

Tuntutan atau petitum adalah segala hal yang dimintakan atau

dimohonkaan oleh penggugat agar diputuskan oleh majelis hakim.

Jadi, petitum itu akan terjawab di dalam amar atau diktum putusan.

Oleh karenanya, petitum harus dirumuskan secara jelas dan tegas.

Apabila petitum yang tidak jelas atau tidak sempurna dapat berakibat

tidak diterimanaya petitum tersebut. Demikian pula gugatan yang

berisi penyataan-pernyataan yang bertentangan satu sama lain disebut

obsscuur libel

(gugatan yang tidak jelas atau gugatan kbur), yang

berakibat tidak diterimanya atau ditolaknya gugatan tersebut.89

Menurut Yurispru

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui penempatan dan pemilihan bidang outdoor akan menghitung hasil kriteria dengan kriteria, variabel dengan kriteria dengan, Metode yang digunakan

Berdasarkan hasil analisis penelitian dan hasil pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, variabel sikap mengeluh berpengaruh positif dan

Berdasarkan latar belakang pe- nelitian yang telah diuraikan maka tu- juan dari penelitian ini tidak lain ada- lah untuk mengetahui dan mengana- lisis pengaruh

No No Peserta nama Peserta Asal Sekolah SAK I Status Ketua

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pergantian manajemen, ukuran perusahaan klien, financial distress, opini audit, pertumbuhan perusahaan dan kompleksitas

Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui peran komunikasi keluarga dalam usaha pelestarian bahasa Tidore, serta menelusuri kendala-kendala mempengaruhi

masyarakat/penghasil sampah yaitu masing-masing sebesar 50%. Untuk 10 tahun kedua lebih dibebankan kepada masyarakat/penghasil sampah sesuai dengan prinsip cost

TINJAUAN PUSTAKA 11 Distribusi Binomial Variabel Acak Diskrit Distribusi Normal Standart Distribusi Bernoulli Distribusi Normal Penelitian Terdahulu PENDAHULUAN TINJAUAN