• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BOJONEGORO NO. 64/PDT.P/2014/PA.BJN PERIHAL PENOLAKAN PERMOHONAN WALI ADHOL KARENA PENGINGKARAN ANAK.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BOJONEGORO NO. 64/PDT.P/2014/PA.BJN PERIHAL PENOLAKAN PERMOHONAN WALI ADHOL KARENA PENGINGKARAN ANAK."

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

viii

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian dokumentasi (conten analisis) tentang penetapan Pengadilan Agama Bojonegoro perihal penolakan permohonan wali adhol karena pengingkaran anak. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana pertimbangan hukum hakim terhadap penetapan PA Bojonegoro No.64/Pdt.P/2014/PA.Bjn dan bagaimana Analisis yuridis terhadap penetapan PA Bojonegoro No.64/Pdt.P/2014/PA.Bjn.

Guna menjawab permasalahan di atas, penulis menggunakan teknik pengumpulan data melalui dokumentasi dan interview atau wawancara. Dokumentasi yang berupa putusan Pengadilan Agama Bojonegoro, Dan data hasil wawancara yang selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis dengan pola pikir deduktif yaitu mengemukakan teori atau dalil-dalil yang bersifat umum tentang wali nikah, kedudukan anak serta proses penetapan wali adhol dalam hukum positif.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa Majelis Hakim dalam menetapkan penetapan dengan menolak permohonan wali adhol karena pengingkaran anak ini menurut penulis masih kurang dasar hukumnya, sehingga kepastian hukum dalam perkara ini belum mencapai batas minimal pembuktian. Adapun pertimbangan hakim dalam menetapkan perkara ini adalah berdasar pada ketentuan Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah untuk keduakalinya dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, serta hukum syar’i dan didukung dengan bukti tertulis berupa foto copy E-KTP dan dua orang saksi. Alasan wali adhol dalam perkara ini adalah karena wali pemohon mengingkari bahwa Pemohon adalah anak sahnya. Namun pada kenyataannya wali pemohon tidak pernah mengajukan pengingkaran anak ke pengadilan, padahal menurut peraturan perundang-undangan pengingkaran anak hanya sah dilakukan di depan sidang pengadilan. Selain itu, ditemukan fakta bahwa pemohon adalah anak sah yang lahir dalam perkawinan yang sah antara wali pemohon dan Ibu pemohon dengan hak-hak keperdataan melekat pada dirinya. Dalam hal ini tentunya majlis hakim harus membuktikan terlebih dahulu tentang pembuktian asal-usul anak dengan cara-cara pembuktian yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang telah ada.

(2)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENETAPAN PENGADILAN

AGAMA BOJONEGORO NO. 64/PDT.P/2014/PA.BJN PERIHAL

PENOLAKAN PERMOHONAN WALI

ADHOL

KARENA

PENGINGKARAN ANAK

SKRIPSI

Oleh

Moh. Mursyid Asyari

NIM. C01210040

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Islam Prodi Ahwal Al Syakhsiyah

Surabaya

(3)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENETAPAN PENGADILAN

AGAMA BOJONEGORO NO. 64/PDT.P/2014/PA.BJN PERIHAL

PENOLAKAN PERMOHONAN WALI

ADHOL

KARENA

PENGINGKARAN ANAK

SKRIPSI

Diajukan kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu

Ilmu Syariah dan Hukum

Oleh

Moh. Mursyid Asyari

NIM. C01210040

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Islam Prodi Ahwal Al Syakhsiyah

Surabaya

(4)
(5)
(6)
(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identitas dan Batasan Masalah ... 12

C. Rumusan Masalah ... 13

D. Kajian Pustaka ... 13

E. Tujuan Penelitian ... 15

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 15

G. Definisi Operasional ... 16

(8)

I. Sistematika Pembahasan ... 21

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WALI NIKAH DAN KEDUDUKAN ANAK SERTA PROSES PENETAPAN WALI ADHOL DALAM HUKUM POSITIF ... 24

A. Konsep Wali Nikah dalam Hukum Positif ... 24

B. Kedudukan Anak dalam Hukum Positif ... 26

1. Anak Sah ... 26

2. Pengingkaran Anak ... 28

3. Pembuktian Asal-Usul Anak ... 29

C. Proses Penetapan Wali Adhol dalam Hukum Positif ... 30

1. Pembuktian di muka Persidangan ... 31

2. Pengambilan Putusan ... 40

BAB III PENETAPAN PERKARA NOMOR 64/PDT.P/2014/PA.BJN PERIHAL PENOLAKAN PERMOHONAN WALI ADHOL KARENA PENGINGKARAN ANAK DI PENGADILAN AGAMA BOJONEGORO ... 44

A. Deskripsi Putusan Hakim ... 44

1. Identitas Para Pihak ... 44

2. Posita (Fakta Hukum) ... 44

3. Petitum (Tuntutan) ... 46

(9)

B. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menetapkan Perkara

No:64/Pdt.P/2014/PA.Bjn Perihal Penolakan Permohonan Wali

Adhol karena Pengingkaran Anak ... 52

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BOJONEGORO NO:64/PDT.P/2014/PA.BJN PERIHAL PENOLAKAN PERMOHONAN WALI ADHOL KARENA PENGINGKARAN ANAK ... 58

A. Analisis Yuridis terhadap Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menetapkan Perkara No. 64/Pdt.P/2014/PA.Bjn perihal Penolakan Permohonan Wali Adhol karena Pengingkaran Anak ... 58

B. Analisis Yuridis terhadap Penetapan Pengadilan Agama Bojonegoro No. 64/Pdt.P/2014/PA.Bjn perihal Penolakan Permohonan Wali Adhol karena Pengingkaran Anak ... 63

BAB V PENUTUP ... 82

A. Kesimpulan ... 82

B. Saran ... 83

DAFTAR PUSTAKA ... 86

(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan adalah suatu cara yang dijadikan oleh Allah SWT. sebagai

salah satu jalan bagi manusia untuk meraih ketentraman jiwa dan

kebahagiaan hidup, dan juga untuk melestarikan serta menjaga

keturunannya. Selain itu, pernikahan juga dapat dipandang sebagai satu jalan

menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum yang lain. Karena

pada hakekatnya, akad nikah adalah pertalian yang teguh dan kuat dalam

hidup dan kehidupan manusia, bukan hanya antara suami-istri dan

keturunannya, melainkan antara dua keluarga.1 Bentuk pernikahan ini telah

memberikan rasa aman bagi manusia untuk memelihara keturunan dengan

baik dan menjaga kaum perempuan agar tidak laksana rumput yang bisa

dimakan oleh binatang ternak dengan seenaknya. Peraturan pernikahan yang

seperti inilah yang diridlai Allah SWT. dan diabadikan Islam untuk

selamanya. 2

Dalam pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan telah dijelaskan bahwa, “Perkawinan adalah

ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami

1 Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 1, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), 11.

2 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah,Mohammad Thalib, 6, (Bandung: PT Alma’arif, Cetakan Pertama

(11)

2

istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.3 Begitu juga diterangkan

dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2, bahwa: “Perkawinan menurut

hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau

miitsaaqon gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya

merupakan ibadah”.4

Kedua pasal di atas menjelaskan tentang tujuan pernikahan yaitu

untuk membentuk keluarga yang bahagia dan juga sekaligus beribadah

mentaati perintah Allah SWT. Dalam sebuah perkawinan terkadang dari

beberapa pasangan, pada awalnya mereka tidak saling mengenal dan kadang

kala mereka mendapatkan pasangan yang berjauhan. Akan tetapi, tatkala

memasuki dunia pernikahan, mereka begitu menyatu dalam keharmonisan,

dan bersatu dalam menghadapi tantangan dalam mengarungi bahtera

kehidupan,5 Seperti dijelaskan dalam firman Allah surat Ar-Rum ayat 21 :

كلذ ي نا ةمرو ةدوم مك يب لعجو اهيلا او كستل اجاوزا مكسفنا نم مكل قلخ نا هتيا نمو

نوركفتي موقل تيا

.

Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan

untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa

3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ( Rhedbook

Publisher, 2008).

4 Kompilasi Hukum Islam, (Media Centre).

5 Rahmad Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: Pustaka

(12)

3

tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang.

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi

kaum yang berfikir.” (Q.R. Ar-Rum: 21).6

Menurut Beni Ahmad Saebani dalam bukunya Fiqh Munakahat 1

(2001:107), dalam beribadah yang dalam hal ini adalah pernikahan, akan

dianggap sah apabila terpenuhi syarat dan rukunnya. Syarat dan rukun nikah

ini merupakan bagian yang wajib dipenuhi. Jika tidak terpenuhi pada saat

berlangsung, maka pernikahan tersebut dianggap batal. Dalam KHI Pasal 14

dijelaskan tentang rukun nikah, yaitu:

dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon

mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Adapun yang

bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat

hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh. Dan yang paling berhak menjadi

wali bagi mempelai perempuan adalah Ayah kandungnya. Atau orang yang

6Depatemen Agama RI, Al-Jumanatul Ali AL-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV

Jumanatul ‘Ali Art, 2006), 311.

(13)

4

dipasrahi mewakili ayah tersebut atau yang diberi wasiat oleh ayah

kandungnya untuk menjadi wali.8

Adapun tentang syarat-syarat perkawinan, dalam Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, persyaratan tersebut hanya

menyangkut persetujuan kedua calon dan batasan umur serta tidak adanya

halangan perkawinan antara kedua calon mempelai tersebut. ketiga hal ini

sangat menentukan untuk mencapai tujuan perkawinan itu sendiri.9

Persetujuan kedua calon meniscayakan perkawinan itu tidak didasari oleh

paksaan. Syarat ini setidaknya mengisyaratkan adanya emansipasi wanita

sehingga setiap wanita dapat dengan bebas menentukan pilihannya siapa

yang paling cocok dan maslahat sebagai suaminya, jadi disini tidak ada

paksaan, terlebih lagi bagi masyarakat yang telah maju.10

Wali nikah terdiri dari wali nasab dan wali hakim. “Wali Nasab

adalah pria beragama Islam yang mempunyai hubungan darah dengan calon

mempelai wanita dari pihak ayah menurut hukum Islam”. Sedangkan, “Wali

Hakim adalah Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan yang ditunjuk oleh

Menteri Agama untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai

wanita yang tidak mempunyai wali”.11

Dalam KHI dijelaskan bahwa wali nasab terdiri dari empat kelompok

dalam urutan kedudukan, yaitu:

8 Fatihuddin Abul Yasin, Risalah Hukum Nikah, (Surabaya: Terbit Terang, 2006), 31.

9 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Perundangan, Hukum Adat dan

Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 1990), 45-47.

10 Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading, 1975), 35.

11 Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2005 Tentang Wali Hakim,

(14)

5

a. Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah,

kakek dari pihak ayah dan seterusnya.

b. Kedua, kelompok kerabat saudara laki kandung atau saudara

laki-laki seayah dan keturunan laki-laki-laki-laki mereka.

c. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah,

saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.

d. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki

seayah kakek dan keturunan mereka.

Dalam hal ini kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain

sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.12

Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang

yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali

ialah yang paling dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai

wanita. Jika ada yang sama-sama berhak menjadi wali maka mengutamakan

yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali. Apabila wali nikah yang

paling berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau

karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur,

maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat

berikutnya, begitu seterusnya hingga wali hakim. Namun wali hakim ini baru

dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak

(15)

6

mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib

atau adhol atau enggan.13 Rasulullah SAW bersabda :

) ئاس لاو هجام نباو دواد وباو دما اور( هل يو ا نم يو ناطلسلاف

Artinya: “Maka hakimlah yang bertindak menjadi wali bagi seseorang yang tidak ada walinya.” (H.R. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Nasa’i).14

Dalam hal menolaknya wali untuk menikahkan anak perempuannya

yang sudah baligh dan berakal untuk menikahkannya dengan calon suami

yang sederajat (sekufu’), hendaknya wali yang menolak ini menyatakan

keengganannya menikahkan di hadapan hakim dan menyebutkan

sebab-sebab keengganannya setelah diperintahkan hakim.15 Dalam KHI pasal 23

ayat 2 diterangkan bahwa dalam hal wali adhol atau enggan maka wali

hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan

Pengadilan Agama tentang wali tersebut.

Selaras dengan masalah enggannya seorang wali untuk menikahkan

anaknya, kasus dengan register perkara Nomor : 64/Pdt.P/2014/PA.Bjn

tertanggal 14 Maret 2014 yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan

Agama Bojonegoro pada tanggal 14 Maret 2014, merupakan pengajuan surat

permohonan dalam kasus Wali Adhol. Dalam perkara ini pemohon bernama

Ferin Ambitawati Binti Mukmin (usia 19 tahun, agama Islam pekerjaan CV.

13 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 21-23.

14Beni Ahmad saebani, Fiqh Munakahat 1..., 249.

15 Muhammad bin Salim bin Hafizh, Al-Miftahu Libabin Nikah, Kunci memahami Hukum

(16)

7

Maju Jaya) adalah anak sah dari Mukmin bin Radi (usia 60 tahun, agama

Islam, pekerjaan Pensiunan PNS) yang hendak menikah dengan Bukhori Bin

Sukardi (usia 20 tahun, agama Islam, pekerjaan PT Semen Holcim).

Pada dasarnya, pemohon dan calon suami pemohon dianggap sudah

sepadan (sekufu) dan juga antara keduanya tidak ada hubungan nasab

ataupun hubungan sesusuan yang menjadi penghalang antara keduanya untuk

melangsungkan pernikahan. Namun ketika calon suami pemohon berusaha

melamar pemohon, wali nikah pemohon tidak berkenan menerima lamaran

tersebut dan tidak bersedia menjadi wali dalam pernikahan pemohon dengan

calon suami pemohon.

Penolakan wali nikah pemohon tersebut, dikarenakan wali nikah

pemohon tidak mengakui pemohon sebagai anaknya. Sebab ketika wali

pemohon masih berstatus suami istri dengan ibu pemohon, wali pemohon ini

dengan sengaja mengikuti program KB untuk Pria, yaitu dengan melakukan

vasektomi (Vasektomi adalah operasi kecil (bedah minor) yang dilakukan

oleh tenaga kesehatan terlatih untuk mencegah transportasi sperma pada

testikel dan penis.16) dengan maksud sudah tidak ingin mempunyai anak lagi,

namun Ibu pemohon hamil lagi. Dan hal tersebut membuat wali pemohon

ragu apakah anak yang dikandung tersebut adalah anaknya.17

Dalam perkara ini, selain pemohon meminta agar membebankan

biaya perkara kepada pemohon, pemohon juga meminta kepada Pengadilan

16 Tim Penggerak PKK Provinsi Jawa Timur, Buku Pedoman KB Bagi Kader Dasa Wisma,

(BPPKB), 11.

(17)

8

supaya mengabulkan permohonan pemohon dengan menetapkan wali nikah

pemohon yang bernama Mukmin Bin Radi adalah adhol, dan bilamana

Pengadilan Agama berpendapat lain, pemohon mohon perkara tersebut

diputus menurut hukum dengan seadil-adilnya.

Akan tetapi pada akhirnya selain membebankan biaya perkara sebesar

Rp. 341.000,- kepada pemohon, Pengadilan Agama Bojonegoro tidak

menetapkan Mukmin bin Radi sebagai wali adhol. Namun menyatakan

bahwa Mukmin bin Radi tidak berhak menjadi wali nikah terhadap pemohon.

Melihat penetapan Pengadilan Agama ini perlu kiranya dikaji terlebih

dahulu. Karena jika kita lihat, wali pemohon telah enggan untuk menikahkan

anaknya karena wali pemohon tidak mengakui pemohon sebagai anaknya.

Namun pada kenyataannya pemohon adalah anak yang lahir dalam

perkawinan yang sah antara Mukmin bin Radi dengan Sulikah binti Suwito

(Ibu pemohon), yang mana dikatakan dalam Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada Bab IX tentang

kedudukan anak, bahwa Anak yang sah adalah anak yang lahir dalam atau

sebagai akibat dari perkawinan yang sah.

Dari sini jika kita melihat penetapan Pengadilan Agama yang

menyatakan bahwa Mukmin bin Radi tidak berhak menjadi wali nikah

pemohon, tidak selaras dengan UU No.1 Tahun 1974 pasal 42, bahwa

pemohon adalah anak yang lahir dalam perkawinan yang sah. Berarti

(18)

9

pemohon adalah anak yang lahir dalam pernikahan yang sah antara Mukmin

bin Radi dengan Sulikah binti Suwito (Ibu Pemohon).

Adapun tentang program KB yang telah diikuti wali pemohon

sebelum Ibu pemohon hamil pemohon, yaitu vasektomi, seharusnya Majlis

Hakim mendatangkan saksi ahli yaitu dokter spesialis untuk melakukan tes

dan pemeriksaan. Namun dalam sidang ini hakim tidak mendatangkan saksi

ahli tersebut. Padahal hal ini penting dilakukan, karena meskipun vasektomi

dinilai paling efektif untuk mengontrol kesuburan pria, namun masih

mungkin dijumpai suatu kegagalan. Adapun vasektomi dianggap gagal

apabila18:

1. Pada analisis sperma setelah 3 bulan pasca vasektomi atau setelah 15

sampai 20 kali ejakulasi masih dijumpai spermatozoa;

2. Dijumpai spermatozoa setelah sebelumnya azoosperma;

3. Istri (pasangan) menjadi hamil.

Oleh karena itulah guna mengetahui dan menjaga kondisi pasien serta

menilai hasil dari pembedahan tersebut, pasien dianjurkan melakukan

perawatan dan pemeriksaan pascabedah vasektomi secara rutin. Kunjungan

tersebut dilakukan dengan jadwal satu minggu setelah pembedahan,

dilanjutkan satu bulan setelah pembedahan, tiga bulan setelah pembedahan,

dan satu tahun setelah pembedahan.19

18 BPPKB Provinsi Jawa Timur, Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi, Edisi 3 (Jakarta:

PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2011).

19 Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Buku KIE Program KB Nasional, (BKKBN

(19)

10

Dengan mendatangkan saksi ahli maka seharusnya majlis hakim

dapat memperoleh keterangan lebih detail mengenai apakah benar bahwa

dengan mengikuti vasektomi ini seseorang benar-benar dimungkinkan tidak

memiliki keturunan lagi. Karena menurut keterangan salah satu saksi yang

didatangkan oleh pemohon sendiri, yaitu As’ad bin Kandar (52 Tahun)

bahwa benar, wali pemohon pernah mengikuti program KB vasektomi

bersama banyak orang di desanya namun selain wali pemohon, ada juga

orang lain yang juga mengikuti program vasektomi saat itu dan ternyata

istrinya masih tetap hamil juga, tetapi mereka tetap rukun.20

Mengingat pentingnya hal ini, seharusnya majlis hakim

mendatangkan saksi ahli, bahkan kalau perlu dilakukan tes DNA untuk

mengetahui status pemohon sebagai anak kandung Mukmin bin Radi.

Selain itu untuk meneguhkan dalil-dalil permohonan pemohon,

pemohon hanya mengajukan bukti tertulis berupa E-Kartu Tanda Penduduk

atas nama pemohon. Seharunya Majlis Hakim meminta alat bukti lain

semisal Akte Kelahiran pemohon, mengingat hal ini juga penting kiranya,

karena dalam UU Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,

pada Bab XII bagian kesatu pasal 55 ayat 1 menegaskan bahwa asal-usul

seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang otentik,

yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.21

20 Salinan Penetapan Perkara No.64/Pdt.P/2014/PA.Bjn.

21 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (Rhedbook

(20)

11

Namun akte kelahiran ini juga tidak diminta oleh Majlis Hakim.

Seharusnya akte kelahiran ini dapat menambah dan memperkuat alat bukti

lainnya. Dan dilanjutkan penjelasannya dalam ayat 2 dari pasal 55 diatas

bahwa bila akte kelahiran tersebut tidak ada, maka pengadilan dapat

mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan

pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.22

Selain beberapa hal di atas, dalam perkara ini, sebelumnya wali

pemohon juga tidak pernah mengajukan pengingkaran anak. Oleh karenanya

tidak sah apabila wali nikah pemohon tersebut baru mengingkari sahnya

anak tersebut (pemohon) ketika anak tersebut membutuhkan wali untuk

menikahkannya. Karena dalam KHI dalam Bab XIV tentang pemeliharaan

anak, pasal 102 ayat 1 dan 2 menyebutkan bahwa, suami yang akan

mengingkari seorang anak yang lahir dari istrinya, mengajukan gugatan ke

Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau

360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui

bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan

dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama. Pengingkaran yang

diajukan sesudah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima.23

Melihat realita yang ada, penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh

tentang penyelesaian perkara wali adhol ini. Untuk itu penulis mengambil

judul : “Analisis Yuridis Terhadap Penetapan PA Bojonegoro No.

22 Ibid.

(21)

12

64/Pdt.P/2014/PA.Bjn Perihal Penolakan Permohonan Wali Adhol Karena

Pengingkaran Anak”.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Dari latar belakang masalah yang penulis paparkan di atas, maka

identifikasi masalah yang dapat diperoleh adalah:

1. Permohonan wali adhol karena pengingkaran anak ke Pengadilang Agama

Bojonegoro;

2. Alasan permohonan wali adhol karena pengingkaran anak ke Pengadilan

Agama Bojonegoro;

3. Penetapan perkara No.64/Pdt.P/2014/PA.Bjn tentang penolakan

permohonan wali adhol karena pengingkaran anak;

4. Pertimbangan hukum hakim dalam sidang penetapan perkara

No.64/Pdt.P/2014/PA.Bjn tentang penolakan permohonan wali adhol

karena pengingkaran anak;

5. Analisis yuridis terhadap penetapan PA Bojonegoro

No.64/Pdt.P/2014/PA.Bjn tentang penolakan permohonan wali adhol

karena pengingkaran anak.

Dari identifikasi masalah ini diperlukan adanya pembatasan masalah

agar penelitian ini fokus dan terarah, oleh karena itu penulis membatasi

masalah yang berkaitan dengan beberapa hal, yaitu:

1. Penetapan PA Bojonegoro No.64/Pdt.P/2014/PA.Bjn perihal penolakan

(22)

13

2. Analisis yuridis terhadap penetapan PA Bojonegoro

No.64/Pdt.P/2014/PA.Bjn perihal penolakan permohonan wali adhol.

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pertimbangan hukum hakim terhadap penetapan PA

Bojonegoro No.64/Pdt.P/2014/PA.Bjn perihal penolakan permohonan wali

adhol karena pengingkaran anak?

2. Bagaimana Analisis yuridis terhadap penetapan PA Bojonegoro

No.64/Pdt.P/2014/PA.Bjn perihal penolakan permohonan wali adhol

karena pengingkaran anak?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi tentang kajian atau penelitian yang

sudah pernah dilakukan sebelumnya, sehingga terlihat jelas bahwa kajian ini

bukanlah pengulangan atau duplikasi dari kajian terdahulu. Dari beberapa

literatur yang penulis baca perihal wali adhol, penulis menemukan beberapa

penelitian yang berhubungan dengan pembahasan wali adhol, antara lain:

1. Skripsi dengan judul “Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan

Pengadilan Agama Gresik No.0051/Pdt.P/2010/PA.Gs Tentang Wali

Adhol Karena Perceraian Kedua Orang Tua” yang ditulis oleh Fithna

Nurul Laily, Tahun 2013. Skripsi ini menjelaskan tentang kasus wali

adhol dengan alasan perceraian kedua orang tua, dan menggunakan

(23)

14

2. Skripsi berjudul “Analisis Yuridis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama

Surabaya No.573/Pdt.P/2011/PA.Sby Tentang Permohonan Wali Adhol

yang Tidak Melalui Prosedur Administrasi” oleh Moch. Dwi Hendra

Mufaizin, Tahun 2013. Skripsi ini memfokuskan pembahasannya pada

prosedur administrasi pengajuan perkara wali adhol tersebut.

3. Skripsi berjudul “Analisis Hukum Islam Terhadap Kecakapan Bertindak

Bagi Seseorang yang Mengajukan Permohonan Wali Adhol di Pengadilan

Agama Surabaya” oleh Lutfiah, Tahun 2012. Dalam skripsi ini penulis

memfokuskan bahasannya pada kecakapan hukum bagi pemohon yang

mengajukan permohonan wali adhol di Pengadilan Agama Surabaya dan

menggunakan analisis hukum Islam.

Dari penelitian-penelitian yang penulis cantumkan di atas, berbeda

dengan penelitian yang hendak penulis lakukan ini. Skripsi yang penulis

angkat ini yaitu berjudul “Analisis Yuridis Terhadap Penetapan PA

Bojonegoro No. 64/Pdt.P/2014/PA.Bjn Perihal Penolakan Permohonan Wali

Adhol Karena Pengingkaran Anak”. Adapun perbedaan yang dapat dilihat,

yaitu penelitian yang penulis angkat ini adalah kasus permohonan wali adhol

karena alasan pengingkaran anak, yang mana wali pemohon tidak mengakui

pemohon adalah anak kandungnya. Sehingga wali pemohon tidak berkenan

menjadi wali nikah pemohon. Kasus ini terjadi di Pengadilan Agama

Bojonegoro dan dianalisis menggunakan analisis yuridis. Sedangkan

penelitian yang penulis cantumkan di atas, yang pertama adalah kasus wali

(24)

15

dan dianalisis dengan Hukum Islam. Yang kedua, permohonan wali adhol

yang tidak melalui Prosedur Administrasi di Pengadilan Agama Surabaya.

Dan yang ketiga adalah Analisis hukum Islam terhadap kecakapan bertindak

bagi seseorang yang mengajukan permohonan wali adhol di Pengadilan

Agama Surabaya.

E. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian yang ingin dicapai dalam penulisan ini

adalah:

1. Menjelaskan dasar pertimbangan hukum hakim terhadap penetapan PA

Bojonegoro No. 64/Pdt.P/2014/PA.Bjn perihal penolakan permohonan

wali adhol karena pengingkaran anak.

2. Menjelaskan analisis yuridis terhadap penetapan PA Bojonegoro No.

64/Pdt.P/2014/PA.Bjn perihal penolakan permohonan wali adhol karena

pengingkaran anak.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Dari penelitian ini, yang menjadi harapan bagi penulis adalah sebagai

berikut:

1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis penelitian ini dapat menambah wawasan dan

(25)

16

bidang hukum di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan

Undang-Undang tentang perkawinan.

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis semoga penelitian ini dapat berguna bagi

Mahasiswa Syari’ah UIN Sunan Ampel Surabaya dan memberikan

tambahan informasi tentang diskripsi perkara wali adhol di Peradilan

Agama di Indonesia. Selain itu, penelitian ini diharapkan pula dapat

berguna bagi hakim Pengadilan Agama sebagai evaluasi dan tambahan

informasi tentang perkara wali adhol.

G. Definisi Operasional

Penegasan istilah/definisi operasional diperlukan apabila

dimungkinkan akan terjadi kesalahfahaman penfsiran istilah antara pembaca

dengan peneliti.24 Maka dari itu untuk menghindari kesalahfahaman dalam

pengertian maksud dari judul di atas maka penulis memberikan definisi yang

menunjukkan kearah pembahasan sesuai dengan maksud yang dikehendaki

oleh judul tersebut, diantaranya yaitu:

1. Analisis Yuridis : adalah penelitian atau penyelidikan terhadap suatu

peristiwa atau perbuatan hukum untuk mengetahui

kebenarannya berdasarkan undang-undang yang

24 Imron Rosidi, Sukses Menulis Karya Ilmiah, Suatu Pendekatan Teori dan Praktek, (Pasuruan:

(26)

17

dibuat dan diberlakukan di Negara Republik

Indonesia.

Dalam skripsi ini penulis menganalisis dengan

Kompilasi Hukum Islam (KHI), Undang-Undang

Republik Indonesia No.1 Tahun 1974 tentang

perkawinan beserta penjelasannya, Undang-Undang

RI No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

sebagaimana yang diubah untuk keduakalinya dengan

Undang-Undang No.50 Tahun 2009, Undang-Undang

No.14 Tahun 1970 tetang ketentuan-ketentuan pokok

kekuasaan kehakiman, Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (KUH Perdata) serta Reglemen Indonesia

yang diperbaharui (Het Herziene Indonesisch

Reglement (HIR)).

2. Wali adhol : adalah wali yang enggan menikahkan atau menolak

untuk menikahkan atau tidak berkenan menjadi wali

pernikahan anak perempunnya dengan seorang

laki-laki yang menjadi pilahan anak perempuannya.25

3. Pengingkaran anak : adalah penolakan pengakuan atau penyangkalan

terhadap sahnya seorang anak oleh seorang suami

(27)

18

terhadap anak yang dilahirkan istrinya, bahwa anak

tersebut dianggap bukan anak kandungnya.

H. Metode Penelitian

1. Data yang dikumpulkan

Dalam penelitian ini, data yang dikumpulkan dan digunakan oleh

penulis untuk diteliti dan dianalisis adalah:

a. Salinan Penetapan Perkara No.64/Pdt.P/2014/PA.Bjn yang telah

dilegaliser dari Pengadilan Agama Bojonegoro;

b. Data hasil wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Bojonegoro tentang dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam menetapkan perkara

No.64/Pdt.P/2014/PA.Bjn. perihal penolakan permohonan wali adhol

karena pengingkaran anak.

2. Sumber Data

Adapun sumber data yang digunakan oleh penulis ada 2 jenis data,

yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder.

a. Sumber data primer, adalah sumber data yang diperoleh penulis

secara langsung dari sumber aslinya, dan yang digunakan dalam karya

ini adalah:

- Salinan Penetapan Perkara No.64/Pdt.P/2014/PA.Bjn yang telah

dilegaliser dari Pengadilan Agama Bojonegoro;

- Hakim yang mengadili Perkara No.64/Pdt.P/2014/PA.Bjn di

(28)

19

c. Sumber data sekunder, yaitu sumber data yang diambil dan diperoleh

dari wawancara dengan para pakar (ahli) dan dari bahan pustaka yaitu

dengan mencari data atau informasi tertulis yang berkaitan dengan

perkara yang penulis teliti:

- Al-Miftahu Libabin Nikah, Kunci Memahami Hukum

Pernikahan, karya Muhammad bin Salim bin Hafizh,

diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh S. Alwi bin Isa

As-Seggaf;

- Fikih Sunnah 6 karya Sayyid Sabiq, diterjemahkan dalam

bahasa Indonesia oleh Mohammad Thalib;

- Fiqh Munakahat 1 karya Beni Ahmad Saebani;

- http://id.wikipedia.org/wiki/Vasektomi;

- Kompilasi Hukum Islam;

- Peradilan Agama karya Ahrum Hoerudin;

- Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 30 Tahun

2005 Tentang Wali Hakim;

- Risalah Hukum Nikah karya Fatihuddin Abul Yasin;

- Sukses Menulis Karya Ilmiah, Suatu Pendekatan Teori dan

Praktek karya Imron Rosidi;

- Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan;

- Juga literatur-literatur lain yang berkaitan dan mendukung

(29)

20

3. Teknik Pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk mengumpulkan

data yang dilakukan oleh penulis antara lain, adalah:

a. Studi Dokumentasi

Adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan

langsung ditujukan kepada subyek penelitian melalui dokumen atau

berkas yang ada. Dalam hal ini dokumen yang diteliti adalah

Penetapan Pengadilan Agama Bojonegoro No.64/Pdt.P/2014/PA.Bjn

perihal permohonan wali adhol karena pengingkaran anak.

b. Wawancara

Dalam penelitian ini penulis mewawancarai Hakim dan

Panitera di Pengadilan Agama Bojonegoro yang terkait dengan

perkara ini.

4. Teknik analisis data

Setelah data yang diperlukan terkumpul, maka penulis akan

menganalisis data tersebut dengan menggunakan metode analisis

deskriptif, yaitu penulis memaparkan dan menjelaskan permasalahan yang

ada. Selanjutnya, data diolah dan dianalisis kembali dengan pola pikir

deduktif, yakni berangkat dari persoalan yang bersifat umum kemudian

ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.26

Dalam penelitian ini penulis mendeskripsikan permasalahan dalam

penetapan perkara No.64/Pdt.P/2014/PA.Bjn perihal penolakan

(30)

21

permohonan wali adhol karena pengingkaran anak, yang kemudian

dianalisis dengan teori yang telah penulis kumpulkan dan kemudian

ditarik kesimpulan dari analisis tersebut. Dari deskripsi perkara

No.64/Pdt.P/2014/PA.Bjn perihal penolakan permohonan wali adhol

karena pengingkaran anak, penulis menganalisis dengan pola pikir

deduktif, yaitu dengan memaparkan kajian teori tentang konsep perwalian

dan prosedur penetapan wali adhol dalam hukum positif, untuk digunakan

dalam menganalisis kasus yang diangkat dalam skripsi ini. Kemudian

dengan pola pikir induktif, penulis memaparkan kesimpulan dari analisis

tersebut.

I. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah dan mendapatkan gambaran yang jelas

mengenai sistematika penulisan dan pembahasan pada skripsi ini, penulis

membagi skripsi ini dalam lima bab.

Pertama adalah bab pendahuluan yang memuat uraian tentang latar

belakang dari permasalahan yang diangkat oleh penulis, yang kemudian

diidentifikasi dan diberi batasan masalah, dan juga dirumusan masalahnya,

pada bab pertama ini juga diuraikan tentang kajian pustaka, tujuan

penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian

hingga sistematika pembahasan. Sehingga dari bab ini akan diketahui

(31)

22

Kemudian pada bab dua, penulis memaparkan tentang kajian teori

tentang tinjauan umum mengenai wali nikah dan kedudukan anak serta

proses penetapan wali adhol dalam hukum positif. Uraian pada Bab dua ini

akan menjadi dasar bagi penulis di dalam menganalisis kasus yang diangkat

dalam skripsi ini.

Selanjutnya pada bab tiga, penulis lebih menekankan pada

pendeskripsian penetapan perkara No.64/Pdt.P/2014/PA.Bjn tentang

penolakan permohonan wali adhol karena pengingkaran anak, dan dasar

pertimbangan hukum hakim dalam menetapkan perkara ini. Dari bab tiga ini

akan dipahami seperti apa kasus yang diangkat oleh penulis dalam menyusun

skripsi ini.

Dilanjutkan bab empat, penulis akan menganalisis dari apa yang telah

dideskripsikan pada bab tiga, yaitu tentang penetapan perkara

No.64/Pdt.P/2014/PA.Bjn perihal penolakan permohonan wali adhol karena

pengingkaran anak, dan dasar pertimbangan hukum hakim dalam

menetapkan perkara tersebut, dengan menggunakan materi yang telah

dipaparkan pada bab dua.

Pada bab empat ini, yang pertama akan dibahas adalah pembahasan

mengenai analisis yuridis terhadap pertimbangan hukum hakim Pengadilan

Agama Bojonegoro dalam menetapkan perkara No. 64/Pdt.P/2014/PA.Bjn

perihal penolakan permohonan wali adhol karena pengingkaran anak,

(32)

23

Agama Bojonegoro No. 64/Pdt.P/2014/PA.Bjn perihal penolakan

permohonan wali adhol karena pengingkaran anak.

Kemudian yang terakhir adalah bab lima, yang merupakan sebuah

kesimpulan dan saran dari penelitian dan analisis yang telah dilakukan oleh

(33)

24

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG WALI NIKAH DAN KEDUDUKAN ANAK SERTA PROSES PENETAPAN WALI ADHOL DALAM HUKUM POSITIF

A. Konsep Wali Nikah dalam Hukum Positif

Masalah perkawinan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara, karena itu pemerintah Indonesia sejak

Proklamasi Kemerdekaan hingga sekarang menaruh perhatian yang serius

dalam hal perkawinan ini.1 Banyak aturan perundang-undangan yang telah

dibuat untuk mengatur masalah perkawinan ini, salah satunya yaitu pada

tahun 1985 pemerintah memprakarsai Proyek Kompilasi Hukum Islam

(KHI). Setelah berhasil diproyeksikan bahwa buku hukum (Kompilasi

Hukum Islam) tersebut menjadi buku standar yang tunggal bagi hakim

Pengadilan Agama di Indonesia dari Sabang sampai Merauke.2

Di jelaskan dalam KHI bahwa untuk melaksanakan sebuah

perkawinan terdapat syarat dan rukun yang harus dipenuhi. Diantara syarat

dan rukun perkawinan tersebut salah satunya adalah adanya seorang wali

nikah. Pernikahan tidak dianggap sah apabila tidak ada wali yang

menikahkannya. Dalam KHI, masalah wali nikah ini diatur dalam Pasal 19

sampai 23. Dalam Pasal 19, KHI mengatakan: “Wali nikah dalam

1 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), 3. 2 Mahfud, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia,

(34)

25

perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai

wanita yang bertindak untuk menikahkannya”. 3

Selanjutnya pada Pasal 20 ayat (1), KHI menyatakan bahwa: “Yang

bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat

hukum Islam yakni muslim, akil dan balig. Diteruskan pada ayat (2), “Wali

nikah terdiri dari : wali nasab dan wali hakim”.

Kemudian dijabarkan pada pasal 21 ayat (1), ada empat kelompok

wali nasab, yaitu :

Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.

- Pertama, kelompok laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.

- Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.

- Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.

- Keempat, kelompok saudara laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki-laki-laki mereka.

Selanjutnya dalam pasal 22, “apabila wali nikah yang paling

berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh

karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur,

maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut

derajat berikutnya”.

3 Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis

(35)

26

Menyangkut dengan wali hakim, diterangkan pada Pasal 23 yang

berbunyi4 :

(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirinya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhol atau enggan.

(2) Dalam hal wali adhol atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.

B. Kedudukan Anak dalam Hukum Positif

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikemukakan bahwa anak

adalah keturunan kedua sebagai hasil dari hubungan antara pria dan wanita.5

1. Anak sah

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, masalah anak sah diatur dalam Pasal 42, yaitu : “Anak yang

sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan

yang sah”.6

Kemudian dalam KHI pasal 99 mengatakan bahwa : “Anak yang

sah adalah :

a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;

4 Ibid.

5 WJS Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka), hal.38.

6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ( Rhedbook

(36)

27

b. hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh

isteri tersebut”.7

Dari pasal-pasal diatas, kita ketahui antara UUP dan KHI

memiliki persamaan dalam merumuskan definisi anak sah. Dapat kita

pahami bahwa anak sah adalah anak yang lahir dalam dan akibat

perkawinan yang sah. Disini ada dua pengertian, yaitu dikatakan anak sah

apabila anak tersebut lahir dalam perkawinan yang sah, dan anak yang

lahir akibat perkawinan yang sah. Jadi, pada intinya anak yang lahir

dalam suatu ikatan perkawinan yang sah mempunyai status sebagai anak

sah dengan hak-hak keperdataan melekat pada dirinya.8

Selain itu KHI juga mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan

yang terjadi akibat kemajuan teknologi kedokteran seperti bayi tabung.

Di dalam pasal 99 KHI dinyatakan “hasil pembuahan suami istri yang sah

diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut”. maksudnya bahwa

pembuahan anak diluar rahim itu sah dan dibolehkan selama pembuahan

itu berasal dari sperma suami istri yang sah dan dilahirkan oleh istrinya

sendiri. Sebaliknya, tidak dibenarkan menggunakan atau menyewa rahim

wanita lain.9

7 Kompilasi Hukum Islam.

8 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam..., 78-79.

9 M. Yahya Harahap, Pengadilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum

(37)

28

2. Pengingkaran Anak

Seorang suami berhak melakukan pengingkaran atau

penyangkalan terhadap sahnya seorang anak dengan ketentuan-ketentuan

yang telah diatur dalam undang-undang.10 Dalam UUP, berkenaan dengan

masalah pengingkaran anak diatur dalam Pasal 44 yang berbunyi :

(1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut.

(2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.

Sebagaimana UUP, dalam KHI juga dijelaskan menyangkut

keadaan suami yang mengingkari sahnya anak dan proses yang harus

ditempuhnya jika ia menyangkal anak yang dikandung atau dilahirkan

oleh istrinya. Lebih jelas dinyatakan dalam Pasal 101 dan 102 sebagai

berikut.11

Pasal 101

Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li`an.

Pasal 102

(1) Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama.

(2) Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima.

(38)

29

Disini KHI menjelaskan lebih lanjut berkenaan dengan anak sah

menyangkut batalnya keabsahan seorang anak kendatipun lahir dalam

perkawinan yang sah. Pembatalan ini terjadi akibat pengingkaran suami.

Seorang suami yang mengingkari sahnya seorang anak yang dilahirkan

sedangkan istrinya tidak menyangkalnya, maka suami menyatakan

pengingkaran itu dengan li’an.12 Tata cara li’an diatur dalam KHI pasal

126 dan 127. Dan juga pasal 128 yang mengatakan bahwa li’an hanya sah

dilakukan dihadapan sidang Pengadilan Agama.

3. Pembuktian Asal-Usul Anak

Berkenaan dengan pembuktian asal usul anak, UUP di dalam pasal

55 menegaskan bahwa :

(1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang authentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.

(2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.

(3) atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.13

Penjelasan tentang asal-usul anak di dalam KHI terdapat pada

pasal 103, dimana isi pasal 103 KHI ini sama persis dengan pasal 55 UUP.

12 Li’an secara bahasa berarti laknat. Secara terminologi, li’an adalah putusnya perkawinan

karena si suami menuduh istrinya berzina dan si istri menolak tuduhan itu. Keduanya menguatkan pendirian mereka dengan sumpah. Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia,

(Jakarta: UI Press, 1982), 118.

13 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ( Rhedbook

(39)

30

C. Proses Penetapan Wali Adhol dalam Hukum Positif

Dalam Pasal 23 ayat (2), KHI mengatakan: “Dalam hal wali adhol

atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah

setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut”. Di dalam

memeriksa dan menetapkan perkara, Pegadilan Agama wajib memberikan

pelayanan hukum dan keadilan dengan mewujudkan peradilan yang mandiri

dan independen, bebas dari campur tangan pihak lain. Serta melaksanakan

kekuasaan kehakiman yang mandiri, tidak memihak dan transparan.14

Untuk dapat memutuskan atau menetapkan suatu perkara dengan

tepat, maka dibutuhkan dasar hukum yang cukup dan tepat pula. Oleh karena

itu, hakim harus hati-hati, cermat, dan matang menilai serta

mempertimbangkan nilai pembuktian. Meneliti sampai dimana batas

minimum “kekuatan pembuktian” atau bewijs kracht dari setiap alat bukti

yang disebutkan dalam Pasal 1866 KUH Perdata. Karena pembuktian ini

memegang peranan yang paling penting dalam proses pemeriksaan sidang

pengadilan.15

1. Pembuktian di Muka Persidangan

Yang disebut dengan “membuktikan” adalah meyakinkan Majelis

Hakim tentang dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan,

14 M. Mursyid Asyari, Laporan Pelaksanaan Praktikum Peradilan Agama di Pengadilan Agama

Kabupaten Bojonegoro, (15-26 Juli 2013), 32.

15 Alfitra, Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata, dan Korupsi di Indonesia, Edisi

(40)

31

atau menurut pengertian yang lain adalah kemampuan penggugat atau

tergugat memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung dan

membenarkan hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa yang didalilkan

(dibantahkan) dalam hubungan hukum yang diperkarakan.16

Dalam hukum acara perdata, salah satu tugas hakim adalah

menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan

telah benar-benar ada atau tidak. Hakim harus memeriksa dan

menetapkan dalil-dalil manakah yang benar dan dalil manakah yang tidak

benar. Berdasarkan pemeriksaan yang teliti dan seksama itulah hakim

menetapkan hukum atas suatu peristiwa atau kejadian yang telah

dianggap benar setelah melalui pembuktian sesuai dengan aturan yang

telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.17

Dalam hukum acara perdata, untuk mengambil putusan atau

penetapan hukum tidak perlu adanya keyakinan hakim, yang penting

adalah adanya alat-alat bukti yang sah yang berdasarkan alat-alat bukti

tersebut majelis hakim akan mengambil keputusan. Dengan kata lain,

dalam hukum acara perdata cukup dengan kebenaran formil saja.18

16 M. Yahya Harahap (1991: 01).

17 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:

Kencana, 2012), 227.

18 Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, (Bogor: Ghalia Indonesia,

(41)

32

Adapun alat bukti yang dapat dipergunakan dalam persidangan

Pengadilan Agama adalah terdiri atas lima macam,19 yaitu sebagai

berikut:

Alat-alat bukti terdiri atas :

- Alat bukti surat/ alat bukti akta; - Alat bukti saksi;

- Alat bukti persangkaan; - Alat bukti pengakuan; - Alat bukti sumpah.

Harus dibedakan antara alat bukti pada umumnya dengan alat

bukti menurut hukum. Maksudnya mekipun alat bukti yang diajukan

salah satu bentuk alat bukti yang ditentukan sebagaimana tersebut di

atas, tidak otomatis alat bukti itu sah sebagai alat bukti. Agar alat bukti

itu sah sebagai alat bukti menurut hukum, maka alat bukti tersebut harus

memenuhi syarat formil dan syarat maretiil. Di samping itu, tidak pula

setiap alat bukti yang sah menurut hukum mempunyai nilai kekuatan

pembuktian untuk mendukung terbuktinya suatu peristiwa. Meskipun alat

bukti yang diajukan memenuhi syarat formil atau materiil, belum tentu

mempunyai kekuatan pembuktian. Supaya alat bukti yang sah

mempunyai nilai kekuatan pembuktian, alat bukti yang bersangkutan

harus mencapai batas minimal pembuktian.20

a. Alat Bukti Surat atau Akta

Dasar hukum penggunaan surat atau akta sebagai alat bukti

adalah HIR Pasal 164, R.Bg Pasal 284, 293,294 ayat (2), 164 ayat (78),

(42)

33

KUH Perdata Pasal 1867-1880 dan Pasal 1869, 1874, menentukan

keharusan ditandatanganinya suatu akta sebagaimana tersebut dalam

Pasal 165 dan 167 HIR, serta Pasal 138-147 Rv.21

Surat sebagai alat bukti tertulis dapat dibedakan dalam akta

dan surat bukan akta. Akta dapat dibedakan menjadi akta auntentik

dan akta di bawah tangan. Jadi, dalam hukum pembuktian ini dikenal

paling tidak tiga jenis surat yaitu: akta autentik, akta di bawah tangan

dan surat bukan akta yang dikenal dengan alat bukti surat secara

sepihak. Dalam hukum pembuktian, bukti tulisan atau surat merupakan

alat bukti yang diutamakan atau alat bukti nomor satu jika

dibandingkan alat bukti yang lain.22

Akta autentik mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian,

yaitu: pertama, pembuktian formal, adalah pembuktian antara pihak

bahwa mereka sudah melaksanakan apa yang tertulis di dalam akta

tersebut; kedua, pembuktian materiil, yaitu pembuktian antara pihak

bahwa peristiwa yang tertulis dalam akta tersebut telah terjadi; ketiga,

pembuktian mengikat, ialah pembuktian antara para pihak bahwa pada

tanggal dan waktu tersebut di dalam akta yang bersangkutan telah

menghadap kepada pegawai dan menerangkan apa yang telah tertulis

di dalam akta tersebut. Oleh karena akta autentik mempunyai kekuatan

pembuktian yang sempurna dan mengikat, maka akta tersebut tidak

21 Ibid, 240.

(43)

34

memerlukan bukti tambahan, dan hakim wajib mempercayai kebenaran

apa yang tertulis dalam akta tersebut.23

b. Alat Bukti Saksi

Pembuktian dengan saksi diatur dalam Pasal 168 sampai

dengan 172 HIR atau Pasal 306 sampai dengan 309 R.Bg., juga diatur

dalam Pasal 150 KUH Perdata. Meskipun Alat bukti saksi

jangkauannya sangat luas sekali hampir meliputi segala bidang dan

segala macam sengketa perdata, namun pada dasarnya pembuktian

dengan saksi baru diperlukan apabila bukti dengan surat (akta) tidak

ada atau kurang lengkap. Rasionya adalah pada umumnya keterangan

saksi kurang dipercaya, karena sering terjadi kebohongan, sehingga

tidak tertutup kemungkinan akan terjadi pertentangan antara

keterangan saksi dan isi suatu akta. Jika hal seperti itu tidak ditolerir

maka nilai pembuktian akta autentik akan kehilangan tempat berpijak.

Dengan demikian, akan banyak masyarakat yang kehilangan

kepercayaan atas akta autentik, padahal telah dibuat oleh pejabat yang

berwenang untuk itu, dan pada sisi lain, akan terjadi dalam praktek

dengan keterangan saksi, hakim dapat mengesampingkan suatu akta

autentik.24

Dalam Pasal 169 HIR, Pasal 306 R.Bg dan Pasal 1905 KUH

Perdata dijelaskan bahwa keterangan saksi saja tanpa alat bukti lainnya

tidak dianggap sebagai pembuktian yang cukup. Keterangan seorang

23 Ibid, 243.

(44)

35

saksi jika tidak ada bukti lainnya maka tidak boleh dipergunakan oleh

Hakim sebagai alat bukti. Kesaksian dari seorang saksi, tidak boleh

dianggap sebagai persaksian yang sempurna oleh hakim, dalam

memutus suatu perkara.25

Meskipun saksi bisa dijadikan sebagai salah satu alat bukti,

namun alat bukti keterangan saksi ini cenderung tidak dapat dipercaya

dengan dasar pertimbangan seperti berikut :

1) Saksi sering cenderung bohong, bahkan dengan sengaja

merekayasa kasus dengan tujuan mendapat kemenangan atau

bermaksud mempermudah kasus atau jalannya persidangan.

2) Suka mendramatisasi, menambah atau mengurangi dari kejadian

yang sebenarnya.

3) Ingatan manusia terhadap suatu peristiwa tidak selamanya akurat.

4) Sering mempergunakan emosi, baik pada saat menyaksikan

peristiwa maupun pada saat memberikan keterangan pada

persidangan, sehingga kemampuan untuk menjelaskan sesuatu

tidak proporsional lagi.26

Namun berbeda dengan keterangan saksi ahli, keterangan saksi

ahli amatlah kuat nilai kesaksiannya. Bahkan Abdul Kadir Muhammad,

SH., (1978:174) mengemukakan seorang ahli tidak sama dengan

seorang saksi. Alat yang digunakan oleh seorang saksi ahli dalam

memberikan keterangan di muka sidang Pengadilan Agama didasarkan

(45)

36

pada ilmu pengetahuan dan pikiran dan yang tidak diketahui hakim

dalam suatu peristiwa, sedangkan seorang saksi memberi keterangan

dalam persidangan Pengadilan berdasarkan panca inderanya. Dalam

Pasal 154 HIR/181 R.Bg ayat (1) dan (2), dijelaskan27 :

(1) Jika menurut pertimbangan pengadilan, bahwa perkara itu dapat menjadi lebih terang, kalau diadakan pemeriksaan seorang ahli, maka dapat ia mengangkat seorang ahli, baik atas permintaan kedua belah pihak, maupun karena jabatannya.

(2) Dalam hal yang demikian maka ditentukan hari sidang bagi pemeriksaan seorang ahli itu baik dengan tertulis maupun dengan lisan, dan menguatkan keterangannya dengan sumpah.

c. Alat Bukti Persangkaan

Alat bukti persangkaan diatur dalam Pasal 173 HIR atau 310

R.Bg., dan Pasal 1915 KUH Perdata. Namun perihal persangkaan

sebagai alat bukti tidak dijelaskan secara rinci dalam HIR dan R.Bg.

Hanya dalam Pasal 173 HIR dan Pasal 310 R.Bg memberikan petunjuk

bagi hakim tentang tata cara mempergunakan persangkaan, dijelaskan

bahwa apabila hakim hendak menjatuhkan putusan terhadap suatu

perkara yang disidangkan, jika ia menganggap bahwa

persangkaan-persangkaan itu penting, saksama, tertentu dan ada persesuaian satu

sama lain, maka persangkaan-persangkaan itu dapat dijadikan

pertimbangan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap suatu

perkara yang diajukan kepadanya.28

27 M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di

Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), 50.

(46)

37

Alat bukti persangkaan memiliki fungsi yang sangat penting

dan sentral dalam penerapan hukum pembuktian. Tanpa

mempergunakan persangkaan sebagai perantara (intermediary)

pelaksanaan pembuktian dalam keadaan ketidakmungkinan

(impossibility). Dengan demikian, alat bukti persangkaan memegang

fungsi dan peran intermediary (perantara dalam setiap pembuktian).

Sekiranya telah ditemukan fakta, dan fakta itu telah didukung oleh alat

bukti yang telah mencapai batas minimal pembuktian, keterbuktian

fakta tersebut tidak bisa langsung dikonkretkan tanpa mempergunakan

persangkaan sebagai sarana untuk mengkonkritkan kepastian

keterbuktian fakta yang telah dibuktikan dengan alat bukti yang lain.29

d. Alat Bukti Pengakuan

Dasar hukum pengakuan sebagai alat bukti diatur dalam Pasal

174 HIR dan Pasal 311 R.Bg serta Pasal 1923-1928 KUH Perdata.

Menurut Prof. MR. A. Pitlo sebagaimana yang dikutip oleh Teguh

Samudera, SH., (1992:83) mengemukakan bahwa pengakuan adalah

keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu perkara, dimana

ia mengakui apa-apa yang dikemukakan oleh pihak lawan.30

Pada prinsipnya, setiap pengakuan di muka sidang harus

didengar dan dibuat pertimbangan hakim dalam memutus perkara.

Namun ada beberapa peristiwa yang tidak boleh adanya pengakuan.

Yaitu pengakuan yang bertujuan tidak mengadakan persetujuan damai

(47)

38

mengenai suatu hal yang tidak dikuasai dengan bebas oleh para pihak,

mengenai hal-hal yang tidak dikuasai secara bebas oleh para pihak

adalah mengenai31:

1) Hak keluarga dan hak pribadi;

2) Hak mendapatkan nafkah (alimentasi);

3) Hak atas warisan yang belum terbuka;

4) Hak untuk menempatkan seseorang di bawah perwalian; dan

5) Mengaku tentang sahnya anak.

Tujuan dari larangan pengakuan dalam kasus-kasus tersebut

adalah untuk menjaga agar para pihak yang berperkara tidak

mengadakan persetujuan berupa perdamaian yang melahirkan putusan

pengadilan yang dapat merugikan kepentingan pihak ketiga. Atau

dengan kata lain, untuk menghindarka persekongkolan di antara pihak

yang berperkara tentang sesuatu yang di dalamnya tersangkut

kepentingan pihak ketiga atau pihak umum. Sebagai contoh dalam

peristiwa tersebut adalah dalam hal perceraian. Bila dibenarkan

perceraian berdasar pengakuan atas dalil yang dikemukakan

penggugat, berarti pengadilan telah membenarkan penyelundupan

hukum, dari penyelundupan hukum itu akan dilahirkan putusan

perceraian berdasarkan persetujuan suami istri. Hal ini merupakan

(48)

39

pelanggaran atas kepentingan dan ketertiban umum, bahkan bisa

merugikan pihak ketiga.32

e. Alat Bukti Sumpah

Alat bukti sumpah diatur dalam Pasal 314 R.Bg., Pasal 177 HIR

dan dalam Pasal 1929 KUH Perdata. Sumpah adalah alat bukti yang

dipergunakan untuk menguatkan keterangan atas nama Tuhan, yang

bertujuan agar orang yang bersumpah takut akan kemurkaan Tuhan

apabila dia berbohong, takut akan hukuman Tuhan dianggap sebagai

pendorong bagi yang bersumpah untuk menerangkan yang

sebenarnya.33

Syarat-syarat formal alat bukti sumpah secara umum harus

memenuhi hal-hal sebagai berikut34:

1) Berupa keterangan yang diikrarkan dalam bentuk lisan;

2) Ikrar sumpah diucapkan di depan hakim dalam proses pemeriksaan

perkara pada sidang pengadilan.

3) Tidak ada alat bukti lain yang dapat diajukan para pihak, sehingga

pembuktian sudah berada dalam keadaan jalan buntu.

2. Pengambilan Putusan

Mekanisme pemeriksaan perkara perdata di Peradilan Agama

haruslah dilakukan dengan sistematik, mulai dari sidang pertama hingga

tahap putusan. Dalam sidang pertama, jika tergugat/termohon tidak hadir,

32 Ibid.

(49)

40

sedang penggugat/pemohon hadir maka sesuai dengan Pasal 126 HIR/150

R.Bg, dan Pasal 127 HIR/151 R.Bg., sebelum menyatakan suatu putusan,

pengadilan memerintahkan supaya pihak yang tidak hadir dipanggil sekali

lagi supaya hadir pada hari sidang yang lain. Lebih jelasnya adalah35:

Pasal 126 HIR/150 R.Bg

Dalam hal yang tersebut pada kedua pasal tersebut diatas, sebelum menyatakan suatu putusan, pengadilan dapat memerintahkan, supaya pihak yang tidak hadir dipanggil sekali lagi supaya hadir pada hari sidang yang lain. Kepada pihak yang hadir diberitahukan oleh Ketua dalam persidangan; pemberitahuan itu sama dengan panggilan baginya.

Pasal 127 HIR/151 R.Bg

Apabila salah seorang atau lebih Tergugat tidak hadir atau tidak menyuruh orang lain untuk hadir sebagai kuasanya, maka pemeriksaan perkara itu ditunda sampai pada hari persidangan yang lain, sedapat mungkin jangan lama. Penundaan itu diberitahukan kepada pihak yang hadir dalam persidangan; pemberitahuan itu sama dengan panggilan baginya. Kepada tergugat yang tidak hadir diperintahkan dipanggil sekali lagi oleh Ketua supaya hadir pada hari persidangan yang lain. Ketika perkara itu diperiksa dan kemudian diputuskan bagi semua pihak dengan satu putusan saja; perlawanan atas putusan itu tidak diperkenankan.

Dalam hal pengambilan putusan, pada pasal 62 UU No. 7 Tahun

1989 menganut asas motivating plicht atau basic reason. Hakim “wajib”

mencantumkan dasar pertimbangan yang cukup dan matang dalam setiap

keputusan. Demikian secara singkat makna kewajiban tersebut yakni

putusan harus jelas dan cukup motivasi pertimbangannya. Dalam

pengertian luas, bukan hanya sekedar meliputi motivasi pertimbangan

tentang alasan-alasan yang dasar-dasar hukum serta pasal-pasal peraturan

(50)

41

yang bersangkutan, tetapi juga meliputi sistematika, argumentasi dan

kesimpulan yang terang dan mudah dimengerti orang yang

membacanya.36

Lebih jelasnya dalam Pasal 62 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989

berbunyi: “Segala penetapan dan putusan Pengadilan, selain harus

memuat alasan-alasan dan dasar-dasarnya juga harus memuat pasal-pasal

tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum

tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”.37

Pasal 62 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 ini sama makna dan

tujuannya dengan pasal 23 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 yang

berbunyi: “Segala putusan Pengadilan selain harus menurut alasan-alasan

dan dasar-dasar putusan itu, juga memuat pula pasal-pasal tertentu dari

peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis

yang dijadikan dasar untuk mengadili atau professional judgement”.38

Jika diperhatikan bunyi Pasal 62 UU No. 7 Tahun 1989 dan Pasal

23 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970, pencantuman motivasi pertimbangan

yang cukup dalam penetapan dan putusan adalah bersifat “imperatif”. Di

situ terdapat kata “harus”. Bahkan dalam Pasal 62 tersebut terdapat

pengulangan kata harus, seperti yang dapat dibaca: ...selain “harus”

menurut alasan-alasan dan dasar-dasarnya juga “harus” memuat pasal

36 M. Yahya Harahap, kedudukan kewenangan dan Acara peradilan Agama (UU No. 7 Tahun

1989), Edisi Kedua (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 313.

37 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

38 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan

(51)

42

pasal... . Dari cara pengulangan kata “harus” yang terdapat pada

redaksi Pasal tersebut, tersurat dan tersirat keinginan yang dalam dri

pembuat undang-undang, agar para hakim benar-benar mengindahkan dan

memenuhi kewajiban menyusun motivasi pertimbangan yang cukup. Oleh

karena ketentuan ini bersifat “imperatif”, tidak boleh diabaikan para

hakim. Hakim harus mampu memperlihatkan wawasan kematangan

penguasaan hukum dan berfikir secara sistematik dan profesional.

Benar-benar mengingat sumpah jabatan dan ikatan batiniyah yang ditentukan

pasal 57 bahwa peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan

ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Putusan yang dijatuhkan mengandung

pertimbangan yang merefleksikan dimensi keutuhan pertanggungjawaban

terhadap hukum, kebenaran, dan keadilan serta pertanggungjawaban

kepada Allah Yang Maha Mengetahui.39

Putusan yang dijatuhkan tanpa motivasi pertimbangan yang

cukup, bertentangan dengan Pasal 62 UU No. 7 Tahun 1989 dan Pasal 23

ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970. Oleh karena putusan tidak memenuhi

syarat dan tata cara mengadili yang ditentukan undang-undang, putusan

tersebut dapat dibatalkan dalam tingkat banding atau tingkat kasasi.40

Putusan yang dianggap cukup motivasi pertimbangannya adalah

putusan yang menghimpun secara saksama pemeriksaan sidang

pengadilan. Dari deskripsi semua fakta dan kejadian yang diketemukan,

diolah secara argumentatif berdasar ketentuan asas-asas pembuktian

(52)

43

dikaitkan dengan hukum materiil yang berhubungan dengan perkara yang

bersangkutan. jadi kita melakukan pendekatan “induktif" yang sistematis

setahap demi setahap untuk menghimpun suatu kesimpulan hukum

tentang keterbuktian atau tidaknya dalil gugat. Pertimbangn putusan

yang semata-mata “deskriptif”, tetapi tidak argumentatif menurut

ketentuan hukum dan dasar-dasar maupun asas-asas hukum,

menyebabkan pertimbangan hukum kabur, mengambang dan tidak tentu

arahnya. Apalagi putusan yang langsung mengambil kesimpulan hukum

tanpa diuji secara “argumentatif” dan saksama serta menyeluruh dengan

fakta dan peristiwa yang dikemukakan dalam persidangan dengan hukum

formal dan materiil yang berhubungan dengan perkara yang sedang

diperiksa, adalah suatu putusan yang tidak mampu memperlihatkan titik

tolak pertimbangan.41

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari penelitian ini adalah status anak yang lahir di luar perkawinan memang telah memperoleh perlindungan hukum sehingga mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah

Kaedah pertama dalam menganalisis data bagi persepsi pelajar dalam penerapan kemahiran kepimpinan menerusi PSSGMUTHM ialah dengan menganalisis dokumen berkaitan

Sifat lain dari teknologi yang mempengaruhi sehingga dapat diadopsi adalah sifat kerumitan inovasi (complexity), kemudahan inovasi diterapkan (triability), kemudahan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji aktivitas antimikroba pelapis nanokomposit berbasis pektin dan pati dengan NP-ZnO dan pengaruhnya terhadap mutu salak pondoh

Cedera kepala adalah gangguan pada otak yang bersifat non degeneratif dan non kongenital yang disebabkan oleh kekuatan mekanik eksternal, yang menyebabkan terjadinya

Sabiendo que Sadam rechazó la ayuda internacional y la asistencia de cooperantes de ayuda humanitaria entre 1991 y 1996 en la parte de Irak bajo su control, una interpretación

Penelitian ini ditujukan untuk mengkaji dampak dari citra merek yang dirasakan, efek langsung dan tidak langsung (mediator dan efek moderator) keterlibatan produk dan produk

Dapat dilihat dari tabel di atas bahwa laporan keuangan Bank Jabar Banten Syariah KCP Sumedang terjadi permasalahan selama kurun waktu dua tahun, periode