viii
ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian dokumentasi (conten analisis) tentang penetapan Pengadilan Agama Bojonegoro perihal penolakan permohonan wali adhol karena pengingkaran anak. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana pertimbangan hukum hakim terhadap penetapan PA Bojonegoro No.64/Pdt.P/2014/PA.Bjn dan bagaimana Analisis yuridis terhadap penetapan PA Bojonegoro No.64/Pdt.P/2014/PA.Bjn.
Guna menjawab permasalahan di atas, penulis menggunakan teknik pengumpulan data melalui dokumentasi dan interview atau wawancara. Dokumentasi yang berupa putusan Pengadilan Agama Bojonegoro, Dan data hasil wawancara yang selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis dengan pola pikir deduktif yaitu mengemukakan teori atau dalil-dalil yang bersifat umum tentang wali nikah, kedudukan anak serta proses penetapan wali adhol dalam hukum positif.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa Majelis Hakim dalam menetapkan penetapan dengan menolak permohonan wali adhol karena pengingkaran anak ini menurut penulis masih kurang dasar hukumnya, sehingga kepastian hukum dalam perkara ini belum mencapai batas minimal pembuktian. Adapun pertimbangan hakim dalam menetapkan perkara ini adalah berdasar pada ketentuan Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah untuk keduakalinya dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, serta hukum syar’i dan didukung dengan bukti tertulis berupa foto copy E-KTP dan dua orang saksi. Alasan wali adhol dalam perkara ini adalah karena wali pemohon mengingkari bahwa Pemohon adalah anak sahnya. Namun pada kenyataannya wali pemohon tidak pernah mengajukan pengingkaran anak ke pengadilan, padahal menurut peraturan perundang-undangan pengingkaran anak hanya sah dilakukan di depan sidang pengadilan. Selain itu, ditemukan fakta bahwa pemohon adalah anak sah yang lahir dalam perkawinan yang sah antara wali pemohon dan Ibu pemohon dengan hak-hak keperdataan melekat pada dirinya. Dalam hal ini tentunya majlis hakim harus membuktikan terlebih dahulu tentang pembuktian asal-usul anak dengan cara-cara pembuktian yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang telah ada.
ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENETAPAN PENGADILAN
AGAMA BOJONEGORO NO. 64/PDT.P/2014/PA.BJN PERIHAL
PENOLAKAN PERMOHONAN WALI
ADHOL
KARENA
PENGINGKARAN ANAK
SKRIPSI
Oleh
Moh. Mursyid Asyari
NIM. C01210040
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Islam Prodi Ahwal Al Syakhsiyah
Surabaya
ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENETAPAN PENGADILAN
AGAMA BOJONEGORO NO. 64/PDT.P/2014/PA.BJN PERIHAL
PENOLAKAN PERMOHONAN WALI
ADHOL
KARENA
PENGINGKARAN ANAK
SKRIPSI
Diajukan kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu
Ilmu Syariah dan Hukum
Oleh
Moh. Mursyid Asyari
NIM. C01210040
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Islam Prodi Ahwal Al Syakhsiyah
Surabaya
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TRANSLITERASI ... xiv
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identitas dan Batasan Masalah ... 12
C. Rumusan Masalah ... 13
D. Kajian Pustaka ... 13
E. Tujuan Penelitian ... 15
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 15
G. Definisi Operasional ... 16
I. Sistematika Pembahasan ... 21
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WALI NIKAH DAN KEDUDUKAN ANAK SERTA PROSES PENETAPAN WALI ADHOL DALAM HUKUM POSITIF ... 24
A. Konsep Wali Nikah dalam Hukum Positif ... 24
B. Kedudukan Anak dalam Hukum Positif ... 26
1. Anak Sah ... 26
2. Pengingkaran Anak ... 28
3. Pembuktian Asal-Usul Anak ... 29
C. Proses Penetapan Wali Adhol dalam Hukum Positif ... 30
1. Pembuktian di muka Persidangan ... 31
2. Pengambilan Putusan ... 40
BAB III PENETAPAN PERKARA NOMOR 64/PDT.P/2014/PA.BJN PERIHAL PENOLAKAN PERMOHONAN WALI ADHOL KARENA PENGINGKARAN ANAK DI PENGADILAN AGAMA BOJONEGORO ... 44
A. Deskripsi Putusan Hakim ... 44
1. Identitas Para Pihak ... 44
2. Posita (Fakta Hukum) ... 44
3. Petitum (Tuntutan) ... 46
B. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menetapkan Perkara
No:64/Pdt.P/2014/PA.Bjn Perihal Penolakan Permohonan Wali
Adhol karena Pengingkaran Anak ... 52
BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BOJONEGORO NO:64/PDT.P/2014/PA.BJN PERIHAL PENOLAKAN PERMOHONAN WALI ADHOL KARENA PENGINGKARAN ANAK ... 58
A. Analisis Yuridis terhadap Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menetapkan Perkara No. 64/Pdt.P/2014/PA.Bjn perihal Penolakan Permohonan Wali Adhol karena Pengingkaran Anak ... 58
B. Analisis Yuridis terhadap Penetapan Pengadilan Agama Bojonegoro No. 64/Pdt.P/2014/PA.Bjn perihal Penolakan Permohonan Wali Adhol karena Pengingkaran Anak ... 63
BAB V PENUTUP ... 82
A. Kesimpulan ... 82
B. Saran ... 83
DAFTAR PUSTAKA ... 86
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan adalah suatu cara yang dijadikan oleh Allah SWT. sebagai
salah satu jalan bagi manusia untuk meraih ketentraman jiwa dan
kebahagiaan hidup, dan juga untuk melestarikan serta menjaga
keturunannya. Selain itu, pernikahan juga dapat dipandang sebagai satu jalan
menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum yang lain. Karena
pada hakekatnya, akad nikah adalah pertalian yang teguh dan kuat dalam
hidup dan kehidupan manusia, bukan hanya antara suami-istri dan
keturunannya, melainkan antara dua keluarga.1 Bentuk pernikahan ini telah
memberikan rasa aman bagi manusia untuk memelihara keturunan dengan
baik dan menjaga kaum perempuan agar tidak laksana rumput yang bisa
dimakan oleh binatang ternak dengan seenaknya. Peraturan pernikahan yang
seperti inilah yang diridlai Allah SWT. dan diabadikan Islam untuk
selamanya. 2
Dalam pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan telah dijelaskan bahwa, “Perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
1 Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 1, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), 11.
2 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah,Mohammad Thalib, 6, (Bandung: PT Alma’arif, Cetakan Pertama
2
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.3 Begitu juga diterangkan
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2, bahwa: “Perkawinan menurut
hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
miitsaaqon gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah”.4
Kedua pasal di atas menjelaskan tentang tujuan pernikahan yaitu
untuk membentuk keluarga yang bahagia dan juga sekaligus beribadah
mentaati perintah Allah SWT. Dalam sebuah perkawinan terkadang dari
beberapa pasangan, pada awalnya mereka tidak saling mengenal dan kadang
kala mereka mendapatkan pasangan yang berjauhan. Akan tetapi, tatkala
memasuki dunia pernikahan, mereka begitu menyatu dalam keharmonisan,
dan bersatu dalam menghadapi tantangan dalam mengarungi bahtera
kehidupan,5 Seperti dijelaskan dalam firman Allah surat Ar-Rum ayat 21 :
كلذ ي نا ةمرو ةدوم مك يب لعجو اهيلا او كستل اجاوزا مكسفنا نم مكل قلخ نا هتيا نمو
نوركفتي موقل تيا
.
Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ( Rhedbook
Publisher, 2008).
4 Kompilasi Hukum Islam, (Media Centre).
5 Rahmad Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: Pustaka
3
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir.” (Q.R. Ar-Rum: 21).6
Menurut Beni Ahmad Saebani dalam bukunya Fiqh Munakahat 1
(2001:107), dalam beribadah yang dalam hal ini adalah pernikahan, akan
dianggap sah apabila terpenuhi syarat dan rukunnya. Syarat dan rukun nikah
ini merupakan bagian yang wajib dipenuhi. Jika tidak terpenuhi pada saat
berlangsung, maka pernikahan tersebut dianggap batal. Dalam KHI Pasal 14
dijelaskan tentang rukun nikah, yaitu:
dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon
mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Adapun yang
bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat
hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh. Dan yang paling berhak menjadi
wali bagi mempelai perempuan adalah Ayah kandungnya. Atau orang yang
6Depatemen Agama RI, Al-Jumanatul Ali AL-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV
Jumanatul ‘Ali Art, 2006), 311.
4
dipasrahi mewakili ayah tersebut atau yang diberi wasiat oleh ayah
kandungnya untuk menjadi wali.8
Adapun tentang syarat-syarat perkawinan, dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, persyaratan tersebut hanya
menyangkut persetujuan kedua calon dan batasan umur serta tidak adanya
halangan perkawinan antara kedua calon mempelai tersebut. ketiga hal ini
sangat menentukan untuk mencapai tujuan perkawinan itu sendiri.9
Persetujuan kedua calon meniscayakan perkawinan itu tidak didasari oleh
paksaan. Syarat ini setidaknya mengisyaratkan adanya emansipasi wanita
sehingga setiap wanita dapat dengan bebas menentukan pilihannya siapa
yang paling cocok dan maslahat sebagai suaminya, jadi disini tidak ada
paksaan, terlebih lagi bagi masyarakat yang telah maju.10
Wali nikah terdiri dari wali nasab dan wali hakim. “Wali Nasab
adalah pria beragama Islam yang mempunyai hubungan darah dengan calon
mempelai wanita dari pihak ayah menurut hukum Islam”. Sedangkan, “Wali
Hakim adalah Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan yang ditunjuk oleh
Menteri Agama untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai
wanita yang tidak mempunyai wali”.11
Dalam KHI dijelaskan bahwa wali nasab terdiri dari empat kelompok
dalam urutan kedudukan, yaitu:
8 Fatihuddin Abul Yasin, Risalah Hukum Nikah, (Surabaya: Terbit Terang, 2006), 31.
9 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Perundangan, Hukum Adat dan
Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 1990), 45-47.
10 Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading, 1975), 35.
11 Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2005 Tentang Wali Hakim,
5
a. Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah,
kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
b. Kedua, kelompok kerabat saudara laki kandung atau saudara
laki-laki seayah dan keturunan laki-laki-laki-laki mereka.
c. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah,
saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.
d. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki
seayah kakek dan keturunan mereka.
Dalam hal ini kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain
sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.12
Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang
yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali
ialah yang paling dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai
wanita. Jika ada yang sama-sama berhak menjadi wali maka mengutamakan
yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali. Apabila wali nikah yang
paling berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau
karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur,
maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat
berikutnya, begitu seterusnya hingga wali hakim. Namun wali hakim ini baru
dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak
6
mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib
atau adhol atau enggan.13 Rasulullah SAW bersabda :
) ئاس لاو هجام نباو دواد وباو دما اور( هل يو ا نم يو ناطلسلاف
Artinya: “Maka hakimlah yang bertindak menjadi wali bagi seseorang yang tidak ada walinya.” (H.R. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Nasa’i).14
Dalam hal menolaknya wali untuk menikahkan anak perempuannya
yang sudah baligh dan berakal untuk menikahkannya dengan calon suami
yang sederajat (sekufu’), hendaknya wali yang menolak ini menyatakan
keengganannya menikahkan di hadapan hakim dan menyebutkan
sebab-sebab keengganannya setelah diperintahkan hakim.15 Dalam KHI pasal 23
ayat 2 diterangkan bahwa dalam hal wali adhol atau enggan maka wali
hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan
Pengadilan Agama tentang wali tersebut.
Selaras dengan masalah enggannya seorang wali untuk menikahkan
anaknya, kasus dengan register perkara Nomor : 64/Pdt.P/2014/PA.Bjn
tertanggal 14 Maret 2014 yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan
Agama Bojonegoro pada tanggal 14 Maret 2014, merupakan pengajuan surat
permohonan dalam kasus Wali Adhol. Dalam perkara ini pemohon bernama
Ferin Ambitawati Binti Mukmin (usia 19 tahun, agama Islam pekerjaan CV.
13 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 21-23.
14Beni Ahmad saebani, Fiqh Munakahat 1..., 249.
15 Muhammad bin Salim bin Hafizh, Al-Miftahu Libabin Nikah, Kunci memahami Hukum
7
Maju Jaya) adalah anak sah dari Mukmin bin Radi (usia 60 tahun, agama
Islam, pekerjaan Pensiunan PNS) yang hendak menikah dengan Bukhori Bin
Sukardi (usia 20 tahun, agama Islam, pekerjaan PT Semen Holcim).
Pada dasarnya, pemohon dan calon suami pemohon dianggap sudah
sepadan (sekufu) dan juga antara keduanya tidak ada hubungan nasab
ataupun hubungan sesusuan yang menjadi penghalang antara keduanya untuk
melangsungkan pernikahan. Namun ketika calon suami pemohon berusaha
melamar pemohon, wali nikah pemohon tidak berkenan menerima lamaran
tersebut dan tidak bersedia menjadi wali dalam pernikahan pemohon dengan
calon suami pemohon.
Penolakan wali nikah pemohon tersebut, dikarenakan wali nikah
pemohon tidak mengakui pemohon sebagai anaknya. Sebab ketika wali
pemohon masih berstatus suami istri dengan ibu pemohon, wali pemohon ini
dengan sengaja mengikuti program KB untuk Pria, yaitu dengan melakukan
vasektomi (Vasektomi adalah operasi kecil (bedah minor) yang dilakukan
oleh tenaga kesehatan terlatih untuk mencegah transportasi sperma pada
testikel dan penis.16) dengan maksud sudah tidak ingin mempunyai anak lagi,
namun Ibu pemohon hamil lagi. Dan hal tersebut membuat wali pemohon
ragu apakah anak yang dikandung tersebut adalah anaknya.17
Dalam perkara ini, selain pemohon meminta agar membebankan
biaya perkara kepada pemohon, pemohon juga meminta kepada Pengadilan
16 Tim Penggerak PKK Provinsi Jawa Timur, Buku Pedoman KB Bagi Kader Dasa Wisma,
(BPPKB), 11.
8
supaya mengabulkan permohonan pemohon dengan menetapkan wali nikah
pemohon yang bernama Mukmin Bin Radi adalah adhol, dan bilamana
Pengadilan Agama berpendapat lain, pemohon mohon perkara tersebut
diputus menurut hukum dengan seadil-adilnya.
Akan tetapi pada akhirnya selain membebankan biaya perkara sebesar
Rp. 341.000,- kepada pemohon, Pengadilan Agama Bojonegoro tidak
menetapkan Mukmin bin Radi sebagai wali adhol. Namun menyatakan
bahwa Mukmin bin Radi tidak berhak menjadi wali nikah terhadap pemohon.
Melihat penetapan Pengadilan Agama ini perlu kiranya dikaji terlebih
dahulu. Karena jika kita lihat, wali pemohon telah enggan untuk menikahkan
anaknya karena wali pemohon tidak mengakui pemohon sebagai anaknya.
Namun pada kenyataannya pemohon adalah anak yang lahir dalam
perkawinan yang sah antara Mukmin bin Radi dengan Sulikah binti Suwito
(Ibu pemohon), yang mana dikatakan dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada Bab IX tentang
kedudukan anak, bahwa Anak yang sah adalah anak yang lahir dalam atau
sebagai akibat dari perkawinan yang sah.
Dari sini jika kita melihat penetapan Pengadilan Agama yang
menyatakan bahwa Mukmin bin Radi tidak berhak menjadi wali nikah
pemohon, tidak selaras dengan UU No.1 Tahun 1974 pasal 42, bahwa
pemohon adalah anak yang lahir dalam perkawinan yang sah. Berarti
9
pemohon adalah anak yang lahir dalam pernikahan yang sah antara Mukmin
bin Radi dengan Sulikah binti Suwito (Ibu Pemohon).
Adapun tentang program KB yang telah diikuti wali pemohon
sebelum Ibu pemohon hamil pemohon, yaitu vasektomi, seharusnya Majlis
Hakim mendatangkan saksi ahli yaitu dokter spesialis untuk melakukan tes
dan pemeriksaan. Namun dalam sidang ini hakim tidak mendatangkan saksi
ahli tersebut. Padahal hal ini penting dilakukan, karena meskipun vasektomi
dinilai paling efektif untuk mengontrol kesuburan pria, namun masih
mungkin dijumpai suatu kegagalan. Adapun vasektomi dianggap gagal
apabila18:
1. Pada analisis sperma setelah 3 bulan pasca vasektomi atau setelah 15
sampai 20 kali ejakulasi masih dijumpai spermatozoa;
2. Dijumpai spermatozoa setelah sebelumnya azoosperma;
3. Istri (pasangan) menjadi hamil.
Oleh karena itulah guna mengetahui dan menjaga kondisi pasien serta
menilai hasil dari pembedahan tersebut, pasien dianjurkan melakukan
perawatan dan pemeriksaan pascabedah vasektomi secara rutin. Kunjungan
tersebut dilakukan dengan jadwal satu minggu setelah pembedahan,
dilanjutkan satu bulan setelah pembedahan, tiga bulan setelah pembedahan,
dan satu tahun setelah pembedahan.19
18 BPPKB Provinsi Jawa Timur, Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi, Edisi 3 (Jakarta:
PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2011).
19 Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Buku KIE Program KB Nasional, (BKKBN
10
Dengan mendatangkan saksi ahli maka seharusnya majlis hakim
dapat memperoleh keterangan lebih detail mengenai apakah benar bahwa
dengan mengikuti vasektomi ini seseorang benar-benar dimungkinkan tidak
memiliki keturunan lagi. Karena menurut keterangan salah satu saksi yang
didatangkan oleh pemohon sendiri, yaitu As’ad bin Kandar (52 Tahun)
bahwa benar, wali pemohon pernah mengikuti program KB vasektomi
bersama banyak orang di desanya namun selain wali pemohon, ada juga
orang lain yang juga mengikuti program vasektomi saat itu dan ternyata
istrinya masih tetap hamil juga, tetapi mereka tetap rukun.20
Mengingat pentingnya hal ini, seharusnya majlis hakim
mendatangkan saksi ahli, bahkan kalau perlu dilakukan tes DNA untuk
mengetahui status pemohon sebagai anak kandung Mukmin bin Radi.
Selain itu untuk meneguhkan dalil-dalil permohonan pemohon,
pemohon hanya mengajukan bukti tertulis berupa E-Kartu Tanda Penduduk
atas nama pemohon. Seharunya Majlis Hakim meminta alat bukti lain
semisal Akte Kelahiran pemohon, mengingat hal ini juga penting kiranya,
karena dalam UU Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,
pada Bab XII bagian kesatu pasal 55 ayat 1 menegaskan bahwa asal-usul
seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang otentik,
yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.21
20 Salinan Penetapan Perkara No.64/Pdt.P/2014/PA.Bjn.
21 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (Rhedbook
11
Namun akte kelahiran ini juga tidak diminta oleh Majlis Hakim.
Seharusnya akte kelahiran ini dapat menambah dan memperkuat alat bukti
lainnya. Dan dilanjutkan penjelasannya dalam ayat 2 dari pasal 55 diatas
bahwa bila akte kelahiran tersebut tidak ada, maka pengadilan dapat
mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan
pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.22
Selain beberapa hal di atas, dalam perkara ini, sebelumnya wali
pemohon juga tidak pernah mengajukan pengingkaran anak. Oleh karenanya
tidak sah apabila wali nikah pemohon tersebut baru mengingkari sahnya
anak tersebut (pemohon) ketika anak tersebut membutuhkan wali untuk
menikahkannya. Karena dalam KHI dalam Bab XIV tentang pemeliharaan
anak, pasal 102 ayat 1 dan 2 menyebutkan bahwa, suami yang akan
mengingkari seorang anak yang lahir dari istrinya, mengajukan gugatan ke
Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau
360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui
bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan
dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama. Pengingkaran yang
diajukan sesudah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima.23
Melihat realita yang ada, penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh
tentang penyelesaian perkara wali adhol ini. Untuk itu penulis mengambil
judul : “Analisis Yuridis Terhadap Penetapan PA Bojonegoro No.
22 Ibid.
12
64/Pdt.P/2014/PA.Bjn Perihal Penolakan Permohonan Wali Adhol Karena
Pengingkaran Anak”.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari latar belakang masalah yang penulis paparkan di atas, maka
identifikasi masalah yang dapat diperoleh adalah:
1. Permohonan wali adhol karena pengingkaran anak ke Pengadilang Agama
Bojonegoro;
2. Alasan permohonan wali adhol karena pengingkaran anak ke Pengadilan
Agama Bojonegoro;
3. Penetapan perkara No.64/Pdt.P/2014/PA.Bjn tentang penolakan
permohonan wali adhol karena pengingkaran anak;
4. Pertimbangan hukum hakim dalam sidang penetapan perkara
No.64/Pdt.P/2014/PA.Bjn tentang penolakan permohonan wali adhol
karena pengingkaran anak;
5. Analisis yuridis terhadap penetapan PA Bojonegoro
No.64/Pdt.P/2014/PA.Bjn tentang penolakan permohonan wali adhol
karena pengingkaran anak.
Dari identifikasi masalah ini diperlukan adanya pembatasan masalah
agar penelitian ini fokus dan terarah, oleh karena itu penulis membatasi
masalah yang berkaitan dengan beberapa hal, yaitu:
1. Penetapan PA Bojonegoro No.64/Pdt.P/2014/PA.Bjn perihal penolakan
13
2. Analisis yuridis terhadap penetapan PA Bojonegoro
No.64/Pdt.P/2014/PA.Bjn perihal penolakan permohonan wali adhol.
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pertimbangan hukum hakim terhadap penetapan PA
Bojonegoro No.64/Pdt.P/2014/PA.Bjn perihal penolakan permohonan wali
adhol karena pengingkaran anak?
2. Bagaimana Analisis yuridis terhadap penetapan PA Bojonegoro
No.64/Pdt.P/2014/PA.Bjn perihal penolakan permohonan wali adhol
karena pengingkaran anak?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi tentang kajian atau penelitian yang
sudah pernah dilakukan sebelumnya, sehingga terlihat jelas bahwa kajian ini
bukanlah pengulangan atau duplikasi dari kajian terdahulu. Dari beberapa
literatur yang penulis baca perihal wali adhol, penulis menemukan beberapa
penelitian yang berhubungan dengan pembahasan wali adhol, antara lain:
1. Skripsi dengan judul “Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan
Pengadilan Agama Gresik No.0051/Pdt.P/2010/PA.Gs Tentang Wali
Adhol Karena Perceraian Kedua Orang Tua” yang ditulis oleh Fithna
Nurul Laily, Tahun 2013. Skripsi ini menjelaskan tentang kasus wali
adhol dengan alasan perceraian kedua orang tua, dan menggunakan
14
2. Skripsi berjudul “Analisis Yuridis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama
Surabaya No.573/Pdt.P/2011/PA.Sby Tentang Permohonan Wali Adhol
yang Tidak Melalui Prosedur Administrasi” oleh Moch. Dwi Hendra
Mufaizin, Tahun 2013. Skripsi ini memfokuskan pembahasannya pada
prosedur administrasi pengajuan perkara wali adhol tersebut.
3. Skripsi berjudul “Analisis Hukum Islam Terhadap Kecakapan Bertindak
Bagi Seseorang yang Mengajukan Permohonan Wali Adhol di Pengadilan
Agama Surabaya” oleh Lutfiah, Tahun 2012. Dalam skripsi ini penulis
memfokuskan bahasannya pada kecakapan hukum bagi pemohon yang
mengajukan permohonan wali adhol di Pengadilan Agama Surabaya dan
menggunakan analisis hukum Islam.
Dari penelitian-penelitian yang penulis cantumkan di atas, berbeda
dengan penelitian yang hendak penulis lakukan ini. Skripsi yang penulis
angkat ini yaitu berjudul “Analisis Yuridis Terhadap Penetapan PA
Bojonegoro No. 64/Pdt.P/2014/PA.Bjn Perihal Penolakan Permohonan Wali
Adhol Karena Pengingkaran Anak”. Adapun perbedaan yang dapat dilihat,
yaitu penelitian yang penulis angkat ini adalah kasus permohonan wali adhol
karena alasan pengingkaran anak, yang mana wali pemohon tidak mengakui
pemohon adalah anak kandungnya. Sehingga wali pemohon tidak berkenan
menjadi wali nikah pemohon. Kasus ini terjadi di Pengadilan Agama
Bojonegoro dan dianalisis menggunakan analisis yuridis. Sedangkan
penelitian yang penulis cantumkan di atas, yang pertama adalah kasus wali
15
dan dianalisis dengan Hukum Islam. Yang kedua, permohonan wali adhol
yang tidak melalui Prosedur Administrasi di Pengadilan Agama Surabaya.
Dan yang ketiga adalah Analisis hukum Islam terhadap kecakapan bertindak
bagi seseorang yang mengajukan permohonan wali adhol di Pengadilan
Agama Surabaya.
E. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian yang ingin dicapai dalam penulisan ini
adalah:
1. Menjelaskan dasar pertimbangan hukum hakim terhadap penetapan PA
Bojonegoro No. 64/Pdt.P/2014/PA.Bjn perihal penolakan permohonan
wali adhol karena pengingkaran anak.
2. Menjelaskan analisis yuridis terhadap penetapan PA Bojonegoro No.
64/Pdt.P/2014/PA.Bjn perihal penolakan permohonan wali adhol karena
pengingkaran anak.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Dari penelitian ini, yang menjadi harapan bagi penulis adalah sebagai
berikut:
1. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis penelitian ini dapat menambah wawasan dan
16
bidang hukum di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan
Undang-Undang tentang perkawinan.
2. Kegunaan Praktis
Secara praktis semoga penelitian ini dapat berguna bagi
Mahasiswa Syari’ah UIN Sunan Ampel Surabaya dan memberikan
tambahan informasi tentang diskripsi perkara wali adhol di Peradilan
Agama di Indonesia. Selain itu, penelitian ini diharapkan pula dapat
berguna bagi hakim Pengadilan Agama sebagai evaluasi dan tambahan
informasi tentang perkara wali adhol.
G. Definisi Operasional
Penegasan istilah/definisi operasional diperlukan apabila
dimungkinkan akan terjadi kesalahfahaman penfsiran istilah antara pembaca
dengan peneliti.24 Maka dari itu untuk menghindari kesalahfahaman dalam
pengertian maksud dari judul di atas maka penulis memberikan definisi yang
menunjukkan kearah pembahasan sesuai dengan maksud yang dikehendaki
oleh judul tersebut, diantaranya yaitu:
1. Analisis Yuridis : adalah penelitian atau penyelidikan terhadap suatu
peristiwa atau perbuatan hukum untuk mengetahui
kebenarannya berdasarkan undang-undang yang
24 Imron Rosidi, Sukses Menulis Karya Ilmiah, Suatu Pendekatan Teori dan Praktek, (Pasuruan:
17
dibuat dan diberlakukan di Negara Republik
Indonesia.
Dalam skripsi ini penulis menganalisis dengan
Kompilasi Hukum Islam (KHI), Undang-Undang
Republik Indonesia No.1 Tahun 1974 tentang
perkawinan beserta penjelasannya, Undang-Undang
RI No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
sebagaimana yang diubah untuk keduakalinya dengan
Undang-Undang No.50 Tahun 2009, Undang-Undang
No.14 Tahun 1970 tetang ketentuan-ketentuan pokok
kekuasaan kehakiman, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUH Perdata) serta Reglemen Indonesia
yang diperbaharui (Het Herziene Indonesisch
Reglement (HIR)).
2. Wali adhol : adalah wali yang enggan menikahkan atau menolak
untuk menikahkan atau tidak berkenan menjadi wali
pernikahan anak perempunnya dengan seorang
laki-laki yang menjadi pilahan anak perempuannya.25
3. Pengingkaran anak : adalah penolakan pengakuan atau penyangkalan
terhadap sahnya seorang anak oleh seorang suami
18
terhadap anak yang dilahirkan istrinya, bahwa anak
tersebut dianggap bukan anak kandungnya.
H. Metode Penelitian
1. Data yang dikumpulkan
Dalam penelitian ini, data yang dikumpulkan dan digunakan oleh
penulis untuk diteliti dan dianalisis adalah:
a. Salinan Penetapan Perkara No.64/Pdt.P/2014/PA.Bjn yang telah
dilegaliser dari Pengadilan Agama Bojonegoro;
b. Data hasil wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Bojonegoro tentang dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam menetapkan perkara
No.64/Pdt.P/2014/PA.Bjn. perihal penolakan permohonan wali adhol
karena pengingkaran anak.
2. Sumber Data
Adapun sumber data yang digunakan oleh penulis ada 2 jenis data,
yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder.
a. Sumber data primer, adalah sumber data yang diperoleh penulis
secara langsung dari sumber aslinya, dan yang digunakan dalam karya
ini adalah:
- Salinan Penetapan Perkara No.64/Pdt.P/2014/PA.Bjn yang telah
dilegaliser dari Pengadilan Agama Bojonegoro;
- Hakim yang mengadili Perkara No.64/Pdt.P/2014/PA.Bjn di
19
c. Sumber data sekunder, yaitu sumber data yang diambil dan diperoleh
dari wawancara dengan para pakar (ahli) dan dari bahan pustaka yaitu
dengan mencari data atau informasi tertulis yang berkaitan dengan
perkara yang penulis teliti:
- Al-Miftahu Libabin Nikah, Kunci Memahami Hukum
Pernikahan, karya Muhammad bin Salim bin Hafizh,
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh S. Alwi bin Isa
As-Seggaf;
- Fikih Sunnah 6 karya Sayyid Sabiq, diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia oleh Mohammad Thalib;
- Fiqh Munakahat 1 karya Beni Ahmad Saebani;
- http://id.wikipedia.org/wiki/Vasektomi;
- Kompilasi Hukum Islam;
- Peradilan Agama karya Ahrum Hoerudin;
- Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 30 Tahun
2005 Tentang Wali Hakim;
- Risalah Hukum Nikah karya Fatihuddin Abul Yasin;
- Sukses Menulis Karya Ilmiah, Suatu Pendekatan Teori dan
Praktek karya Imron Rosidi;
- Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan;
- Juga literatur-literatur lain yang berkaitan dan mendukung
20
3. Teknik Pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk mengumpulkan
data yang dilakukan oleh penulis antara lain, adalah:
a. Studi Dokumentasi
Adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan
langsung ditujukan kepada subyek penelitian melalui dokumen atau
berkas yang ada. Dalam hal ini dokumen yang diteliti adalah
Penetapan Pengadilan Agama Bojonegoro No.64/Pdt.P/2014/PA.Bjn
perihal permohonan wali adhol karena pengingkaran anak.
b. Wawancara
Dalam penelitian ini penulis mewawancarai Hakim dan
Panitera di Pengadilan Agama Bojonegoro yang terkait dengan
perkara ini.
4. Teknik analisis data
Setelah data yang diperlukan terkumpul, maka penulis akan
menganalisis data tersebut dengan menggunakan metode analisis
deskriptif, yaitu penulis memaparkan dan menjelaskan permasalahan yang
ada. Selanjutnya, data diolah dan dianalisis kembali dengan pola pikir
deduktif, yakni berangkat dari persoalan yang bersifat umum kemudian
ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.26
Dalam penelitian ini penulis mendeskripsikan permasalahan dalam
penetapan perkara No.64/Pdt.P/2014/PA.Bjn perihal penolakan
21
permohonan wali adhol karena pengingkaran anak, yang kemudian
dianalisis dengan teori yang telah penulis kumpulkan dan kemudian
ditarik kesimpulan dari analisis tersebut. Dari deskripsi perkara
No.64/Pdt.P/2014/PA.Bjn perihal penolakan permohonan wali adhol
karena pengingkaran anak, penulis menganalisis dengan pola pikir
deduktif, yaitu dengan memaparkan kajian teori tentang konsep perwalian
dan prosedur penetapan wali adhol dalam hukum positif, untuk digunakan
dalam menganalisis kasus yang diangkat dalam skripsi ini. Kemudian
dengan pola pikir induktif, penulis memaparkan kesimpulan dari analisis
tersebut.
I. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah dan mendapatkan gambaran yang jelas
mengenai sistematika penulisan dan pembahasan pada skripsi ini, penulis
membagi skripsi ini dalam lima bab.
Pertama adalah bab pendahuluan yang memuat uraian tentang latar
belakang dari permasalahan yang diangkat oleh penulis, yang kemudian
diidentifikasi dan diberi batasan masalah, dan juga dirumusan masalahnya,
pada bab pertama ini juga diuraikan tentang kajian pustaka, tujuan
penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian
hingga sistematika pembahasan. Sehingga dari bab ini akan diketahui
22
Kemudian pada bab dua, penulis memaparkan tentang kajian teori
tentang tinjauan umum mengenai wali nikah dan kedudukan anak serta
proses penetapan wali adhol dalam hukum positif. Uraian pada Bab dua ini
akan menjadi dasar bagi penulis di dalam menganalisis kasus yang diangkat
dalam skripsi ini.
Selanjutnya pada bab tiga, penulis lebih menekankan pada
pendeskripsian penetapan perkara No.64/Pdt.P/2014/PA.Bjn tentang
penolakan permohonan wali adhol karena pengingkaran anak, dan dasar
pertimbangan hukum hakim dalam menetapkan perkara ini. Dari bab tiga ini
akan dipahami seperti apa kasus yang diangkat oleh penulis dalam menyusun
skripsi ini.
Dilanjutkan bab empat, penulis akan menganalisis dari apa yang telah
dideskripsikan pada bab tiga, yaitu tentang penetapan perkara
No.64/Pdt.P/2014/PA.Bjn perihal penolakan permohonan wali adhol karena
pengingkaran anak, dan dasar pertimbangan hukum hakim dalam
menetapkan perkara tersebut, dengan menggunakan materi yang telah
dipaparkan pada bab dua.
Pada bab empat ini, yang pertama akan dibahas adalah pembahasan
mengenai analisis yuridis terhadap pertimbangan hukum hakim Pengadilan
Agama Bojonegoro dalam menetapkan perkara No. 64/Pdt.P/2014/PA.Bjn
perihal penolakan permohonan wali adhol karena pengingkaran anak,
23
Agama Bojonegoro No. 64/Pdt.P/2014/PA.Bjn perihal penolakan
permohonan wali adhol karena pengingkaran anak.
Kemudian yang terakhir adalah bab lima, yang merupakan sebuah
kesimpulan dan saran dari penelitian dan analisis yang telah dilakukan oleh
24
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG WALI NIKAH DAN KEDUDUKAN ANAK SERTA PROSES PENETAPAN WALI ADHOL DALAM HUKUM POSITIF
A. Konsep Wali Nikah dalam Hukum Positif
Masalah perkawinan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, karena itu pemerintah Indonesia sejak
Proklamasi Kemerdekaan hingga sekarang menaruh perhatian yang serius
dalam hal perkawinan ini.1 Banyak aturan perundang-undangan yang telah
dibuat untuk mengatur masalah perkawinan ini, salah satunya yaitu pada
tahun 1985 pemerintah memprakarsai Proyek Kompilasi Hukum Islam
(KHI). Setelah berhasil diproyeksikan bahwa buku hukum (Kompilasi
Hukum Islam) tersebut menjadi buku standar yang tunggal bagi hakim
Pengadilan Agama di Indonesia dari Sabang sampai Merauke.2
Di jelaskan dalam KHI bahwa untuk melaksanakan sebuah
perkawinan terdapat syarat dan rukun yang harus dipenuhi. Diantara syarat
dan rukun perkawinan tersebut salah satunya adalah adanya seorang wali
nikah. Pernikahan tidak dianggap sah apabila tidak ada wali yang
menikahkannya. Dalam KHI, masalah wali nikah ini diatur dalam Pasal 19
sampai 23. Dalam Pasal 19, KHI mengatakan: “Wali nikah dalam
1 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), 3. 2 Mahfud, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia,
25
perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai
wanita yang bertindak untuk menikahkannya”. 3
Selanjutnya pada Pasal 20 ayat (1), KHI menyatakan bahwa: “Yang
bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat
hukum Islam yakni muslim, akil dan balig. Diteruskan pada ayat (2), “Wali
nikah terdiri dari : wali nasab dan wali hakim”.
Kemudian dijabarkan pada pasal 21 ayat (1), ada empat kelompok
wali nasab, yaitu :
Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.
- Pertama, kelompok laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
- Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
- Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.
- Keempat, kelompok saudara laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki-laki-laki mereka.
Selanjutnya dalam pasal 22, “apabila wali nikah yang paling
berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh
karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur,
maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut
derajat berikutnya”.
3 Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis
26
Menyangkut dengan wali hakim, diterangkan pada Pasal 23 yang
berbunyi4 :
(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirinya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhol atau enggan.
(2) Dalam hal wali adhol atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.
B. Kedudukan Anak dalam Hukum Positif
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikemukakan bahwa anak
adalah keturunan kedua sebagai hasil dari hubungan antara pria dan wanita.5
1. Anak sah
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, masalah anak sah diatur dalam Pasal 42, yaitu : “Anak yang
sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan
yang sah”.6
Kemudian dalam KHI pasal 99 mengatakan bahwa : “Anak yang
sah adalah :
a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;
4 Ibid.
5 WJS Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka), hal.38.
6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ( Rhedbook
27
b. hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh
isteri tersebut”.7
Dari pasal-pasal diatas, kita ketahui antara UUP dan KHI
memiliki persamaan dalam merumuskan definisi anak sah. Dapat kita
pahami bahwa anak sah adalah anak yang lahir dalam dan akibat
perkawinan yang sah. Disini ada dua pengertian, yaitu dikatakan anak sah
apabila anak tersebut lahir dalam perkawinan yang sah, dan anak yang
lahir akibat perkawinan yang sah. Jadi, pada intinya anak yang lahir
dalam suatu ikatan perkawinan yang sah mempunyai status sebagai anak
sah dengan hak-hak keperdataan melekat pada dirinya.8
Selain itu KHI juga mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan
yang terjadi akibat kemajuan teknologi kedokteran seperti bayi tabung.
Di dalam pasal 99 KHI dinyatakan “hasil pembuahan suami istri yang sah
diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut”. maksudnya bahwa
pembuahan anak diluar rahim itu sah dan dibolehkan selama pembuahan
itu berasal dari sperma suami istri yang sah dan dilahirkan oleh istrinya
sendiri. Sebaliknya, tidak dibenarkan menggunakan atau menyewa rahim
wanita lain.9
7 Kompilasi Hukum Islam.
8 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam..., 78-79.
9 M. Yahya Harahap, Pengadilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum
28
2. Pengingkaran Anak
Seorang suami berhak melakukan pengingkaran atau
penyangkalan terhadap sahnya seorang anak dengan ketentuan-ketentuan
yang telah diatur dalam undang-undang.10 Dalam UUP, berkenaan dengan
masalah pengingkaran anak diatur dalam Pasal 44 yang berbunyi :
(1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut.
(2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.
Sebagaimana UUP, dalam KHI juga dijelaskan menyangkut
keadaan suami yang mengingkari sahnya anak dan proses yang harus
ditempuhnya jika ia menyangkal anak yang dikandung atau dilahirkan
oleh istrinya. Lebih jelas dinyatakan dalam Pasal 101 dan 102 sebagai
berikut.11
Pasal 101
Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li`an.
Pasal 102
(1) Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama.
(2) Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima.
29
Disini KHI menjelaskan lebih lanjut berkenaan dengan anak sah
menyangkut batalnya keabsahan seorang anak kendatipun lahir dalam
perkawinan yang sah. Pembatalan ini terjadi akibat pengingkaran suami.
Seorang suami yang mengingkari sahnya seorang anak yang dilahirkan
sedangkan istrinya tidak menyangkalnya, maka suami menyatakan
pengingkaran itu dengan li’an.12 Tata cara li’an diatur dalam KHI pasal
126 dan 127. Dan juga pasal 128 yang mengatakan bahwa li’an hanya sah
dilakukan dihadapan sidang Pengadilan Agama.
3. Pembuktian Asal-Usul Anak
Berkenaan dengan pembuktian asal usul anak, UUP di dalam pasal
55 menegaskan bahwa :
(1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang authentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
(2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
(3) atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.13
Penjelasan tentang asal-usul anak di dalam KHI terdapat pada
pasal 103, dimana isi pasal 103 KHI ini sama persis dengan pasal 55 UUP.
12 Li’an secara bahasa berarti laknat. Secara terminologi, li’an adalah putusnya perkawinan
karena si suami menuduh istrinya berzina dan si istri menolak tuduhan itu. Keduanya menguatkan pendirian mereka dengan sumpah. Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia,
(Jakarta: UI Press, 1982), 118.
13 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ( Rhedbook
30
C. Proses Penetapan Wali Adhol dalam Hukum Positif
Dalam Pasal 23 ayat (2), KHI mengatakan: “Dalam hal wali adhol
atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah
setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut”. Di dalam
memeriksa dan menetapkan perkara, Pegadilan Agama wajib memberikan
pelayanan hukum dan keadilan dengan mewujudkan peradilan yang mandiri
dan independen, bebas dari campur tangan pihak lain. Serta melaksanakan
kekuasaan kehakiman yang mandiri, tidak memihak dan transparan.14
Untuk dapat memutuskan atau menetapkan suatu perkara dengan
tepat, maka dibutuhkan dasar hukum yang cukup dan tepat pula. Oleh karena
itu, hakim harus hati-hati, cermat, dan matang menilai serta
mempertimbangkan nilai pembuktian. Meneliti sampai dimana batas
minimum “kekuatan pembuktian” atau bewijs kracht dari setiap alat bukti
yang disebutkan dalam Pasal 1866 KUH Perdata. Karena pembuktian ini
memegang peranan yang paling penting dalam proses pemeriksaan sidang
pengadilan.15
1. Pembuktian di Muka Persidangan
Yang disebut dengan “membuktikan” adalah meyakinkan Majelis
Hakim tentang dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan,
14 M. Mursyid Asyari, Laporan Pelaksanaan Praktikum Peradilan Agama di Pengadilan Agama
Kabupaten Bojonegoro, (15-26 Juli 2013), 32.
15 Alfitra, Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata, dan Korupsi di Indonesia, Edisi
31
atau menurut pengertian yang lain adalah kemampuan penggugat atau
tergugat memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung dan
membenarkan hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa yang didalilkan
(dibantahkan) dalam hubungan hukum yang diperkarakan.16
Dalam hukum acara perdata, salah satu tugas hakim adalah
menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan
telah benar-benar ada atau tidak. Hakim harus memeriksa dan
menetapkan dalil-dalil manakah yang benar dan dalil manakah yang tidak
benar. Berdasarkan pemeriksaan yang teliti dan seksama itulah hakim
menetapkan hukum atas suatu peristiwa atau kejadian yang telah
dianggap benar setelah melalui pembuktian sesuai dengan aturan yang
telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.17
Dalam hukum acara perdata, untuk mengambil putusan atau
penetapan hukum tidak perlu adanya keyakinan hakim, yang penting
adalah adanya alat-alat bukti yang sah yang berdasarkan alat-alat bukti
tersebut majelis hakim akan mengambil keputusan. Dengan kata lain,
dalam hukum acara perdata cukup dengan kebenaran formil saja.18
16 M. Yahya Harahap (1991: 01).
17 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:
Kencana, 2012), 227.
18 Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, (Bogor: Ghalia Indonesia,
32
Adapun alat bukti yang dapat dipergunakan dalam persidangan
Pengadilan Agama adalah terdiri atas lima macam,19 yaitu sebagai
berikut:
Alat-alat bukti terdiri atas :
- Alat bukti surat/ alat bukti akta; - Alat bukti saksi;
- Alat bukti persangkaan; - Alat bukti pengakuan; - Alat bukti sumpah.
Harus dibedakan antara alat bukti pada umumnya dengan alat
bukti menurut hukum. Maksudnya mekipun alat bukti yang diajukan
salah satu bentuk alat bukti yang ditentukan sebagaimana tersebut di
atas, tidak otomatis alat bukti itu sah sebagai alat bukti. Agar alat bukti
itu sah sebagai alat bukti menurut hukum, maka alat bukti tersebut harus
memenuhi syarat formil dan syarat maretiil. Di samping itu, tidak pula
setiap alat bukti yang sah menurut hukum mempunyai nilai kekuatan
pembuktian untuk mendukung terbuktinya suatu peristiwa. Meskipun alat
bukti yang diajukan memenuhi syarat formil atau materiil, belum tentu
mempunyai kekuatan pembuktian. Supaya alat bukti yang sah
mempunyai nilai kekuatan pembuktian, alat bukti yang bersangkutan
harus mencapai batas minimal pembuktian.20
a. Alat Bukti Surat atau Akta
Dasar hukum penggunaan surat atau akta sebagai alat bukti
adalah HIR Pasal 164, R.Bg Pasal 284, 293,294 ayat (2), 164 ayat (78),
33
KUH Perdata Pasal 1867-1880 dan Pasal 1869, 1874, menentukan
keharusan ditandatanganinya suatu akta sebagaimana tersebut dalam
Pasal 165 dan 167 HIR, serta Pasal 138-147 Rv.21
Surat sebagai alat bukti tertulis dapat dibedakan dalam akta
dan surat bukan akta. Akta dapat dibedakan menjadi akta auntentik
dan akta di bawah tangan. Jadi, dalam hukum pembuktian ini dikenal
paling tidak tiga jenis surat yaitu: akta autentik, akta di bawah tangan
dan surat bukan akta yang dikenal dengan alat bukti surat secara
sepihak. Dalam hukum pembuktian, bukti tulisan atau surat merupakan
alat bukti yang diutamakan atau alat bukti nomor satu jika
dibandingkan alat bukti yang lain.22
Akta autentik mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian,
yaitu: pertama, pembuktian formal, adalah pembuktian antara pihak
bahwa mereka sudah melaksanakan apa yang tertulis di dalam akta
tersebut; kedua, pembuktian materiil, yaitu pembuktian antara pihak
bahwa peristiwa yang tertulis dalam akta tersebut telah terjadi; ketiga,
pembuktian mengikat, ialah pembuktian antara para pihak bahwa pada
tanggal dan waktu tersebut di dalam akta yang bersangkutan telah
menghadap kepada pegawai dan menerangkan apa yang telah tertulis
di dalam akta tersebut. Oleh karena akta autentik mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna dan mengikat, maka akta tersebut tidak
21 Ibid, 240.
34
memerlukan bukti tambahan, dan hakim wajib mempercayai kebenaran
apa yang tertulis dalam akta tersebut.23
b. Alat Bukti Saksi
Pembuktian dengan saksi diatur dalam Pasal 168 sampai
dengan 172 HIR atau Pasal 306 sampai dengan 309 R.Bg., juga diatur
dalam Pasal 150 KUH Perdata. Meskipun Alat bukti saksi
jangkauannya sangat luas sekali hampir meliputi segala bidang dan
segala macam sengketa perdata, namun pada dasarnya pembuktian
dengan saksi baru diperlukan apabila bukti dengan surat (akta) tidak
ada atau kurang lengkap. Rasionya adalah pada umumnya keterangan
saksi kurang dipercaya, karena sering terjadi kebohongan, sehingga
tidak tertutup kemungkinan akan terjadi pertentangan antara
keterangan saksi dan isi suatu akta. Jika hal seperti itu tidak ditolerir
maka nilai pembuktian akta autentik akan kehilangan tempat berpijak.
Dengan demikian, akan banyak masyarakat yang kehilangan
kepercayaan atas akta autentik, padahal telah dibuat oleh pejabat yang
berwenang untuk itu, dan pada sisi lain, akan terjadi dalam praktek
dengan keterangan saksi, hakim dapat mengesampingkan suatu akta
autentik.24
Dalam Pasal 169 HIR, Pasal 306 R.Bg dan Pasal 1905 KUH
Perdata dijelaskan bahwa keterangan saksi saja tanpa alat bukti lainnya
tidak dianggap sebagai pembuktian yang cukup. Keterangan seorang
23 Ibid, 243.
35
saksi jika tidak ada bukti lainnya maka tidak boleh dipergunakan oleh
Hakim sebagai alat bukti. Kesaksian dari seorang saksi, tidak boleh
dianggap sebagai persaksian yang sempurna oleh hakim, dalam
memutus suatu perkara.25
Meskipun saksi bisa dijadikan sebagai salah satu alat bukti,
namun alat bukti keterangan saksi ini cenderung tidak dapat dipercaya
dengan dasar pertimbangan seperti berikut :
1) Saksi sering cenderung bohong, bahkan dengan sengaja
merekayasa kasus dengan tujuan mendapat kemenangan atau
bermaksud mempermudah kasus atau jalannya persidangan.
2) Suka mendramatisasi, menambah atau mengurangi dari kejadian
yang sebenarnya.
3) Ingatan manusia terhadap suatu peristiwa tidak selamanya akurat.
4) Sering mempergunakan emosi, baik pada saat menyaksikan
peristiwa maupun pada saat memberikan keterangan pada
persidangan, sehingga kemampuan untuk menjelaskan sesuatu
tidak proporsional lagi.26
Namun berbeda dengan keterangan saksi ahli, keterangan saksi
ahli amatlah kuat nilai kesaksiannya. Bahkan Abdul Kadir Muhammad,
SH., (1978:174) mengemukakan seorang ahli tidak sama dengan
seorang saksi. Alat yang digunakan oleh seorang saksi ahli dalam
memberikan keterangan di muka sidang Pengadilan Agama didasarkan
36
pada ilmu pengetahuan dan pikiran dan yang tidak diketahui hakim
dalam suatu peristiwa, sedangkan seorang saksi memberi keterangan
dalam persidangan Pengadilan berdasarkan panca inderanya. Dalam
Pasal 154 HIR/181 R.Bg ayat (1) dan (2), dijelaskan27 :
(1) Jika menurut pertimbangan pengadilan, bahwa perkara itu dapat menjadi lebih terang, kalau diadakan pemeriksaan seorang ahli, maka dapat ia mengangkat seorang ahli, baik atas permintaan kedua belah pihak, maupun karena jabatannya.
(2) Dalam hal yang demikian maka ditentukan hari sidang bagi pemeriksaan seorang ahli itu baik dengan tertulis maupun dengan lisan, dan menguatkan keterangannya dengan sumpah.
c. Alat Bukti Persangkaan
Alat bukti persangkaan diatur dalam Pasal 173 HIR atau 310
R.Bg., dan Pasal 1915 KUH Perdata. Namun perihal persangkaan
sebagai alat bukti tidak dijelaskan secara rinci dalam HIR dan R.Bg.
Hanya dalam Pasal 173 HIR dan Pasal 310 R.Bg memberikan petunjuk
bagi hakim tentang tata cara mempergunakan persangkaan, dijelaskan
bahwa apabila hakim hendak menjatuhkan putusan terhadap suatu
perkara yang disidangkan, jika ia menganggap bahwa
persangkaan-persangkaan itu penting, saksama, tertentu dan ada persesuaian satu
sama lain, maka persangkaan-persangkaan itu dapat dijadikan
pertimbangan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap suatu
perkara yang diajukan kepadanya.28
27 M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), 50.
37
Alat bukti persangkaan memiliki fungsi yang sangat penting
dan sentral dalam penerapan hukum pembuktian. Tanpa
mempergunakan persangkaan sebagai perantara (intermediary)
pelaksanaan pembuktian dalam keadaan ketidakmungkinan
(impossibility). Dengan demikian, alat bukti persangkaan memegang
fungsi dan peran intermediary (perantara dalam setiap pembuktian).
Sekiranya telah ditemukan fakta, dan fakta itu telah didukung oleh alat
bukti yang telah mencapai batas minimal pembuktian, keterbuktian
fakta tersebut tidak bisa langsung dikonkretkan tanpa mempergunakan
persangkaan sebagai sarana untuk mengkonkritkan kepastian
keterbuktian fakta yang telah dibuktikan dengan alat bukti yang lain.29
d. Alat Bukti Pengakuan
Dasar hukum pengakuan sebagai alat bukti diatur dalam Pasal
174 HIR dan Pasal 311 R.Bg serta Pasal 1923-1928 KUH Perdata.
Menurut Prof. MR. A. Pitlo sebagaimana yang dikutip oleh Teguh
Samudera, SH., (1992:83) mengemukakan bahwa pengakuan adalah
keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu perkara, dimana
ia mengakui apa-apa yang dikemukakan oleh pihak lawan.30
Pada prinsipnya, setiap pengakuan di muka sidang harus
didengar dan dibuat pertimbangan hakim dalam memutus perkara.
Namun ada beberapa peristiwa yang tidak boleh adanya pengakuan.
Yaitu pengakuan yang bertujuan tidak mengadakan persetujuan damai
38
mengenai suatu hal yang tidak dikuasai dengan bebas oleh para pihak,
mengenai hal-hal yang tidak dikuasai secara bebas oleh para pihak
adalah mengenai31:
1) Hak keluarga dan hak pribadi;
2) Hak mendapatkan nafkah (alimentasi);
3) Hak atas warisan yang belum terbuka;
4) Hak untuk menempatkan seseorang di bawah perwalian; dan
5) Mengaku tentang sahnya anak.
Tujuan dari larangan pengakuan dalam kasus-kasus tersebut
adalah untuk menjaga agar para pihak yang berperkara tidak
mengadakan persetujuan berupa perdamaian yang melahirkan putusan
pengadilan yang dapat merugikan kepentingan pihak ketiga. Atau
dengan kata lain, untuk menghindarka persekongkolan di antara pihak
yang berperkara tentang sesuatu yang di dalamnya tersangkut
kepentingan pihak ketiga atau pihak umum. Sebagai contoh dalam
peristiwa tersebut adalah dalam hal perceraian. Bila dibenarkan
perceraian berdasar pengakuan atas dalil yang dikemukakan
penggugat, berarti pengadilan telah membenarkan penyelundupan
hukum, dari penyelundupan hukum itu akan dilahirkan putusan
perceraian berdasarkan persetujuan suami istri. Hal ini merupakan
39
pelanggaran atas kepentingan dan ketertiban umum, bahkan bisa
merugikan pihak ketiga.32
e. Alat Bukti Sumpah
Alat bukti sumpah diatur dalam Pasal 314 R.Bg., Pasal 177 HIR
dan dalam Pasal 1929 KUH Perdata. Sumpah adalah alat bukti yang
dipergunakan untuk menguatkan keterangan atas nama Tuhan, yang
bertujuan agar orang yang bersumpah takut akan kemurkaan Tuhan
apabila dia berbohong, takut akan hukuman Tuhan dianggap sebagai
pendorong bagi yang bersumpah untuk menerangkan yang
sebenarnya.33
Syarat-syarat formal alat bukti sumpah secara umum harus
memenuhi hal-hal sebagai berikut34:
1) Berupa keterangan yang diikrarkan dalam bentuk lisan;
2) Ikrar sumpah diucapkan di depan hakim dalam proses pemeriksaan
perkara pada sidang pengadilan.
3) Tidak ada alat bukti lain yang dapat diajukan para pihak, sehingga
pembuktian sudah berada dalam keadaan jalan buntu.
2. Pengambilan Putusan
Mekanisme pemeriksaan perkara perdata di Peradilan Agama
haruslah dilakukan dengan sistematik, mulai dari sidang pertama hingga
tahap putusan. Dalam sidang pertama, jika tergugat/termohon tidak hadir,
32 Ibid.
40
sedang penggugat/pemohon hadir maka sesuai dengan Pasal 126 HIR/150
R.Bg, dan Pasal 127 HIR/151 R.Bg., sebelum menyatakan suatu putusan,
pengadilan memerintahkan supaya pihak yang tidak hadir dipanggil sekali
lagi supaya hadir pada hari sidang yang lain. Lebih jelasnya adalah35:
Pasal 126 HIR/150 R.Bg
Dalam hal yang tersebut pada kedua pasal tersebut diatas, sebelum menyatakan suatu putusan, pengadilan dapat memerintahkan, supaya pihak yang tidak hadir dipanggil sekali lagi supaya hadir pada hari sidang yang lain. Kepada pihak yang hadir diberitahukan oleh Ketua dalam persidangan; pemberitahuan itu sama dengan panggilan baginya.
Pasal 127 HIR/151 R.Bg
Apabila salah seorang atau lebih Tergugat tidak hadir atau tidak menyuruh orang lain untuk hadir sebagai kuasanya, maka pemeriksaan perkara itu ditunda sampai pada hari persidangan yang lain, sedapat mungkin jangan lama. Penundaan itu diberitahukan kepada pihak yang hadir dalam persidangan; pemberitahuan itu sama dengan panggilan baginya. Kepada tergugat yang tidak hadir diperintahkan dipanggil sekali lagi oleh Ketua supaya hadir pada hari persidangan yang lain. Ketika perkara itu diperiksa dan kemudian diputuskan bagi semua pihak dengan satu putusan saja; perlawanan atas putusan itu tidak diperkenankan.
Dalam hal pengambilan putusan, pada pasal 62 UU No. 7 Tahun
1989 menganut asas motivating plicht atau basic reason. Hakim “wajib”
mencantumkan dasar pertimbangan yang cukup dan matang dalam setiap
keputusan. Demikian secara singkat makna kewajiban tersebut yakni
putusan harus jelas dan cukup motivasi pertimbangannya. Dalam
pengertian luas, bukan hanya sekedar meliputi motivasi pertimbangan
tentang alasan-alasan yang dasar-dasar hukum serta pasal-pasal peraturan
41
yang bersangkutan, tetapi juga meliputi sistematika, argumentasi dan
kesimpulan yang terang dan mudah dimengerti orang yang
membacanya.36
Lebih jelasnya dalam Pasal 62 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989
berbunyi: “Segala penetapan dan putusan Pengadilan, selain harus
memuat alasan-alasan dan dasar-dasarnya juga harus memuat pasal-pasal
tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum
tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”.37
Pasal 62 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 ini sama makna dan
tujuannya dengan pasal 23 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 yang
berbunyi: “Segala putusan Pengadilan selain harus menurut alasan-alasan
dan dasar-dasar putusan itu, juga memuat pula pasal-pasal tertentu dari
peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis
yang dijadikan dasar untuk mengadili atau professional judgement”.38
Jika diperhatikan bunyi Pasal 62 UU No. 7 Tahun 1989 dan Pasal
23 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970, pencantuman motivasi pertimbangan
yang cukup dalam penetapan dan putusan adalah bersifat “imperatif”. Di
situ terdapat kata “harus”. Bahkan dalam Pasal 62 tersebut terdapat
pengulangan kata harus, seperti yang dapat dibaca: ...selain “harus”
menurut alasan-alasan dan dasar-dasarnya juga “harus” memuat pasal
36 M. Yahya Harahap, kedudukan kewenangan dan Acara peradilan Agama (UU No. 7 Tahun
1989), Edisi Kedua (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 313.
37 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
38 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
42
pasal... . Dari cara pengulangan kata “harus” yang terdapat pada
redaksi Pasal tersebut, tersurat dan tersirat keinginan yang dalam dri
pembuat undang-undang, agar para hakim benar-benar mengindahkan dan
memenuhi kewajiban menyusun motivasi pertimbangan yang cukup. Oleh
karena ketentuan ini bersifat “imperatif”, tidak boleh diabaikan para
hakim. Hakim harus mampu memperlihatkan wawasan kematangan
penguasaan hukum dan berfikir secara sistematik dan profesional.
Benar-benar mengingat sumpah jabatan dan ikatan batiniyah yang ditentukan
pasal 57 bahwa peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan
ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Putusan yang dijatuhkan mengandung
pertimbangan yang merefleksikan dimensi keutuhan pertanggungjawaban
terhadap hukum, kebenaran, dan keadilan serta pertanggungjawaban
kepada Allah Yang Maha Mengetahui.39
Putusan yang dijatuhkan tanpa motivasi pertimbangan yang
cukup, bertentangan dengan Pasal 62 UU No. 7 Tahun 1989 dan Pasal 23
ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970. Oleh karena putusan tidak memenuhi
syarat dan tata cara mengadili yang ditentukan undang-undang, putusan
tersebut dapat dibatalkan dalam tingkat banding atau tingkat kasasi.40
Putusan yang dianggap cukup motivasi pertimbangannya adalah
putusan yang menghimpun secara saksama pemeriksaan sidang
pengadilan. Dari deskripsi semua fakta dan kejadian yang diketemukan,
diolah secara argumentatif berdasar ketentuan asas-asas pembuktian
43
dikaitkan dengan hukum materiil yang berhubungan dengan perkara yang
bersangkutan. jadi kita melakukan pendekatan “induktif" yang sistematis
setahap demi setahap untuk menghimpun suatu kesimpulan hukum
tentang keterbuktian atau tidaknya dalil gugat. Pertimbangn putusan
yang semata-mata “deskriptif”, tetapi tidak argumentatif menurut
ketentuan hukum dan dasar-dasar maupun asas-asas hukum,
menyebabkan pertimbangan hukum kabur, mengambang dan tidak tentu
arahnya. Apalagi putusan yang langsung mengambil kesimpulan hukum
tanpa diuji secara “argumentatif” dan saksama serta menyeluruh dengan
fakta dan peristiwa yang dikemukakan dalam persidangan dengan hukum
formal dan materiil yang berhubungan dengan perkara yang sedang
diperiksa, adalah suatu putusan yang tidak mampu memperlihatkan titik
tolak pertimbangan.41