STUDI KOMPARASI KONSEP PENDIDIKAN ISLAM
PRESPEKTIF HASAN LANGGULUNG DAN ABUDDIN NATA
(Studi Tentang Tujuan, Kurikulum, dan Metode Pendidikan
Islam Prespektif Hasan Langgulung dan Abuddin Nata)
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi Salah satu persyaratan dalam menyelesaikan
Program Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh:
Eka Wahyu Wulandari (D71212151)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
ABSTRAK
Eka Wahyu Wulandari, Nim: D71212151. Tahun 2015. Judul skripsi “Studi Komparasi Konsep Pendidikan Islam Prespektif Hasan Langgulung dan Abuddin Nata (Studi Tentang Tujuan, Kurikulum, dan Metode Pendidikan Islam Prespektif Hasan Langgulung dan Abuddin Nata)”.
Penelitian ini dilatar belakangi oleh Keterbelakangan pendidikan Islam yang umumnya terjadi saat ini, antara lain karena kegiatan pendidikan yang umumnya berlangsung di masyarakat masih dilaksanakan secara konvensional, hanya bermodalkan niat dan semangat, tetapi tidak didukung dengan teori dan konsep yang mapan. Akibat dari keadaan yang demikian itu, maka praktik pendidikan Islam belum bertolak dari teori, konsep dan desain ajaran Islam. Pendidikan Islam berjalan tanpa desain (not by design), tetapi hanya berdasarkan kebiasaan atau tradisi yang sudah ada sebelumya (just by accident and tradition). Dengan kata lain, praktik pendidikan yang dilakukan tanpa melalui ilmu pendidikan.
Oleh karena itu dari pendapat tersebut peneliti melihat bahwa pengkajian konsep pendidikan terutama konsep pendidikan Islam yang mendalam sangatlah penting guna menumbuhkan kepribadian Muslim pada setiap individu Islam agar tercapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dalam penelitian ini, permasalahan yang akan dibahas adalah (1) Bagaimana konsep pendidikan Islam prespektif Hasan Langgulung?. (2) Bagaimana konsep pendidikan Islam prespektif Abuddin Nata?. (3) Bagaimana relevansi pemikiran Hasan Langgulung dan Abuddin Nata terkait konsep pendidikan Islam?.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan yakni penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan literature baik berupa buku, catatan maupun laporan hasil penelitian dari penelitian terdahulu. Pengumpulan data dilakukan dengan cara menelaah dan menganalisis sumber data dari referensi yang terkait dari analisis telaah data tersebut menghasilkan kesimpulan. Kesimpulan hasil penelitian tersebut adalah:
Pertama, menurut Hasan Langgulung Pendidikan Islam berarti proses merubah dan memindahkan nilai kebudayaan Islam kepada setiap individu dalam setiap masyarakat yang bertujuan menciptakan manusia yang beriman dan beramal saleh. Sedangkan cakupan nilai kebudayaan itu mencakup dua hal yaitu ilmu naql dan ilmu aql, selama ilmu aql tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Sedangkan Abuddin Nata berpendapat bahwa pendidikan Islam diartikan sebagai studi tentang proses kependidikan yang didasarkan pada nilai-nilai filosofis ajaran Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw yang dapat membina manusia menjadi insan kamil yang tujuan hidupnya tak lain adalah untuk mengabdikan diri kepada Allah Swt dengan berpedoman pada
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw.
Kedua, inti dari relevansi pemikiran Hasan Langgulung dan Abuddin Nata adalah beribadah kepada Allah Swt merupakan tujuan dari pendidikan Islam.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
MOTTO.. ... ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ... v
ABSTRAK. ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... x
PERNYATAAN KEASLIAN. ... xiii
BIODATA PENULIS .. ... xiv
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang... ... 1
B. Idetifikasi dan Batasan Masalah ... 8
C. Rumusan Masalah ... 9
D. Tujuan Penelitian .. ... 9
E. Manfaat Penelitian ... 10
F. Penelitian Terdahulu ... 10
G. Definisi Operasional ... 14
H. Metodologi Penelitian ... 16
I. Sistematika Pembahasan ... 24
BAB II KAJIAN TEORI A. Pengertian pendidikan ... 26
B. Pengertian pendidikan Islam ... 31
C. Tujuan pendidikan Islam ... 39
D. Kurikulum pendidikan Islam ... 53
BAB III BIOGRAFI SOSIAL HASAN LANGGULUNG DAN ABUDDIN
NATA
A. Biografi Sosial Hasan Langgulung ... 70
1. Riwayat hidup Hasan Langgulung ... 70
2. Riwayat pendidikan Hasan Langgulung ... 72
3. Riwayat pekerjaan Hasan Langgulung ... 73
4. Karya Hasan Langgulung ... 76
5. Corak pemikiran Hasan Langgulung ... 77
B. Biografi Sosial Abuddin Nata ... 79
1. Riwayat hidup Abuddin Nata ... 76
2. Riwayat pendidikan Abuddin Nata ... 80
3. Riwayat pekerjaan Abuddin Nata ... 81
4. Karya Abuddin Nata ... 83
5. Corak pemikiran Abuddin Nata ... 85
BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN HASAN LANGGULUNG DAN ABUDDIN NATA A. Konsep pendidikan Islam prespektif Hasan Langgulung ... 87
1. Pengertian pendidikan Islam ... 89
2. Tujuan pendidikan Islam ... 93
3. Kurikulum pendidikan Islam ... 99
4. Metode pendidikan Islam... 110
B. Konsep pendidikan Islam prespektif Abuddin Nata ... 116
1. Pengertian pendidikan Islam ... 116
2. Tujuan pendidikan Islam ... 119
3. Kurikulum pendidikan Islam ... 125
4. Metode pendidikan Islam... 129
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 156
B. Rekomendasi ... 159
DAFTAR PUSTAKA . ... 160
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang.
Manusia menurut Islam adalah makhluk Allah yang paling
sempurna serta mulia. Manusia dibekali dengan potensi-potensi
ketuhanan yang ada pada dirinya. Potensi-potensi yang dimilikinya
yang terdiri dari naluri-naluri, kebutuhan jasmani, dan akal.1 Hal ini
telah dinyatakan dalam firman Allah Qs. An-Naml ayat 73, yang
berbunyi:
وو ْ و وْ ْ وّ وا ّل و و ْ و و ّ وّو
” Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mempunyai karunia yang besar (yang diberikan-Nya) kepada manusia, tetapi
kebanyakan mereka tidak mensyukuri (nya)”.
Guna mengembangkan potensi-potensi yang telah ada pada diri
masing-masing individu serta menuntun setiap individu untuk lebih
dekat dengan Tuhan, Maka diperlukan adanya pendidikan yang
merupakan suatu hal yang sudah menjadi keharusan bagi setiap
individu untuk membangun jiwa yang memiliki kedekatan dengan
1
2
Tuhan dengan menggunakan potensi-potensi yang telah dianugrahkan
Tuhan kepadanya.
Manusia juga memiliki organ-organ kognitif semacam hati
(qalb), intelek (aql), dan kemampuan fisik, intelektual, pandangan kerohanian, pengalaman, kesadaran. Dengan berbagai potensi
semacam itu, manusia dapat menyempurnakan kemanusiaannya
sehingga menjadi yang dekat dengan Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia
dapat menjadi makhluk paling hina karena kecenderungan hawa nafsu
dan kebodohannya.2
Didalam Al-Qur’anpun ditegaskan peringatan Allah terhadap manusia yang tidak berpengetahuan, seperti firman Allah swt dalam
Qs. Hud:46, yang berbunyi:
…
و ْ و وو و ْو و و ّ
” ……Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya
kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan."
Selanjutnya respon Al-Qur’an dalam mengatasi kebodohan dan keterbelakangan dilakukan dengan cara memerintahkan manusia untuk
menggunakan akal pikirannya untuk berfikir, meneliti, dan belajar
dalam arti yang seluas-luasnya. Berbagai aktivitas ini secara sistematik
2
3
dilakukan melalui kegiatan pendidikan. Al-Qur’an memerintahkan agar manusia membaca dengan tetap menyebut nama Allah, mengajar
manusia dengan perantara kalam. (Qs. Al-Alaq, 96:1-5); menyuruh manusia berfikir (Qs. Al-Baqarah, 2:219); memperhatikan ayat-ayat Allah (ayat-ayat kauniyah yang ada di alam jagad raya) (Qs. Ali Imran, 3:191), manusia juga diperintahkan agar mempergunnakan akalnya
untuk memperhatikan ayat-ayat Allah yang ada di jagat raya (Qs. Al-Baqarah, 2:73 dan 76).3 Dari penjabaran di atas terlihat begitu besar perhatian Islam yang tertuang dalam Al-Qur’an mengenai pentingnya pendidikan.
Pendidikan dalam sejarah peradaban anak manusia adalah salah
satu komponen kehidupan yang paling penting yang akan terus
berjalan tanpa batas akhir. John Dewey dalam Muzayyin menyatakan
bahwa Education is process without end, Pendidikan adalah suatu proses tanpa akhir.4 Dalam proses untuk mencapai dan meningkatkan
kesejahteraan hidup, maka setiap individu diperintahkan untuk
menuntut ilmu secara terus menerus sepanjang hidupnya, dan hal itu
merupakan konsekuensi logis ditetapkannya manusia sebagai khalifah
dimuka bumi ini. Dan untuk membentuk seorang manusia sebagai
3
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), h.45.
4
4
khalifah yang memiliki kepribadian Islami, maka diperlukan
pendidikan Islam.
Hal ini sejalan dengan pendapat Abuddin Nata yang memaparkan
tujuan pendidikan salah satunya adalah Mengarahkan manusia agar
menjadi khalifah Tuhan di muka bumi dengan sebaik-baiknya, yaitu
melaksanakan tugas-tugas memakmurkan dan mengolah bumi sesuai
dengan kehendak Tuhan.5
Pendidikan Islam yang terjadi saat ini, walaupun namanya
berlabelkan Islam, namun dalam prakteknya belum sepenuhnya Islami.
Yakni belum dijiwai oleh nilai-nilai ajaran Islam. Hal ini bukan
disebabkan karena para penyelenggara pendidikan Islam yang tidak
mau merujuk kepada konsep atau teori tentang ilmu pendidikan Islam,
namun secara faktual buku-buku tentang ilmu pendidikan Islam yang
akan dijadikan sebagai referensi atau sandaran untuk
menyelenggarakan pendidikan Islam tersebut memang belum ada. Para
ulama di zaman klasik misalnya lebih banyak memusatkan kajian pada
bidang tafsir, tasawuf dan akhlak dari pada bidang pendidikan.
Didalam setiap kajian tersebut terkadang dijumpai penjelasan tentang
ayat-ayat Al-Qur’an atau hadis tentang pendidikan, namun belum
5
5
diuaikan secara mendalam dan belum menghasilkan teori atau konsep
pendidikan Islam.6
Keterbelakangan pendidikan Islam yang umumnya terjadi saat
ini, antara lain karena kegiatan pendidikan yang umumnya
berlangsung di masyarakat masih dilaksanakan secara konvensional,
hanya bermodalkan niat dan semangat, tetapi tidak didukung dengan
teori dan konsep yang mapan.7 Akibat dari keadaan yang demikian
itu, maka praktik pendidikan Islam belum bertolak dari teori, konsep
dan desain ajaran Islam. Pendidikan Islam berjalan tanpa desain (not by design), tetapi hanya berdasarkan kebiasaan atau tradisi yang sudah ada sebelumya (just by accident and tradition).8 Dengan kata lain, praktik pendidikan yang dilakukan tanpa melalui ilmu pendidikan.9
Oleh karena itu dari pendapat tersebut peneliti melihat bahwa
pengkajian konsep pendidikan terutama konsep pendidikan Islam yang
mendalam sangatlah penting guna menumbuhkan kepribadian Muslim
pada setiap individu Islam agar tercapai kebahagiaan dunia dan
akhirat.
6
Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), h.1.
7
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner: Normatif, Perenialis, Sejarah, Filsafat, Psikologi, Sosiologi, Manajemn, Teknologi, Informasi, Kebudayaan, Politik, Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), cet. Ke-2, h.22.
8
Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, h.2.
9
6
Dalam hal ini pendidikan haruslah seimbang antara jasmani dan
rohani, spiritual dan material, yang fisik dan metafisik. Keseimbangan
dalam pendidikan seperti halnya yang telah disebutkan sejalan dengan
pemikiran Hasan Langgulung yang dipaparkan oleh Abuddin Nata
dalam bukunya ilmu pendidikan Islam bahwa corak pemikiran Hasan
Langgulung adalah berbasis psikologi Islam yang berdasarkan
Al-Qur’an dan As-Sunnah yang antara lain ditandai oleh keseimbangan
jasmani dan rohani, spiritual dan material, yang fisik dan metafisik.10
Hasan Langgulung memberikan definisi Pendidikan Islam
adalah suatu proses spiritual , akhlak intelektual , dan sosial yang
berusaha membimbing manusia dan memberinya nilai-nilai ,
prinsip-prinsip dan teladan ideal dalam kehidupan yang bertujuan
mempersiapkan kehidupan dunia akhirat.11
Di samping itu usaha Hasan Langgulung ini kemudian identik
dengan gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan , yaitu penguasaan
disiplin ilmu modern, penguasaan khazanah Islam, penentuan relevansi
Islam bagi masing-masing bidang ilmu modern , pencarian sintesa
kreatif antara khazanah dengan ilmu modern, dan pengarahan aliran
pemikiran Islam kejalan yang mencapai penemuan pola rencana Allah
10
Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, h.342.
11
7
.12 Hasan Langgulung adalah seorang pemikir kontemporer yang
menaruh perhatian besar terhadap upaya Islamisasi ilmu pengetahuan,
terutama dalam bidang yang ditekuni yaitu psikologi dan pendidikan.
Pemikirannya mempunyai relevansi dengan perkembangan sains dan
teknologi, serta mengikuti perkembangan zaman, bahkan dalam
tulisannya ia berupaya mengantisipasi masa depan, sehingga beliau
patut dimasukkan kedalam kelompok modernist.13
Hal ini sejalan dengan pemikiran Abuddin Nata, Abuddin Nata
bisa dikategorikan bukan hanya praktisi pendidikan, namun juga
pemikir pendidikan Islam yang menawarkan beberapa pemikiran dan
konsep yang bisa diaplikasikan dalam pendidikan Islam. Kedua tokoh
yang digunakan untuk penelitian ini memiliki karya-karya yang
monumental, yang banyak digunakan sebagai bahan rujukan dalam
pendidikan.
Pemilihan tokoh Hasan Langgulung dan Abuddin Nata dalam
penelitian ini, bukan berarti mengesampingkan tokoh pendidikan Islam
lainnya, tetapi peneliti memandang bahwa pemikiran Langulung
mempunyai corak dan karakteristik yang distingtif partikulatif untuk
dikaji , khususnya berkaitan dengan perkembangan pemikiran
12
Ismail Raji al Faruqy, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Terjm Anas mahyuddin, (Bandung Pustaka Al Husna, 1982), h.98.
13
8
pendidikan Islam pada paruh kedua abad 20 dan memasuki abad 21.
Sedangkan pemikiran Abuddin Nata mempunyai corak dan
karakteristik yang prakis dan pragmatis.
Berangkat dari pemikiran dan permasalahan yang telah
dijelaskan diatas, peneliti merasa tertarik untuk meneliti dan
mengetahui lebih jauh bagaimana konsep pemikiran pendidikan Islam
kedua tokoh tersebut, yang peneliti tuangkan dalam bentuk penulisan
skripsi dengan judul : “Studi Komparasi Konsep pendidikan Islam
Prespektif Hasan Langgulung dan Abuddin Nata (Studi Tentang Tujuan, Kurikulum, dan Metode Pendidikan Islam Prespektif
Hasan Langgulung dan Abuddin Nata)”.
B. Identifikasi dan batasan masalah.
Dari latar belakang diatas ada beberapa identifikasi permasalahan
sebagai berikut:
1. Anak didik prespektif Hasan Langgulung dan Abuddin Nata.
2. Pendidik prespektif Hasan Langgulung dan Abuddin Nata.
3. Tujuan pendidikan Islam Hasan Langgulung dan Abuddin Nata.
4. Kurikulum pendidikan Islam Hasan Langgulung dan Abuddin
Nata.
9
6. Media pendidikan Islam Hasan Langgulung dan Abuddin Nata.
7. Lingkungan pendidikan Islam Hasan Langgulung dan Abuddin
Nata.
Dari beberapa identifikasi masalah diatas tidaklah mungkin untuk
dibahas satu persatu dalam penelitian ini. Agar pembahasan tetap
terfokus pada permasalahan, penulis membatasi penelitian pada nomor
3, nomor 4 dan nomor 5.
C. Rumusan masalah.
Untuk mempermudah dalam proses penelitian, maka diperlukan
rumusan permasalahan pokok, sebagaimana berikut:
1. Bagaimana konsep pendidikan Islam (Tujuan, Kurikulum dan
Metode Pendidikan Islam) prespektif Hasan Langgulung?
2. Bagaimana konsep pendidikan Islam (Tujuan, Kurikulum dan
Metode Pendidikan Islam) prespektif Abuddin Nata?
3. Bagaimana relevansi pemikiran Hasan Langgulung dan Abuddin
Nata terkait konsep pendidikan Islam?
D. Tujuan penelitian.
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui konsep pendidikan Islam (Tujuan, Kurikulum
10
2. Untuk mengetahui konsep pendidikan Islam (Tujuan, Kurikulum
dan Metode Pendidikan Islam) prespektif Abuddin Nata.
3. Untuk mengetahui relevansi pemikiran Hasan Langgulung dan
Abuddin Nata terkait konsep pendidikan Islam.
E. Manfaat penelitian.
Secara umum hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
bahan pertimbangan untuk mengevaluasi pendidikan di Indonesia
sehingga dapat meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Secara khusus penelitian ini memiliki manfaat:
1. Kita dapat mengetahui konsep pendidikan Islam (Tujuan,
Kurikulum dan Metode Pendidikan Islam) prespektif Hasan
Langgulung.
2. Kita dapat mengetahui konsep pendidikan Islam (Tujuan,
Kurikulum dan Metode Pendidikan Islam) prespektif Abuddin
Nata.
3. Kita dapat mengetahui relevansi pemikiran Hasan Langgulung dan
Abuddin Nata terkait konsep pendidikan Islam.
F. Penelitian terdahulu.
Akan dijelaskan karya penelitian terdahulu yang sesuai dengan
11
Penelitian yang berjudul “Konsep Pendidikan Islam Dalam
Pembentukan Karakter Prespektif Hasan Langgulung” oleh Bintoro
yang dijilid pada bulan Juli 2012. Dalam Skripsi ini menekankan pada
karakter manusia. Karakter yang dimiliki manusia bersifat fleksibel
atau luwes serta bisa dirubah atau dibentuk. Karakter manusia suatu
saat bisa baik tetapi pada saat yang lain bisa jahat. Proses yang yang
dibentuk adalah pembiasaan, sebab karakter itu yidak dapat dibentuk
secara instan. Pendidikan dapat dilihat dari dua segi yaitu segi
individu, segi pandangan masyarakat, dan individu dan masyarakat.
Perubahan tersebut dikatakan oleh Bintoro tergantung bagaimana
proses intraksi antara potensi dan sifat alami yang dimiliki manusia,
dengan kondisi lingkungannya, sosial, budaya, pendidikan dan alam
berdasarkan pemikiran Hasan Langgulung.
Penelitian yang kedua berjudul “Konsep Pendidikan Islam
Prespektif Abdul Malik Fajar” oleh Nurvita Octaviani, pada tahun
2011. Dalam skripsi ini menekankan pada pemikiran Abdul malik
Fajar yang secara umum menunjukkan pada pemikiran pendidikan
Islam yang harus menunjukkan perubahan mendasar dan pembenahan
pada konsep dan manajemen pendidikan Islam untuk mencapai tujuan
pendidikan yang berkualitas yang dapat memobilisasi segala sumber
12
Untuk meningkatkan kualitas pendidikan Islam, peneliti
menyarankan pada pemegang dibidang pendidikan agar selalu
memperhatikan proses pendidikan dan selalu membuat perbaikan demi
kemajuan pendidikan Indonesia.
Penelitian yang ketiga, oleh Novi Nurbaya, dengan judul
“Konsep Pendidikan Islam Menurut Prof. Dr. Hasan Langgulung”,
tahun 2005. Dalam skripsi ini peneliti dalam hal ini Novi Nurbaya
memfokuskan tentang bagaimana pemikiran-pemikiran dari Prof. Dr.
Hasan Langgulung tentang konsep pendidikan Islam yang meliputi
pengertian, tujuan, ruang lingkup serta metode dari pendidikan Islam.
Dalam menggambarkan pemikiran pendidikan Islam menurut
peneliti, Hasan Langgulung mencoba mengkaji pengertian dari
pendidikan dari sudut pandang kedudukan manusia baik sebagai
individu maupun makhluk sosial dan mensintesa antara keduanya
dengan pendidikan dalam arti ibadah seluas-luasnya.
Penelitian yang keempat oleh Muhammad Tamrin, dengan judul
“Ganjaran dan Hukuman dalam Pendidikan (Analisis Pemikiran Hasan
Langgulung)”. Tesis ini diujikan pada tahun 2011. Penelitian ini
kemudian menyimpulkan bahwa menurut Hasan Langgulung ganjaran
merupakan pemberian penghargaan terhadap perilaku baik anak didik.
13
Sedangkan hukuman adalah tindakan yang diberikan kepada peserta
didik sebagai akibat pelanggaran yang telah diperbuatnya.
lebih lanjut lagi peneliti memeparkan bahwa Hasan Langgulung
menggunakan konsep thawa>b dan ’iqa>b. Dampak positif dari ganjaran adalah jika ganjaran diartikan sebagai thawabdari Allah,
maka peserta didik akan mengharap hanya kepada Allah, sehingga
dalam menuntut ilmu peserta didik akan mendapat ganjaran dari Allah
Swt. Bila ini tujuan akhir dari peserta didik akan berdampak pada
pembentukan kepribadian sebagai seorang Muslim yang berfungsi
sebagai khalifah.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Ulul Fauziyah, dengan
judul “Pendidikan Islam dalam Perspektif Hasan Langgulung”, skripsi, yang ditulis oleh Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah,
Universitas Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, pada bulan
Agustus tahun 2009.
Penelitian ini menemukan bahwa dalam pesepektif Hasan
Langgulung Pendidikan Islam adalah suatu proses spiritual, akhlak,
intelektual dan sosial yang berusaha membimbing manusia dan
memberinya nilai-nilai, prinsip-prinsip dan teladan ideal dalam
kehidupan yang bertujuan untuk mempersiapkannya untuk kehidupan
14
Penelitian-penilitian di atas hanya focus pada pemikiran
masing-masing tokoh belum ada satu penelitian pun yang menkomparasikan
antara pemikiran keduanya. Pada penelitian ini peneliti
mengkomparasikan pemikiran dua tokoh yakni Hasan langgulung dan
Abuddin Nata terkait pemikirannya mengenai konsep pendidikan
Islam.
G. Definisi operasional.
Definisi operasional dalam penelitian ini dimaksudkan untuk
membangun kesamaan persepsi serta menghindari distorsi pemahaman
dalam memahami penelitian.
Dalam penelitian ini konsep pendidikan Islam yang dimaksud
peneliti adalah sistem pendidikan Islam yang meliputi pendidik, anak
didik, lingkungan, tujuan, metode, kurikulum serta media yang
digunakan dalam pendidikan Islam. Namun seperti yang telah
dijelaskan di atas peneliti hanya memfokuskan penelitian pada tujuan,
metode, serta kurikulum.
Dalam penelitian ini peneliti mengambil membandingkan
(mengkomparasikan) pemikiran dua tokoh pendidikan yakni Hasan
15
Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang secara khas
memiliki ciri Islami.14 Ramayulis dan Samsul Nizar mendefinisikan
pendidikan Islam merupakan suatu sistem yang memungkinkan peserta
didik dapat mengarahkan pendidikannya sesuai dengan ideology Islam.
melalui pendekatan ini ia akan dapat dengan mudah membentuk
kehidupan dirinya sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang
diyakininya.15
Sementara itu Sajjad Husain dan Syed Ali Asraf mendefinisikan
pendidikan Islam sebagai pendidikan yang melatih perasaan
murid-murid dengan cara-cara tertentu sehingga dalam sikap hidup, tindakan,
keputusan dan pendekatan terhadap segala jenis pengetahuan sangat
dipengaruhi oleh nilai-nilai spiritual dan sadar akan nilai etis Islam.
Sedangkan Muhaimin menekankan pada dua hal. Pertama, aktivitas pendidikan yang diselenggarakan atau didirikan dengan hasrat dan niat
untuk mengejawantahkan ajaran dan nilai-nilai Islam. Kedua,
pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang dikembangkan dan
disemagati oleh nilai-nilai Islam.16
14
Sri Minarti, Ilmu pendidikan Islam Fakta Teoritis-Filosofis dan Aplikatif-Normatif, (Jakarta: Amzah, 2013), cet. Ke-1, h.25.
15
Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Konsep Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), h.88.
16
16
H. Metodologi penelitian.
1. Jenis dan pendekatan penelitian.
Dalam sebuah penelitian, jenis penelitian merupakan suatu
hal yang harus ada sebagai point of view atau alat pandang, sedangkan Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah penelitian kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor yang
dikutip oleh Lexy J. Moleong, mendefinisikan metodologi
kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan
prilaku yang dapat diamati.17 Dan bertujuan untuk
mendeskripsikan (to discrib) yakni menguraikan, menggambarkan, dan memaparkan apa adanya gejala-gejala secara jelas dan lengkap
dalam aspek yang diselidiki.
Dalam hal ini penulis tidak hanya sebatas mengumpulkan dan
menyusun data tetapi mendeskripsikan (to discrib) yakni menguraikan, menggambarkan, dan memaparkan pemikiran kedua
tokoh yang diteliti. Melihat pendekatan yang penulis pakai,
penelitian ini dikatagorikan sebagai penelitian kualitatif yang
bersifat deskriptif.
17
17
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan
Penelitian pustaka (Library Research) untuk mnedapatkan data-data yang diperlukan. Penelitian pustaka (Library Research) adalah telah yang dilakukan untuk menyelesaikan suatu masalah yang
pada dasarnya bertumpu pada penelaah kritis dan mendalam
terhadap bahan-bahan pustaka yang relevan.18
2. Sumber data.
Penulis menggunakan dua jenis data dalam memperoleh data
penelitian, meliputi data primer (Sumber primer) dan data sekunder
(Sumber sekunder).
a. Sumber data primer.
Sumber data primer adalah data yang diperoleh langsung
dari subjek penelitian dengan mengenakan alat pengukuran
atau alat pengambilan data langsung pada subjek sebagai
sumber informasi yang dicari.19
Data primer yang digunakan peneliti dalam memperoleh
data adalah:
1) Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1992).
18
Tim penyusun buku pedoman penulisan skripsi program studi Pendidikan Agama Islam, Pedoman Pedoman Penulisan Skripsi, (Surabaya, IAIN Press, 2010), 9.
19
18
2) Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad Ke-21, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1998).
3) Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1985).
4) Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1985).
5) Hasan Langgulung, Kreativitas dan Pendidikan Islam: Analisis Psikologi dan Falsafah, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1991).
6) Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandug: Al-Ma’arif, 1980).
7) Hasan Langgulung, Teori-Teori Kesehatan Mental,
(Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1992).
8) Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010).
9) Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005).
10)Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam Dan Barat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012).
19
Kebudayaan, Politik, Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010).
12)Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012)
13)Abuddin Nata, Prespektif Islam Tentang Hubungan Guru murid, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001).
14)Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Bandung: Angkasa, 2003).
15)Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013).
16)Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005). 17)Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam:
Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003).
18)Abuddin Nata, Studi Islam Komperehensif, (Jakarta: Kencana, 2010).
19)Abuddin Nata, Prespektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2009).
20
21)Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan: Tafsir Ayat Al- Tarbawy, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012). 22)Abuddin Nata, Al-Qur’an dan Hadits: Dirasah Islamiyah I,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996).
23)Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001). b. Sumber data sekunder.
Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh lewat
pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subjek
penelitiannya.20
Data sekunder yang digunakan peneliti dalam memperoleh
data adalah:
1) Ramayulis dan Samsul Nizar, Eksiklopedi tokoh pendidikan Islam, (Jakarta: Quantum Teaching, 2005).
2) Abd. Rachman Assegaf, Paradigma Baru Pendidikan Hadlori Berbasis Integratif-Interkonektif, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011).
3) Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara,l 2009).
4) Munzir Hitami, Mengkonsep Kembali Pendidikan Islam,
(Yogyakarta: Infnite Press, 2004).
20
21
5) Hadin Nuryadin, Menggagas Ilmu Pendidikan Islam,
(Bandung, Pustaka Bani Quraisy, 2005).
3. Pengumpulan data.
Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data
dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi. Metode
dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau
variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar,
majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda dan
sebagainya.21
Dokumen bisa berupa catatan atau laporan resmi, barang
cetakan, buku teks, buku referensi, surat, otobiografi, catatan
harian, karangan, majalah, koran, buletin, artikel, makalah,
jurnal, catalog, silabi atau jadwal pelajaran, gambar, film
kartun dan sebagainya.22
Pengumpulan data dalam penelitian studi tokoh adalah
dengan studi kepustakaan terlebih dahulu. Pertama,
dikumpulkan karya-karya tokoh yang bersangkutan baik secara
pribadi maupun karya bersama (antologi) mengenai topic yang
sedang diteliti (sebagai data primer). kemudian dibaca dan
21
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 2006,) h.231.
22
22
ditelusuri karya-karya lain yang dihasilkan tokoh itu mengenai
bidang lain. Kedua,ditelusuri karya-karya orang lain mengenai tokoh yang bersangkutan atau mengenai topik yang diteliti
(sebagai data sekunder).23
4. Analisis Data.
Metode yang peneliti gunakan dalam menganalisis data yang
telah diperoleh antara lain:
a. Analisa Deskriptif.
Data-data yang dikumpulkan kemudian di analisis
menggunakan analisis deskriptif. Analisis deskriptif adalah
suatu metode yang menguraikan secara teratur seluruh konsepsi
dari tokoh yang dibahas dengan lengkap tetapi ketat.24
1) Deduksi dan Induksi.
Dalam menganalisis data yang diperoleh penulis
menggunakan cara induksi yaitu mengumpulan data yang
khusus dari individu perorangan kemudian atas dasar data
itu penulis menyusun suatu ucapan umum.
Selain itu penulis juga menguraikan lagi
pemahaman yang telah digeneralisasi dapat dibuat deduksi
mengenai sifat-sifat lebih khusus yang mengalir dari umum
23
Syahrin Harahap, Metodologi Studi Tokoh Pemikiran Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), cet. Ke-1, h.48-49.
24
23
tadi; tetapi segi-segi khusus ini masih tetap merupakan
pengertian umum. Dan pada akhirnya itu semua harus
dilihat kembali dalam yang individual (aku, atau si anu).
Dimana generalisasi yang dahulu dikaji kembali apakah
memang sesuai dengan kenyataan real kemudian direfleksi
kembali.25
2) Interpretasi.
Interpretasi berarti bahwa tercapainya pemahaman
benar mengenai ekspresi manusiawi yang dipelajari.
Dalam interpretasi ini termuat hubungan-hubungan atau
lingkaran-lingkaran yang beraneka ragam, yang
merupakan satuan unsur-unsur metodis. Unsur-unsur itu
menunjukkan dan menjamin bahwa interpretasi bukan
semata-mata merupakan kegiatan manasuka, menurut
selera orang yang mengadakan interpretasi, melainkan
bertumpu pada evidensi objektif, dan mencapai kebenaran
otentik.26
Itu berarti penulis menganalisis data yang diperoleh
bukan sekedar dengan interpretasi yang individual,
namun berusaha mencari data yang benar adanya dan
tidak mendukung data atau pendapat yang penulis suka
saja.
25
Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat,
(Yogayakarta: Kanisius, 1990), h.43.
26
24
3) Komparatif.
Teknik analisis komparatif adalah teknik yang
digunakan untuk membandingkan kejadian-kejadian yang
terjadi disaat peneliti menganalisa kejadian tersebut.27
I. Sistematika pembahasan.
Untuk mendapatkan uraian secara jelas, maka peneliti
menyusun proposal ini menjadi lima bagian (bab) Secara sistematis,
yang dirinci sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan. Dalam bab ini peneliti akan
mendeskripsikan secara umum dan menyeluruh tentang proposal ini,
meliputi: (1) Latar belakang masalah. (2) Rumusan masalah. (3)
Tujuan penelitian. (4) Kegunaan penelitian. (5) Batasan penelitian. (6)
Definisi operasional. (7) Metode penelitian. (8) Penelitian terdahulu.
(9) Sistematika pembahasan.
BAB II : Kajian teori mengenai konsep pendidikan Islam.
BAB III: Biografi sosial Hasan langgulung dan Abuddin Nata.
Bab ini terdiri dari dua pembahasan yang pertama terkait dengan
Biografi sosial Hasan langgulung, Meliputi: (1) Riwayat hidup Hasan
langgulung. (2) Riwayat pendidikan Hasan langgulung. (3) Riwayat
pekerjaan Hasan langgulung. (4) Karya-karya Hasan langgulung. (5)
27
25
Corak pemikirannya. Pembahasan yang kedua terkait dengan Abuddin
Nata, meliputi: (1) Riwayat hidup Abuddin Nata. (2) Riwayat
pendidikan Abuddin Nata. (3) Riwayat pekerjaan Abuddin Nata. (4)
Karya-karya Abuddin Nata. (5) Corak pemikirannya.
BAB IV: Bab ini merupakan jawaban dari rumusan masalah
yang telah dirumuskan oleh peneliti. meliputi: (1) Konsep pendidikan
Islam prespektif Hasan Langgulung. (2) Konsep pendidikan Islam
prespektif Abuddin Nata. (3) Relevansi pemikiran Hasan Langgulung
dan Abuddin Nata terkait konsep pendidikan Islam.
BAB V: Penutup, yang berisi kesimpulan dan sekaligus
memberikan saran.
BAB II
KONSEP PENDIDIKAN ISLAM
Akan dijelaskan pada bab II ini, konsep pendidikan Islam. Yang meliputi a)
pengertian pendidikan. b) pengertian pendidikan Islam. c) tujuan pendidikan Islam. d)
kurikulum pendidikan Islam. e) metode pendidikan Islam. Selanjutnya akan
dijelaskan secara lebih rinci sebagai berikut:
A. Pengertian pendidikan.
Pendidikan berasal dari kata dasar didik. Kamus Besar Bahasa Indonesia
memberikan definisi didik sebagai proses “memelihara dan memberi latihan
(ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran”.1
Dengan
penambahan awalan pe- dan akhiran -an, maka menjadikan pendidikan bermakna
“proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam
usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses,
cara, perbuatan mendidik”.2
Pengertian tersebut menunjukkan bahwa obyek pendidikan adalah sikap dan
tata laku seseorang. Hal ini sering kali tercermin dari pemberian julukan bagi
orang yang memiliki sikap dan perilaku yang tidak baik dengan sebutan “orang yang tidak berpendidikan”. Pengertian tersebut juga menegaskan bahwa
1
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), Ed. 3, Cet. 3, h. 263.
2
27
pendidikan adalah sebuah proses. Itu artinya, pendidikan berkaitan erat dengan
waktu atau periodisasi. Dan setiap periode memiliki sistemnya sendiri.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional mendefinisikan pendidikan sebagai: Usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.3
Pengertian tersebut menyiratkan tujuan pendidikan adalah untuk
mengembangkan potensi manusia. Potensi-potensi tersebut terdiri dari potensi
spiritual, potensi akal, potensi kepribadian, dan potensi keterampilan. Usaha sadar
dan terencana tersebut di atas dapat berupa pengajaran, pemberian contoh
(teladan), pemberian pujian/hadiah (reward) atau hukuman (punishment), dan pembiasaan. Hal ini seperti dikatakan Ahmad Tafsir berikut:
Pendidikan adalah berbagai usaha yang dilakukan oleh seseorang (pendidik)
terhadap seseorang (anak didik) agar tercapai perkembangan maksimal yang
positif. Usaha itu banyak macamnya. Satu di antaranya ialah dengan cara
mengajarnya, yaitu mengembangkan pengetahuan dan ketrampilannya. Selain itu,
ditempuh juga usaha lain, yakni memberikan contoh (teladan) agar ditiru,
3
28
memberikan pujian dan hadiah, mendidik dengan cara membiasakan, dan lain-lain
yang tidak terbatas jumlahnya. Kesimpulannya, pengajaran adalah sebagian dari
usaha pendidikan. Pendidikan adalah usaha mengembangkan seseorang agar
terbentuk perkembangan yang maksimal dan positif.4
Kegiatan pendidikan, menurut Ahmad Tafsir, dalam garis besarnya dapat
dibagi tiga: (1) kegiatan pendidikan oleh diri sendiri, (2) kegiatan pendidikan oleh
lingkungan, dan (3) kegiatan pendidikan oleh orang lain terhadap orang tertentu.
Adapun binaan pendidikan dalam garis besarnya mencakup 3 daerah: (1) daerah
jasmani, (2) daerah akal, dan (3) daerah hati. Tempat pendidikan juga ada tiga
yang pokok: (1) di dalam rumah tangga, (2) di masyarakat, dan (3) di sekolah.5
Mendefinisikan pendidikan rasanya tidak lengkap jika tidak mengutip
pendapat Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, Ki Hajar Dewantara. Dalam
sebuah kumpulan tulisannya tentang pendidikan, yang kemudian dibukukan dan
diterbitkan pada 1961, selengkapnya Ki Hajar Dewantara menjelaskan pendidikan
sebagai: Daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan
batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak; dalam pengertian tersebut tidak boleh dipisah-pisahkan bagian-bagian itu, agar supaya kita dapat memajukan
4
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), h. 28.
5
29
kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita
didik selaras dengan dunianya.6
Di dalam pengertian Ki Hajar Dewantara tersebut terdapat kata-kata “tidak boleh dipisah-pisahkan bagian-bagian itu”. “Bagian-bagian itu” yang dimaksud
adalah budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak. Ketiga bagian tersebut dapatlah disebut mewakili istilah kognitif, afektif dan
psikomotorik. Nampaknya, jauh-jauh hari, Ki Hajar Dewantara sudah memahami
akan pentingnya sebuah konsep pendidikan yang komprehensif dan tidak parsial.
Ki Hajar Dewantara menambahkan, bahwa pendidikan, selain sebagai
sebuah upaya “membangun” manusia, juga sebuah upaya “perjuangan”.
Selengkapnya Ki Hajar Dewantara menyatakan: Pendidikan adalah usaha
pembangunan, kata orang. Ini benar, tetapi menurut fikiran saya kurang lengkap.
Pendidikan yang dilakukan dengan keinsyafan, ditujukan ke arah keselamatan dan
kebahagiaan manusia, tidak hanya bersifat kaku “pembangunan”, tetapi sering merupakan “perjuangan” pula. Pendidikan berarti memelihara hidup-tumbuh ke
arah kemajuan, tak boleh melanjutkan keadaan kemarin menurut alam kemarin.
Pendidikan adalah usaha kebudayaan, berasas keadaban, yakni memajukan hidup
agar mempertinggi derajat kemanusiaan.7
Pendidikan sebagai sebuah perjuangan, dilakukan dengan tujuan untuk
mempertinggi derajat kemanusiaan. Dan perjuangan tersebut harus disesuaikan
6
Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama: Pendidikan, (Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1961), h. 14-15.
7
30
dengan konteks zaman dan tempat anak didik dilahirkan dan dibesarkan, yang
dalam bahasa Ki Hajar Dewantara, “tak boleh melanjutkan keadaan kemarin menurut alam kemarin”.
Sementara itu Noeng Muhadjir mendefinisikan pendidikan sebagai sebuah
“upaya terprogram mengantisipasi perubahan sosial oleh pendidik-mempribadi
membantu subyek-didik dan satuan sosial berkembang ke tingkat yang normatif
lebih baik dengan cara/jalan yang normatif juga baik.”8
Pengertian tersebut menyiratkan Noeng Muhadjir tampaknya setuju dengan
pendapat Ki Hajar Dewantara, bahwa pendidikan harus disesuaikan dengan
konteks zaman agar mampu mengantisipasi perubahan sosial dan meningkatkan
derajat kemanusiaan. Noeng Muhadjir juga sepakat dengan Ki Hajar Dewantara,
bahwa pendidikan berhubungan dengan kebudayaan. Pendidikan, dalam bahasa
Noeng Muhadjir, “bila dilihat dengan kacamata masyarakat maka ia adalah
pewarisan budaya, jika dilihat dari kacamata individu maka ia adalah
pengembangan potensi.”
Sehingga dapat diketahui bahwa pendidikan selain bertumpu pada diri
peserta didik, juga sangat bergantung pada lingkungan di mana peserta didik itu
berada.
Menurut Hasan Langgulung dalam Sama’un, secara bahasa, pendidikan
setara dengan kata education. Istilah ini sering dimaknai dengan memasukkan
8
31
sesuatu. Istilah ini kemudian dipakai untuk pendidikan dengan maksud bahwa
pendidikan dapat diterjemahkan sebagai usaha memasukkan ilmu pengetahuan
dari orang yang dianggap memilikinya kepada orang yang belum memilikinya.9
Hal ini sejalan dengan pemikiran Emile Durkheim dalam Sama’un yang
mengartikan pendidikan sebagai proses mempengaruhi yang dilakukan oleh
generasi dewasa kepada orang yang dianggap belum siap melaksanakan
kehidupan sosial, sehingga lahir dan berkembang sejumlah kondisi fisik,
intelektual dan watak tertentu yang dikehendaki oleh masyarakat luas maupun
oleh komuniti tempat yang bersangkutan hidup dan berada.10
Dari banyaknya pandangan tokoh mengenai pendidikan, pengertian
pendidikan dapat disimpulkan menurut pandangan Ahmad D. Marimba yang
mengatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan yang dilakukan
secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si
terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.11
B. Pengertian pendidikan Islam.
Pendidikan Islam merupakan salah satu aspek saja dari ajaran Islam secara
keseluruhan. 12 Ada tiga istilah yang umum digunakan dalam pendidikan Islam,
9 Sama’un Bakry,
Menggagas Konsep Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Bani Quraysi, 2005), h. 2.
10
Ibid., h. 4-5.
11
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1981), Cet. 5, h. 19.
12
32
yaitu al-Tarbiyat, al-Ta’lim, dan al-Ta’dib. Tarbiyat mengandung arti memelihara, membesarkan dan mendidik yang kedalamannya sudah termasuk
makna mengajar atau alllama. Berangkat dari pemikiran ini maka Tarbiyat
didefinisikan sebagai proses bimbingan terhadap potensi manusia (jasmani, ruh
dan akal) secara maksimal agar bisa menjadi bekal dalam menghadapi kehidupan
dan masa depan.13
Zuhairini juga menyatakan ada tiga istilah umum yang sering digunakan
dalam pendidikan (Islam), yaitu at-Tarbiyah (pengetahuan tentang ar-Rabb),
at-Ta’lim (ilmu teoritik, kreativitas, komitmen tinggi dalam mengembangkan ilmu,
serta sikap hidup yang menjunjung tinggi nilai-nilai ilmiah), dan at-Ta’dib
(integrasi ilmu dan amal).14
Jamali juga berpandangan demikian, bahwa pendidikan tidak luput dari
tiga istilah yakni al-Tarbiyat, al-Ta’lim, dan al-Ta’dib. Menurutnya ketiga istilah tersebut merupakan istilah bahasa Arab yang memiliki konotasi (pengertian)
masing-masing. Menurut salah satu pendapat bahwa al-Tarbiyat dan al-Ta’dib
memiliki pengertian lebih dalam dibanding dengan istilah al-Ta’lim. Menurutnya
al-Ta’lim hanya berupa pengajaran (penyampaian pengetahuan) sedangkan al-Tarbiyat dan al-Ta’dib memiliki makna pembinaan, pimpinan dan pemeliharaan.15
13
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 72.
14
Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1955), Cet. 1, h. 121.
15
33
Tetapi Abdullah Fatah Jalal dalam Jamali memiliki pendapat lain bahwa
istilah al-Ta’lim justru memiliki pengertian yang jauh lebih luas dan lebih dalam dari pada istilah al-Tarbiyat. Istilah al-Ta’lim justru lebih mengena jika diartikan pendidikan. Dalam menunjukkan terbatasnya pengertian al-Tarbiyat ia menyatakan bahwa di dalam Al-Qur’an hanya ada dua tempat yang menggunakan kata al-Tarbiyat yaitu Qs. Al-Israa’: 24 dan Qs. Asy-Syua’raa: 18. Yang menurutnya kedua ayat tersebut mengisyaratkan bahwa istilah al-Tarbiyat lebih merujuk kepada pendidikan dan pemeliharaan pada masa anak-anak di dalam
keluarga. Sedangkan al-Ta’limbanyak diisyaratkan dalam Al-Qur’an, seperti pada Qs. Al-Baqarah: 30, 31, 32, 33-34, dan 151.16
Berbeda dengan pendapat Jamali, Syeh Naqaib al-Attas merujuk makna
pendidikan dari konsep Ta’dib, yang mengacu kepada kata adab dan variatifnya.
Berangkat dari pemikiran tersebut Syeh Naqaib menndefinisikan mendidik adalah
membentuk manusia dalam menempatkan posisinya yang sesuai dengan susunan
masyarakat, bertingkah laku secara proporsional dan cocok dengan ilmu dan
teknologi yang dikuasainya. 17 Lebih jelas lagi Naqaib menjelaskan bahwa
pendidikan Islam lebih tepat beorientasi pada ta’dib. Sedangkan tarbiyah
mencakup obyek yang lebih luas, bukan saja terbatas pada pendidikan manusia
16
Ibid., h. 46-48.
17
34
tetapi juga meliputi dunia hewan. Sedangkan ta’dib hanya mencakup pendidikan
untuk manusia.18
Hal ini sejalan dengan pemikiran Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany
dalam Jalaluddin, yang mendefinisikan pendidikan sebagai proses mengubah
tingkah laku individu pada kehidupan pribadi, masyarakat dan alam sekitar,
dengan cara pengajaran sebagai suatu aktifitas asasi dalam masyarakat. Dengan
demikian pendidikan bukanlah aktivitas dengan proses instant.19
Menurut Zakiah Daradjat dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam,
pendidikan Islam itu adalah pembentukan kepribadian muslim.20
Pendapat ini juga diperkuat dengan pendapat M. Fadly al-Jamaly dalam
Jalaluddin, yang mendefinisikan pendidikan Islam sebagai upaya
mengembangkan, mendorong manusia lebih maju dengan berdasarkan nilai-nilai
yang tinggi dan kehidupan yang mulia sehingga terbentuk pribadi yang lebih
sempurna, baik yang berkaitan dengan akal, perasaaan maupun perbuatan.21
Muhammad Ibrahimy dalam Muhaimin, menyatakan bahwa pengertian
pendidikan Islam adalah “Islamic education in true sense of the lerm, is a system of education which enable a man to lead his life according to the Islamic
ideology, so that he may easilymould his life in accordance with tenets of Islam”
(“pendidikan Islam dalam pandangan yang sebenarnya adalah suatu sistem
18
Ibid.
19
Jalaluddin, Teologi, h. 76.
20
Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h. 28.
21
35
pendidikan yang memungkinkan seorang dapat mengarahkan kehidupannya sesuai
dengan cita-cita Islam, sehingga ia dengan mudah dapat membentuk hidupnya
sesuai dengan ajaran Islam”).22
Sementara itu, seorang pakar pendidikan Islam kontemporer, yakni Said
Ismail Aly dalam Sri Minarti, mendefinisikan pendidikan Islam adalah suatu
sistem yang lengkap dengan sistematika yang epistemik yang terdiri atas teori,
praktik, metode, nilai dan pengorganisasian yang saling berhubungan melalui
kerja sama yang harmonis dan konsepsi Islami tentang Allah, alam semesta,
manusia dan masyarakat.23
Menurut Azyumardi Azra, terdapat beberapa karakteristik pendidikan
Islam. Yakni yang pertama, penekanan pada ilmu pengetahuan, penguasaan, dan
pengembangan atas dasar ibadah kepada Allah Swt. Setiap penganut Islam
diwajibkan mencari pengetahuan untuk dipahami secara mendalam, yang dalam
taraf selanjutnya dikembangkan dalam kerangka ibadah guna kemaslahatan umat
manusia. Pencarian, penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan merupakan
proses berkesinambungan, dan berlangsung seumur hidup. Inilah yang kemudian
dikenal dengan istilah life long education dalam system pendidikan modern. Lebih lanjut lagi Azyumardi mengungkapkan sebagai ibadah, dalam
pecarian, penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dalam pendidikan
22
Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka dasar Operasionalisasinya, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), h. 134-135.
23
Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam: Fakta Teoritis- Filosofis dan Aplikatif- Normatif,
36
Islam sangat menekankan pada nilai-nilai akhlak. Di dalam konteks ini, kejujuran,
sikap tawadhu’ dan menghormati sumber pengetahuan merupakan hal terpenting
yang perlu dipegang setiap pencari ilmu. Karakteristik berikutnya adalah
pengakuan terhadap potensi dan kemampuan seseorang untuk berkembang. Setiap
pencari ilmu dipandang sebagai makhluk Tuhan yang perlu dihormati dan di
santuni agar potensi-potensi yang dimilikinya dapat teraktualisasi
sebaik-baiknya.24
Secara umum menurut Jalaluddin, pendidikan Islam diarahkan kepada
usaha untuk membimbing dan mengembangkan fitrah manusia hingga ia dapat
memerankan diri secara maksimal sebagai pengabdi Allah yang taat. Namun
dalam kenyataannya manusia selaku makhluk individu memiliki kadar yang
berbeda. Selain itu manusia sebagai makhluk sosial menghadapi lingkungan dan
masyarakat yang bervariasi. Dengan demikian konsep pendidikan Islam harus
dapat merangkum keduanya, yakni tujuan pendidikan umum dan tujuan
pendidikan khusus. Berangkat dari hal tersebut, maka konsep pendidikan Islam
secara khusus akan terdiri dari:25
1. Pendidikan khusus berdasarkan tingkat pertumbuhan dan perkembangan,
yaitu:
a. Pendidikan pre natal.
b. Pendidikan anak.
24
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, h. 10.
25
37
c. Pendidikan remaja.
d. Pendidikan orang dewasa.
e. Pendidikan orang tua.
2. Pendidikan khusus berdasarkan jenis kelamin, yaitu:
a. Pendidikan untuk kaum wanita.
b. Pendidikan untuk kaum pria.
3. Pendidikan khusus berdasarkan tingkat kecerdasan, yaitu:
a. Pendidikan luar biasa, teruntuk kepada peserta didik yang memiliki
kemampuan, baik yang lemah (idiot) maupun yang cerdas (genius).
b. Pendidikan biasa, teruntuk kepada peserta didik yang memiliki yang
memiliki kecerdasan normal.
4. Pendidikan khusus berdasarkan potensi spiritual, yaitu pendidikan agama yang
ditekankan pada bimbingan dan pengembangan potensi keberagaman yang
dimiliki setiap individu.
Dengan demikian, pendidikan khusus dapat dirumuskan sebagai usaha
untuk membimbing dan mengembangkan potensi manusia secara optimal agar
dapat menjadi pengabdi Allah yang setia, berdasarkan dan dengan
mempertimbangkan perbedaan individu, tingkat usia dan jenis kelamin dan
lingkungan masing-masing.26
Tokoh pendidikan lain yang menyoroti pendidikan adalah Soeganda
Purbakawaca dalam Abuddin menurutnya dalam arti umum, pendidikan
26
38
mencakup segala usaha dan perbuatan dari segala generasi tua untuk mengalihkan
pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya, serta keterampilannya kepada
generasi muda untuk melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama
sebaik-baiknya. Dalam buku Abuddin Nata yang berjudul kapita selekta
pendidikan juga disebutkan hasil seminar pendidikan Islam se-Indonesia di
Cipayung Bogor tanggal 7-11 Mei 1960, menyatakan bahwa pendidikan (Islam)
adalah:
Sebagai bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh, dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.
Istilah membimbing, mengarahkan, dan mengasuh serta mengajarkan, dan melatih pengandung pengertian usaha mempengaruhi jiwa anak didik melalui proses setingkat demi setingkat menuju tujuan yang ditetapkan, yaitu menanamkan taqwa dan akhlak serta menegakkan kebenaran, sehingga terbentuklah manusia yang berpribadi dan berbudi luhur sesuai ajaran Islam.27
Menurut Abuddin setidaknya ada tiga poin yang dapat disimpulkan dari
definisi pendidikan di atas, yaitu: pertama, pendidikan Islam mencakup aspek jasmani dan rohani. Keduanya merupakan satu aspek yang tidak dapat dipisahkan.
Oleh karena itu, pembinaan terhadap keduannya harus seimbang. Kedua,
pendididkan Islam mendasarkan konsepsinya pada nilai-nilai religious. Ini berarti
pendidikan Islam tidak mengabaikan faktor teologis sebagai sumber dari ilmu itu
sendiri. Ketiga, adanya unsure taqwa sebagai tujuan yang harus dicapai.
27
39
Sebagaimana kita ketahui, bahwa taqwa merupakan benteng yang dapat berfungsi
sebagai daya tangkal terhadap pengaruh-pengaruh negatif yang datang dari luar.28
Mengenai dasar-dasar pendidikan Islam, secara prinsipil diletakkan pada
dasar-dasar Islam dan seluruh perangkat kebudayaannya. Dasar-dasar
pembentukan dan pengembangan pendidikan Islam yang pertama dan utama
adalah al-Qur’an dan as-Sunnah.29 Dalam hal ini, Allah swt telah mengisyaratkan dengan firman-Nya, yang pertama kali diturunkan kepada Rasulullah saw:
Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.30
C. Tujuan pendidikan Islam.
Salah satu aspek penting dan mendasar dalam pendidikan adalah aspek
tujuan. Merumuskan tujuan pendidikan yang paling penting tidak didasarkan atas
konsep manusia, alam dan ilmu serta dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip
dasarnya seperti prinsip integrasi, prinsip keseimbangan, prinsip persamaan,
prinsip pendidikan seumur hidup, serta prinsip persamaan. Hal tersebut
28
Ibid.
29
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi Dan Modernisasi Menuju Millennium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000), h. 9.
30
40
disebabkan pendidikan adalah upaya paling utama dan bukan satu-satunya untuk
membentuk manusia menurut apa yang dikehendakinya. Karena itu tujuan
pendidikan menurut ahli-ahli pendidikan, tujuan pendidikan pada hakikatnya
merupakan rumusan-rumusan dari berbagai harapan ataupun keinginan manusia.31
Dalam hal ini, tentunya setiap manusia memiliki harapan dan keinginan
masing-masing yang timbul dari dalam dirinya maupun dari berbagai rangsangan
dan pengaruh dari luar. Namun perlu diingat kembali bahwa manusia ada karena
ada yang menciptakan yakni Allah Swt dan kelak akan kembali pada Allah Swt.
Hidup manusia di dunia yang hanya sementara kemudian meninggal dan
kehidupan beralih pada alam yang kekal yakni akhirat. Manusia yang beriman
menginginkan kebahagian hidup di dunia sebagai jembatan kehidupan di akhirat.
Tujuan hidupnya tidak dibatasi dengan kematian, tetapi lebih jauh sampai kepada
alam akhirat ketika mereka bertemu dengan Tuhan-Nya. Intinya kebahagian dunia
sampai ke akhirat itulah tujuan hidupnya.32
Berdasarkan hal tersebut Munzir Hitami menyimpulkan ada tiga tujuan
pendidikan Islam walaupun berbeda sifat dan sumbernya, tetapi tidak dapat
dipisahkan antara yang satu dengan yang lain. Tujuan tersebut adalah:
1. Tujuan yang bersifat teologik, yakni kembali kepada Tuhan,
2. Tujuan yang bersifat aspiratif, yaitu kebahagiaan dunia sampai akhirat,
31
Munzir Hitami, Mengkonsep Kembali Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Infnite Press, 2004), h. 31-32.
32
41
3. Tujuan bersifat direktif, yaitu menjadi makhluk pengabdi kepada Tuhan. Hal
ini sesuai dengan firman Allah Swt yang berbunyi:
ْ ْ ا ّ ْ ْ
Artinya:” Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”.33
Sehingga jika dirumuskan secara singkat dalam satu kalimat akan
berbunyi: tujuan hidup manusia adalah menjadi abdi Tuhan yang akan kembali
kepadanya dengan bahagia.34
Menurut Ismail, Tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk membentuk
manusia yang berkarakter, yakni:
1. Berkepribadian Islam (Syahsiyyah Islmiyah).
Tujuan pendidikan Islam yang pertama ini hakikatnya merupakan
konsekuensi keimanan seorang muslim, yakni bahwa seorang muslim harus
memegang identitas muslimnya yang tampak pada cara berfikir dan cara
bersikapnya yang senantiasa dilandaskan pada ajaran agama.35 Hal ini sesuai
firman Allah:
ي ّ أ ح ا ّ د ْ ّ ْ أ ْ ْ
ْ ْ
33
Qs. Adz- Dzariyat: 56.
34
Munzir Hitami, Mengkonsep, h. 36.
35
42
Artinya:”Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?".36
2. Menguasai Tsaqafah Islam (pengetahuan Islam).
Tujuan kedua ini sebenarnya juga merupakan konsekuensi lanjutan dari
keislaman seseorang. Islam mendorong setiap muslim untuk menjadi manusia
yang berilmu dengan mewajibkan menuntut ilmu.37 Hal ini sesuai firman
Allah:
…………
ّك ّ
ْ ّ
ْ ّ ْ ْ
ْ ا
Artinya: "Adakah sama orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang-orang yang berakallah
yang dapat menerima pelajaran”.38
3. Menguasai ilmu kehidupan (sains teknologi dan keahlian) yang memadai.
Menguasai ilmu kehidupan (iptek) diperlukan agar umat Islam mampu
mencapai kemajuan material sehingga dapat menjalankan misi sebagai
kholifah Allah SWT dengan baik di muka bumi ini.39 Sesuai firman Allah
Swt:
36
Qs. Al-Fushilat (41): 33.
37
Ismail Yusanto, dkk, Menggagas, h. 67.
38
Qs. Az-Zumar(39): 9.
39
43
ْ ْ ْ ّ ْ ة آ ّ ّ ك آ ف غ ْ
ّ ح ّ ّ ضْ ا يف د ْ غْ ْ ّ ْ ك
ْ ْ
Artinya:” Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.40
Muhammad Omar al-Toumy al-Syaibany dalam Jalaluddin, menggariskan
bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk mempertinggi nilai-nilai akhlak
hingga mencapai tingkat al-Karimah. Tujuan ini sama dan sebangun dengan
tujuan yang akan dicapai oleh misi kerasulan yaitu “ membimbing manusia agar
berakhlak mulia”. Kemudian akhlak mulia dimaksud, diharapkan tercermin dari
sikap dan tingkah laku individu dalam hubungannya dengan Allah, diri sendiri,
sesama manusia dan sesama makhluk Allah, serta lingkungannya.41
Zakiyah Daradjat berpandangan bahwa tujuan adalah suatu yang
diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau kegiatan selesai. Dalam pandangan
Zakiyah Daradjat, tujuan pendidikan dibedakan menjadi empat, yakni tujuan
umum, tujuan akhir, tujuan sementara, serta tujuan operasional. Tujuan umum
40
Qs. Al-Qashas (28): 77.
41
44
ialah tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan, baik dengan
pengajaran atau dengan cara lain. Tujuan umum pendidikan Islam dalam hal ini
meliputi seluruh aspek kemanusiaan yakni sikap, tingkah laku, penampilan,
kebiasaan, dan pandangan. 42 Sedangkan tujuan akhir pendidikan Islam tertuang
dalam firman Allah:
ْ ْ ْ ّ ّ ّ ّ آ ّ ّ
Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan
dalam keadaan beragama Islam”.43
Mati dalam keadaan berserah diri kepada Allah sebagai Muslim yang
merupakan ujung dari taqwa sebagai akhir dari proses hidup. Sedangkan tujuan
sementara pendidikan Islam ialah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik
diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu kurikulum
pendidikan formal. Sementara itu, tujuan operasionalnya adalah tujuan praktis
yang akan dicapai dengan sejumlah kegiatan pendidikan tertentu.44
Perumusan tujuan pendidikan Islam harus berorientasi pada hakikat
pendidikan yang meliputi beberapa aspek, misalnya tentang:
1. Tujuan dan tugas hidup manusia.
2. Memperhatikan sifat-sifat dasar manusia yaitu konsep tentang manusia bahwa
ia diciptakan sebagai kholifah Allah sebagaimana firman Allah Swt:
42
Zakiyah Daradjat, Ilmu, h. 29.
43
Qs. Ali-Imran: 102.
44
45
ف ْ أ ة ضْ ا يف ج يّ ة ئا ْ ّ أ ْذ
يّ أ ّ ك ْ ح حّ ْح ء ّ ْ ف ْ ْ
ْ ْ
Artinya:” Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".45
Serta untuk beribadah kepadanya sebagaimana firman Allah Swt:
ْ ْ ا ّ ْ ْ
Artinya:” Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”.46
Penciptaan itu dibekali dengan berbagai macam fitrah yang
berkecenderungan pada Al- Hanief (rindu akan kebenaran dari Tuhan) berupa agama Islam sebatas kapasitas dan ukuran yang ada, 47 sebagaimana firman
Allah Swt:
45
Qs. Al-Baqarah: 30.
46
Qs. Adz- Dzariyat: 56.
47
Hasan Langgulung, Manu