• Tidak ada hasil yang ditemukan

8 Pokok Bahasan Kelima Draft

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "8 Pokok Bahasan Kelima Draft"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Pokok Bahasan V

KERANGKA DASAR KEBIJAKAN PUBLIK

Sub Pokok Bahasan Halaman

(2)

Pokok Bahasan V

Judul Pokok Bahasan

Kerangka Dasar Kebijakan Publik Tujuan Interaksional

Pada akhir materi, mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan mengenai : (1) Dasar Analisa Kebijakan Publik, (2) Analisa dengan pendekatan sistem, dan (3) Hakekat Permasalahan Publik

Sub Pokok Bahasan

5.1.

Dasar Analisa Kebijakan Publik

Seperti yang dipaparkan terdahulu, pengertian kebijakan publik adalah keputusan yang diambil pemerintah atau oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah dengan cara mengalokasikan nilai-nilai secara paksa untuk suatu tujuan tertentu kepada seluruh anggota masyarakat. Pertanyaannya adalah bagaimanakah keputusan tersebut harus diambil.

Menurut pendapatan Quade seperti yang dikutip oleh Dunn (2000:95), suatu keputusan yang diambil membutuhkan informasi. Untuk itu perlu dilakukan analisis untuk menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat menjadi landasan dari para pengambil pembuat kebijakan dalam membuat dan menilai berbagai keputusan. Seluruh proses atau rangkaian kegiatan dalam rangka memperoleh informasi itu kemudiaan disebut ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK.

Dalam perkuliahan ini, informasi yang dicari dan dikembangkan yang kemudiaan digunakan untuk melakukan analisis adalah : (1) Sebab munculnya Kebijakan dan Program Publik, (2) Akibat dari adanya Kebijakan dan Program Publik, dan (3) Kinerja dari adanya Kebijakan dan Program Publik. Menurut Dunn (2000:97), ada tiga pertanyaan yang dapat membantu kita dalam mencari informasi tersebut:

1.

Nilai yang pencapaian merupakan tolak ukur utama untuk melihat apakah kebijakan dan program publik yang diputuskan dapat mengatasi permasalahan publik,

2.

Fakta yang keberadaannya dapat membatasi atau meningkatkan pencapaian nilai-nilai, dan

3.

Tindakan yang penerapannya dapat menghasilkan pencapaian nilai-nilai. Untuk menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal, Dunn (2000:97) mengatakan ada tiga pendekatan yang dapat digunakan: empiris, valuatif, dan normatif. Pendekatan empiris ditekankan terutama pada penjelasan berbagai sebab dan akibat dari suatu kebijakan publik tertentu. Pendekatan ini menggunakan pertanyaan utama bersifat faktual (apakah sesuatu ada?) dan macam informasi yang dihasilkan bersifat deskriptif. Contohnya: mendeskripsikan, menjelaskan, meramalkan pengeluaran publik untuk kesehatan.

(3)

informasi yang dihasilkan bersifat valuatif. Sebagai contoh, setelah memberikan informasi deskripsi mengenai berbagai macam kebijakan perpajakan, analis dapat mengevaluasi berbagai cara yang berbeda dalam mendistribusikan beban pajak menurut konsekuensi etis dan moral mereka.

Pendekatan terkahir adalah pendekatan normatif. Pendekatan ini menekankan pada rekomendasi serangkaian tindakan yang akan datang yang dapat menyelesaikan masalah-masalah publik. Pertanyaan berkaitan dengan tindakan adalah (apa yang harus dilakukan?) dan tipe informasi yang dihasilkan bersifat preskriptif1. Sebagai contoh, kebijakan jaminan pendapatan minimum tahunan dapat

direkomendasikan sebagai cara menyelesaikan masalah kemiskinan.

Dalam melakukan analisis, dapat menggunakan satu pendekatan atau lebih dari pendekatan-pendekatan tersebut. Namun menurut Dunn (2000:98-99) pendekatan valuatif dan normatif sering dihindari karena kecenderungan adanya keyakinan perlunya pemisahan antara nilai-nilai dan fakta-fakta didasarkan pada kesalahpahaman metodologi dan tujuan-tujuan dari analisis kebijakan. Kesalah-lain muncul berkaitan adanya pemahaman bahwa preskritif atau rekomendasi diidentikkan dengan advokasi kebijakan2, yang umumnya dipandang sebagai cara

untuk membuat tuntutan emosional dan keputusan ideologi atau proses non-rasional (subjektif) dalam aktifitas politik ketimbang suatu cara untuk menghasilkan informasi kebijakan yang relevan dan argumen-argumen yang masuk akal mengenai solusi-solusi bagi masalah-masalah publik.

Meskipun terjadi berbagai perdebatan tentang pendekatan seperti yang diutarakan di atas, namun pada akhirnya sebagai calon sarjana ilmu sosial pendekatan yang lebih tepat digunakan adalah pendekatan empiris dan pendekatan valuatif. Penggunaan pendekatan empiris adalah untuk mendeskripsikan secara rinci tentang permasalahan sosial masyarakat dimana kebijakan tersebut akan dijalankan, sedangkan pendekatan valuatif memberikan nilai-nilai yang harus tetap dipertahankan atas dasar sosial budaya pada masyarakat setempat. Untuk jelasnya lihat tabel 5.1. dibawah ini.

Tabel 5.1.

Tiga Pendekatan dalam Analisis Kebijakan

PENDEKATAN PERTANYAAN UTAMA TIPE INFORMASI

EMPIRIS ADALAH/AKAN ADAKAH (Fakta) DEKSRIPSI/ PREDIKTIF

VALUATIF APA MANFAAT (Nilai) VALUATIF

NORMATIF APA YANG HARUS DIPERBUAT (Aksi) PRESKRIPSI Sumber : Dunn (2000:98)

Untuk memperoleh informasi yang relevan seperti yang dijelaskan di atas diperlukan kombinasi berbagai metode pengkajian (deskriptif, valuatif, atau preskriptif) dan dilakukan melalui prosedur. Misalnya prediksi secara khusus digunakan sebelum suatu tindakan diadopsi (ex ante), sementara deskripsi dan evaluasi lazim dilakukan setelah suatu tindakan berlangsung (ex post). Prediksi dan

1 Preskritif berasal dari kata latin yang asli “to prescribe´menunjuk pada tindakan

mengarahkan, memerintahkan, atau menyuruh dalam hubungan dengan wewenang.

2 Advokasi kebijakan sebagai suatu proses non-rasional mempunyai kaitan yang erat dengan

(4)

preskripsi berhubungan dengan masa depan, sementara deskripsi dan evaluasi peramalan atau prediksi, (3) evaluasi, (4) rekomendasi, dan (5) perumusan masalah. Kelima prosedur bersifat hirarkis – tidak mungkin untuk menggunakan beberapa metode tanpa terlebih dahulu menggunakan metode-metode lainnya. Sebagai contoh, untuk memantau kebijakan hal yang terlebih dahulu harus dilakukan adalah meramalkan konsekuensinya dan sebaliknya. Akhirnya merekomendasikan kebijakan umumnya mengharuskan analis untuk terlebih dahulu terlibat dalam pemantauan, peramalan dan evaluasi.

Berdasarkan prosuder di atas, hal yang perlu menjadi perhatian berkaitan dengan perumusan masalah. Keberadaan suatu masalah pada dasarnya berhubungan dengan suatu situasi yang menyulitkan, membingungkan, dimana kesulitan memang tersebar keseluruh situasi yang kesemuanya membentuk suatu keutuhan kesatuan masalah. Kepekaan terhadap masalah-masalah kebijakan dan

(I) Informasi yang

(B) Dukungan Inilah kesimpulan para

panel ahli Negara-negara Arab dapat

(5)

kemungkinan pemecahannya harus dimiliki setiap analis, karena masalah itu sendiri jarang muncul dan sudah terdefinisi, seperti pada gambar 5.2. dibawah. Untuk itu, pada sub pokok bahasan 5.3. akan dibahas lebih lanjut tentang hakikat permasalahan publik.

Gambar 5.2.

Analisis Kebijakan Yang Berorientasi Pada Masalah (Dunn, 2000:112)

Keterangan :

1.

Masa Depan Kebijakan (policy future) adalah konsekuensi dari serangkaian tindakan untuk pencapaian nilai-nilai dan merupakan penyelesaian terhadap suatu masalah kebijakan.

2.

Aksi Kebijakan (policy action) adalah suatu gerakan atau serangkaian gerakan yang dituntut oleh alternatif kebijakan yang dirancang untuk mencapai hasil dimasa depan yang bernilai.

3.

Hasil Kebijakan (policy outcome) merupakan konsekuensi yang teramati dari aksi kegiatan.

4.

Kinerja Kebijakan (policy performent) merupakan derajat di mana hasil kebijakan yang ada, memberi kontribusi terhadap pencapaian nilai-nilai.

5.2. Analisa dengan pendekatan sistem

Menurun Dunn (2000:109), sistem kebijakan (policy system) atau seluruh pola institusional di mana di dalamnya kebijakan dibuat, mencakup hubungan timbal balik diantara tiga unsur, yaitu: kebijakan publik, pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan, seperti yang ditampilkan pada gambar 5.3. dibawah ini

Gambar 5.3.

(6)

(Dunn, 2000:110)

Dari gambar 5.3. dapat diartikan bahwa masalah kebijakan tergantung pada pelaku kebijakan (policy stakeholder) yang khusus dan terkait dengan masalah. Lingkungan kebijakan (policy environment) yaitu konteks khusus dimana kejadian-kejadian di sekeliling isu kebijakan terjadi, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pembuat kebijakan dan kebijakan publik. Dengan gambaran ini, maka sistem kebijakan dapat dipahami sebagai produk manusia yang subjektif yang diciptakan melalui pilihan-pilihan yang sadar oleh pelaku kebijakan. Sistem kebijakan juga dapat diartikan sebagai sebagai realitas objektif yang dimanifestasikan ke dalam tindakan-tindakan yang teramati berikut konsekuensinya. Para pelaku kebijakan merupakan produk dari sistem kebijakan dan menghasilkan sistem kebijakan itu sendiri.

Karenanya pada pokok bahasan I, sistem kebijakan yang seharusnya dikembangkan dan perlu dianalisis dalam konteks Indonesia adalah kebijakan publik yang partisipatif. Realitas objektifnya terlihat dari berbagai keputusan yang diambil dalam sistem politik seperti yang dimbarkan Wahab (2002:14) dan bandingkan gambar 1, halaman 7. Karenanya dalam analisis pendekatan sistem digunakan dimana di dalamnya terdapat lingkungan yang digunakan sebagai dasar untuk pengembilan keputusan kebijakan, sistem politik yang digunakan sebagai prosedur pengambilan keputusan dan kebijaksanaan negara yang merupakan produk kebijakan publik itu sendiri.

Gambar 5.4.

(7)

Tugas kemudiaan untuk dijawab adalah kekuatan dan kondisi lingkungan seperti apakah yang kemudiaan menjadi perhatian lembaga politik, dan bagaimana proses dijalankan dan perilaku seperti apakah yang diharapkan kepada para politisi (A) dan seterusnya sampai F dan berikan contohnya. Namun dengan pendekatan sistem, rumusan masalah yang kemudiaan menjadi penentu seperti yang dipaparkan dibawah ini.

5.3.

Hakikat Permasalahan Publik

Dalam konteks permasalahan publik atau permasalahan sosial mulai diperdebatkan pada awal tahun 1970-an. Bidang ini sebelumnya didominasi oleh pendekatan-pendekatan yang memperlakukan permasalahan sosial sebagai aspek-aspek realitas yang obyektif dan dapat diamati. Karenanya permasalahan sosial didefinisikan sebagai kondisi yang tidak diinginkan, tidak adil, berbahaya, ofensif dan dalam pengertian tertentu mengancam kehidupan masyarakat. Perhatian utama kelompok yang memakai pendekatan realis dan obyektif adalah mengidentifikasi berbagai kondisi dan kekuatan dasar yang menjadi sebab dari permasalahan tersebut, seringkali dengan sebuah pandangan yang mengutamakan tindakan amelioratif 3.

Sejak tahun 1970-an, muncul sebuah perspektif alternatif, "Konstruksionisme sosial". Pendekatan ini bermula dari premis bahwa apa yang dilihat sebagai permasalahan sosial adalah permasalahan definisi. Banyak dari kondisi dan perilaku yang saat ini dianggap sebagai permasalahan sosial tidak selalu bersifat problematis. Dahulu orang tua memiliki hak untuk mendisiplinkan anak-anaknya sesuai dengan pandangan mereka. Saat ini kita menganggap beberapa bentuk disiplin tersebut sebagai penganiayaan anak. Perkosaan saat kencan, krisis lingkungan, mengendarai mobil di saat mabuk, tuna wisma dan AIDS telah menjadi bagian yang integral dari kesadaran dan debat publik, meski beberapa waktu belakangan masih belum menjadi perhatian. Kondisi dan perilaku lain seperti homo-seksualitas serta seks pra-nikah atau di luar-nikah mungkin dianggap sebagai permasalahan sosial di masa lalu yang pada saat ini tidak dilihat dari kacamata seperti itu. Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa pengalaman dan interpretasi kita atas perubahan kondisi dan apa yang menjadi permasalahan sosial pada

3 Amelioratif atau ameliorasi adalah tindakan untuk meningkatkan nilai dari makna yang biasa

(8)

dasarnya merupakan penilaian subyektif. Jika memang demikian, bagaimana permasalahan sosial dapat dipelajari?

Kelompok konstruksionis tidak memusatkan perhatian pada kondisi-kondisi obyektif, tapi mengarahkan perhatiannya pada proses sosial di mana kondisi tersebut muncul sebagai permasalahan. Dalam Constructing Social Problems, sebuah buku yang digambarkan sebagai "pembatas" (watershed) dalam perkembangan dari sosiologi kontemporer dari permasalahan sosial" (Miller dan Holstein 1989: 2), Spectordan Kitsuse (1977) mendorong para sosiolog untuk meninggalkan pemikiran permasalahan sosial sebagai sebuah kondisi dan menggantikannya dengan konsepsi permasalahan sosial sebagai sebuah tindakan. Mereka mendefinisikan permasalahan sosial sebagai tindakan kelompok yang mengekspresikan kedukaan dan menyatakan klaim tentang kondisi yang dihadapinya. Tugas para ahli sosiologi permasalahan sosial, kata mereka, bukan untuk mengevaluasi atau menilai klaim-klaim seperti itu tetapi mencari penjelasan kegiatan pembuatan klaim dan hasil-hasilnya. Bahkan, agar tidak jatuh kedalam analisis kondisi, Spector dan Kitsuse mendesak bahwa seluruh asumsi tentang kondisi-kondisi obyektif, termasuk asumsi tentang keberadaannya, ditunda. Sampai pada tingkat di mana para ahli sosiologi menghadirkan kondisi-kondisi itu sendiri, mereka menjadi partisipan dalam - bukannya para analis dari - proses-proses yang seharusnya mereka pelajari. Orientasi dari kajian permasalahan sosial ini dan terutama konsep "pembuatan klaim" telah menjadi inti dari pendekatan konstruksionis. Bertentangan dengan kaum obyektifis yang melihat pada kondisi-kondisi sosial, penyebab dan solusinya, kaum konstruksionis lebih tertarik pada pembuatan klaim tentang kondisi-kondisi, cara-cara di mana makna tentang kondisi-kondisi yang tidak diinginkan dihasilkan dan tanggapan-tanggapan yang ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan ini.

Makna terobosan baru dalam kajian permasalahan sosial ini tidak hanya dalam hal memberikan para ahli sosiologi dan ilmuwan sosial lain cara untuk menghadapi sifat subyektif dari permasalahan sosial, tetapi juga dalam hal memunculkan pokok bahasan yang menonjol untuk bidang ini. Pendekatan obyektifis yang tradisional menghasilkan analisis kondisi-kondisi sosial yang memiliki kesamaan hanya berdasarkan penilaian-penilaian para analis tentang kondisi-kondisi ini sebagai sesuatu yang tidak dikehendaki. Kondisi-kondisi itu sendiri tidak memiliki persamaan apapun, sehingga pemahaman tentang sebuah kondisi tidak memberi sumbangan bagi pemahaman atas kondisi yang lain. Dalam mengkonseptualisasi bidang ini dalam pengertian tindakan penetapan-klaim, konstruksionisme mem-punyai fokus yang terpisah, seperangkat pertanyaan yang spesifik untuk menuntun riset, dan kerangka untuk membangun sebuah teori permasalahan sosial yang berbeda dari teori-teori tentang kondisi-kondisi yang tidak dikehendaki (Best 1989: xvii; Schneider 1985: 210).

(9)

1980-an adalah "medikalisasi" yang makin meningkat dari permasalahan sosial. Medikalisasi merujuk pada tendensi untuk melihat kondisi dan perilaku yang tidak dikehendaki sebagai permasalahan medis dan/atau berusaha mendapatkan solusi atau kontrol medis. Kaum konstruksionis telah meneliti medikalisasi dari kondisi-kondisi seperti alkoholisme, kecanduan obat, keanggotaan sebuah sekte, prestasi pendidikan yang rendah, pengendalian kejahatan, perjudian, kematian bayi mendadak, transeksualisme serta ketidak-cakapan dokter (physician impairment).

Berkembangnya sejumlah studi kasus telah menciptakan landasan yang kuat bagi bidang ini untuk mendukung pembuatan teori tentang peran unik lembaga-lembaga publik, pemerintahan, gerakan sosial, media masa, para "ahli" termasuk ilmuwan sosial, serta berbagai peserta lain dalam proses permasalahan sosial, strategi-strategi retoris serta vernacular resources (Ibarra dan Kitsuse 1993) yang dipergunakan oleh para pembuat klaim, dan konsekuensi dari pembuatan klaim dalam pengertian siapa yang berhak memiliki permasalahan sosial serta kebijaksanaan dan prosedur kelembagaan seperti apa yang mereka terapkan dalam menghadapinya.

Pendekatan konstruksionis terhadap permasalahan sosial juga telah membangkitkan perdebatan teoretis tentang asumsi-asumsi yang dibuat pendekatan tersebut, bagaimana asumsi tersebut diterapkan, serta arahan masa depan apa yang mungkin ditempuh. Sebagian besar dari debat tersebut berpusat pada sejauh mana para sosiolog bisa tetap setia dengan formulasi asli pendekatan tersebut yang mensyaratkan bahwa acuan apapun terhadap kondisi-kondisi obyektif harus dihindari. Beberapa sosiolog telah berusaha mempertahankan netralitas yang seutuhnya (complete impartiality) dalam hal validitas klaim-klaim yang dibuat dan karakteristik kondisi yang mendasari pembuatan klaim tersebut, membatasi analisisnya pada kegiatan definisional dan interpretasi dari pembuat klaim. Sebagian sosiologi lainnya tidak melihat adanya kebutuhan akan interpretasi yang tegas, dan juga tidak melihat melihat kebutuhan mengizinkan diri untuk menentang nilai kebenaran dari klaim yang mereka "ketahui" salah. Terdapat ketidak-sepakatan tentang apakah posisi subyektivis radikal seperti yang diserukan Spector dan Kitsuse (1977) itu diinginkan, atau - bahkan - apakah mungkin (Best 1989; Troyer 1992; Woolgar dan Pawluch 1985). Dari sudut pandang mereka yang berada diluar perspektif konstruksionis tetap terdapat pertanyaan tentang permasalahan sosial riil yang memiliki suatu kemandirian terhadap bagaimana ia seharusnya dilihat dan kewajiban moral yang diemban oleh ilmuwan sosial untuk menyerukan dan bahkan bertindak terhadap kondisi-kondisi yang mereka anggap tidak benar (unjust) (Eitzen 1984). Meski terdapat perdebatan ini, yang tetap jelas adalah bahwa pendekatan konstruksionis telah dan barangkali akan tetap menjadi sumber yang produktif bagi teori dan riset permasalahan sosial. Pertanyaannya adalah bagaimanakah harus memulai memahami permasalahan sosial atau permasalahan publik?

Jones (1994:70), menyatakan inti dasar munculnya permasalahan publik dapat digali dari berbagai jenis peristiwa dan isu penting dalam rangka mendudukkan konteks politik (lokal), dengan mengacu pada :

1.

Peristiwa-peristiwa (events): tindakan yang bersifat alami dan manusiawi yang dirasa memiliki konsekuensi-konsekuensi sosial;

2.

Permasalahan (problems): kebutuhan manusia, entah bagaimana cara mengenalnya, yang tetap ada jalan keluarnya;

(10)

4.

Isu-isu (issues): permasalahan umum yang bersifat kontroversial;

5.

Bidang-bidang isu (issues area): kumpulan permasalahan umum yang bersifat kontroversial.

(11)

Masalah : situasi/kondisi yang menghasilkan kebutuhan/ketidak puasan rakyat banyak yang tidak dapat di atasi secara individual (dapat membangkitkan banyak orang untuk bertindak) adalah : (1) Situasi, (2) Kebutuhan/Ketidak puasan, (3) Menyangkut orang banyak, (4) Dirasakan secara bersama bukan individual, dan (5) Membangkitkan banyak orang untuk bertindak

 Masalah diiidentifikasi mana yang benar dan masalah yang bukan akibat.

 Masalah diidentifikasi apa masyarakat sadar.

 Masalah diidentifikasi apa oleh pembuat keputusan

 Masalah diidentifikasi baru dirumuskan masalahnnya PENYUSUNAN AGENDA PEMERINTAH

AGENDA : menggambarkan problem-problem atau isu-isu dimana pembuat keputusan merasa harus memberikan perhatian yang aktif dan serius

Agenda Sistematik : agenda yang sistematik (kumpulan berurutan) : a. Isu memperoleh perhatian yang luas

b. Publik merasa perlu diambil tindakan

c. Publik merasa isu menjadi tanggungjawab pemerintah d. Diperlukan media untuk penyampaian isu tersebut.

2.2. Agenda Institusional/Govermental Agenda : agenda yang lebih kongkrit dan jelas pemecahannya.

KAPAN ISU DAPAT MENJADI AGENDA PEMERINTAH?

 Bila ada ancaman keseimbangan antar kelompok dalam masyarakat.

 Bila Kepemimpinan Politik menentukan sebagai agenda.

 Bila timbul krisis yang besar.

 Bila timbul gerakan protes dan cenderung menjerus kekerasan.

 Bila media memberi perhatian penuh.

 Hasilnya adalah tawar menawar dengan pembuat keputusan ISU DAPAT DILIHAT DARI :

 RUANG LINGKUPNYA

 ORGANISASI KELOMPOK

 CARA PENCAPAIAN KEKUASAAN

 PROSES KEBIJAKAN

URUTAN PENENTUAN AGENDA

 Problem Definisi

 Proposal Agenda

 Bagaimana Agenda

 Kesinambungan Agenda

(12)

PERUMUSAN USULAN KP (SUDAH MASUK DALAM AGENDA PEMERINTAH) 1) Mengidentifikasi untuk menghasilkan alternatif

2) Mendefinisikan dan merumuskan alternatif 3) Menilai alternatif

4) Memilih alternatif uang memuaskan BENTUK RUMUSAN KP

1. Routine Formulation (mengulang) 2. Analogius Formulation (baru-logis)

Bentuk Rumusan KP sangat tergantung pada sistem politik di Indonesia :

(1) Rakyat (2) Partai Politik (3) Interest Group (4) Media Massa (5) Presiden/Birokrasi (6) DPR/DPD = MPR

(7) Peradilan/Mahkamah Agung

PENGESAHAN KP

BENTUK PENGESAHAN TERGANTUNG PROSES

 Collective Proses langsung disahkan (Legeslatif ikut membahas

 Individual Proses memerlukan pengesahan dari Legeslatif/Pemerintah Kalau sudah sah akan punya otoritas atau memaksa

PENGESAHAN dapat lewat

Eksekutif/Yudkatif/Legeslatif

Parpol

Interest Group

KP

Media

(13)

 Majority Coalism

2. Distributif, Redistributif, Regulatory dan Self Regulatory Policies. 3. Material dan Symbolic Policies

4. Collective goods dan Private goods Policies 5. Liberal dan Consevatif Policies.

MENGAPA MASYARAKAT MAU MELAKSANAKAN KP Sebab-sebab mengapa?

1. Masyarakat respek terhadap pemerintah 2. Masyarakat sadar

3. Masyarakat yakin KP dibuat secara syah 4. Masyarakat mempunyai kepentingan 5. Masyarakat takut hukum atau dipaksa 6. Masalah waktu

MASYARAKAT MENOLAK PELAKSANAAN KP

1. Kebijakan yang diambil bertentangan dengan nilai masyarakat. 2. Ketidak patuhan selektif.

 Sudut teknis meliputi: cara mengumpulkan data (kualitatif dan kualitatif)

 Sudut Metode Analisis 6.2. DIMENSI DAMPAK KP

 Dampak yang diharapkan/tidak diharapkan

 Limbah KP terhadap orang yang tidak menjadi sasaran

 Dampaknya pada masa kini dan dimasa yang akan datang

 Dampaknya terhadap biaya langsung

 Dampaknya terhadap biaya tak langsung 6.3. KP TIDAK MENCAPAI SASARAN

 Sumber Daya yang terbatas

 Kesalahan dalam

 Faktor-faktor yang dipertimbangkan tidak lengkap

 Masyarakat memberi respon yang berbeda atau tidak sesuai dengan petunjuk

 Ada KP yang saling bertentangan

(14)

 Banyak problem publik yang tidak dapat di atasi secara tuntas.

 Terjadi perubahan terhadap sifat masalahnya.

(15)

BAHAN BACAAN UTAMA

Jones, Charles O, 1994, Pengantar Kebijakan Publik, Jakarta, Raja Grafindo Persada, Halaman 69 – 92.

Dunn, William N, 2000, Pengantar Analisa Kebijakan Publik, Yogyakarta, Gajah Mada University Press, Halaman 95 – 128.

Gambar

gambar  1,  halaman  7.  Karenanya  dalam  analisis  pendekatan  sistem  digunakandimana  di  dalamnya  terdapat  lingkungan  yang  digunakan  sebagai  dasar  untuk

Referensi

Dokumen terkait

Kedepan pendekatan yang paling tepat dalam penanganan sampah melalui sistem pengelolaan sampah terpadu yang disebut Silarsatu dimana sistem ini merupakan sistem

Oleh karena kualitas layanan yang baik dan terukur akan meningkatkan citra, kepuasan dan kesetiaan pelanggang terhadap pemakaian jasa Hotel Asyra Makassar adalah

26 Pembentukan kembali organisasi Dharma Wanita di pemerintahan Kotif Banjar diharapkan dapat ikut berperan dalam usaha peningkatan status meskipun mereka hanya sebatas

Kebahagiaan pasangan berasal dari aspek religius dan hubungan yang baik serta kedekatan dengan kerabat dan teman-teman rumah tangga relatif stabil dan bertahan lebih lama;

Dalam penelitian ini, instrumen (Arikunto, 1997) yang digunakan Analisis SKL, Kompetensi Inti, dan Kompetensi Dasar, Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang

Embrio adalah suatu perkembangan yang mencerminkan interaksi luar biasa dari suatu fenomena semakin kompleks, dari waktu pembuahan sampai akhir minggu

Peserta didik dapat menunjukkan sikap percaya diri yang ditandai dengan  perilaku aktif dalam memberikan pendapat atau pertanyaan saat pembelajaran

Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan sebelumnya, diperoleh kesimpulan bahwa hipotesis pengujian yang diajukan terkait fenomena January Effect ini ditolak, yang