• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Stres Pengasuhan 1. Pengertian Stres - Afna Nur Hikmah BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Stres Pengasuhan 1. Pengertian Stres - Afna Nur Hikmah BAB II"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Stres Pengasuhan

1. Pengertian Stres

Stres menurut Maramis (2009) adalah segala masalah atau tuntutan menyesuaikan diri, yang karena tuntutan itulah individu merasa terganggu keseimbangan hidupnya.

Stres menurut National Safety Council (2004) adalah sebagai ketidakmampuan untuk mengatasi ancaman yang dihadapi oleh mental, fisik, emosional, dan spiritual manusia, yang pada suatu saat dapat mempengaruhi kesehatan fisik manusia tersebut. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa stres merupakan ketegangan yang dialami manusia sebagai respon terhadap tuntutan-tuntutan yang dihadapi.

2. Pengertian Stres Pengasuhan

(2)

Menurut Patterson, DeBaryshe dan Ramsey (Ahern, 2004) mengatakan stres pengasuhan yaitu stres memberikan peranan dalam gangguan praktek pengasuhan dan tidak berfungsinya manajemen keluarga.

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa stres pengasuhan yaitu tidak berfungsinya peran orang tua dalam pengasuhan dan interaksi dengan anak karena ketidaksesuaian respon orang tua dalam menanggapi konflik dengan anak tuna grahita yang menghambat dalam kelangsungan hidupnya.

3. Faktor yang Mempengaruhi Stres Pengasuhan

Menurut Johnston dkk (2003) faktor- faktor yang dapat mempengaruhi persepsi dan sebagai faktor penentu stres pengasuhan yaitu:

a. Child behavioral problems dan dukungan sosial

Perilaku anak yang bermasalah berhubungan dengan stres pengasuhan yaitu perasaan keibuan yang meliputi aspek kemampuan, penerimaan ibu serta perasaan terisolasi.

b. Family cohesion

Menekankan pada berbagai rasa tanggung jawab dan dukungan interpersonal di rumah.

c. Family income

(3)

d. Maternal psychological well being

Kesejahteraan psikologis meliputi aspek perasaan terisolasi dan penerimaan. Jika seorang ibu sedang menderita permasalahan psikologis berat, ibu mungkin tidak memiliki sumber daya pribadi yang cukup tersedia untuk orang lain atau anaknya, dengan demikian meningkatnya perasaan terisolasi dan pengurangan perasaan akan kemampuan dalam keterampilan pengasuhan juga, sehingga mempengaruhi kesejahteraan psikologis. Johnston dkk (2003) juga mengungkapkan potensi demografik lain seperti psikososial dan faktor biologis sebagai prediktor stres pengasuhan yaitu meliputi

maternal age, jaringan sosial dan dukungan, problem solving dan

coping skills, religious affiliation, sumber daya komunitas, status dan kepuasan pernikahan, pendidikan ibu, status pekerjaan ibu, kesehatan anak, maternal culpability yang dihubungkan dengan x-linked disorder. Tambahan pula untuk faktor biologis seperti FMRI

protein, activation ratio dan status methylation. Menurut Lestari (2012) faktor-faktor yang dapat mendorong timbulnya stres dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan yaitu:

1) Individu

(4)

berlangsung dalam jangka panjang. Selain kesehatan fisik, kesehatan mental dan emosi orang tua yang kurang baik juga dapat mendorong timbulnya stres. Sebaliknya, dari pihak anak faktor–faktor individu yang dapat mendorong stres pengasuhan dapat berupa masalah kesehatan fisik dan problem perilaku. Adapun stres pengasuhan yang terjadi sehari–hari sering kali disebabkan oleh problem perilaku anak. Apalagi pada anak– anak yang tergolong sebagai anak tuna grahita yang sulit. Anak– anak seperti ini biasanya sangat sulit diatur, suka membangkang, sering menimbulkan kekacauan bahkan kerusakan. Orang tua menghadapi anak yang demikian akan mudah mengalami stres pengasuhan.

2) Keluarga

Pada tingkatan ini masalah keuangan dan struktur keluarga merupakan faktor-faktor yang mendorong timbulnya stres pengasuhan. Aspek ini juga dapat berupa pengasuhan anak yang dilakukan sendiri tanpa keterlibatan pasangan atau karena menjadi orang tua tunggal. Selain itu hubungan yang penuh dengan konflik, baik antar pasangan maupun antara orang tua-anak, sangat berpotensi menimbulkan stres pengasuhan.

3) Lingkungan

(5)

dominan pada situasi lingkungan. Namun, bila tidak segera diatasi atau dikelola dengan baik, kondisi stres ini dapat berlangsung dalam jangka panjang juga.

4. Gejala dan Akibat Stres

Menurut Siswanto (2007), ada empat sumber atau penyebab stres, yaitu :

a. Frustasi

Timbul akibat kegagalan dalam mencapai tujuan karena ada aral melintang, misalnya ibu yang sulit untuk mempercayai bahwa anaknya cacat mental, reaksi umum yang terjadi pada orang tua pertama kali adalah merasa kaget, mengalami goncangan batin, takut, sedih, kecewa, merasa bersalah, dan menolak.

Frustasi ada yang bersifat intrinsik (cacat badan dan kegagalan usaha) dan ekstrinsik (kecelakaan, bencana alam, kematian orang yang dicintai, kegoncangan ekonomi, pengangguran, perselingkuhan, dan lain-lain).

b. Konflik

Timbulkan karena tidak bisa memilih antara dua atau lebih macam keinginan, kebutuhan, atau tujuan. Bentuknya approach-approach conflict, approach-avoidance conflict, atau avoidance-avoidance

(6)

atau mengamankan anak-anaknya untuk tidak bermain dengan penderita.

c. Tekanan

Timbul sebagai akibat tekanan hidup sehari-hari. Tekanan dapat berasal dari dalam individu, misalnya dengan pandangan masyarakat yang umumnya kurang mengacuhkan anak tuna grahita, sehingga mereka bahkan tidak dapat membedakannya dari orang gila.

d. Krisis

Krisis yaitu keadaan yang mendadak, yang menimbulkan stres pada individu, misalnya ibu yang mengetahui anaknya tuna grahita, dan pesimis akan masa depan anaknya.

Keadaan stres dapat terjadi beberapa sebab sekaligus, misalnya frustasi, konflik, dan tekanan.

Satiadarma (Gunarsa, 2006) menyebutkan stres pengasuhan memiliki kekhasan sendiri yang meliputi:

a. Kondisi anak (termasuk perilaku anak yang menyimpang) b. Kondisi kehidupan menyeluruh yang menimbulkan stres c. Dukungan sosial

d. Fungsi keluarga e. Sumber material.

(7)

Stressor Individual differences Stress

Lingkungan fisik Usia, jenis kelamin, (suhu, cahaya, suara, pendidikan, kesehatan, polusi, kepadatan) fisik, kepribadian, harga diri

toleransi terhadap kedwiartian

Individual

(konflik, peran, tanggung jawab)

Kelompok

(hubungan dengan teman, atasan,

bawahan)

Keorganisasian

(kebijakan, struktur, partisipasi)

5. Aspek-aspek dalam Stres Pengasuhan

Model stres pengasuhan Abidin (Ahern, 2004) memberikan perumpamaan bahwa stres mendorong ke arah tidak berfungsinya pengasuhan orang tua terhadap anak, pada intinya menjelaskan ketidaksesuaian respon orang tua dalam menanggapi konflik dengan anak-anak mereka. Model ini tentang pengasuhan orang tua yang dicerminkan dalam aspek-aspeknya meliputi :

a. The Parent Distress

(8)

1) Feelings of competence, yaitu orang tua diliputi oleh tuntutan dari perannya dan kekurangan perasaan akan kemampuannya dalam merawat anak. Hal ini dihubungkan dengan kurangnya pengetahuan orang tua dalam hal perkembangan anak dan keterampilan manajemen anak yang sesuai.

2) Social isolation, yaitu orang tua merasa terisolasi secara sosial dan ketidakhadiran dukungan emosional dari teman sehingga meningkatkan kemungkinan tidak berfungsinya pengasuhan orang tua dalam bentuk mengabaikan anaknya.

3) Restriction imposed by parent role, yaitu adanya pembatasan pada kebebasan pribadi, orang tua melihat dirinya sebagai hal yang dikendalikan dan yang dikuasai oleh kebutuhan dan permintaan anaknya. Berhubungan dengan hilangnya penghargaan terhadap identitas diri yang sering diekspresikan. Seringkali, adanya kekecewaan dan kemarahan yang kuat yang dihasilkan oleh frustasinya.

(9)

5) Health of parent, yaitu sampai taraf tertentu, efektivitas proses pengasuhan orang tua terhadap anak dapat mempengaruhi kondisi kesehatan orang tua.

6) Parent despresion, yaitu orang tua mengalami beberapa gejala

depresi ringan hingga menengah dan rasa bersalah (kecewa), yang mana pada suatu waktu dapat melemahkan kemampuannya untuk menangani tanggung jawabnya terhadap pengasuhan. Permasalahan ini secara khas dihubungkan dengan tingkatan depresi meliputi kehilangan energi.

b. The Difficult Child

Stres pengasuhan disini digambarkan dengan menghadirkan perilaku anak yang sering terlibat dalam mempermudah pengasuhan atau malah lebih mempersulit karena orang tua merasa anaknya memiliki banyak karakteristik tingkah laku mengganggu, indikatornya meliputi:

1) Child adaptibility, yaitu anak menunjukkan karakteristik

perilaku yang membuat anak sulit untuk diatur. Stres orang tua berhubungan dengan tugas pengasuhan orang tua yang lebih sulit dalam ketidakmampuan anak untuk menyesuaikan diri dengan perubahan fisik dan lingkungan.

2) Child demands, yaitu anak lebih banyak permintaan terhadap

(10)

sulit melakukan segala sesuatu secara mandiri dan mengalami hambatan dalam perkembangannya.

3) Child mood, yaitu orang tua merasa anaknya kehilangan perasaan akan hal-hal positif yang biasanya merupakan ciri khas anak yang bisa dilihat dari ekspresinya sehari-sehari.

4) Districtability, yaitu orang tua merasa anaknya menunjukkan perilaku yang terlalu aktif dan sulit mengikuti perintah.

c. The Parent-Child Dysfunctional Interaction

Stres pengasuhan disini menunjukkan interaksi antara orang tua dan anak yang tidak berfungsi dengan baik yang berfokus pada tingkat penguatan dari anak terhadap orang tua serta tingkat harapan orang tua terhadap anak indikatornya meliputi:

1) Child reinforced parent, yaitu orang tua merasa tidak ada penguatan yang positif dari anaknya, interaksi antara orang tua dengan anak tidak menghasilkan perasaan yang nyaman terhadap anaknya.

2) Acceptability of child to parent, yaitu stres pengasuhan orang tua karena karakteristik anak seperti intelektual, fisik, dan emosi yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan orang tua sehingga lebih besar dapat menyebabkan penolakan orang tua. 3) Attachment, yaitu orang tua tidak memiliki kedekatan emosional

(11)

B. Tuna Grahita

Definisi tuna grahita mental dan tipe-tipe jenisnya menurut (Semiun, 2006) :

1. Pengertian Tuna Grahita

Tuna grahita adalah tingkat fungsi intelektual yang secara signifikan dibawah rata-rata sebagaimana diukur oleh tes inteligensi yang dilaksanakan secara individual. Untuk diklasifikasikan sebagai orang yang mengalami tuna grahita, fungsi intelektualnya harus rusak (lemah). Tuna grahita dilihat sebagai suatu kondisi kronis dan tidak dapat diubah yang dimulai sebelum usia 18 tahun. Bila fungsi intelektual jatuh ke tingkat retardasi sesudah usia 18 tahun, maka masalah tersebut diklasifikasikan sebagai dementia dan bukan retardasi mental.

DSM-III R mengemukakan tiga kriteria yang harus dipenuhi dalam mendiagnosis seorang individu yang menderita tuna grahita : (1)

(12)

fungsi mental individu menurun, maka ia didiagnosis sebagai orang yang menderita dementia dan bukan retardasi mental.

Meskipun banyak anak yang menderita gangguan autis juga mengalami retardasi, tetapi ada beberapa perbedaan antara autisme dan retardasi: (1) Anak-anak yang mengalami retardasi mengalami perkembangan kognitif yang sama dengan perkembangan sosialnya; sedangkan pada autisme, perkembangan sosial anak selalu lebih rendah daripada perkembangan kognitif; (2) Anak-anak yang mengalami retardasi memperlihatkan kelambatan dalam bahasa tetapi anak-anak autis memperlihatkan kekurangan-kekurangan berat dalam bahasa dan penyimpangan yang lebih banyak dalam bahasa; (3) Perangsangan diri sendiri (self stimulation), lebih memusatkan perhatian pada stimulus-stimulus penglihatan dan pendengaran, dan tingkah laku-tingkah laku aneh, seperti memutar benda-benda, memukul-mukul dan memutar-mutar tubuh adalah hal-hal yang biasa terjadi pada autisme tetapi bukan pada retardasi; dan (4) Anak-anak yang mengalami retardasi termotivasi untuk menyenangkan orang-orang dewasa, tetapi anak-anak autis tidak menghiraukan pengaruh-pengaruh dari perbuatannya terhadap orang-orang dewasa.

2. Tipe Klinis Tuna Grahita

(13)

a. Tingkat-tingkat Tuna Grahita dalam Pandangan Klinis

Tabel 2.1. Perkiraan rentang IQ berdasarkan nilai tes intelligensi.

Tingkat Kehebatan Perkiraan Rentang IQ Presentasi Retardasi Mental

Tuna grahita ringan 50 - 70 Kira-kira 85

Tuna grahita sedang 35 – 49 10

Tuna grahita berat 20 – 34 3 – 4

Tuna grahita sangat berat Di bawah 20 1– 2

*Sumber : Disadur dari DSM-III, 32-33

b. Tingkat-tingkatTuna Grahita dan Tingkah Laku Adaptif untuk

Rentang Kehidupan dalam Pandangan Klinis

Tabel 2.2. Tingkah laku adaptif sesuai usia dan tingkatan retardasi mental.

Tingkat Usia Prasekolah 0-5 Usia Sekolah 6-21 Dewasa 21+

Ringan Anak-anak prasekolah ini dapat mengembangkan keterampilan keterampilan sosial dan komunikasi dengan retardasi mental ringan pada bidang-bidang sensorik-motorik. Sampai usia selanjutnya anak-anak ini jarang dibedakan dari anak-anak normal.

Anak-anak muda yang berusia sekolah ini dapat mempelajari keterampilan-keterampilan akademis sampai kira-kira kelas VI SD pada usia mereka yang sudah belasan tahun. Secara khas mereka tidak dapat mempelajari bahan-bahan pelajaran Sekolah Menengah Umum dan membutuhkan pendidikan khusus, terutama pada tingkat usia sekolah menengah.

Orang-orang dewasa ini mampu melakukan keterampilan sosial dan vokasional bila diberi pendidikan dan latihan yang tepat. Mereka kadang-kadang membutuhkan pengawasan dan bimbingan bila mereka mengalami tekanan sosial dan ekonomis yang berat.

Sedang Anak-anak prasekolah ini dapat berbicara dan belajar berkomunikasi tetpi kurang memperlihatkan kesadaran sosial dan hanya memperlihatkan

perkembangan motorik yang cukup (sedang). Mereka dapat ditangani dengan pengawasan yang sederhana.

Anak-anak muda ini dapat mempelajari keterampilan-keterampilan akademis fungsional sampai kira-kira Kelas VI SD pada usia mereka pada akhir belasan tahun, pendidikan khusus dibutuhkan.

Orang-orang dewasa ini mampu membiayai hidupnya sendiri dengan melakukan-melakukan pekerjaan yang tidak membutuhkan keterampilan atau pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan seni terampil , tetapi mereka membutuhkan

(14)

mengalami kesulitan sosial dan ekonomis yang ringan.

Berat Anak-anak prasekolah ini kurang memperlihatkan perkembang motorik, dan hanya berbicara sedikit. Pada umumnya, mereka tidak mampu memperoleh keuntungan dari latihan dalam membantu dirinya sendiri dan mereka memperlihatkan sedikit keterampilan-keterampilan komunikasi atau tidak memperlihatkan

keterampilan-keterampilan komunikasi.

Anak-anak muda usia sekolah ini dapat berbicara atau belajar

berkomunikasi, dan dapat dilatih dalam kebiasaan-kebiasaan kesehatan yang mendasar. Mereka tidak dapat mempelajari

keterampilan-keterampilan akademis fungsional, tetapi mereka dapat memperoleh keuntungan dari latihan kebiasaan-kebiasaan yang sistematis.

Orang-orang dewasa mudai ini dapat menyumbang sebagian untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dengan pengawasan yang penuh, dan mereka dapat mengembangkan keterampilan keterampilan untuk melindungi dirinya sendiri sampai pada suatu tingkat yang sedikit berguna dalam suatu lingkungan yang terkontrol. Sangat

berat

Retardasi yang hebat, kemampuannya hanya sedikit yang berfungsi dalam bidang-bidang sensorik motorik. Anak-anak ini membutuhkan perawatan.

Suatu perkembangan motorik ada pada anak-anak muda ini tetapi mereka tidak memperoleh keuntungan dari latihan dalam membantu dirinya sendiri. Mereka benar-benar membutuhkan perawatan.

Orang-orang dewasa ini hanya memperlihatkan suatu perkembangan motorik dan cara berbicara. Mereka sama sekali tidak mampu memelihara dirinya sendiri dan benar-benar membutuhkan perawatan dan pengawasan. *Sumber : Kendall & Hammen, 1998:502.

3. Penggolongan Anak Tuna Grahita

Penggolongan anak retardasi mental untuk keperluan pembelajaran menurut American Association on Mental Retardation dalam Special Ontario Schools sebagai berikut :

a. Educable (EMR) IQ = 50-79

(15)

b. Trainable (TMR) IQ = 25 – 49

Mempunyai kemampuan dalam mengurus diri sendiri, pertahanan diri, dan penyesuaian sosial. Sangat terbatas kemampuannya untuk mendapat pendidikan secara akademik.

c. Nontrainable (IQ = < 25)

Dengan pemberian latihan yang terus menerus dan khusus, dapat melatih anak tentang dasar-dasar cara menolong diri sendiri dan kemampuan yang bersifat komunikatif. Hal ini biasanya memerlukan pengawasan dan dukungan yang terus menerus (Salmiah, 2010)

4. Faktor Akibat Dampak Ketunagrahitaan

Dampak ketuna grahitaan dan jelas tidaknya kecacatan tersebut dilihat dari orang lain menurut Soemantri (2007) :

Perasaan dan tingkah laku orang tua itu berbeda-beda dan dapat dibagi menjadi:

a. Perasaan melindungi anak secara berlebihan, yang bisa dibagi dalam wujud :

1) Proteksi biologis

2) Perubahan emosi yang secara tiba-tiba, hal ini mendorong untuk : a) Menolak kehadiran anak dengan memberikan sikap dingin. b) Menolak dengan rasionalisasi, menahan anaknya di rumah

(16)

c) Merasa berkewajiban untuk memelihara tetapi melakukan tanpa memberikan kehangatan.

d) Memeliharanya dengan berlebihan sebagai kompensasi terhadap perasaan menolak.

b. Ada perasaan bersalah melahirkan anak berkelainan, kemudian terjadi praduga yang berlebihan dalam hal :

1) Merasa ada yang tidak beres tentang urusan keturunan, perasaan ini mendorong timbulnya suatu perasaan depresi.

2) Merasa kurang mampu mengasuhnya, perasaan ini menghilangkan kepercayaan diri sendiri dalam mengasuhnya. c. Kehilangan kepercayaan akan mempunyai anak yang normal :

1) Karena kehilangan kepercayaan tersebut orang tua cepat marah dan menyebabkan tingkah laku agresif.

2) Kedudukan tersebut dapat mengakibatkan depresi.

3) Pada permulaan, mereka segera mampu menyesuaikan diri sebagai orang tua anak tuna grahita, akan tetapi mereka terganggu lagi saat menghadapi perisitiwa-peristiwa kritis.

d. Terkejut dan kehilangan kepercayaan diri, kemudian berkonsultasi untuk mendapat berita- berita yang lebih baik.

(17)

f. Mereka bingung dan malu, yang mengakibatkan orang tua kurang suka bergaul dengan tetangga dan lebih suka menyendiri.

Adapun saat-saat kritis itu terjadi ketika manakala orang tua tidak menerima anak tuna grahita :

1) Pertama kali mengetahui bahwa anaknya cacat.

2) Memasuki usia sekolah, pada saat tersebut sangat penting kemampuan masuk sekolah sebagai tanda bahwa anak tersebut normal.

3) Meninggalkan sekolah.

4) Orang tua bertambah tua sehingga tidak mampu lagi memelihara anaknya yang cacat.

C. Pengetahuan

Definisi pengetahuan dan tingkat pengetahuan dalam domain kognitif menurut Notoatmodjo (2007) :

1. Pengertian Pengetahuan

(18)

2. Proses Adopsi Perilaku

Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penelitian Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni.

a. Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu.

b. Interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus.

c. Evaluation, (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

d. Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru.

e. Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

Namun demikian, dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap diatas.

(19)

kesadaran maka tidak akan berlangsung lama. Contohnya reaksi ibu yang kurang beradaptasi dengan keadaan anaknya tuna grahita yang membuat ibu cemas dan emosional lainnya. Dan merasa nyaman dengan situasi yang ada dan menunjukkan rasa percaya diri dalam kemampuan mereka merawat dan mengasuh anak, sehingga membantu meningkatkan hubungan antara ibu dan anak. Ibu mulai mampu bertanggung jawab atas masalah anak.

3. Tingkat Pengetahuan didalam Domain Kognitif

Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan menurut Notoatmodjo (2007) :

a. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya. Contoh : ibu dapat menyebutkan ciri-ciri anak yang mengalami tuna grahita.

b. Memahami (comperehension)

(20)

menginterprestasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari. Misalnya menjelaskan mengapa anak tuna grahita tidak bisa di sekolahkan di sekolah umum.

c. Aplikasi (aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. Misalnya dapat menggunakan rumus statistik dalam perhitungan-perhitungan hasil penelitian, dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (problem solving cyclel) di dalam pemecahan masalah kesehatan mental dari kasus yang diberikan.

d. Analisis (analysis)

(21)

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis ini menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Misalnya, dapat membandingkan antara anak normal dengan anak yang tuna grahita.

4. Pengukuran Pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Adapun hasil pengukuran tingkat pengetahuan sebagai contoh menurut Arikunto (2002) dapat berbentuk empat tingkatan:

(22)

c. Kurang : bila nilai mencapai 41-55 %. d. Buruk : bila nilai mencapai < 40 %.

5. Hal-hal yang Mempengaruhi Pengetahuan:

a. Usia

Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik (Notoatmodjo, 2007). Apabila usia orang tua terlalu muda atau terlalu tua, mungkin tidak dapat menjalankan peran pengasuhan yang optimal, diperlukan kekuatan fisik dan psikis yang matang serta pengetahuan yang baik (Chairini, 2013).

Menurut teori perkembangan psikososial yang dikutip oleh wheley dan wong’s (1999), tahapan perkembangan manusia menurut

umur (dewasa) dibagi menjadi tiga tahap yaitu (Khairina, 2013) : 1) Early adult hood (21-35 tahun)

Pada masa awal ini, hubungan sosial utama seseorang sudah terfokus pada partner dalam hubungan teman dan seks (perkawinan). Karakteristik dan krisis psikososial terjadi pada masa ini adalah “keintiman vs isolasi”, dimana pada masa ini

(23)

2) Young and middle adult hood (36-45 tahun)

Pada masa dewasa pertengahan ini, hubungan sosial seseorang terfokus pada pembagian tugas antara bekerja dengan rumah tangga dan pada masa ini emosi sudah mulai stabil. Karakteristik dari psikososial yang terjadi pada masa ini adalah “generation vs konsentrasi diri”, dimana bila masa ini dapat

dilewati dengan baik akan meningkatkan kemampuan dalam memikirkan keluarga, masyarakat dan generasi mendatang. 3) Later adult hood (> 45 tahun )

Pada masa dewasa akhir ini, hubungan kemasyarakatan dalam kelompoknya. Pada masa ini emosi seseorang cenderung aktif relatif stabil dengan motivasi untuk hidup dan berkarir serta membantu sesama dengan baik. Karakterisitik dari psikososial yang terjadi pada masa ini adalah “keluhan vs kepuasan”, dimana bila masa ini dapat dilewati dengan baik

akan meningkatkan kesadaran akan terpenuhnya kebutuhan/kehidupan seseorang dari perasaan puas dan siap menghadapi lanjut usia serta kematian.

b. Pendidikan

(24)

dimilikinya, kondisi ini akan meningkatkan tuntutan tehadap hak untuk memperoleh informasi, hak untuk menolak/menerima pengobatan yang ditawarkan (Notoatmodjo, 2007). Misalnya pendidikan dan pengalaman orang tua dalam melakukan perawatan anak akan mempengaruhi kesiapan mereka dalam menjalankan peran pengasuhan (Chairini, 2012).

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara dan mengklasifikasikan pendidikan menjadi pendidikan formal dan pendidikan non formal, jenjang pendidikan formal terdiri dari (Notoatmodjo, 2007) :

1) Tinggi : Akademi dan Perguruan Tinggi (S1) 2) Menengah : SMA

3) Dasar : SD/MIN dan SMP

(25)

c. Pekerjaan

Pekerjaan ibu adalah kegiatan rutin sehari-hari yang dilakukan oleh seorang ibu dengan maksud untuk memperoleh penghasilan. Setiap pekerjaan apapun jenisnya, apakah pekerjaan tersebut memerlukan kekuatan otot atau pemikiran, adalah beban bagi yang melakukan. Beban ini dapat berupa beban fisik, beban mental, ataupun beban sosial sesuai dengan jenis pekerjaan si pelaku. Kemampuan kerja pada umumnya diukur dari keterampilan dalam melaksanakan pekerjaan. Semakin tinggi keterampilan yang dimiliki oleh tenaga kerja, semakin efisien (badan anggota), tenaga dan pemikiran (mentahnya) dalam melaksanakan pekerjaan. Perguruan tenaga dan mental atau jiwa yang efisien, berarti beban kerjanya relatif mudah (Notoatmodjo, 2007).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Forgays (2001), ibu yang bekerja menunjukkan level stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja, namun dari jenis pekerjaan yang dilakukan ibu tidak terdapat perbedaan stres pengasuhan yang signifikan antara pekerjaan yang satu dengan pekerjaan lainnya (Chairini, 2013).

d. Lingkungan

(26)

Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan kedalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak yang akan direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu. (Notoatmodjo, 2007).

e. Pengalaman

Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi masa lalu. Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan memberikan pengetahuan dan keterampilan profesional serta pengalaman belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata dalam bidang kerjanya (Notoatmodjo, 2007).

f. Informasi

Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate

(27)

media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pula pesan – pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya pengetahuan terhadap hal tersebut (Notoatmodjo,2007). Informasi dapat dikelompokkan menjadi 2 kategori antara lain sebagai berikut :

1) Pernah, jika x ≥ 50% 2) Tidak pernah, jika < 50% g. Sosial Budaya dan Ekonomi

Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan demikian seseorang akan bertambah pengetahuannya walaupun tidak melakukan. Status ekonomi seseorang juga akan menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu, sehingga status sosial ekonomi ini akan mempengaruhi pengetahuan seseorang (Notoatmodjo, 2007).

(28)

status sosial ekonomi yang dilihat dari pekerjaan, pendapatan, dan pendidikan orang tua. Hal ini mempengaruhi proses pengasuhan yang disebabkan oleh sikap keuangan dan berbagai pengasuhan (Chairini, 2013).

D. Kesiapan

Kesiapan aspek fisik dan aspek psikis ibu dalam mengasuh anak tuna grahita (Sujiono & Nurani, 2004). Adapun kesiapan asuh seorang ibu terhadap anaknya yang berkebutuhan khusus (retardasi mental) idealnya dimiliki semenjak ibu mengetahui kondisi anak yang sebenarnya. Dalam berbagai setting kultur, pola asuh, dan interaksi orang tua terhadap anak sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak, dan juga penting dalam perkembangan psikososial anak, retardasi mental sekalipun (Mahabbati, 2009).

1. Kesiapan Aspek Fisik

(29)

mental, sosial, kemandirian, dan kepercayaan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki anak tuna grahita.

2. Kesiapan Aspek Psikis

Untuk memiliki seorang anak dengan potensi bawaan yang baik, sehingga nantinya dapat ditumbuh-kembangkan ke arah yang optimal, tidaklah cukup hanya dengan kesiapan aspek fisik semata, karena kesiapan aspek psikis pun memegang peranan yang sangat penting dalam pengasuhan. Dalam aspek psikis kesiapan asuh ibu meliputi kehangatan, kasih sayang, dan penerimaan yang merupakan refleksi dan keberhasilan ibu dalam menyeimbangkan perasaan negatif dan positif akan kondisi anak yang tidak sesuai harapan dan serta kecepatan respon, sensitivitas, dan konsistensi dalam menanggapi gejala kelainan anak yang tuna grahita.

(30)
(31)

E. Kerangka Teori

Kerangka teori penelitian ini dapat dilihat pada Bagan 2.1 berikut :

Bagan 2.1. Pengaruh kesiapan dan pengetahuan ibu terhadap tingkat stres pengasuhan anak tuna grahita sedang

Sumber : Menurut Sujiono (2004), Notoatmodjo (2005), Gunarsa (2006)

Kondisi fisik Kondisi psikis

Usia Pendidikan Pekerjaan Lingkungan Pengalaman Informasi yang diterima orang tua

Pengetahuan

Stres pengasuhan

Kesiapan

(32)

F. Kerangka Konsep

Kerangka konsep dalam penelitian ini dipaparkan pada Bagan 2.2 berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Kesiapan

Tingkat stres pengasuhan ibu terhadap anak tuna grahita

sedang di SLB C Yakut Purwokerto

Bagan 2.2. Kerangka konsep penelitian

“Pengaruh kesiapan dan pengetahuan ibu terhadap tingkat stres pengasuhan

anak tuna grahita sedang di SLB C Yakut Purwokerto”

G. Hipotesis

Berdasarkan rumusan tujuan dan pertanyaan dalam penelitian, maka hipotesis penelitian ini adalah :

1. Ada pengaruh antara kesiapan dengan tingkat stres pengasuhan ibu terhadap anak tuna grahita sedang.

2. Ada pengaruh antara pengetahuan dengan tingkat stres pengasuhan ibu terhadap anak tuna grahita sedang.

Gambar

Tabel 2.2. Tingkah laku adaptif sesuai usia dan tingkatan retardasi

Referensi

Dokumen terkait

Saat terjadi kerusakan dalam satu atau lebih fungsi kognitif (misal bahasa, ingatan dan perencanaan pribadi) dan kerusakan tersebut cukup parah sehingga mengganggu fungsi

1) Hindari daerah longsoran, dimana longsor susulan dapat terjadi. 2) Periksa korban luka dan korban yang terjebak longsor tanpa langsung memasuki daerah longsoran. 3) Bantu

Menurut Cooper (1983) dalam Rice (1999), faktor eksternal yang mempengaruhi tingkah laku individu dalam bekerja antara lain: kondisi pekerjaan, stres karena peran,

Sedangkan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui permasalahan yang dirasakan orang tua yang memiliki lebih dari satu anak Intellectual Disability dalam

Sedangkan faktor-faktor fungsional yang menentukan persepsi seseorang berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu, dan hal-hal lain yang dapat disebut sebagai faktor-faktor

Emotion focused coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara mengatur respons emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh

Menilai suatu keadaan yang dapat mengakibatkan stres tergantung dari dua faktor, yaitu faktor yang berhubungan dengan orangnya (personal factors) dan faktor yang

a) Faktor-faktor yang berkaitan dengan pekerjaan seseorang individu, yang dimaksudkan disini adalah tugas utama yang dijalani individu yang berperan sebagai sumber