• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. 1. Pengertian dan Dasar Hukum Kepailitan. bangkrut, pailit dan bankruptcy artinya kebangkrutan, kepailitan. 26

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II. 1. Pengertian dan Dasar Hukum Kepailitan. bangkrut, pailit dan bankruptcy artinya kebangkrutan, kepailitan. 26"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KEPAILITAN DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA

A. Tinjauan Umum Kepailitan

1. Pengertian dan Dasar Hukum Kepailitan

Menurut Poerwadarminta, “pailit” artinya “bangkrut”; dan “bangkrut” artinya menderita kerugian besar hingga jatuh (perusahaan, toko, dan sebagainya). Menurut John M. Echols dan Hassa Shadily, bankrupt artinya bangkrut, pailit dan bankruptcy artinya kebangkrutan, kepailitan.26

Secara etimologi, istilah kepailitan berasal dari kata pailit. Selanjutnya istilah pailit berasal dari kata Belanda faillet yang mempunyai arti kata ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Istilah faillet sendiri berasal dari Perancis yaitu Faillete yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran, sedangkan orang yang mogok atau berhenti membayar dalam bahasa Perancis Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah. Dari sudut sejarah hukum, undang-undang kepailitan pada mulanya bertujuan untuk melindungi para kreditur dengan memberikan jalan yang jelas dan pasti untuk menyelesaikan utang yang tidak dapat dibayar.

26

(2)

disebut Le failli. Kata kerja failir berarti gagal; dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata to fail yang mempunyai arti sama dalam bahasa latin yaitu

failure. Di negara-negara yang berbahasa Inggris untuk pengertian pailit dan kepailitan mempergunakan istilah-istilah bankrupt dan bankruptcy.27

Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang Debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh Pengadilan (dalam hal ini Pengadilan Niaga) dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah.28

Konsep ‘tidak membayar’ dalam Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 1998 ternyata dalam prakteknya dapat ditafsirkan menjadi ‘tidak mampu membayar’ dan ‘tidak mau bayar’. Bila konsep ‘tidak mampu membayar’ yang dipergunakan, maka hal ini harus dipergunakan test insolvency. Dan hal ini, sejalan dengan filosofi Hukum Kepailitan, bahwa Hukum Kepailitan

Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, pengertian ‘pailit’ tercermin dalam Pasal 1 ayat (1) yang menentukan : “Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan Putusan Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonan sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya”.

27

Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan Di Indonesia, Rineka Cipta: Jakarta, 1994, hlm 18.

28

Rudy Lontoh, Penyelesaian Utang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung: Alumni, 2001, hlm. 23.

(3)

hanya dipergunakan terhadap debitur yang benar-benar tidak mampu membayar utangnya lagi.

Hal ini juga sejalan dengan pailit dari segi ekonomi yaitu asset lebih kecil dari utang. Tetapi apabila konsep ‘tidak mau bayar’ yang dipergunakan, maka hal ini berarti kepailitan ditujukan terhadap debitur yang tidak mau bayar utang meskipun harta kekayaannya jauh lebih besar dibandingkan dengan utang. Hal ini tentu tidak sejalan dengan filosofi Hukum Kepailitan dan kosep ‘Pailit’ dari segi ekonomi.

Setelah keluarnyaUndang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU), pengertian ‘pailit’ dijumpai dalam Pasal 1 angka (1) yang menyebutkan : “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”.

Pasal 1 angka (1) ini secara tegas menyatakan bahwa: “Kepailitan adalah sita umum, bukan sita individual.” Karena itu, disyaratkan dalam Undang-Undang Kepailitan bahwa untuk mengajukan permohonan pailit, harus memiliki 2 (dua) atau lebih kreditor. Seorang debitor yang hanya memiliki 1 (satu) kreditor tidak dapat dinyatakan pailit karena hal ini bertentangan dengan prinsip sita umum. Apabila hanya satu kreditor maka yang berlaku adalah sita individual, dimana sita individual bukanlah sita dalam kepailitan. Dalam sita umum, maka seluruh harta kekayaan debitor

(4)

akan berada di bawah penguasaan dan pengurusan kurator, sehingga debitor tidak memiliki hak untuk mengurus dan menguasai harta kekayaannya.

Keharusan adanya dua atau lebih kreditor dikenal sebagai concursus creditorum. Jadi batasannya adalah jumlah kreditor dan bukan jumlah utang. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU)tidak memberikan batasan tentang jumlah utang. Penjelasan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU) menyebutkan bahwa “Sedangkan perbedaan besarnya jumlah utang yang didalilkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit tidak menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit”.

Berkaitan dengan syarat harus ada dua atau lebih kreditor ini berhubungan dengan eksistensi Hukum Kepailitan itu sendiri yang mengatur bagaimana cara membagi harta kekayaan debitor di antara para kreditornya. Hal ini merupakan konsekuensi dari ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata. Rasio kepailitan adalah terjadinya sita umum atas seluruh harta kekayaan debitor untuk kemudian hasil penjualan atas harta kekayaan tersebut dibagi-bagikan kepada semua kreditornya.

Tanpa adanya lebih dari satu kreditor, rasio kepailitan sebenarnya tidak ada, sebab tidak perlu diadakan pembagian hasil perolehan aset debitor di antara para kreditornya dengan demikian syarat memiliki lebih dari seorang kreditor sesuai dengan prinsip concursus creditorum. Fred. B. G.

(5)

Tambunan berpendapat bahwa: “keharusan sedikitnya ada 2 (dua) kreditor dalamUndang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU) tentang Kepailitan sesuai dengan ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata, yang pada dasarnya menetapkan bahwa pembagian kekayaan debitor diantara kreditornya harus dilakukan secara pari pasu pro parte.

Apabila syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU)di atas telah dipenuhi, maka Hakim akan menyatakan bahwa “Debitor Pailit” dan bukan “dapat menyatakan pailit.” Hal ini dilakukan mengingat ketentuan bahwa prosedur pembuktian yang berlaku adalah prosedur pembuktian yang sumir (Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU). Sutan Remy Syahdeini berpendapat bahwa pengertian ‘jatuh waktu’ berbeda dengan pengertian ‘dapat ditagih’. ‘Utang yang telah jatuh waktu’ adalah ‘utang yang telah expired’ dengan sendirinya adalah ‘utang yang telah dapat ditagih’. Tetapi ‘Utang yang telah dapat ditagih’ belum tentu telah ‘jatuh waktu’.29

29

(6)

Di dalam ilmu pengetahuan hukum perdata, disamping hak menagih (Vorderingsrecht), apabila debitor tidak memenuhi kewajiban membayar utangnya, maka kreditor mempunyai hak menagih kekayaan debitor, sebesar piutangnya kepada debitor itu (Verhaalstrecht).

Mariam Darus menyebutkan bahwa seorang kreditor memiliki hak-hak debitornya ingkar janji:

a. Hak menuntut pemenuhan perikatan (nakomen);

b. Hak menuntut pemutusan perikatan atau apabila perikatan itu bersifat timbal balik, menuntut pembatalan perikatan (ontbinding);

c. Hak menuntut ganti rugi (schade vergoeding);

d. Hak menuntut pemenuhan perikatan dengan ganti rugi;

e. Hak menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dengan ganti rugi.

Tuntutan terhadap kewajiban debitor untuk melaksanakan prestasinya itu menurut Hukum Kepailitan adalah sebagai berikut:

a. Debitor bertanggung jawab dengan seluruh harta kekayaan baik yang berupa barang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang ada pada saat ini maupun yang akan ada di kemudian hari yang menjadi jaminan atas semua utangnya .

b. Berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam hak-hak kebendaan, maka hak-hak pribadi yang timbul pada saat-saat yang berbeda akan memiliki peringkat yang sama (Paritas Creditorum) .

(7)

c. Dalam hal seorang debitor mempunyai beberapa kreditor dan pada saat yang bersama-sama secara berturut-turut mengajukan tuntutan atas harta kekayaan debitor, maka mereka akan dipenuhi tuntutannya menurut tertib urut pengajuan tagihan itu dilakukan. Hal ini berarti, kreditor yang mengajukan tagihan terlebih dahulu akan memperoleh pembayaran lebih dahulu dibandingkan dengan kreditor yang lain.

Apabila hanya seorang kreditor yang ingin megajukan gugatan atas piutang-piutangnya yang belum dibayar, maka kreditor akan mengajukan gugatan itu melalui Pengadilan Negeri dengan alasan debitor telah melakukan wanprestasi. Namun, bila kreditor terdiri atas beberapa orang, tuntutan dapat diajukan melalui Lembaga Hukum Kepailitan yang akan berakibat yang sangat berat terhadap harta kekayaannya.30

Zainal Asikin menyebutkan bahwa “Hukum Kepailitan mempunyai fungsi yang sangat penting yaitu melalui Hukum Kepailitan akan diadakan suatu penyitaan umum (eksekusi massal) terhadap seluruh harta kekayaan debitor, yang selanjutnya akan dibagikan kepada kreditor secara seimbang dan adil di bawah pengawasan petugas yang berwenang. Instrumen Hukum Kepailitan sangat penting di dalam hukum kita, karena jika instrumen ini tidak ada, kesemrawutan setidak-tidaknya yang menyangkut pelaksanaan hak-hak ganti kerugian akan timbul.31

30

Ibid.,hlm. 17-19.

31

Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Rajawali Pers, 1991) hal. 24.

(8)

Sedangkan ‘keadaan pailit’ adalah suatu cara melaksanakan suatu putusan tentang apa yang akan dilakukan terhadap harta debitor. Salah satu bentuk kewajiban debitor adalah debitor wajib mengembalikan utang sebagai prestasi yang harus dilakukan. Seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan kehidupan dan perilaku sosial manusia, diperlukan suatu bentuk perlindungan yang diberikan kepada kreditor untuk memberikan kepastian bahwa utang debitor akan dibayarkan. Bentuk perlindungan tersebut diakomodir dengan diberikannya ketentuan mengenai adanya jaminan terhadap utang debitor kepada kreditor, untuk lebih memantapkan keyakinan kreditor bahwa debitor membayar utangnya.32

Dari ketentuan dua pasal di atas, jelas ditegaskan bahwa seorang debitor diwajibkan untuk membayar seluruh hutang-hutangnya dengan

Pengaturan jaminan terdapat dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata. Pasal 1131 KUHPerdata menentukan bahwa “semua benda bergerak dan tidak bergerak dari seorang debitor, baik yang sekarang ada, maupun yang akan diperolehnya (yang masih akan ada), menjadi tanggungan atas perikatan-perikatan pribadinya.”

Pasal 1132 KUHPerdata menentukan bahwa benda-benda itu dimaksudkan sebagai jaminan bagi para kreditornya bersama-sama dan hasil penjualan atas benda-benda itu akan dibagi diantara mereka secara seimbang, menurut imbangan/perbandingan tagihan-tagihan mereka, kecuali bilamana diantara mereka atau para kreditor terdapat alasan-alasan pendahuluan yang sah.”

32

Bagir Manan, Hukum Kepailitan (Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998), PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta 2002 hlm.7.

(9)

seluruh harta kekayaannya baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada saat ini maupun yang akan ada dikemudian hari. Ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata merupakan jaminan adanya kepastian hukum yang memberikan perlindungan kepada para kreditor.33

a. Bahwa debitor akan dipaksa untuk menjalankan prestasinya (yaitu membayar sejumlah utangnya) terhadap para kreditor dengan jaminan seluruh harta kekayaannya. Inilah yang disebut sebagai jaminan kepastian hukum bagi para kreditor untuk memperoleh pelunasan dari debitor.

Memang apabila diperhatinkan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, dapat diketahui bahwa masih ada barang-barang milik debitor yang tidak dikuasai oleh kurator. Barang-barang tersebut masih tetap berada dalam penguasaan debitor pailit sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU).

Menurut Pradjoto, secara eksplisit 2 (dua) buah pasal diatas mengisyaratkan beberapa hal:

b. Semua kreditor pada prinsipnya memiliki hak yang sama, kecuali jika terdapat alsan-alasan yang sah untuk didahulukan pelunasannya. Alasan ini semata-mata didasarkan kepada hak yang diberikan oleh

33

(10)

Undang yaitu mereka yang memiliki hak istimewa seperti: hak atas tanggungan (dahulu disebut hipotik) maupun hak gadai.

c. Dalam hal harta kekayaan debitor memiliki nilai yang lebih dari cukup untuk memenuhi pelunasan terhadap seluruh hutangnya, maka persoalan yang berkaitan dengan istilah kreditor utama (hak untuk didahulukan) dan kreditor konkuren menjadi tidak relevan.

d. Ada sita eksekusi atas seluruh kekayaan debitor yakni sita yang dilakukan sepenuhnya terhadap harta kekayaan debitor yang semata-mata untuk kepentingan kreditor.34

Sutan Remy Sjahdeini menyebutkan Pasal 1131 KUH Perdata tersebut menentukan, harta kekayaan debitor bukan hanya untuk menjamin kewajiban melunasi utang kepada kreditor yang diperoleh dari perjanjian utang-piutang di antara mereka, tetapi untuk menjamin semua kewajiban yang timbul dari perikatan debitor. Sebagaimana menurut ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata, suatu perikatan (antara debitor dan kreditor) timbul atau lahir karena adanya perjanjian di antara debitor dan kreditor maupun timbul atau lahir karena ketentuan undang-undang. Menurut Pasal 1234 KUH Perdata, wujud perikatan adalah “untuk memberikan sesuatu”, “untuk berbuat sesuatu”, “untuk tidak berbuat sesuatu”.

Dalam istilah hukum, perikatan dalam wujudnya yang demikian itu disebut pula dengan istilah “prestasi”. Pihak yang tidak melaksanakan prestasinya disebut telah melakukan “wanprestasi”. Apabila perikatan itu

34

(11)

timbul karena perjanjian yang dibuat di antara debitur dan kreditor, maka pihak yang tidak melaksanakan prestasinya disebut sebagai telah melakukan “cidera janji” atau “ingkar janji”, atau dalam bahasa Inggris disebut “in default”.35

2. Maksud dan Tujuan Hukum Kepailitan

Hukum Kepailitan Indonesia dibuat dengan maksud untuk memberikan perlindungan hukum yang seimbang (adil) kepada kreditor, debitor, dan masyarakat. Sedangkan tujuannya adalah untuk menyelesaikan masalah utang piutang antara debitor dan kreditor secara adil, cepat, terbuka, dan efektif, sehingga dapat menunjang pembangunan perekonomian nasional.

Secara lebih rinci, tujuan Hukum Kepailitan Indonesia (UU Nomor 37 Tahun 2004tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU) adalah:36

a. Menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menagih utangnya dari debitor.

b. Menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatinkan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya.

c. Menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor.

35

Sutan Remy Sjahdeni, Op.Cit., hlm. 4.

36

(12)

d. Menjamin adanya pertumbuhan perusahaan dalam rangka pengembangan perekonomian nasional.

e. Memberikan kesempatan kepada kreditor dan debitor bernegosiasi untuk merestrukturisasi utang piutang mereka secara damai dan adil.

f. Memberikan solusi yuridis kepada debitor dan kreditor atas masalah utang piutang mereka secara lebih mudah, murah, dan cepat.

g. Memulihkan dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat serta investor asing untuk mengembangkan ekonomi nasional.

3. Syarat Permohonan Pailit dan Proses Permohonan Pernyataan Pailit Kepailitan menurut Pasal 1 ayat (1) UUK-PKPU merupakan sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang penguasaan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar dari persoalan utang piutang yang menghimpit seorang debitur, sehingga debitur tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang-utang tersebut kepada para krediturnya.

Tujuan kepailitan adalah untuk melakukan pembagian antara para kreditur atas kekayaan debitur oleh kurator atau kepailitan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditur dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan debitur dapat dibagikan kepada semua kreditur sesuai dengan hak

(13)

masing-masing.37

Syarat-syarat permohonan pailit sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

Seorang debitur dapat dikatakan pailit apabila memenuhi syarat-syarat yang dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU, antara lain: “debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonan satu atau lebih krediturnya.”

38

1. Mempunyai 2 (dua) atau lebih kreditur;

Keharusan adanya dua atau lebih kreditur dikenal sebagai concursus creditorium. Syarat ini menegaskan bahwa dalam kepailitan dihindari sita individual, karena jika hanya terdapat 1 kreditur, maka tidak akan sesuai dengan eksistensi hukum kepailitan yang mengatur bagaimana cara membagi harta kekayaan debitur di antara para krediturnya.

Fred B. G. Tumbuan berpendapat bahwa keharusan ini sesuai dengan Pasal 1132 KUHPerdata, yang pada dasarnya menetapkan bahwa pembagian kekayaan debitur di antara krediturnya harus dilaksanakan secara pari passu pro parte.39

37

Adriani Nurdin, Kepailitan BUMN Persero (Jakarta: P.T. ALUMNI, 2012), hlm. 131.

38

Jono,Op.Cit., hlm. 4.

39

Fred B.G. Tumbuan, “Mencermati Pokok-pokok Undang-Undang Kepailitan yang diubah Perpu No. 1/1998”, Newsletter No. 33/IX/Juni/1998 (diakses pada tanggal 17 April 2017).

2. Tidak membayar lunas setidaknya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

(14)

a. Pengertian “tidak membayar”. Pengertian tidak membayar dapat digolongkan menjadi 2 jenis yaitu:

1) Insolvent (tidak mampu membayar), adalah suatu keadaan dimana aset lebih kecil daripada utang.

2) Solvent (mampu membayar namun tidak mau membayar), adalah suatu keadaan dimana perusahaan sehat, dimana aset lebih besar daripada utang.

Penyelesaian sengketa utang-piutang, haruslah memperhatikan kepentingan semua pihak sehingga dapat dirasakan adil oleh semuanya, dalam arti kepentingan kreditor, debitor, dan kepentingan umum dapat dipenuhi secara seimbang. 40 Apalagi penyelesaian permasalahan utang piutang membutuhkan penyelesaian yang cepat dan efektif. Beberapa cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan utang-piutang adalah melalui perdamaian, alternatif penyelesaian sengketa (alternatife dispute resolution/ ADR), penundaan kewajiban membayar utang dan kepailitan.41

Yang menjadi pertimbangan Pengadilan Niaga untuk menyatakan suatu debitur pailit, tidak saja oleh karena ketidakmampuan debitur tersebut

40

H.M. Abdi Koro, “Lembaga Kepailitan dan Penerapannya pada Pengadilan Niaga”, Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XXVII No. 316 , Maret 2012.

41

H. Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Cetakan ke Tiga, PT. Alumni, Bandung, hlm. 2.

(15)

untuk membayar utang-utangnya, tetapi juga termasuk ketidakmauan debitur untuk melunasi utang-utang tersebut seperti yang telah diperjanjikan.42

Secara normatif, makna utang di sini sangat luas. Utang yang terjadi bukan hanya karena perjanjian utang-piutang atau perjanjian kredit saja, tetapi juga kewajiban membayar sejumlah uang yang timbul dari perjanjian lainnya, antara lain seperti perjanjian sewa-menyewa, perjanjian jual beli, b. Pengertian “lunas”. Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU dalam

perubahannya menambah kata “lunas” setelah kata “tidak membayar” untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dalam praktek, seperti debitur yang sudah membayar tetapi tidak lunas tidak dapat dipailitkan, karena apabila jika pelunasannya lama, maka hal itu akan merugikan krediturnya.

c. Pengertian “utang”. Tidak adanya pengertian utang dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 merupakan salah satu kekosongan yang terdapat dalam undang-undang ini. Kelemahan ini kemudian diperbaiki dalam UUK dan PKPU : “Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontijen,yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur.”

42

Ricardo Simanjuntak, “Rancangan Perubahan Undang-Undang Kepailitan dalam Perspektif Pengacara (Komentar Terhadap Perubahan Undang-Undang Kepailitan)”,Jurnal Hukum Bisnis,Vol 17, Januari 2002.

(16)

perjanjian pemborongan, perjanjian tukar-menukar, perjanjian sewa-beli, dan lain-lain. Demikian juga halnya kewajiban membayar sejumlah uang yang timbul karena undang-undang adalah utang. Misalnya pajak yang belum dibayar kepada negara adalah utang.

Selain itu, kewajiban membayar uang berdasarkan putusan pengadilan termasuk putusan badan arbitrase yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap termasuk juga utang.43

d. Pengertian “telah jatuh waktu dan dapat ditagih”. Sutan Remy berpendapat bahwa pengertian “jatuh waktu” berbeda dengan “dapat ditagih”, dimana utang yang telah jatuh waktu adalah utang yang telah expired dengan sendirinya, tetapi utang yang telah dapat ditagih belum tentu telah “jatuh waktu”.44

Utang yang telah jatuh tempo, dapat terjadi karena beberapa hal, pertama, jatuh tempo biasa, yakni jatuh tempo sebagaimana yang disepakati bersama antar kreditur dan debitur dalam perjanjian kredit; kedua, jatuh tempo yang dipercepat,yakni jatuh tempo yang mendahului jatuh tempo biasa karena debitur melanggar isi perjanjian, sehingga pernagihannya diakselerasi. Debitur diwajibkan mencicil utangnya setiap bulan termasuk bunga dan biaya-biaya lainnya. Apabila debitur tidak membayar angsuran cicilan kreditnya tiga bulan berturut-turut, maka jatuh tempo dapat dipercepat; ketiga, jatuh tempo karena pengenaan sanksi/denda oleh instansi yang

43

Syamsudin Sinaga, Op.Cit., hlm. 91.

44

(17)

berwenang; keempat, jatuh tempo karena putusan pengadilan atau putusan badan arbitrase. Berdasarkan kebiasaan yang berlaku di antara debitur dan kreditur, atau dapat juga dipakai sebagai dasar jatuh tempo surat tegoran atau somasi.45

Tidak semua utang dapat ditagih. Utang yang dapat ditagih adalah utang yang legal. Utang yang timbul berdasarkan perjanjian atau undang-undang. Bukan utang yang illegal utang yang timbul dengan cara melawan hukum tidak dapat ditagih melalui mekanisme dan prosedur hukum kepailitan.46

Pasal 6 ayat (3) UUK-PKPU ini pernah diajukan Judicial Review di Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 071/PUU-II/2004 dan Perkara Nomor 001-002/PUU.III/2005 telah menyatakan bahwa Pasal 6 ayat (3) beserta penjelasannya tidak mempunyai

Permohonan mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan Niaga. Panitera Pengadilan Niaga wajib mendaftarkan permohonan tersebut pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran. Pasal 6 ayat (3) UUK-PKPU mewajibkan panitera untuk menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayat-ayat tersebut.

45

Syamsudin Sinaga, Op.Cit., hlm. 92.

46

(18)

kekuatan hukum mengikat. Pertimbangan-pertimbangan hukum yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi, antara lain :

a. Bahwa panitera walaupun merupakan jabatan di pengadilan, tetapi kepada jabatan tersebut seharusnya hanya diberikan tugas teknis administrasi yustisial dalam rangka memberikan dukungan terhadap fungsi yustisial yang merupakan kewenangan hakim. Dalam penjelasan Undang-Undang No 8 Tahun 2004, ditentukan bahwa tugas pokok panitera adalah menangani administrasi perkara dan hal-hal administrasi lain yang bersifat teknis peradilan dan tidak berkaitan dengan fungsi-fungsi peradilan

(rechtsprekende functie), yang merupakan kewenangan hakim. Menolak pendaftaran suatu permohonan pada hakikatnya termasuk ranah (domein) yustisial. Panitera diberikan tugas, wewenang, dan tanggung jawab melaksanakan fungsi yustisial, hal tersebut bertentangan dengan hakikat dari kekuasaan kehakiman yang merdeka, serta penegakan hukum dan keadilan sebagaimana terkandung dalam Pasal 24 ayat 1 UUD 1945. b. Menimbang pula bahwa sejak lama telah diakui asas hukum yang berbunyi

bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Asas ini telah dimuat dalam Pasal 22 AB yang berbunyi, de regter die weigert regt te spreken onder voorwendsel van stilwigjen, duisterheid of onvolledigheid der wet, kan uit hoofed van regtsweigering vervolgd worden (Rv.859 v.; Civ4). Terakhir asas ini dicantumkan dalam Pasal 16

(19)

ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dengan menggunakan tafsiran argumentum a contrario, pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang hukumnya jelas mengatur perkara yang diajukan kepada pengadilan;

c. Apabila panitera diberikan wewenang untuk menolak mendaftarkan permohonan pernyataan pailit suatu perusahaan asuransi, hal tersebut dapat diartikan panitera telah mengambil alih kewenangan hakim untuk memberi keputusan atas suatu permohonan. Kewenangan demikian menghilangkan hak pemohon untuk mendapatkan penyelesaian sengketa hukum dalam suatu proses yang adil dan terbuka untuk umum. Hal ini bertentangan dengan due process of law dan access to courts yang merupakan pilar utama bagi tegaknya rule of law sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1 ayat (3) UUD 1945;

d. Meskipun hasil akhir atas permohonan yang bersangkutan boleh jadi sama, yaitu tidak dapat diterimanya (niet onvantkelijkheid) permohonan yang bersangkutan, karena tidak terpenuhinya syarat kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (5) undang-undang a quo, yang menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan UUD 1945, keputusan demikian harus dituangkan dalam putusan yang berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”;

e. Menimbang bahwa karena penjelasan Pasal 6 ayat (3) merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dari Pasal yang dijelaskan, dengan sendirinya

(20)

Penjelasan Pasal tersebut diperlakukan sama dengan Pasal yang dijelaskannya. Dengan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, panitera Pengadilan Niaga menjadi tidak berwenang untuk menolak setiap perkara yang masuk. Setelah mendaftarkan permohonan pernyataan pailit, panitera menyampaikan permohonan tersebut kepada Ketua Pengadilan Niaga paling lambat 2 (dua) hari setelah permohonan didaftarkan.

Surat permohonan tersebut harus disertai dokumen-dokumen atau surat-surat dibuat rangkap sesuai dengan jumlah pihak, serta ditambah 4 rangkap untuk majelis dan arsip. Salinan/dokumen atau surat-surat yang berupa foto copy harus dilegalisir sesuai dengan aslinya oleh pejabat yang berwenang/panitera Pengadilan Negeri/Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Apabila salinan/dokumen atau surat-surat yang dibuat di Luar Negeri harus disahkan oleh kedutaan/Perwakilan Indonesia di negara tersebut dan selanjutnya diterjemahkan oleh penerjemah resmi ke dalam Bahasa Indonesia, demikian pula terhadap salinan dokumen dan surat-surat yang menyangkut kepailitan ke dalam Bahasa Indonesia.

Dokumen atau surat-surat yang harus dilampirkan untuk permohonan kepailitan sesuai dengan ketentuan-ketentuan lampiran. Menurut Pasal 2 UUK-PKPU bahwa kepailitan dapat dilakukan oleh pihak-pihak berikut ini:

a. Debitur sendiri;

b. Seorang atau lebih krediturnya; c. Kejaksaan untuk kepentingan umum;

(21)

d. Bank Indonesia (BI);

e. Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM); f. Menteri Keuangan.

Terkait dengan proses pengajuan permohonan kepailitan yang dilakukan oleh para pihak tersebut juga harus diperhatikan mengenai dokumen atau surat yang harus dipenuhi atau dilampirkan yaitu sebagai berikut :

a. Surat permohonan bermaterai yang ditujukan kepada Ketua / Pengadilan Negeri / Pengadilan Niaga Jakarta Pusat;

b. Izin pengacara / kartu pengacara; c. Surat kuasa khusus;

d. Akta Pendaftaran Perusahaan (Tanda Daftar Perusahaan) / yayasan/ asosiasi yang dilegalisir (dicap) oleh kantor Perdagangan paling lambat 1 (satu) minggu sebelum permohonan didaftarkan;

e. Surat perjanjian utang (Loan Agreement) atau bukti lainnya yang menunjukkan adanya utang;

f. Perincian utang yang tidak terbayar;

g. Nama serta alamat masing-masing kreditur / debitur.

Sebelum persidangan dimulai, pengadilan melalui juru sita melakukan pemanggilan para pihak, antara lain:

(22)

a. Wajib memanggil debitur, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh kreditur, kejaksaan, Bank Indonesia, Bapepam, atau Menteri Keuangan;

b. Dapat memanggil kreditur, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh debitur (voluntary position) dan terdapat keraguan bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU telah terpenuhi;

c. Pemanggilan dilakukan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 hari sebelum sidang pemeriksan pertama diselenggarakan;

Jangka waktu paling lambat 3 hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan sidang. Sidang pemeriksaan atas permohonan tersebut diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Atas permohonan debitur dan berdasarkan alasan yang cukup seperti adanya surat keterangan sakit dari dokter, Pengadilan dapat menunda penyelenggaraan sidang pemeriksaan sampai dengan paling lambat 25 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.47

Dalam Pasal 10 ayat (1) UUK- PKPU dinyatakan bahwa selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum diucapkan, setiap kreditur,

47

Muh. Arifain , Tata Cara Pengajuan Gugatan Kepailitan, http://makkula.blogspot.com/ (diakses pada 8 Februari 2017).

(23)

kejaksaan, Bank Indonesia, Bapepam, atau Menteri Keuangan dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk:48

Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada pengadilan melalui panitera, yang menurut lampiran UUK-PKPU Pasal 5 harus diajukan oleh seorang penasehat hukum yang memiliki izin praktek. Pasal 8 ayat (5) UUK-PKPU menyatakan putusan pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal a. Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitur; b. Menunjuk Kurator sementara untuk mengawasi;

c. Pengelolaan usaha debitur;

d. Pembayaran kepada kreditur, pengalihan, atau pengagunan kekayaan debitur yang dalam kepailitan merupakan wewenang kurator;

Pengadilan hanya dapat mengabulkan permohonan tersebut apabila hal tersebut diperlukan guna melindungi kepentingan kreditur (Pasal 10 ayat (2) UUK-PKPU). Dalam ayat (3) selanjutnya dikatakan bahwa dalam hal permohonan meletakkan sita jaminan tersebut dikabulkan, maka pengadilan dapat menetapkan syarat agar kreditur pemohon memberikan jaminan yang dianggap wajar oleh pengadilan. Dari penjelasan tersebut, terlihat jelas bahwa jaminan hanya diperlukan apabila pemohonnya adalah kreditur, kejaksaan, Bank Indonesia, Bapepam, atau Menteri Keuangan yang bertindak sebagai pemohon, jaminan tersebut tidak diperlukan.

48

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 10 .

(24)

permohonan pernyataan pailit didaftarkan. Inilah yang membedakan antara Pengadilan Niaga dan peradilan umum dimana hakim diberi batasan waktu untuk menyelesaikan perkara.

Putusan atas permohonan pernyataan pailit diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Majelis hakim dalam menjatuhkan putusan harus memuat Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dan/atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili dan pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota atau ketua majelis (dissenting opinion). Secara umum isi dan sistematika putusan juga sama dengan putusan pada perkara perdata yang meliputi:

a. Nomor putusan;

b. Kepala putusan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”;

c. Identitas pemohon dan termohon pailit dan kuasa hukumnya; d. Tentang duduk perkaranya;

e. Tentang pertimbangan hukumnya; f. Amar putusan;

g. Tanda tangan majelis hakim dan panitera.

Perlu diketahui bahwa menurut Pasal 8 ayat (7) UUK-PKPU, putusan atas permohonan pernyataan pailit di Pengadilan Niaga dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut masih diajukan upaya hukum atau putusan tersebut bersifat serta merta.Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

(25)

(selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU) mewajibkan kurator untuk melaksanakan segala tugas dan kewenangannya untuk mengurus dan atau membereskan harta pailit terhitung sejak putusan pernyataan pailit ditetapkan. Meskipun putusan pailit tersebut di kemudian hari dibatalkan oleh suatu putusan yang secara hierarkhi lebih tinggi.

Semua kegiatan pengurusan dan pemberesan oleh kurator yang telah dilakukan terhitung sejak putusan kepailitan dijatuhkan hingga putusan tersebut dibatalkan, tetap dinyatakan sah oleh undang-undang. Salinan putusan pengadilan selanjutnya wajib disampaikan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat kepada debitur, pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit, kurator, dan hakim pengawas paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal putusan atas permohonan pernyataan pailit diucapkan. Terhadap putusan permohonan pernyataan pailit, dapat diajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung.

Permohonan kasasi diajukan paling lambat 8 hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan dengan mendaftarkan kepada panitera pengadilan yang telah memutus permohonan pernyataan pailit. Permohonan kasasi selain dapat diajukan oleh debitur dan kreditur yang merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama, juga dapat diajukan oleh kreditur lain yang bukan merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama yang tidak puas terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit.

Mahkamah Agung wajib mempelajari permohonan kasasi dan menetapkan hari sidang paling lambat 2 hari setelah tanggal permohonan

(26)

kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. Sidang pemeriksaan pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan paling lambat 20 hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. Putusan atas permohonan kasasi harus diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung.

Putusan atas permohonan kasasi memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasasri putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.49

a. Hakim Pengawas

4. Pihak-pihak yang Terkait dalam Pengurusan Harta Pailit

Adapun yang termasuk dalam pihak – pihak yang terkait dalam pasar modal, yaitu :

Dalam Pasal 65 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU)disebutkan, Hakim Pengawas mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit. Di sini tampak, bahwa pelaksanaan pranata hukum kepailitan dalam menyelesaikan utang piutang, maka keberadaan lembaga peradilan tidak terbatas hanya sampai adanya putusan pernyataan pailit. Artinya untuk melaksanakan putusan tersebut masih diawasi oleh Hakim.50

49

Ibid., Pasal 11-13.

50

Sentosa Sembiring, Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-Undangan yang Terkait Dengan Kepailitan (Bandung: CV. NUANSA MULIA, 2006), hlm. 31.

Kurator mempunyai tugas utama yaitu melakukan pengurusan dan pemberesan

(27)

harta pailit. Agar kurator menjalankan tugasnya tersebut sesuai dengan aturan hak dan tidak sewenang-wenang, maka perlu ada bentuk pengawasan terhadap tindak-tindakan kurator. Disinilah perlunya peranan hakim pengawas untuk mengawasi setiap tindakan kurator. Dalam putusan pernyataan pailit harus diangkat seorang hakim pengawas yang ditunjuk oleh hakim Pengadilan Niaga. Tindakan pengawasan yang dilakukan oleh Hakim Pengawas dituangkan dalam bentuk penetapan dan/atau dalam berita acara rapat. Penetapan tersebut bersifat final and binding dan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, kecuali Undang-Undang menentukan lain. Penetapan tersebut sebagai dasar bagi kurator dalam menjalankan tugas-tugasnya mengurus dan membereskan harta debitor pailit.51

51

Sunarmi, Op.Cit., hlm. 120.

Terhadap ketetapan Hakim Pengawas ini dimungkinkan adanya upaya banding, hal ini ditentukan dalam Pasal 68 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU) yang menentukan bahwa terhadap semua Penetapan Hakim Pengawas, dalam waktu 5 (lima) hari setelah penetapan tersebut dibuat, dapat diajukan permohonan banding ke Pengadilan. Namun demikian, pemohonan banding tidak dapat diajukan terhadap penetapan yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf b, Pasal 33, Pasal 84 ayat (3), Pasal 104 ayat (2), Pasal 106, Pasal 125 ayat (1), Pasal 127 ayat (1), Pasal 183 ayat (1), Pasal 184 ayat (3), Pasal 185 ayat (1) ayat (2) dan ayat

(28)

(3), Pasal 186, Pasal 188, Pasal 189 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU). Semua penetapan dalam hal yang menyangkut pengurusan dan pemberesan adalah bersifat final. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 91 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU)yang menyatakan bahwa: “semua penetapan mengenai pengurusan dan atau pemberesan harta pailit ditetapkan oleh Pengadilan dalam tingkat akhir, kecuali Undang-undang ini menentukan lain.” Yang dimaksud dengan ‘penetapan’ adalah penetapan administratif, misalnya penetapan tentang honor kurator, pengangkatan atau pemberhentian kurator, dan yang dimaksud dengan ‘Pengadilan dalam tingkat akhir’ adalah bahwa terhadap penetapan tersebut tidak terbuka upaya hukum (Penjelesan Pasal 91Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU).52 Tugas-tugas dan kewenangan hakim pengawas adalah sebagai berikut:53

52

Ibid.,hlm. 121.

53

(29)

1. Memimpin rapat verifikasi;

2. Mengawasi tindakan dari kurator dalam melaksanakan tugasnya, memberikan nasihat dan peringatan kepada kurator atas pelaksanaan tugas tersebut;

3. Menyetujui atau menolak daftar-daftar tagihan yang diajukan oleh para kreditur;

4. Meneruskan tagihan-tagihan yang tidak dapat diselesaikannya dalam rapat verifikasi kepada hakim Pengadilan Niaga yang memutus perkara itu;

5. Mendengar saksi-saksi dan para ahli atas segala hal yang berkaitan dengan kepailitan (misalnya: tentang keadaan budel, perilaku pailit dan sebagainya);

6. Memberikan izin atau menolak permohonan si pailit untuk berpergian (meninggalkan tempat) kediamannya.

Ketentuan mengenai hakim pengawas dalam kepailitan terletak pada UUK dan PKPU pada bagian ketiga paragraf 1 Pasal 65-68.

b. Kurator

Tugas kurator adalah melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit. Dalam melaksanakan tugasnya, kurator :54

1. Tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitur atau salah satu organ

54

(30)

debitur, meskipun dalam keadaan diluar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan;

2. Dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, hanya dalam rangka menigkatkan nilai harta pailit.

Apabila dalam melakukan pinjaman dari pihak ketiga kurator perlu membebani harta pailit dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya maka pinjaman tersebut harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan hakim pengawas. Pembebanan harta pailit dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya hanya dapat dilakukan terhadap bagian harta pailit yang belum dijadikan jamin utang. Untuk menghadap di sidang pengadilan, kurator harus terlebih dahulu mendapat izin dari hakim pengawas, kecuali menyangkut sengketa pencocokan piutang.

Dalam melaksanakan tugasnya kurator tidak sekedar bagaimana menyelamtkan harta pailit yang berhasil dikumpulkan untuk kemudian dibagikan kepada para kreditor, tetapi sedapat mungkin bisa meningkatkan nilai harta pailit tersebut.55Kurator sebagaimana dimaksud diatas adalah:56

55

Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan (Ghalia Indonesia, 2009), hlm. 66.

56

Pasal 70 UUK-PKPU.

a. Balai harta peninggalan; atau b. Kurator lainnya.

(31)

1) Orang perseorangan yang berdomisili di Indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan/atau membereskan harta pailit; dan

2) Terdaftar pada kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan.

Pengadilan setiap waktu dapat mengabulkan usul penggantian kurator, setelah memanggil dan mendengar kurator, dan mengangkat kurator lain dan atau mengangkat kurator tambahan atas :57

c. Panitia Kreditur

a) Permohonan kurator sendiri;

b) Permohon kurator lainnya, jika ada; c) Usul hakim pengawas;

d) Permintaan debitur pailit.

Melalui putusan pailit atau dengan penetapan kemudian, pengadilan dapat membentuk panitia kreditur sementara terdiri atas 3 (tiga) orang yang dipilih dari kreditur yang dikenal dengan maksud memberikan nasihat kepada kurator. Kreditur yang diangkat dapat mewakilkan kepada orang lain semua pekerjaan yang berhubungan dengan tugas-tugasnya dalam panitia. Dalam hal seorang kreditur yang ditunjuk menolak pengangkatannya, berhenti, atau meninggal, pengadilan harus mengganti kreditur tersebut dengan mengangkat seorang di antara 2 (dua) calon yang

57

(32)

diusulkan oleh hakim pengawas.58 Setelah pencocokan utang selesai dilakukan, hakim pengawas wajib menawarkan kepada kreditur untuk membentuk panitia kreditur tetap. Atas permintaan kreditur konkuren berdasarkan putusan kreditur konkuren dengan suara terbanyak biasa dalam rapat kreditur, hakim pengawas berwenang mengganti panitia kreditur sementara, apabila dalam putusan pailit telah ditunjuk panitia kreditur sementara atau membentuk panitia kreditur, apabila dalam putusan pailit belum diangkat panitia kreditur.59 Panitia kreditur setiap waktu berhak meminta diperlihatkan semua buku, dokumen, dan surat mengenai kepailitan. Kurator wajib memberikan kepada panitia kreditur semua keterangan yang dimintanya.60 Dalam hal diperlukan, kurator dapat mengadakan rapat dengan panitia kreditur, untuk meminta nasihat.61

58

Pasal 79 UUK-PKPU.

59

Ibid., Pasal 80 UUK-PKPU.

60

Ibid., Pasal 81 UUK-PKPU.

61

Ibid., Pasal 82 UUK-PKPU.

Sebelum mengajukan gugatan atau meneruskan perkara yang sedang berlangsung, ataupun menyanggah gugatan yang diajukan atau yang sedang berlangsung, kurator wajib meminta pendapat panitia kreditur. Ketentuan sebagaimana disebutkan diatas tidak berlaku terhadap sengketa tentang pencocokan piutang, tentang meneruskan atau tidak meneruskan perusahaan dalam pailit, dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 59 ayat (3), Pasal 106, Pasal 107, Pasal 184 ayat (3), dan Pasal 186, tentang cara pemberesan dan penjualan harta pailit, dan tentang waktu maupun jumlah pembagian yang

(33)

harus dilakukan. Pendapat panitia kreditur tidak diperlukan, apabila Kurator telah memanggil panitia kreditur untuk mengadakan rapat guna memberikan pendapat, namun dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah pemanggilan, panitia kreditur tidak memberikan pendapat tersebut.62 Kurator tidak terikat oleh pendapat panitia kreditur. Dalam hal kurator tidak menyetujui pendapat panitia kreditur maka Kurator dalam waktu 3 (tiga) hari wajib memberitahukan hal itu kepada panitia kreditur. Dalam hal panitia kreditur tidak menyetujui pendapat kurator, panitia kreditur dalam waktu 3 (tiga) hari setelah pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat meminta penetapan hakim pengawas. Dalam hal panitia kreditur meminta penetapan hakim pengawas maka kurator wajib menangguhkan pelaksanaan perbuatan yang direncanakan selama 3 (tiga) hari.63

B. Akibat Hukum Pernyataan Pailit Terhadap Harta Kekayaan Debitur

Dijatuhkannya putusan pailit oleh Pengadilan Niaga, debitur demi hukum kehilangan haknya untuk berbuat sesuatu terhadap penguasaan dan pengurusan harta kekayaan yang termasuk dalam kepailitan terhitung sejak tanggal kepailitan itu.

62

Ibid., Pasal 83 UUK-PKPU.

63

(34)

1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan.

Kepailitan mengakibatkan seluruh harta kekayaan debitur serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan berada dalam sitaan umum sejak saat putusan pernyataan pailit di ucapkan, kecuali :64

a. Benda termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitursehubungan dengan, pekerjaannya perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang dipergunakan oleh debitur dan keluarganya, yang terdapat ditempat itu.

b. Segala sesuatu yang diperoleh debitur dari perkerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh Hakim pengawas.

c. Atau uang yang diberikan kepada debitur untuk memenuhi suatu kewajiban memberikan nafkah menurut Undang-Undang.

Debitur demi hukum kehilangan haknya untuk menguasasi dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Tanggal putusan sebagaimana dimaksud diatas dihitung sejak pukul 00.00 waktu setempat. Ketentuan ini menunjukkan bahwa kepailitan itu mengenai harta debitor dan bukan meliputi diri debitor.

64

(35)

2. Akibat kepailitan terhadap harta perkawinan (suami/istri) debitur pailit. Pasal 23 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU)menentukan bahwa apabila seseorang dinyatakan pailit, maka pailit tersebut termasuk juga isteri atau suaminya yang kawin atas dasar persatuan harta. Ketentuan pasal ini membawa konsekuensi yang cukup berat terhadap harta kekayaan suami atau isteri yang kawin dengan persatuan harta. Artinya bahwa seluruh harta isteri atau suami yang termasuk dalam persatuan harta perkawinan juga terkena sita kepailitan dan otomatis masuk kedalam boedel pailit. Meskipun Pasal 23 menentukan bahwa kepailitan itu meliputi seluruh harta persatuan perkawinan, namun Pasal 62 mengatur beberapa hal yang cukup penting yang berkaitan dengan barang-barang yang tidak jatuh dalam persatuan harta. Ketentuan tersebut ialah :

a. Apabila suami atau isteri dinyatakan pailit maka isteri atau suaminya berhak mengambil kembali semua benda bergerak dan tidak bergerak yang merupakan harta bawaan dari isteri atau suami dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan.

b. Jika benda milik isteri atau suami telah dijual oleh suami atau isteri dan harganya belum dibayar atau uang hasil penjualan belum tercampur dalam harta pailit maka isteri atau suami berhak mengambil kembali uang hasil tersebut.

(36)

c. Untuk tagihan yang bersifat pribadi terhadap isteri atau suami maka kreditur terhadap harta pailit adalah suami atau isteri.

Kepailitan suami atau isteri yang kawin dalam suatu persatuan harta, diperlakukan sebagai kepailitan persatuan harta tersebut. Dengan tidak mengurangi pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 maka kepailitan tersebut meliputi semua benda yang termasuk dalam persatuan, sedangkan kepailitan tersebut adalah untuk kepentingan semua kreditur yang berhak meminta pembayaran dari harta persatuan. Bila suami atau isteri yang dinyatakan pailit mempunyai benda yang tidak termasuk persatuan harta maka benda tersebut termasuk harta pailit, akan tetapi hanya dapat digunakan untuk membayar utang pribadi suami atau isteri yang dinyatakan pailit.65

Semua perikatan debitur yang terbit sesudah putusan pernyataan pailit, tidak lagi dapat dibayar dari harta pailit, kecuali perikatan tersebut menguntungkan harta pailit.

3. Akibat terhadap perikatan debitor sesudah ada putusan pernyataan pailit.

66

65

Sunarmi, Op.Cit., hlm .106.

66

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ,Pasal 25.

Ketentuan dimaksud menyebutkan perikatan yang berarti baik yang bersumber dari perjanjian maupun yang bersumber dari undang-undang. Perikatan melahirkan hak dan kewajiban bagi keduan belah pihak. Melakukan pembayaran merupakan pemenuhan suatu kewajiban sebagai prestasi yang harus dilakukan oleh debitor. Tidak jelas contohnya dalam perikatan apa perbutan melakukan pembayaran itu menguntungkan harta pailit. Penjelasan terhadap maksud kalimat “menguntungkan harta pailit” tersebut tidak diberikan dalam Penjelasan Pasal 25Undang-Undang

(37)

Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU).67

67

H. Man S. Sastrawidjaja, Op.Cit, hlm. 109-110.

4. Akibat kepailitan terhadap seluruh perbuatan hukum debitur yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.

Pasal 41 ayat (1) UUK-PKPU menyatakan secara tegas bahwa untuk kepentingan harta pailit, segala perbuatan hukum debitur yang telah dinyatakan pailit, yang merugikan kepentingan kreditur, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, dapat dimintai pembatalan kepada pengadilan. Kemudian dalam Pasal 42 UUK-PKPU diberikan batasan yang jelas mengenai perbuatan hukum debitur tersebut, antara lain :

a. Bahwa perbuatan hukum tersebut dilakukan dalam jangka waktu satu tahun sebelum putusan pernyataan pailit.

b. Bahwa perbuatan hukum tersebut tidak wajib dilakukan debitur, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya;

c. Bahwa debitur dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur;

d. Bahwa perbuatan hukum itu dapat berupa :

1)Merupakan perjanjian dimana kewajiban debitur jauh melebihi kewajiban pihak dengan siapa perjanjian tersebut dibuat.

(38)

2)Merupakan pembayaran atas, atau pemberian jaminan untuk utang yang belum jatuh tempo dan/atau belum atau tidak dapat ditagih.

3)Merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur perorangan, dengan atau untuk kepentingan :

a) Suami atau isteri, anak angkat, atau keluarganya sampai derajat ketiga.

b)Suatu badan hukum dimana debitur atau pihak sebagaimana dimaksud pada angka 1 adalah anggota direksi atau pengurus atau apabila pihak tersebut, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan badan hukum tersebut lebih dari 50 % dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut.

4) Merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur yang merupakan badan hukum, dengan atau untuk kepentingan:

a) Anggota direksi atau pengurus dari debitur, suami atau isteri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga dari angggota direksi atau pengurus tersebut.

b) Perorangan baik sendiri atau bersama-sama dengan suami atau isteri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga, yang ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan pada debitur lebih dari 50 % dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut.

(39)

c) Perorangan yang suami atau isteri, anak angkat, atau keluarganya sampai derajat ketiga, ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan pada debitur lebih dari 50 % dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut. 5) Merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur yang

merupakan badan hukum dengan atau untuk kepentingan badan hukum lainnya, apabila :

a) Perorangan anggota direksi atau pengurus pada kedua badan usaha tersebut adalah orang yang sama.

b) Suami atau isteri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga dari perorangan anggota direksi atau pengurus debitur juga merupakan anggota Direksi atau pengurus pada badan hukum lainnya, atau sebaliknya.

c) Perorangan anggota direksi atau pengurus, atau anggota badan pengawas pada debitur, atau suami, atau isteri, anak angkat atau keluarga sampai derajat ketiga, baik sendiri atau bersama-sama, ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan badan hukum lainnya lebih dari 50 % (lima puluh persen) dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut, atau sebaliknya.

d) Debitur adalah anggota direksi atau pengurus pada badan hukum lainnya, atau sebaliknya.

(40)

e) Badan hukum yang sama, atau perorangan yang sama baik bersama, atau tidak dengan suami atau isterinya, dan/atau para anak angkatnya dan keluarganya sampai derajat ketiga ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kedua badan hukum tersebut paling kurang sebesar 50 % dari modal yang disetor.

6) Dilakukan oleh debitur yang merupakan badan hukum dengan atau terhadap badan hukum lain dalam satu grup dimana debitur adalah anggotanya.

7) Ketentuan dalam huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f berlaku mutatis mutandis dalam hal dilakukan oleh debitur dengan atau untuk kepentingan :

a) Anggota pengurus dari suatu badan hukum, suami atau isteri, anak angkat atau keluarga sampai derajat ketiga dari anggota pengurus tersebut.

b) Perorangan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan suami atau isteri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga yang ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam pengendalian badan hukum tersebut.

Berdasarkan ketentuan Pasal 41 dan 42 UUK-PKPU, dapat diketahui bahwa sistem pembuktian yang dipakai adalah sistem pembuktian terbalik, artinya beban pembuktian terhadap perbuatan hukum debitur (sebelum putusan pernyataan pailit) tersebut adalah berada pada pundak debitur pailit dan pihak ketiga yang melakukan perbuatan hukum dengan debitur apabila perbuatan

(41)

hukum debitur tersebut dilakukan dalam jangka waktu satu tahun sebelum putusan pernyataan pailit yang membawa kerugian bagi kepentingan kreditur. Jadi, apabila kurator menilai bahwa ada perbuatan hukum tertentu dari debitur dengan pihak ketiga dalam jangka waktu satu tahun (sebelum putusan pernyataan pailit) merugikan kepentingan kreditur, maka debitur dan pihak ketiga wajib membuktikan bahwa perbuatan hukum tersebut wajib dilakukan oleh mereka dan perbuatan hukum tersebut tidak merugikan harta pailit. Berbeda, apabila perbuatan hukum yang dilakukan debitur dengan pihak ketiga dalam jangka waktu lebih dari satu tahun sebelum putusan pernyataan pailit, dimana kurator menilai bahwa perbuatan hukum tersebut merugikan kepentingan kreditur dan harta pailit, maka yang wajib membuktikan adalah kurator.68

Subekti menerjemahkan istilah overeenkomst dari bahasa Belanda kedalam bahasa Indonesia, yaitu “Perjanjian”. Pasal 1313 KUH Perdata memberikan defenisi perjanjian, yaitu suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditur). Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri atas satu atau lebih 5. Akibat kepailitan terhadap perjanjian timbal balik.

68

(42)

orang, bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri atas satu atau lebih badan hukum.Pasal 1314 KUH Perdata berbunyi : a. Suatu perjanjian dibuat dengan cuma-cuma atau atas beban.

b. Suatu perjanjian dengan cuma-cuma adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.

c. Suatu perjanjian atas beban, adalah suatu perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.

Pasal 36 ayat (1) UUK-PKPU menentukan bahwa dalam hal pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan, terdapat perjanjian timbal-balik yang belum atau baru sebagian dipenuhi, pihak yang mengadakan perjanjian dengan debitur dapat meminta kepada kurator untuk memberikan kepastian tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut dalam jangka waktu yang disepakati oleh kurator dan pihak tersebut. Apabila dalam jangka waktu tersebut , kurator tidak memberikan jawaban atau tidak bersedia melanjutkan pelaksanaan perjanjian tersebut maka perjanjian berakhir dan pihak dalam perjanjian tersebut dapat menuntut ganti rugi dan akan diperlakukan sebagai kreditur konkuren. Apabila kurator menyatakan kesanggupannya atau pelaksanaan perjanjian tersebut, kurator wajib memberi jaminan atas kesanggupan untuk melaksanakan perjanjian tersebut.

Pelaksanaan perjanjian tersebut tidak meliputi perjanjian yang prestasinya harus dilaksanakan sendiri oleh debitur misalnya debitur adalah

(43)

seorang penyanyi atau seorang pelukis, dimana debitur diwajibkan untuk melukis wajah pihak tersebut, dalam hal tersebut tidak mungkin bagi kurator untuk melaksanakan perjanjian.69

Pasal 38 ayat (3) menentukan dalam hal uang sewa telah dibayar dimuka maka perjanjian sewa tidak dapat dihentikan lebih awal sebelum berakhirnya jangka waktu yang telah dibayar uang sewa tersebut. Dengan kata lain, hanya perjanjian sewa-menyewa yang uang sewanya belum dibayar dimuka yang dapat dihentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1). Apabila uang sewa yang telah dibayar atau masih harus dibayar (uang sewa yang belum diterima oleh debitur, misalnya uang sewa tersebut dibayar 6. Akibat kepailitan terhadap berbagai jenis perjanjian.

a. Terhadap perjanjian sewa

Pasal 38 ayat (1) UUK-PKPU menentukan bahwa dalam hal debitur telah menyewa suatu benda maka baik kurator atau pihak yang menyewakan benda, dapat menghentikan perjanjian sewa, dengan syarat pemberitahuan penghentian dilakukan sebelum berakhirnya perjanjian sesuai dengan adat kebiasaan setempat. Pasal 38 ayat (2) mensyaratkan dalam hal melakukan penghentian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus diindahkan jangka waktu pemberitahuan penghentian menurut perjanjian. Apabila dalam perjanjian sewa tersebut tidak ditentukan jangka waktunya, Pasal 38 ayat (2) tersebut menentukan paling singkat adalah 90 hari karena jangka waktu tersebut menurut kelaziman merupakan jangka waktu yang dianggap patut.

69

(44)

bulanan), menurut Pasal 38 ayat (4) sejak tanggal putusan peryataan pailit diucapkan, uang sewa tersebut merupakan utang harta pailit.70

Pasal 39 ayat (2) menentukan, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, upah yang terutang sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit. Sesuai dengan penjelasan Pasal 39 ayat (2), yang dimaksud dengan “upah” adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pemberi kerja b. Terhadap perjanjian kerja

Pasal 39 ayat (1) UUK-PKPU menentukan pekerja yang bekerja pada debitur pailit dapat memutuskan hubungan kerjanya dan sebaliknya kurator dapat memberhentikan pekerja tersebut, namun kurator harus mengindahkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam persetujuan (perjanjian kerja) atau sebagaimana ditentukan dalam perundang-undangan yang berlaku. Apabila dalam perjanjian kerja tersebut tidak ditentukan jangka waktu minimal untuk memberitahukan maksud dari salah satu pihak untuk mengakhiri perjanjian kerja tersebut maka baik pekerja maupun kurator hanya dapat memutuskan/mengakhiri hubungan kerja tersebut dengan menyampaikan pemberitahuan paling singkat 45 hari sebelumnya. Sesuai dengan penjelasan Pasal 39 ayat (1), berkenaan dengan pelaksanaan pemutusan hubungan kerja yang dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), kurator harus tetap berpedoman kepada peraturan perundang-undangan dibidang ketenagakerjaan.

70

(45)

kepada pekerja atas suatu pekerjaan atas jasa yang akan atau telah dilakukan. Upah tersebut adalah yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan. Termasuk didalamnya adalah tunjangan bagi pekerja dan keluarga.71

Mahkamah Agung berpendapat undang-undang harus memberikan jaminan perlindungan untuk dipenuhinya hak pekerja karena hak itu telah dijamin Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan secara sosial ekonomi kedudukan buruh lebih lemah dibandingkan pengusaha. Upah buruh harus dibayar sebelum kering keringatnya. Negara masih punya sumber penghasilan lain di luar boedel pailit, sedangkan buruh menjadikan upah satu-satunya sumber mempertahankan hidup diri dan keluarganya.72

Pasal 40 ayat (1) UUK-PKPU menyebutkan warisan yang selama kepailitan jatuh kepada debitur pailit, oleh kurator tidak boleh diterima, kecuali apabila menguntungkan harta pailit. Logika ketentuan-ketentuan Pasal 40 ayat (1) dapat dimengerti karena tidak mustahil debitur pailit bukan menerima warisan berupa piutang tetapi menerima warisan utang. Apabila debitur pailit menerima warisan berupa piutang (tagihan) maka warisan tersebut akan menguntungkan harta pailit. Akan tetapi, apabila debitur pailit menerima warisan berupa utang, maka warisan tersebut akan membebani harta pailit. Sudah tentu hak tersebut bukan saja akan merugikan debitur pailit, tetapi juga para krediturnya.

c. Terhadap warisan 71 Ibid., hlm. 198. didahulukan-dalam-kepailitan (diakses pada 11 Februari 2017).

(46)

Pasal 40 ayat (2) UUK-PKPU menentukan bahwa untuk tidak menerima suatu warisan, kurator memerlukan izin dari hakim pengawas. Ketentuan Pasal 40 ayat (2) terkesan kontradiktif dengan ketentuan Pasal 40 ayat (1). Disatu pihak Pasal 40 ayat (1) menentukan, kurator tidak boleh menerima warisan yang jatuh kepada debitur pailit (dengan kata lain kurator harus menolak) selama debitur berada dalam kepailitan (kecuali warisan tersebut menguntungkan harta pailit) namun dipihak lain untuk tidak menerima suatu warisan (dengan demikian berarti menolak), kurator memerlukan izin dari hakim pengawas. Apabila tujuan ketentuan Pasal 40 ayat (2) adalah untuk memastikan tindakan kurator tidak merugikan harta pailit, sebaiknya bukan saja dalam hal kurator tidak menerima atau menolak tetapi juga apabila kurator menerima suatu warisan yang jatuh kepada debitur pailit. Dengan demikian baik penerimaan atau penolakan warisan yang dilakukan oleh kurator itu tidak sampai merugikan harta pailit karena kekeliruan pertimbangan kurator atau karena kurator beritikad tidak baik.73

C. Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit

Pengurusan adalah menginventarisasi, menjaga dan memelihara agar harta pailit tidak berkurang dalam jumlah, nilai dan bahkan bertambah dalam jumlah dan nilai. Jika ternyata kemudian putusan pailit tersebut dibatalkan oleh, baik putusan kasasi atau peninjauan kembali, maka segala perbuatan yang telah dilakukan oleh kurator sebelum atau pada tanggal kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan, tetap sah dan mengikat

73

(47)

bagi debitur pailit. Jika upaya perdamaian tidak ada dalam proses kepailitan yang disebabkan karena debitur pailit tidak menawarkan perdamaian, debitur pailit menawarkan perdamaian akan tetapi ditolak oleh para kreditur, atau debitur pailit menawarkan perdamaian kemudian disetujui oleh para kreditur akan tetapi ditolak oleh Hakim Pengadilan Niaga, maka proses selanjutnya adalah tahap pemberesan.

Yang dimaksud dengan pemberesan adalah merupakan suatu tugas yang dilakukan oleh kurator terhadap pengurusan harta debitur pailit, dimana pemberesan baru dapat dilakukan setelah debitur pailit benar-benar dalam keadaan tidak mampu membayar (insolvensi) setelah adanya putusan pernyataan pailit yang artinya suatu tahap dimana akan terjadi jika tidak terjadi suatu perdamaian sampai dihomologasi dan tahap ini akan dilakukan suatu pemberesan terhadap harta pailit.74 Terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit di ucapkan debitur pailit tidak lagi diperkenankan untuk melakukan pengurusan atas harta kekayaannya yang telah dinyatakan pailit (harta pailit atau budel pailit). Selanjutnya pelaksanaan pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit tersebut diserahkan kepada kurator yang diangkat oleh pengadilan, dengan diawasi oleh seorang hakim pengawas yang ditunjuk dari hakim pengadilan. Pengangkatan tersebut harus ditetapkan dalam putusan penyataan pailit tersebut.75

74

M.Hadi Shubhan, Op.Cit., hlm. 144.

75

Gunawan Widjaja, Op.Cit., hlm. 86.

Pelaksanaan pengurusan harta pailit tersebut oleh kurator besifat seketika, dan berlaku saat itu pula terhitung sejak

(48)

tanggal putusan diucapkan, meskipun terhadap putusan kemudian diajukan kasasi atau peninjauan kembali.

Perubahan terhadap Undang-Undang tentang Kepailitan Tahun 1998 dilakukan untuk memperbaiki, menambah, dan meniadakan ketentuan-ketentuan yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat, jika ditinjau dari segi materi yang diatur, masih terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan. Undang-Undang Kepailitan dan PKPU Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU)yang meruapakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 ini didasarkan untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat dan menjamin kepastian, ketertiban, penegakan, dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran. Pengaturan kepailitan dalam sistem hukum di Indonesia mempunyai fungsi yang sangat penting yaitu melalui Hukum Kepailitan akan diadakan suatu penyitaan umum (eksekusi massal) terhadap seluruh harta kekayaan debitor, yang selanjutnya akan dibagikan kepada kreditor secara seimbang dan adil di bawah pengawasan petugas yang berwenang. Instrumen Hukum Kepailitan sangat penting di dalam hukum kita, karena jika instrumen ini tidak ada, kesemrawutan setidak-tidaknya yang menyangkaut pelaksanaan hak-hak ganti kerugian akan timbul. Putusan pernyataan pailit membawa akibat hukum terhadap seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Dan pengurusan pemberesan harta

Referensi

Dokumen terkait

Diperlukan suatu sistem yang dapat memprediksi stock dari setiap jenis obat yang akan dijual sesuai data penjualan pada bulan – bulan sebelumnya dengan

Beberapa metoda atau teknik yang dikenal di dalam data mining salah satunya adalah association rule (aturan asosiasi) yang berusaha menemukan aturan-aturan tertentu

Bahwa syarat pailit menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU yaitu, 2 (dua) kreditor atau lebih, tidak membayar sedikitnya satu

Melalui penelitian ini dilakukan penelitian analisis sistetn pelabuhan perikanan untuk mengetahui sistem pelabuhan perikanan di Kabupaten Lolnbok Timur khusus

Hasil yang diperoleh dalam penulisan ini ialah perlindungan hukum pemegang polis asuransi dalam prespektif kepailitan kreditur pemegang polis hanya sebagai kreditur

Berdasarkan interpretasi citra landsat Zona Bandung, nampak bahwa pola aliran sungai yang berkembang di wilayah dataran antar gunung Garut Utara menunjukan

Kepailitan perorangan dan kepailitan Perseroan Terbatas sama-sama merupakan sita umum atas kekayaan debitor pailit, namun hal yang menjadikan kepailitan Perseroan

Mekanisme dasar penyebab timbulnya diare adalah gangguan osmotic (makanan yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotic dalam rongga usus meningkat sehingga terjadi