• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

27 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kepailitan

1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia

Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya diatur dalam 4 (empat) peraturan perundang-undangan secara berurutan. Pertama kali, hukum kepailitan diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan (Faillisement

Verordening) Stb. 1905 No. 217 jo. Stb. 1906 No. 348 yang

merupakan produk perundang-undangan Belanda seringkali juga disebut sebagai Hukum Kepailitan Lama23. Sehubungan dengan goncangnya perekonomian Indonesia di tahun 199824, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 (selanjutnya disebut Perpu No. 1 Tahun 1998) yang selanjutnya dikuatkan menjadi Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 (selanjutnya disebut UU No. 4 Tahun 1998). Apabila diperhatikan lebih jauh, UU No. 4 Tahun 1998 ini

hanya mengubah, menambah dan memperjelas

Faillisement Verordening, sehingga secara yuridis formal,

23 Sunarmi, Hukum Kepailitan, 2010, Jakarta: PT. Softmedia, hal. 1

24 Pada masa itu, John T. Dori menyebutkan bahwa IMF beranggapan kesuksesan pemulihan ekonomi dan reformasi di Indonesia tergantung sepenuhnya pada reformasi sistem hukum. Karena itu, IMF mensyaratkan adanya reformasi hukum sebagai syarat pemberian pinjamannya yang tertuang dalam Memorandum Tambahan (Appendix VII) dalam Letter of Intent tertanggal 15 Januari 1998 yang dengan jelas mencantumkan keinginan IMF untuk memberlakukan hukum kepailitan yang baru dalam bentuk Peraturan Pemerintah (Perpu) serta membentuk Pengadilan Khusus Niaga. Lihat John T. Dori, Indonesia’s Economic and Political Crisis: A challenge for U.S Leadership in Asia. Lihat: Sunarmi, Op.cit., hal. 3

(2)

28

peraturan kepailitan yang lama masih berlaku25. UU No. 4 Tahun 1998 tersebut disempurnakan dengan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UU No. 37 Tahun 2004) yang berlaku hingga saat ini.

Bagan 1.

Sejarah Hukum Kepailitan dalam 4 (empat) peraturan perundang-undangan

Dalam Ketentuan Peralihan Pasal 305 UU No. 37 Tahun 2004 dinyatakan bahwa

“semua peraturan perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang tentang Kepailitan (Faillisement Verordening) yang diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 1998 yang ditetapkan menjadi undang-undang berdasarkan UU No. 4 Tahun 1998, pada saat ini (UU No. 37 Tahun 2004 – catatan penulis) diundangkan, masih tetap

berlaku sejauh tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan

undang-undang ini (No. 37 Tahun 2004 – catatan penulis).

Dari pasal tersebut, penulis menyimpulkan bahwa pengaturan kepailitan dalam peraturan perundang-undangan sebelum UU No. 37 Tahun 2004 diundangkan,

(3)

29

masih tetap berlaku sejauh tidak bertentangan dan/atau belum diganti oleh UU No. 37 Tahun 2004.

Pengaturan tentang kepailitan diatur dalam 5 (lima) peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang tentang Kepailitan (Faillisement Verordening), Perpu No. 1 Tahun 1998 yang ditetapkan menjadi undang-undang berdasarkan UU No. 4 Tahun 1998, UU No. 37 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007.

UU No. 37 Tahun 2004 terdiri dari 7 (tujuh) Bab dan 308 Pasal. Berikut isi dari setiap Bab dalam UU No. 37 Tahun 2004:

BAB I : Ketentuan Umum BAB II : Kepailitan

BAB III : Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang BAB IV : Permohonan Peninjauan Kembali

BAB V : Ketentuan lain-lain BAB VI : Ketentuan Peralihan BAB VII : Ketentuan Penutup

Selain diatur di dalam UU No. 37 Tahun 2004, Kepailitan juga diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas khususnya tentang Tanggung Jawab Pribadi Pemegang Saham, Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris jika terjadi kepailitan terkait kesalahan/kelalaian Anggota Organ tersebut (Pasal 104 ayat (2), Pasal 115 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2007) serta

(4)

30

mengenai tanggung jawab terbatas Pemegang Saham (Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU No. 40 Tahun 2007).

Bagan 2. Pengaturan Hukum Kepailitan dalam 5 (lima) peraturan perundang-undangan

2. Perkembangan Konsep Kepailitan

Istilah “pailit” dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris. Dalam bahasa Perancis, istilah ‘failite’ artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Sedangkan dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah to fail, dan di dalam bahasa Latin dipergunakan istilah failure26.

(5)

31

Di negara-negara yang berbahasa Inggris, untuk pengertian pailit dan kepailitan dipergunakan istilah “bankrupt” dan “bankruptcy”. Terhadap debitor Perseroan yang berada dalam keadaan tidak mampu membayar hutang-hutangnya disebut “insolvency”27.

Dalam Black Law Dictionary diketahui bahwa “bankrupt” adalah:

the state or conditional of a person (individual, partnership, corporation, multicipality who is unable to pay its debt as they are, or became due’. The term includes a person against whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt”.

Dari pengertian “bankrupt” yang diberikan oleh Black’s

Law Dictionary di atas, diketahui bahwa pengertian ‘pailit’

dihubungkan dengan ketidakmampuan membayar

(insolvency) dari debitor atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan untuk membayar (insolvency) tersebut diwujudkan dalam bentuk tidak dibayarnya utang meskipun telah ditagih dan telah jatuh tempo.

Konsep kepailitan tersebut senada dengan Pasal 1

Faillisement Verordening (Peraturan Kepailitan Lama) yang

menyatakan bahwa:

“Setiap pihak yang berutang (debitor) yang berada dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya, dengan Putusan Hakim, baik atas permintaan sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih pihak berutangnya (kreditornya), dinyatakan dalam keadaan pailit.”

(6)

32

Parafrase “yang berada dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya” menunjukkan bahwa konsep yang dianut oleh Failisement Verordening mengandung persyaratan

insolvency untuk dapat memailitkan debitor.

Definisi untuk mengukur bahwa seorang debitor secara teknis telah berada dalam keadaan insolvent pada dasarnya telah diatur dalam Pasal 47 KUH Dagang yang menyatakan sebagai berikut:

“Apabila bagi para pengurus ternyata bahwa Perseroan menderita kerugian sebesar lima puluh persen dari modalnya, maka hal ini harus mereka umumkan dalam register-register yang diselenggarakan untuk itu di kepaniteraan Pengadilan Negeri, dan dalam Berita Acara. Jika kerugian tadi sebesar tujuh puluh lima persen, maka Perseroan tersebut demi hukum bubar.”

Maksud dari Pasal 47 KUH Dagang adalah apabila Perseroan mengalami kerugian lebih dari 50% dari modalnya, maka Direksi harus mengumumkan hal tersebut dalam register pada Pengadilan Negeri. Jika maksud Pasal tersebut dihubungan dengan maksud dari Pasal 1 ayat (1) Failisement Verordening maka akan terlihat korelasi yang menggambarkan pentingnya pembuktian secara teknis oleh pemohon pailit dengan cara insolvency

test bahwa debitor berada dalam keadaan insolvency.

Korelasi tersebut adalah apabila Direksi Perseroan yang mengalami kerugian 50% tersebut tidak mengumumkan kondisi keuangannya tersebut maka apabila Perseroan tersebut dipailitkan, maka Pemohon Pailit (dalam hal ini Pemohon Pailit yang dimaksud adalah kreditor sebagai pihak ketiga – involuntary petition) harus membuktikan

(7)

33

bahwa Perseroan tersebut berada dalam keadaan

insolvency dengan cara melakukan insolvency test.

Menurut Ricardo Simanjuntak, seorang praktisi hukum kepailitan, insolvency test hampir mustahil dilakukan, mengingat alat pembuktian keadaan insolvent dari debitor Perseroan adalah berdasarkan laporan keuangannya28, maka dalam hal Perseroan tersebut adalah Perseroan tertutup maka secara teknis hukum akan sangat sulit memastikan kreditor dapat menggunakan laporan keuangan tersebut, karena sifatnya rahasia (confidential). Kalaupun kreditor mendapatkannya dari pihak lain secara diam-diam, sifat tertutup dari Perseroan tersebut akan menimbulkan terjadinya permasalahan hukum dari sisi kerahasiaan dokumen, apabila bukti laporan keuangan yang diperoleh secara diam-diam tersebut dihadirkan sebagai bukti di Pengadilan. Hal tersebut menjadi salah satu alasan yang menurut beliau, menjadikan Failisement

Verordening tidak efektif.

Ketidakefektifan Failisement Verordening juga, menurut beliau, terletak pada penggunaan waktu yang diukur dengan parafrase “selekas-lekasnya” yang menyebabkan pemeriksaan permohonan pailit tidak ada bedanya dengan jangka waktu yang digunakan untuk mengadili kasus perdata.

28 Berdasarkan Pasal 1866 KUH Perdata, tata cara pembuktian salah satunya melalui surat (dokumen), dan bukti surat tersebut harus asli, berdasarkan Pasal 1888 KUH Perdata. Lihat: Ricardo Simanjuntak SH, LLM, ANZIIF, CIP, Hukum Kontrak: Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, 2011, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hal. 292

(8)

34

Kedua alasan tersebut yang menjadi dasar pertimbangan pentingnya reformasi UU Kepailitan agar UU tersebut dapat mencerminkan perwujudan asas peradilan yang cepat, sederhana, efisien, transparan, adil dan berkepastian hukum. Perubahan substansial pun dilakukan terutama pada persyaratan untuk dapat dipailitkannya seorang debitur dengan tidak adanya keharusan untuk terlebih dahulu membuktikan bahwa debitur berada dalam keadaan insolvent. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 1 ayat (1) Failisement Verordening yang mensyaratkan debitor harus berada “dalam keadaan telah

berhenti membayar utang-utangnya”, diubah menjadi

”debitor yang terbukti memiliki minimum dua kreditur

dimana tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih” dalam Pasal 1 ayat (1)

UU No. 4 Tahun 199829.

Selain mengenai definisi kepailitan, hal penting yang diatur secara tegas dalam UU No 4 Tahun 1998 adalah mengenai jangka waktu pembacaan putusan kepailitan diukur dari waktu pengajuan permohonan pailit. Sebelumnya, dalam

Failisement Verordening, hanya diukur dengan kata

“selekas-lekasnya”.

29 Perubahan Failisement Verordening tersebut merupakan suatu konsekuensi dari reformasi hukum dalam mengembalikan kepercayaan pelaku usaha domestik maupun asing terhadap hukum bisnis dan kredibilitas peradilan di Indonesia. Perubahan tersebut merupakan perubahan yang bersifat mendesak (vide penjelasan dalam Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia – poin A.1.) sehingga perubahan tersebut tidak langsung dengan UU No. 4 Tahun 1998, tetapi didahului dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 1998. Lihat Ricardo Simanjuntak, Op.cit., hal.292

(9)

35

Beberapa pokok perubahan yang dilakukan dalam UU No. 40 Tahun 2007 adalah terhadapa UU No. 4 Tahun 1998 adalah mengenai30:

a. Pengertian “utang” diberikan batasan secara tegas, agar tidak menimbulkan berbagai penafsiran dalam undang-undang ini. Demikian juga mengenai pengertian “jatuh waktu” (vide Sub Bab Syarat-Syarat Agar Permohonan Pernyataan Pailit Dapat Diterima)

b. Mengenai syarat-syarat dan prosedur permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang termasuk di dalamnya pemberian kerangka waktu secara pasti bagi pengambilan putusan pernyataan pailit dan/atau penundaan pembayaran utang (vide Sub Bab Prosedur dan Time-Frame Pengajuan Permohonan Pailit Per Tingkat Peradilan)

Matriks 3.

Perbandingan Konsep Kepailitan

Indikator Failisement Verordening UU No. 4 Tahun 1998 UU No. 37 Tahun 2004 Syarat mengajukan permohonan pailit Mensyaratkan debitor dalam keadaan insolvent melalui Tidak mensyaratan debitor dalam keadaan Tidak mensyaratkan debitor dalam keadaan insolvent

30 Penjelasan Umum UU No. 40 Tahun 2007 dalam Rahayu Hartini, Penyelesaian

Sengketa Kepailitan di Indonesia: Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga dan Lembaga Arbitrase, Jakarta: Kencana, 2009, hal.70

(10)

36 Indikator Failisement Verordening UU No. 4 Tahun 1998 UU No. 37 Tahun 2004 pernyataan “Debitor berada dalam keadaan telah berhenti membayar utang-utangnya” insolvent karena hanya mensyaratkan debitor: “terbukti memiliki minimum dua kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih”

karena hanya mensyaratkan debitor:

mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak

membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih” Waktu pengajuan permohonan pailit Tidak diatur dengan jelas karena hanya berpedoman pada kata “selekas-lekasnya” Diatur dengan jelas Diatur dengan jelas 3. Definisi Kepailitan

Definisi kepailitan tertulis dalam Pasal 1 ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004 sebagai berikut:

“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim Pengawas

(11)

37

sebagaimana diatur dalam undang-undang ini (UU No. 37 Tahun 2004 – catatan penulis)”

Berikut ini penjelasan mengenai unsur-unsur dari definisi kepailitan.

a. Sita umum atas semua kekayaan debitor pailit

Sita umum atas semua kekayaan debitor pailit merupakan pengejawantahan dari Pasal 1131 KUH Perdata yaitu:

“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perorangan.”

Sita umum yang dimaksud meliputi seluruh kekayaan debitor (Pasal 21 UU No. 37 Tahun 2004) sehingga semua kekayaan debitor menjadi boedel pailit, kecuali benda dan jasa yang diatur dalam Pasal 22 UU No. 37 Tahun 2004.

Jika debitor hanya berutang kepada seorang kreditor saja, maka seluruh harta kekayaannya menjadi jaminan bagi pelunasan hutang tersebut, sehingga dalam pelaksanaannya tidak diperlukan pranata hukum kepailitan. Namun, jika ternyata debitor memiliki lebih dari 1 (satu) orang kreditor maka harta kekayaan debitor haruslah dibagi menurut prinsip di bawah ini31, sehingga untuk itu diperlukan pranata hukum kepailitan:

(12)

38

Pari passu, yaitu kreditor secara bersama-sama

memperoleh pelunasan, tanpa ada yang didahulukan; dan

Pro rata atau proporsional, yaitu dihitung

berdasarkan pada besarnya piutang masing-masing kreditor dibandingkan dengan piutang para kreditor secara keseluruhan sehingga memperoleh prosentase tertentu, prosentase itulah yang menjadi bagiannya dari jumlah seluruh harta kekayaan debitor tersebut.

Prinsip pari passu dan pro rata tercantum dalam Pasal 1132 KUH Perdata, yaitu:

“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama

bagi semua orang yang mengutangkan padanya;

pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.”

Oleh karena harta kekayaan debitor pailit harus dibagi secara pari passu dan pro rata kepada masing-masing kreditor (dalam hal ini kreditor konkuren) kecuali para kreditor tersebut mempunyai alasan-alasan yang sah untuk didahulukan (dalam hal ini kreditor preferen dan kreditor separatis32), maka kekayaan debitor harus diletakkan di bawah sita umum.

32 Penggolongan kreditor dibahas dalam syarat-syarat agar permohonan pailit dapat diterima khususnya mengenai syarat adanya debitor

(13)

39

Golongan kreditor ada 3 (tiga) yaitu kreditor konkuren, kreditor preferen dan kreditor separatis33 yaitu sebagai berikut:

1) Kreditor konkuren

Kreditor konkuren ini diatur dalam Pasal 1132 KUH Perdata. Kreditor konkuren adalah para kreditor yang mendapatkan pelunasan setelah hak dari kreditor separatis dan kreditor preferen telah terpenuhi. Kreditor konkuren mendapatkan pelunasan berdasarkan prinsip pari passu dan pro

rata, artinya para kreditor secara bersama-sama

memperoleh pelunasan (tanpa ada yang didahulukan) yang dihitung berdasarkan pada besarnya piutang masing-masing dibandingkan terhadap piutang mereka secara keseluruhan, terhadap seluruh kekayaan debitur tersebut. Dengan demikian, para kreditor konkuren mempunyai kedudukan yang sama atas pelunasan utang dari harta debitur tanpa ada yang didahulukan.

2) Kreditor preferen

Kreditor preferen (yang diistimewakan), yaitu kreditor yang oleh undang-undang, semata-mata karena sifat piutangnya, mendapatkan pelunasan terlebih dahulu. Kreditor preferen merupakan kreditor yang mempunyai hak istimewa, yaitu suatu hak yang oleh undang-undang diberikan

(14)

40

kepada seorang yang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya (Pasal 1134 KUH Perdata). Kreditor preferen terdiri atas kreditor preferen umum dan kreditor preferen khusus.

a) Kreditor preferen khusus

Kreditor preferen khusus adalah kreditor yang piutang-piutangnya diistimewakan menurut preferensi khusus (Pasal 1139). Preferensi khusus tersebut antara lain:

(1) Biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu benda bergerak maupun tidak bergerak. Biaya ini dibayar dari pendapatan penjualan benda tersebut terlebih dahulu dari semua piutang lainnya yang diistimewakan, bahkan lebih dahulu pula daripada gadai dan hipotik;

(2) Uang sewa dari benda-benda tidak bergerak, biaya-biaya perbaikan yang menjadi kewajiban si penyewa, beserta segala apa yang mengenai kewajiban memenuhi persetujuan sewa;

(3) Harta pembelian benda-benda bergerak yang belum dibayar;

(4) Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu barang;

(15)

41

(5) Biaya untuk melakukan pekerjaan suatu barang, yang masih harus dibayar kepada tukang;

(6) Apa yang telah diserahkan oleh seorang pengusaha rumah penginapan sebagai demikian sebagai seorang tamu;

(7) Upah-upah pengangkutan dan biaya-biaya tambahan;

(8) Apa yang harus dibayar kepada tukang batu, tukang kayu dan lain-lain tukang untuk pembangunan, penambahan dan perbaikan benda-benda tidak bergerak, asal saja piutangnya tidak lebih tua dari tiga tahun dan hak milik atas persil yang bersangkutan masih tetap pada si berutang; (9) Penggantian serta pembayaran yang harus

dipikul oleh pegawai yang memangku suatu jabatan umum, karena segala kelalaian, kesalahan, pelanggaran, dan kejahatan yang dilakukan dalam jabatannya.

b) Kreditor preferen umum

Kreditor preferen umum adalah kreditor yang piutang-piutangnya diistimewakan atas semua benda bergerak dan tidak bergerak yang disebut preferensi umum (Pasal 1149 KUH Perdata). Adapun preferensi umum didasarkan pada urutan sebagai berikut:

(1) Biaya-biaya perkara, yang semata-mata

(16)

42

penyelesaian suatu warisan; biaya-biaya ini didahulukan daripada gadai dan hipotek; (2) Biaya-biaya penguburan, dengan tidak

mengurangi kekuasaan hakim untuk menguranginya, jika biaya itu terlampau tinggi;

(3) Semua biaya perawatan dan pengobatan dari sakit yang penghabisan;

(4) Upah para buruh selama tahun yang lalu dan upah yang sudah dibayar dalam tahun yang sedang berjalan, beserta jumlah uang kenaikan upah menurut Pasal 1602 q34; (5) Piutang karena penyerahan bahan-bahan

makanan yang dilakukan kepada si berutang beserta keluarganya, selama waktu enam bulan yang terakhir;

(6) Piutang-piutang para pengusaha sekolah berasrama, untuk tahun yang penghabisan; (7) Piutang anak-anak yang belum dewasa dan

orang-orang yang terampu terhadap sekalian wali dan pengampu mereka.

3) Kreditor separatis (secured creditor)

Kreditor separatis (secured creditor) yaitu kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yaitu gadai, hipotek, hak tanggungan dan fidusia35. Hak

34 Telah diatur kemudian dalam Pasal 95 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

35 Ibid., hal. 7. Pengaturan tentang hak jaminan kebendaan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Gadai diatur dalam Pasal 1150 s.d. 1160 Bab XX KUH Perdata yang diberlakukan terhadap benda-benda bergerak. Dalam sistem jaminan gadai,

(17)

43

penting yang dipunyai kreditor separatis adalah hak untuk dengan kewenangan sendiri menjual/mengeksekusi objek agunan, tanpa putusan pengadilan (parate eksekusi).

Golongan kreditor tersebut mendapat pembagian hasil

penjualan boedel pailit menurut urutan haknya.

Menurut Ricardo Simanjuntak36 hak para kreditor untuk mendapatkan pembagian dari hasil penjualan boedel pailit, dapat dibagi dalam 7 (tujuh) tingkat mulai dari hak yang paling tinggi hingga hak yang paling rendah sebagai berikut:

1) Hak retensi (retain) merupakan hak yang dimiliki oleh kreditor atas kewenangan yang diberikan kepadanya untuk melakukan perbaikan ataupun penambahan nilai dari boedel pailit. Kreditur pemilik tagihan ini berhak untuk menahan (retain) benda (boedel pailit) yang berada di bawah kekuasaannya sebelum biaya perbaikan terhadap seorang pemberi gadai (debitur) wajib melepaskan penguasaan atas benda yang akan dijaminkan tersebut kepada penerima gadai (kreditor).

b. Hipotek diatur dalam Pasal 1162 s.d 1232 Bab XXI KUH Perdata, yang pada saat ini hanya diberlakukan untuk kapal laut yang berukuran minimal 20 m3 dan sudah terdaftar di Syahbandar serta pesawat terbang.

c. Hak Tanggungan diatur dalam UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, yang merupakan jaminan atas hak-hak atas tanah tertentu berikut kebendaan yang melekat di atas tanah.

d. Fidusia yang diatur dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang objek jaminannya berupa benda-benda yang tidak dapat dijaminkan dengan gadai, hipotek dan hak tanggungan.

36 Ricardo Simanjuntak SH, LLM, ANZIIF, CIP, Hukum Kontrak: Teknik

Perancangan Kontrak Bisnis, 2011, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hal. 301-302

(18)

44

boedel pailit tersebut terlebih dahulu dilunasi37, serta biaya perkara yang dikeluarkan untuk pelelangan dan penyelesaian warisan38;

2) Hak istimewa atas tagihan negara merupakan hak yang dimiliki kantor pajak untuk mendapatkan pembayaran dari boedel pailit lebih dahulu dari kreditur lainnya39;

3) Hak preferensi separatis bagi kreditor separatis (secured creditor) merupakan hak yang dimiliki oleh kreditur-kreditur yang memegang jaminan dalam bentuk hak tanggungan, hipotek, gadai dan fidusia (tersebut di atas);

4) Hak istimewa buruh40;

5) Hak preferensi khusus bagi kreditor preferen khusus berdasarkan Pasal 1139 KUH Perdata (tersebut di atas);

6) Hak preferensi umum bagi kreditor preferen umum berdasarkan Pasal 1149 KUH Perdata (tersebut di atas);

37 Pasal 61 UU No. 37 Tahun 2004 bandingkan dengan Pasal 21 ayat (3)b UU No. 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang; selanjutnya disebut UU No. 16 Tahun 2009),

38 Pasal 21 ayat (3)c UU No. 16 Tahun 2009 jo. Pasal 1139 ayat (1) dan Pasal 1149 ayat (1)

39 Pasal 21 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2009 jo Pasal 21 ayat (3a) UU No. 16 Tahun 2009 jo. Pasal 1134 KUH Perdata jo. Pasal 1137 KUH Perdata. Dalam kacamata pajak, hak istimewa ini bahkan lebih tinggi (mendahului) daripada hak yang dimiliki oleh kreditur separatis.

40 Berdasarkan Pasal 95 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sebelumnya hak buruh untuk mendapatkan pembayaran berada pada kedudukan kreditor preferen umum berdasarkan Pasal 1149 KUH Perdata, akan tetapi kemudian diberikan hak istimewa oleh UU No 13 Tahun 2003.

(19)

45

7) Hak umum bagi kreditor konkuren untuk dibayarkan secara pro rata berdasarkan Pasal 1132 KUH Perdata (tersebut di atas).

b. Pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator

Pengurusan dan pemberesan dalam kepailitan berbeda dengan pengurusan dan pemberesan dalam likuidasi. Mekanisme kepailitan pada intinya sama dengan mekanisme likuidasi yaitu adanya verifikasi utang dan verifikasi debitor. Namun dalam pelaksanaannya likuidasi dilakukan oleh likuidator dimana direksi dapat menjadi likuidator apabila disepakati dalam RUPS. Sedangkan dalam kepailitan, pengurusan dan pemberesan hanya bisa dilakukan oleh kurator.

c. Di bawah pengawasan hakim pengawas

Hakim Pengawas adalah hakim yang ditunjuk oleh pengadilan dalam putusan pailit atau putusan penundaan kewajiban pembayaran utang41. Fungsinya adalah untuk mengawasi jalannya pengurusan dan pemberesan oleh kurator.

4. Syarat-Syarat Agar Permohonan Pernyataan Pailit Dapat Diterima

Ada 4 (empat) syarat agar pengajuan permohonan pailit dapat diterima yaitu:

(20)

46 a. Adanya debitor

Syarat “adanya debitor” merupakan syarat materil terkait Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004:

“Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonan satu atau lebih kreditornya.”

Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan42. Debitor bisa berupa perorangan (natuurlijk persoon; human being) atau badan hukum (rechts persoon; artificial person). Perseroan Terbatas termasuk dalam kategori badan hukum.

b. Adanya dua kreditor atau lebih (concursus

creditorum)

Syarat “adanya dua kreditor atau lebih” merupakan syarat materil terkait Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan43.

“Adanya dua kreditor atau lebih” memiliki makna bahwa untuk dapat mengajukan permohonan pailit kepada seorang kreditor, maka kreditor tersebut harus mempunyai minimal 2 (dua) kreditor.

42 Pasal 1 angka 3 UU No. 37 Tahun 2004 43 Pasal 1 angka 2 UU No. 37 Tahun 2004

(21)

47

c. Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih

Syarat “tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih” merupakan syarat materiil, sebagai lanjutan dari syarat kedua, terkait Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. Syarat “tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih” memiliki makna bahwa agar dapat mengajukan permohonan permohonan pailit, maka dari dua kreditor atau lebih, minimal ada satu hutang kepada salah satu kreditor yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Yang dimaksud dengan “sudah jatuh waktu dan dapat ditagih” adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter atau majelis arbitrase44. Definisi “utang” tercantum dalam Pasal 1 butir 6 UU No. 37 Tahun 2004 sebagai berikut:

“Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor

(22)

48

untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur.”

Dari definisi utang tersebut di atas terutama dari parafrase “kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang”, maka secara jelas definisi utang harus ditafsirkan secara luas, bahwa utang bukan hanya meliputi “utang yang timbul dari perjanjian utang-piutang atau pinjam-meminjam” tetapi juga “utang yang timbul karena undang-undang atau perjanjian yang dapat dinilai dengan sejumlah uang”.

d. Pembuktian sederhana (summarily proving)

Syarat ini merupakan syarat formil terkait Pasal 8 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa:

“Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta dan kenyataan yang terbukti

secara sederhana bahwa persyaratan untuk

dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi.”

Parafrase “fakta dan kenyataan terbukti secara sederhana” (summarily proving) dalam Pasal 8 ayat 4 UU No. 37 Tahun 2004 tersebut di atas berarti bahwa

keberadaan utang yang dimaksudkan oleh pemohon

pailit tidak dipersengketakan lagi. Dengan kalimat lain, keberadaan utang yang secara pembuktian telah sangat kuat dan jelas keberadaannya tersebut membuat langkah pembuktian terhadapnya – dalam hal debitur mencoba mengingkarinya – cukup dilakukan secara sederhana (summarily proving). Jika utang tersebut masih dipersengketakan, sehingga

(23)

49

pembuktian terhadap utang tersebut tidak dapat dilakukan secara sederhana, maka penyelesaian sengketa utang-piutang tersebut bukan kewenangan Pengadilan Niaga. Sengketa utang-piutang tersebut diselesaikan melalui jalur gugatan perdata pada pengadilan negeri.

Selain itu, menurut penulis perlu ditambahkan, dalam hal subjek hukum yang dipailitkan adalah Perseroan, syarat mengenai siapa debitor harus dapat dibuktikan secara sederhana. Syarat mengenai siapa debitor adalah mengenai apakah subjek hukum yang berutang adalah Perseroan atau pribadi anggota Organ Perseroan.

Bagan 3.

Empat Syarat agar Permohonan Pernyataan Pailit dapat Diterima

Keempat syarat tersebut harus dipenuhi agar permohonan pailit dapat diterima.

(24)

50 5. Pemohon Pailit

Pemohon pailit adalah pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan Niaga. Permohonan pernyataan pailit bisa diajukan oleh debitor sendiri (voluntary petition) atau oleh pihak ketiga (involuntary petition), Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, maupun Menteri Keuangan, sebagai berikut:

a. Atas Permohonan Debitor Sendiri (Voluntary

Petition)

UU No. 37 Tahun 2004 memungkinkan seorang kreditor untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit atas dirinya sendiri45. Tujuannya agar masalah kesulitan keuangan yang dihadapinya dapat segera diselesaikan oleh pengadilan melalui kurator kepada para kreditor.

b. Atas Permohonan Pihak Ketiga (Involuntary

Petition)

Permohonan pernyataan pailit dapat juga diajukan oleh seorang kreditor atau lebih, termasuk di dalamnya kreditor konkuren, kreditor preferen maupun kreditor separatis46.

45 Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. Dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh debitor yang masih terikat dalam pernikahan yang sah, permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istrinya. Lihat Pasal 4 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004

(25)

51 c. Kejaksaan

Permohonan pernyataan pailit terhadap debitur juga dapat diajukan oleh kejaksaan demi kepentingan umum47.

d. Bank Indonesia

Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Bank Indonesia dalam hal debitornya adalah bank.48

e. Pengawas Pasar Modal

Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dalam hal debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.49

f. Menteri Keuangan

Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Menteri Keuangan dalam hal debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik.50

47 Pasal 2 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004. Pengertian kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat luas, misalnya:

a. Debitor melarikan diri;

b. Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan;

c. Debitur mempunyai utang kepada BUMN atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat;

d. Debitor mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat luas;

e. Debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu; atau

f. Dalam hal lainnya yang menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum 48 Pasal 2 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004

49 Pasal 2 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004 50 Pasal 2 ayat (5) UU No. 37 Tahun 2004

(26)

52

6. Prosedur dan Time-Frame Pengajuan Permohonan Pailit per Tingkat Peradilan

Prosedur dan Time-Frame Pengajuan Permohonan Pailit terdiri atas Prosedur dan Time-Frame Pengajuan Permohonan Pailit pada tingkat pertama, tingkat kasasi dan Peninjauan Kembali.

a. Prosedur dan Time-Frame Pengajuan Permohonan Pailit pada Tingkat Pertama

Permohonan pernyataan pailit pada tingkat pertama diajukan melalui Pengadilan Niaga di wilayah hukum debitor Termohon Pailit (Pasal 3 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. Prosedur pengajuan permohonan pernyataan pailit di Pengadilan Niaga dari proses pendaftaran permohonan sampai putusan dibacakan memerlukan waktu 60 (enam puluh) hari (Pasal 6-9 UU No. 37 Tahun 2004).

Bagan 4

Time-frame Pengajuan Permohonan Pernyataan Pailit di Pengadilan Niaga (Pasal 6-9 UU No. 37 Tahun 2004)

(27)

53

b. Prosedur dan Time-Frame Kasasi Perkara Kepailitan

Permohonan kasasi perkara kepailitan diajukan melalui Pengadilan Niaga. Prosedur pengajuan permohonan kasasi proses pendaftaran permohonan kasasi di Pengadilan Niaga sampai putusan dibacakan oleh hakim Mahkamah Agung (Pasal 10-12 UU No. 37 Tahun 2004) memerlukan waktu sekitar 74 (tujuh puluh empat hari. Berikut ini time-frame pengajuan permohonan kasasi Perkara Kepailitan di Pengadilan Niaga:

Bagan 5

Time-frame Pengajuan Permohonan Kasasi Perkara Kepailitan ke Mahkamah Agung (Pasal 10-12 UU No. 37 Tahun 2004)

(28)

54

c. Prosedur dan Time-Frame Peninjauan Kembali Perkara Kepailitan

Permohonan Peninjauan Kembali (PK) perkara kepailitan diajukan melalui Pengadilan Niaga. Menurut Pasal 195 UU No. 37 Tahun 2004, terdapat 2 (dua) alasan Permohonan peninjauan kembali yaitu:

1) setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa di Pengadilan sudah ada, tetapi belum ditemukan; atau

2) dalam putusan hakim yang bersangkutan terdapat

kekeliruan yang nyata.

Tenggang waktu untuk pengajuan PK dengan alasan “ditemukannya bukti baru” adalah 180 (seratus delapan puluh hari) sejak putusan atas permohonan kasasi memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan tenggang waktu pengajuan PK dengan alasan “terdapat kekeliruan yang nyata” adalah 30 (tiga puluh hari).

Prosedur pengajuan permohonan kasasi proses pendaftaran permohonan kasasi di Pengadilan Niaga sampai putusan dibacakan oleh hakim Mahkamah Agung memerlukan waktu sekitar 30 (tiga puluh) hari (Pasal 295-298 UU No. 37 Tahun 2004). Berikut ini time-frame pengajuan permohonan PK Perkara Kepailitan di Pengadilan Niaga:

(29)

55 Bagan 6.

Time-frame Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Perkara Kepailitan ke Mahkamah Agung

(30)

56

Dari ketiga bagan jangka waktu (time-frame) pengajuan permohonan pernyataan pailit, pengajuan kasasi dan pengajuan permohonan peninjauan kembali kasus kepailitan yang telah dijelaskan di atas, perkiraan jangka waktu

(time-frame) penyelesaian perkara kepailitan adalah 212 hari

(diperhitungkan dengan perkiraan jangka waktu pembacaan putusan per tingkat peradilan sampai dengan pengajuan permohonan per tingkat peradilan). Jangka waktu ini jauh lebih singkat dari pada jangka waktu (time-frame) pengajuan perkara perdata yang memakan waktu 4-6 tahun dari tingkat pertama pada Pengadilan Negeri sampai dengan tingkat Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Dengan demikian, pilihan untuk menyelesaikan sengketa hutang-piutang dengan menggunakan pranata hukum kepailitan melalui Pengadilan Niaga lebih mudah dan lebih sederhana dibanding menggunakan pranata hukum perdata melalui Pengadilan Negeri.

(31)

57

B. Pelaksanaan Prinsip Tata Kelola Perseroan yang Baik (Good

Corporate Governance) Sebagai Suatu Keniscayaan Dalam

Mencegah Terjadinya Kepailitan

Pelaksanaan Prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good

Corporate Governance) merupakan keniscayaan dalam suatu

Perseroan. Amartya Sen51, mengibaratkan keberadaan Tata Kelola Perseroan yang Baik (Good Corporate Governance) tersebut sebagai “oksigen” bagi “kehidupan” Perseroan, dimana manfaat kehadirannya lebih dipahami ketika ia tidak hadir:

A basic code of good business behavior (Good Corporate Governance - penulis) is a bit like oxygen: we take an interest in its presence when it is absent!

Sebuah penelitian terkait Good Corpororate Governance yang dilakukan oleh Duff and Phelps menyatakan bahwa para responden baik di AS maupun di Eropa, pada umumnya sependapat bahwa tuntutan tata kelola Perseroan (Good

Corpororate Governance) yang baik merupakan dampak dari

berbagai skandal korporasi: WorldCom, Enron, Adelphia dan Parmalat. Survey membuktikan 72% responden berpendapat bahwa tuntutan pelaksanaan tata kelola Perseroan yang baik (Good Corpororate Governance) tersebut bahkan menjadi salah satu faktor pendorong kenaikan permintaan pendapat kewajaran (fairness opinion)52 oleh Perseroan.

51 Amartya Sen, The 1998 Nobel laureate in Economic Science dalam Saiful M. Ruky, Fairness Opinion: Pendapat Kewajaran Transaksi Korporasi, Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama, 2010, hal. 17

52 Pendapat kewajaran (fairness opinion) adalah pendapat yang diberikan oleh seorang penasihat keuangan independen yang berkaitan dengan kewajaran atas transaksi korporasi yang terjadi pada pasar corporate control tersebut yang terdiri

(32)

58

Dari hal tersebut di atas, penulis mengasumsikan Pelaksanaan Prinsip Tata Kelola Perseroan yang Baik (Good Corporate

Governance) merupakan suatu keniscayaan dalam pengelolaan

Perseroan.

1. Pelaksanaan Prinsip Tata Kelola Perseroan (Corporate

Governance) Sebagai Suatu Keniscayaan dalam

Mencegah Terjadinya Kepailitan

Pelaksanaan prinsip Tata Kelola Perseroan (Corporate

Governance) yaitu Prinsip Transparansi (Transparency),

Akuntabilitas (Accountability), Prinsip Responsibilitas (Responsibility), Prinsip Independensi (Independency), Prinsip Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness) harus tercermin dalam pengelolaan Perseroan agar kepailitan dapat tercegah.

Tata Kelola Perseroan (Corporate Governance) berkaitan dengan pengambilan keputusan efektif yang bersumber pada etika bisnis, budaya Perseroan, etika, nilai, sistem, proses bisnis, kebijakan dan struktur organisasi yang bertujuan untuk mendorong dan mendukung: perkembangan Perseroan; pengelolaan sumber daya dan risiko secara lebih efisien serta efektif;

dari: 1) uji kewajaran kesepakatan (fair dealing) atau disebut juga dengan kewajaran prosedur (procedure fairness) dan 2) uji kewajaran harga (fair price). Lihat: Saiful M. Ruky, Op. Cit, hal. 2-5

(33)

59

pertanggungjawaban Perseroan terhadap pemegang saham dan stakeholders lainnya53.

Menurut Price Waterhouse Coopers, Tata Kelola Perseroan adalah sebagai berikut:

Corporate Governance is about effective decision making. It is founded upon organizational culture, ethics, value, system, processes, policies and structures which are aimed at fostering and promoting: business prosperity; efficient and effective management of resources and risk; corporate accountability and the stakeholders.54

Menurut Parijs55, ditinjau dari sisi badan kepengurusan Perseroan, dalam hal Tata Kelola Perseroan (Corporate

Governance) dikenal 2 sistem badan kepengurusan

(governing body) yaitu: 1) sistem yang menganut kepengurusan dengan 1 (satu) lapis dewan pimpinan (one

tier board system), sistem ini diterapkan di negara-negara

yang menganut tradisi hukum Anglo Saxon, 2) sistem dengan 2 (dua) lapis dewan pimpinan (two tier board

system), sistem ini banyak diterapkan di negara-negara

yang menganut tradisi hukum Eropa Kontinental termasuk Indonesia. Perseroan dengan 1 lapis sistem badan kepengurusan (one governing body); the board of

director (BOD) terdiri dari Eksekutif dan Non-Eksekutif

Direktur atau biasa disebut dengan Inside dan Outside

Director. Mereka dipilih oleh pemegang saham dan

53 Kemal Azis Stamboel, Good Corporate Governance: Menyeimbangkan Antara

Kinerja Perusahaan dengan ketaatan, Makalah, Jakarta: The Indonesian Instritute for Corporate Governance, 2000

54 Price Waterhouse Coopers, Conceptual Model for Corporate Governance

Definition, Makalah, Jakarta: BPPN Workshop for Recapitalized, 2000

dalam Misahardi Wilamarta, Hak Pemegang Saham Minoritas Dalam Rangka Good Corporate Governance, Jakarta: Program Pasca Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002, hal.37

(34)

60

membuat keputusan serta mengendalikan perusahaan. Direktur Non-Eksekutif biasanya merupakan Direktur paruh waktu dan tugas utamanya melakukan supervise kepada Direktur Eksekutif.

Perseroan dengan 2 sistem badan kepengurusan, terdiri atas Dewan Manajemen/Eksekutif (Management Board, Indonesia: Direksi) dan Dewan Pengawas (Supervisory

Board, Indonesia: Dewan Komisaris). Direksi bertugas

atas pengelolaan Perseroan sehari-hari, sedangkan Dewan Komisaris mengawasi dan memonitor Direksi dalam melaksanakan tugas pengelolaan sehari-hari, termasuk memberikan nasihat dan ratifikasi terhadap keputusan Direksi yang bersifat strategis, sebagaimana diatur dalam anggaran dasar Perseroan56.

Keputusan untuk meminjam sejumlah uang terhadap pihak ketiga (debitor) merupakan keputusan yang bersifat strategis, sehingga dalam membuat keputusan tersebut, Direksi harus terlebih dahulu meminta nasihat dan ratifikasi dari Dewan Komisaris.

Dalam beberapa kasus yang akan diulas dalam Bab III, kepaillitan seringkali disebabkan karena adanya utang yang telah jatuh tempo, yang setelah ditelusuri ternyata perjanjian hutang-piutangnya tidak diratifikasi oleh Dewan Komisaris. Dalam hal ini terjadi pelampauan wewenang dalam proses perjanjian dengan pihak ketiga menyangkut keputusan strategis yaitu Direksi tidak

(35)

61

meminta nasihat dan ratifikasi dari Dewan Komisaris. Pelampauan wewenang ini merupakan pelanggaran terhadap prinsip Tata Kelola Perseroan yang baik, dimana Direksi tidak menyertakan fungsi dari Dewan Komisaris untuk memberikan nasihat dan melakukan ratifikasi terhadap keputusan Perseroan yang sifatnya strategis. Kepailitan seharusnya bisa dicegah apabila Direksi menyertakan fungsi Dewan Komisaris pada saat hendak memutuskan hal-hal yang bersifat strategis. Penyertaan fungsi tersebut merupakan salah satu upaya Direksi untuk mengelola Perseroan (termasuk di dalamnya keuangan Perseroan) secara hati-hati (duty of care).

2. Lima Prinsip Good Corporate Governance yang harus dilaksanakan dalam Pengelolaan Perseroan untuk mencegah terjadinya Kepailitan

Untuk mencegah terjadinya kepailitan, ada 5 (lima) prinsip yang harus dilaksanakan dalam pengelolaan Perseroan. Menurut Organization For Economic Cooperation and Development (OECD) prinsip-prinsip Tata

Kelola Perseroan (Good Corporate Governance) tersebut adalah sebagai berikut:

a. Prinsip Transparansi (Transparency) b. Prinsip Akuntabilitas (Accountability) c. Prinsip Responsibilitas (Responsibility) d. Prinsip Independensi (Independency)

(36)

62

Berikut uraian dari masing-masing prinsip tersebut:

a. Prinsip Transparansi (Transparency)

Prinsip Transparansi (Transparency) mengandung unsur keterbukaan yang harus diterapkan dalam setiap aspek di perusahaan yang berkaitan dengan kepentingan publik atau pemegang saham. Transparansi dalam GCG adalah wujud pengelolaan Perseroan secara terbuka dan pengungkapan fakta yang aktual secara tepat waktu kepada para pemangku kepentingan.

Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance57, Prinsip Dasar Transparansi (Transparency) adalah untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perseroan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perseroan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.

Pedoman Pokok Pengelolaan Perseroan berdasarkan Prinsip Transparansi (Transparency):

1) Perseroan harus menyediakan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas, akurat dan dapat

57 Komite Nasional Kebijakan Governance, Pedoman Umum Good Corporate

(37)

63

diperbandingkan serta mudah diakses oleh pemangku kepentingan sesuai dengan haknya.

2) Informasi yang harus diungkapkan meliputi, tetapi tidak terbatas pada, visi, misi, sasaran usaha dan strategi perseroan, kondisi keuangan, susunan dan kompensasi pengurus, pemegang saham pengendali, kepemilikan saham oleh anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris beserta anggota keluarganya dalam perseroan dan perseroan lainnya, sistem manajemen risiko, sistem pengawasan dan pengendalian internal, sistem dan pelaksanaan GCG serta tingkat kepatuhannya, dan kejadian penting yang dapat mempengaruhi kondisi perseroan.

3) Prinsip keterbukaan yang dianut oleh perseroan tidak mengurangi kewajiban untuk memenuhi ketentuan kerahasiaan perseroan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, rahasia jabatan, dan hak-hak pribadi.

4) Kebijakan perseroan harus tertulis dan secara proporsional dikomunikasikan kepada pemangku kepentingan.

b. Prinsip Akuntabilitas (Accountability)

Prinsip Akuntabilitas (Accountability) merupakan suatu perwujudan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan visi dan misi perusahaan, untuk mencapai tujuan-tujuan dan sasaran yang telah diterapkan58.

(38)

64

Prinsip Dasar Akuntabilitas (Accountability)59: Perseroan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perseroan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perseroan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.

Pedoman Pokok Pengelolaan Perseroan menurut Prinsip Akuntabilitas (Accountability):

1) Perseroan harus menetapkan rincian tugas dan tanggung jawab masing-masing organ perseroan dan semua karyawan secara jelas dan selaras dengan visi, misi, nilai-nilai perseroan (corporate values), dan strategi perseroan.

2) Perseroan harus meyakini bahwa semua organ perseroan dan semua karyawan mempunyai kemampuan sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan perannya dalam pelaksanaan GCG.

3) Perseroan harus memastikan adanya sistem pengendalian internal yang efektif dalam pengelolaan perseroan.

4) Perseroan harus memiliki ukuran kinerja untuk semua jajaran perseroan yang konsisten dengan sasaran usaha perseroan, serta memiliki sistem penghargaan dan sanksi (reward and punishment

system).

(39)

65

5) Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, setiap organ perseroan dan semua karyawan harus berpegang pada etika bisnis dan pedoman perilaku (code of conduct) yang telah disepakati.

c. Prinsip Responsibilitas (Responsibility)

Prinsip Responsibilitas (Responsibility) mencakup hal-hal yang terkait dengan pertanggungjawaban yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan kepada para pemegang saham maupun para pemangku kepentingan serta pemenuhan kewajiban sosial perusahaan60.

Prinsip Dasar Akuntabilitas (Accountability)61: Perseroan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen.

Pedoman Pokok Pengelolaan Perseroan menurut Prinsip Responsibilitas (Responsibility):

1) Organ perseroan harus berpegang pada prinsip kehati-hatian dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, anggaran dasar dan peraturan perseroan (by-laws).

2) Perseroan harus melaksanakan tanggung jawab sosial dengan antara lain peduli terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perseroan

60 Misahardi Wilamarta, Op.cit., hal. 70

60 Komite Kebijakan Nasional Governance, Op.cit., hal. 5 61 Komite Kebijakan Nasional Governance, Op.cit., hal. 6

(40)

66

dengan membuat perencanaan dan pelaksanaan yang memadai.

d. Prinsip Independensi (Independency)

Prinsip Dasar: untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perseroan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perseroan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.

Pedoman Pokok Pengelolaan Perseroan menurut Prinsip Independensi (Independency):

1) Masing-masing organ perseroan harus menghindari terjadinya dominasi oleh pihak manapun, tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu, bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest) dan dari segala pengaruh atau tekanan, sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara obyektif.

2) Masing-masing organ perseroan harus melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan, tidak saling mendominasi dan atau melempar tanggung jawab antara satu dengan yang lain.

e. Prinsip Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness)

Prinsip Dasar: Dalam melaksanakan kegiatannya, perseroan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.

(41)

67

Pedoman Pokok Pengelolaan Perseroan menurut Prinsip Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness):

1) Perseroan harus memberikan kesempatan kepada pemangku kepentingan untuk memberikan masukan dan menyampaikan pendapat bagi kepentingan perseroan serta membuka akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip transparansi dalam lingkup kedudukan masing-masing.

2) Perseroan harus memberikan perlakuan yang setara dan wajar kepada pemangku kepentingan sesuai dengan manfaat dan kontribusi yang diberikan kepada perseroan.

3) Perseroan harus memberikan kesempatan yang sama dalam penerimaan karyawan, berkarir dan melaksanakan tugasnya secara profesional tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, gender dan kondisi fisik.

Dengan melaksanakan kelima prinsip Tata Kelola Perseroan yang Baik (Good Corporate Governance) tersebut di atas, maka diharapkan, kepailitan dapat tercegah.

(42)

68 C. Kepailitan Perseroan Terbatas

Salah satu subjek hukum yang dapat dipailitkan adalah Perseroan Terbatas62. Untuk dapat memahami kepailitan Perseroan Terbatas, penulis membuat perbandingan antara Kepailitan Perseroan Terbatas dengan kebangkrutan Perseroan, pembubaran Perseroan dan likuidasi Perseroan.

1. Perbandingan Antara Kepailitan Perseroan Terbatas dengan Kebangkrutan Perseroan, Pembubaran Perseroan Dan Likuidasi Perseroan

Kepailitan Perseroan Terbatas adalah keadaan hukum yang ditetapkan oleh Pengadilan Niaga63 dimana sebuah Perseroan yang memiliki minimal dua kreditor dan terbukti tidak membayar paling sedikit satu hutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Sebagai konsekuensi hukum dari kepailitan tersebut semua aset Perseroan sebagai debitor pailit tersebut berada dalam sita umum (public attachment) yang dilakukan pengurusan dan pemberesannya oleh seorang atau lebih kurator yang berada di bawah pengawasan hakim pengawas yang diangkat bersama kurator oleh Pengadilan Niaga.

62 Subjek hukum yang dapat dipailitkan selain Perseroan Terbatas yaitu subjek hukum perorangan, bank, Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Re-asuransi, Dana Pensiun atau Badan Usaha Milik Negara. Lihat Pasal 2 ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004.

63 Dalam konteks Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal UU No. 37 Tahun 2004

(43)

69

Kata “tidak membayar” yang ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) memberikan pengertian bahwa UU No. 37 Tahun 2004 tidak mempertimbangkan apakah tidak dibayarnya utang yang terbukti secara sederhana telah jatuh tempo dan dapat ditagih tersebut disebabkan karena Perseroan sebagai debitor pailit tersebut tidak mau membayar (unwilling to pay debt) atau tidak mampu membayar utang (unable to pay debt/insolvent)tersebut kepada kreditornya64. Artinya, tidak dibedakan apakah keuangan Perseroan sebagai debitor pailit tersebut masih dalam keadaan sehat atau tidak, asalkan syarat dalam Pasal 2 ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004 tersebut terpenuhi, maka debitor tersebut akan dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga.

Oleh karena itu, status pailit belum secara otomatis menyatakan bahwa Perseroan sebagai debitor pailit tersebut berada dalam keadaan tidak mampu untuk membayar utang-utangnya (unable to pay debt/insolvent). Dapat saja Perseroan sebagai debitor pailit merupakan Perseroan besar dan memiliki keuangan yang sehat, namun dipailitkan karena tidak membayar utangnya (walaupun jumlah utangnya lebih kecil daripada jumlah asetnya ketika dipailitkan) yang telah terbukti jatuh tempo dan dapat ditagih.

Ketika Perseroan sebagai debitor pailit tersebut sebenarnya masih cukup mampu untuk melunasi utang-utangnya

64 Ricardo Simanjuntak SH, LLM, ANZIIF, CIP, Hukum Kontrak: Teknik

Perancangan Kontrak Bisnis, 2011, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hal. 294

(44)

70

kepada kreditornya, maka debitor pailit tersebut dapat mengajukan usulan perdamaian berdasarkan Pasal 144 UU No. 37 Tahun 2004) dimana bila usulan perdamaian yang diajukan oleh debitor pailit disetujui oleh seluruh kreditornya, maka apabila perdamaian tersebut diwujudkan, akan mengakibatkan berakhirnya status pailit dari debitor seperti yang diatur dalam Pasal 156 UU No. 37 Tahun 2004 dengan dilakukannya rehabilitasi berdasarkan Pasal 205 UUK65.

Akan tetapi sebaliknya, bila usulan perdamaian tersebut ditolak oleh para kreditornya, atau Perseroan sebagai debitor pailit tersebut tidak mengajukan usulan perdamaian, maka berdasarkan Pasal 178 UU No. 37 Tahun 2004 barulah debitor tersebut dinyatakan insolvent. Sejak Perseroan sebagai debitor pailit dinyatakan insolvent, kurator mulai melakukan pemberesan terhadap aset-aset debitor agar dapat digunakan untuk membayar seluruh kewajiban dari debitor pailit baik dalam bentuk biaya kepailitan ataupun kewajiban-kewajiban kepada kreditornya66.

Kebangkrutan Perseroan adalah keadaan dimana Perseroan mengalami krisis keuangan sehingga total kewajiban (liability) melebihi total aktiva (asset)67. Krisis

65 Valerie Selvie Sinaga, Analisa Putusan Kepailitan pada Pengadilan Niaga

Jakarta: Kumpulan Makalah Seri Workshop Kepailitan I-IV, 2005, hal. 184

66 Loc.cit.

67 Lihat: Dr. Mamduh M. Hanafi, MBA, Manajemen Keuangan, 2004, Yogyakarta: BPFE UGM, hal. 638

(45)

71

keuangan dapat terlihat melalui insolcency test yang terdiri dari cashflow test dan balance sheet test68.

Pada beberapa pembuktian ketidakmampuan membayar utang, “balance sheet test” disamakan dengan “cashflow

test” karena sama-sama menggambarkan laporan kondisi

keuangan Perseroan seperti dinyatakan oleh Ian Fletcher69 berikut ini:

“Balance sheet” insolvency sometimes referred to as a “cash flow” crisis, where the sum total of debt-present, future and contingent- exceeds the total value of all assets.

Tetapi sejatinya “balance sheet” dan “cashflow” merupakan laporan keuangan yang berbeda.

Menurut Professor Goode70, cash flow test relatif lebih mudah untuk diaplikasikan dalam praktek, agar pengadilan dapat melihat kegiatan aktual Perseroan, namun sebenarnya cash flow bukanlah fakta pembayaran utang yang telah jatuh tempo sebagai prasyarat untuk menyatakan Perseroan tersebut dalam keadaan insolvent:

“The cashflow test is relatively easy to apply in practice, for the court looks at what the company is actually doing; if it is not in fact paying its debts as they fall due it is assumed to be insolvent”

Berdasarkan pendapat Professor Goode tersebut, penulis menyimpulkan bahwa krisis keuangan yang menunjukkan keadaan bankrutnya Perseroan bukanlah krisis cashflow

68 R. M Goode, Principle of Corporate Insolvency Law, London: Sweet and Maxwell, 1990, hal. 26

69 Ian F. Fletcher, The Insolvency Law, London: Sweet and Maxwell, 1990, hal 5 70 Loc. cit. hal. 27

(46)

72

(pengeluaran lebih banyak daripada pemasukan) melainkan merujuk pada ketidakseimbangan posisi

balance sheet. dimana total kewajiban (liability) melebihi

total aktiva (asset).

Pentingnya membedakan antara krisis cashflow dan ketidakseimbangan posisi balance sheet adalah karena bisa jadi, cashflow Perseroan berada dalam kondisi tidak minus (pemasukan lebih besar daripada pengeluaran) tetapi ternyata sumber pemasukan tersebut berasal dari utang yang sebenarnya berposisi sebagai kewajiban (liability). Untuk mempermudah memahami posisi balance

sheet, perhatikan contoh balance sheet berikut:

Gambar 3. Neraca (balance sheet)71

Aset Lancar Kewajiban Lancar

Kas dan Sekuritas Utang

Piutang Utang jangka panjang

Persediaan

+ +

Aset Tetap Kewajiban Jangka Panjang

Aset berwujud +

Aset tidak berwujud Ekuitas Pemegang Saham

Dalam neraca (Balance Sheet) tersebut, utang Perseroan terhadap pihak ketiga tercakup dalam kewajiban (liabilities) pada bagian kanan. Dalam pembuktian keadaan insolvent dari suatu Perseroan dapat dianalisis dari balance sheet tersebut, yaitu dengan melihat perbandingan antara

71 Brealey Myers Marcus, Dasar-dasar Manajemen Keuangan Perusahaan, 2008, Jakarta: Erlangga, hal.58

(47)

73

kewajiban (liabilities) dan modal (equity)72. Jika liabilities > equity (jumlah utang lebih besar daripada modal), maka

Perseroan tersebut dikategorikan memiliki kemampuan yang rendah dalam membayar utang. Apalagi jika equity = 0, atau liabilities = 100%, maka Perseroan tersebut dikategorikan memiliki risiko tinggi (high risk), karena jika kreditor meminta pelunasan utang, maka jalan keluar satu-satunya adalah dengan mencairkan aset yang dimiliki oleh Perseroan tersebut. Inilah salah satu73 asal-muasal keadaan insolvent debitor dalam membayar hutangnya. Kebangkrutan (bankruptcy) memiliki persamaan arti dengan keadaan ketidakmampuan membayar hutang-hutangnya (insolvency). Kebangkrutan (bankruptcy) dan

ketidakmampuan membayar utang (insolvency)

mempunyai persamaan arti, yaitu keadaan

ketidakmampuan membayar utang karena krisis keuangan dalam Perseroan. Perbedaannya dikemukakan oleh Ian Fletcher74, bahwa insolvency adalah kondisi faktual, sedangkan bankruptcy adalah status hukum:

Distinction between “insolvency” and “bankruptcy”, “insolvency” as a factual condition and “bankruptcy” as a legal condition status.

72 Liabilities dan equity sama-sama merupakan sumber modal Perseroan. Bedanya,

liabilities merupakan modal yang bersumber kreditor dalam bentuk pinjaman/utang (payable), sedangkan equity merupakan modal yang bersumber dari investor berupa saham (stock). Wawancara dengan Marwata, SE, MSi. Ph.D, Dosen Akuntansi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2 Mei 2012

73 Selain ketidakmampuan untuk membayar utang (unable to pay), kepailitan bisa juga terjadi karena ketidakmauan debitor untuk utang (unwilling to pay)

(48)

74

Menurut penulis, dalam pranata hukum kepailitan Indonesia, fungsi balance sheet test dalam pranata hukum kepailitan di Indonesia, bukan sebagai pembuktian untuk memperkuat argumen mengenai utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, melainkan untuk pembuktian dalam usulan perdamaian bahwa Perseroan sebagai debitor pailit berada dalam keadaan mampu membayar utang-utangnya (able to pay/solvent).

Pembubaran Perseroan (dissolution) merupakan penghentian kegiatan usaha perseroan yang tidak mengakibatkan Perseroan kehilangan status badan hukum

sampai dengan selesainya likuidasi dan

pertanggungjawaban likuidator diterima oleh RUPS atau pengadilan75 atau pertanggungjawaban kurator diterima oleh hakim pengawas76. Dengan demikian, kepailitan merupakan salah satu penyebab bubarnya Perseroan77. Likuidasi (liquidation) merupakan pemberesan penyelesaian dan pengakhiran urusan Perseroan setelah bubarnya Perseroan, apakah bubarnya Perseroan disebabkan karena jangka waktu yang diatur dalam Anggaran Dasar telah berakhir, atau karena adanya keputusan baik keputusan RUPS maupun penetapan

75 Pasal 143 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007)

76 Pasal 142 ayat (2) huruf a UU No. 37 Tahun 2004. Likuidasi dilakukan oleh kurator dalam hal Pembubaran terjadi karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi. Lihat: Pasal 142 ayat (1) huruf e UU No. 37 Tahun 2004

77 Penyebab bubarnya Perseroan ada 6 (enam) hal yang diatur dalam Pasal 142 ayat (1) huruf a-f UU No. 37 Tahun 2004

(49)

75

pengadilan.78 Dalam hal pembubaran disebabkan oleh karena Perseroan telah dinyatakan pailit maka kuratorlah yang melakukan likuidasi. Pemberesan oleh kurator disebut likuidasi khusus79.

2. Tujuan Hukum Kepailitan Perseroan di Indonesia: Perbandingan dengan Hukum Kepailitan Amerika Serikat

Menurut David Milman dan Christopher Durrant80, tujuan utama (basic aims) Hukum Kepailitan Perseroan di Amerika Serikat:

a. To protect creditors – e.g., by providing facilities and procedures designed to allow them to enforce their claims against the company;

b. To balance the interests of competing groups on corporate insolvency;

c. To control or punish directors responsible for the financial collapse of the company.

Jika dibuat perbandingan dengan tujuan hukum di Amerika Serikat, maka tujuan hukum kepailitan Perseroan di Indonesia:

a. Dalam tujuan pertama, tujuan hukum kepailitan Indonesia dan AS cenderung sama yaitu bertujuan untuk melindungi kepentingan kreditor. Hal ini terlihat dari syarat untuk mengajukan permohonan pailit (Pasal 2 ayat 1) yang sederhana sehingga memudahkan

78 Bandingkan dengan Tri Budiyono, Hukum Perusahaan, 2011, Griya Media, Salatiga, hal. 236

79 Lihat Penjelasan Pasal 142 ayat (2) huruf a.

80David Milman dan Christopher Durrant, Corporate Insolvency:Law and

Referensi

Dokumen terkait

Seringkali, bentuk-bentuk gerakan rumit semivolunter muncul pada sisi yang sehat pada pasien dengan penyakit / lesi yang luas dalam satu hemisfer; mereka mungkin

Bila jarak antara kedua pusat lingkaran tersebut 15 cm dan panjang jari-jari lingkaran kecil 4 cm, maka perbandingan luas lingkaran kecil dengan luas lingkaran besar adalah

al., 2016; Agussalim dan Hartoni, 2014). Lokasi stasiun pengamatn dan pengukuran ekosistem mangrove di taman wisata mangrove klawalu. Pola zonasi pertumbuhan mangrove

Berdasarkan interpretasi citra landsat Zona Bandung, nampak bahwa pola aliran sungai yang berkembang di wilayah dataran antar gunung Garut Utara menunjukan

Pabrik pengolahan crumb rubber di perkebunan Tugu/Cimenteng tidak hanya mendapatkan bahan lateks dan lump dari kebun sendiri, namun juga bekerjasama dengan kebun kebun sekitar

Indokores Sahabat (Indokores) merupakan sebuah perusahaan produsen wig/hair piece yang berkedudukan di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Keputusan untuk mendirikan

Untuk file digital (softcopy), Sekretariat menyediakan 2 format formulir pengisian yaitu dalam bentuk word atau excel untuk dapat dipilih salah satu jenis formulir

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1 tingkat konsep diri berada pada kategori sedang dengan prosentase 68% sebanyak 34 anak asuh; 2 tingkat dukungan sosial berada pada kategori