• Tidak ada hasil yang ditemukan

11. PARADIGMA TEOANTROPOSENTRIS PADA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP EKSPLOITASI ANAK BERPROFESI ARTIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "11. PARADIGMA TEOANTROPOSENTRIS PADA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP EKSPLOITASI ANAK BERPROFESI ARTIS"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

148

11.

PARADIGMA

TEOANTROPOSENTRIS

PADA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

EKSPLOITASI ANAK BERPROFESI ARTIS

Firna Novi Anggoro Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung

anggorofirna@gmail.com

Abstrak

Anak yang berprofesi sebagai artis kerap mengalami eksploitasi pada saat proses produksi sinetron kejar tayang (stripping). Eksploitasi yang dialami berupa eksploitasi tubuh, eksploitasi ekonomi, eksploitasi tumbuh kembang, eksploitasi waktu luang dan eksploitasi akses pendidikan. Industri sinetron melakukan mistifikasi komoditi untuk menjadikan eksploitasi ini agar tidak dirasakan sebagai tindakan eksploitatif. Tulisan ini membahas bagaimana pengaturan negara terkait perlindungan hukum terhadap eksploitasi anak berprofesi artis dan bagaimana konsep perlindungan anak berprofesi artis yang berbasis teoantroposentris. Permasalahan tersebut akan dibahas melalui studi kepustakaan, baik dengan pendekatan konseptual, pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus.Pengaturan terkait perlindungan hukum terhadap eksploitasi anak yang berprofesi sebagai artis tersebar di beberapa peraturan perundang-undangan diantaranya Konvensi Hak Anak, Undang-Undang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Perfilman. Perlindungan anak berprofesi artis berbasis teoantroposentris harus mengacu konsep Maqashid al-syari’ah terutama dengan memperhatikan prinsip hifdz an-nafs.

Kata Kunci : Artis Anak, Eksploitasi, Perlindungan Hukum,

(2)

149 Latar Belakang

Dinamika perkembangan industri hiburan televisi di Indonesia bergerak pesat pada dua dasawarsa terakhir ini. Semua saling berkompetisi demi mendapatkan perhatian masyarakat (penonton). Kondisi tersebut menjadikan pertimbangan ekonomi sebagai tuntutan utama agar bagaimana caranya memproduksi program-program dengan biaya rendah namun memperoleh keuntungan yang besar. Pencapaian share dan rating yang tinggi, menjadikan para produser berlomba mencari peluang melalui lebih banyak menciptakan program berdurasi lebih panjang dengan artis yang lebih banyak. Konsekuensinya, banyak pihak yang akhirnya perlu dilibatkan. Tidak hanya orang dewasa, tetapi anak-anak juga terpaksa terjun menjadi pelaku industri hiburan. Disamping itu, figur anak baik secara fisik, sosio-emosional, maupun komunikasi memang memiliki daya tarik tersendiri dibandingkan orang dewasa, sehingga beberapa perusahaan (rumah produksi) melibatkan anak untuk meningkatkan nilai jual programnya.

Kita bisa menyaksikan sendiri ditayangan televisi, banyak anak-anak yang dilibatkan dalam industri sinetron kejar tayang (stripping)

baik sebagai pemeran utama maupun figuran. Dikarenakan tayang setiap hari, sinetron kejar tayangmembutuhkan proses produksi yang cepat dan harus diselesaikan sehari sebelum tayang. Sungguh ironis, dalam proses produksinya ditemukan sejumlah eksploitasi yang terjadi pada anak-anak (artis anak) diantaranya (Rahmiaji, 2016):

• Eksploitasi tubuh, dalam bentuk beban kerja yang tinggi, terpaksa tetap bekerja walaupun sakit, terabaikannya kualitas istirahat, minimnya fasilitas kesehatan yang diberikan;

• Eksploitasi ekonomi, dalam bentuk ketidakadilan upah, diskriminasi pekerja anak (antara artis anak dan dewasa, pemain bintang, rating), dominasi rumah produksi, anak dipekerjakan bukan sebagai penyaluran minat dan bakat (diturunkan dalam berbagai tindakan seperti pengelolaan pendapatan dan pengelolaan pekerjaan di bawah kendali orang lain, posisi tawar yang rendah, kepala keluarga tidak memiliki pekerjaan tetap, anak

(3)

150

bekerja sementara ibu pergi ke mall, anak sebagai tumpuan keluarga);

• Eksploitasi tumbuh kembang dalam bentuk tuntutan profesionalitas, pembatasan ruang bermain, ketiadaan tempat bermain yang ramah anak, terbatasnya pergaulan dengan anak sebaya, terbatasnya aktivitas bermain, terbatasnya waktu rekreasi, terbatasnya ruang privat, lingkungan bekerja yang tidak ramah anak, komunikasi yang tidak ramah anak, terpaan labelisasi yang tidak sehat, terpaan konsumerisme dan hedonisme, kecanduan media sosial, terpaan rokok, narkotika, dan seks bebas;

• Eksploitasi waktu luang, dalam bentuk pelanggaran jam kerja, terlalu banyak waktu menunggu dan syuting tidak mendahulukan anak-anak;

• Eksploitasi akses pendidikan, dalam bentuk memprioritaskan peluang kerja daripada pendidikan, syuting di jam sekolah dan syuting lewat tengah malam di hari sekolah.

Ditemukannya berbagai bentuk eksploitasi artis anak pemeran sinetron kejar tayang merupakan bukti nyata telah terjadi komodifikasi pekerja. Eksploitasi dalam industri sinetron (rumah produksi) ini berpotensi terjadi secara berkelanjutan, karena pihak yang menjadi objek eksploitasi adalah artis anak yang tidak memiliki kemampuan dan kesadaran untuk memperjuangkan haknya. Sementara, orang-orang dewasa (termasuk para orang-orang tua) yang seharusnya melindungi hak pekerja artis anak tersebut justru melakukan dan membiarkan eksploitasi tetap terjadi. Para orang tua artis akan menyangkal jika mereka sejatinya juga turut mengeksploitasi dengan dalih justru menjadi artis anak adalah sebagai bentuk penyaluran bakat minat anak sekaligus bentuk kemandirian ekonomi anak. Terlebih bagi orang tua yang berfinansial rendah tentu dengan bangga menyatakan bahwa anaknya berkeinginan sendiri sebagai bentuk bakti membantu orang tua.

Industri melakukan berbagai upaya untuk menjadikan eksploitasi ini agar tidak dirasakan sebagai tindakan eksploitatif. Peredaman

(4)

151

eksploitasi ini dilakukan dengan melakukan mistifikasi komoditi. Para artis anak mengalami mistifikasi ganda yakni reifikasi dan naturalisasi. Mistifikasi yang dijalankan adalah penyusupan fantasi popularitas. Para artis anak bertransformasi dari “pekerja anak” menjadi “bintang sinetron”, dengan segala privilege-nya atau yang disebut dengan reifikasi. Sedangkan, proses pengalamiahan penerimaan pekerja menjadi bintang disebut sebagai naturalisasi. Naturalisasi sebagai proses menjadikan alamiahnya perilaku yang sebenarnya bersifat eksploitatif sehingga diterima oleh seluruh pihak yang berkepentingan sebagai sesuatu yang normal dan harus diterima (taken for granted)

(Rahmiaji, 2016).

Dalam upaya mistifikasi, stereotip pekerja anak sebagai bintang mengaburkan konsep bekerja menjadi penyaluran bakat dan minat, eksploitasi menjadi logika profesionalitas, dan pelanggaran hak-hak anak menjadi konsekuensi pilihan pekerjaan. Semua ini dikemas dan dinaturalisasikan secara berkesinambungan salah satunya melalui program infotainment. Stereotip pekerja anak di industri hiburan televisi divisualisasikan bahwa anak bekerja dimedia televisi adalah pencapaian yang luar biasa, populer, membanggakan orang tua, diidolakan banyak orang, serta sukses secara finansial.

Padahal dibalik itu, beratnya beban pekerjaan ditambah eksploitasi yang menimpa para artis anak kerap menjadikan anak memutuskan untuk homeschooling atau bahkan putus sekolah (drop out). Banyak juga artis anak yang sedang mengenyam pendidikan di sekolah dasar dan menengah namun tidak memperoleh pendidikan secara layak lantaran banyaknya waktu yang dihabiskan di lokasi syuting. Belum lagi dampak negatif lainnya yang tentunya menjadikan anak dapat terganggu kesehatannya, perkembangan kognitifnya dan juga emosionalnya.

Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas dikemukakan permasalahan yaitu : 1. Bagaimana pengaturan negara mengenai perlindungan hukum

(5)

152

2. Bagaimana konsep perlindungan anak yang berprofesi sebagai artis berbasis teoantroposentris ?

Pembahasan

Pengaturan Mengenai Perlindungan Hukum Terhadap Anak Berprofesi Artis

Eksistensi pekerja anak di Indonesia bukanlah hal baru. Begitupun keberadaan pekerja anak yang berprofesi sebagai artis. Memang selama ini diskursus pekerja anak selalu ditujukan pada anak-anak yang bekerja sebagai buruh pabrik, pembantu rumah tangga, pekerja seks komersial, pekerja di perkebunan dan pertambangan, anak jalanan, dan lain-lain. Sementara pekerja anak yang berprofesi sebagai artis seringkali luput dalam pembahasan. Mungkin seperti apa yang telah dijelaskan di atas, karena anak yang berprofesi artis telah terjadi mistifikasi komoditas sehingga lebih cenderung dilihat karena popularitasnya dari pada statusnya sebagai seorang pekerja.

Pengaturan di Indonesia mengenai anak yang bekerja, secara jelas termuat dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK). Pada prinsipnya UUK tidak mendukung anak-anak untuk bekerja. Namun, UUK memberi beberapa pengecualian bagi anak berusia 13-15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial serta mencukupi beberapa syarat yang harus dipenuhi pengusaha yaitu 1) izin tertulis dari orang tua atau wali 2) perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali 3) waktu kerja maksimum 3 jam 4) dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah 5) keselamatan dan kesehatan kerja 6) adanya hubungan kerja yang jelas 7) menerima upah sesuai ketentuan yang berlaku.

Selanjutnya, pasal 71 UUK juga memberikan peluang anak-anak bekerja dengan tujuan untuk mengembangkan bakat dan minatnya disertai beberapa ketentuan sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. KEP.115/MEN/VII/2014 tentang Perlindungan Bagi Anak Yang Melakukan Pekerjaan Untuk Mengembangkan Minat dan Bakat

(6)

153

(Kepmen 115/MEN/VII/2014). Kepmen menyebutkan pekerjaan untuk mengembangkan minat dan bakat haruslah memenuhi kriteria yakni bisa dikerjakan anak sejak usia dini, diminati anak, berdasarkan kemampuan anak dan menumbuhkan kreativitas serta sesuai dengan dunia anak.

Kepmen 115/MEN/VII/2014 mewajibkan perusahaan yang mempekerjakan anak yang berumur kurang dari 15 tahun harus memenuhi persyaratan diantaranya perjanjian tertulis dengan orang tua, mempekerjakan di luar waktu sekolah, memenuhi ketentuan waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari dan 12 (dua belas) jam seminggu, menyediakan tempat dan lingkungan kerja yang bebas dari peredaran dan penggunaan narkotika, perjudian, minuman keras, prostitusi dan hal-hal sejenis yang memberikan pengaruh buruk terhadap perkembangan fisik, mental dan sosial anak, menyediakan fasilitas tempat istirahat selama waktu tunggu dan melaksanakan syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja.

Jika melihat ketentuan diatas, anak yang berprofesi sebagai artis masuk dalam lingkup pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minat anak sebagaimana diatur dalam Pasal 71 UUK dan Kepmen 115/MEN/VII/2014. Hal ini diperkuat juga dengan fakta bahwa sebelum anak masuk menjadi artis sinetron atau film, biasanya mereka mendalami bakat dan minatnya dengan aktif dalam sanggar akting atau menggeluti berbagai ajang model atau fashion show. Oleh karenanya anak-anak dan orang tuanya pun meyakini bahwa mereka (anak-anak) memiliki bakat di bidang seni.

Namun, jika melihat kembali beban kerja yang dialami para artis anak pemeran sinetron kejar tayang seperti waktu pekerjaan (syuting di jam sekolah), lama bekerja (bekerja lebih dari 3 jam bahkan hingga tengah malam dan nonstop bekerja setiap hari tanpa hari libur), minimnya perolehan fasilitas kesehatan dan fasilitas menunggu, lingkungan pekerjaan yang tidak ramah anak, diskriminasi upah, dan lainnya, maka industri sinetron telah melakukan pelanggaran atas UUK. Para artis anak pemeran sinetron tersebut mengalami pergeseran dari kategori mengembangkan bakat dan minat ke arah pekerja anak

(7)

154

yang dieksploitasi. Mereka dieksploitasi secara terselubung dan dinaturalisasi dengan istilah “bintang sinetron”.

Tidak hanya melanggar ketentuan UUK, eksploitasi yang dilakukan industri kepada artis anak pemeran sinetron kejar tayang juga melanggar ketentuan diluar UUK yaitu melanggar Pasal 72 ayat (6) dan Pasal 76i UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak). Beleid tersebut mengatur bahwa peran dunia usaha dalam upaya perlindungan anak dilakukan melalui 1) kebijakan perusahaan yang berperspektif anak 2) produk yang ditujukan untuk anak harus aman bagi anak 3) berkontribusi dalam pemenuhan hak anak melalui tanggung jawab sosial perusahaan. UU Perlindungan Anak juga melarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap anak. Selain itu, UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman (UU Perfilman) juga menyebutkan bahwa perlindungan hukum untuk insan perfilman anak-anak di bawah umur haruslah memenuhi hak-hak anak (terutama hak belajar dan bermain) dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Negara wajib melindungi artis anak pemeran sinetron kejar tayang dari berbagai bentuk eksploitasi. Untuk mencegah dan menghentikan praktik naturalisasi eksploitasi artis anak maka pengawas ketenagakerjaan perlu bekerjasama dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia dalam melakukan pengawasan, pemeriksaan serta evaluasi atas proses produksi sinetron kejar tayang sehingga permasalahan eksploitasi anak di industri hiburan televisi dapat ditangani secara komprehensif, tuntas dan berkesinambungan. Selain itu, diperlukan penegakan hukum (law enforcement) yang tegas, akuntabel dan efektif dengan menjatuhkan sanksi sesuai perundang-undangan yang berlaku terhadap industri sinetron (rumah produksi) bahkan juga orang tua artis yang sengaja membiarkan anaknya tereksploitasi atas profesinya tersebut. Hal tersebut sejalan dengan Pasal 32 Convention on the Rights of the Child (Konvensi Hak Anak) yang diratifikasi Indonesia dalam Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1996 yang menyatakan negara-negara peserta mengakui hak anak untuk dilindungi terhadap

(8)

155

eksploitasi ekonomi dan terhadap pelaksanaan setiap pekerjaan yang mungkin berbahaya atau mengganggu pendidikan atau merugikan kesehatan anak atau perkembangan fisik, mental, spiritual, moral atau sosial anak.

Konsep Teoantroposentris dalam Perlindungan Anak Berprofesi Artis

Pembongkaran mistifikasi komoditi yang dialami artis anak perlu segera dilakukan sehingga praktik eksploitasi artis anak yang dilakukan industri sientron dapat diakhiri. Penulis memandang perlu jika penerapan perlindungan artis anak berbasis teoantroposentris.

Perlindungan anak sendiri ditujukan sebagai upaya perlindungan terhadap kebebasan dan hak asasi anak serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. (Waluyadi, 2009). Konsep perlindungan artis anak berbasis teoantroposentris ini menekankan pada perlindungan nilai-nilai kemanusiaan yang berdasarkan dimensi spiritual. Konsep perlindungan pekerja anak yang berprofesi sebagai artis berbasis teoantroposentris dimaknai sebagai upaya pemberian makna terhadap praktik-praktik perlindungan hukum terhadap artis anak, melalui proses pelibatan nilai agama dalam menyelesaikan problem kemanusiaan. Konsep ini memandang hukum tidak mengabdi untuk hukum itu sendiri, tetapi hukum harus dinegoisasikan dengan tujuan dan kepentingan manusia dan masyarakat, hukum merupakan cermin rasional antara tuhan, manusia dan alam. (Izziyana, 2019)

Kedudukan anak di dalam agama islam memiliki posisi yang istimewa. Anak adalah karunia sekaligus amanah dari Allah SWT kepada manusia untuk dijaga, dibimbing serta dilindungi hak-haknya. Hal tersebut karena kondisi alamiah anak adalah individu yang lemah, belum matang baik secara fisik, mental maupun sosial sehingga membutuhkan perlindungan dari orang dewasa (orang tua). Tubuh kecil mereka membutuhkan banyak hal-hal positif bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Sehingganya dalam islam merawat dan mendidik anak adalah wajib. Kewajiban tersebut dibebankan kepada orang tuanya sebagaimana tercantum dalam Q.S. Al-Baqarah: 233.

(9)

156

Orang tua wajib melindungi dan memberi nafkah anaknya dan jika orang tua tidak mampu maka kerabat terdekat wajib melindunginya.

Menurut Asy-Syatibi, agama Islam mensyaratkan beberapa unsur yang wajib dipelihara dan diwujudkan oleh setiap manusia (termasuk anak-anak) yang dikenal dengan istilah Maqashid al-syariah yaitu memelihara agama (hifdz ad-din), memelihara jiwa (hifdz an-nafs),

memelihara akal (hifdz al-aql), memelihara keturunan (hifdz an-nasb),

dan memelihara harta (hifdz al-maal). Kelima hal tersebut bersifat ad-daruriyyah (yang bersifat pokok, mendasar). (Sumardi, 2014)

Dengan sifat anak yang rentan dan melihat dampak negatif yang diterima anak akibat mekanisme kerja serta eksploitasi pada proses produksi sinetron kejar tayang menghadirkan kemudharatan bagi masa depan anak bahkan dapat mengancam jiwa anak. Oleh karenanya konsep Maqasid al-syariah khususnya prinsip hifdz an-nafs harus menjadi prinsip utama dalam perlindungan artis anak berbasis

teoantroposentris.

Orang tua memiliki peran yang utama dalam melindungi anaknya (artis anak) dari berbagai bentuk kegiatan yang mampu mengancam keselamatan jiwa anak. Melindungi pekerja anak dari pekerjaan yang buruk merupakan kebutuhan dharuriyyah sehingga orang tua selalu melindungi dan merawat dari hal-hal yang membahayakan, termasuk menjadi pekerja anak. Hal tersebut sesuai dengan Q.S. an-Nisa : 233 “Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.

Kesimpulan

Pengaturan terkait perlindungan hukum terhadap eksploitasi anak yang berprofesi sebagai artis tersebar dibeberapa regulasi yakni Konvensi Hak Anak, Undang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang-Undang-Undang Perfilman. Pencegahan dan penghentian praktik naturalisasi eksploitasi artis anak

(10)

157

dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan bekerjasama dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia dalam rangka melakukan pengawasan, pemeriksaan sekaligus evaluasi sehingga permasalahan eksploitasi anak di industri hiburan televisi dapat ditangani secara komprehensif, tuntas dan berkesinambungan. Penegakan hukum (law enforcement) yang tegas, akuntabel dan efektif perlu dilakukan yaitu dengan menjatuhkan sanksi sesuai perundang-undangan yang berlaku terhadap industri sinetron (rumah produksi) bahkan juga orang tua artis yang sengaja membiarkan anaknya tereksploitasi atas profesinya tersebut. Konsep

teoantroposentris terhadap perlindungan anak yang berprofesi sebagai artis harus mengacu pada konsep Maqashid al-syariah yaitu dengan memperhatikan prinsip hifdz an-nafs (menjaga jiwa anak).

Rekomendasi

Kementerian Ketenagakerjaan perlu melakukan kerjasama dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia terkait pengawasan proses produksi sientron atau film yang melibatkan artis anak.

Daftar Pustaka

Izziyana, W. V. (2019). Hukum dan Pekerja Migran Indonesia: Studi Tentang Perlindungan Hukum Berbasis Teoantroposentris. Disertasi. Surakarta: Program Doktor S3 Ilmu Hukum, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Rahmiaji, L. R. (2016). Komodifikasi Pekerja Anak di Industri Sinetron Indonesia (Naturalisasi Eksploitasi Pekerja Anak di Sinetron Raden Kian Santang). Disertasi. Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Indonesia.

Sumardi, D. (2014). Maqasid Asy-Syariah Perspektif Pendidikan Hukum Islam, Adliya: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan.

Waluyadi. (2009). Hukum Perlindungan Anak. Bandung: CV Mandar Maju.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam kegiatan usaha penambangan, antara lain kesiapan dan tcrsediany a sumberdaya manusia ~ang memenuhi kriteri kerja.. dalam telaahan ini didapat paling sedikit 8 jenjang

Pengukuran SOD dan MDA dilakukan untuk mengetahui stres oksidatif dan peroksidasi lipid yang dihasilkan oleh radiasi dengan dosis 300 rad serta perubahannya

Indonesia merupakan pengguna terbanyak media sosial facebook dan media sosial lainnya. Tentu hal ini pada saat sekarang menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi jiwa

Sedangkan ketika proses pembelajaran praktik salat pada siklus I perkembangan salat anak usia dini sudah mulai berkembang diantaranya dari 13 orang siswa terdapat enam orang yang

Ketiga, Penyelesaian wanprestasi dalam perjanjian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan di PD BPR-BKK Karangmalang Kabupaten Sragen cabang Masaran antara lain Karena memang

Thomas Engel has taught chemistry for more than 20 years at the University of Washington, where he is currently Professor of Chemistry and Associate Chair for the Undergraduate

Hubungan tidak signifikan Free cash flow dengan kebijakan hutang dikarenakan perusahaan lebih mengutamakan dana internal perusahaan untuk kebutuhan investasi dan

Masalah utama dalam pembelajaran pada pendidikan formal (sekolah) dewasa ini adalah masih rendahnya daya serap peserta didik sebab orientasi pembelajaran hanya terkait dengan