• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan pengamatan, kukang Jawa mulai terlihat aktif pada

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan pengamatan, kukang Jawa mulai terlihat aktif pada"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL

Berdasarkan pengamatan, kukang Jawa mulai terlihat aktif pada sekitar pukul 18.00 WIB dan aktivitas berhenti pada sekitar pukul 05.00 WIB. Waktu terawal dimulainya masa aktif untuk kukang Jawa dalam pengamatan adalah pukul 17.45 WIB sedangkan waktu terlama diawalinya masa aktif adalah pukul 18.50 WIB. Waktu terawal diakhirinya masa aktif selama pengamatan adalah pukul 4.55 WIB sedangkan waktu terlama diakhirinya masa aktif adalah pada pukul 6.05 WIB.

1. POLA AKTIVITAS NOKTURNAL KUKANG JAWA

Berdasarkan pengujian statistika menggunakanShapiro-Wilk test, ketiga pasangan kukang Jawa (PK1, PK2, dan PK3) memiliki data yang berdistribusi normal untuk keempat aktivitas nokturnal.

a. Makan (feeding)

Hasil perhitungan dengan student t-testmenunjukkan persentase feeding antara jantan dan betina PK2 dan PK3 memberi perbedaan yang cukup signifikan dengan persentase rerata jantan dan betina bernilai 11,86% dan 9,75% dari masa aktif dengan nilai p < /2. Hasil perhitungan dengan

(2)

student t-testuntuk jantan dan betina PK1 tidak menunjukkan perbedaan dengan nilai p > /2 (Gambar 7). Hasil menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara jantan dan betina PK2 dan PK3, tetapi tidak dapat perbedaan pada PK1.

b. Aktif Sendiri

Hasil perhitungan dengan student t-testmenunjukkan persentase aktif sendiri antara jantan dan betina untuk ketiga pasang kukang Jawa (PK1, PK2, dan PK3) memberi perbedaan yang cukup signifikan (Gambar 8). Nilai rata-rata persentase aktif sendiri untuk jantan dan betina adalah 46,26% dan 35,64% dari masa aktif. Hasil menunjukkan bahwa jantan memiliki

persentase aktif sendiri yang lebih besar daripada betina dengan p < /2.

c. Non-Aktif

Hasil perhitungan dengan student t-testmenunjukkan persentase non-aktif antara jantan dan betina untuk ketiga pasang kukang Jawa memberi perbedaan yang cukup signifikan (Gambar 9). Nilai rata-rata persentase rerata non-aktif untuk jantan dan betina adalah 32,88% dan 45,77% dari masa aktif dengan nilai p < /2. Hasil menunjukkan bahwa betina memiliki persentase non-aktif yang lebih besar daripada jantan.

(3)

d. Interaksi Sosial

Interaksi sosial yang diamati dapat terjadi antar individu dalam pasangan maupun bukan dalam pasangan. Hasil perhitungan dengan student t-testmenunjukkan persentase interaksi sosial antara jantan dan betina untuk PK3 memberi perbedaan yang cukup signifikan dengan persentase jantan dan betina bernilai 11,48% dan 8,18% dari masa aktif dengan nilai p < /2. Hasil perhitungan denganstudent t-test menunjukkan persentase interaksi sosial antara jantan dan betina PK1 dan PK2 tidak menunjukkan perbedaan dengan nilai p > /2 (Gambar 10). Hasil

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara jantan dan betina PK3 dan tidak terdapat perbedaan antara jantan dan betina PK1 dan PK2.

2. PERILAKU SOSIAL DALAM PASANGAN

Berdasarkan pengujian statistika menggunakanShapiro-Wilk test, ketiga pasangan kukang Jawa (PK1, PK2, dan PK3) memiliki data yang berdistribusi normal untuk aktivitas vokalisasi danallo-grooming. Aktivitas mendekat, mengikuti, kontak, dan bermain tidak berdistribusi normal.

Hasil perhitungan dengan uji Anova untuk aktivitas dengan distribusi normal menyatakan bahwa terdapat perbedaan aktivitas vokalisasi dan allo-grooming untuk ketiga pasang kukang Jawa dengan p< /2. Hasil uji

Kruskal-Wallis pada aktivitas yang tidak berdistribusi normal untuk ketiga pasangan menunjukkan bahwa aktivitas mengikuti, kontak, dan bermain

(4)

berbeda untuk ketiga pasang kukang Jawa, dan tidak terdapat perbedaan untuk aktivitas mendekat.

Aktivitas Agresi hanya ditemukan pada PK3 dan aktivitasinverted embracehanya ditemukan pada PK2. Tidak ditemukan aktivitasmount maupun kopulasi pada ketiga pasang kukang tersebut (Gambar 11).

B. PEMBAHASAN

Masa aktif kukang dalam kandang rehabilitasi sesuai dengan pendapat Nekari (2001) dan Wiens (2002). Menurut Nekaris (2001: 223), masa aktif kukang dimulai saat matahari terbenam, sedangkan penurunan aktivitas akan terjadi secara drastis beberapa saat sebelum matahari terbit (Nekaris 2001: 223). Menurut Wiens (2002: 30), kukang merupakan Primata nokturnal yang aktif tak lama setelah matahari terbenam di alam. Menurut Bearder (lihat Smutsdkk.1987: 13), kukang pada umumnya akan

meninggalkan titik istirahatnya setelah matahari terbenam dan kembali lagi sebelum matahari terbit, dan seringkali berhubungan dengan level intensitas cahaya.

1. POLA AKTIVITAS NOKTURNAL KUKANG JAWA

a. Makan (feeding)

Berdasarkan pengamatan, jantan PK2 dan PK3 memiliki persentase yang lebih besar dibandingkan dengan betina. Pada hari ke-11 pengambilan

(5)

data, jantan dari PK1 mengalami iritasi kulit sehingga mengalami sedikit penurunan selera makan.

Menurut Mench dan Kreger (lihatKleimandkk.1996: 10), ketersediaan pakan di dalam kandang merupakan sebuah keseragaman kondisi sehingga tidak terjadi kompetisi dalam mencari pakan seperti di alam. Setiap malam, diberikan jangkrik sejumlah 20 ekor untuk setiap pasangan dengan asumsi setiap individu mengkonsumsi 10. Meski demikian, pada pengamatan jantan lebih banyak mengkonsumsi jangkrik yang disediakan dibandingkan betina. Persentase yang lebih tinggi pada jantan kemungkinan besar ada

hubungannya dengan persentase aktif sendiri yang lebih tinggi pada jantan dari betina (Jones 2005: 80).

Berdasarkan pengamatan, waktu yang digunakan untuk memakan jangkrik lebih lama daripada waktu yang digunakan untuk memakan buah-buahan. Meski demikian, menurut Barrett (lihat Bottcher-Lawdkk. 2001: 52), buah-buahan merupakan konsumsi terbesar kukang di alam saat waktu feeding. Kukang di alam akan melakukan teknik-teknik foraginguntuk meningkatkan efisiensifeeding dan untuk mengeksploitasi mangsa yang tersedia secara maksimal (Kumaradkk. 2005: 116).

b. Aktif Sendiri dan Non-aktif

Perilaku yang digolongkan sebagai aktivitas sendiri oleh pengamat dapat berupa lokomosi, menelisik sendiri (auto-grooming), urinasi, dan defekasi. Berdasarkan pengamatan, aktivitas pertama yang umumnya

(6)

dilakukan oleh kukang setelah meninggalkan titik istirahatnya adalah melakukan aktivitas sendiri berupa menelisik diri sendiri (auto-grooming). Hasil pengamatan menunjukkan jumlah presentase aktif sendiri yang tinggi untuk kukang Jawa diperoleh pada pukul 21.00 -- 04.00 WIB. Menurut Nekaris (2001: 233), kukang akan sangat aktif dari pukul 21.00 hingga pukul 24.00.

Berdasarkan perhitungan menggunakanstudent t-test, terdapat perbedaan yang signifikan untuk aktivitas aktif sendiri dan non-aktif antara jantan dan betina. Berdasarkan pengamatan dan grafik, terlihat bahwa jantan memiliki persentase aktif sendiri yang lebih besar daripada betina, sedangkan betina memiliki persentase non-aktif yang lebih besar daripada jantan.

Menurut Johnson dan Everitt (2000: 19), perbedaan jenis kelamin pada Primata seringkali dapat dicerminkan melalui perilaku. Perkembangan otak antara jantan dan betina pada umunya mengalami perkembangan yang berbeda sehingga pada akhirnya menghasilkan kadar hormon yang juga berbeda. Kadar hormon yang berbeda tersebut akhirnya menghasilkan perbedaan pola perilaku (Johnson dan Everitt 2000: 21).

Jones (2005: 61--62) menjelaskan bahwa betina pada umumnya bersifat sebagai penyimpan energi (energy maximizers) sehingga betina pada umumnya memiliki perilaku yang lebih pasif. Primata betina memiliki investasi yang cukup besar dalam aktivitas-aktivitas reproduksi antara lain adalah mengasuh anak. Berbeda halnya dengan betina, Primata jantan

(7)

bersifat sebagai penghemat waktu (time maximizers), sehingga jantan pada umumnya memiliki perilaku yang lebih agresif. Primata jantan memiliki investasi yang lebih sedikit dalam aktivitas reproduksi dan pengasuhan anak karena memiliki variasi tinggi dalam kesuksesan bereproduksi (Jones 2005: 79--80).

Pada hari ke-11 pengambilan data, jantan dari PK1 mengalami iritasi kulit yang tidak dapat diketahui penyebabnya, sehingga sebagian besar aktivitasnya digunakan untuk melakukan aktivitas sendiri dengan menggaruk bagian tubuhnya yang luka hingga rambut menjadi rontok (Gambar 12). Kukang jantan tersebut kemudian dioleskan obatamoxylin dangentamicin pada bagian-bagian tubuh yang luka dan dianggap mengalami iritasi. Diduga pada awalnya bahwa kukang jantan tersebut memiliki sebuah penyakit kulit. Salah satu kekurangan kandang rehabilitasi adalah mudahnya terjadi

penyebaran penyakit menular dan hal tersebut merupakan hal yang ditakutkan terjadi pada PK1, namun penyakit iritasi kulit pada jantan PK1 ternyata tidak menular. Hingga akhir pengamatan, iritasi kulit pada jantan tersebut tidak kunjung sembuh dan kondisi jantan yang sedemikian rupa belum diketahui penyebabnya dan belum diberi perawatan lebih lanjut.

c. Interaksi Sosial

Berdasarkan perhitungan menggunakanstudent t-test, tidak terdapat perbedaan yang signifikan untuk aktivitas interaksi sosial pada PK1 dan PK2, sedangkan terdapat perbedaan untuk PK3. Ketiga pasang kukang Jawa

(8)

tersebut memiliki posisi dan kondisi kandang yang berbeda-beda dalam karantina (Gambar 13).

PK1 berada dalam kandang yang diapit antara kandang kukang Jawa betina yang tidak berpasangan dan kandang PK2. Di antara setiap kandang telah dilapisi oleh lapisanfiberyang berfungsi untuk mengurangi interaksi antar kandang. Meski demikian, lapisfiber tersebut telah dibuka oleh kukang Jawa betina yang tidak berpasangan, sehingga terdapat interaksi antara PK1 dengan kukang Jawa betina di kandang tetangga. Berdasarkan pengamatan, baik jantan maupun betina dari PK1 melakukan interaksi dengan kukang Jawa betina tetangganya. Sekitar 11,1% dari aktivitas interaksi sosial jantan maupun sosial betina dihabiskan bersama kukang Jawa betina tetangganya. Berbeda dengan keadaan di kandang, kegiatan interaksi sosial yang dijumpai di alam merupakan ± 3 % dari masa aktifnya (Wiens dan Zitzmann 2003: 40). Antara jantan PK1 dengan betina kandang sebelah ditemukan perilaku allo-groomingdansocial play, sedangkan antara betina PK1 dengan betina tetangganya ditemukan perilaku allo-grooming,contact, dan terkadang agresi. Menurut Vitale dan Manciocco (2004: 183--184), apabila pasangan tersebut dapat melihat atau melakukan kontak dengan individu lain

sejenisnya, ada kemungkinan terjadinya perilaku agresi terhadap kompetitor seksualnya.

Kukang Jawa PK2 juga diapit oleh kandang kukang Jawa PK1 dan kukang Jawa betina. Meski demikian, tidak ada upaya dari individu-individu PK2 untuk membukafiber. Meski ada celah di bagian belakang kandang

(9)

yang dapat memungkinkan interaksi antara PK1 dengan PK2, pengamat tidak menemukan perilaku sosial apapun antara kedua pasang kukang tersebut, hanya saja jantan dari PK1 dan jantan dari PK2 seringkali ditemukan di dekat celah tersebut.

Sebelum pengambilan data, kukang Jawa PK2 berada dalam kandang yang berbeda dan terisolasi dari kukang-kukang lainnya dan kemudian

dipindahkan karena kondisi kandang sebelumnya telah rusak. Menurut Watts dan Meder (lihatKleiman dkk.1996: 69), beberapa jenis hewan termasuk Primata membutuhkan waktu yang cukup lama untuk beradaptasi dalam perpindahan kandang.

Berbeda halnya dengan kukang Jawa PK1 dan PK2, kukang Jawa PK3 berada dalam kandang yang berseberangan dengan individu kukang Jawa lainnya meski kemungkinan masih dapat melihat namun tidak dapat melakukan interaksi. Meski demikian, kukang Jawa PK3 memiliki letak kandang yang berada di sebelah pasangan jantan dan betina kukang

Sumatera. Lapisanfiber yang melapisi antar kandang juga telah dibuka oleh individu-indidividu kukang tersebut sehingga memungkinkan terjadinya perilaku antar kandang. Selama pengamatan, tidak ditemukan interaksi antara betina kukang Jawa PK3 dengan pasangan kukang Sumatera di kandang sebelah, namun seringkali dijumpai interaksi antara jantan kukang Jawa PK3 dengan kukang Sumatera jantan disebelahnya. Sekitar 16,05% dari aktivitas interaksi sosial kukang Jawa jantan PK3 dihabiskan untuk berinteraksi dengan kukang Sumatera jantan dari kandang sebelah. Perilaku

(10)

yang umumnya dijumpai adalah perilaku agresi. Perilaku agresi pada

umumnya dijumpai antara 2 individu dengan jenis kelamin yang sama (Vitale dan Manciocco 2004: 183--184).

2. PERILAKU SOSIAL DALAM PASANGAN

Berdasarkan hasil pengamatan, terdapat perbedaan perilaku sosial antara ketiga pasang kukang Jawa untuk setiap parameter perilaku. Hal tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh perbedaan tingkat keselarasan antara jantan dan betina. Menurut Watts dan Meder (lihatKleimandkk.1996: 69), memonogamikan hewan jantan dan betina dalam satu kandang pada umumnya akan dijumpai perilaku-perilaku sosial, namun belum tentu di antara individu tersebut ada keselerasan antara satu dengan yang lainnya untuk melakukan perilaku seksual. Kukang merupakan hewan soliter yang sistem kawinnya belum diketahui dengan jelas meski diduga sebagai hewan dengan sistem kawin acak (promiscuity) (Wiens dan Zitzmann 2003: 42).

Menurut Muller dan Thalmann (lihat Wiens dan Zitzmann 2003: 35), pada hewan soliter, individu dapat berada pada wilayah yang sama karena adanya beberapa keuntungan-keuntungan intrinsik yang didapatkan secara langsung. Keadaan yang dijumpai hewan soliter pada keadaan seperti itu dapat terjadi meski jarang terjadi interaksi antar individu.

(11)

a. Agresi

Perilaku agresi ditemukan pada PK3 sedangkan, pada PK1 dan PK2 tidak ditemukan. Menurut Vitale dan Manciocco (2004: 183--184), perilaku agresi jarang sekali terjadi pada pasangan jantan dan betina dan pada umumnya terjadi antara sesama kelamin baik itu sesama jantan maupun sesama betina. Dalam 20 hari pengamatan, perilaku agresi antara jantan dan betina PK3 hanya dijumpai 2 kali. Perilaku agresi yang dijumpai pada pasangan hanya berupaManual defensive threatdan Assertion. Manual defensive threatmerupakan peristiwa mendorong, menarik, atau memukul dengan tangan satu individu terhadap individu lainnya, sedangkan assertion merupakan peristiwa saat satu individu merebut makanan dari individu lainnya (Bottcher-Lawdkk.2001: 24--25).

Adanya perilaku agresi yang terjadi pada PK3 dapat memberi asumsi bahwa terdapat ketidak-selarasan antara jantan dan betina pada pasangan tersebut. Tidak terdapatnya perilaku agresi antara jantan dan betina pada PK1 dan PK2 memberi asumsi bahwa terdapat keselarasan pada kedua pasangan tersebut.

b. Vokalisasi

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perilaku vokalisasi terbesar dilakukan oleh PK2 dan PK1, sedangkan PK3 jarang sekali melakukan vokalisasi. Vokalisasi dalam pasangan seringkali terjadi sebelum masa

(12)

istirahatnya pada pagi hari. Berdasarkan pengamatan, tidak ditemukan vokalisasi berupapant-growlnamun vokalisasi yang ditemukan adalah vokalisasialternate click-calls.

Komunikasi antara individu kukang pada umumnya dilakukan melalui sinyal-sinyal kimiawi dan vokalisasi (Radhakrisna dan Singh 2002: 181). Menurut Wiens dan Zitzmann (2003: 41), ada 2 jenis vokalisasi yaitu vokalisasipant-growlyang lebih merujuk ke arah agresi, dan vokalisasi alternate click-callsyang pada umumnya dilakukan sebelum kukang istirahat di menjelang pagi dan kukang akan merapat satu sama lain dengan posisi sleeping ball sambil melakukan vokalisasi tersebut. Adanya vokalisasi click-callsmenunjukkan perilaku kekerabatan antara individu kukang.

c. Mendekat, mengikuti, dan kontak

Berdasarkan pengamatan, perilaku mendekat, mengikuti dan kontak terdapat pada PK1, PK2 dan PK3. Perilaku kontak pada umumnya ditemukan saat individu sedang istirahat bersama atau masing-masing individu

melakukan auto-grooming bersebelahan dan bukanallo-grooming (Bottcher-Law dkk. 2001: 9).

Menurut Southwick dan Siddiqi (1974: 404), ketiga perilaku di atas termasuk ke dalam perilakuclose-contact. Perilakuclose-contact merupakan salah satu faktor penting dan dominan dalam rangka meningkatkan keeratan hubungan sosial hewan. Adanya perilaku mendekat, mengikuti dan kontak menunjukkan menunjukkan adanya keselarasan antar dua individu kukang.

(13)

d. Bermain (social play) dan Eksplorasi Sosial (social explore)

Berdasarkan hasil pengamatan,social playdansocial exploreterdapat pada PK1, PK2 maupun PK3. Perilakusocial play yang diamati seringkali tampak agresif dan dilakukan dengan cara satu individu yang mencoba menggigit atau menyerang individu lainnya sambil kedua individu kukang menggantung di atas kawat kandang. Perilakusocial play dilakukan kukang dengan cara menggantung dan seringkali tampak seperti agresi namun tanpa adanya vokalisasi (Bottcher-Lawdkk. 2001: 23). Meski terlihat seperti

berkelahi, peristiwa bermain bersama tidak berakhir dengan adanya pemenang pada akhirnya dan juga diselingi olehallo-grooming.

Berbeda halnya dengansocial play,perilakusocial exploremerupakan peristiwa saling mencium tubuh satu sama lain yang dimulai dari bagian kepala hingga ke bagian dorsal (Bottcher-Law dkk. 2001: 14). Menurut

Southwick dan Sidiqqi (1974: 404), kedua aktivitas tersebut termasuk perilaku yang dapat menunjukkan interaksi sosial yang positif dan dapat menciptakan keeratan hubungan sosial. Adanya perilaku social playdansocial explore memperlihatkana adanya keselarasan antar individu kukang.

e. Saling menelisik (allo-grooming)

Hasil menunjukkan perilakuallo-groomingterdapat pada PK1, PK2 dan PK3. Allo-grooming merupakan perilaku pasangan yang sering ditemui di dalam kandang rehabilitasi. Di antara hewan Prosimii,allo-grooming

(14)

merupakan perilaku interaksi sosial yang cukup sering dijumpai (Southwick dan Siddiqi 1974: 405). Perilakuallo-groomingmerupakan interaksi positif antar individu (Wiens dan Zitzmann 2003: 41). Menurut Alexander (lihat Wiens dan Zitzmann 2003: 43),auto-grooming maupunallo-grooming dapat mereduksi jumlah ektoparasit.

Menurut Southwick dan Siddiqi (1974: 404--405), perilaku

allo-groomingdiasumsikan sebagai perilaku kooperatif bergabung tersebut akan menghasilkan keuntungan bagi kedua individu. Allo-grooming selain

berfungsi sebagai faktor dalam higienitas hewan, juga memiliki peran sosial dan komunikatif yang cukup besar dalam menjaga keharmonisan antara individu yang berada dalam proksimitas yang cukup dekat seperti dalam satu kandang. Allo-grooming selain dapat mereduksi parasit yang terdapat pada bulu hewan, juga meningkatkan keeratan hubungan antar individu (Wiens dan Zitzmann 2003: 44). Adanyaallo-groomingmenandakan adanya atraktivitas dan keselarasan antar individu.

f. Saling menelisik dengan posisi terbalik (Inverted Embrace)

Satu-satunya pasangan yang diamati telah melakukaninverted embrace hanyalah PK2. Selama pengamatan 20 hari, peristiwainverted embrace hanya dijumpai 2 kali dalam waktu yang cukup singkat (± 1 menit). Inverted embrace merupakan perilaku yang menandakan adanya perilaku seksual diantara jantan dan betina.

(15)

Peristiwainverted embrace ditunjukkan dengan adanya satu individu bergantung terbalik dan individu lain bergantung tegak sambil menyentuh dan menjilat daerah kelamin pasangan (Bottcher-Lawdkk.2001: 14). Penjilatan daerah kelamin pada umumnya dilakukan oleh jantan terhadap betina untuk mendeteksi bau feromon yang terdapat pada alat kelamin betina. Bau feromon merupakan bau yang menandakan masa reseptivitas betina terhadap jantan.

Menurut Hadley (2000: 11 dan 465), feromon merupakan senyawa kimia yang diproduksi oleh individu dan dikirim melalui udara yang kemudian diterima oleh pasangan dalam satu jenis melalui organ olfaktori dan indra penciuman. Adanya perilaku inverted embrace menunjukkan adanya atraktivitas dan proreseptivitas dalam pasangan yang dapat menuju ke perilaku-perilaku seksual berikutnya. Meski demikian, perilaku seksual tersebut tidak dilanjutkan karena betina tidak berada dalam masa reseptif.

g. Menaiki (Mounting) dan Kopulasi

Selama pengamatan, tidak dijumpai perilakumountingmaupun kopulasi. Kemungkinan besar hal tersebut disebabkan oleh masa

pengamatan yang tidak berada pada masa estrus betina. Selama periode pengamatan tidak dijumpai indikasi perilaku yang kemungkinan mengarah ke estrus betina dengan adanya perilaku reseptivitas dari betina.

(16)

Siklus estrus kukang betina hanya berlangsung selama ±40 hari dan

diantaranya terdapat masa estrus yang berlangsung hanya 1--2 hari (Wiens dan Zitzmann 2003: 42).

Menurut Izarddkk. (1988: 331), laju suksesi reproduksi pada kukang sangat rendah di dalam penangkaran dan kemungkinan besar disebabkan karena kukang tidak berada pada kondisi aslinya di alam. Kondisi kandang menjadi faktor utama suksesi reproduksi kukang di penangkaran, dan hingga saat ini belum ditemukan perilaku reproduksi tersebut di karantina PPS. Hal tersebut juga dapat disebabkan oleh kondisi kandang yang kurang

menunjang munculnya perilaku reproduksi (Bottcher-Lawdkk. 2001: 82).

3. PERBEDAAN POLA AKTIVITAS KUKANG JAWA DI KANDANG DENGAN DI ALAM

Berdasarkan pengamatan, terdapat perbedaan aktivitas nokturnal antara jantan dan betina (Gambar 14) (Tabel 1). Perbedaan antara pola aktivitas di alam dengan di kandang juga didapatkan (Tabel 2). Penelitian Wiens (2002) terhadap kukang Jawa di alam menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pola aktivitas jantan dan betina. Meski demikian menurut Jones (2005: 61, 79), dalam faktor lingkungan yang diperlukan adaptasi, perilaku antara jantan dan betina akan menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan.

Perbedaan awal perilaku jantan dan betina terletak pada pengaturan sistem syaraf pusat yang dipengaruhi oleh kadar hormon yang berbeda

(17)

(Johnson dan Everitt 2000: 21). Selain itu, kemungkinan respon jantan dan betina terhadap lingkungan juga berbeda. Menurut Jones (2005: 79--80), terletak pada perbedaan kemampuan untuk mengontrol kondisi

lingkungannya dan berkaitan erat dengan strategi reproduksinya. Kukang Jawa yang berada dalam karantina Pusat Primata Schumtzer berasal dari perdagangan liar dan diasumsikan telah mengalami dinamika perilaku adaptasi terhadap kondisi lingkungan yang sering berubah. Terjadinya perubahan pola aktivitas kukang Jawa dapat dipengaruhi oleh dua hal, yaitu kemampuan fleksibilitas kukang dalam beradaptasi dan kondisi kandang. Menurut Mench dan Kreger (lihatKleimandkk.1996: 10), adanya perbedaan perilaku tersebut juga dapat disebabkan oleh kondisi habitat yang diciptakan dalam kandang.

Menurut Bottcher-Lawdkk. (2001: 82), kandang rehabilitasi dengan kondisi habitat yang baik bagi hewan, akan tercermin melalui pola

aktivitasnya yang mirip dengan pola di alam. Meski demikian, adanya perbedaan yang ditemukan antara kandang dan alam menunjukkan bahwa kondisi kandang memungkinkan dapat ditemukannya perilaku yang tidak alami dan pada dasarnya tidak ditemukan di alam bebas namun dianggap menguntungkan dan normal dalam lingkungan kandang (Fitch-Snyder dan Schulze 2003: 14--15; Schulze 2006: 1). Suatu perilaku dapat dikatakan abnormal apabila tidak memiliki fungsi, tujuan, atau keuntungan bagi individu, sebaliknya dapat merugikan atau membahayakan individu (Schulze 2006: 1).

(18)

Kandang kukang yang terdapat di karantina PPS berukuran panjang 2 m, lebar 2,2 m, dan tinggi 2,5 m dan cukup menyerupai ukuran kandang minimal kukang berdasarkan Bottcher-Lawdkk.(2001: 71) yang seharusnya berukuran panjang 2,5 m, lebar 2,5 m, dan tinggi 2,5 m. Menurut Mench dan Kreger (lihatKleimandkk. 1996: 13), perilaku pada umumnya dipengaruhi oleh luas dan kondisi lingkungan. Luas ruangan yang sesuai merupakan faktor yang penting. Keterbatasan wilayah berpengaruh terhadap responsi hewan ke lingkungan sekitarnya.

Kandang seluruhnya berupa terali besi dan terdapat dalam ruangan karantina. Setengah dari bagian atas kandang terbuka, sehingga cuaca dan suhu dipengaruhi kondisi alam dan dapat mempengaruhi hewan tersebut. Selama pengamatan 20 hari, fluktuasi cuaca di Jakarta Selatan tidak cukup stabil dan diantara 20 hari tersebut ada beberapa hari saat terdapat hujan yang cukup deras. Suhu tertinggi yang terjadi pada malam hari adalah 28°C sedangkan suhu terendah yang terjadi adalah 20°C. Suhu tersebut cukup sesuai dengan kandang kukang yang seharusnya memiliki nilai minimum 18,5°C dan maksimum 30,5°C (Bottcher-Lawdkk.2001: 71).

Berbeda dengan suhu, nilai kelembaban di karantina PPS hampir selalu stabil dengan nilai 90%, sedangkan nilai kelembaban kandang yang sesuai dengan kukang adalah sekitar 70% (Bottcher-Lawdkk.2001: 78). Meski demikian, menurut Mench dan Kreger (lihat Kleimandkk.1996: 10), fluktuasi suhu yang tidak stabil dan kondisi cuaca yang tidak menentu tersebut sepenuhnya mempengaruhi kondisi dan perilaku kukang-kukang di

(19)

karantina tersebut yang hanya dapat mengandalkan sistem immunitas yang berbeda-beda untuk setiap individu.

Secara umum, keuntungan sebuah kandang rehabilitasi adalah tidak adanya predator maupun kompetitor (Bottcher-Lawdkk.2001: 82). Meski demikian, Menurut Hinshawdkk.(lihatKleimandkk.1996: 17), adanya campur tangan manusia dapat mengubah pola aktivitas kukang karena memicu tekanan atau meningkatkan rasa ketergantungan terhadap manusia. Kemungkinan yang dapat menjadi faktor peubah perilaku hewan adalah keberadaan manusia, baik itu pengamat maupunkeeper.

Kukang Jawa di Pusat Primata Schmutzer merupakan hasil sitaan dari perdagangan hewan liar. Beberapa perlakuan yang tidak layak telah

dilakukan oleh para pedagang hewan liar terhadap individu-individu kukang tersebut, salah satu diantaranya adalah memotong atau mencabut gigi taring kukang untuk memberi kesan kepada pembeli bahwa kukang merupakan hewan yang tidak berbahaya dan layak dijadikan hewan peliharaan. Semua individu kukang di Pusat Primata Schmutzer sudah tidak lagi memiliki kondisi gigi yang baik dan hal itu memungkinkan terjadinya perubahan pola aktivitas. Menurut Hishawdkk.(lihatKleimandkk. 1996: 20--21), Kondisi kukang dengan gigi yang dipotong merupakan salah satu faktor besar dalam

kesehatan. Kukang termasuk salah satu hewan yang sangat rentan terhadap penyakit periodontal. Gigi memiliki fungsi penting dalam kehidupan kukang selain untuk makan, namun digunakan juga untukgrooming dan pertahanan diri. Menurut Napier dan Napier (1985:40), ketidak-mampuan menggunakan

(20)

gigi dengan baik memicu terjadinya perubahan pola makan dan proses digestivus yang menurun. Proses digestivus yang menurun tersebut

mengakibatkan kurangnya asupan energi sehingga dapat menjadi salah satu faktor atas ketidakberhasilan reproduksi di dalam kandang rehabilitasi.

Menurut Vitale dan Manciocco (2004: 181), kondisi habitat yang sesuai dan nyaman bagi suatu spesies akan dapat mempertahankan perilaku yang sama atau tidak terlalu menyimpang dari perilakunya di alam. Seandainya kondisi habitat yang maksimal sudah dapat penuhi di kandang, maka kehidupan ataupun generasi hewan tersebut dapat diperpanjang (Bottcher-Lawdkk.2001: 82).

Terdapatnya perubahan pola aktivitas nokturnal mencerminkan dinamika perilaku adaptasi pada kukang Jawa. Kukang Jawa yang ada di karantina Pusat Primata Schmutzer telah menyesuaikan diri ke dalam kondisi lingkungan yang sering berubah. Perubahan tersebut dimulai dari saat diambilnya kukang dari alam, perlakuan di dalam perdagangan liar dan perpindahan ke dalam kandang rehabilitasi. Kemungkinan besar proses adaptasi masih terus berubah hingga terbentuk pola aktivitas yang sudah teradaptasi dengan kandang rehabilitasi.

Referensi

Dokumen terkait

Batubara daerah Ransiki, Papua Barat menarik untuk diteliti karena berada pada Formasi Tipuma yang berumur Pra-Tersier.. Batubara Pra-Tersier ini diharapkan memiliki potensi

Studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan how (bagaimana), atau why (mengapa), bila peneliti memiliki

2) Jepang kalah dalam strategi dan taktik untuk menghadapi Amerika Serikat. Taktik serangan cepat yang dilakukan Jepang sulit berhasil. Meskipun pada awalnya

Penelitian ini bersifat korelasional (hubungan) untuk itu data yang dikorelasikan harus memiliki dua syarat yaitu data berdistribusi normal dan antara variabel X dengan

Dalam penelitian ini ada tiga hal penting yang diteliti yaitu mengenai latar belakang terjadinya merarik pocol, pelaksanaan adat merarik pocol dan pandangan

Sur içi İstan­ bul’unun alışveriş merkezi olmak gibi önemli bir görevi üstlenen bu beş buçuk yüzyıllık dükkanlar top­ luluğu, bugün de hâlâ aynı

Distilat minyak nilam yang dihasilkan dari proses distilasi fraksinasi vakum dianalis mutunya berupa kadar patchouli alcohol , sedangkan analisis mutu kristal