• Tidak ada hasil yang ditemukan

memberikan informasi tentang beberapa daftar penelitian LAI dengan pendekatan optik dan hukum Beer-Lambert.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "memberikan informasi tentang beberapa daftar penelitian LAI dengan pendekatan optik dan hukum Beer-Lambert."

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

memberikan informasi tentang beberapa daftar penelitian LAI dengan pendekatan optik dan hukum Beer-Lambert.

2.7. Konsep Dasar Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi mengenai sebuah objek, area atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dari alat yang tidak bersentuhan langsung dengan objek, area atau fenomena yang sedang diamati (Lillesand & Kiefer, 1997). Prinsip dasar penginderaan jauh adalah perekaman informasi dengan menggunakan matahari dan sumber energi dalam sensor sebagai sumber tenaga. Radiasi yang dipancarkan oleh matahari atau sumber energi lainnya akan dipantulkan kembali oleh permukaan bumi dan atmosfer dalam bentuk reflektansi permukaan. Hasil pantulan tersebut akan direkam oleh sensor satelit. Hasil perekaman tersebut akan digunakan dalam proses pengolahan data untuk memperoleh informasi tentang permukaan bumi.

Rentang spektral yang umum digunakan dalam penginderaan jauh untuk merekam sumberdaya yang terdapat di permukaan bumi umumnya berkisar antara 0.4 – 12 μm (mencakup sinar tampak dan infra merah) dan gelombang mikro 30 – 300 μm. Penginderaan jauh yang menggunakan gelombang antara 0.4 – 12 μm umumnya disebut dengan penginderaan jauh optik (optical remote sensing). Sementara penginderaan jauh yang dilakukan menggunakan gelombang mikro dikenal dengan penginderaan jauh gelombang mikro (microwave remote sensing) (Djumhaer, 2003).

2.8. Perkembangan Penginderaan Jauh Satelit

Periode penginderaan jauh satelit secara sederhana telah dimulai sejak tahun 1946-1950 saat roket V-2 yang diluncurkan dari White Sand Meksico berhasil membawa kamera berukuran kecil yang membuat beberapa gambar bumi dari angkasa luar (Lillesand & Kiefer, 1997). Walaupun berhasil, akan tetapi misi ini belumlah menjadikan penginderaan jauh permukaan bumi sebagai program utama. Era penginderaan jauh sebenarnya baru dimulai pada saat NASA meluncurkan Earth Resources Technology Satellites (ERTS) yang berubah namanya menjadi Landsat pada tahun 1972 (Lillesand & Kiefer, 1997). Sukses ini berlanjut dengan munculnya Landsat-2, Landsat-3, Landsat-4, sampai Landsat-7. Penginderaan jauh satelit termasuk salah satu jenis optical remote

sensing yang menggunakan gelombang sinar tampak dan infra merah sebagai sumber energi, dan satelit sebagai platform-nya. Dengan cara ini terjadi penggabungan antara teknologi penginderaan jauh dengan eksplorasi angkasa luar (Lillesand & Kiefer, 1997).

2.8.1. Karakteristik Satelit Landsat ETM+

Enhanced Thematical Mapper Plus

(ETM+) merupakan sensor yang digunakan oleh Landsat-7 menyusul kegagalan peluncuran Landsat-6 pada tahun 1993. Sensor ini dirancang untuk menjaga kontinuitas perekaman dari Landsat-5 TM. Berdasarkan tujuan tersebut, ETM+ ditempatkan di orbit dengan posisi hampir sama dengan Landsat-5 TM. ETM+ memiliki tujuh kanal spektral dan resolusi spasial yang sama dengan TM yaitu 30m x 30m. Kelebihan utama yang dimiliki oleh ETM+ adalah penambahan kanal pankrometrik yang beroprasi pada panjang gelombang 0.5 – 0.9 μm dengan resolusi spasial 15 x 15 m (Lillesand & Kiefer, 1997).

III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian berlangsung dari Bulan April – Juli 2006 di Laboratorium Meteorologi dan Kualitas Udara, Departemen Geofisika Dan Meteorologi FMIPA – IPB.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam analisis dan pengolahan data adalah seperangkat komputer dengan beberapa perangkat lunak sebagai penunjang, yaitu Ms. Office 2003 (Ms. Word 2003, Ms. Excell 2003, Ms. Acces 2003), Arc View GIS 3.3, dan Er Mapper 6.4.

Bahan – bahan yang digunakan antara lain : a. Citra satelit Landsat 7 ETM+ path row

126/61 tahun 2002 yang diakuisisi 15 Agustus 2002.

b. Peta administrasi Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi (PPLH-IPB).

c. Data penggunaan dan penutup lahan Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi tahun 2003 (ICRAF).

d. Data LAI untuk vegetasi hutan alam, agroforest karet, dan LAI perkebunan karet monokultur hasil pengukuran di lapang pada Bulan Juli-Agustus Tahun 2002 di Kab. Bungo-Provinsi Jambi (Djumhaer, 2003).

(2)

Langkah pertama yang dilakukan adalah penentuan daerah studi penelitian, pemrosesan awal citra satelit yang meliputi : import data citra, koreksi radiometrik, image enhachment, dan klasifikasi penutup lahan dengan teknik klasifikasi tidak terbimbing. Selanjutnya dilakukan ekstraksi dari band 6 untuk mendapatkan informasi nilai suhu permukaan. Sedangkan informasi nilai albedo dan energi radiasi gelombang pendek diekstraksi dari band 1, 2, dan 3.

Langkah kedua yang dilakukan adalah mengekstraksi dan menganalisis lebih lanjut untuk menentukan nilai salah satu komponen neraca energi yaitu Rn dan nilai sifat optikal kanopi (refleksivitas, absorbsivitas, dan transmisivitas). Nilai komponen neraca energi dan nilai sifat optikal kanopi yang telah didapatkan kemudian diekstraksi untuk mendapatkan nilai LAI melalui persamaan hukum Beer-Lambert.

3.3.1. Pengolahan Awal Data Citra Satelit Pengambilan Area Studi

Pengambilan area studi (Cropping data) bertujuan untuk mengefisienkan besarnya citra satelit yang akan diolah. Cropping data juga dapat mengefisienkan penggunaan ruang media penyimpan data (hard disk) serta memori pengolah data (komputer). Metode yang digunakan adalah metode sub-sampling image

dengan memotong area studi yaitu dari data citra satelit Landsat ETM+ path/row : 126/61, dilakukan cropping dengan data vector

Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi yang secara geografis terletak pada 1o 08' – 1o 55' LS dan 101o 27' – 102o 30' BT dengan menggunakan perangkat lunak analisis citra.

Analisis Citra Dasar

Koreksi geometrik dilakukan untuk meminimalisasi error atau kesalahan geometri dari citra satelit yang terdistorsi karena perbedaan sistem koordinat dan datum. Koreksi geometrik dilakukan dengan bantuan data vektor untuk area studi. Citra satelit Landsat ETM+ (format data GEOTIFF) yang digunakan dalam penelitian ini sudah tidak perlu dikoreksi geometrik lagi karena secara otomatis sudah terkoreksi ketika satelit Landsat ETM+ tersebut merekam objek kajian.

Koreksi radiometrik dilakukan untuk menghilangkan error atau kesalahan nilai spektral citra satelit yang disebabkan oleh proses penyerapan, penghamburan dan pemantulan di atmosfer selama proses akuisasi citra satelit. Koreksi radiometrik dilakukan dengan metode Histogram Manually

Adjudment Technique. Metode ini termasuk sederhana, karena dilakukan dengan hanya melihat histogram setiap band secara independen. Dari histogram tersebut dapat diketahui nilai piksel terendah dari setiap band.

Selain melakukan proses koreksi radiometrik dan koreksi geometrik, dalam analisis citra dasar juga dilakukan proses penajaman citra (Image Enhachement). Penajaman citra dilakukan agar suatu objek pada citra akan terlihat lebih tajam atau kontras. Hal ini akan memudahkan interpretasi secara visual untuk suatu tujuan tertentu. beberapa teknik penajaman citra yang akan dilakukan, antara lain penajaman kontras, pembuatan warna semu (pseudocolour), penapisan (filtering).

Klasifikasi Penutup Lahan

Pada penelitian ini, proses klasifikasi penutup lahan dengan menggunakan citra satelit Landsat ETM+ menggunakan metode klasifikasi tidak terbimbing (Unsupervised Classification). Sistem pengklasifikasian ini lebih banyak menggunakan algoritma yang mengkaji sejumlah besar pixel dan membaginya ke sejumlah kelas berdasarkan pengelompokan nilai DN (Digital Number) pada citra. Metode ini sangat bermanfaat dan efisien dalam menyajikan ruang yang relatif homogen.

Sumber : Harry et al (2002).

Gambar 2. Proses Klasifikasi Unsupervised. Kelas yang dihasilkan dari klasifikasi ini adalah kelas spektral. Kelas tersebut didasarkan pada pengelompokan nilai natural spektral citra. Identitas kelas spektral tidak akan diketahui secara dini. Analisis lebih lanjut, hasil klasifikasi harus dibandingkan dengan data rujukan sebagai referensi. Data rujukan yang dipakai pada penelitian ini adalah data spasial penutup dan penggunaan lahan Kabupaten Bungo-Provinsi Jambi, Tahun 2003. 3.3.2. Estimasi Suhu Permukaan

(3)

Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu bagian terluar dari suatu objek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan untuk vegetasi dapat dipandang sebagai suhu permukaan kanopi tumbuhan, dan pada badan air merupakan suhu dari permukaan air tersebut. Untuk mengestimasi suhu permukaan dari citra satelit Landsat ETM+ digunakan band 6. Band 6 yang memiliki panjang gelombang 10.40 - 12.50 μm, juga memiliki fungsi sebagai band thermal infrared. Adapun tahap yang dilakukan untuk mendapatkan nilai suhu permukaan adalah sebagai berikut ;

Konversi Nilai Digital Number Ke Dalam Nilai Spectral Radiance

Suhu kecerahan dihitung dengan menggunakan nilai spectral radiance yang diperoleh dari nilai digital number (USGS, 2002), persamaannya adalah :

Lλ = Gain * QCAL + Offset ...(7) Atau :

(

)

LMAX - LMIN L = QCALMAX-QCALMIN QCAL-QCALMIN LMIN λ λ λ λ ⎛ ⎞× ⎜ ⎟ ⎝ ⎠ + …...(8) Dimana :

Lλ = Spectral radiance pada kanal ke i (Wm-2sr-1μm-1)

QCAL = Nilai digital number kanal ke i LMIN = Nilai minimum spectral

radiance kanal ke i LMAX = Nilai maximum spectral

radiance kanal ke i QCALMIN = Minimum pixel value QCALMAX = Maximum pixel value (255)

Konversi Nilai Spectral Radiance (Lλ)

Ke Dalam Brightness Temperature (TB)

Persamaan yang digunakan mengikuti hubungan yang sama dengan persamaan Planck dengan dua konstanta kalibrasi. Konstanta kalibrasi data citra Landsat ETM+ untuk nilai K1 = 666.09 Wm-2sr-1μm-1 dan K2 = 1282.71 K (USGS, 2002). 2 1 ln 1 B K T K Lλ = ⎛ ⎞ + ⎜ ⎟ ⎝ ⎠ ...…...….……... ..(9)

Di dalam software Er-Mapper formula yang digunakan untuk mengestimasi brightness temperature (TB) didasarkan pada persamaan

(7) dan (8) di atas, ekspresi formulanya adalah sebagai berikut (USGS, 2002) ;

TB = (1282.71/log (1+666.09) / (17.04/255) *i1)))-273.15 ...(10) Koreksi Emisivitas

Untuk mendapatkan suhu permukaan dari citra Landsat ETM+, perlu dikoreksi dengan emisivitas benda melalui persamaan (Weng, 2001) :

ε

λ

ln

1

)

(

+

=

s s s

T

T

koreksi

T

…...(11) Dimana :

Ts = Suhu permukaan yang terkoreksi (K)

λ

= Panjang gelombang radiasi emisi (11.5 µm)

= hc/ σ (1.438 x 10-2 mK)

h = Konstanta Planck's (6.26x10-34 J sec) c = Kecepatan cahaya (2.998 x 108 m sec-1)

ε = Emisivitas objek

σ = Konstanta Stefan -Boltzman

Nilai emisivitas untuk lahan non vegetasi yaitu sekitar 0.92, untuk lahan vegetasi sekitar 0.95, dan nilai emisivitas untuk air sekitar 0.98 (Weng, 2001).

3.3.3. Neraca Energi Permukaan

Komponen neraca energi terdiri dari albedo, radiasi netto, fluks pemanasan permukaan (G), fluks pemanasan udara (H), fluks pemanasan laten (

λ

E), dan fluks radiasi untuk fotosintesis tumbuhan. Namun dalam penelitian ini hanya mengkaji albedo dan komponen radiasi netto saja, karena kedua informasi nilai tersebutlah yang diperlukan untuk menduga nilai LAI.

Radiasi Gelombang Pendek dan Albedo Energi radiasi gelombang pendek yang dipantulkan oleh suatu permukaan, dapat diduga dari sensor satelit yang menerima kisaran panjang gelombang pendek. Pada citra satelit Landsat kisaran panjang gelombang pendek diterima oleh kanal visible (1, 2 dan 3). Persamaan yang digunakan mengikuti persamaan (7), dengan nilai QCAL, LMIN dan LMAX untuk band 1, 2, dan 3.

Nilai spektral radiance untuk kanal 1, 2, dan 3 adalah sebagai berikut (Khomarudin, 2005) : Kanal 1 ; low gain ; Lλ = 1.17 DN – 6.2 high gain ; Lλ = 0.775 DN – 6.2

(4)

Kanal 2 ; low gain ; Lλ = 1.205 DN – 6.4 high gain ; Lλ = 0.796 DN – 6.4 Kanal 3 ; low gain ; Lλ = 0.939 DN – 5 high gain ; Lλ = 0.619 DN – 5

Albedo (α) merupakan perbandingan jumlah radiasi yang dipantulkan dengan jumlah energi radiasi surya yang diterima oleh suatu permukaan. Energi yang dipantulkan oleh suatu permukaan memiliki panjang gelombang yang pendek, sehingga sensor yang digunakan untuk menghitung albedo adalah sensor yang menerima panjang gelombang pendek. Pendugaan albedo dari citra Landsat dalam USGS (2002) dipengaruhi oleh beberapa parameter seperti ; jarak astronomi bumi-matahari (d), rata-rata nilai solar spectral irradiance pada kanal tertentu (ESUNλ),

spektral radiance (Lλ), dan sudut zenith matahari (Cos Ө), yang dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan (USGS, 2002) : 2 . . . L d ESU N C os λ λ π α θ = ...(12) Tabel 5. Parameter perhitungan albedo

Parameter Band 1 Band 2 Band 3 Sudut elevasi matahari 58 o32’ -58o32’ 58o32’ Irradiasi matahari 1969 1840 1551 Jarak bumi ke matahari 1.03368 1.03368 1.03368 Sumber : USGS (2002)

Untuk menghitung nilai d2 perlu diketahui JD (julian Day) artinya jumlah hari dalam satu tahun yang dihitung dari tanggal 1 Januari sampai tanggal akuisisi data citra satelit pada tahun yang bersangkutan. Persaman yang digunakan (Hermawan, 2005) :

d2 = (1-0.01674.Cos(0.9856 (JD-4)))2 ...(13) Bila nilai albedo dan jumlah energi radiasi gelombang pendek yang dipantulkan oleh suatu permukan telah diestimasi dari data satelit, maka besarnya radiasi gelombang pendek yang diterima permukaan dapat diperoleh dengan persamaan (USGS, 2002) : s

R

=

R

s

α

↑ ... ……...…………...(14) Konversi Satuan

Satuan energi radiasi surya yang digunakan adalah Wm-2. Satuan tersebut menggambarkan satuan radiasi surya sesaat (kerapatan fluks) yang berhasil direkam oleh citra satelit Landsat dalam waktu sesaat. Namun satuan untuk total energi radiasi gelombang pendek hasil estimasi dengan penginderaan jauh masih dinyatakan dalam satuan Wm-2steradian-1μm-1. Satuan tersebut menyatakan laju perpindahan energi (W, Watts) yang terekam oleh sensor per m-2 luas permukaan, untuk 1 steradian (sudut tiga dimensi dari sebuah titik di permukaan bumi ke sensor satelit) per unit panjang gelombang dalam satu kali pengukuran.

Agar nilai energi radiasi surya hasil estimasi penginderaan jauh bisa dilakukan perhitungan lebih lanjut dengan parameter lainnya, maka harus dilakukan konversi dari Wm-2steradian-1μm-1 menjadi satuan energi Wm-2. Untuk mengembalikan nilai menjadi radiasi yang tidak tergantung pada sifat lengkung permukaan bumi, maka nilai radiasi merupakan fungsi dari nilai irradians yang terbebas dari besaran arah (radiasi isotropic). Fungsi perhitungan adalah integral terhadap dΩ

yang menghasilkan persamaan berikut (Hermawan, 2005) :

E = πd2 ………..………..(15) Dimana :

π = 3.14

d2 = Jarak bumi matahari dalam satuan astronomi

Untuk menghilangkan unsur panjang gelombang (μm-1) maka perlu dikalikan dengan nilai tengah panjang gelombang dari masing -masing kanal.

Radiasi Gelombang Panjang

Radiasi gelombang panjang yang dipancarkan oleh permukaan bumi dapat diturunkan dari persamaan Stefan-Boltzman, dimana

ε

= emisivitas,

σ

=Tetapan Stefan-boltzman (5.67x10-8 Wm-2 K-4) dan Ts merupakan suhu permukaan objek (K).

L

(5)

Radiasi gelombang panjang yang datang sangat kecil bila dibandingkan dengan radiasi gelombang pendek yang datang. Karena data citra satelit Landsat ETM+ yang diperoleh untuk penelitian ini tidak memiliki penutupan awan, sehingga besarnya radiasi matahari yang diemisikan dari awan sangat kecil. Untuk nilai radiasi gelombang panjang, hanya diambil nilai radiasi gelombang panjang yang dipancarkan dari permukan bumi.

3.3.4. Nilai Sifat Optikal Kanopi

Nilai sifat optikal kanopi terdiri dari nilai refleksivitas kanopi, absorbsivitas kanopi, dan transmisivitas kanopi.

Refleksivitas (ρ)

Dalam penelitian ini, diasumsikan bahwa nilai energi yang direfleksikan dari permukaan suatu objek diperoleh dengan pendekatan albedo permukaan. Dimana besarnya nilai energi radiasi yang direfleksikan ekivalen dengan energi radiasi surya gelombang pendek yang dipantulkan oleh permukaan suatu objek.

Emisivitas (

ε

)

Absorbsi (α)

Hukum Kirchhoff dalam ilmu perpindahan panas menyatakan bahwa untuk setiap permukaan, harga angka penyerapannya (absorbsi) sama dengan angka emisi pada suhu dan panjang gelombang yang sama (Jensen, 2000). Dengan kata lain hukum Kirchhoff menyatakan bahwa nilai absorbsivitas radiasi pada suatu permukaan sama dengan nilai emisivitas radiasinya. Pendekatan hukum kirchhoff digunakan untuk mengestimasi nilai emisi radiasi dari tiga penutup lahan yang berbeda, yaitu hutan alam, agroforest karet, dan perkebunan karet monokultur pada lokasi kajian. Persamaan yang digunakan adalah (Impron, 1999) :

Iε = ε * Rs ... (17) Dimana Iε merupakan besarnya energi radiasi matahari yang diemisikan, nilai

ε

merupakan konstanta emisivitas untuk masing-masing penutup lahan, dan Rs merupakan nilai radiasi gelombang pendek.

Transmisivitas (

τ

)

Setelah mendapatkan nilai radiasi yang diemisi melalui pendekatan hukum Kirchhoff, maka nilai transmisivitas (

τ

) dapat diperoleh dari pendekatan dasar hukum kekekalan energi, yaitu (Impron, 1999) :

ρ + τ + α = 1 ...(18)

Sedangkan untuk mendapatkan nilai radiasi matahari yang ditransmisikan oleh suatu permukaan (Iτ), menggunakan persamaan di bawah ini :

Iτ =

Rs

↓- Iρ – Iε ...(19)

3.3.5. Leaf Area Index (LAI)

Pendugaan LAI dilakukan pada tiga penutup lahan, yaitu ; hutan alam, agroforest karet, dan perkebunan monokultur karet. Hasil dugaan LAI akan divalidasi dengan data LAI hasil observasi. Leaf Area Index (LAI) dapat dihitung melalui hukum Beer atau disebut juga hukum Lambert atau hukum Lambert-Bouguer. Prinsip kerja hukum Beer-Lambert adalah hubungan empiris dari cahaya yang meradiasi sebuah optik (permukaan homogen) dan optik tersebut menyerap serta meneruskan radiasi dari cahaya tersebut. Berdasarkan prinsip kerja hukum Beer-Lambert tersebut maka dapat dilakukan suatu analogi, yaitu pancaran radiasi surya yang sampai pada permukaan kanopi tumbuhan yang bersifat homogen (hutan alam, agroforest karet, dan perkebunan karet monokultur) diserap (absorbsi) dan diteruskan (transmisi). Asumsi yang digunakan dalam perhitungan LAI dengan pendekatan hukum Beer-Lambert diantaranya adalah bahwa tajuk tumbuhan adalah homogen, semua radiasi yang datang langsung mengenai permukaan daun, langit dalam kondisi isotropik, dan nilai koefisien pemadaman (k) adalah konstan.

Dengan mengetahui besarnya radiasi surya di permukaan kanopi dan radiasi pada lapisan dengan ketinggian tertentu dalam kanopi serta nilai dari suatu koefisien pemadaman, maka dapat diketahui besarnya suatu nilai LAI dengan pendekatan hukum Beer-Lambert. Persamaan hukum Beer-Lambert adalah (Pierce and Running, 1988) :

kLAI

e

Io

I

=

LAI

k

lo

I

Ln

=

.

))

(

/

)

(

(

k

lo

l

Ln

LAI

=

...…(20) Dimana :

I = Radiasi yang ditransmisikan oleh suatu kanopi

I0 = Radiasi di permukaan kanopi k = Koefisien pemadaman LAI = Leaf area index

(6)

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai Rs, dan

nilai I diperoleh berdasarkan hasil penghitungan nilai radiasi yang transmisikan oleh kanopi tumbuhan, sedangkan nilai koefisien pemadaman berkisar antara 0,3 – 0,5 untuk daun vertikal serta 0,7 – 1,0 untuk daun horizontal (June, 1993) dan dalam penelitian ini nilai koefisien pemadaman yang digunakan adalah 0.7.

3.3.6. Perbaikan dan Penggabungan Data Pada saat data lapangan dan data penginderaan jauh digabungkan perlu diadakan perbaikan data. Metode ini dilakukan karena pada penentuan titik di citra digital, data memiliki kekurangan yaitu adanya penyimpangan yang disebabkan adanya distorsi geometrik. Metode yang dilakukan untuk mengurangi kesalahan tersebut adalah dengan cara menggunakan metode 9 piksel di sekitar piksel contoh. Hal ini dilakukan karena penyimpangan yang terjadi tidak sistematis atau menyimpang acak.

3.3.7. Validasi Nilai LAI

Validasi dilakukan untuk mengetahui sejauh mana perbedaan antara nilai LAI hasil penurunan neraca energi dari citra satelit Landsat ETM+ dengan data LAI hasil pengukuran langsung di lapang.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.Rancangan Model LAI dengan Metode

Neraca Energi

Gambar 3 memberikan informasi tentang diagram alir dari rancangan model LAI dengan metode neraca energi yang diperoleh dari estimasi citra satelit Landsat ETM+ (band 1, 2, 3, dan 6). Berdasarkan rancangan model LAI tersebut maka dapat dilakukan pendugaan nilai LAI untuk penutup lahan bervegetasi.

4.2.Pengolahan Awal Data Citra Satelit 4.2.1. Analisis Citra Dasar

Dari hasil proses analisis citra dasar, visualisasi citra terlihat lebih baik walaupun tidak ada perbedaan yang mencolok antara citra sebelum dengan citra setelah dilakukan proses koreksi radiometrik. Hal ini disebabkan oleh kondisi citra yang diperoleh untuk wilayah kajian memang tidak tertutup oleh awan (langit dalam kondisi cerah). Namun terdapat perbedaan visualisasi citra yang cukup mencolok setelah dilakukan proses penajaman citra. Hal ini akan memudahkan interpretasi secara visual untuk suatu tujuan tertentu, seperti klasifikasi penutup lahan.

4.2.2. Pengambilan Area Studi

Proses pengambilan area studi menggunakan metode cropping area dengan bantuan perangkat lunak analisis citra (Er-Mapper versi 6.4). Pengambilan area studi dilakukan dengan data vektor lokasi Kabupaten Bungo yang di-overlay dengan data citra satelit Landsat ETM+ path/row : 126/61. Gambar 4 menyajikan citra satelit setelah mengalami analisis citra dasar dan cropping studi area. 4.2.3. Klasifikasi Penutup Lahan

Hasil klasifikasi penutup lahan untuk wilayah Kabupaten Bungo (Gambar 5) pada penelitian ini dibagi menjadi sembilan kelas, yaitu ; hutan alam, agroforest karet, perkebunan karet monokultur, perkebunan Albedo (α)

Radiasi Gelombang Pendek Yang Datang

R di i Y di Koreksi Radiometrik Data Citra LANDSAT ETM+ [Path/Row : 126/61, Akuisisi 15 Agustus 2002]

Croping Wilayah Kajian [data vector Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi yang secara geografis terletak pada

1o 08' – 1o 55' LS dan 101o 27' – 102o 30' Band 6 Spectral Radiance (Lλ) Suhu Permukaan (Ts) Radiasi Gelombang Panjang Yg dipancarkan Band 1, 2, dan 3 Spectral Radiance (Lλ) Radiasi Gelombang Pendek Yg dipantulkan

Gambar

Gambar 2. Proses Klasifikasi Unsupervised.  Kelas yang dihasilkan dari klasifikasi ini  adalah kelas spektral
Gambar 3 memberikan informasi tentang  diagram alir dari rancangan model LAI dengan  metode neraca energi yang diperoleh dari  estimasi citra satelit Landsat ETM+ (band 1, 2,  3, dan 6)

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian sebelumnya yang menjelaskan aspek sistem kredit prestasi di antaranya dengan judul “Sistem Informasi Satuan Kredit Kegiatan Ekstrakurikuler di Fakultas Teknik

‡ Kutub-kutub: pada diameter bola yang tegak lurus lingkaran dasar utama ‡ Lingkaran Dasar ke-2: lingkaran besar yang melalui kutub-kutub lingkaran.. dasar utama, tegak lurus

Tingkat kelayakan pemberian air berdasarkan nilai Ea diperoleh dari tingkat pola pemberian air irigasi pada sawah konvensional fase vegetatif kritis pada jarak 170 m, sedang

Pada proses pembuatan telur puyuh asin dengan berbagi metode, telur yang diasinkan dengan larutan garam jenuh mempunyai kadar garam yang paling tinggi, maka dari itu

Siswa mampu menyebutkan contoh bahan-bahan kimia buatan yang dapat digunakan sebagai bahan pewarna, pemanis, pengawet dan  penyedap yang terdapat dalam bahan

Mujiyadi Vina Damayanti 1 Judul Penelitian Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan (Kajian tentang Perencanaan Pembangunan di Tingkat Lokal pada Nagori di Kecamatan

Coitus interuptus atau senggama terputus adalah menghentikan senggama dengan mencabut penis dari vagina pada saat suami menjelang ejakulasi.Kelebihan dari cara ini

Persoalan yang umumnya dihadapi dalam pengembangan komoditas pangan jagung di Papua adalah teknologi yang sudah tersedia belum diterapkan petani, sehingga masih