REPRESENTASI PEREMPUAN MASKULIN
SEBAGAI PERLAWANAN TERHADAP
PATRIARKI DALAM SITKOM OK-JEK
(ANALISIS SEMIOTIKA CHARLES SANDERS PIERCE)
SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Konsentrasi Hubungan Masyarakat Program Studi Ilmu Komunikasi
Oleh
Luna Safitri Salsabil NIM 6662120166
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
i ABSTRAK
Luna Safitri Salsabil, NIM.6662120166. Representasi Perempuan Maskulin Sebagai Perlawanan Terhadap Patriarki Dalam Sikom OK-JEK (Analisis Semiotika Charles Sanders Pierce). Pembimbing I: Uliviana Restu H, M.Ikom dan Pembimbing II: Husnan Nurjuman , M.Si
Perempuan pada masyarakat dengan budaya patriarki sebagai kaum subordinat, berkerja diruang domestik, sebagai objek dan di stereotipekan feminim. Pada perkembangannya citra perempuan dalam media khususnya tayangan situasi komedi ok-jek berubah sebagai perempuan maskulin. Bagaimana representasi perempuan maskulin dan perlawanan terhadap budaya patriarki dalam sitkom ok-jek. Penelitian ini menggunakan analisis semiotika Charles Sanders Pierce, dengan judul Representasi Perempuan Maskulin sebagai Perlawanan terhadap Patriarki. Situasi komedi mempunyai tanda berbentuk verbal(bahasa) dan visual oleh karena itu sarat akan tanda. Maka pendekatan semiotika sebagai sebuah metode analisis tanda guna mengupas perempuan maskulin sebagai perlawanan terhadap patriarki.Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Dimana data dan analisis dipaparkan secara deskriptif. Untuk mengungkapkan apa yang ada dalam situasi komedi secara menyeluruh dan mendalam, dalam penelitian ini digunakan metode penelitian paradigm kritis merupakan paradigma penelitian yang melihat suatu realita secara kritis sebagai objek penelitian. Hasil penelitian ini adalah maskulin merupakan konstruksi sosial, perempuan bisa memiliki karakteristik maskulin, hegemoni patriarki dipatahkan oleh situasi komedi ini,
ii
ABSTRACT
Luna Safitri Salsabil. NIM.6662120166. Thesis. Representation of Masculine Female as a Fight Against Patriarchy in Sit-Com OK-JEK (Charles Sanders Pierce Semiotic Analysis). Uliviana Restu H, M.Ikom; Husnan Nurjuman, M.Si
Women in society with patriarchal culture as the subordinate, working in the domestic space, as an object, and in the feminine stereotype. In the development of the image of women in the media, especially comedy shows ok-jek situation changed as a masculine woman. How masculine representation of women and the fight against patriarchal culture in the sitcom ok-jek. This study uses a semiotic analysis of Charles Sanders Pierce, with the title of Women's Representation Masculine as resistance against the Patriarchate. Situation comedies have shaped mark verbal (language) and visual therefore full of pins. So semiotics approach as a method of analysis in order to sign as a masculine woman peeling resistance against patriarki. Method research is qualitative. Where the data and analysis presented descriptively. To reveal what is in the situation comedy thoroughly and deeply, in this study used research methods critical paradigm is the paradigm of research critical look at the reality as an object of research. The result of this research is a social construction of masculine, women can have masculine characteristics, patriarchal hegemony is broken by a situation comedy.
iii
Thanks to Allah for all miracle happen in my life.
―No two things have been combined better than Knowledge and Patience‖ - Prophet Muhammad
Ketika kesempurnaan hanya milik Allah, sebagai manusia hanya perlu melakukan yang terbaik versi diri sendiri.
Ilmu adalah teman dalam kesendirian, sahabat dalam keterasingan, penolong ketika ada kesulitan dan simpanan kematian.
iv
KATA PENGANTAR
Assalamu‘alaikum Wr. Wb.
Segala puji bagi Allah SWT penulis panjatkan atas limpahan rahmat dan nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi guna memenuhi salah satu syarat untuk meraih gelar kesarjanaan strata (S1) pada program studi ilmu komunikasi konsentrasi hubungan masyarakat di fakultas ilmu sosial dan
ilmu politik universitas sultan ageng tirtayasa. Skripsi ini berjudul ―Representasi
Perempuan Maskulin sebagai Perlawanan terhadap Patriarki‖.
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih atas segala doa, dukungan, motivasi, bimbingan, dan bantuan yang tak terhingga dalam proses penelitian serta penyusunan skripsi ini kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Sholeh Hidayat, M.PD. selaku Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
2. Bapak Dr. Agus Sjafari, S.Sos., M.Si. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
3. Dr. Rahmi Winangsih, M.Si. selaku Ketua Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa 4. Bapak Darwis Sagita, S.Ikom. selaku Sekretaris Prodi Ilmu Komunikasi
v
4. Bapak Iman Mukhroman S.Sos., M.Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik.
5. Ibu Uliviana Restu H, S.Sos., M.Si. selaku Dosen Pembimbing I Skripsi yang membantu memberikan arahan serta masukan untuk menyelesaikan skripsi ini.
6. Bapak Husnan Nurjuman S.Ag., M.Si. selaku Dosen Pembimbing II Skripsi Yang Membantu Memberikan Arahan Serta Masukan Untuk Menyelesaikan Skripsi Ini.
7. Seluruh Dosen Prodi Ilmu Komunikasi yang telah membimbing dan memberikan ilmunya selama bangku perkuliahan.
8. Kedua Orang Tua saya Ibu Metty dan Bapak Muhammad Yamin S.E atas doa, dukungan, motivasi, kesabaran yang tak pernah putus.
9. Kakak saya Farrah Giatri Sakinah S.H , kakak ipar saya Aryo Maulana S.Sos., keponakan Arkenzo Rayyan Maulana, Sepupu saya Ningsih dan Keluarga Di Yogyakarta terima kasih atas doa, dukungan, motivasi untuk penulis.
10.Sahabat yang sudah seperti keluarga yaitu, Fanny Surviva Ramadhani, Alia Fadhillah, Bilqis Naufi, Irma Aprilia, Natasya Arnandha Prihandini, Ica Violla, Dini Anggraini, Muhammad Hamzah, Muhammad Nurwibowo, dan Riffal Ruchi Andrean, yang selalu menjadi penyemangat, penghibur, pendengar setia untuk doa dan dukungannya selama ini.
vi
12.Teman seperjuangan menggapai sarjana Dhita Sekar Annisa, Isda Isnawangsih Muzakki dan Cut Aini. Serta adik-adik tingkat dari berbagai fakultas yang telah memotivasi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. 13.Pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini.
Kiranya tidak ada balasan yang lebih baik kecuali yang datang dari Allah SWT, terimakasih untuk segalanya. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua, khususnya bagi penulis dan pihak yang berkepentingan. Wassalamualikum Wr. Wb.
Serang, 3 Oktober 2016
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR ORISINALITAS ... i
LEMBAR PERSETUJUAN ... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
LEMBAR PERSEMBAHAN ... iv
ABSTRAK ...v
ABSTRACT ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL... ix
DAFTAR GAMBAR ...x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah ...1
1.2Rumusan Masalah ...9
1.3Identifikasi Masalah ...10
1.4Tujuan Penelitian ...10
1.5Manfaat Penelitian ...10
1.5.1 Manfaat Akademis ...11
1.5.2 Manfaat Praktis ...11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi Massa ...12
2.2 Semiotika...14
2.2.1 Semiotika Charles Sanders Pierce ...16
2.3 Representasi ...19
2.4 Komedi Situasi ...21
2.5 Maskulinitas ...23
2.6 Feminisme ...27
2.7 Patriarki ...29
2.8 Kerangka Berpikir ...30
2.9 Penelitian Terdahulu ...32
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Penelitian ...36
3.2 Pendekatan Penelitian ...37
3.3 Unit Analisis...39
3.4 Instrumen Penelitian ...44
3.5 Teknik Pengumpulan Data ...45
3.6 Teknik Analisis Data ...46
3.6.1 Teknik Analisis Data berdasarkan Sinematografi ...48
3.7 Triangulasi Data Penelitian ...51
viii
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Objek Penelitian ...54
4.1.1 Profil NET. TV...54
4.1.2 Profil Situasi Komedi(sitkom) ...55
4.1.3 Sinopsis Sitkom OK-JEK ...56
4.1.3.1 Sinopsis Episode 2 ...57
4.1.3.2 Sinopsis Episode 7 ...58
4.1.3.3 Sinopsis Episode 13 ...59
4.1.4 Karakter dalam Sitkom OK-JEK ...60
4.2 Deskripsi Data Penelitian ...62
4.2.1 Deskripsi Sign, Object, dan Interpretant Representasi Perempuan Maskulin. ...62
4.2.1.1 Deskripsi Pada Scene Asna Membawa Kotak ...62
4.2.1.2 Deskripsi Asna Membawa Penumpang Perempuan ...66
4.2.1.3 Deskripsi Asna Menjelaskan Target Hidupnya...72
4.2.1.4 Deskripsi Pertanyaan Penting Seno Kepada Asna. ...76
4.2.1.5 Deskripsi Asna Agresif Kepada Seno ...80
4.2.2 Deskripsi Sign, Object, dan Interpretant Representasi Perempuan Maskulin Sebagai Perlawanan Terhadap Patriarki ...84
4.2.2.1 Deskripsi Saat Iqbal Bertemu Asna ...84
4.2.2.2 Deskripsi Asna Melawan Penumpang Laki-Laki ...94
4.3 Analisis Perempuan Maskulin dalam Sitkom OK-JEK ...100
4.4 Analisis Perempuan Maskulin Sebagai Perlawanan Terhadap Patriarki Dalam Sitkom OK-JEK ...106
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ...110
5.2 Saran ...112
5.2.1 Akademis...112
ix
DAFTAR TABEL
TABEL 2.1 ...26
TABEL 2.2 ...27
TABEL 3.1 ...43
TABEL 3.2 ...56
TABEL 4.1 ...64
TABEL 4.2 ...65
TABEL 4.3 ...69
TABEL 4.4 ...75
TABEL 4.5 ...79
TABEL 4.6 ...83
TABEL 4.7 ...87
x
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR 2.1 ...18
GAMBAR 3.1 ...50
GAMBAR 3.2 ...52
GAMBAR 4.1 ...57
GAMBAR 4.2 ...58
GAMBAR 4.3 ...67
GAMBAR 4.4 ...73
GAMBAR 4.5 ...77
GAMBAR 4.6 ...81
GAMBAR 4.7 ...85
GAMBAR 4.8 ...94
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Pada umumnya dalam media perempuan selalu ditampilkan sebagai sosok yang tidak jauh dari peran domestik seperti masalah dapur, mengurus anak, belanja untuk kebutuhan keluarga, dan sebagainya. Tak jarang dipososikan sebagai subornidat laki-laki, misalnya menjadi bawahan, sekretaris, dan peran-peran melayani atau menopang kebutuhan laki-laki. Sama halnya dengan posisi mereka dalam kehidupan bermasyarakat; banyak peraturan pemerintah, aturan keagamaan, kebudayaan dan kebiasaan atau adat masyarakat yang dikembangkan karena stereotipe ini.1
Beberapa filsuf menjelaskan kedudukan perempuan seperti Ariestoteles menyebarkan pemahaman yang mengatakan bahwa laki-laki menguasai perempuan karena jiwa perempuan memang tidak sempurna. Sedangkan menurut Immanuel Kant sulit dipercaya bahwa perempuan punya kesanggupan untuk mengerti prinsip-prinsip. Schopenhauer mengungkapkan bahwa perempuan dalam segala hal terbelakang, tidak sanggup berpikir dan berefleksi.Posisinya di antara laki-laki dewasa yang merupakan manusia sesungguhnya dan anak-anak. Perempuan hanya tercipta untuk beranak.2
1
Tri Handoko Cons. 2005. Maskulinitas Perempuan Dalam Iklan Dalam Hubungannya dengan Citra Sosial Perempuan Ditinjau dari Prespektif Gender. Jurnal ―Nirmana‖ Vol.
7 No.1 (85-98)
2Cleves Mosse Julia. 2004. Gender Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Spock seperti dikutip dalam Budiman, menyebutkan bahwa perempuan pada hakikatnya hanya dapat mengerjakan sesuatu yang diulang-ulang, pekerjaan tidak menarik, merasa bahagia kalau tidak agresif tidak hanya secara seksual namun juga dalam kehidupan sosial, pekerjaan, dan tugasnya
sebagai ibu. Ide bahwa perempuan lebih ‗lemah‘ dari laki-laki disebarkan juga melalui agama-agama besar dunia.
Budiman memberi contoh tentang ajaran yang mengatakan perempuan terbuat dari tulang rusuk laki-laki. Bahkan ada doa pagi dari penganut agama tertentu yang isinya pujian dan ucapan syukur pada pencipta karena tidak dilahirkan sebagai perempuan. Contoh lainnya ujarnya adalah agama tertentu mengajarkan pula bahwa laki-laki lebih berkuasa dari wanita karena sifat-sifat yang diberikan Tuhan pada mereka memang demikian adanya dan banyak lagi pendapat yang melemahkan posisi perempuan dalam berbagai ajaran agama.3
Selain dogma agama, media sangat berperan dalam pembentuk bahkan pelanggengan streotipe terhadap perempuan. Menurut Marshall McLuhan4, media telah ikut mempengaruhi masyarakat. Media tidak hanya memenuhi kebutuhan manusia akan informasi atau hiburan, tetapi juga fantasi yang mungkin belum pernah terpenuhi lewat saluran-saluran komunikasi tradisional lainnya. Ilusi dan fantasi audiens kemudian menjadi semakin bebas atas bermunculannya penggambaran sekaligus pencitraan perempuan yang dikreasikan media melalui perspektif maskulinitas.
3 Arief Budiman. 1982.
Pembagian Kerja Secara Seksual. Jakarta: PT. Gramedia. Hlm.6-8
4 Idi Subandy Ibrahim. 2004. Sirnanya Komunikasi Empatik. Bandung: Pustaka Bani
Berdasarkan data dari lembaga survei yaitu Neilsen Newletter5 pengguna Televisi, dikategorikan berdasarkan jenis kelamin adalah Laki-laki 24.041.343 individu dan Perempuan 24.080.946 individu. Pengguna televisi yang lebih dominan adalah perempuan. Secara umum, para perempuan menonton televisi selama rata-rata 3 jam per hari. Setengah dari populasi perempuan menghabiskan rata-rata 3 sampai 6 jam per hari untuk menonton televisi di hari kerja dan hampir 30% menonton televisi lebih lama, yaitu lebih dari 6 jam per hari di hari Minggu. Sebagai penonton TV terbanyak, ibu rumah tangga menonton TV paling lama (rata-rata 3 jam 47 menit per hari), disusul kemudian oleh perempuan bekerja dan remaja (hampir 3 jam per hari). Dari data tersebut penggunaan televisi sangatlah digemari dan berpengaruh terhadap perempuan
Dalam perkembangannya selanjutnya berbagai stereotipe perempuan yang lemah selalu menjadi subordinat pria dalam penampilannya di media mulai menunjukkan perubahan dimana posisi perempuan terkadang ditampilkan
lebih ‗berkuasa‘ dan ‗perkasa‘ dari laki-laki. Atau mereka tidak lagi ditampilkan sebagai makhluk yang lemah dan pasif namun kuat, gesit dan lincah. Salah satu contohnya seperti iklan6 di era 90an sosok gadis cantik Dian Sastro dalam iklan sabun mandi yang membuat pria-pria penggoda keteteran karena kemampuan bela dirinya yang lihai. Atau Zhang Zi Yi dalam iklan
5http://www.agbnielsen.net/Uploads/Indonesia/Nielsen_Newsletter_Mar_2011-Ind.pdf
diakses pada Sabtu, 15 Maret 2016 10:22 WIB
6 Liestianingsih. 2002. Ideologi Gender dalam Iklan Kosmetik di Televisi. Surabaya:
produk kartu kredit yang juga membuat pria bertekuk lutut karena keahlian bela dirinya.
Dalam teori sosiologi gender, Connell seperti dikutip oleh Wajcman mengungkapkan bahwa maskulinitas ada dua bentuk dominan, maskulinitas secara budaya atau ‗maskulinitas hegemonik‘ dan bentuk masukulinitas yang
‗tersubordinasi‘.7
Hemegomonik yang dimaksud adalah pengaruh sosial yang dicapai bukan karena kekuatan melainkan karena pengaturan kehidupan pribadi dan proses-proses budaya. Hal ini berlawanan dengan tersubordinasi, dimana kekerasan adalah kunci yang sangat berpengaruh untuk memaksakan sebuah cita-cita/kekuasaan bagi maskulinitas tersebut. Maskulinitas
hegemonik adalah bentuk maskulinitas ‗ideal‘ karena tidak harus berhubungan
erat dengan kepribadian aktual laki-laki.8
Maskulinitas adalah sebuah konstruksi sosial laki-laki dan perempuan berkaitan erat dengan permasalah gender. Menurut Zimmerman9 menjelaskan bahwa gender (yaitu perilaku yang memenuhi harapan sosial untuk laki-laki dan perempuan) tidak melekat dalam diri seseorang. Tetapi, dicapai melalui interaksi dalam situasi tertentu. Dengan demikian konsepsi individu tentang perilaku laki-laki dan perempuan yang tepat adalah diaktifkan secara situasional.
7 Tri Handoko Cons. 2005.
Maskulinitas Perempuan Dalam Iklan Dalam Hubungannya dengan Citra Sosial Perempuan Ditinjau dari Prespektif Gender. Jurnal ―Nirmana‖ Vol.
7 No.1 (85-98)
8 Wajcman Judi. 2001.
Feminisme Versus Teknologi. Yogyakarta: SBPY-OXFAM UK-1. Hlm.160-161
9 George Ritzer-Douglas J. Goodman. 2003. (cet.3). Teori Sosiologi Modern. Edisi ke.6.
Mosse10 mengungkapkan secara mendasar gender berbeda dengan jenis kelamin biologis yang merupakan pemberian dimana kita dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan. Namun yang menjadikan kita kemudian disebut maskulin dan feminim adalah gabungan blok-blok bangunan biologis dasar
dan interpretasi biologis oleh kultur yang ‗memaksa‘ kita mempraktekkan
cara-cara khusus yang telah ditentukan oleh masyarakat bagi kita untuk menjadi laki-laki dan perempuan. Mosse mengumpamakannya sebagai kostum dan topeng teater, dimana kita berperan sebagai feminim dan maskulin.
Dapat disimpulkan dari pernyataan Zimmerman dan Mosse bahwa konsepsi individu tentang perilaku laki-laki dan perempuan yang tepat adalah bersifat situasional dan gender berbeda dengan seks dalam artian gender dapat dipertukarkan dan berubah berdasarkan kepentingan situasional. Dengan demikian sah-sah saja perempuan memposisikan dirinya berperan sebagaimana laki-laki. Dia tidak lagi feminim seperti lemah-lembut, lemah fisik, halus, rendah hati, submisif, bersikap manis, dan sejenisnya. Namun menjadi sikap maskulin seperti rasional, cerdas, pengambil keputusan yang baik/tegas, dan perkasa.
Bagaimana konstruksi sosial ini direpresentasikan dalam semua media massa seperti iklan, film maupun sinetron televisi. Contoh dari representasi maskulinitas adalah film Hunger Games Trilogi dan Divergent Tetralogi.11
10 Ibid., hlm. 2-3
11 Vera Woloshyn, & Nancy Taber. 2013. Discourses of Masculinity and Feminity in The
Dimana Katniss Everdeen dan Tris bersikap maskulin sebagai perempuan yaitu: rasional, cerdas, pengambil keputusan yang baik/tegas, dan perkasa. Mereka direpresentasikan bukan sebagai perempuan feminim atau bahkan sekedar subordinat. Mereka adalah perempuan yang menjadi ikon pemberotakan pada sebuah sistem. Oleh karena itu maskulin adalah sebuah konstruksi sosial dan media massa turut andil menjadi wadah untuk merepresentasikan sebuah ideologi/pemahaman tentang gender yang telah berubah seiring postmodern.
Representasi12 adalah konsep yang digunakan dalam proses pemaknaan melalui sistem penandaan dalam dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan sebagainya. Representasi merujuk pada proses komunikasi yang menyampaikan realitas melalui kata-kata, bunyi, citra, atau kombinasinya. Marcel Danesi13 mendefinisikan representasi lebih jelas sebagai penggunaan tanda (gambar, bunyi dan lain- lain) untuk menghubungkan, menggambarkan, memotret, atau mereproduksi sesuatu yang dilihat, diindera, dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik tertentu. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa representasi adalah pengambaran realitas melalui tanda dalam suatu media.
Tanda atau simbol merupakan alat dan materi yang digunakan dalam interaksi. Komunikasi merupakan proses transaksional dimana pesan (tanda) dikirim dari seorang (sender) kepada penerima (receiver). supaya pesan
12Nuraini Juliastuti. 2000. ‗
Representasi, Newsletter Kunci Cultural Studies Center, Edisi
4 Maret, 2000’, hlm. 6. Diakses pada tanggal 15 Februari 2016 dalam https://archive.org/details/NewsletterKunci4BudayaMateri
13
tersebut dapat diterima secara efektif maka perlu adanya proses interpretasi terhadap pesan tersebut. karena hanya manusialah yang memiliki kemampuan untuk menggunkan dan memaknai simbol-simbol maka berkembanglah cabang ilmu yang membahas tentang bagaimana memahami simbol atau lambang yaitu semiotika14.
Elemen-elemen dalam kajian semiotik15 adalah tanda, acuan dari tanda, dan pengguna tanda. sebuah tanda adalah sesuatu yang bersifat fisik, dapat diterima oleh indra manusia; mengacu pada sesuatu diluar dirinya; dan bergantung pada pengenalan dari para pengguna bahwa itu adalah tanda kita. contoh asap menandai adanya api, sirine mobil yang keras meraung-raung menandai adanya kebakaran di sudut kota.
Tidak berbeda jauh Morissan16 berpendapat bahwa semiotika adalah studi mengenai tanda (signs) dan simbol yang merupakan tradisi penting dalam pemikiran tradisi komunikasi. tradisi semiotika mencakup teori utama mengenai bagaimana tanda mewakili objek, ide, situasi, keadaan, perasaan, dan sebagainya yang berada diluar diri. Sitkom merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis semiotika. Situasi Komedi adalah sebuah drama audio-visual berseri dan bersambung yang direncanakan, dimainkan oleh pemeran, direkam, di-edit, dan disiarkan di media massa televisi.
14
Nawiroh Vera. 2014. Semiotika dalam Riset Komunikasi. Bogor: Ghalia Indonesia hlm. 1
15 Indiwan Seto Wahyu Wibowo. 2013. Semiotika Komunikasi – Aplikasi Praktis bagi
Penelitian dan Skripsi Komunikasi, Jakarta: Mitra Wacana Media hlm. 7
16
Selain di Indonesia, situasi komedi juga ditayangkan di negara lain dengan sebutan yang lain juga, misalnya sitkom yang merupakan serial komedi televisi di negara-negara kawasan Amerika. Istilah ―sitkom‖ adalah akronim
dari ―situasi‖ dan ―komedi‖. Sitkom diproduksi secara elektronis di atas pita
magnetik.17Komedi Situasi (Sitkom) diproduksi dan ditayangkan tidak terlepas dari konteks budaya yang melatarabelakanginya. Penonton bisa menikmati suatu tayangan apabila penonton mengenali dan merasa akrab dengan konteks budaya yang melatar belakanginya.18 Pada sitkom, Konteks budaya justru harus ditampilkan kuat karena sifat komedi yang kultural. Penonton hanya bisa tertawa atau merasa tergelitik jika penonton mengenali konteks budayanya.
Komedi Situasi (Sitkom) OK-JEK tayangan yang memakan waktu selama 20-30 menit dengan tema berubah-berubah dari waktu ke waktu tetapi menggunakan latar, lokasi, dekorasi, dan karakter yang hampir sama setiap kali tayang televisi. Cocok untuk penonton yang menginginkan hiburan ringan dan tidak terlalu berdrama seperti sinetron ataupun telenovela. OK-JEK adalah sebuah sitkom bergenre drama komedi yang ditayangkan oleh stasiun televisi NET. Sinetron ini menganggat fenomena yang sedang populer saat ini yaitu tukang ojek online. Cerita Komedi Situasi (Sitkom) OK-JEK berfokus kepada para driver OK-JEK dan orang-orang disekitar mereka, juga masalah-masalah
17Budi Irawanto. ―Menertawakan Kejelataan Kita: Transgresi Batas-batas Marginalitas
dalam Sinetron Komedi Bajaj Bajuri”, Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol. 3: 1 (Juni, 2006), hlm. 51.
18 Sri Kusumo Habsari, Fitria Akhmerti Primasita & M. Taufiq Al Makmum.
yang sering dialami para driver dan managementnya. Komedi Situasi (Sitkom) OK-Jek mencoba menghadirkan dan merepresentasikan maskulinitas dalam penokohan Asna yaitu seorang driver perempuan OK-JEK.
Asna berbeda dengan stereotipe perempuan dalam media. Perempuan dalam media ataupun sinetron digambarkan sosok yang lemah dan pasrah terhadap keadaan sedangkan Asna, walaupun masih digambarkan sebagai wanita cantik mempunyai beberapa karakter maskulin. Karakter Asna sebagai wanita yang tidak bekerja di ruang domestik inilah mewakili perlawanan terhadap patriarki. Asna sebagai perempuan tidak mengandalkan laki-laki dalam hidupnya. Televisi merupakan bagian dari komunikasi massa yang digunakan sebagai medium penyampaian pesan. Menurut laswell19 ―who says what which channel and what effect”, sitkom sebagai pesan (yang ingin disampaikan), televisi sebagai media, dan ideologi feminisme tersampaikan melalui sitkom. Dikaji melalui semiotika karena sitkom merupakan kumpulan tanda yang memiliki sign, objek, interpretant.
Dari latar belakang masalah yang telah penulis uraikan, maka peneliti
memilih judul ―Representasi perempuan maskulin sebagai perlawanan terhadap partriarki dalam Sitkom OK-Jek‖ untuk diteliti menggunakan analisis semiotika Charles Sanders Pierce.
1.2Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, sekiranya perlu dilakukan penelitian yang lebih dalam pada sinetron ini. Maka dari itu
19
peneliti merumuskan masalah penelitian dengan ―Bagaimana perlawanan terhadap
1.3Identifikasi Masalah
Dari rumusan masalah diatas maka identifikasi masalah penelitian ini adalah sebagai berikut,
1. Bagaimana representasi perempuan bernampilan maskulin dalam sitkom ok-jek berdasarkan model triadik Pierce?
2. Bagaimana representasi perempuan bernampilan maskulin sebagai perlawanan terhadap patriarki dalam sitkom ok-jek berdasarkan model triadik Pierce?
1.4Tujuan Penelitian
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan maka tujuan adanya penelitian ini adalah untuk,
1. Untuk menjelaskan perempuan bernampilan maskulin yang direpresentasikan dalam sitkom ok-jek
2. Untuk mengungkapkan perlawanan terhadap patriarki yang direpresentasikan melalui perempuan maskulin dalam sitkom ok-jek
1.5Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat yang baik dalam hal akademis maupun praktis. Manfaat penelitian ini adalah :
1.5.1 Manfaat Akademis
itu diharapkan penelitian ini dapat memberikan pandangan baru dalam kajian ilmu komunikasi khususnya mengenai sitkom, terutama jika dilihat dari analisis semiotika.
1.5.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan informasi dan juga dapat memberikan masukan bagi para penggiat sitkom dalam merepresentasikan permasalahan sosial melalui sebuah sitkom dan membuat sitkom yang berkualitas. Begitupun untuk masyarakat bahwa sitkom dapat menjadi media pembelajaran atau pendidikan sehingga masyarakat lebih jeli
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Komunikasi Massa
Sebagai mahluk sosial setiap manusia secara alamiah memiliki potensi komunikasi, bahkan ketika manusia itu diam manusia itu sedang berkomunikasi, mengkomunikasikan keadaan perasaannya. Baik secara sadar maupun tidak manusia pasti berkomunikasi, komunikasi pun dapat kita temukan di semua sendi sendi kehidupan, dimana setiap proses interaksi antara manusia dengan manusia lain pasti terdapat komunikasi.
Ilmu Komunikasi merupakan ilmu sosial terapan, bukan ilmu sosial murni, ilmu komunikasi tidak bersifat absolut, sifat ilmu komunikasi dapat berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman, hal tersebut dikarenakan ilmu komunikasi sangat erat kaitannya dengan tindak-tanduk perilaku manusia, sedangkan perilaku atau tingkah laku manusia dapat dipengaruhi oleh lingkungan, termasuk perkembangan zaman.
Sifat ilmu komunikasi adalah interdisipliner atau multidisipliner. Maka dari itu ilmu komunikasi dapat menyisip dan berhubungan erat dengan ilmu sosial lainnya. Hal itu disebabkan oleh objek materialnya sama dengan ilmu sosial lainnya, terutama ilmu sosial kemasyarakatan20.
20 Charles R Berger. Michael E. Roloff & David R. Roskos. 2014. Handbook Ilmu
Wilbur Schramm21 mengatakan bahwa untuk berlangsungnya suatu kegiatan komunikasi, minimal diperlukan tiga komponen yaitu source, message, destination atau komunikator, pesan dan komunikan. Apabila
salah satu dari ketiga komponen itu tidak ada, maka komunikasi tidak dapat berlangsung. Namun demikian, selain ketiga komponen tersebut masih terdapat komponen lainnya yang berfungsi sebagai pelengkap. Artinya, jika komponen tersebut tidak ada maka tidak akan berpengaruh terhadap komponen lainnya. Oleh karena itu, komponen – komponen utama (komunikator, pesan dan komunikan) mutlak harus ada pada proses komunikasi. Baik komunikasi antarpersonal (interpersonal), kelompok maupun komunikasi massa.
Joseph R. Dominick22 mendefinisikan komunikasi massa sebagai suatu proses dimana suatu organisasi yang kompleks dengan bantuan satu atau lebih mesin memproduksi dan mengirimkan pesan kepada khalayak yang besar, heterogen dan tersebar. Komunikasi massa menurut Tan dan Wright23merupakan bentuk komunikasi yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh berpencar, sangat heterogen dan menimbulkan efek tertentu.
Komunikasi massa mempunyai beberapa perbedaan dengan komunikasi tatap muka. Menurut DeFleur dan Dennis, perbedaan terjadi
21 Effendy. 2005. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Bandung: PT. Remaja RosdaKarya 22 Nurudin. 2004. Komunikasi Massa. Malang: Cespur
23
dalam hal konsekuensi menggunakan media, konsekuensi memiliki khalayak luas dan beragam, serta pengaruh sosial dan kultur. Sedangkan menurut Elizabeth Noelle-Neuman ada empat tanda pokok dari komunikasi massa bila secara tekhnis komunikasi massa diperbandingkan dengan system komunikasi interpersonal. Tanda pokok tersebut adalah : bersifat tidak langsung, bersifat searah, bersifat terbuka dan memiliki public yang tersebar secara geografis.
Disamping adanya perbedaan antara komunikasi massa dengan komunikasi interpersonal, terdapat pula hubungan antara komunikasi massa dengan komunikasi interpersonal. Menurut Elihu Katz dan Paul Lazarfeld24komunikasi interpersonal merupakan variable intervenig antara media massa dan perubahan perilaku. Sedangkan Everett Rogers mengemukakan bahwa antara saluran media massa dan interpersonal saling melengkapi. Kemudian antara komunikasi massa dan komunikasi interpersonal dapat dilihat pada efek sosialisasi dari media massa.
2.2Semiotika
Secara etimologis, istilah semiotik berasal dari kata Yunani
semeion yang berarti ―tanda‖. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai
sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Ada yang mengenal semiotika dengan semiologi, tentunya semiologi lebih dikenal oleh penganut mazhab
24 Charles R Berger, Michael E. Roloff & David R. Roskos. 2014. Handbook Ilmu
ahli semiotik Prancis, Ferdinand de Saussure. Sedangkan semiotik sendiri telah muncul di negara-negara Anglo-Saxon, namun untuk penggunaannya telah dihubungkan dengan karya ahli semiotik modern asal Amerika Serikat, Charles Sanders Pierce25
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda merupakan perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). (Barthes, 1988:179; Kurniawan, 2001:53)
Dari pengertian tersebut dapat dipahami jika semiotika dapat membantu manusia dalam memahami kehidupannya dalam dunia ini. Bahkan menurut Van Zoest26 manusia adalah homo semioticus, yang berarti manusia mencoba untuk mendapatkan tanda dari kekuasaan yang lebih tinggi, jika tidak ada jawaban, maka manusia itu akan memproklamasikan sesuatu, apa saja, sebagai tanda. Menurut Littlejohn dan Foss,27 Semiotik selalu dibagi kedalam tiga wilayah kajian—semantik, sintaktik dan pragmatik. Untuk penjelasannya masing-masing dapat dipahami sepeti berikut;
Semantik
Berbicara tentang bagaimana tanda-tanda berhubungan dengan yang ditunjuknya atau apa yang ditunjukkan oleh tanda-tanda.
Sintaktik
25 Sobur, Op.Cit., hlm. 12
26
Ibid., hlm. 14-15
27
Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss, Teori Komunikasi Theory of human
Adalah kajian diantara tanda-tanda. Dipahami sebagai tanda-tanda tidak berdiri dengan sendirinya. Hampir semuanya selalu menjadi bagian dari sistem tanda atau kelompok tanda yang lebih besar yang diatur dalam cara-cara tertentu.
Pragmatik
Memperlihatkan bagaimana tanda-tanda membuat perbedaan dalam kehidupan manusia atau penggunaan praktis serta berbagai akibat dan pengaruh tanda pada kehidupan sosial.
2.2.1 Semiotika Charles Sanders Peirce
Peirce dalam sobur memandang tanda sebagai ―…something
which stands to somebody for something in some respect or
capacity‖28yang diartikan ―…sesuatu yang bagi seseorang mewakili
sesuatu (yang lain) dalam kaitan atau kapasitas tertentu‖ yang tentunya dapat dipahami jika suatu tanda memiliki hubungan erat terhadap seseorang tertentu, dimaksudkan juga, pemaknaan tanda bisa terjadi jika individu tertentu tersebut secara kapasitas menginginkanya.
Lebih lanjut, dalam Sudjiman, Peirce mengemukakan bahwa semiotika bersinonim dengan logika. Logika harus mempelajari
28
Gambar 2.1 Elemen triadik Charles Sanders Peirce Sign/Representamen (X)
Objek (Y) Interpretan (X=Y)
Sumber: Marcel Danesi, Pesan, Tanda dan Makna: Buku Teks dasar mengenai semiotika dan teori komunikasi, Yogyakarta: Jalasutra, 2010
bagaimana orang bernalar. Penalaran ini, menurut hipotesis teori Peirce yang mendasar, dilakukan melalui tanda-tanda.29
Peirce mengatakan bahwa tanda itu sendiri merupakan contoh dari kepertamaan, objeknya adalah kekeduaan, dan penafsirnya— unsur pengantara—adalah contoh dari keketigaan.30 Keketigaan yang ada dalam konteks pembentukan tanda juga membangkitkan semiotika yang tak terbatas, selama suatu penafsir (gagasan) yang membaca tanda sebagai tanda bagi yang lain (yaitu sebagai wakil dari suatu makna atau penanda) bisa ditangkap oleh penafsir lainnya.31
Charles Sanders Peirce menyebut tanda sebagai representamen dan konsep, benda, gagasan dan seterusnya, yang diacunya sebagai objek. Makna yang diperoleh dari sebuah tanda diberi istilah interpretant oleh Peirce. Tiga dimensi ini selalu hadir dalam signifikasi. Karenanya, Peirce memandang proses semiosis sebagai sebuah struktur triadik bukan biner.32 Hubungan Triadik tersebut ditampilkan seperti gambar ini.
29
Panuti Sudjiman (ed), Serba-serbi semiotika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992, hlm. 1
30 Sobur, Op.Cit., hlm. 41 31 Ibid.
32
Tanda yang dikaitkan dengan ground/representament dibaginya menjadi 3 macam; qualisign, sinsign, legisign. Untuk pejelasannya lebih lanjut akan menjadi seperti ini;
1. Qualisign; kualitas yang ada pada tanda, misalnya kata-kata kasar, keras, lemah, lembut, merdu.
2. Sinsign; adalah eksistensi actual benda atau peristiwa yang ada pada tanda; misalnya kata kabur atau keruh yang menandakan bahwa ada hujan di hulu sungai. 3. Legisign; adalah norma yang dikandung oleh tanda,
misalnya rambu-rambu lalu lintas yang menandakan hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan oleh individu.33
Objek ataupun acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda, berdasarkan objeknya Peirce membagi tanda menjadi 3, yaitu;
1. Icon (ikon); yaitu tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Dengan kata lain ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan; misalnya, potret dan peta
2. Index (indeks); adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang
33
bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan.
3. Symbol (simbol); adalah tanda yang menunjukkan yang merujuk bahwa hubungan antara representamen dan obyek bersifat konvensional.34
Interpretant atau penggunaan tanda adalah konsep pemikiran
dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkan ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Berdasarkan interpretant, tanda (sign, representamen) dibagi menjadi 3, yaitu; rheme, dicent sign atau decisign dan argument.
1. Rheme; tanda yang memungkinkan orang individu menafsirkan berdasarkan pilihan.
2. Dicisign; adalah tanda yang ditafsirkan dengan keadaan nyatanya.
3. Argument; adalah tanda yang langsung memberikan alasan tentang sesuatu.
2.3 Representasi
Representasi35 dapat didefinisikan sebagai penggunaan tanda (gambar, bunyi, dan lain-lain) untuk menghubungkan, menggambarkan, memotret atau memproduksi sesuatu yang dilihat, diindera, dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik tertentu. Dengan kata lain, proses menaruh X dan Y secara bersamaan
34 Ibid., hlm. 41-42 35
itu sendiri. Menentukan makna X = Y bukanlah pekerjaan yang mudah. Maksud dari pembuat bentuk, konteks sejarah dan sosial saat representasi dibuat, tujuan pembuatannya, dan sebagainya, merupakan faktor kompleks yang masuk dalam sebuah lukisan. Sebenarnya, salah satu dari berbagai tujuan utama semiotika adalah untuk mempelajari faktor-faktor tersebut.
Danesi36 memberikan contoh hal-hal yang ditimbulkan representasi, perhatikan seks, sebagai sebuah objek. Seks adalah sesuatu yang hadir didunia sebagai fenomenon biologis dan emosional. Sekarang sebagai objek, seks dapat
direpresentasikan (secara literal ―presentasi kembali‖) dalam bentuk fisik tertentu.
Misal dalam budaya kita, representasi umum seks meliputi: (1) Foto dua orang yang sedang berciuman secara romantis; (2) Puisi yang menggambarkan berbagai aspek emosional seks atau; (3) Film erotis yang menggambarkan aspek seks yang lebih fisik.
Sederhananya representasi adalah bagaimana seseorang atau sesuatu digambarkan dalam sebuah media. Representasi itu sendiri merujuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan. Ada tiga elemen yang terlibat dalam representasi37. Pertama, objek merupakan sesuatu yang direpresentasikan. Kedua, representasi sendiri (tanda). Ketiga, seperangkat aturan yang menghubungkan tanda dengan pokok persoalan (Coding). Coding membatasi makna-makna yang mungkin muncul dalam proses interpretasi tanda. Suatu tanda mempunyai aspek yang esensial
36 Marcel Danesi. 2010. Pengantar Memahami semiotika Media. Yogyakarta: Jalasutra 37 Ratna Noviani. 2002, Jalan Tengah Memahami Iklan : Antara Realitas, Representasi
karena menghubungkan dengan objek yang diidentifikasi, satu tanda hanya mengacu pada satu objek atau kelompok objek yang telah ditentukan secara jelas. Oleh karena itu, dalam representasi terdapat kedalaman makna. Representasi mengacu pada sifatnya orisinal.
Hall38 mengatakan bahwa konsep representasi menempati tempat baru yang penting dalam studi kebudayaan. Representasi menghubungkan makna dan bahasa dengan kebudayaan. Representasi menurut Hall adalah bagian utama dari sebuah proses, dimana makna dproduksi dan dipertukarkan diantara anggota-anggota sebuah masyarakat kebudayaan. Representasi melibatkan penggunaan bahasa, baik dalam bentuk tanda dan gambar yang merepresentasikan sesuatu.
2.4 Komedi Situasi dalam Televisi
Komedi situasi atau biasa yang disebut dengan istilah sitkom awalnya mengudara di radio pada tahun 1926 di Amerika. Setelah itu pada tahun 1940-an, sitkom mulai mengudara di televisi dan menjadi salah satu genre populer di televisi. Sedangkan menurut Jung dan Dewhurst,39 The situation comedy is comedy and situation drama. Situasi drama yang dimaksud di sini adalah situasi
komedi drama yang dibuat sedemikian rupa agar tercipta komedi tersebut. Misalnya, cerita tentang sebuah sitcom family yang menggambarkan tentang sebuah keluarga internal yang setingan karakter para pemeran dibuat sedemikian rupa sehingga tercapai sebuah alur cerita yang memberikan gambaran tentang
38 Stuart Hall. 1997. Representation: Cultural Representation and Signifying Practies.
London: Sage Publications. P.16
39Artikel online Dewhurst, and Jung. ―That’s Entertainmen
kejadian konyol, lucu, bodoh, bahkan yang tidak terpikirkan oleh pemirsa bisa terjadi dan menjadi bahan lelucon yang berulang-ulang. Contohnya adalah sitcom
keluarga, ―Suami-suami Takut Istri‖, atau The Simpsons.
Menurut Blake40 tidak hanya fokus pada komedi situasi namun juga pada pembentukan karakter para pemeran. Dalam komedi situasi masing-masing pemeran mempunyai karakter yang dapat diperankan sebagai sebuah karakter yang bisa dikatakan sebagai karakter tetap. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh:
―There is little character development in sitcom because we keep our character trapped. They can’t move. They are stifled by their lives, their job, their relatives, and in situation which are often all off their own making‖, -(Blake, 2005:13).
Sedangkan menurut Slavka Tomascikova bahwa karakter dalam komedi situasi seringkali mengandung sebuah suatu stereotipe di mana apa yang mereka (pemeran) lakukan biasanya melampui batas-batas kebiasaan yang berlaku dalam sebuah konteks yang ada dalam tingka laku yang mungkin kurang tepat. Menurut Goodwin dan Whannel komedi situasi haruslah menunjukkan suatu struktur narasi yang simplisik yang melibatkan suatu permasalahan yang dapat dipecahkan atau menemukan sebuah solusi dari masalah tersebut. Komedi situasi yang berdurasi setegah jam, selalu mempunyai alur cerita logis dan temporal.41
Namun seperti dikatakan oleh Blake42 komedi situasi merujuk pada pentingnya tokoh untuk menyelesaikan atau memecahkan narasi tersebut.
40 Mark Blake.2005.
How to be a Sitcom Writter. Secret from the inside. UK: Summersdale Publisher Ltd. P.10
41 Greame Burton. 2000.
Membincangkan Televisi, Pengantar Studi Televisi. Yogyakarta: Jalasutra hlm.181
Biasanya ciri tokoh itulah yang membuat kita tertawa, ciri yang juga dapat menyebabkan masalah dan juga solusi dari permasalahan tersebut. Dalam sitcom, durasinya adalah setengah jam, jika sitcom durasinya lebih dari setengah jam berarti kita mungkin tidak dapat membedakan mana yang sitcom dan mana yang drama. Perbedaannya secara mendasar terletak pada karakteristik yang bermain dalam cerita tersebut. Dalam komedi situasi hanya terdapat sedikit pengembangan dari masing-masing karakter pemain karena pemain dalam komedi situasi terkekang dalam situasinya, mereka akan bertahan dalam hidup mereka, dalam posisi dan karakter dalam lingkungan keluarga, pekerjaan, pertemanan, maupun situasi lain yang diciptakan.
Contoh komedi situasi di Indonesia salah satunya adalah komedi situasi
―Keluarga Minus‖ yang mengangkat cerita tentang keluarga urban dari beragam
budaya dan etnis yang tinggal di sebuah kompleks perumahan di Jakarta. Komedi
situasi ―Keluarga Minus‖ merupakan sebuah genre yang diproduksi dalam
program televisi. Burton43 mendefinisikan genre sebagai tipe atau kategori produk media seperti komedi situasi. Setiap genre memiliki aspeknya sendiri. Aspek-aspek tersebut dipahami dengan baik karena seringkali diulangulang oleh media pada periode waktu tertentu. Pesan dan teks media tersebut di atas bukan hanya dilihat semata-mata sebagai suatu pesan tanpa makna. Namun lebih dari itu media sebenarnya telah menciptakan realitas yang dikonstruksi yang disampaikan melalui beragam program dan produk media.
43
Bungin44 menjelaskan bahwa media mengkonstruksi realitas dalam model
peta analog yaitu ‗suatu konstruksi realitas yang dibangun berdasarkan suatu
konstruksi media massa (televisi), seperti sebuah analogi kejadian yang
seharusnya terjadi, bersifat rasional dan dramatis‘. Hal ini seperti konstruksi media terhadap berita jatuhnya pesawat terbang atau dalam program acara film Televisi. Media mengkonstruksi realitas dengan cara tertentu yang pada akhirnya membuat kita untuk melihat realitas dengan pandangan dan cara tertentu dengan bahasa media (visual dan verbal).
Lewat para pekerja media, sebuah cerita dibentuk dan ditayangkan pada penonton. Isi cerita tersebut tidak terlepas dari ide dan maksud para perancang cerita yang tentu saja 14 memuat seperangkat kepercayaaan dan pandangan umum yang kita kenal sebagai ideologi. Oleh sebab itu Burton45 menyebut ideologi sebagai sistem-sistem representasi yang perwujudannya mendefinisikan ideologi tersebut. Tindakan representasi menjadi perwujudan dari hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Karena itu representasi merupakan ungkapan ideologi.
2.5Maskulinitas
Gender merupakan kategori dasar dalam budaya, yakni sebagai proses dengan identifikasi tidak hanya orang, tetapi juga pembedaharaan kata, pola bicara, sikap dan perilaku, tujuan dan aktifitas seperti maskulinitas atau
44 Burhan H.M Bungin. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik, dan Ilmu Sosial. Jakarta: Kencana Prenama Media Group hlm.212
45
femininitas.46Konsep berpikir yang berkembang dalam masyarakat ketika mengkotak-kotakan gambaran pria maupun wanita secara ideal. Yang disebut stereotip gender. Stereotip terkadang bersifat positif dan negatif. Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya mengenal lebih dulu perspektif mengenai seksualitas, sebagai berikut:
1. Perspektif ensensialis
meyakini bahwa seksualitas adalah sesuatu yang alamiah atau apa adanya.
2. Perpektif non-esensialis atau konstruksionis
seksualitas dipandang sebagai sebuah konstruksi dan erat kaitannya dengan subjektivitas.47 Konstruksi femininitas dalam masyarakat, dinilai lemah lembut, pasif, inferior dan lain sebagainya, menempatkan posisi wanita termarjinalkan.48 Munculnya hal tersebut meyakinkan kaum feminis untuk keluar dari permasalah gender tersebut. Tujuan dasar dari feminis adalah untuk memerangi penindasan perempuan, yang mereka yakini sebagai upaya feminisme untuk menekan patriaki. Dengan demikian, tanpa feminisme, tidak mungkin bahwa akan ada disiplin akademis atau ilmu mengenai dominasi laki-laki.
Pada dasarnya secara jenis kelamin laki-laki dan perempuan memiliki
46
Rendra Widyatama. Bias Gender Dalam Iklan Televisi. Yogyakarta: Media Pressindo. 2006. hlm. 4
47 Lynne Segall. Chapter Four: Sexualities. Identity and Difference edited by Kathryn
Woodard. 2002
48
perbedaan. Namun secara gender ada beberapa perilaku yang akhirnya menjadi konstruksi sosial yaitu:
Tabel 2.1 Pembedaan antara men (laki-laki) dengan women (perempuan)
MEN are (should be)
WOMEN are (should be)
Masculine Feminine
Dominant Submissive
Strong Weak
Aggressive Passive
Intelligent Intuitive
Rational
Emotionsl
Active (do things) Communicative (talk about things)
MEN like WOMEN like
Cars/technology
Shopping/make up
Getting drunk
Social drinking with friends
Casual sex with many partner Commited relationship
Sumber: Helen MacDonald (tt). ―Magazine Advertising and Gender‖ dalam http://www.mediated.or.uk/posted_documents/MagzineAdverts.html49
Perbedaan ada laki-laki melekat ciri maskulinitas dan pada perempuan melekat ciri feminitas. Sifat maskulin laki-laki diidentikkan dengan sifat kuat, berotot, superior, dan berkuasa, sementara perempuan dikatakan feminin dengan makna lemah, tidak berotot, subordinat, dan dikuasai. Tidak ada ruang ketiga
49 Novi Kurnia. 2004. Representasi Maskulinitas dalam Iklan. Volume 8, Nomor 1Jurnal
untuk laki-laki yang mempunyai sifat feminin dan perempuan yang mempunyai sifat maskulin.
Tabel 2.2 Perbedaan maskulinitas dan feminitas
Masculinity Feminity
Strength – physical and intellectual Beauty (within narrow conventions)
Power Size/physique (again, within narrow
conventions)
Sexual attractiveness (which may be based on the above)
Sexuality (as expressed by the above)
Physique Emotional (as opposed to intellectual)
dealings
Independence (of thought, action) Relationship (as opposed to independence/freedom)
Being isolated as not needing to rely on others (the lone hero)
Being part of a context (family, friends, colleagues)
Sumber: www.mediaknowall.com/gender.html
dalam kehidupan sosial masyarakat, kemudian dapat berbuah ideologi maskulinitas baru.
2.6Feminisme
Feminisme Secara etimologis feminis berasal dari kata femme (woman), berarti perempuan yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan sebagai kelas sosial. Feminisme muncul sebagai akibat dari adanya prasangka gender yang cenderung menomorduakan kaum perempuan. Perempuan dinomorduakan karena adanya anggapan bahwa laki-laki sebagai makhluk yang kuat, sedangkan kaum perempuan adalah makhluk yang lemah. Hal tersebut membuat kaum perempuan selalu diremehkan dan dianggap tidak pantas untuk disejajarkan dengan kaum laki-laki.
merupakan perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem dan struktur sosial yang tidak adil menuju keadilan bagi kaum laki-laki dan perempuan. 50
Moeliono menyatakan bahwa feminisme adalah gerakan kaum perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki. Persamaan hak itu meliputi semua aspek kehidupan, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya.51 Feminisme merupakan kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak dan kepentingan perempuan. Jika perempuan sederajat dengan lakilaki, berarti mereka mempunyai hak untuk menentukan dirinya sendiri sebagaimana yang dimiliki oleh kaum laki-laki selama ini. Dengan kata lain feminisme merupakan gerakan kaum perempuan untuk memperoleh otonomi atau kebebasan menentukan dirinya sendiri.
Gerakan feminisme muncul sebagai akibat dari adanya prasangka gender yang cenderung menomorduakan kaum perempuan. Perempuan dinomorduakan karena adanya anggapan bahwa secara universal laki-laki berbeda dengan perempuan. Perbedaan itu tidak hanya terbatas pada kriteria biologis, melainkan juga sampai pada kriteria sosial dan budaya.52 Perbedaan itu diwakili oleh dua konsep, yaitu jenis kelamin dan gender. Perbedaan jenis kelamin mengacu pada perbedaan fisik, terutama fungsi reproduksi, sedangkan gender merupakan interpretasi sosial dan kultural terhadap
50 Mansour Fakih. 2008. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:
INSISTPress hlm.99-100
51 Soenarjati Djajanegara. 2000.
Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama hlm.16
52 Sugihastuti dan Suharto. 2010. Kritik Sastra Feminis, Teori dan Aplikasinya.
perbedaan jenis kelamin. Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajat laki-laki.
Perjuangan serta usaha feminisme untuk mencapai tujuan tersebut mencakup berbagai cara .Berbagai upaya dilakukan oleh kaum wanita demi memperoleh kesetaraan gender karena perempuan merasa bahwa sudah saatnya mereka terlepas dari kungkungan budaya patriarki, salah satunya adalah perjuangan mereka untuk disejajarkan dalam bidang sosial. Kaum wanita ingin dirinya tidak lagi diremehkan dan berhak untuk memperoleh pendidikan dan pekerjaan yang dianggap kaum laki-lakilah yang boleh mendapatkanya. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa feminisme adalah suatu paham yang memperjuangkan hak kaum wanita agar kedudukan seorang wanita disejajarkan dengan kaum pria. Baik dari aspek kelas sosial maupun gender.
Gerakan feminis ini muncul karena adanya kesadaran bahwa selama ini perempuan hidup di bawah dominasi laki-laki. Dengan kata lain, gerakan ini ingin mengubah tentang pemahaman yang mengatakan bahwa kaum perempuan dianggap lemah dibandingkan dengan kaum laki-laki. Berkaitan dengan gerakan feminisme, terdapat beberapa aliran dalam gerakan feminisme itu sendiri, antara lain: feminisme liberal, feminisme marxis, feminisme sosialis, dan feminisme radikal.
Patriarki adalah sistem pengelompokan masyarakat sosial yang mementingkan garis keturunan bapak/laki-laki. Patrilineal adalah hubungan keturunan melalui garis keturunan kerabat pria atau bapak.53 Patriarki juga dapat dijelaskan dimana keadaan masyarakat yang menempatkan kedudukan dan posisi laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan dalam segala aspek kehidupan sosial, budaya dan ekonomi.54 Pada tatanan kehidupan sosial, konsep patriarki sebagai landasan ideologis, pola hubungan gender dalam masyarakat secara sistematik dalam praktiknya dengan pranata-pranata sosial lainnya. Faktor budaya merupakan salah satu penyebeb meningkatnya angka kekerasan terhadap perempuan.
Hal ini dikarenakan terlalu diprioritaskannya laki-laki (maskulin).Perbedaan gender sebetulnya tidak menjadi masalah selama tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun ternyata perbedaan gender baik melalui mitos-mitos, sosialisai, kultur, dan kebijakan pemerintah telah melahirkan hukum yang tidak adil bagi perempuan. Pada masyarakat patriarki, nilai-nilai kultur yang berkaitan dengan seksualitas perempuan mencerminkan ketidaksetaraan gender menempatkan perempuan pada posisi yang tidak adil.55 Sikap masyarakat patriarki yang kuat ini mengakibatkan masyarakat cenderung tidak menanggapi atau berempati terhadap segala tindak kekerasan yang menimpa perempuan.
53 Sastryani S. 2007.
Glosarium, Seks dan Gender. Yogyakarta: Carasuati Books hlm.65
54 Saroba Pinem. 2009. Kesehatan Reproduksi dan Kontrasepsi. Jakarta: Trans Media
hlm.42
55
Sering dijumpai masyarakat lebih banyak komentar dan menunjukkan sikap yang menyudutkan perempuan.56
2.8Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir dalam Sugiyono57merupakan suatu hal yang penting untuk memberikan arah bagi peneliti dalam proses penelitiannya. Maksud dari kerangka berpikir adalah upaya terbentuknya suatu alur penelitian yang jelas dan diterima secara akal. Dibawah ini merupakan kerangka berpikir peneliti dalam melaksanakan penelitian mengenai representasi perempuan maskulin sebagai perlawanan terhadap patriarki dalam Sitkom OK-JEK .
Gambar 2.2 Kerangka Berpikir
56
Manuruung, Ria, dkk. 2002. Kekerasan terhadap Perempuan pada Masyarakat Multi Etnik. Yogyakarta: Pusat Studi Kependidikan dan Kebijakkan UGM Ford Foundation. Hlm.83
57 Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung: CV.Alfabeta
hlm.92
Praktik Patriarki di Masyrakat Perempuan sebagai Objek dan Subordinat Laki-laki
Perempuan dalam media dan situasi komedi (Sitkom)
Masyarakat indonesia pada umumnya masih menganut budaya patriarki. Dimana, dominasi laki-laki di berbagai aspek vital. Kemudian, perempuan diposisikan sebagai objek dan subordinat laki-laki. Citra dan tampilan perempuan dalam media pun masih menjadi dominasi patriarki. Hegemoni secara sutruk dan didukung oleh kultur kemudian berusaha dilawan oleh sebuah tayangan Situasi Komedi(sitkom) Ok-Jek. Dihadirkan sosok perempuan yaitu Asna dicirikan sebagai perempuan yang melawan stereotipe dan dominasi patriarki. Dikaji melalui semiotika, ilmu yang mempelajari tanda. Tanda, objek, dan interpretasi yang menghasilkan representasi perempuan maskulin sebagai perlawanan terhadap patriarki dalam situasi komedi(sitkom) ok-jek.
2.9Penelitian Terdahulu
Peninjauan terhadap penelitian terdahulu tentunya diperlukan guna menghindari kesamaan dengan penelitian yang telah dilakukan
Tanda Objek Interpretan
t
Representasi Perempuan Maskulin sebagai Perlawanan terhadap Partriarki dalam Situasi Komedi (Sitkom) OK-JEK
sebelumnya, serta peninjauan ini pun berguna sebagai referensi. Hasil peninjauan tersebut sebagai berikut:
1. Skripsi berjudul Representasi Nilai-nilai yang Terkandung di Dalam Agama Kristen, Gnostik dan Budha pada Film The
Matrix Trilogy (Analisis Semiotika Terhadap Film The Matrix,
The Matrix Reloaded Dan The Matrix Revolutions) yang
disusun oleh Rininta Ramadhani pada tahun 2006, program studi ilmu komunikasi massa Universitas Indonesia. Melihat aspek sinematik serta aspek naratif yang tersedia dalam film The Matrix Trilogy dengan menggunakan analisis triadik Peirce. Hasil peneltian ini menemukan nilai-nilai agama Kristen, Gnostik dan Buddha dalam film ini, yang berupa Kelahiran/kebangkitan, Sabda, Hukuman, serta Imbalan.
2. Skripsi yang disusun oleh Sinta Farida, jurusan penyiaran Universitas Mercu Buana yang berjudul Representasi Mental Psikopat Dalam Film Orphan (Analisis Semiotika Charles
berupa adegan tingkah laku karakter dari film tersebut. Tingkah laku yang merupakan tanda dari mental psikopat ini di-encoding dalam pesan verbal maupun non-verbal.
3. Skripsi berjudul Representasi Budaya Pendidikan Pesantren dalam Film 3 Doa 3 Cinta yang telah disusun oleh Maslim
Lesmana pada tahun 2012 , Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Trirtayasa. Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif Deskriptif. Dengan objek penelitiannya berupa scene-scene dalam film 3 Doa 3 Cinta yang dianggap menggambarkan budaya pendidikan pesantren. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis semiotika Peirce. Hasil dari penelitian ini adalah Representasi budaya pendidikan yang diceritakan dalam film ini disimbolkan melalui setiap adegan-adegan yang dimainkan oleh para pemain. Didukung dengan kostum, yang digunakan dan juga dialog-dialog yang diucapkan para pemain. Dalam film ini dapat ditemukan simbol-simbol yang bisa merepresentasikan budaya pendidikan pesantren seperti gedung pondok pesantren, santri, usatdz, peci, kegiatan islami ataupun hal-hal yang berkaitan dengan pondok pesantren. Representasi pendidikan pesantren dalam film ini masih bersifat tradisonal.
Nama Rininta
Ramadhani
Sinta Farida Maslim Lesmana
Universitas Universitas Indonesia
Universitas Mercu Buana
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Tahun 2006 2014 2012 2016
Judul Penelitian
Representas
i Nilai-nilai
yang
Terkandung
di Dalam
Agama
Kristen,
Gnostik dan
Budha pada
Film The
Matrix
Trilogy
(Analisis
Semiotika
Terhadap
Film The
Matrix, The
Matrix
Reloaded
Dan The
Matrix Revolutions ) Representasi Mental Psikopat
Dalam Film
Orphan (Analisis Semiotika Charles Sanders Peirce) Representasi Budaya Pendidikan Pesantren
dalam Film 3
Doa 3 Cinta
Representasi Perempuan Maskulin sebagai Perlawanan terhadap Patriarki
dalam Situasi
Komedi
Ok-Jek
Tujuan Mengetahui nilai nilai agama yang
Mengetahui makna
psikopat yang
Untuk mengetahui sebuah budaya
terkandung dalam film The Matrix
Trilogy
direpresentasik an dalam film Orphan
pendidikan pesantren direpresentasika n dalam film
maskulin sebagai perlawanan terhadap patriarki direpresentasi kan dalam situasi komedi Hasil Hasil
peneltian ini menemukan nilai-nilai agama Kristen, Gnostik dan Buddha dalam film ini, yang berupa Kelahiran/k ebangkitan, Sabda, Hukuman, serta Imbalan. Representasi disignifikasika
n dalam
indeksial yang berupa adegan tingkah laku karakter dari film tersebut. Tingkah laku yang
merupakan tanda dari mental
psikopat ini di-encoding dalam pesan verbal maupun non-verbal.
Film ini
merepresentasik an budaya pendidikan pesantren
dengan ditandai gambar-gambar seperti pondok pesantren, santri, ustadz,
peci dan
kegiatan islami lainnya.
Sitkom ini merepresentasi kan bahwa perempuan dapat berkarakter maskulin dan hegemoni patriarki melalui stereotipe perempuan di patahkan oleh sitkom ok-jek
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Paradigma Penelitian
Paradigma menurut Bogdan dan Biklen58 adalah kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir penelitian. Sedangkan Wimmer dan Domninick59 menyebut pendekatan dengan paradigma yaitu seperangkat teori, prosedur, dan asumsi yang diyakini tentang bagaimana peneliti melihat dunia. Vardiansyah60 berpendapat bahwa paradigma diartikan sebagai cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengerahuinya dalam berpikir (kognitif), bersikap(afektif), dan bertingkah laku(konatif). Secara sederhana penulis melihat paradigma merupakan sudut pandang penulis dalam melihat realitas. Dari beberapa paradigma yang ada, dalam penelitian ini penulis menggunakan paradigma kritis.
Dalam paradigma kritis penulis percaya bahwa mereka yang memiliki kekuasaan membentuk pengetahuan dalam arti bahwa pekerjaan mereka adalah untuk mempertahankan kondisi yang sudah ada (status quo)61. Stuart hall62sendiri
58 Lexy J Moleong. (2007)
Metodologi Penelitian Kualitatif. Penerbit PT Remaja Rosdakarya Offset, Bandung. Hlm.49
59
Rachmat Kriyantono. 2009. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Malang: Prenada Media Group. Hlm. 48
60 Dani Vardiansyah. 2005. Filsafat Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Jakarta: PT
Indekskelompok Gramedia Hlm.27
61 Richard West dan Lynn H. Turner. 2007.
Introducing Communication Theory: Analysis and Application, 3rd ed. New York: Mc Graw Hill P.76
62 Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: Lkis.
memiliki pandangan bahwa ketidak seimbangan kekuasaan mungkin tidak selalu merupakan hasil dari strategi yang disengaja oleh pihak yang berkuasa.Paradigma kritis menekankan pada konstelasi(susunan) kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya, karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat.
Demikian pula dalam Situasi Komedi (sitkom) Ok-Jek ada kekuatan-kekuatan lain seperti infrastruktur(ekonomi) dan suprastruktur(politik, sosial, budaya) yang tentu banyak mempengaruhi hadirnya sitkom ini. Dimana perempuan yang dalam konstruksi sosial dianggap feminim dalam sitkom ditampilkan sebagai perempuan maskulin. Dalam dominasi partiarki, perempuan direpresentasikan dalam media sebagai objek fantasi laki-laki. Tetapi sitkom ini menghadirkan hal yang berbeda seperti menghadirkan perlawanan terhadap dominasi patriaki dan mendekonstruksi perempuan.
3.2Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu penelitian yang menggunakan latar alamiah. Tujuannya menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada63. Penelitian kualitatif juga bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan secara
63 Lexy Moleong. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
holitstik, dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Riset kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-sedalam-dalamnya. Disini yang lebih ditekankan adalah persoalan kedalam (kualitas) data bukan banyaknya (kuantitas) data64.
Sifat penelitian yang diambil adalah jenis deskriptif, yaitu penelitian yang berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data-data65. Pertimbangan penulis menggunakan metode deskriptif karena memiliki tujuan yang sama dengan keinginan penelitian penulis, yaitu hanya untuk melihat kondisi objektif yang terjadi di lapangan, lalu memaparkan keadaan atau peristiwa tersebut apa adanya, tidak untuk mencari atau menjelaskan. Creswell66 menyebutkan beberapa karakteristik penelititan kualitatif yang juga sesuai dengan penelitian ini:
1. Natural setting sebagai sumber data
2. Peneliti sebagai insturmen kunci dalam pengumpulan data 3. Data dikumpulkan sebagai kata-kata atau gambar
4. Hasil lebih sebagai proses daripada produk
Data analisis secara induktif, memperhatikan Sifat deskriptif ini memberikan gambaran bagaimana representasi perempuan maskulin sebagai
64
Rachmat Kriyantono. 2008. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. hal. 56-57
65 Cholid Narbuko dan Abu Ahmadi. 2001. Metode Penelitian. Jakarta:Bumi Aksara 66 J. W. Creswell. 1998. Qualitative inquiry and research design : choosing
perlawanan terhadap patriarki, karena pada dasarnya penelitian ini bertujuan untuk;
1. Mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada
2. Mengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku
3. Membuat perbandingan atau evaluasi
4. Menemukan apa yang telah dilakukan oleh orang la