• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Pada tanggal 18 Maret 2013, United Nations Development Programme

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Pada tanggal 18 Maret 2013, United Nations Development Programme"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah

Pada tanggal 18 Maret 2013, United Nations Development Programme (UNDP) telah merilis data yang menunjukkan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia pada tahun 2012 meningkat sebesar 0,629. Angka tersebut terus naik dari tahun 2010 sebesar 0,620 dan tahun 2011 sebesar 0,624. Menurut laporan UNDP, IPM Indonesia terus meningkat karena Indonesia merupakan salah satu negara yang berusaha mencari keseimbangan baru antara negara dengan pasar. Hal tersebut ditunjukkan dengan kegiatan perekonomian dan pembangunan di Indonesia yang dulunya terfokus pada pertanian dan pembangunan pedesaan, kini menjadi ekonomi yang lebih terbuka dengan fokus pada perdagangan.

Semakin terbukanya perdagangan di Indonesia berpengaruh terhadap jumlah perusahaan yang lahir dan berkembang di Indonesia. Menurut Hasil Listing Sensus Ekonomi (SE06), di luar sektor pertanian terdapat 22,7 juta perusahaan yang lahir dan berkembang di Indonesia. Namun, tidak semua perusahaan di Indonesia mampu mempertahankan eksistensinya dalam kondisi persaingan usaha yang semakin ketat. Terdapat beberapa indikator yang dapat dipergunakan untuk melihat suatu perusahaan dalam keadaan sehat secara keuanganatau tidak. Indikator-indikator tersebut antara lain adalah:

(2)

a. rasio likuiditas

Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan suatu perusahaan dalam memenuhi kewajiban keuangan yang harus segera dipenuhi atau kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangan pada saat ditagih.1

b. rasio aktivitas

Rasio ini mengukur efektifitas perusahaan dalam penggunaan sumber daya yang dimilikinya. Hal ini dapat dilihat dari kemampuan perusahaan untuk mempertahankan operasional perusahaan yang umumnya ditunjukkan dengan kemampuan melakukan usaha secara stabil, termasuk mampu untuk membayar deviden secara teratur kepada para pemegang saham tanpa mengalami hambatan atau krisis keuangan.

c. rasio solvabilitas

Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban-kewajiban jangka panjangnya.2

d. rasio rentabilitas atau profitabilitas

Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba selama periode tertentu yang diukur dengan membandingkan antara laba yang diperoleh dalam suatu periode dengan jumlah aktiva atau jumlah modal perusahaan tersebut.

1

Munawir, 2007, Analisis Laporan Keuangan, Cet. Keempat Belas, Liberty, Yogyakarta, hal. 31.

2

Djarwanto, 2004, Pokok-Pokok Analisis Laporan Keuangan, Edisi Kedua, BPFE, Yogyakarta, hal. 162.

(3)

Dari keempat indikator tersebut, dapat disimpulkan bahwa perusahaan yang sehat keuangannya adalah perusahaan yang mampu memenuhi kewajibannya kepada pihak lain secara tepat waktu dan tanpa mengalami hambatan. Kewajiban perusahaan yang belum dilaksanakan merupakan utang dan jika hingga batas waktu yang telah ditentukan baik oleh perjanjian maupun oleh undang-undang, suatu perusahaan tidak dapat membayar lunas utang tersebut, maka perusahaan tersebut dapat dinyatakan bangkrut atau pailit.

Secara etimologis, pailit berasal dari bahasa Perancis yakni failite yang berarti kemacetan pembayaran. Menurut Poerwadarminta, pailit artinya bangkrut, sedangkan bangkrut artinya menderita kerugian besar hingga jatuh (perusahaan, toko, dan sebagainya).3 Perusahaan yang berkedudukan sebagai debitor pailit tentunya memiliki utang yang belum terbayarkan kepada pihak lain yang disebut kreditor. Menurut Abdulkadir Muhammad, pihak yang berhak menuntut sesuatu disebut kreditor, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan disebut debitor.4 Jika debitor hanya memiliki utang kepada satu kreditor, maka penyelesaiannya dapat dilakukan di Pengadilan Negeri. Namun, lain halnya apabila debitor memiliki utang yang tidak mampu dilunasi kepada beberapa kreditor, maka dibutuhkan lembaga khusus yang mampu mengurus penyelesaian utang-utang kepada kreditor-kreditor secara proporsional, yakni seimbang dengan besar kecilnya utang dan tidak ada yang

3

W.J.S. Poerwadarminta, 1999, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Gramedia, Jakarta. 4

Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 199.

(4)

didahulukan kecuali ditentukan oleh undang-undang. Oleh karena itu pemerintah membentuk lembaga khusus yaitu lembaga kepailitan.

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK) menyebutkan bahwa, “Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.” Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat syarat-syarat yang wajib dipenuhi agar debitor dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan, yakni:

a. debitor mempunyai dua atau lebih kreditor;

b. tidak membayar lunas sedikitnya satu utang jatuh waktu dan dapat ditagih;

c. atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya.

Kreditor menurut Pasal 1 angka 2 UUK adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan, sedangkan debitor menurut Pasal 1 angka 3 UUK adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan. Dari pengertian yang diberikan oleh UUK tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa di antara kreditor dengan debitor terdapat hubungan hukum, yakni utang piutang.

(5)

Kreditor sebagai pihak yang memiliki piutang kepada debitor berhak menuntut prestasi kepada debitor, sedangkan debitor sebagai pihak yang memiliki utang kepada kreditor wajib untuk memenuhi prestasi sebagaimana telah diperjanjikan antara kreditor dengan debitor sebelumnya ataupun yang timbul karena undang-undang. Contoh hubungan utang piutang yang timbul karena perjanjian adalah utang piutang yang timbul dari perjanjian kredit dan penyediaan produk tertentu dalam jangka waktu tertentu, sedangkan contoh hubungan utang piutang yang timbul karena undang-undang adalah utang piutang tagihan telepon, pemakaian jasa Perusahaan Listrik Negara (PLN), dan pajak. Intinya, hubungan utang piutang timbul karena adanya prestasi yang wajib dilakukan oleh debitor kepada kreditor, selama prestasi tersebut belum dipenuhi maka akan menjadi utang debitor kepada kreditor. Prestasi menurut Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPER) dapat berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.

Utang dalam hukum kepailitan diatur lebih spesifik melalui Pasal 1 angka 6 UUK, yakni:

utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor. Pengertian utang jatuh waktu dan dapat ditagih dapat ditemukan dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUK, yakni:

yang dimaksud dengan "utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih" adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya

(6)

sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase.

Pada dasarnya, dalam hubungan utang piutang terdapat batas waktu debitor harus memenuhi prestasi yang telah diperjanjikan ataupun timbul karena undang-undang. Batas waktu inilah yang disebut dengan waktu utang tersebut jatuh waktu. Jika suatu utang telah sampai di batas waktu yang ditentukan namun belum dipenuhi oleh debitor, maka kreditor memiliki hak untuk menagih pemenuhan atas prestasi yang mendasari adanya utang tersebut. Penagihan oleh kreditor dilakukan melalui somasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 1238 KUHPER yakni, “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yg ditentukan.”

Syarat-syarat pailit yang sedemikian mudahnya ternyata tidak mudah dalam implementasinya. Hal ini terlihat dari banyaknya putusan yang berbeda di setiap tingkat peradilan meskipun mengenai satu perkara kepailitan. Misalnya, suatu perkara kepailitan ketika diperiksa di Pengadilan Niaga, hakim mengabulkan permohonan pernyataan pailit sehingga menjatuhkan putusan pernyataan pailit, namun ketika perkara tersebut memperoleh upaya hukum kasasi, Hakim Agung menolak permohonan pernyataan pailit sehingga membatalkan Putusan Pengadilan Niaga. Fenomena peristiwa hukum yang demikian juga dialami oleh PT. TELKOMSEL yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui Putusan No.

(7)

48/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst tertanggal 14 September 2012. Putusan pernyataan pailit tersebut dijatuhkan setelah PT. TELKOMSEL dimohonkan pailit oleh PT. Prima Jaya Informatika pada tanggal 16 Juli 2012 karena memiliki utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih kepada PT. Prima Jaya Informatika atas penyediaan voucher isi ulang dan perdana prabayar Kartu Prima bergambar atlet-atlet nasional. Namun, putusan pernyataan pailit tersebut kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui Putusan No. 704 K/Pdt.Sus/2012 tertanggal 21 November 2012 yang merupakan hasil dari upaya hukum kasasi yang diajukan oleh PT. TELKOMSEL pada tanggal 21 September 2012.

Peristiwa pailit PT. TELKOMSEL tentunya mengejutkan banyak pihak di Indonesia, baik pihak pebisnis, akademisi, maupun masyarakat secara umum, mengingat PT. TELKOMSEL merupakan perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Kepailitan PT. TELKOMSEL juga akan merugikan keuangan negara hingga mencapai triliunan rupiah, hal ini dikarenakan pemegang saham terbesar PT. TELKOMSEL adalah pemerintah melalui PT. Telekomunikasi Indonesia yang merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Selain itu, utang yang dimiliki PT. TELKOMSEL kepada PT. Prima Jaya Informatika hanya sebesar Rp 5.260.000.000,00 (lima miliar dua ratus enam puluh juta rupiah). Jumlah tersebut tidak sebanding dengan harta kekayaan PT. TELKOMSEL yang terhitung di tahun 2012 mencapai Rp. 48.730.000.000.000,00 (empat puluh delapan triliun tujuh ratus tiga puluh miliar rupiah) dengan laba bersih sebesar

(8)

Rp 11.720.000.000.000,00 (sebelas triliun tujuh ratus dua puluh miliar rupiah). Jadi, sangatlah diragukan jika PT. TELKOMSEL tidak mampu membayar utang yang jumlahnya hanya 0,01% dari keseluruhan harta yang dimilikinya. Namun pada dasarnya, PT. TELKOMSEL tentunya dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat setelah terbukti secara sederhana memenuhi syarat-syarat pailit sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UUK. Perbedaan putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan putusan Mahkamah Agung dalam perkara pailit PT. TELKOMSEL ini menimbulkan rasa keingintahuan mengenai penyebab perbedaan hasil putusan tersebut sehingga dilakukan penelitian ini. Melalui penelitian ini akan dianalisis lebih dalam mengenai dasar pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam menjatuhkan putusan pernyataan pailit PT. TELKOMSEL dan pertimbangan hukum Hakim Agung dalam mengambil keputusan untuk membatalkan putusan tersebut. Oleh karena itu, diangkat penelitian dengan judul “Analisis Yuridis Pembatalan Putusan Pailit PT. Telekomunikasi Selular oleh Mahkamah Agung: Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 704 K/Pdt.Sus/2012.”

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

(9)

1. apakah dasar pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam menjatuhkan putusan pernyataan pailit PT. TELKOMSEL?

2. bagaimanakah dasar pertimbangan hukum Hakim Agung dalam membatalkan putusan pernyataan pailit PT. TELKOMSEL?

1.3Ruang Lingkup Masalah

Adapun agar pembahasan di dalam penelitian ini dapat terfokus sesuai dengan rumusan masalah yang telah ditentukan, maka pembahasan di dalam penelitian ini dibatasi dengan ruang lingkup:

1. dasar pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam menjatuhkan putusan pernyataan pailit PT. TELKOMSEL;

2. dasar pertimbangan hukum Hakim Agung dalam membatalkan putusan pernyataan pailit PT. TELKOMSEL.

1.4Orisinalitas Penelitian

Usulan penelitian ini diajukan pada bulan Februari 2013, yakni 3 (tiga) bulan setelah Putusan Mahkamah Agung No. 704 K/Pdt.Sus/2012 dijatuhkan. Ide penelitian ini murni dari hasil pemikiran sendiri. Berdasarkan penelusuran di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana dan internet, ditemukan beberapa penelitian sejenis namun memiliki perbedaan substansi dengan penelitian ini. Penelitian-penelitian tersebut antara lain adalah:

(10)

a. Pembatalan Putusan Pernyataan Pailit di Tingkat Kasasi oleh Mahkamah Agung (Studi Kasus PT. Dirgantara Indonesia), Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2008.

Permasalahan: a) dasar pertimbangan Mahkamah Agung dalam menjatuhkan putusan permohonan kasasi PT. Dirgantara Indonesia; b) penerapan ketentuan yang terdapat dalam UUK pada Putusan Mahkamah Agung tersebut; dan c) akibat hukum yang timbul dari pembatalan pernyataan pailit terhadap PT. Dirgantara Indonesia menurut UUK.

b. Analisis Yuridis Putusan Pailit terhadap PT. Telkomsel Tbk., Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2013.

Permasalahan: a) putusan pailit menurut UUK; b) kewenangan Pengadilan Niaga dalam memeriksa dan mengadili perkara kepailitan menurut UUK; dan c) penerapan ketentuan UUK dalam Putusan Pailit Telkomsel Tbk.

1.5Tujuan Penelitian 1.5.1 Tujuan umum.

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui penyebab perbedaan putusan yang dijatuhkan oleh dua tingkat peradilan dalam menangani satu perkara kepailitan.

1.5.2 Tujuan khusus.

a. Mengetahui dasar pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam menjatuhkan putusan pernyataan pailit PT. TELKOMSEL.

(11)

b. Mengetahui dasar pertimbangan hukum Hakim Agung dalam membatalkan Putusan Pernyataan Pailit PT. TELKOMSEL.

1.6Manfaat Penelitian 1.6.1 Manfaat teoritis.

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk menambah pustaka di bidang ilmu hukum perdata khususnya di dalam hukum kepailitan. 1.6.2 Manfaat praktis.

a. Bagi mahasiswa: sebagai referensi dalam menyelesaikan tugas maupun penelitian mengenai hukum kepailitan.

b. Bagi dosen hukum kepailitan: sebagai bahan diskusi di kelas mengenai kasus nyata perbedaan putusan dua tingkat peradilan dalam memutus satu perkara kepailitan.

c. Bagi hakim: sebagai bahan masukan yang dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam membuat putusan pernyataan pailit.

d. Bagi kreditor, kuasa hukum kreditor, debitor, dan kuasa hukum debitor: sebagai bahan masukan dalam membuat permohonan pernyataan pailit dan mempersiapkan alat-alat bukti yang diperlukan selama persidangan.

e. Bagi masyarakat: sebagai bahan bacaan hukum kepailitan yang kebenaran isinya dapat dipertanggungjawabkan, mengingat mayoritas berita yang beredar luas di masyarakat belum dapat dibuktikan kebenarannya dan bersifat menguntungkan satu pihak.

(12)

1.7Landasan Teoritis

Utang merupakan raison d’etre (tujuan) dari suatu kepailitan, oleh karena itu tanpa adanya utang tidaklah mungkin perkara kepailitan akan diperiksa.5

Utang menurut Pasal 1 angka 6 UUK adalah:

kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor.

Menurut Setiawan:

utang seyogianya diberi arti luas, baik dalam arti kewajiban membayar sejumlah uang tertentu yang timbul karena adanya perjanjian utang piutang maupun kewajiban pembayaran sejumlah uang tertentu yang timbul dari perjanjian atau kontrak lain yang menyebabkan debitor harus membayar sejumlah uang tertentu.6

Terdapat perbedaan antara definisi utang yang diberikan oleh UUK dengan Setiawan, yakni Setiawan mendeskripsikan utang identik dengan kewajiban pembayaran sejumlah uang, sedangkan UUK mengartikan utang lebih luas, yakni kewajiban yang dapat dinilai dengan uang juga termasuk dalam kategori utang. Kewajiban dalam hukum perikatan merupakan prestasi yang harus dilakukan. Prestasi menurut Pasal 1234 KUHPER adalah untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Jadi, prestasi yang dapat dinilai dengan uang dan belum dipenuhi juga merupakan suatu utang. Hal

5

M. Hadi Shubhan, 2008, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan,

Cetakan Kedua, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 34. 6

Jono, 2010, Hukum Kepailitan, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 11, mengutip dari Setiawan dalam buku Sutan Remy Sjahdeini, 2002, Hukum Kepailitan: Memahami

Faillessementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, hal. 66-67.

(13)

serupa juga dikemukakan oleh Kartini dan Gunawan Widjadja yang mendefinisikan utang sebagai perikatan yang merupakan prestasi atau kewajiban dalam lapangan harta kekayaan yang harus dipenuhi oleh setiap debitor dan bila tidak dipenuhi, kreditor berhak mendapat pemenuhannya dari harta debitor. 7

Pasal 8 ayat (4) UUK menyebutkan bahwa, “Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi.” Berdasarkan rumusan pasal tersebut, dapat diartikan bahwa dalam pemeriksaan perkara kepailitan hakim hanya perlu membuktikan:

1. adanya hubungan utang piutang antara kreditor dengan debitor; 2. adanya hubungan utang piutang antara debitor dengan kreditor lain;

3. adanya hutang yang jatuh waktu dan dapat ditagih diantara utang-utang debitor, yang belum atau tidak dibayar lunas oleh debitor.

Asas pembuktian sederhana ini didukung oleh asas pembuktian cepat yang dianut oleh UUK melalui ketentuan Pasal 8 ayat (5) UUK yakni, “Putusan Pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan,” sehingga diharapkan dapat tercapai asas trilogi peradilan, yaitu sederhana, cepat, dan biaya ringan di dalam pemeriksaan perkara kepailitan. Pemeriksaan perkara kepailitan yang menggunakan limit waktu ini juga

7

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjadja, 2003, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, Rajawali Press, Jakarta, hal. 11.

(14)

meminimalisir pemanfaatan proses peradilan untuk mendapatkan keuntungan ekonomis. Seperti yang banyak terjadi di dalam praktik, seorang advokat memperlama proses hukum kliennya dengan semakin banyaknya upaya hukum yang ditempuh sehingga keuntungan ekonomis yang di dapat juga semakin banyak. Bahkan kondisi demikian diperparah dengan keuntungan yang didapat oleh advokat tersebut dibagi-bagi kepada pihak hakim maupun jaksa yang menangani perkara.

Di sisi lain, M. Hadi Shubhan mengatakan bahwa syarat kepailitan yang demikian mudah sebenarnya terjadi sejak adanya reformasi hukum kepailitan 1998 atas skenario International Monetary Fund (IMF) dan World Bank dalam menyikapi kreditor dari negara asing yang menghendaki semudah-mudahnya memailitkan perusahaan di Indonesia.8 Bahkan, terlalu mudahnya syarat pailit tersebut dapat disalahgunakan oleh debitor yang beritikad buruk dan berkonspirasi dengan penyandang dana yang siap membeli aset-aset pailit yang menjadi murah.9 Di dalam perkembangannya, syarat pailit yang mudah juga membuka peluang bagi perusahaan yang berkedudukan sebagai kreditor untuk memailitkan perusahaan yang berkedudukan sebagai debitor yang lebih sukses. Hal ini tentunya dilakukan untuk mengurangi saingan usaha maupun menjatuhkan citra perusahaan di mata masyarakat. Kondisi demikian sebenarnya tidak akan menjadi masalah apabila hakim bersikap bijaksana dalam mengadili kepailitan, artinya meski suatu perusahaan memenuhi syarat

8

Budi Santoso, 2012, Remehkan Berujung Pailit Telkomsel, Budisan’s Blog (Cited 2013

Feb.21), available from: URL: http://budisansblog.blogspot.com/2012/09/remehkan-berujung-pailit-telkomsel.html. Diakses 9 Februari 2013, jam 15.14 WITA.

9

(15)

untuk dipailitkan, hakim dapat menolak dengan pertimbangan aspek keadilan, kepatutan, dan kewajaran.10

M. Hadi Shubhan mengatakan bahwa walaupun terjadi perbedaan besarnya jumlah utang yang didalihkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit, permohonan pernyataan pailit harus tetap dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi.11 Pendapat tersebut tentunya mendukung asas pembuktian sederhana dan cepat yang dianut oleh UUK, karena asalkan dapat dibuktikan bahwa debitor tidak membayar lunas utang yang jatuh waktu dan dapat ditagih kepada salah satu kreditornya, tidak peduli berapa jumlah utang tersebut maka syarat tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang jatuh waktu dan dapat ditagih terpenuhi. Kondisi yang berbeda akan terjadi apabila hakim berpendapat masih memerlukan proses pembuktian yang lebih rumit untuk membuktikan keberadaan utang debitor kepada kreditor. Konsekuensinya adalah hakim wajib menolak permohonan pernyataan pailit tersebut dengan alasan penyelesaian perkara yang pembuktiannya rumit harus dilakukan melalui Pengadilan Negeri.

Asas pembuktian sederhana dalam penyelesaian perkara kepailitan juga didukung dengan kebenaran yang dicari dalam pemeriksaan perkara kepailitan. Pasal 299 UUK menyebutkan bahwa kecuali ditentukan lain dalam UUK maka hukum acara yang berlaku adalah hukum acara perdata, oleh karena itu kebenaran yang dicari dalam pemeriksaan perkara kepailitan adalah

10

Ibid.

11

(16)

kebenaran formil. Maksud dari hakim mencari kebenaran formil adalah hakim hanya terikat pada keterangan atau alat-alat bukti yang disampaikan oleh para pihak di dalam persidangan, berbeda dengan kebenaran materiil yang dicari dalam persidangan pidana dan tata usaha negara, yang berarti hakim mencari fakta yang sesungguhnya dan tidak terikat dengan keterangan para pihak di persidangan.

Pasal 1866 KUHPER menentukan bahwa alat-alat bukti dalam hukum perdata terdiri dari bukti tertulis, keterangan saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Secara otomatis alat-alat bukti tersebut juga merupakan alat-alat bukti yang dipergunakan dalam pemeriksaan perkara kepailitan karena sesuai dengan asas integrasi dalam UUK, sistem hukum formil dan hukum materiil dalam hukum kepailitan merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.

Setelah Pengadilan Niaga menjatuhkan putusan atas permohonan pernyataan pailit, upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan tersebut hanyalah kasasi ke Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan Pasal 11 ayat (1) UUK, sedangkan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) Pasal 14 ayat (1) UUK menentukan bahwa putusan tersebut dapat diajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.

Penghapusan upaya hukum banding dalam penyelesaian perkara kepailitan dikonstruksikan untuk memangkas jalur kepailitan karena hakikat pengadilan tingkat banding adalah sama dengan pengadilan tingkat pertama, yakni

(17)

keduanya sama-sama sebagai pengadilan judex factie, sehingga cenderung terjadi overlapping antara pengadilan tingkat pertama dengan pengadilan tingkat banding. Peradilan yang ada di bawah Mahkamah Agung adalah peradilan dalam tingkat banding atau disebut juga appellate jurisdiction dan peradilan tingkat pertama yang disebut dengan original jurisdiction. Kedua tingkatan ini disebut dengan judex factie yang artinya pemeriksaan di tingkat banding adalah merupakan pemeriksaan ulang atas pemeriksaan di tingkat pertama baik mengenai peristiwanya maupun mengenai hukumnya, sedangkan dalam tingkat kasasi di Mahkamah Agung (judex jure) hanya diperiksa mengenai kekeliruan penerapan hukumnya saja.

Penghapusan upaya hukum banding juga meminamilisir pemanfaatan proses peradilan dari kepentingan ekonomis pihak-pihak tertentu. Konstruksi proses peradilan pailit yang meniadakan upaya hukum banding ini terbukti efisien dan bahkan konstruksi ini telah diikuti dalam proses pengadilan di bidang lain seperti dalam Pengadilan Hubungan Industrial.

1.8Metode Penelitian 1.8.1 Jenis penelitian.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Soemitro dalam Rianto Adi mengemukakan penelitian hukum normatif dapat berupa inventarisasi hukum positif, usaha-usaha penemuan asas-asas dan falsafah hukum positif, dan dapat pula suatu usaha penemuan hukum inconcreto yang sesuai untuk digunakan dalam penyelesaian

(18)

suatu perkara tertentu.12 Suatu penelitian pada dasarnya beranjak dari rasa ingin tahu atas suatu gejala yang mendorong seseorang untuk melakukan penelitian sehingga ditemukan kebenaran ilmiah. Begitu pula dengan penelitian ini yang beranjak dari rasa keingintahuan mengenai penyebab perbedaan putusan dari dua tingkat peradilan dalam menangani satu perkara kepailitan. Didasari oleh asumsi bahwa kemungkinan penyebab perbedaan putusan tersebut adalah adanya kesalahan pada norma yang menjadi acuan dalam proses penyelesaian perkara kepailitan, maka dilakukan penelitian dengan cara menganalisis produk hukum positif yang berkaitan dengan permasalahan, yakni Putusan Mahkamah Agung No. 704 K/Pdt.Sus/2012. Oleh karena sumber utama penelitian ini adalah data sekunder, maka penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian hukum normatif.

1.8.2 Jenis pendekatan.

Terdapat beberapa jenis pendekatan dalam penelitian hukum normatif, yakni pendekatan perundang-undangan (Statute approach), pendekatan konsep (Conceptual approach), pendekatan analisis

(Analytical approach), pendekatan perbandingan (Comparatif

approach), pendekatan historis (Historis approach), pendekatan

filsafat (Philosophical approach), dan pendekatan kasus (Case

12

Rianto Adi, 2004, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Edisi I, Granit, Jakarta, hal. 92.

(19)

approach).13 Sedangkan jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. pendekatan perundang-undangan (the statute approach). “Penelitian normatif tentu harus menggunakan perundang-undangan karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral dalam suatu penelitian.”14

Perundang-undangan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah UUK dan KUHPER.

2. pendekatan konsep (the conceptual approach), yaitu dengan menganalisis konsep kepailitan menurut perundang-undangan yang berlaku maupun pendapat para sarjana.

3. pendekatan kasus (the case approach). Kasus memang bermakna empirik, namun dalam penelitian normatif kasus-kasus tersebut digunakan untuk memperoleh gambaran dampak penormaan dalam suatu aturan hukum terhadap praktik hukum. Penelitian ini menggunakan kasus pembatalan putusan pernyataan pailit PT. TELKOMSEL oleh Mahkamah Agung yang dianalisis melalui Putusan Mahkamah Agung No. 704 K/Pdt.Sus/2012.

1.8.3 Sumber bahan hukum.

Sesuai dengan jenisnya yang normatif, penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, sekunder, dan tertier.

13

Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Fajar Interpratama Offset, Jakarta, hal. 93-137.

14

Johni Ibrahim, 2007, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet. III, Bayumedia Publishing, Malang, hal. 302.

(20)

1. Bahan hukum primer merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat.15 Sumber bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 704 K/Pdt.Sus/2012.

2. Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer.16 Sumber bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku hukum, karya tulis hukum, dan website yang berkaitan dengan penelitian.

3. Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.17 Sumber bahan hukum tertier dalam penelitian ini adalah kamus Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Google Translate.

1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum.

Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan adalah sistem kartu (card system). Diawali dengan pencarian bahan hukum primer dan sekunder yang dibutuhkan, kemudian sumber bahan hukum tersebut dibaca sehingga ditemukan isi yang relevan dalam penelitian.

15

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2012, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 13.

16

Ibid.

17

(21)

Setelah itu dibuatlah catatan-catatan dengan menggunakan kartu yang diklasifikasikan berdasarkan masing-masing buku sehingga memudahkan penelitian, tidak jarang juga dibutuhkan kamus Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Google Translate untuk mengetahui makna dari istilah-istilah hukum dan kemudian makna tersebut dicatatkan di sebelah istilah hukum yang ditemukan.

1.8.5 Teknik analisis bahan hukum.

Bahan-bahan hukum yang telah disusun secara sitematis selanjutnya dianalisis dengan teknik-teknik sebagai berikut:

1. teknik deskripsi, yaitu uraian-uraian ditulis dengan apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi hukum atau non hukum;

2. teknik evaluasi, yaitu melakukan penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah terhadap suatu pandangan, pernyataan rumusan norma dan keputusan yang tertera dalam bahan hukum primer dan sekunder; 3. teknik argumentasi, yaitu penilaian terhadap bahan hukum primer

dan sekunder harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.

Referensi

Dokumen terkait

Sebuah studi literatur pada penelitian Ferrante S, yang mendeteksi beberapa otot tungkai bawah dalam gerakan dari duduk ke berdiri untuk menghindari risiko FES dalam

Eksistensi pekerja anak di Indonesia bukanlah hal baru. Begitupun keberadaan pekerja anak yang berprofesi sebagai artis. Memang selama ini diskursus pekerja anak selalu

Sedangkan pemberian limbah media jamur tiram untuk semua dosis perlakuan tidak menyebabkan perbedaan yang nyata terhadap jumlah daun tanaman dikarenakan pemberian

Alasan penulis memilih film animasi (kartun) sebagai objek penelitian ini karena penulis tertarik untuk mengetahui jenis dan fungsi kesopanan apa saja yang terdapat dan

Metode yang digunakan dalam penyusunan Tafsir al-Qur’an Tematik Kementerian Agama RI ini adalah metode tematik, atau dikenal juga dengan istilah maudhu’i..

Kesimpulan yang dapat peneliti ambil bahwa Dampak Pola Asuh terhadap hubungan sosial anak di luar asrama yang dominan dilakukan oleh anak keluarga Polri adalah

By active knowledge sharing the students are more active in teaching and learning process where the text will be read and understood by answering questions from the

Tujuan penelitian ini adalah untuk membuat perangkat aplikasi yang dapat menyalakan dan memadamkan serta mengatur intensitas kecerahan lampu dengan menggunakan