DIAH SEPTITA H.
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Udayana
DIAH SEPTITA H. NIM : 0590561041
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2010
Pada Tanggal 13 April 2010
Pembimbing I, Pembimbing II,
Prof. I Made Widnyana, SH Purwati, SH,MH
NIP. 130346027 NIP. 130515141
Mengetahui
Ketua Program Studi Direktur Program Pascasarjana
Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana,
Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH,SU Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 195604191983031003 NIP. 195902151985102001
Panitia Penguji Tesis
Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana Nomor : 0584/H14.4/HK/2010
Ketua : Prof. I Made Widnyana, SH Sekretaris : Purwati, SH,MH
Anggota : 1. Dr. I Gusti Ketut Ariawan, SH,MH 2. Wayan Tangun Susila, SH,MH 3. Gede Made Swardhana, SH,MH
Pertama-tama perkenankan penulis memanjatkan puji syukur kepada Allah
SWT, yang telah melimpahkan berkah, rahmat, dan hidayahNya sehingga tesis ini
dapat diselesaikan.
Pada kesempatan ini pula penulis menghaturkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. I Made Bakta, Sp.PD (K) atas
kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan
menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana.
2. Direktur Program Pascasarjana Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S
(K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan
menyelesaikan pendidikan Program Magister di Program Pascasarjana
Universitas Udayana
3. Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH,SU, atas kesempatan yang
diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister Program
Studi Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.
4. Prof. I Made Widnyana, SH selaku Pembimbing I, dan Ibu Purwati,
SH, MH selaku Pembimbing II, yang demikian sabar dan penuh perhatian telah
Susila, SH, MH, dan Gede Made Swardhana, SH, MH yang telah memberikan
saran dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud.
6. Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH, ilmunya yang tersampaikan dalam
bentuk lisan maupun tulisan telah menginspirasi dan penyemangat dalam tesis ini.
7. Seluruh tenaga pengajar Program Magister Program Studi Ilmu
Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana khususnya pada jurusan
Hukum dan Sistem Peradilan Pidana.
8. Seluruh karyawan/karyawati pada Program Magister Program Studi
Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana.
9. Seluruh karyawan/karyawati Perpustakaan Program Pascasarjana
Universitas Udayana.
10. Almarhumah Ibunda dan Almarhum Ayahanda tercinta yang telah
menghidupi penulis sejak dalam janin dan telah membimbing penulis sampai
terbentuk karakter seperti sekarang ini, serta kakak sulungku Ir. Prasetyo Hadi
“Mas Didik” sekeluarga yang terhormat, yang selalu perhatian dengan segala
kebaikannya mendukung penulis baik spiritual maupun material. Terima kasih
juga diucapkan kepada kakakku Dodit Hariyanto, SE, MBA “Mas Yanto”
sekeluarga yang telah menginspirasi penulis untuk menuangkannya ke dalam
serta semua pihak yang tidak bisa disebut satu per satu yang selalu membantu
tanpa pamrih.
Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua khususnya pihak yang terkait
terutama tentang perlindungan perempuan yang mendapat perlakuan semena-mena.
Denpasar, 13 April 2010
Penulis
melindungi perempuan. Apalagi sejak diberlakukannya UUPKDRT, perlindungan terhadap perempuan lebih spesifik terutama terhadap korban KDRT.
Penelitian ini merupakan penelitian normatif. Bahan hukum yang diteliti meliputi bahan primer yang terdiri dari KUHP, UU Ratifikasi CEDAW, UU HAM, UUPKDRT, UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, UU Perlindungan Saksi dan Korban, UUPTPPO, dan bahan hukum sekunder yang bersumber dari buku-buku hukum (text book), jurnal-jurnal hukum, karya tulis atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa, kamus dan ensiklopedia, dan internet.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlindungan terhadap perempuan korban KDRT sebenarnya telah diaplikasikan ke dalam bentuk berbagai peraturan perundang-undangan. Salah satu peraturan perundang-undangan yang mengatur secara spesifik tentang KDRT adalah UUPKDRT. Namun dari sekian banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan perempuan belum cukup akomodatif atas kebutuhan perempuan sebagai korban. Adanya bias gender yang mempengaruhi pola pikir masyarakat termasuk lembaga legislatif sebagai lembaga pembentuk undang-undang serta adanya ketidaksingkronan atau bahkan mendukung ke arah legalisasi secara tidak langsung atas suatu tindak pidana.
Upaya perlindungan hukum terhadap perempuan khususnya korban KDRT ini bukan sekedar dalam taraf implementasi penegakan hukumnya, tetapi terakomodasinya kebutuhan masyarakat khususnya perempuan sebagai korban KDRT ke dalam bentuk undang-undang yang benar-benar menjamin perlindungan hukum atas dirinya dan masyarakat pada umumnya. Di sini lah dibutuhkan peran kebijakan legislatif dalam kebijakan kriminal untuk mengakomodasi kebutuhan perempuan akan perlindungan hukum khususnya dalam kasus KDRT
Kata Kunci : Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dalam KDRT, Kebijakan Kriminal
protecting women available. Especially ever since Domestic Violence Elimination Code has been applied, protection of women is even more specific, notably towards domestic violence victims.
This research is a normative one. Legal material studied including primary sources, including Criminal Law Code, CEDAW Code Ratification, Human Rights Code, Domestic Violence Elimination Code, Commissions of Truth and Reconciliation Code, Witness and Victim Protection Code, Human Trafficking Prevention Code, as well as secondary source from legal text books, legal journals, papers or legal practitioner’s point of view published on mass media, dictionary and encyclopedia, and internet.
The result from this research shows that protection on female domestic violence victims were actually has been applied in the form of various legislations. One of the legislation specifically regulate domestic violence is the Domestic Violence Elimination Code. However, from various legislation that regulates women protection is not thoroughly accommodative for women as a victim. Existing gender bias influence community mindset and legislative institutions as legislatures, and asynchronous condition, even towards indirect legalization of a crime.
Legal protection effort of women, especially domestic violence victim, is not only in the level of implementation of law enforcing, but on the fulfill of public needs especially women as domestic violence victim into a form of legislation that really ensure legal protection of themselves and the general public. At this very point legislative policy is needed to accommodate women’s needs of legal protection especially on domestic violence cases.
Keywords: Legal Protection on Women inDomestic Violence, Criminal Policy
Penelitian ini disusun dalam lima bab yang secara garis besar dapat
dkemukakan sebagai berikut :
Bab I merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang hal-hal yang
melatarbelakangi dilakukannya penelitian ini, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, landasan teoritis, serta metode penelitian.
Bab II adalah bab yang menguraikan tentang definisi kekerasan dan korban,
serta batasan yang digunakan dari definisi kekerasan dan korban sebagai batasan
penelitian.
Bab III berisikan tentang ketentuan-ketentuan yang mengatur perlindungan
terhadap perempuan khususnya korban KDRT. Beberapa peraturan
perundang-undangan yang mengatur perlindungan hukum terhadap perempuan adalah KUHP,
UU HAM, UUPKDRT, UUPTPPO, UU perkawinan dan UU Ratifikasi CEDAW
sebagai dasar hukum perlindungan perempuan dalam ruang lingkup internasional.
Selain itu, KUHPerdata juga menjamin perempuan untuk menggugat ganti kerugian
atas kerugian yang dialaminya.
Bab IV merupakan analisis terhadap permasalahan yang dikemukakan pada
Bab I. Bab ini berisi tentang perlindungan perempuan dalam KDRT dalam perspektif
perbandingan hukum baik dengan RKUHP terbaru yaitu RKUHP 2008 maupun
dengan hukum pidana negara lain. Selain itu juga dibahas tentang politik kriminal
Kesimpulan dibuat berdasarkan apa yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya.
Sedangkan saran adalah beberapa hal yang dapat penulis rekomendasikan dalam
penelitian ini ke arah yang lebih baik untuk perlindungan hukum terhadap perempuan
khususnnya korban KDRT dan masyarakat pada umumnya.`
HALAMAN SAMPUL ... i
LEMBAR PERSYRATAN GELAR ... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
LEMBAR PENETAPAN PENGUJI ... iv
UCAPAN TERIMA KASIH ... v
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
RINGKASAN ... x
DAFTAR ISI ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Rumusan Masalah ...18
1.3. Ruang Lingkup Masalah ...18
1.4. Tujuan Penelitian ...18
1.4.1. Tujuan umum ... 19
1.4.2. Tujuan khusus ... 19
1.5. Manfaat Penelitian ... 19
1.5.1. Manfaat teoritis ... 19
1.2.2. Kebijakan Hukum Pidana ... 26
1.3. Metode Penelitian ... 38
1.3.1. Jenis Penelitian ... 38
1.3.2. Jenis Pendekatan ... 39
1.3.3. Sumber Bahan Hukum ... 39
1.3.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 41
1.3.5. Teknik Analisis ... 41
BAB II TINJAUAN UMUM ... 43
2.1. Kekerasan dalam Rumah Tangga ... 43
2.1.1. Pengertian kekerasan secara umum ... 43
2.1.2. Pengertian kekerasan menurut peraturan perundang-undangan 53 2.2. Korban ... 59
BAB III PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN KORBAN KDRT ... 71
3.1.Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dalam KUHP ... 73
3.2. Perlindungan Hukum terhadap Perempuan di Luar KUHP ... 78
BAB IV POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN PADA TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA... 104
4.1.Perbandingan Hukum ... 104
pada Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga untuk Masa
Mendatang ... 127
BAB V PENUTUP ... 158
5.1. Kesimpulan ... 158
5.2. Saran ... 160
DAFTAR BACAAN
LAMPIRAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Dari tahun ke tahun tingkat kejahatan dengan kekerasan secara
kuantitatif cenderung meningkat dengan modus operandi yang beragam dengan
dampak yang cukup serius baik terhadap korban perempuan maupun laki-laki.
Keprihatinan terhadap korban kekerasan ini semakin mengemuka karena
banyaknya kasus kejahatan yang tidak terselesaikan secara tuntas, sedangkan
dampak terhadap korban pada saat kejadian hingga pasca viktimisasi cukup
mengenaskan dan membawa traumatik berkepanjangan. Tindak kekerasan dapat
menimpa siapa pun dan di mana pun. Namun, bila ditelusuri secara seksama
dalam kehidupan sehari-hari angka tindak kekerasan yang khas ditujukan pada
perempuan yang dikarenakan mereka adalah ”perempuan” cenderung
meningkat dan membawa dampak yang sangat serius seperti kekerasan
kekerasan seksual, tindak perkosaan, dan pelecehan seksual yang mayoritas
ditujukan pada perempuan. Kekerasan tersebut dipahami sebagai kekerasan
yang berbasis gender atau gender violence. Konsep ini sejatinya mengacu pada
posisi subordinasi perempuan karena relasi keduanya mencerminkan powerless
dan powerful, dengan kata lain, terdapat ketimpangan kekuasaan antara
perempuan dan laki-laki.1
Kekerasan terhadap perempuan terus berlanjut baik di sektor domestik
maupun publik. Tidak menutup kemungkinan adanya dark number walaupun
pemerintah telah menjamin hak perempuan dalam berbagai produk hukum.
Begitu juga dengan Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga (UUPKDRT) tidak menjamin serta merta
dimanfaatkan oleh mereka korban kekerasan dalam rumah tangga. Nilai sosial
budaya yang menabukan persoalan privat diangkat menjadi persoalan publik,
merupakan sekat-sekat penghalang bagi korban membawa kasusnya ke tingkat
peradilan. Kasus kekerasan dalam rumah tangga merupakan persoalan
hubungan antar individu yang saling kenal dan sebagai masalah pribadi, serta
dikukuhkan oleh persoalan ketergantungan ekonomi, dan masa depan, serta
status anak menambah panjang argumentasi menguatkan korban tetap menutup
rapat kasus domestiknya.
Dengan sistem budaya patriarki, laki-laki akan merasa bahwa dirinya
memiliki kekuasaan dan berhak melakukan apa saja terhadap perempuan.
Mahar yang tinggi dan tanggung jawab laki-laki dalam menafkahi keluarganya
serta adanya anggapan bahwa perempuan itu lemah, membuat kaum `adam`
merasa memiliki kekuasaan penuh atas kaum hawa dan dapat berbuat dan
1Romany Sihite, 2007, Perempuan, Kesetaraan, dan Keadilan Suatu Tinjauan Berwawasan
memperlakukan apa saja terhadap perempuan.2 Apalagi di beberapa daerah,
masih ada adat yang mengkultuskan garis laki-laki secara tegas sehingga garis
keturunan keluarga, warisan dan sebagainya jatuh ke tangan laki-laki. Adat
kebiasaan seperti itu memang sulit untuk dihilangkan karena sudah diakui dan
diterapkan secara turun temurun. Sehingga ketika terjadi kekerasan terhadap
perempuan dalam rumah tangga hanya dinilai sebagai masalah internal sehingga
para tetangga maupun sanak famili tidak sepantasnya ikut campur.3 Seorang
perempuan berstatus istri saja diperlakukan seperti itu, apalagi hanya seorang
pembantu rumah tangga yang level derajatnya jauh lebih rendah dapat
dipastikan akan mendapat perlakuan yang lebih buruk.
Ideologi dan argumentasi sebagaimana dijelaskan di atas akan tetap menjadi
batu sandungan bagi korban untuk melanjutkan persoalan keluarga ini ke
tingkat tata peradilan pidana. Hal ini menjadikan kasus ini seolah tidak layak
diseret ke meja hijau. Kasus kekerasan domestik akhirnya menjadi kejahatan
terselubung (hidden crime) dan diduga sedikit sekali yang diungkap pada
peradilan pidana, meskipun telah ada undang-undang sebagai landasan
hukumnya.4 Ditambah lagi, sifat undang-undang ini adalah delik aduan (klacht
2
Kekerasan Terhadap Perempuan Terjadi Dalam Rumah Tangga, Kapanlagi.com, Selasa, 17 Mei 2005.
3
Minim, Perhatian pada Kekerasan terhadap Perempuan, www.sinarharapan.co.id, 22 Desember 2001.
4
delict). Tujuan sifat delik aduan ini adalah untuk melindungi ”privacy”, agar
tidak mudah ”private trouble” menjadi ”public trouble”.5
Bagai gunung es, data kekerasan yang tercatat jauh lebih sedikit dari yang
seharusnya dilaporkan karena tidak semua perempuan yang mengalami
kekerasan bersedia melaporkan kasusnya.6 Mereka lebih banyak mendiamkan
permasalahannya untuk menutupi aib keluarganya. Korban kekerasan dalam
rumah tangga yang sebagian besar adalah perempuan dimana posisinya yang
tersubordinat enggan untuk melakukan pengaduan. Bagi mereka, membutuhkan
keberanian yang sangat besar untuk memutuskan pengaduan atas kelakuan
suami mereka. Korban akan berpikir seribu kali untuk melaporkan tindak
pidana yang dialaminya. Keadaan tertekan dan ketergantungan hidup biasanya
yang menjadi alasan terbesar.
Berikut contoh kasus kekerasan dalam rumah tangga :
1. Ag bin S melakukan penganiayaan terhadap istrinya, Ny. S, yang menyebabkan pendarahan pada hidung, luka memar di dada, dan pernah pingsan. Berdasarkan hasil visum et repertum yang dibuat oleh dr. Basuki pada RS Panti Rapih Yogyakarta tanggal 12 November 1990 Nomo 373/WS/MR/VIS/UM/11/90 atas nama Ny. S menyimpulkan bahwa penderita mengalami gejala gegar otak akibat kekerasan benda tumpul. Menurut terdakwa, ia melakukan penganiayaan hanya merupakan pelampiasan saja dari perbuatan istri terhadap terdakwa yang main serong dengan laki-laki lain dan pagi itu ia meminta uang kepada korban tidak
5
Mardjono Reksodiputro, Arah Hukum Pidana dalam Konsep RUU KUHPidana (1), Sumber : http://reformasikuhp.org/, Senin, 17 Desember 2007,www.jodisantoso.blogspot.com.
6Siti Musdah Mulia, Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Perspektif Agama-Agama, Disarikan
diberi, malahan korban ngomel. Padahal kenyataannya terdakwa sendiri yang melakukan penyelewengan dan menghendaki kawin lagi. Dan terdakwa saat ini sedang menjalani pidana penjara pada kasus penganiayaan terhadap WILnya. Atas perbuatan terdakwa tersebut Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara selama tujuh bulan karena terdakwa Ag bin S telah terbukti secara sah dan keyakinan bersalah melakukan tindak pidana ”penganiayaan yang dilakukan terhadap istrinya” (melanggar Pasal 351 ayat (1) jo. 356 ke-1 KUHP) sebagaimana hasil putusan pengadilan No. 14/Pid/B/1991/PN.YK.7 2. Yup bin Sup melakukan penganiayaan terhadap istrinya, Tik binti Wak,
yang telah dinikahinya enam bulan yang lalu. Selama perkawinannya tersebut, mereka sering cekcok karena terdakwa sudah punya wanita lain. Berdasarkan pasal 351 ayat (1) KUHP jo. Pasal 356 ke-1 KUHP, Yup bin Sup telah terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan kejahatan penganiayaan terhadap istri sahnya, maka dalam putusannya 84/1/B/2002/PN Smg, hakim memutuskan pidana penjara selama tiga bulan.8 3. Merasa laporannya tidak menemui titik terang setelah melapor ke Polres
Bengkayang, korban KDRT, Er, warga asal Kampung Kaum Kabupaten Bengkayang, mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum Perempuan dan Keluarga (LBH PeKa) Kota Singkawang.
Er mengatakan, yang memukulnya adalah Jn, yang tidak lain sebagai mantan suaminya. Er menduga, tidak adanya perkembangan kasus tersebut lantaran pelaku yang memukulnya dinyatakan mengalami gangguan jiwa. Er meminta kasusnya diusut tuntas. Dan berharap pelaku dapat ditindak tegas. Wanita berusia 27 tahun melaporkan suaminya Jn Bin Bjg ke Polres Bengkayang, 12 Desember 2008.
Direktur LBH PeKa, Rosita Ningsi sebagai lembaga yang mendampingi mengatakan, kasus KDRT yang diterima Er ini divisum di Dokter Bengkayang Jalan Sanggau Ledo nomor 32 Bengkayang.
“Hasil kesimpulan dokter, bahwa pada korban terdapat pembengkakan dan memar di pipi kiri dan kepala sebelah kiri akibat benturan benda tumpul,” kata Rosita mendampingi Er.
Kemudian, kata Rosita, pengacara korban pada 15 Desember 2008 meminta pihak Polres Bengkayang untuk memeriksakan kejiwaan tersangka Jn bin Bjg ke Rumah Sakit Jiwa Bodok Singkawang (RS Jiwa Provinsi Kalbar).
7
Rika Saraswati, 2006, Perempuan dan Penyelsaian Kekerasan dalam Rumah Tangga, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 152.
8
Kata Rosita, kemudian Kapolres Bengkayang saat itu mengirimkan surat ke RS Jiwa Provinsi Kalbar di Singkawang meminta agar kejiwaan tersangka diperiksa. Lalu, lanjut Rosita, pada tanggal 12 Januari 2009 keluarlah surat keterangan dari Kepala Bidang Pelayanan Medik RS Jiwa Provinsi Kalbar yang menyatakan tersangka mengalami gangguan kejiwaan.
“Dengan keluarnya surat keterangan itu, pemeriksaan dan proses hukum terhadap tersangka tidak bisa dilanjutkan pihak kepolisian karena tersangka telah lama mengalami gangguan kejiwaan dan mental (tidak sehat rohani) yang cukup berat,” jelas Rosita. Hingga, tersangka pun tidak diproses.
Menurut Rosita, Kepala Bidang Pelayanan Medik RS Jiwa Provinsi Kalbar, dr. Suliana merasa tidak pernah mengeluarkan dan menandatangani surat itu. Rosita menjelaskan, dr Suliana bukan dokter kejiwaan, melainkan dokter umum. “Dokter Suliana juga pernah mendatangi saya. Dia tidak pernah mengeluarkan surat keterangan itu.,” terang Rosita.
Rosita menerangkan, dr. Suliana kemudian melapor ke Polres Singkawang, karena merasa tidak pernah menandatangani surat tersebut. Namun, sampai sekarang ini belum jelas, sampai di mana proses tindak lanjut terhadap laporan itu.9
4. Sidang kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pada hari Senin (22/02/2010) di pengadilan negeri (PN) Situbondo tampaknya marak dengan rekayasa antara hakim dan keluarga terdakwa, Adi (30). Dalam kasus terssebut sebelumnya, Adi yang juga anak dari kepala kantor kecamatan (Camat) Arjasa itu didakwa telah menganiaya sang istri, Rista (29) yang juga seorang bidan di desa Seliwung. Selain menganiaya istri, Adi juga telah didakwa membunuh janin di dalam rahim bidan Rista.
Dalam sidang perdananya kemarin, Senin (22/02/2010), para majelis hakim di sidang yang digelar di pengadilan negeri (PN) Situbondo, Jawa Timur (Jatim) tersebut seolah telah merekayasa kasus dengan keluarga terdakwa. Sebab Ketua majelis hakim menyatakan bahwa Adi dinyatakan telah menjadi tahanan kota. Ada apa dengan para hakim di PN Situbondo. Sedangkan sang keluarga terdakwa, terutama sang ayah yang juga Camat Arjasa menjamin jabatannya selaku Camat serta juga menjamin jabatan Direktur Utama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) “Abdur Rahim”, dr Tony sebagai pimpinan Adi yang hingga kini masih tenaga sukwan di RSUD itu.10
9
Akhirnya kasus KDRT tersebut, Adi diputus bersalah dengan dijatuhi pidana penjara 6 bulan. Atas putusan tersebut, Adi sedang melakukan upaya banding.Hingga saat ini belum ada berita kejelasannya.
5. Seorang terdakwa dosen perguruan tinggi negeri di Jakarta Dr AMA dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, Kamis (1/7) kemarin terancam hukuman pidana 4 tahun penjara. Tuduhannya yang didakwakan jaksa penuntut umum (JPU) Pri-nuka Arrom adalah AMA telah menganiaya isteri nikah sirinya Tiur Mauli Siregar (41) hingga mengalami luka memar.
Korban, mengaku pernah diancam terdakwa dengan todongan senjata api ke mulutnya. Bahkan saat hamil 5 bulan korban ditin-dih hingga kandungannya keguguran. Kehamilan dan keguguran tersebut ada keterangannya dari rekam medis RS MMC Jakarta, 2 Januari 2005. Akhirnya Tiur terpaksa kabur dari rumah selanjutnya mengadu ke Polres Jakarta Timur dengan Surat Pengaduan No. 344/K/III/2010/RES.JT.
Di depan sidang PN Jakarta Timur, Kamis (1/7) dengan majelis hakim diketuai Jesayas Tarigan dengan anggota S Donatus, Wahyu Prasetyo, terdakwa dituduh melanggar pasal pidana penganiayaan sesuai pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 4 tahun penjara, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan ancaman 6 bulan penjara. Rencananya sidang dilanjutkan Kamis (8/7) dengan menghadirkan saksi dari a de charge yang meringankan terdakwa Sehari sebelumnya (30/6) Tiur selaku korban KDRT sudah melaporkan kasusnya ke Komnas Perempuan di Jalan Latu-harhari, Jakarta Pusat.11
Kelima contoh kasus kekerasan dalam rumah tangga di atas
menunjukkan implementasi yang berbeda atas perlindungan hukum terhadap
perempuan sebagai korban dengan penerapan hukum yang berbeda dimana pada
kasus pertama dan kedua masih menggunakan Pasal 351 (penganiayaan) dan
Pasal 356 ke 1 KUHP sebagai dasar hukum perlindungan terhadap korban pada
10
http://politik.kompasiana.com/2010/02/23/kasus-kdrt-anak-camat-arjasa-diduga-disetting-hakim/
11
kasus kekerasan dalam rumah tangga, tetapi perlindungan terhadap terhadap
perempuan lebih tampak nyata dengan diprosesnya kasus tersebut secara hukum
hingga dijatuhkannya sanksi pidana kepada pelaku dibandingkan dengan
penerapan UUPKDRT pada kasus ketiga, keempat, dan kelima yang pada saat
itu telah diberlakukan tetapi implementasi perlindungan hukum terhadap
perempuan sebagai korban masih jauh dari harapan walaupun perlindungan
hukum terhadap perempuan sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga
menjadi salah satu pokok tujuan dibuatnya UUPKDRT. Pada kasus ketiga dan
keempat, nampak sekali keberpihakan kepada laki-laki yang mempunyai
kekuasaan lebih besar dibanding perempuan yang ditempatkan pada posisi
powerless. Untuk mendapatkan keadilan, butuh perjuangan yang sangat berat
bagi perempuan. Di samping itu juga kuaslitas sumber daya manusia pada
posisi aparat penegak hukum masih rendah. Sedangkan pada kasus terakhir,
pelaku dijerat dengan pasal berlapis yaitu Pasal 351 KUHP dan UUPKDRT
untuk menghindari lolosnya pelaku dari jeratan pasal pidana dimana ancaman
pidana pada UUPKDRT jauh lebih ringan dibanding ketentuan Pasal 351
KUHP. Hal ini menunjukkan tidak sejalannya antara KUHP dengan
UUPKDRT. Sebagaimana kita ketahui bahwa UUPKDRT dibuat untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat akan perlindungan hukum khususnya
perempuan karena KUHP belum mengatur secara eksplisit tentang kekerasan
UUPKDRT menentukan beberapa tindak pidana kekerasan dalam rumah
tangga sebagai delik aduan sebagaimana diatur dalam Pasal 51, 52, dan 53
karena sifatnya yang privat sehingga undang-undang ini sulit untuk
diberlakukan secara optimal. Dianutnya delik aduan dalam undang–undang ini
hanya memperkuat kengganan korban untuk tidak mengadukan tindak
kekerasan yang dialaminya karena dengan sifat delik aduan ini dapat diartikan
bahwa adanya keberpihakan terhadap pelaku yang didominasi laki-laki. Secara
sosiologis, manusia cenderung untuk menyelamatkan kepentingannya,
termasuk menyelamatkan diri dari hukuman. Bukankah kemudian akan muncul
keadaan yang lebih parah yaitu para pelaku akan mendiamkan saja peristiwanya
bahkan menyembunyikan karena ia takut dipidana? Sedangkan secara alami
jelas disadari bahwa wanita kaum yang lemah,12 pelaku akan mengintervensi
korban untuk tidak mengadukan kepada pihak berwajib sehingga pelaku
semakin berkuasa atas diri korban sewenang-wenang melakukan kekerasan.
Apabila undang-undang ini tetap bersifat delik aduan, maka sulit rasanya untuk
melindungi kaum perempuan seluruhnya. Tidak mustahil bila undang-undang
ini hanya bersifat pajangan atau sebagai pelengkap hukum nasional kita bagi
perempuan-perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga yang hidup di
tengah masyarakat berpola pikir patriarki. Mereka akan terus menjadi korban
selama hidupnya. Maka secara tidak langsung hal ini menunjukkan bahwa hak
12I Ketut Artadi, 2004, Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahannya, Cetakan Keempat,
asasi warga negara khususnya korban tidak terjamin. Padahal apabila membaca
konsideran undang-undang ini, jelas sekali terlihat perhatian negara terhadap
perlindungan warga negaranya terutama terhadap perempuan yang umumnya
rentan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga sangat besar.
Selengkapnya, isi konsideran tersebut sebagai berikut :
a. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus;
c. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan;
d. Bahwa dalam kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga;
e. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu dibentuk undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Pada hakikatnya HAM tidak membedakan hak-hak asasi dari sudut jenis
kelamin (perempuan atau laki-laki). Kedua-duanya adalah manusia yang
mempunyai hak asasi yang sama. Penegasan hal ini terlihat di dalam
dokumen-dokumen HAM. Misalnya di dalam UDHR (Universal Declaration of Human
Rights), antara lain ditegaskan :13
Pasal 1 :
13Barda Nawawi Arief, 2007, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
”All human beings are born free and equal in dignity and rights.”
Pasal 2 :
”Everyone is entitled to all the rights and freedom set fort in this
Declaration, without distinction of any kind, such as race, colour, sex,
language, religion, political or other opinion, national or social origin,
property, birth or other status.”
Negara kita pun menjamin hak perempuan tanpa diskriminasi. Dalam
Penjelasan UUD 1945 disebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara yang
berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka
(Machtsstaat). Sebagai negara hukum, salah satu cirinya adalah adanya jaminan
dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dalam segala segi kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, karena pada dasarnya hak-hak asasi manusia
merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa dan senatiasa melekat pada
kehidupan dan keberadaban manusia itu sendiri. Hal ini tercermin dalam
Pembukaan UUD 1945 yang menjiwai keseluruhan pasal yang tersusun dalam
Batang Tubuh UUD 1945, terutama yang berkaitan dengan Pasal 27 ayat (1)
mengatur tentang ”Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Bunyi pasal tersebut, dapat
perlindungan, keadilan, dan perlakuan yang sama di hadapan hukum dan
pemerintah.
Dalam penugasan hak asasi manusia, dikeluarkan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang
Hak Asasi Manusia yang menugaskan kepada Lembaga Tinggi Negara dan
seluruh aparatur pemerintah untuk menghormati, menegakkan, dan
menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh
masyarakat serta segera meratifikasi sebagai instrumen Perserikatan
Bangsa-bangsa tentang Hak Asasi Manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945. Berkaitan dengan tersebut, Negara Indonesia telah
meratifikasi Konvensi Wanita, dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1984
tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Wanita (Convention on The Elimination of All Forms of
Discrimination Againts Woman) tanggal 24 Juli 1984, yang dimuat dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 No. 29. Pengesahan terhadap
Konvensi Wanita mengandung makna bahwa (1) Negara Indonesia mengakui
adanya diskriminasi, (2) Mengutuk diskriminasi, (3) Negara sepakat menghapus
diskriminasi, dengan segala cara yang tepat tanpa ditunda-tunda, (4) Aparat
negara, aparat propinsi dan daerah lainnya dituntut bertanggung jawab bila
masih ada diskriminasi.14
14I Gusti Ariyani, Gender dalam Hukum, Seminar Ilmiah Regional Dies Natalis Universitas
Selain itu, jaminan atas hak asasi manusia tanpa diskriminasi ini juga
diatur dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia.
Masalah keadilan dan hak asasi manusia dalam kaitannya dengan penegakan
hukum pidana memang bukan merupakan pekerjaan yang sederhana untuk
direalisasikan. Banyak peristiwa dalam kehidupan masyarakat, salah satunya
tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, menunjukkan bahwa kedua hal
tersebut kurang memperoleh perhatian yang serius dari pemerintah, padahal
sangat jelas dalam Pancasila, sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia, masalah
perikemanusiaan dan perikeadilan mendapat tempat sangat penting sebagai
perwujudan dari Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab serta Sila Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Salah satu contoh kurang diperhatikannya masalah keadilan dan hak
asasi dalam penegakan hukun pidana adalah berkaitan dengan perlindungan
hukum terhadap korban tindak kejahatan.
Dalam penyelesaian perkara pidana, banyak ditemukan korban kejahatan
kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan
yang sifatnya immateriil maupun materiil sebagaimana Geis berpendapat : ”to
much attention has been paid to offenders and their rights, to neglect of the
victims.”15
15Gilbert Geis, 1983, ”Victims and Witness Assistance Program”, dalam : Sanford H. Kadish
Untuk itu perlu kiranya perhatian khusus terhadap korban. Menurut Arif
Gosita, dasar diperlukannya perhatian terhadap kedudukan si korban dalam
tindak pidana, adalah antara lain sebagai berikut :
1) Belum adanya pengaturan yang sempurna mengenai si korban secara yuridis, yang menunjukkan adanya pengayoman serta keadilan dan ketertiban.
2) Adanya falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar ’45 yang mewajibkan setiap warga negara melayani sesama manusia demi keadilan dan kesejahteraan yang bersangkutan.
3) Adanya keperluan melengkapi perbaikan pada umumnya hukum pidana dan hukum acara pidana dan pengasuhan/pemasyarakatan sebagai tindak lanjut mereka yang tersangkut dalam suatu tindak pidana termasuk pihak korban.
4) Adanya peningkatan kejahatan internasional yang mungkin juga menimbulkan korban warga negara Indonesia tanpa adanya kemungkinan mendapatkan kompensasi, sedangkan yang menderita itu sangat
5) Adanya perbedaan jiwa, tujuan, manfaat dan kepentingan rakyat yang terjalin dalam peraturan hukum pidana kolonial dan nasional, (siapakah pada hakekatnya seorang gelandangan, germo, pencuri, koruptor, pembunuh Indonesia bagi kita sesama orang Indonesia).
6) Adanya kekurangan dalam usaha pencegahan terjadinya korban-korban baik karena kurangnya penyuluhan, maupun bertambahnya pembiaran terjadinya penyimpangan dan tindakan pidana dengan sengaja oleh masyarakat karena beberapa hal tertentu.
7) Adanya pencerminan pencurahan perhatian yang lebih besar pada si pembuat korban daripada si korban dalam undang-undang hukum pidana dan acara pidana mengenai tanggung jawab terjadinya tindak pidana. Seolah-olah undang-undang hukum pidana membuat suatu perbedaan atau pemisahan yang tajam antara si pembuat korban dan si korban, sedangkan masing-masing mempunyai peranan fungsional, hubungan yang erat satu sama yang lain dalam terjadinya suatu tindak pidana. Tanggapan yang tidak benar ini dapat berakibat adanya ketidakadilan dalam pemberian hukuman dan ganti rugi.
perkara pidana. Antara lain hal ini dirasakan pada proses peradilan penyelesaian masalah tindak pidana. Si terdakwa pembuat korban dan si korban yang sedikit banyak bertanggung jawab terhadap terjadinya suatu tindak pidana bersama-sama tidak berhadapan secara langsung satu sama lain. Melainkan si korban diwakili oleh jaksa sebagai wakil dari ketertiban hukum demi kepentingan umum (penguasa). Si korban tidak mempunyai arti lagi karena diabstrakkan. Si korban hanya sebagai pemberi keterangan, hanya sebagai saksi kalau diperlukan, sebagai alat bukti saja.
9) Masih berlakunya pandangan, bahwa kalau si korban ingin mendapatkan/menuntut penggantian kerugian ia harus menempuh jalan yang tidak mudah, yaitu melalui proses hukum perdata dan tidak dapat diselesaikan dalam proses hukum pidana yang sama. Bagi si korban yang tidak mampu dan memerlukan penggantian kerugian tersebut untuk kelanjutan hidupnya dengan segera ketentuan ini adalah sangat merugikan dan oleh karena itu perlu ditinjau kembali oleh para ahli dan pemerintah demi keadilan dan kesejahteraan rakyat. Dengan demikian perlu dicarikan cara penyelesaian yang lebih sederhana dan cepat, tetapi tepat dan dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum dan ilmu pengetahuan.
10) Agar dapat lebih baik lagi merealisasikan keadilan, maka ada pendapat, bahwa dalam pelaksanaan hukum pidana perlu dimasukkan lagi dimensi hukum perdata yang lebih kuat lagi dan menetralisasikan sifat eksklusif hukum publik dari peradilan pidana.16
Dalam kaitannya dengan konsep perlindungan hukum pidana terhadap
korban, Quinney menulis bahwa konsep hukum pidana dikembangkan ketika
kesalahan pribadi dan masyarakat digantikan oleh asas bahwa negara dirugikan
ketika di antara masyarakat diserang. Hak masyarakat yang berkaitan dengan
perbuatan salah telah diambil alih oleh negara sebagai wakil masyarakat.17
Dengan demikian, negara bertindak sebagai sarana hukum pidana untuk
melindungi kepentingan masyarakat. Hal ini terkait dengan tujuan negara
16
Arif Gosita, 1993, Masalah Korban Kejahatan, Edisi Kedua, Akademika Pressindo, Jakarta, h. 80-82.
17Richard Quinney, 1975, Criminology : Analisys and Crique of Crime in America, Little, Brown
Indonesia untuk mewujudkan kehidupan yang berkeadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 dan
Pancasila sila kelima.
Sesuai dengan pendapat Quinney di atas, Mardjono Reksodiputro, yang
melihat pada sejarah perkembangan hukum pidana18, menulis :
Pada mulanya reaksi terhadap pelanggaran adalah sepenuhnya hak (dan kewajiban) korban. Akibat dari dendam (darah) yang sering tidak berkeputusan, telah timbul keadaan, bahwa lambat laun ganti rugi oleh pelanggar dapat dibayar dengan harta. Selanjutnya, dirasakan pula bahwa pelanggaran itu tidak hanya hubungan (urusan) pelaku dan korban. Pelaku pelanggaran dianggap juga mengganggu keseimbangan ketertiban dalam masyarakat sehingga yang terjadi adalah juga gangguan dalam keseimbangan antara pelaku dan masyarakatnya. Rupanya, gangguan yang terakhir inilah yang lebih diperhatikan sehingga masyarakat (negara) sebagai satu-satunya yang berhak untuk menuntut ’ganti rugi’ dari pelaku.
Berbagai peristiwa kekerasan dalam rumah tangga telah menunjukkan
bahwa negara telah gagal untuk memberi pehatian terhadap keluhan para
korban. Maka negara dapat dikenakan sanksi jika negara tersebut merupakan
anggota dari instrumen internasional sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.
Dalam implementasinya, apabila negara tidak menjamin perlindungan
hukum terhadap para korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), selain
UDHR dan CEDAW, the International Covenant on Civil and Political Rights
(”ICCPR”), the International Covenant on Economic, Social and Cultural
Rights (“IESCR”), dan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman,
18
or Degrading Treatment or Punishment (“CAT”) adalah dokumen HAM
Internasional yang menjadi standar umum mengenai Hak Asasi Manusia,
dimana para korban KDRT dapat mengugat negaranya masing-masing.19 Serta
beberapa dokumen HAM regional yang dapat dijadikan andasan bagi korban
KDRT antara lain The European Convention for the Protection of Human
Rights and Fundamental Freedoms (“ECHR”), the American Convention on
Human Rights (“ACHR”), bersama dengan the Inter-American Convention on
the Prevention, Punishment and Eradication of Violence Against Women
(“Inter-American Convention on Violence Against Women”), dan the African
Charter on Human and Peoples Rights (“African Charter”).20 Hal ini lebih
dipertegas lagi sebagaimana telah diatur dalam ketentuan umum UUPKDRT
Pasal 1 angka 2 yang berbunyi sebagai berikut :
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah jaminan yang diberikan
oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga
menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban
kekerasan dalam rumah tangga.
1.2. Rumusan Masalah
19Yuhong Zhao, 2001, Domestic Violence in China : In Search of Legal and Social Responses, 18
UCLA PAC. BASIN L.J. 211, h. 223.
20Perlindungan terhadap Perempuan melalui Undang-undang Kekerasan dalam Rumah Tangga :
Sebagaimana latar belakang yang telah terurai di atas, maka yang menjadi
pokok permasalahan adalah :
1. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana dalam kebijakan kriminalisasi
terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga?
2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap perempuan sebagai
korban kekerasan dalam rumah tangga?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Sebagaimana telah tersebut dalam rumusan masalah, maka tulisan ini hanya
akan membahas seputar hak perempuan sebagai korban tindak pidana kekerasan
dalam rumah tangga dan kebijakan hukum pidananya dalam Undang-undang
No. 23 Tahun 2004.
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai meliputi tujuan umum (het van het
ondeerzoek) dan tujuan khusus (het doel in het onderzoek), yaitu :
1.4.1. Tujuan umum
1. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan hukum.
2. Untuk mengkaji secara mendalam bagaimana kebijakan hukum
pidana.
1. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana atas kriminalisasi tindak
pidana kekerasan dalam rumah tangga yang sebaiknya digunakan
untuk masa mendatang.
2. Untuk mengetahui dan menganalisa hak-hak perempuan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagai korban tindak
pidana kekerasan dalam rumah tangga beserta kebijakan hukum
pidananya dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004.
1.5. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
berikut :
1.5.1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan secara teoritis dapat memberikan
masukan atau solusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum
pidana sehubungan dengan tindak pidana kekerasan dalam rumah
tangga.
1.5.2. Manfaat praktis
Bagi aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana,
penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pembuat
kebijakan dalam perumusan perundang-undangan dan pemidanaan
lembaga penegak hukum dalam menangani kasus tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga.
1.2. Landasan Teoritis
1.2.1. Perlindungan Hukum
Perlindungan dari kata lindung, mendapat awalan per dan akhiran
–an. Dalam kamus umum Bahasa Indonesia disusun W.J.S.
Poerwodarminto bahwa perlindungan artinya tempat berlindung.
Terkait dengan perlindungan hukum, Philipus M. Hadjon
menyatakan sarana perlindungan hukum ada dua, yaitu : sarana
perlindungan hukum preventif dan sarana perlindungan hukum represif.
Sarana perlindungan hukum preventif terutama erat kaitannya dengan
azas freis ermessen sebagai bentuk perlindungan hukum secara umum.
Sedangkan sarana perlindungan hukum represif di Indonesia ditangani
oleh badan-badan : Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum,
Instansi Pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi dan
badan-badan khusus.21
Sarana perlindungan hukum represif yang dilakukan oleh
pengadilan dalam bentuk penjatuhan pidana kepada pelaku. Salah satu
tujuan penjatuhan pidana menurut Andi Hamzah dan Sumangelipu
adalah perlindungan terhadap umum (protection of the public)22
termasuk di dalamnya perlindungan hukum terhadap korban.
Menurut Hulsman sebagaimana dikutip oleh Muladi, menyebutkan
bahwa pada hakikatnya hukum pidana mempunyai dua tujuan utama,
yakni untuk mempengaruhi tingkah laku dan untuk menyelesaikan
konflik. Pidana di satu sisi tidak hanya dimaksudkan untuk memberikan
penderitaan kepada pelanggar atau membuat jera, tapi di sisi yang lain
juga agar membuat pelanggar dapat kembali hidup bermasyarakat
sebagaimana layaknya.23 Sedangkan menurut Aruan Sakidjo dan
Bambang Purnomo sebagaimana dikutip oleh Abdul Wahid dan
Muhammad Irfan, usaha hukum pidana untuk mencapai tujuannya itu
tidaklah semata-mata dengan jalan menjatuhkan pidana (straf) yang
dapat dirasakan sebagai custodia honesta, tetapi samping itu juga
dengan menggunakan tindakan-tindakan (maatregel) yang dapat
dirasakan sebagai noncustodia honesta. Tindakan ini pun merupakan
suatu sanksi juga, tetapi tidak ada sifat pembalasan padanya, sehingga
maksud mengadakan tindakan itu untuk menjaga keamanan pada
masyarakat terhadap orang-orang atau anak-anak yang sedikit
banyaknya berbahaya dan akan melakukan perbuatan-perbuatan
22
Andi Hamzah dan Sumangelipu, 1985,Hukum Pidana Mati di Indonesia, di Masa Lalu, Kini dan di Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 15-16.
23
pidana.24 Tidak beda jauh dengan pendapat Wirjono Prodjodikoro,
bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk memenuhi rasa keadilan,
untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan, baik
secara menakut-nakuti orang banyak (generale preventie), maupun
secara menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan
kejahatan, agar di kemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi
(special preventie), atau untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang
yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan, agar menjadi orang
yang baik tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat.25
Jika dilihat dari tujuan hukum pidana menurut pendapat para ahli
yang pada intinya adalah bersifat pengayoman pada masyarakat dan
mengembalikan (menyembuhkan pelaku (pelanggar atau penjahat) pada
jalan yang benar (tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku),
menurut Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, hal ini dapat diartikan
bahwa tujuan hukum pidana Indonesia juga melindungi korban suatu
tindak kejahatan. Penghukuman yang dijatuhkan pada pelaku ini
merupakan salah satu hak yang dapat dituntut oleh pihak korban.
Korban yang sudah dirugikan secara fisik dan psikologis menuntut para
penegak hukum untuk memberikan hukuman yang setimpal dengan
perbuatan pelaku. Maka, diperlukan penerapan sanksi sebagai bentuk
24
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001, Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan), Refika Aditama, Bandung, h. 99.
25
perlindungan hukum terhadap korban. Mereka menyatakan bahwa
dengan menerapkan sanksi hukum kepada pelaku, maka secara tidak
langsung hal itu merupakan suatu bentuk perhatian (perlindungan)
secara hukum kepada korban kejahatan. Perlindungan hukum kepada
perempuan yang menjadi korban kejahatan ini bukan hanya terbatas
pada dihukumnya pelaku, namun juga kepada akibat-akibat yang
menimpanya.26
Meskipun sudah kelihatan cukup ideal bagi kehidupan masyarakat
dan bangsa, namun tujuan itu masih lebih memihak pada kepentingan
pelaku (pelanggar/penjahat), sedangkan kepentingan (hak asasi)
masyarakat, kurang mendapatkan perhatian nyata sampai akhirnya
masalah perlindungan korban termasuk salah satu masalah yang
juga mendapat perhatian dunia internasional. Dalam kongres PBB
VII Tahun 1985 di Milan tentang The Prevention of Crime and the
Treatment of Offenders, dikemukakan : hak-hak korban seyogyanya
dilihat sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan
pidana.27 Dalam hubungan ini, sebagaimana dikutip M. Arief Amrullah,
Zvonimir Paul Separovic menulis bahwa The rights of the victims are a
component part of the concept of human rights. Lebih lanjut
dikemukakan, The rights of those whose human rights have been
26
Ibid., h. 96.
27Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
threatened or destroyed need also to be guaranteed. Menurut Maslow
sebagaimana dikutip oleh Separovic The most important rights of man is
to security wich is one of the basic human needs.28
Ini berarti, secara filosofis manusia selalu mencari perlindungan
dari ketidakseimbangan yang dijumpainya baik yang menyangkut
hak-haknya maupun perilaku terhadapnya. Perlindungan itu, menurut Irsan,
dapat berupa perbuatan maupun melalui aturan-aturan sehingga tercapai
keseimbangan yang selaras bagi kehidupan. Hukum, menurut Irsan,
dalam hal ini hukum pidana, merupakan salah satu upaya untuk
menyeimbangkan hak-hak tersebut.29
Sehubungan dengan itu, Kongres PBB ke-7 di Milan, Italia,
tersebut juga menyebut tentang perlunya diambil tindakan-tindakan
sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap korban yang selengkapnya
dinyatakan sebagai berikut :
The necessary legislative and other measures should be taken in
order to provide the victims of crime with effective means of legal
protection, including compensation for damage suffered by them
as a result of the crimes.
28M. Arief Amrullah, 2007, Politik Hukum Pidana dalam Perlindungan Korban Kejahatan
Ekonomi di Bidang Perbankan, Cetakan Kedua, Bayumedia Publishing, Malang, h. 81.
29Koesparmono Irsan, 1995, Korban Kejahatan Perbankan, dalam Sahetapy (ed)., Bunga
Untuk lebih konkret lagi, yaitu apa yang dilakukan oleh Komite
para Menteri Dewan Eropa (Committee of Ministers of the Council of
Europe) pada tanggal 28 Juni 1985 menyetujui rekomendasi (85) 11
terhadap kedudukan korban dalam kerangka hukum pidana dan hukum
acara pidana, sebagai bagian dari kampanye untuk memperbaiki
perlakuan terhadap korban kejahatan dan terjadinya viktimisasi
sekunder. Namun demikian, Dewan Eropa tersebut bukan merupakan
organisasi satu-satunya yang telah melakukan upaya untuk memperbaiki
kedudukan korban kejahatan dalam hukum pidana dan hukum acara
pidana. Karena, pada tahun yang sama, PBB menyetujui Declaration of
Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power.
Deklarasi tersebut adalah sebuah resolusi Majelis Umum PBB (Resolusi
No. 40/34) yang disetujui pada tanggal 29 November 1985 oleh Mejelis
Umum PBB, hanya beberapa bulan setelah Committee of Ministers of
the Counil of Europe menyetujui Rekomendasi (85) 11, dan itu
mencerminkan adanya kemauan kolektif masyarakat internasional untuk
memulihkan keseimbangan antara hak-hak fundamental tersangka dan
pelaku, dan hak-hak dan kepentingan korban. Adanya deklarasi tersebut
didasarkan atas suatu filosofis bahwa korban harus diakui dan
diperlakukan secara memadai atas dasar kemanusiaan.30 Karena itu,
korban berhak akses terhadap mekanisme pengadilan dan memberikan
30
ganti rugi yang tepat terhadap kerugian yang dideritanya. Di samping
itu, korban juga berhak untuk menerima bantuan khusus yang memadai
yang berkaitan dengan trauma emosional dan masalah-masalah lain yang
disebabkan oleh terjadinya penderitaan yang menimpa diri korban.
Selain pengenaan sanksi pidana kepada pelaku, hak-hak korban tersebut
di atas inilah juga sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap korban.
1.2.2. Kebijakan hukum pidana
Istilah ”kebijakan” dalam tulisan ini diambil dari istilah policy
(Inggris) atau politiek (Belanda) yang secara umum dapat diartikan
sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan
pemerintah (dalam arti luas termasuk pula aparat penegak hukum) dalam
mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah
masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan
perundang-undangan dan mengaplikasikan hukum/peraturan, dengan suatu tujuan
(umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau
kemakmuran masyarakat (warga negara). (”Policy is The general
principles by which a government is guided in its management of public
affairs, or the legislature in measures...this term, as applied to a alaw,
considered as directed to the welfare or prosperity of the state
community”)31
Berdasarkan pada kedua istilah asing ini, maka istilah ”kebijakan
Hukum Pidana” dapat pula disebut dengan istilah ”politik Hukum
Pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah ”politik Hukum Pidana”
tersebut sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal policy,
criminal law policy, atau strafrechtpolitiek.32 Selanjutnya politik hukum
(law policy/rechtpolitiek) dapat diartikan sebagai :
1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.
2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.33
Menurut A. Mulder, strafrechtpolitiek adalah garis-garis
kebijakan untuk menentukan :
a. In welk opzich de bestaande strafbepalingen herzien dienen te worden (Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diperbaharui);
b. Wat gedaan kan worden om strafrechtelijk gedrad te voorkomen
(Apa yang dapat diperbaharui untuk mencegah terjadinya tindak pidana);
31Black, Henry Camphell, et. al., 1979, Black’s Law Dictionary, Fith Edition, St.
Paulminn West Publishing C.O., h. 1041.
32Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti,
Bandung, h. 24. (Selanjutnya disebut Barda III)
33Sudarto, 1987, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h. 159 dan Sudarto, 1977,
c. Hoe de upspring, vervolging, berechting en tenuitvoerlegging van straffen dient te verlopen (Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan).34
Dengan demikian kebijakan Hukum Pidana dapat didefinisikan
sebagai ”usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan
pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan
untuk masa yang akan datang”. Kata sesuai dalam pengertian tersebut
mengandung makna ”baik” dalam arti memenuhi syarat keadilan dan
daya guna.35
Dari definisi tersebut di atas sekilas nampak bahwa kebijakan
Hukum Pidana identik dengan pembaharuan perundang-undangan
Hukum Pidana dalam arti sempit. Hal ini dapat dijelaskan sebagai
berikut : Hukum Pidana sebagai suatu sistem hukum yang terdiri dari
budaya, struktur, dan substansi hukum, sedangkan undang-undang
merupakan bagian dari substansi hukum. Dengan demikian kebijakan
Hukum Pidana bukan hanya sekedar menggunakan pendekatan yuridis
normatif, namun juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang
dapat berupa pendekatan sosiologis, historis dan komparatif, bahkan
memerlukan pula pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan
pembangunan nasional pada umumnya.
34
Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Baktyi, Bandung, h. 28-29. (Selanjutnya disebut Barda IV)
35
Ruang lingkup kebijakan Hukum Pidana sebenarnya lebih luas
daripada pembaharuan Hukum Pidana. Hal ini disebabkan karna
kebijakan Hukum Pidana dilaksanakan melalui tahap-tahap
konkretisasi/oprasionalisasi/fungsionalisasi Hukum Pidana yang terdiri
dari :
1. Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstracto untuk badan pembuat undang-undang. Tahap ini dapat pula disebut tahap kebijakan legislatif
2. Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampaike pengadilan. Tahap ini dapat pula disebut tahap kebijakan yudikatif.
3. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan Hukum Pidana secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini dapat disebut tahap kebijakan eksekutif atau administratif.36
Kebijakan untuk membuat hukum pidana yang baik pada
hakekatnya tidak lepas dari tujuan penanggulangan kejahatan. Dengan
demikian kebijakan hukum pidana juga merupakan bagian dari politik
kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian
kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana.37 Dalam
praktek selama ini menunjukkan bahwa penggunaan hukum pidana
merupakan bagian dari kebijakan (politik hukum) yang diatur di
Indonesia.
36Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,
Semarang, h. 13.
37Soetoprawiro Korniatmanto, 1999, Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian, Gramedia,
Atas keterkaitan tahap-tahap dalam kebijakan Hukum Pidana
dengan hakekat kebijakan Hukum Pidana dengan tujuan
penanggulangan kejahatan, sebagaimana pendapat Barda bahwa upaya
atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan
kejahatan termasuk bidang ”kebijakan kriminal” (”criminal policy”).
Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih
luas, yaitu ”kebijakan sosial” (”social policy”) yang terdiri dari
”kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial” (”social welfare
policy”) dan ”kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat”
(”social defence policy”)38 sebagai salah satu bentuk ide
monodualistik.
Dengan demikian, sekiranya kebijakan penanggulangan
kejahatan (politik kriminal) dilakukan dengan menggunakan sarana
”penal” (hukum pidana), maka ”kebijakan hukum pidana” (”penal
policy”), khususnya pada tahap kebijakan yudikatif/aplikatif (penegakan hukum pidana in concreto) harus memperhatikan dan
mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu, berupa
”social welfare” dan ”social defence”.39
38Barda IV, Op.cit., h. 29-30. Lihat juga Barda III, Op.cit., h. 3.
39
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan
utama dari politik kriminal ialah ”perlindungan masyarakat”40
sebagaimana dirumuskan juga dalam salah satu laporan khusus latihan
ke 34 yang diselenggarakan oleh UNAFAEL di Tokyo tahun 1973
sebagai berikut :41
Most of group members agreed some discussion that ”protection of the society” could be accupted as the final goal of Criminal Policy, although not the ultimate aim of society, which migh perhaps be described by terms like ”happines”of citizens”, ”a whole some and cultural living”, ”social welfare” or ”equality”.
Dengan demikian kebijakan Hukum Pidana berkaitan dengan
proses penegakan Hukum Pidana secara menyeluruh. Di lihat sebagai
suatu proses mekanisme penegakan Hukum Pidana, maka ketiga
tahapan itu diharapkan merupakan suatu jalinan mata rantai yang
saling berkaitan dalam satu kebulatan sistem kebijakan legislatif pada
dasarnya merupakan tahap awal yang paling strategis dari keseluruhan
perencanaan proses fungsionalisasi Hukum Pidana. Tahap ini
merupakan tahap formulasi yang menjadi dasar, landasan dan
pedoman bagi tahap-tahap fungsionalisasi berikutnya yaitu tahap
aplikasi dan tahap eksekusi.
40Barda III, Op.cit., h. 2.
41
Selanjutnya kebijakan Hukum Pidana dapat dikaitkan dengan
tindakan-tindakan :
1. Bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan Hukum Pidana
2. Bagaimana merumuskan Hukum Pidana agar sesuai dengan kondisi masyarakat
3. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan Hukum Pidana
4. Bagaimana mengenakan Hukum Pidana untuk mengatur masyarakat dalam rangka mencapai tujuan yang lebih besar.42
Untuk mencapai tujuan kebijakan sosial dalam rangka
perlindungan korban khususnya perempuan korban kekerasan dalam
rumah tangga, perlu kiranya pembaharuan undang-undang (hukum)
pidana sebagai usaha penanggulangan kejahatan untuk melindungi
korban pada khususnya, dan perlindungan masyarakat pada umumnya.
Maka dirasa perlu melakukan pembangunan sistem hukum pidana
nasional. Pembangunan sistem pidana nasional sendiri adalah bagian
dari pembangunan sistem hukum nasional yang berorientasi pada nilai
keseimbangan Pancasila dan pembangunan nasional yang berorientasi
pada keseimbangan social defence dan social welfare yang menjadi
tujuan pembangunan nasional, yaitu melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
42Wisnubroto, Al., 1999, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial, sebagaimana tercantum dalam
Pembukaan UUD 1945.43
Kebijakan Hukum Pidana (pendekatan Penal) merupakan
sarana yang sangat vital dalam proses penegekan hukum dalam
pertanggungjawaban pidana. Hal ini dipertegas dalam salah satu
kesimpulan Seminar Kriminologi ketiga tahun 1976 sebagai berikut :
Hukum Pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk social defence dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan memperbaiki atau memulihkan kembali (rehabilitatie) si pembuat tanpa mengurangi kepentingan perorangan (pembuat) dan masyarakat.44
Dalam ruang lingkup kebijakan kriminal dengan mengenakan
pidana, perlu pula dikemukakan konklusi tulisan Packer dalam
bukunya “The Limit of Sanction” yang menyatakan : 45
a. The criminal sanction is indispensable; we could not, now or in the foreseeable future, get along without it.
b. The criminal sanction is the best available device we have for dealing with gross and immediate harms and threats of harm.
c. The criminal sanction is at once prime guarantor and prime threatener of human freedom. Used providently and humanly, it is guarantor; used indiscriminately and coercively, it I threatener.
43Barda Nawawi Arief, Pokok-pokok Pemikiran (Ide Dasar) Asas-asas Hukum Pidana Nasional,
Bahan Kuliah Mata Kuliah Pembaharuan Hukum Pidana pada Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum dan Sistem Peradilan Pidana, Universitas Udayana, 2006.
44
Barda Nawawi Arief dan Muladi, 1992, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, h. 92. (selanjutnya disebut Muladi dan Barda I)
45
Sudarto pernah mengemukakan apabila hukum pidana
hendaknya digunakan hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan
politik kriminil atau ”social defence planning” yang ini pun harus
merupakan bagian integral dari terencana pembangunan nasional.46
Terkait hal tersebut di atas, lebih spesifik Hoefnagels
berpendapat bahwa :
”Criminal policy as science of policy, is part of a larger
policy; the law enforcement policy...The legislative and
enforcement policy is in turn part of social policy”.47
Politik kriminal sendiri menurut Marc Ancel sebagai ”the
rational organization of the control of crime by society”48 dan ”the
rational organization of the social reaction to crime”.49 Tak beda jauh
dengan pendapat Marc Ancel, Hoefnagels mengartikannya dalam
berbagai rumusan yaitu ”the science of responses”, ”the science of
crime prevention”, ”a policy of designating human behavior as
crime”, dan ”a rational total of the responses to crime”.50 Muladi dan
46
Sudarto I, h. 104.
47G.P. Hoefnagels, 1973, The Other Side of Criminology, Kluwer Deventer, Holland, h. 57.
48Marc Ancel, 1965, Social Defence, A Modern Approach to Criminal Problems, Routledge &
Kegan Paul, London, h. 209.