PostTourist dan Apa yang Dicari dengan Berwisata pengembara kulit putih, mencari wilayahwilayah yang belum terjamah perdaban dan menemui komunitaskomunitas yang lantas mereka sebut ‘primitif’ untuk mencari tahu apa yang autentik dari kehidupan di alam semesta.
Kini di era (post)modern dimana segalanya terasa mudah, dimana yang primitif kian langka dan areaarea tak terjamah semakin jarang, apakah yang tersisa?
Pencarian akan yang autentik terus saja digelorakan promotor dan media pariwisata. Namun, kita tak bisa dipaksa untuk menolak kenyataan bahwa yang autentik kian lama kian tergerus. Dalam konteks pariwisata hari ini, nyaris semua atraksi dan aktivitas perjalanan adalah sesuatu yang sudah disetting, diciptakan, dikomodifikasi, dan didandani sedemikian rupa demi kepentingan konsumsi dan pengolahan kapital.
Semuanya kini terasa diautentikautentikkan. Tarian tradisional didangkalkan menjadi komoditas wisata yang tak lagi sakral. Upacara adat dibunuh menjadi mesin pengumpul uang. Alam dan arsitektur diatur sedemikian rupa agar tampil cantik di Instagram. Segalanya terasa menjadi palsu. The seeking of authentic bisa jadi diambang kematian.
Kita lalu mengenal apa yang dikonseptualisasikan sebagai posttourist. Istilah ini mengacu pada mereka yang tak peduli lagi pada authenticity. Golongan ini adalah mereka yang berlapang dada dan menerima realitas patetik bahwa yang murni tak ada lagi. Posttourist tak mendambakan keaslian dalam aktivitas wisata mereka. Bahkan saat sedang berada di tempat asing, yang mereka mau adalah kenyamanan seperti di dalam kamar tidur mereka. Posttourist sepenuhnya sadar bahwa dunia adalah panggung sandiwara dan semua hanyalah simulasi – dengan meminjam istilah dalam teori postmodern.
Selain itu, posttourist juga kerap diartikan sebagai pejalan virtual yang tak perlu pergi jauh untuk menikmati kelana. Cukup melihat acara televisi atau berselancar di internet, mereka sudah merasa melakukan perjalanan wisata yang asyik. Dengan berani, Scott Lash dan John Urry bahkan menyebut fenomena ini sebagai pertanda the end of tourism . “Orangorang di masa sekarang adalah turis sepanjang waktu. Apakah itu karena mereka benarbenar mobile atau mengalami mobilitas melalui imajiimaji elektronik,” ujar keduanya dalam Economies of Sign and Space.
Tak kurang dan tak lebih. Mereka tak peduli apakah yang mereka nikmati asli atau tidak, selama kesenangan berkawan dengan mereka. Di mata posttourist, the seeking of authenticity berganti dengan the seeking of ultimate fun.
Sebagai aktivitas yang terkait dengan perubahan jaman, pariwisata memang perlu dimaknai ulang secara kontinu. Hal itu karena setiap jaman punya kegelisahannya masingmasing. Jika para pengelana masa lampau mendamba eksotisme dalam rupa alam, budaya, dan manusia yang berbeda dari yang mereka lihat di tempat asal, pejalan masa kini mendamba hal yang berbeda. Mereka, dan juga mungkin kita, hanya ingin kegembiraan yang lepas, pelarian dari rutinitas urban, dan penyegaran agar siap menantang SeninJumat pekan depan.
(16 Mei 2015)
Sarani Pitor Pakan, alumnus Sosiologi Universitas Indonesia. Mahasiswa MSc Leisure, Tourism, Environment Wageningen University