• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEORI METODOLOGI DAN BAHASA ILMIAH.docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TEORI METODOLOGI DAN BAHASA ILMIAH.docx"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

TEORI, METODOLOGI, DAN BAHASA ILMIAH

(Hakikat Bahasa Ilmiah dalam Pengembangan Ilmu dari Beberapa Filosof Seperti Aguste Comte, Vienna Circle, dan Karl Popper)

Amal Hizbullah Basa

Mahasiswa Pascasarjana AFI UNIDA Gontor

Pendahuluan

Pendekatan Ilmiah Barat terhadap agama tidak ditemukan pada masa Abad Pertengahan. Hal tersebut baru muncul pada masa pencerahan atau yang sering disebut dengan istilah enlightenment. Di abad pertengahan, wahyu Kristiani belum mengalami distorsi atau perubahan. Saat itu ia dianggap final. Oleh karena itu, pada abad pertengahan, studi Kristin intinya adalah teologis dan studi agama lain pada dasarnya adalah ideologis, yang mana, agama, sains, dan filsafat saat itu dipandangan sebegai sudut pandang teologis Kristen.1 Lebih jauh bahwa, semua agama selain Kristen dianggap menyimpang atau sesat. Di satu sisi Katolik mengeluarkan sikap Extra Excelssian Nulla Salus (tidak ada keselamatan diluar gereja).2 Sedangkan kalangan Protestan mengeluarkan sikap Extra Christos Nulla

Salus (tidak ada keselamatan diluar kristus).3 Hal tersebut karena Bible saat itu dianggap sebagai perkataan Tuhan. Inilah worldview abad pertengahan Kristen.

1 Adian Husaini, et al, Filsafat Ilmu “Perspektif Barat dan Islam”, Cet. 5, (Jakarta: Gema Insani Press, 2014), hal. 155

2 Hal ini sebagaimana dijelasakan oleh A. Sermon, bahwa “… this is but a sinillar declaration to that our Lord; he that believeth not shall be damned and must be taught in the same manner, with the same universal application, with the same unflinching firmness, and with the same implied reserves.” Untuk lebih lengkapnya lihat: A. Sermon, Extra Excelssian Nulla Salus,

(London: Frestina Lente, Tanpa Tahun), hal. 6. Lihat juga; Pathways For Interreligious Dialogue In the Twenty First Century, Edited By. Gerard Mannion and Pater C. Phan, (New York: Palgrave Macmillan, 2016), hal. 42

3 Muhammad Wolfgang G.A. Svhmindt (Ed), History of the Refomation 1517-1648,

(2)

Dari beberapa pandangan sebagaimana disampaikan di atas. Barat berkesimpulan bahwa agama berada dalam sejarah oleh karenanya agama berada di dalam sejarah. Artinya, pengetahuan tentang agama berada dibawah pengetahuan sejarah. Tidak hanya itu, bahkan pengetahuan sejarah juga melingkupi segala macam disiplin ilmu termasuk pengetahuan agama tanpa terkecuali.4 Oleh karena itu, agama dalam pandangan Barat berada dibawah sejarah atau sains.

Melihat beberapa fakta sebagaimana disebutkan di atas, maka di dalam makalah yang singkat ini akan disampaikan beberapa pendapat para filosof baik Muslim maupun non-Muslim terkait metodologi dan bahasa ilmiah dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Data Positif dan Empiris Auguste Comte

Untuk mengetahui metode positif dan empiris sebagaimana dikemukakan Auguste Comte, maka ia tidak bisa dipisahkan dari ketertarikannya terhadap filsafat. Ketertarikan itu berangkat dari bagaimana Comte melihat perkembangan ilmu alam (natural sciences) yang dengan penyelidikannya atas prilaku alam lalu dapat ditemukan hukum-hukum tetap yang berlaku general pada alam (hukum alam). Comte kemudian melakukan copy-paste metodologi untuk digunakan menyelidiki prilaku sosial, dengan itu, menurut keyakinan Comte, akan ditemukan

hukum-hukum tetap yang berlaku general pada masyarakat.5

Comte memulai pekerjaannya itu dengan melalukan refleksi mendalam tentang sejarah perkembangan alam pikir manusia. Menurut Auguste Comte, sejarah perkembangan alam terdiri dari tiga tahap, yaitu, teologis, metafisis dan positif.6 Lebih jauh, Comte menjelaskan bahwa pada tahap teologis, manusia

4 Adian Husaini, Filsafat Ilmu…, hal. 160

(3)

memandang bahwa segala sesuatu didasarkan adanya roh atau Tuhan. Sedangkan pada tahap metafisis, penjelasan mengenai realitas didasarkan atas pengertian-pengertian metafisis, seperti substansi, form, sebab dll. Oleh sebab itu, Comte sampai berkesimpulan bahwa, menurutnya sejarah perkambangan pemikiran manusia telah sampai pada babak terakhir yaitu tahap positif, dan telah jauh meninggalkan peradaban metafisika apalagi mitologi. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Mohammad Muslih dalam bukunya Filsafat Ilmu, “…Comte sampai kepada kesimpulan bahwa sejarah perkembangan pemikiran manusia telah sampai pada babak terakhir yaitu, babak positif, dan telah meninginggalkan peradaban metafisika apalagi mitologi.” 7

Metode positivisme berkaitan erat dengan pandangannya terhadap objek positif. Jika dikatakan bahwa metode bisa diartikan suatu cara untuk memperoleh pengetahuan yang sahih tentang kenyataan, maka kenyataan yang dimaksud adalah objek positif.

Objek positif sebagaimana yang dimaksud oleh Comte dapat dipahami dengan membuat beberapa distingsi atau anatomi, yaitu: antara “yang nyata” dan “yang khayal”, “yang pasti” dan “yang meragukan” dst. Nah, dari beberapa patokan “yang faktual” ini, positivisme meletakkan dasar-dasar ilmu pengetahuan hanya tentang fakta objektif. Jika fakta-fakta itu benda mati, maka ilmu pengetahuannya adalah fisika. Atas dasar inilah, bagi Comte, ilmu pengetahuan yang pertama adalah astronomi, lalu fisika, lalu kimia dan akhirnya psikologi.

Mengenai matematika, meski Comte sendiri seorang ahli matematika, namun ia memandang bahwa matematika itu bukanlah ilmu, ia hanya alat berpikir logik. Lebih jauh, bagi Comte, matematika memang dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena. Akan tetapi, dalam prakteknya fenomena ternyata lebih kompleks.

(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), hal. 25; lihat juga misalnya, Rahma Sugiharti,

Perkembangan Masyarakat Informasi dan Teori Sosial Kontemporer, (Jakarta: PT. Fajar Interpratama Mandiri, 2014), hal. 2 dan Urip Sucipto, Sosiologi…, hal. 25

(4)

Untuk memahami metode positif sebagaaimana dikemukakan Comte, maka ia membuat anatomi-anatomi. Kemudian untuk mempermudah dalam memahaminya, anatomi ini kemudian diterjemahkan ke dalam norma-norma metodologis sebagai berikut:

1. Semua pengetahuan harus terbukti lewat rasa kepastian (sense of certainty) pengamatan sistematis yang terjamin secara intersubjektif.

2. Kepastian metodis sama pentingnya dengan rasa kepastian. Kesahihan pengetahuan ilmiah, dijamin oleh kesatuan metode.

3. Ketepatan pengetahuan kita dijamin hanya oleh bangunan teori-teori yang secara formal kokoh mengikuti deduksi hipotesis-hipotesis yang menyerupai hukum.

4. Pengetahuan ilmiah harus dapat dipergunakan secara teknis. Ilmu pengetahuan memungkinkan kontrol teknis atas proses-proses alam maupun sosial. Kekuatan kontrol atas alam dan masyarakat dapat dipertanggungjawabkan hanya dengan mengakui asas-asas rasionalis, bukan melalui perluasan buta dari riset empiris, melainkan melalui perkembangan dan penyatuan teori-teori.

5. Pengetahuan kita pada prinsipnya tak pernah selesai dan relatif, sesuai dengan sifat “relatif dan semangat positif”.8

Atas pandangan di atas, menurut Comte metode penelitian yang harus digunakan dalam proses keilmuan adalah observasi, ekperimentasi, kemudian komparasi.

Metode positif sebagaimana disampaikan oleh Comte menarik. Kemenarikannya terletak pada point-pointnya terhadap sebuah kajian ilmiah. Menurutnya, manusia saat ini masih berada dalam dunia khayal. Hal ini terlihat dari perilakunya sehari-hari yang jauh dari kenyataan. Oleh sebab itu, maka harus bersikap “apa adanya” dalam arti menjalankan kehidupan dengan sungguh-sungguh. Sebab, dengan memberikan penekanan pada aspek metodologi, sebagaimana disinggung di atas, posistifisme beranggapan bahwa ilmu-ilmu menganut tiga prinsip: bersifat

(5)

empiris-objektif, deduktif-nomologis (misalnya, bila.... maka...), instrumental-bebas nilai.9

Positivisme Logis: Verifikasi

Mendengar motode yang digagas oleh Comte, Wilhem Dilthey tidak tinggal diam. Ia gelisah atas gagasan itu. Sebab menurutnya, prilaku alam dan sosial itu berbeda. Maka merupakan sebuah pemaksaan jika tidak ada pembedaan antara kedua objek itu. Oleh karena itu, atas kritik Dilthey ini kemudian para pendukung positivisme tidak tinggal diam. Ia kemudian mebuat sebuah kelompok diskusi pada tahun 1920-an yang terdiri dari beberapa sarjana ilmu pasti dan alam yang berkedudukan di kota Wina dan Austria. Mereka tergabung dalam Lingkaran Wina. Kelompok ini didirikan oleh Mortiz Schlick dan berjalan sampai tahun 1938. Nah, kelompok inilah yang disebut dengan neopositivism atau juga disebut positivisme logis.10

Untuk memahami sebuah metode ilmiah, kaum positivisme logis memusatkan diri pada bahasa dan makna.11 Bagi mereka, kekacauan kaum idealis dengan berbagai pendekatan metafisika yang digunakan dalam melihat realitas, adalah karena bahasa yang mereka gunakan secara esensial tanpa makna. Karena sebagai penganut positivisme, bahwa sumber pengetahuan adalah pengalaman.

Para filusuf pada kelompok “lingkaran wina” pada umumnya mencurahkan perhatiannya untuk mencari garis pemisah antara pernyataan yang bermakna (meaningful) dan pernyataan yang tidak bermakna (meaningless) berdasarkan kemungkinan untuk diverifikasi. Artinya, seuatu pernyataan dapat diverifikasi, maka ia berarti bermakna. Sebaliknya, suatu pernyataan yang tidak bisa diverifikasi, maka ia tidaklah bermakna. Prinsip verifikasi ini menyatakan

9 Ibid, hal. 111 10 Ibid, hal. 112-113

(6)

bahwa suatu proposisi adalah bermakna jika ia dapat diuji dengan pengalaman dan dapat diverifikasi dengan pengamatan.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa para filusuf pada kelompok “lingkaran wina” pada umumnya mencurahkan perhatiannya untuk mencari garis pemisah antara pernyataan yang bermakna (meaningful) dan pernyataan yang tidak bermakna (meaningless) berdasarkan kemungkinan untuk diverifikasi. Artinya, seuatu pernyataan dapat diverifikasi, maka ia berarti bermakna. Sebaliknya, suatu pernyataan yang tidak bisa diverifikasi, maka ia tidaklah bermakna. Dengan prinsip ini, segera bisa dikenal, apakah suatu bahasa itu bermakna atau tidak. Jika bermakna maka disebut ilmiah, dan jika tidak maka ia tidak disebut ilmiah. Oleh karena itu, maka dapat disimpulkan bahwa adanya relasi antara bahasa dengan pikiran manusia (makna). Hal ini berdasarkan unsur linguistic-antropologis yang diteliti dengan framework metodologi sains positivistic.12

Karl Popper: Falsifikasi

Nama lengkapnya Karl Raimund Popper, lahir pada tahun 1902. Ketika umurnya 17 tahun, ia sempat menganut paham komunisme, akan tetapi tidak lama kemudian meninggalkan ideologi ini, dengan alasan bahwa penganut idologi ini hanya menerima dogma saja tanpa ada rasa kritis.

Memang Popper tidak sependapat dengan keyakinan tradisional tentang induksi dan menyatakan bahwa tak ada jumlah contoh-contoh khusus yang menjamin prinsip universal. Demikian juga soal “verifikasi” sebagaimana yang diyakini oleh para filusuf yang tergabung dalam lingkaran wina. Baginya, falsifikasi atau bisa disebut juga falsiviabilitas adalah batas pemisah yang tepat antara ilmu pengetahuan dengan yang bukan ilmu.

(7)

K Popper berbeda anggapan dengan yang mengatakan bahwa suatu teori umum dapat dirumuskan dan dibuktikan kebenarannya melalu prinsi verifikasi. Bagi Popper, suatu teori tidak bersifat ilmiah hanya karena bisa dibuktikan (kebenarannya), melainkan karena dapat diuji dengan percobaan-percobaan sistematis untuk menyangkalnya. Apabila suatu hipotesa atau suatu teori dapat bertaham melawan segala penyangkalan, maka kebenaran teori atau hipotesa itu semakin diperkokoh. Semakin benar kemungkinan untuk menyangkal suatu teori dan jika teori itu bisa terus bertahan, maka semakin kokoh pula kebenarannya.

Menurut Popper, teori-teori ilmiah selalu dan hanyalah bersifat hipotesis (dugaan sementara), tidak ada kebenaran terakhir. Sebab, menurutnya setiap teori terbuka lebar untuk diganti dengan teori setelahnya yang dianggap lebih tepat. Contoh: jika ada pernyataan “semua angsa itu berbulu putih”. Maka jika ditemukan satu ekor angsa yang tidak berbulu putih, maka runtuhlah teori tersebut.

Pandangan Popper sebagaimana telah disebutkan di atas sekaligus menunjukkan bahwa proses pengembangan ilmu bukanlah dengan jalan akumulasi, dalam arti pengumpulan bukti-bukti positif yang mendukung suatu teori, sebagaimana pandangan neo-positivisme. Lebih jauh, baginya proses pengembangan ilmu yaitu dengan jalan eliminasi terhadap kemungkinan kekeliruan dan kesalahan (eror elimination). Sebab, semakian suatu teori mampu bertahan dari panyangkalan dan penolakan, maka ia akan semakin kukuh dalam sebuah keilmuan, inilah yang disebut Popper sebagai teori pengukuhan.13

Problem Saintisme dan Pencarian Makna

(8)

kehidupan manusia, seperti asal-usul kehidupan dan misteri kematian. Akan tetapi, langkah-langkah untuk memecahakn enigma-enigma seperti itu tampaknya berjalan progresif dalam sains. Kesan bahwa sains ingin menyaingi agama atau bahkan menggantikannya dalam perannya sebagai juru tafsir dunia cukuplah beralasan. Sains berambisi menjadi sistem pandangan dunia menyeluruh dan itulah yang disebut dengan scientism.14

Di dalam saintisme, kesalahan agama dan tradisi dalam memaknai dunia ditolak. Menurut Budi Hardiman, ada empat elemen pokok problem epistemis yang dikemukakan oleh para saintis, yaitu:

1. Rasionalitas lebih dari wahyu

2. Kritik lebih dari sekedar sikaf naif yang tidak terbatas dari tradisi dan sejarah

3. Progresif lebih dari sekedar konservasi tradisi, dan

4. Universalisme yang melandasi tiga elemen sebelumnya.15

Melihat kempat poin sebagaimana disebutkan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa semua elemen itu bersifat nomatif sehingga berlaku universal. Kebenaran wahyu diuji dihadapan rasionalitas, legitimasi kekuasaan dipersoalkan melalui kritik serta kesahihan tradisi dipertanyakan berdasarkan masa depan yang lebih baik.16 Menurut Layotard norma-norma seperti itu akan mematikan narasi-narasi kecil menjadi kekuatan kuasa yang akan memarginalkan apa saja yang dianggap tidak rasional.

Beberapa norma-norma sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, memberikan andil besar terhadap tereliminasinya sistem pengetahuan lain dan sistem kebenaran lain berbeda diluar jangkauan norma-norma ilmiah itu, seperti metafisika, seni, tradisi dan termasuk keyakinan agama. Konsekuensinya, jika kesemua unsur seperti metafisika, seni, tradisi dan agama ingin disebut ilmiah, maka semuanya harus mengikuti pokok-pokok ilmiah secara regid sebagaimana

14 Mohammad Muslih, Falsafah Sains “Dari Isu Integrasi Keilmuan Menuju Lahirnya Sains Teistik”, Cet. 1, (Yogyakarta: LESFI, 2017), hal. 76

15 Ibid, hal. 76-77

(9)

sains. Di sini terlihat bahwa drajat sains lebih tinggi dari segalanya. Inilah yang disebut totalitarianisme in the new fashion.

Menurut Popper, garis pemisah antara pernyataan yang bermakna dan yang tidak bermakna sebagai kriteria ilmiah itu tidaklah dapat diterima. Ia pun kemudian membuat demarkasi baru dengan kriteria “asas klasifikasi”, yaitu demarkasi antara teritorium ilmiah dan non-ilmiah. Di sini, Popper “menyelamatkan” agama sebagai pengetahuan yang “sah” dalam pencarian makna, karena menurutnya, pernyataan-pernyataan yang tidak bisa difalsifikasi, seperti “Tuhan itu Maha Kuasa”, memang tidak ilmiah dan bukan termasuk dalam teritorium sains, akan tetapi bisa saja pernyataan itu bermakna. Aksi penyelamatan Popper ini memang tidak lantas dapat dikatakan menyelesaikan konflik tua antara sains dan agama. Namun, kontribusi penting Popper dalam hal ini adalah mengoreksi positivisme dan memberikan ruang tempat kepada agama dalam pencarian makna. Popper bahkan menegaskan bahwa, tidak ada observasi yang bebas teori.17 Artinya, data empiris itu sendiri merupakan hasil konstruksi makna dari subjek pengetahuan. Sehingga dalam sains alam tidak pernah benar-benar independen dari pemaknaan-pemaknaan manusia atasnya. Oleh karena itu, apa yang dikatakan oleh Karl Marx itu benar, bahwa bahasa (ilmiah) yang sering digunakan oleh para saintis dalam mengamati fenomena alam adalah karena dipengaruhi oleh produk sosial, keberadaan para saintis juga merupakan suatu fenomena sosial. Lebih jauh, baginya, sains adalah produk kaum Borjuis. Dan akhirnya, di dalam saintisme, kesahihan agama ditolak.

Kesimpulan

Dari beberapa pemaparan tentang teori, metode, dan bahasa ilmiah dalam pengembangan sains sebagaimana telah dipapar di atas, setidaknya penulis

(10)

berkesimpulan bahwa metode dan teori yang ditawarkan oleh masing-masing filosof seperti Auguste Comte dan Karl Popper menarik. Kemenarikannya terletak pada kesimpulannya bahwa, sesuatu hanya dapat dikatakan ilmiah harus melewati beberapa tahap sebagaimana telah disebutkan sebelum, yang pada akhirnya segala sesuatu haruslah dapat diuji dan diobservasi untuk bisa masuk kedalam kategori Comte dan Popper. Akan tetapi, jika demikian tentu itu akan menimbulkan sebuah pertanyaan, “haruskah segala sesuatu diobservasi untuk bisa dikatakan ilmiah”? jika ia, “bagaimana dengan agama”? oleh karena itu, penting kiranya bagi kita untuk memilah dan memilih dalam perkara ini agar tidak salah dalam memahami.

Wallahu A’lam bi as-Showab.

(11)

Hardiman, F. Budi, Melampaui Positivisme dan Modernitas, “Diskursus Filosofis Ilmiah dan Problem Modernitas”, (Yogyakarta: Kanisius, 2003)

Husaini, et al, Adian, Filsafat Ilmu “Perspektif Barat dan Islam”, Cet. 5,(Jakarta: Gema Insani Press, 2014)

J. Bahm, Arche, Filsafat Perbandingan, “Filsafat Barat, India, Cina dalam Perbandingan”, (Yogyakarta: Kanisius, 2003)

Latif, Mukhtar, Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu, Cet. 4, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016)

Muslih, Mohammad, Falsafah Sains “Dari Isu Integrasi Keilmuan Menuju Lahirnya Sains Teistik”, Cet. 1, (Yogyakarta: LESFI, 2017)

_________________, Filsafat Ilmu, Cet. 7,(Yogyakarta: Belukar, 2012)

Pathways For Interreligious Dialogue In the Twenty First Century, Edited By. Gerard Mannion and Pater C. Phan, (New York: Palgrave Macmillan, 2016)

Sugiharti, Rahma, Perkembangan Masyarakat Informasi dan Teori Sosial Kontemporer, (Jakarta: PT. Fajar Interpratama Mandiri, 2014)

Tonny, Fredian, (Ed), Sosiologi Umum, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015)

W. Underhill, James, Humbolt, Worldview and Language, (Tanpa Kota, Edinburgh University Press, 2009)

Referensi

Dokumen terkait

liabilitas potensial yang timbul dari peristiwa masa lalu dan keberadaannya menjadi pasti dengan terjadinya atau tidak terjadinya satu atau lebih peristiwa di masa depan yang tidak

Variabel yang terdapat di dalam penelitian ini yaitu variabel independen yang terdiri dari kepemilikan manajerial, leverage , profitabilitas, ukuran perusahaan, dan

Semakin volatile labanya dan sahamnya makin beresiko, investor cenderung tidak berinvestasi di perusahaan tersebut, sehingga biaya modal ekuitas semakin turun.Apabila IFRS

Renang Gaya Bebas adalah gerakan yang dilakukan dengan cara. menelungkupkan badan, dimana tangan dan kaki melakukan

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh simpulan bahwa: 1) ada hubungan positif antara keterampilan metakognitif dan kemampuan berpikir kritis dengan hasil belajar Biologi siswa

Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun

Epididymitis dan orchitis merupakan inflamasi dari epididimis dan testis, dengan atau tanpa disertai infeksi. Kelainan ini bisa diklasifikasikan menjadi akut, subakut,

Baja amutit ukuran penampang 17 mm x 17 mm dengan panjang ± 120 mm dibentuk menggunakan mesin potong, mesin milling dan mesin surface grinding menjadi menjadi balok