• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembuatan biodiesel dari minyak ikan air tawar menggunakan kopelarut mtbe (metil tersier butil eter)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pembuatan biodiesel dari minyak ikan air tawar menggunakan kopelarut mtbe (metil tersier butil eter)"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

1

A. Latar Belakang

Produksi ikan di Indonesia cukup besar, baik ikan laut maupun ikan air tawar. Ikan memiliki sifat yang sangat mudah rusak selain itu kondisi penanganan pascapanen yang kurang baik juga membuat ikan menjadi cepat busuk. Kerusakan mekanis dapat terjadi akibat benturan selama penangkapan, pengangkutan, dan persiapan sebelum pengolahan (Astawan, 2003). Sebagai contoh volume limbah pengalengan ikan di Muncar, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, mencapai 50-60 ton per bulan. Sehingga perlu dilakukan pemanfaatan lebih jauh mengenai penanganan limbah ikan. Salah satunya adalah mengolahnya menjadi biodiesel.

Biodiesel merupakan salah satu bahan bakar alternatif dari bahan mentah terbarukan (renewable). Biodiesel bisa digunakan dengan mudah karena dapat bercampur dengan segala komposisi dengan minyak solar. Biodiesel merupakan bahan bakar mesin diesel yang diperoleh dari minyak nabati atau lemak hewani dan dapat digunakan pada mesin diesel konvensional meskipun tanpa modifikasi (Rahayu, 2005). Lemak hewan yang biasa digunakan meliputi lemak babi, lemak ayam, lemak sapi, dan juga lemak yang berasal dari ikan (Wibisono, 2007).

Pembuatan biodiesel dengan bahan baku lemak hewan belum banyak diteliti, menurut Winarno (1997) biodiesel hasil konversi trigliserida dari lemak hewan umumnya mengandung asam lemak berupa asam palmitat sekaitar 15-50% dari seluruh asam-asam lemak yang ada, sedangkan jenis lainnya sekitar 25% diantaranya asam stearat, dimana jenis asam tersebut juga terkandung dalam biodiesel dari minyak nabati. Hal ini menunjukkan lemak juga potensial sebagai bahan baku pembuatan biodiesel.

Guru (2008) ilmuwan dari Turki ini membuat biodiesel dari sisa-sisa lemak hewan menggunakan dua katalis yakni H2SO4 dan NaOH 0,01 (w/w) menggunakan

(3)

pereaksi metanol dan katalis asam sulfat. Kandungan metil ester yang diperoleh adalah metil ester palmitat, metil ester 11,12-eikosadinot, metil ester 11-oktadekanoat, dan metil ester stearat. Tri Harjanti (2008) juga telah melakukan hal yang serupa namun menggunakan katalis basa natrium. Karakterisasi biodiesel yang dihasilkan memenuhi standar American Society fot Testing Materials (ASTM) dan dirjen Migas. Pembuatan biodiesel yang dilakukan oleh El-Mashad (2008) menggunakan bahan dasar dari minyak ikan salmon dengan katalis KOH 0,5% dan perbandingan metanol:minyak 9,2:1 dihasilkan konversi biodiesel 99%.

Reaksi transesterifikasi dapat dikatalisis dengan katalis asam atau basa. Katalis asam yang sering digunakan adalah asam sulfat dan asam klorida. Penggunaan katalis asam membutuhkan waktu refluk yang sangat lama (48-96 jam), perbandingan mol metanol yang dibutuhkan besar (30-150:1). Sedangkan katalis basa yang sering digunakan adalah kalium hidroksida, natrium hidroksida dan karbonatnya. Aktivitas katalis basa lebih cepat dibandingkan katalis asam, katalis asam lebih korosif, sehingga katalis basa lebih disukai dan sering digunakan (Ilgen, 2007).

Minyak dan metanol tidak saling melarutkan secara sempurna, sehingga dibutuhkan suhu tinggi untuk membentuk metil ester. Metanolisis minyak kedelai menggunakan katalis basa dua fasa dengan tetrahidrofuran sebagai kosolven lebih cepat dari proses dua fasa. Pembuatan biodiesel menggunakan katalis homogen basa tanpa kopelarut biasanya menggunakan temperatur sekitar 50-60 °C dan waktu reaksi sekitar 2 jam (waktunya lama) (Foon, 2004 dan Van Garpen, 2004). Kopelarut digunakan untuk membentuk satu fasa yang mana metanol yang bersifat polar dapat saling larut dengan trigliserida yang bersifat nonpolar. Eter merupakan pelarut yang bagus untuk banyak reaksi organik. Eter siklik dengan masa molar kecil saling larut dengan air dalam banyak perbandingan dan menjadi kopelarut yang bagus dalam sistem metanol/minyak. Tetrahidrofuran merupakan pilihan terbaik untuk eter siklik.

(4)

Beberapa contoh kopelarut yang biasa digunakan merupakan turunan dari senyawa eter yaitu Tetrahidroferon (THF), dietil eter, diisopropil eter dan metil tert-butil eter (MTBE). MTBE biasa digunakan untuk meningkatkan bilangan oktan pada bahan bakar, selain itu MTBE mudah dipisahkan dan digunakan lagi dengan metanol. Sebelumnya, Lirong Chi (1999) telah berhasil mensintesis metil ester dari minyak kedelai menggunakan kopelarut MTBE.

Penelitian ini dilakukan untuk mereaksikan minyak ikan hasil dari limbah ikan menjadi biodiesel melalui reaksi transesterifikasi menggunakan katalis basa dan MTBE sebagai kopelarut. Biodiesel yang dihasilkan diidentifikasi menggunakan HNMR dan GC-MS.

B. Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan reaksi transesterifikasi diantaranya adalah pengaruh air dan asam lemak bebas, perbandingan molar alkohol dan bahan mentah, temperatur dan jenis katalis. Penggunaan katalis dalam sistem ini dapat menggunakan katalis basa homogen maupun heterogen. Katalis basa homogen yang biasa digunakan adalah NaOH, KOH, dan karbonatnya.

Reaksi transesterifikasi trigliserida menjadi metil ester dengan katalis NaOH membutuhkan waktu kurang lebih 2 jam dan temperatur di atas suhu kamar (50-60 °C). Waktu yang lama dan suhu yang tinggi tersebut diperlukan karena kelarutan metanol dalam minyak pada kondisi kamar tidak besar, sehingga reaksi lambat pada kondisi kamar. Upaya untuk meningkatkan kelarutan metanol dalam minyak adalah dengan penambahan kopelarut.

2. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, maka dibuat batasan masalah sebagai berikut :

a. Minyak ikan yang digunakan berasal dari limbah usaha tepung ikan, di waduk Gajah Mungkur Wonogiri

(5)

c. Kondisi dalam pembuatan biodiesel adalah sebagai berikut: 1. Perbandingan mol methanol dengan minyak 27:1. 2. Reaksi dilakukan pada suhu kamar.

3. Waktu reaksi yaitu 5, 10, 15, 20 dan 25 menit.

4. Perbandingan volume MTBE dengan minyak adalah 0,5; 1,0; 1,5; dan 2,0.

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah dan batasan masalah di atas, rumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut :

a. Bagaimana pengaruh perbandingan volume MTBE dalam pembuatan biodiesel dari minyak ikan terhadap kecepatan reaksinya?

b. Bagaimana pengaruh perbandingan volume MTBE dalam pembuatan biodiesel dari minyak ikan menggunakan kopelarut MTBE pada suhu kamar terhadap kemurniannya?

c. Apakah karakterisasi sifat fisik biodiesel yang dihasilkan memenuhi standar American Society for Testing Materials (ASTM) dan Dirjen Migas?

C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui bahwa minyak dari limbah ikan dapat dimanfaatkan menjadi biodiesel melalui reaksi transesterifikasi dengan katalis basa pada suhu kamar. 2. Mempelajari pengaruh variasi jumlah kopelarut MTBE dan waktu reaksi

transesterifikasi minyak ikan pada suhu kamar.

3. Mengkarakterisasi sifat fisik biodiesel yang dihasilkan berdasarkan standar American Society for Testing Materials (ASTM) dan Dirjen Migas.

D. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah :

(6)
(7)

6 BAB II

LANDASAN TEORI

A. TINJAUAN PUSTAKA 1. Minyak Ikan

Sebagai bahan pangan, ikan merupakan sumber protein, lemak, vitamin, dan mineral yang sangat baik dan prospektif. Keunggulan utama protein ikan dibandingkan dengan produk lainnya adalah kelengkapan komposisi asam amino dan kemudahannya untuk dicerna. Dibandingkan dengan negara-negara lain, konsumsi ikan per kapita per tahun di Indonesia saat ini masih tergolong rendah, yaitu 19,14 kg. Hal ini sangat disayangkan, terutama mengingat betapa besar peranan gizi ikan bagi kesehatan. Untuk mengatasi masalah rendahnya konsumsi ikan laut akibat harganya yang relatif mahal, perlu upaya pengembangan ikan air tawar (Astawan, 2003).

Budidaya ikan air tawar biasa dilakukan di kolam, tambak atau karamba-karamba di sekitar waduk. Namun, yang yang menjadi perhatian adalah ikan merupakan bahan pangan yang sangat mudah mengalami kerusakan karena berbagai jenis bakteri dapat menguraikan komponen gizi ikan menjadi senyawa-senyawa berbau busuk dan anyir, seperti indol, skatol, H2S, merkaptan, dan lain-lain.

Sehingga pada budidaya ikan setiap harinya akan menghasilkan limbah ikan berbau busuk yang menumpuk. Limbah ikan tersebut perlu diolah untuk menjadikannya lebih bermanfaat, salah satunya adalah mengambil kandungan minyak didalamnya.

(8)

Minyak ikan mengandung asam lemak yang beragam. Kandungan asam lemak jenuh rendah sedangkan asam lemak tak jenuhnya tinggi terutama asam lemak tak jenuh rantai panjang yang mengandung 20 atau 22 atom C atau lebih. Beberapa asam ini termasuk EPA dan DHA (De Man, 1997). Asam lemak komponen beberapa minyak ikan air tawar dan ikan laut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Asam lemak komponen utama beberapa minyak ikan air laut dan air tawar. Asam lemak

Lemak dan minyak adalah salah satu kelompok yang termasuk pada golongan lipid, yaitu senyawa organik yang terdapat di alam serta tidak larut dalam air, tetapi larut dalam pelarut organik non-polar, misalnya dietil eter (C2H5OC2H5), kloroform

(CHCl3), benzena dan hidrokarbon lainnya. Lemak dan minyak dapat larut dalam

(9)

karena itu trigliserida melalui reaksi transesterifikasi dengan gliserol diubah menjadi monogliserida dan digliserida dengan bantuan katalis seperti natrium metoksida dan basa lewis lainnya. Hanya saja proses ini menghasilkan campuran yang terdiri atas 40-80% monogliserida, 30-40% digliserida 5-10% trigliserida, 0,2-9% asam lemak bebas dan 4-8% gliserol (Juliati, 2002).

Asam-asam lemak yang ditemukan di alam biasanya merupakan asam-asam monokarboksilat dengan rantai yang tidak bercabang dan mempunyai jumlah atom genap. Asam-asam lemak yang ditemukan di alam dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Asam-asam lemak tidak jenuh berbeda dalam jumlah dan posisi ikatan rangkapnya, dan berbeda dengan asam lemak jenuh dalam bentuk molekul keseluruhannya. Asam lemak tak jenuh biasanya terdapat dalam bentuk cis karena itu molekul akan bengkok pada ikatan rangkap, walaupun ada juga asam lemak tidak jenuh dalam bentuk trans (Padley, 1994).

Lemak hewani mengandung banyak sterol yang disebut kolesterol, sedangkan lemak nabati mengandung fitosterol dan lebih banyak mengandung asam lemak tak jenuh sehingga umumnya berbentuk cair. Lemak hewani ada yang berbentuk padat yang biasanya berasal dari lemak hewan darat seperti lemak susu, lemak sapi, lemak babi. Lemak hewan laut seperti minyak ikan paus, minyak ikan Cod, minyak ikan herring berbentuk cair dan disebut minyak. Bahan pangan hampir semua banyak mengandung lemak dan minyak, terutama bahan yang berasal dari hewan (Winarno, 1997). Asam-asam lemak tak jenuh yang terdapat pada tumbuhan dan hewan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Asam-asam lemak tak jenuh yang terdapat pada tumbuhan dan hewan

Nama Sistematis Nama Trivial Shorthand

(10)

Untuk asam lemak jenuh pada minyak ikan biasanya adalah asam miristat dan asam palmitat dengan asam stearat yang jumlahnya sangat sedikit. Kadar asam lemak polienoat yang tinggi menyebabkan mimyak ikan rentan terhadap autooksidasi (De Man, 1997). Asam-asam lemak jenuh yang terdapat pada tumbuhan dan hewan dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel.3 Asam-asam lemak jenuh yang terdapat pada tumbuhan dan hewan.

Nama Sistematis Nama Trivial Shorthand

Etanoat

Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif dari bahan mentah terbaharukan (renewable) selain bahan bakar diesel dari minyak bumi. Biodiesel tersusun dari berbagai macam ester asam lemak yang dapat diproduksi dari minyak-minyak tumbuhan seperti minyak sawit (palm oil), minyak kelapa, minyak jarak pagar, minyak biji kapok randu, dan masih ada lebih dari 30 macam tumbuhan Indonesia yang potensial untuk dijadikan sumber energi bentuk cair ini. (Prakoso, 2003). Selain minyak nabati, biodiesel juga dapat dibuat dari lemak hewani seperti lemak babi (Harjanti, 2008).

(11)

Pada umumnya biodiesel disintesis dari ester asam lemak dengan rantai karbon antara C6-C22. Biodiesel bisa digunakan dengan mudah karena dapat bercampur dengan segala komposisi dengan minyak solar, mempunyai sifat-sifat fisik yang mirip dengan solar biasa sehingga dapat diaplikasikan langsung untuk mesin-mesin diesel yang ada hampir tanpa modifikasi. (Prakoso, 2003)

Dibanding bahan bakar solar, biodiesel memiliki beberapa keunggulan, yaitu: § Biodiesel diproduksi dari bahan pertanian, sehingga dapat diperbaharui. § Biodiesel memiliki nilai cetane yang tinggi, volatile rendah, dan bebas sulfur. § Ramah lingkungan karena tidak ada emisi SOx.

§ Menurunkan keausan ruang piston karena sifat pelumasan bahan bakar yang bagus (kemampuan untuk melumasi mesin dan sistem bahan bakar).

§ Aman dalam penyimpanan dan transportasi karena tidak mengandung racun. § Meningkatkan nilai produk pertanian.

§ Biodegradabel: jauh lebih mudah terurai oleh mikroorganisme dibandingkan minyak mineral. Pencemaran akibat tumpahnya biodiesel pada tanah dan air bisa teratasi secara alami (Park, 2008).

Oleh karena itu, pengembangan biodiesel di Indonesia dan dunia menjadi sangat penting seiring dengan semakin menurunnya cadangan bahan bakar diesel berbasis minyak bumi, isu pemanasan global, serta isu tentang polusi lingkungan. Pengembangan biodiesel didunia sudah dilakukan sejak tahun 1980-an sehingga pada saat ini beberapa bagian dunia telah dilakukan komersialisasi bahan bakar ramah lingkungan ini.

(12)

yang terdiri dari biodiesel dan gliserin. (Prakoso,2008). Tahapan reaksi dalam pembuatan biodiesel adalah sebagai berikut:

a. Esterifikasi

Esterifikasi adalah tahap konversi dari asam lemak bebas menjadi ester. Esterifikasi mereaksikan minyak lemak dengan alkohol. Katalis-katalis yang cocok adalah zat berkarakter asam kuat seperti asam sulfat, asam sulfonat organik atau resin penukar kation. Asam kuat merupakan katalis-katalis yang biasa terpilih dalam praktek industrial (Soerawidjaja, 2006). Untuk mendorong agar reaksi bisa berlangsung ke konversi yang sempurna pada temperatur rendah (misalnya paling tinggi 120 °C), reaktan metanol harus ditambahkan dalam jumlah yang sangat berlebih (biasanya lebih besar dari 10 kali nisbah stoikhiometrik) dan air produk ikutan reaksi harus disingkirkan dari fasa reaksi, yaitu fasa minyak. Melalui kombinasi-kombinasi yang tepat dari kondisi-kondisi reaksi dan metode penyingkiran air, konversi sempurna asam-asam lemak ke ester metilnya dapat dituntaskan dalam waktu 1 sampai beberapa jam. Reaksi esterifikasi dapat dilihat pada Gambar 1.

RCOOH + CH

3OH RCOOCH3 + H2O

Asam lemak methanol metil ester

Gambar 1. Reaksi esterifikasi dari asam lemak menjadi metil ester

Esterifikasi biasa dilakukan untuk membuat biodiesel dari minyak berkadar asam lemak bebas tinggi (berangka-asam ≥ 5 mg-KOH/g). Pada tahap ini, asam lemak bebas akan dikonversikan menjadi metil ester. Tahap esterifikasi biasa diikuti dengan tahap transesterfikasi. Namun sebelum produk esterifikasi diumpankan ke tahap transesterifikasi, air dan bagian terbesar katalis asam yang dikandungnya harus disingkirkan terlebih dahulu.

b. Transesterifikasi

(13)

C R1

karena harganya murah dan reaktifitasnya paling tinggi (sehingga reaksi disebut metanolisis). Jadi, di sebagian besar dunia ini, biodiesel praktis identik dengan ester metil asam-asam lemak (Fatty Acids Metil Ester, FAME).

Transesterifikasi juga menggunakan katalis dalam reaksinya. Tanpa adanya katalis, konversi yang dihasilkan maksimum namun reaksi berjalan dengan lambat (Mittlebatch, 2004). Katalis yang biasa digunakan pada reaksi transesterifikasi adalah katalis basa, karena katalis ini dapat mempercepat reaksi. Reaksi transesterifikasi dapat dilihat pada Gambar 2 (Schuchardt, 1998).

Trigliserida methanol gliserol metil ester Gambar 2. Reaksi Transesterifikasi

Dimana mekanisme reaksi yang terjadi dalam reaksi diatas dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Mekanisme reaksi transesterifikasi dalam katalis basa

(14)

reaksi yang mempengaruhi konversi serta perolehan biodiesel melalui transesterifikasi adalah sebagai berikut (Freedman, 1984):

1) Pengaruh air dan asam lemak bebas

Minyak yang akan ditransesterifikasi harus memiliki angka asam yang lebih kecil dari 1. Banyak peneliti yang menyarankan agar kandungan asam lemak bebas lebih kecil dari 0,5% (<0,5%). Selain itu, semua bahan yang akan digunakan harus bebas dari air. Karena air akan bereaksi dengan katalis, sehingga jumlah katalis menjadi berkurang. Katalis harus terhindar dari kontak dengan udara agar tidak mengalami reaksi dengan uap air dan karbon dioksida.

2) Pengaruh perbandingan molar alkohol dengan bahan mentah

Secara stoikiometri, jumlah alkohol yang dibutuhkan untuk reaksi adalah 3 mol untuk setiap 1 mol trigliserida untuk memperoleh 3 mol alkil ester dan 1 mol gliserol. Perbandingan alkohol dengan minyak nabati 4,8:1 dapat menghasilkan konversi 98%. Secara umum ditunjukkan bahwa semakin banyak jumlah alkohol yang digunakan, maka konversi yang diperoleh juga akan semakin bertambah. Pada rasio molar 6:1, setelah 1 jam konversi yang dihasilkan adalah 98-99%, sedangkan pada 3:1 adalah 74-89%. Nilai perbandingan yang terbaik adalah 6:1 karena dapat memberikan konversi yang maksimum.

3) Pengaruh jenis alkohol

Pada rasio 6:1, metanol akan memberikan perolehan ester yang tertinggi dibandingkan dengaan menggunakan etanol atau butanol.

4) Pengaruh jenis katalis

Alkali katalis (katalis basa) akan mempercepat reaksi transesterifikasi bila dibandingkan dengan katalis asam. Katalis basa yang paling populer untuk reaksi transesterifikasi adalah natrium hidroksida (NaOH), kalium hidroksida (KOH), natrium metoksida (NaOCH3), dan kalium metoksida (KOCH3). Katalis sejati bagi

reaksi sebenarnya adalah ion metilat (metoksida). Reaksi transesterifikasi akan menghasilkan konversi yang maksimum dengan jumlah katalis 0,5-1,5%-b minyak. 5) Pengaruh temperatur

(15)

akan semakin tinggi untuk waktu yang lebih singkat. Untuk waktu 6 menit, pada temperatur 60 oC konversi telah mencapai 94% sedangkan pada 45 oC yaitu 87% dan pada 32 oC yaitu 64%. Temperatur yang rendah akan menghasilkan konversi yang lebih tinggi namun dengan waktu reaksi yang lebih lama (Destianna, 2007).

Suatu teknik pembuatan biodiesel hanya akan berguna apabila produk yang dihasilkannya sesuai dengan spesifikasi (syarat mutu) yang telah ditetapkan dan berlaku di daerah pemasaran biodiesel tersebut. Persyaratan mutu biodiesel di Indonesia sudah dibakukan dalam SNI-04-7182-2006, yang telah disahkan dan diterbitkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) (Soerawidjaja, 2006).

3. Metil Tert-Butil Eter (MTBE)

Metil tert-butil eter juga dikenal dengan nama lain metil tersier butil eter dan MTBE. MTBE merupaka senyawa kimia dengan rumus molekul C5H12O. MTBE

memiliki sifat volatil (mudah menguap), mudah terbakar dan berwarna jernih serta mudah larut dalam air. Hal tersebut dapat dilihat dari sifat fisik senyawa MTBE pada Tabel 4.

Tabel 4. Sifat senyawa MTBE Keterangan

(16)

CH3OH + CH3C(CH3)=CH2 (CH3)3C-O-CH3

Gambar 4. Reaksi pembuatan MTBE

MTBE merupakan zat aditif pada bahan bakar yang digunakan sebagai donor oksigen dan dapat meningkatkan angka oktan. Namun MTBE ditemukan dapat mudah memberikan polusi dalam jumlah besar dalam air tanah jika terjadi kebocoran pada tangki bahan bakar karena sifatnya yang mudah larut dalam air. MTBE juga digunakan dalam kimia organik sebagai pelarut dengan harga yang relafit tidak mahal jika dibandingkan dengan dietil eter yang memiliki titik didih tinggi dan sulit larut dalam air (Putrajaya, 2008).

Sebagai kopelarut, MTBE memiliki keuntungan yang lebih dibandingkan senyawa-senyawa eter yang lain. MTBE memiliki kecenderungan lebih rendah dalam membentuk senyawa organik peroksida yang mudah meledak. Pada kondisi keadaan botol yang terbuka, dietil eter dan THF berada pada level yang berbahaya sebagai senyawa peroksida jika dibiarkan selama 1 bulan, berbeda dengan MTBE yang relatif aman meskipun dibiarkan selama 1 tahun. Karena alasan titik didih yang tinggi ini, MTBE digunakan sebagai pelarut dalam skala industri karena lebih aman jika dibandingkan dengan dietil eter, THF, atau eter lain yang lebih sulit dan mahal. Walaupun MTBE biasa digunakan dalam bidang industri, namun penggunaannya sebagai pelarut dalam bidang pendidikan masih jarang sebagai contoh penggunaan volume MTBE dalam penelitian lebih sedikit, padahal MTBE bertujuan mengurangi resiko berbahaya dibanding eter lain, dan juga penggunaan MTBE sebagai pelarut sangat jarang ditemukan pada literatur prosedur sintetik sebagai pelarut kimia (Fischer, 2005 ).

(17)

MTBE mudah di pisahkan dan digunakan lagi dengan metanol. MTBE terbukti dapat digunakan sebagai kopelarut dalam reaksi transesterifikasi minyak kedelai (Chi, 1999).

4. Karakterisasi Biodiesel a. Kromatografi Gas-Spektroskopi Massa (GC-MS)

Kromatografi adalah salah satu metode pemisahan senyawa untuk mendapatkan senyawa murni dari senyawa campuran. Pemisahan didasarkan pada perbedaan distribusi (migrasi) zat dalam dua fasa yang berbeda yaitu fasa diam dan fasa gerak. Fasa diam biasanya berupa padatan atau cairan yang tertapis (percolated) pada padatan pendukung (solid support), sedangkan fasa gerak dapat berupa zat cair atau gas. Perbedaan interaksi senyawa terhadap senyawa lain (zat pada fasa gerak maupun pada fasa diam) menyebabkan senyawa tersebut berbeda dalam hal distribusinya dalam fasa gerak maupun dalam fasa diam. Distribusi senyawa campuran yang terserap dalam fasa diam dan fasa gerak merupakan proses kesetimbangan.

Kromatografi gas-spektroskopi massa merupakan gabungan dari kromatografi gas yang menghasilkan pemisahan dari komponen-komponen dalam campuran dan spektroskopi massa yang merupakan alat untuk mengetahui berat senyawa dari setiap puncak kromatogram. Pada metode ini komponen-komponen dalam sampel dipisahkan oleh kromatografi gas dan hasil pemisahan dianalisis oleh spektroskopi massa. Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi sampel campuran dari beberapa komponen. Puncak-puncak kromatogram memberikan informasi jumlah komponen yang ada dalam sampel dan spektra dari spektroskopi massa memberikan kunci-kunci penting dalam proses identifikasi senyawa.

(18)

menimbulkan arus ion pada kolektor yang sebanding dengan limpahan relatifnya. Spektra massa merupakan gambar antara limpahan relatif lawan perbandingan massa/muatan (m/z) (McLafferty, 1988).

Spektra massa biasanya dibuat dari massa rendah ke massa tinggi. Cara penyajian yang jelas dari puncak-puncak utama dapat diperoleh dengan membuat harga mass/muatan (m/z) terhadap kelimpahan relatif. Kelimpahan tersebut disebut puncak dasar (base peak) dari spektra dan dinyatakan sebagai 100%. Puncak-puncak lain mempunyai harga relatif terhadap puncak dasar. Dengan data tersebut dapat diperkirakan bagaimana struktur molekul awal dari senyawa yang dianalisis (Cresswell, 1982).

Kromatografi gas-spektroskopi massa ini biasa digunakan untuk analisis kualitatif senyawa organik yang pada umumnya bersifat dapat diuapkan. Campuran metil ester hasil transesterifikasi minyak nabati memenuhi kriteria ini sehingga dapat dianalisis dengan kromatografi gas-spektroskopi massa. Pemisahan yang dihasilkan dari setiap jenis senyawa yang dianalisis bersifat khas untuk tiap senyawa. Demikian juga untuk senyawa-senyawa metil ester. Ion-ion pecahan dari metil ester diakibatkan penataan ulang hidrogen dan pecahan satu ikatan yang dipisahkan dari gugus C=O.

b. Hidrogen Nuclear Magnetic Resonance (1HNMR)

Partikel dari atom (elektron-elektron, proton-proton, neutron-neutron) dapat berputar pada porosnya. Di beberapa atom seperti 12C, perputarannya saling berpasangan dan berlawanan satu sama lain jadi inti dari atom tidak memiliki spin pelindung. Akan tetapi di beberapa atom seperti 1H, dan 13C intinya hanya memiliki sebuah pelindung. Saat inti berada dalam medan magnet, populasi terinisiasi dari tingkatan energi ditentukan oleh termodinamikanya yang didiskripsikan oleh distribusi Boltzman.

(19)

magnet. Jika energi magnet diserap oleh inti maka sudut presisi akan berubah dan menyebabkan perputaran spin berlawanan arah.

Medan magnet pada inti tidaklah sama dengan medan magnet yang digunakan, elektron-elektron disekeliling inti melindunginya dari medan yang ada. Perbedaan antara medan magnet yang dipakai dengan medan magnet inti disebut sebagai perisai inti. Medan magnet yang diberikan akan berpengaruh terhadap pergeseran kimia (chemical shift) karena proton yang memiliki banyak perisai (shielding) akan semakin sedikit menerima medan magnet yang diberikan. Efek pergeseran kimia adalah perbedaan frekuensi absorbsi proton akibat perbedaan lokasi letak atom terikat. Atom C yang semakin terlindung akan mengalami pergeseran kimia semakin ke kanan atau semakin terperisai sehingga spektra yang terbentuk akan semakin mendekati TMS (Tetra metil silan) yang digunakan sebagai standar. Puncak spektra 1HNMR akan mengalami pemecahan dipengaruhi oleh jumlah atom H tetangga. Jika tidak terdapat atom H maka disebut singlet yang berarti tidak terjadi pemecahan puncak. Satu atom H disebut duplet dengan pemecahan puncak sebanyak 2 puncak. Demikian juga untuk triplet dan kuartet menunjukkan pemecahan puncak sebanyak 3 dan 4 (Skoog, 1997).

Untuk mengetahui persentase konversi metil ester yang diperoleh digunakan

1

H-NMR. Nilai konversi metil ester (yang dinyatakan sebagai konsentrasi metil ester) ditentukan dengan rumus:

TAG

IME = nilai integrasi puncak metil ester, %, dan

ITAG = nilai integrasi puncak triasilgliserol, %.

(20)

c. American Society for Testing Materials (ASTM)

Uji bahan bakar yang dilakukan di laboratorium sebagian bersifat fisis dan sebagian lainnya bersifat kimia. Agar dapat dibuat duplikat uji, maka dalam uji-uji diperlukan alat-alat baku dan prosedur-prosedur baku. Komite D-2 American Society for Testing Materials menerbitkan suatu publikasi tahunan Annual Book of ASTM Standards yang memuat secara rinci mengenai prosedur-prosedur baku dan alat-alat baku uji bahan baker. Disamping itu, prosedur-prosedur baku dan alat-alat baku uji minyak bumi dan produknya dapat juga diperoleh dari Standard Methods and Testing petroleum and Its products, suatu publikasi tahunan dari The Institut of Petroleum.

Sifat biodiesel komersial tergantung pada pemurnian dan sifat dasar minyak yang dapat diketahui menggunakan ASTM. Beberapa metode ASTM yang digunakan sebagai standar sifat fisik biodiesel disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5. Beberapa Standar Parameter Sifat Fisik Biodiesel

Parameter Metode

1. Berat jenis (specific grafity)

(21)

Densitas bahan bakar relatif terhadap air, disebut specific grafity. Specific grafity air ditentukan sama dengan 1. karena specific grafity tidak memiliki perbandingan maka tidak memiliki satuan. Specific grafity digunakan dalam perhitungan yang melibatkan berat dan volume.

Berat jenis minyak dapat ditentukan dengan beberapa macam cara, antara lain dengan menggunakan cara hidrometer (ASTM D 1298-85) yang umumnya dikenakan pada minyak mentah dan produknya yang berupa cairan dan yang mempunyai tekanan uap Red kurang dari 179 kPa. Pada dasarnya uji ini dilakukan dengan menempatkan hidrometer yang mempunyai skala berat jenis atau gravitasi API pada sampel yang diuji yang mempunyai suhu tertentu dan selanjutnya dibaca skala hidrometer yang dipotong oleh permukaan sampel sebagai berat jenis atau gravitasi API sampel pada suhu yang berlaku. Harga yang diperoleh harus dikembalikan ke suhu 15 oC (60 oF), dengan menggunakan Petroleum Measurement Tables (ASTM D 1250-80). Uji tidak harus dilakukan pada suhu 15 oC (60 oF), tetapi disesuaikan dengan keadaan sampel. Namun pengukuran yang paling teliti adalah apabila suhu sampel 15 oC (60 oF). Gambar alat uji dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Penentuan berat jenis dengan cara hidrometer (Hardjono,2001) 2. Kekentalan kinematis (viscosity kinematic)

(22)

v = C t

dimana v adalah kekentalan kinematis dan centistoke. T adalah waktu alir dalam detik dan C adalah tetapan viskometer. Apabila tetapan viskometer belum diketahui, maka perlu dilakukan kalibrasi dengan menggunakan cairan baku. Alat uji viskometer dapat diliha pada Gambar 6.

Gambar 6. Viskometer pipa kapiler 3. Titik Nyala (flash point)

Titik nyala adalah suhu terendah dimana uap minyak dalam campurannya dengan udara akan menyala kalau dikenai nyala uji (test flame) pada kondisi tertentu.Ada tiga macam alat uji yang dapat digunakan untuk menentukan titik nyala bahan bakar, yaitu

a) Alat uji cawan terbuka Cleveland (ASTM D 92-90) dapat digunakan untuk menentukan titik nyala minyak, kecuali minyak bakar yang mempunyai titik nyala cawan terbuka dibawah 79 oC (175 oF).

b) Alat uji cawan tertutup Pensky-Martens (ASTM D 93-80) yang dapat digunakan untuk menentukan titik nyala minyak bakar, minyak pelumas, dan suspensi padatan.

c) Alat uji cawan tertutup Abel, yang dapat digunakan untuk menentukan titik nyala produk minyak yang mempunyai titik nyala antara -18 oC (0 oF ) dan 71 oC (160 oF).

(23)

Gambar 7. Alat uji titik nyala cawan tertutup Pensky-Martens (ASTM D 93-80)

4. Titik kabut (cloud point)

Cloud point suatu bahan bakar yang sudah terdestilasi adalah temperatur dimana bahan bakar menjadi berkabut karena kehadiran dari kristal-kristal lilin. Cloud point sangat dipengaruhi oleh harga ssalinitas, bila salinitas tinggi harga cloud point cenderung turun.

Berikut dapat dilihat alat uji untuk penentuan titik kabut pada Gambar 8.

Gambar 8. Alat uji penentuan titik kabut 5. Korosi terhadap tembaga (copperstrip corrosion)

Metode ini digunakan untuk deteksi terhadap korosifitas lempeng tembaga pada aviation gasoline, bahan bakar turbin, automotif gasolin, atau hidrokarbon lain yang memiliki tekanan uap Reid tidak lebih besar dari 18 psi (124 Pa) seperti kerosin, bahan bakar diesel, minyak pelumas dan produk petroleum yang lain.

(24)

dengan standar ASTM Copper Strip Corrosion. Berikut ini disajikan klasifikasi pengujian pada lempeng tembaga pada Tabel 6.

Tabel 6. Klasifikasi Uji Korosifitas pada Lempeng Tembaga

6. Residu karbon conradson (conradson carbon residue)

Metode D189 ini digunakan untuk menentukan sejumlah residu karbon setelah proses evaporasi dan pirolisis pada minyak, selain itu juga dapat memberikan indikasi kecenderungan coke-forming. Metode ini umumnya digunakan pada produk petroleum nonvolatil, dimana sebagian minyak terdekomposisi pada tekanan atmosfer saat destilasi. Produk petroleum yang mengandung ash-forming dapat ditentukan dengan metode D482 atau metode IP4 namun akan memberikan hasil yang tidak tepat pada tingginya residu karbon.

(25)

7. Kandungan air (water content)

Metode ASTM D95 ini bertujuan untuk menentukan kandungan air pada petroleum, serta material-material bitumen yang lain menggunakan metode destilasi. Pengukuran pada emulsi bitumen merujuk pada metode ASTM D244 yang sejalan dengan ASTM D4006. Air yang terkandung dalam bahan bakar menyebabkan penurunan mutu bahan bakar karena:

- menurunkan nilai kalor dan memerlukan sejumlah kalor untuk penguapan, - menurunkan titik nyala,

- memperlambat proses pembakaran, dan menambah volume gas buang. Keadaan tersebut mengakibatkan:

- pengurangan efisiensi ketel uap ataupun efisiensi motor bakar, - penambahan biaya perawatan ketel,

- menambah biaya transportasi, merusak saluran bahan bakar cair (“fuel line”) dan ruang bakar.

Alat uji kandungan air dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Alat uji kandungan air menggunakan metode destilasi Perhitungan kandungan air dalam sampel dinyatakan dalam % berat atau % volume, dengan rumus sebagai berikut:

Air (%) = V / W x 100 Keterangan:

(26)

W = berat (atau volume sampel)

Jika ada material yang larut dalam air maka diukur sebagai kandungan air. 8. Kandungan sedimen

Metode ASTM D473 ini digunakan untuk menentukan kandungan sedimen pada minyak murni atau bahan bakar dengan metode ekstraksi menggunakan toluena panas. Alat uji kandungan sedimen dapat di lihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Alat uji kandungan sedimen dengan metode ekstraksi

Uji sampel minyak dalam tabung refraktori di ekstraksi menggunakan toluena panas hingga diperoleh residu konstan. Massa dari residu diperoleh dalam persen menggunakan rumus

% massa = massa sedimen x 100 massa sampel awal

(27)

diulanginya kembali sesuatu apabila hasil kedua uji yang dilakukan oleh dua orang melampaui harga yang ditetapkan (Hardjono, 2001).

B. Kerangka Pemikiran

Minyak ikan memiliki kandungan trigliserida yang dapat diubah menjadi metil ester melalui reaksi transesterifikasi. Kandungan asam lemak yang tinggi pada minyak ikan dapat menghambat reaksi pembentukan metil ester karena terbentuknya banyak sabun. Untuk mengatasinya maka dilakukan reaksi esterifikasi yang bertujuan untuk mengkonversi asam lemak bebas menjadi alkil ester, sehingga pada reaksi transesterifikasi akan diperoleh biodiesel yang lebih banyak dan terbentuk sabun yang lebih sedikit.

Reaksi transesterifikasi dengan katalis basa seperti KOH dan NaOH membutuhkan waktu kurang lebih 2 jam dan temperatur diatas suhu kamar (50-60 °C). Laju reaksi dalam reaksi transesterifikasi tersebut cukup lambat, hal tersebut disebabkan karena kelarutan metanol dalam minyak yang rendah. Laju reaksi dalam reaksi transesterifikasi sebanding dengan tingkat tumbukan antar molekulnya, dimana semakin tinggi tingkat tumbukan maka laju raksi akan semakin cepat. Besarnya tingkat tumbukan ini dipengaruhi oleh energi yang diberikan salah satunya melalui temperatur reaksi, sehingga dibutuhkan suhu tinggi untuk meningkatkan laju reaksi.

(28)

C. Hipotesis

1. Semakin banyak penggunaan MTBE sebagai kopelarut pada reaksi transesterifikasi, maka diperoleh biodiesel dengan waktu reaksi yang singkat. 2. Semakin banyak penggunaan MTBE sebagai kopelarut pada reaksi

(29)

28 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode eksperimental di laboratorium. Pembuatan biodiesel dari minyak ikan menggunakan katalis basa NaOH dan kopelarut MTBE. Kondisi optimal diperoleh dengan memvariasi perbandingan volume MTBE dengan minyak dan waktu reaksi. Biodiesel yang diperoleh selanjutnya dikarakterisasi menggunakan GC-MS, 1HNMR, dan ASTM

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan April 2009 sampai September 2009. Produksi biodiesel dan karakterisasi biodiesel hasil produksi dilakukan di Laboratorium Kimia Dasar FMIPA dan Sub-Laboratorium Kimia Pusat UNS Surakarta, Sub Laboratorium Kimia dan Sub Laboratorium Teknik Kimia UGM Yogyakarta, serta Laboratorium Kimia Instrumen UPI Bandung.

C. Alat dan Bahan 1. Alat-alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Magnetic stirrer

b. Thermometer 100oC c. Seperangkat alat refluks d. Piknometer 10 ml Duran e. Peralatan gelas pyrex

f. Neraca Analitik Sartorius Bp-110 g. Pemanas listrik cole palmer h. Seperangkat alat titrasi

i. Vacuum rotary evaporator IKA

(30)

k. Gas Chromatography-Mass Spectroscopy (GC-MS) shimadzus l. Saringan kopi

m. Lumpang porselin n. Penggerus porselin

2.Bahan-bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Minyak limbah ikan

b. NaOH p.a (E. Merck)

c. KOH p.a (E. Merck)

d. Aquades (Laboratorium Kimia Pusat MIPA UNS)

e. Metanol (CH3OH) (E. Merck) a. Penyaringan minyak ikan

Penyaringan dilakukan untuk menghilangkan partikel berukuran besar atau pengotor yang ada pada minyak limbah ikan. Minyak dipanaskan terlebih dahulu pada suhu 30-35 ºC lalu disaring menggunakan saringan kopi.

b. Esterifikasi

Minyak yang telah disaring dipanaskan pada suhu 45 ºC kemudian ditambahkan metanol dan katalis H2SO4 0,5% berat minyak dengan volume metanol

30% volume minyak. Campuran direfluks pada suhu 52 ºC selama 1 jam. Penetralan H2SO4 dengan pencucian menggunakan akuades berulang ulang sampai diperoleh pH

(31)

c. Penentuan bilangan asam

Sebanyak 1 ml minyak dalam erlenmeyer ditambah 2 tetes indikator penolftalen, kemudian campuran dititrasi dengan KOH 0,005 N menghasilkan warna merah jambu.

d. Transesterifikasi menggunakan kopelarut MTBE

Selanjutnya pembuatan NaOCH3 dengan mencampur katalis NaOH 1% berat

minyak dengan sebagian metanol. Secara terpisah minyak hasil esterifikasi yang bebas air dan metanol ditambah metanol sedemikian sehingga jumlah metanol mempunyai perbandingan mol 1:27 dengan mol minyak serta ditambahkan MTBE dengan berbagai variasi perbandingan volume. NaOCH3 ditambahkan dalam

campuran dan waktu reaksi mulai dihitung. Reaksi transesterifikasi dihentikan dengan variasi waktu menggunakan H2SO4 0,1 M sebagai penetral.

e. Pencucian dan pemurnian biodiesel

Hasil transesterifikasi kemudian ditambahkan H2SO4 hingga pH 4, keasaman

metil ester diketahui menggunakan kertas lakmus. Untuk menghilangkan gliserol dan sabun, biodiesel dicuci menggunakan aquades berulang-ulang. Biodiesel kemudian ditambahkan dengan Na2SO4 anhidrat untuk menghilangkan air yang

tersisa dan dialirkan gas N2 untuk menghilangkan metanol dan MTBE sehingga

diperoleh biodiesel murni.

2. Uji Komposisi biodiesel

Biodiesel yang diperoleh selanjutnya dilakukan uji karakteristik dengan

1

HNMR, GC-MS, dan ASTM. Berikut prosedur pengujian sifat fisik biodiesel menggunakan metode ASTM.

a). Pengukuran berat jenis dengan ASTM D1298

(32)

pada suhu tetap untuk menghindarkan perubahan suhu yang berlebihan selama pengujian.

b). Pengukuran kekentalan kinematis dengan ASTM D445

Viskometer yang telah diisi sampel dimasukkan ke dalam viskometer bath yang telah diset pada suhu 100oF selama 20 menit. Cairan dalam viskometer disedot dengan pompa vakum sampai di atas garis batas pertama. Waktu yang diperlukan cairan bahan untuk mengalir mulai dari garis batas pertama sampai garis batas kedua dihitung dengan stopwatch. Viskositas kinematik dihitung dengan mengalirkan waktu alir dengan konstanta viskometer yang sesuai.

c). Pengukuran titik nyala dengan ASTM D93

Cara pengukuran titik nyala yaitu cawan uji diisi sampel sampai tinggi tertentu. Suhu sampel mula-mula dinaikkan dengan cepat dan kemudian dengan kecepatan lambat yang tetap sampai flash point dicapai. Pada interval tertentu suatu nyala uji kecil dilewatkan melintasi cawan. Suhu terendah dimana penggunaan nyala uji menyebabkan uap di atas permukaan cairan menyala diambil sebagai flash point.

d). Pengukuran titik kabut dengan ASTM D97

Cara pengukuran titik kabut yaitu sampel didinginkan dengan rentan suhu tertentu dan diperiksa secara periodik. Temperatur dimana sampel berkabut yang terlihat pertama kali di atas tempat sampel diteliti dan dicatat sebagai titik kabut

e). Pengukuran korosi terhadap tembaga dengan ASTM D130

Lempeng tembaga dimasukkan dalam sejumlah sampel minyak, kemudian dipanaskan dan pada waktu tertentu material akan diujikan. Pada akhirnya lempeng tembaga dipisahkan, dicuci dan dibandingkan dengan standar ASTM Copper Strip Corrosion.

f). Pengukuran residu karbon conradson dengan ASTM D189

(33)

karbon didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Residu selanjutnya dihitung sebagai prosentase dari sampel murninya dan dilaporkan sebagai residu karbon conradson.

g). Pengukuran kandungan air dengan ASTM D95

Sampel yang akan diuji dipanaskan dengan cara refluks menggunakan pelarut yang tak bercampur dengan air dimana pelarut tersebut akan membantu pemisahan air dalam sampel. Selanjutnya pelarut dan air terkondensasi dipisahkan dalam beberapa fraksi, air akan mengalir keluar sedangkan pelarut akan kembali ke glass still (tempat sampel). Perbandingan volume air dengan volume sampel dinyatakan sebagai kandungan air dalam sampel.

h). Pengukuran kandungan sedimen dengan ASTM D473

Sampel minyak dimasukkan dalam tabung refraktori, kemudian diekstraksi menggunakan toluena panas hingga diperoleh residu dengan massa konstan. Massa dari residu dihitung sebagai prosentase dan dilaporkan sebagai sedimen dari ekstrak.

E. Teknik Pengumpulan Data

Untuk membuktikan hipotesis penelitian, maka dilakukan penelitian dengan menentukan variabel bebas:

1. Perbandingan volume MTBE terhadap minyak dengan variasi 0,5:1; 1:1; 1,5:1 dan 2:1 yang dilambangkan dengan v/v.

2. Waktu reaksi dengan variasi 5, 10, 15, 20, dan 25 menit yang dilambangkan dengan t (menit).

(34)

IME(t,v/v) = nilai integrasi puncak metil ester (%)

ITAG(t,v/v) = nilai integrasi puncak triasilgliserol (%)

Kadar metil ester yang diperoleh merupakan variabel terikat yang dilambangkan dengan CME(%). Dari data yang diperoleh, dapat dibuat tabel kadar metil ester pada

setiap perbandingan MTBE dan waktu reaksi sebagai berikut.

0,5:1 (V/V) 1:1 (V/V) 1,5:1 (V/V) 2:1 (V/V)

Selanjutnya, dibuat grafik dengan plot kadar metil ester (C) Vs waktu (t). Data uji karakteristik biodiesel diperoleh menggunakan:

1. GC-MS

Dari uji ini akan diperoleh kromatogram dari GC dan masing-masing puncak akan dijelaskan menggunakan MS yang dibandingkan dengan standar sehingga dapat di tentukan jenis metil ester spesifik dari asam lemaknya.

2. ASTM

Dari uji ASTM diperoleh data sifat fisik biodiesel yang meliputi berat jenis, kekentalan kinematis, titik nyala, titik kabut, korosi terhadap tembaga, residu karbon conradson, kandungan air, dan kandungan sedimen.

F. Teknik Analisis Data

(35)

semakin banyak MTBE yang digunakan reaksi akan berjalan lebih cepat hingga mencapai optimum pada t tertentu.

Dari grafik tersebut di lihat apakah harga kecepatan dari masing-masing volume MTBE memiliki harga yang sama atau berbeda. Untuk mengetahuinya maka perlu dihitung tingkat kesalahan pengukuran atau standar deviasinya (SD), sehingga harga kecepatan dapat ditulis dengan v±SD. Selanjutnya adalah menghitung selisih rata-rata dari vA dan vB, jika harga selisih kecepatan rata-rata tersebut lebih

besar dari tingkat kesalahannya maka dapat dinyatakan bahwa kecepatan vA dan vB

itu berbeda, dan jika berbeda maka dapat dibuat trendline misalkan garis melengkung atau linear sehingga bisa ditentukan kondisi optimumnya. Sedangkan jika harga selisih rata-rata kecepatan tersebut lebih kecil maka vA dan vB merupakan

harga yang sama sehingga merupakan garis lurus.

Berdasarkan hasil kromatogran GC dan fragmen MS dari masing-masing senyawa, suatu senyawa dikatakan mirip dengan standar jika memiliki berat molekul yang sama dan memiki pola fragmen yang mirip serta harga SI (indeks kemiripiran) yang tinggi. Untuk lebih memperkuat dugaan dapat dilihat base peak pada senyawa metil ester yang memiliki ciri khas pada m/z = 74. Jika kandungan metil ester pada senyawa biodiesel tinggi maka dimungkinkan tingginya konversi trigliserida dalam minyak ikan menjadi metil ester. Sehingga semakin besar kandungan metil ester maka kemurnian biodiesel juga semakin besar.

(36)

35

A. Esterifikasi Asam Lemak Bebas Minyak Ikan

Penentuan asam lemak bebas minyak ikan dilakukan untuk mengetahui kandungan asam lemak bebas dalam minyak ikan. Jika kandungan asam lemak bebas terlalu tinggi akan mengakibatkan pembentukan sabun (saponifikasi) dan menimbulkan masalah pada reaksi pembuatan biodiesel. Prosentase asam lemak bebas pada minyak ikan dihitung dari angka asamnya.

Berdasarkan perhitungan (Lampiran 1) didapatkan bilangan asam minyak ikan sebesar 28,18 mg KOH/gr sampel atau setara dengan 2,23 % berat. Harga tersebut menunjukkan adanya asam lemak bebas yang tinggi dalam minyak ikan. Berdasarkan teori, bilangan asam yang diperbolehkan dalam sistem katalis basa adalah lebih rendah dari 1 % (Garpen, 2004) atau setara dengan 2 mg KOH/gr sampel (Berrios, 2007). Bilangan asam yang tinggi harus diturunkan melalui reaksi esterifikasi.

Reaksi esterifikasi minyak ikan dilakukan dengan menambahkan katalis asam H2SO4 dan pereaksi methanol. Penggunaan katalis asam lebih baik daripada basa

karena tidak menghasilkan sabun dan dapat meningkatkan produksi biodiesel, Hal tersebut dikarenakan reaksi esterifikasi merupakan reaksi pembentukan suatu ester (Marchetti, 2008). Minyak hasil reaksi esterifikasi kemudian di ukur kembali bilangan asamnya, berdasarkan perhitungan (Lampiran 1) diperoleh bilangan asam 0,42 mg KOH/gr sampel. Hal ini menunjukkan asam lemak bebas yang pada mulanya tinggi telah terkonversi menjadi ester sehingga kandungan asam lemak bebas menjadi kecil.

B. Pembuatan Biodiesel Menggunakan Kopelarut MTBE

(37)

biodiesel yang dihasilkan berbeda-beda pada setiap variasi kondisi, ada yang membeku dan tidak membeku. Kenampakan fisik biodiesel dapat dilihat pada Tabel 7.

(38)

lama waktu reaksi, biodiesel yang dihasilkan tidak mengalami pembekuan. Biodiesel yang terbentuk selanjutnya dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif menggunakan

1

HNMR, GC-MS, dan ASTM.

C. Analisis Kualitatif Hasil Biodiesel menggunakan 1HNMR

Analisis menggunakan 1HNMR bertujuan untuk dapat mengetahui seberapa besar kemurnian biodiesel yang diperoleh dari hasil reaksi transesterifikasi minyak ikan. Kemurnian ini dilihat dari besarnya prosentase metil ester yang terbentuk. Analisis ini dilakukan pada semua rasio waktu dan volume MTBE yang digunakan. Spektra pembentukan metil ester dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Spektra 1H-NMR biodiesel MTBE 1x dan waktu 25 menit

Proton disekitar gugus gliserida ditunjukkan oleh spektra pada daerah 4 – 4,3 ppm, sedangkan proton metil ester pada daerah 3,7 ppm dan proton α-CH2 pada

(39)

60 gugus aldehid pada rantai panjang asam lemak, posisinya berada paling jauh dengan TMS karena gugus ini tidak terlindungi. Kondisi ini disebabkan adanya elektron phi menyebabkan rapat elekton menjadi kecil sehingga proton ini tidak terlindungi. Pada daerah 1 – 2 ppm muncul puncak yang lebar dan tinggi, puncak ini terjadi karena proton-proton pada CH2 asam lemak beradaterlalu dekat sehingga geseran kimia juga

menjadi terlalu dekat akibatnya puncak-puncak akan bergabung menjadi suatu singlet dimana puncak-puncak tengah suatu multiplet makin tinggi sementara puncak-punvak pinggir akan mengecil ini disebut juga gejala pemiringan atau learning (Fessenden, 1999)

D. Analisis Kuantitatif Hasil Biodiesel menggunakan 1HNMR

Pembuatan biodiesel ini dilakukan pada variasi waktu 5, 10, 15, 20 dan 25 menit pada setiap variasi volume MTBE 0,5; 1; 1,5; dan 2. Berdasarkan hasil spektra HNMR (Lampiran 3-22) dibuat suatu kurva hubungan waktu dan kandungan metil ester pada setiap variasi yang dapat dilihat pada Gambar 12.

(40)

Gambar di atas menunjukkan data yang tidak teratur, data pencapaian hasil

tidak bisa dikatakan bahwa reaksi merupakan reaksi dapat balik. Karena reaksi dapat balik selamanya tidak akan mencapai 100%. Data penelitian dianggap data benar hanya untuk latihan analisis data skripsi. Dari gambar di atas kemurnian biodiesel terjadi pada setiap perbandingan volume MTBE. Pada perbandingan volume MTBE 0,5 dan 2 kemurnian dicapai pada waktu 20 menit serta pada volume MTBE 1 dan 1,5 kemurnian dicapai pada waktu 15 menit. Pada waktu 15 menit hingga 20 menit kandungan metil ester mencapai kemurnian 100%. Berbeda dengan waktu 5 - 10 menit, biodiesel yang dihasilkan belum murni dikarenakan adanya gliserida yang belum terkonversi menjadi metil ester.

Untuk mengetahui pengaruh penambahan MTBE terhadap waktu reaksi dan kemurniannya, dibuat kurva hubungan kecepatan dengan perbandingan MTBE. Kecepatan dapat dihitung dari 1/t, dimana kecepatan didefinisikan sebagai kebalikan dari waktu untuk mencapai kandungan metil ester 100%. Hubungan kecepatan Vs perbandingan MTBE dapat dilihat pada gambar 13.

Gambar 13. Kurva hubungan kecepatan Vs perbandingan volume MTBE

(41)

1,25. Karena percobaan tidak dilanjutkan secara lebih pendek pada variasi perbandingan MTBE (V/V) di selisih puncak kecepatan optimum (vmaks), maka vmaks

tidak dapat ditentukan. Tetapi dengan grafik tersebut dapat diprediksikan ada 3 kemungkinan:

1. Optimum pada titik ekstrapolasi, vmaks1 = 0,077/menit

2. Optimum pada titik awal lengkungan, vmaks2 = 0,067/menit

3. Optimum antara vmaks1 dan vmaks2 = 0,072/menit

Semakin tinggi perbandingan volume MTBE yang digunakan maka reaksi berjalan lebih cepat, namun pada V/V MTBE melebihi 1 kali volume minyak tidak memberikan pengaruh yang signifikan, bahkan pada V/V MTBE 2 kemurnian justru tercapai dengan waktu lebih lama. Semakin banyak penambahan kopelarut justru reaksi tidak mencapai optimum, hal ini disebabkan karena penambahan kopelarut yang berlebih akan mengakibatkan terlalu banyak solvasi, sehingga dimungkinkan reaktan akan tersolvasi dengan kopelarut berlebih.

E. Analisis Hasil Biodiesel Menggunakan GC-MS

Untuk mengetahui struktur senyawa yang terkandung dalam metil ester dari minyak ikan maka dilakukan analisis menggunakan GC-MS. Dengan analisis ini akan menghasilkan puncak-puncak yang masing-masing menunjukkan jenis ester yang spesifik. Hasil analisis GC-MS ditunjukkan pada Gambar 14.

(42)

Berdasarkan data MS, berbagai metil ester dapat ditentukan. Kandungan metil ester ditunjukkan pada Tabel 8.

Tabel 8. Jenis Senyawa Metil Ester Dalam Biodiesel

No Nama Senyawa Puncak ke- % Senyawa SI merupakan suatu metil ester, yakni metil ester miristat, metil ester palmitoleat, metil ester palmitat, metil ester stearat, dan metil ester 11-eikosenoat. Senyawa lainnya kemungkinan hanya merupakan alkil ester turunan dari masing-masing asam lemaknya. Kandungan ester tertinggi pada biodiesel adalah metil ester palmitat yang ditunjukkan oleh puncak nomor 6 dengan kandungan senyawa 22,84%. Spektroskopi massa dari 5 senyawa utama beserta fragmentasinya dapat dilihat pada lampiran 24.

F. Analisis Sifat Fisik Biodiesel

(43)

Tabel 9. Data Hasil Pengujian Parameter Fisik Biodiesel

1 Specific Gravity pada 60/60 oF

1. Pengukuran Kerapatan Relatif (Specific Gravity)

Kerapatan relatif adalah perbandingan massa cairan yang mempunyai volume tertentu pada 15 oC (60 oF) dengan massa air murni yang mempunyai volume dan suhu yang sama dengan volume dan suhu contoh. Kerapatan relatif digunakan untuk mengetahui adanya kontaminasi minyak ringan atau berat yang bercampur dalam biodiesel.

Dari hasil pemeriksaan sesuai dengan metode pemeriksaan ASTM D 1298 diperoleh harga 0,8776. Harga tersebut telah memenuhi standar ASTM (tidak diatur) dan Dirjen Migas (min. 0,840 dan maks. 0,920). Hal ini berarti bahwa biodiesel yang dihasilkan tidak terkontaminasi minyak fraksi ringan maupun fraksi berat.

2. Pengukuran Kekentalan Kinematis (Viscosity Kinematic)

(44)

viskositasnya lebih besar dari standar berarti mengandung fraksi berat, sehingga minyak solar sulit untuk dikabutkan, dan kerja pompa berat.

Viskositas diukur dari laju alir fluida atau minyak dalam suatu pipa kapiler atau viscometer yang sudah terkalibrasi dan dilakukan secara gravitasi. Hasil pemeriksaan dengan menggunakan metode ASTM D 445 menunjukkan harga 4,356. Harga kekentalan diatas telah memenuhi standar ASTM D 445 (1,9 – 6,0) dan Dirjen Migas (2,3 – 6,0).

3. Pengukuran Titik Nyala (Flash Point)

Titik nyala suatu senyawa adalah suhu terendah dimana sejumlah uap minyak bercampur dengan udara dan apabila tersambar api maka minyak akan terbakar. Titik nyala tidak berkaitan langsung dengan unjuk kerja mesin, namun sangat penting sehubungan dengan keamanan dan keselamatan, terutama dalam handling and storage. Titik nyala yang tinggi akan memudahkan penanganan bahan bakar, karena tidak perlu disimpan pada suhu rendah, sebaliknya titik nyala yang terlalu rendah akan membahayakan karena tingginya resiko terjadi penyalaan.

Hasil pemeriksaan titik nyala biodiesel didasarkan pada metode pemeriksaan ASTM D 93 adalah 182,5. Harga diatas telah memenuhi standar ASTM (min 130 oC) dan Dirjen Migas (min. 100 oC), sehingga biodiesel diatas dalam batas aman terhadap bahaya kebakaran selama penyimpan, penanganan dan transportasi.

4. Pengukuran Titik Kabut (Cloud Point)

Titik kabut suatu bahan bakar yang sudah terdestilasi adalah temperatur dimana bahan bakar menjadi berkabut karena kehadiran dari kristal-kristal lilin. Titik kabut sangat dipengaruhi oleh harga salinitas, bila salinitasnya tinggi harga titik kabut cenderung turun. Hasil pengukuran biodisel berdasar metode pemeriksaan ASTM D 97 adalah 12oC. Harga diatas sudah sesuai dengan standar ASTM (maks. 26 oC) dan Dirjen Migas (maks. 26 oC).

5. Pengukuran Korosi Terhadap Lempeng Tembaga (Copperstrip Corrosion)

(45)

pemeriksaan biodiesel berdasar metode standar ASTM D 130 diperoleh 1a. Hasil pengujian korosi lempeng tembaga untuk ketiga jenis biodiesel tersebut telah memenuhi standar ASTM (maks. No. 3) dan Dirjen Migas (maks. No.3).

6. Pengukuran Sisa Karbon Conradson (Conradson Carbon Residue)

Residu karbon bahan bakar yang tinggi menyebabkan silinder cepat terabrasi, selain itu akan mengakibatkan terbentuknya deposit karbor dan zat yang kental pada piston dan silinder. Akibat residu karbon lainnya adalah dapat menyebabkan lekatnya ring piston dan valve system (Kuntari, 2002 dalam Supandi, 2003)

Hasil pemeriksaan biodiesel berdasar metode standar ASTM D 189 adalah 0,078. Dari ketiga harga tersebut diatas telah memenuhi standar ASTM D 189 (maks. 0,1) dan Dirjen Migas (maks. 0,1). Hal ini berarti biodiesel tersebut tidak mengandung sisa karbon di atas standar.

7. Pengukuran Kandungan Air (Water Content)

Pengukuran kandungan air dilakukan untuk mengetahui banyaknya air yang terdapat dalam biodiesel. Keberadaan air menyebabkan turunnya panas pembakaran, busa, dan bersifat korosif pada bahan bakar minyak. Apabila suhu dingin, air dapat mengkristal sehingga dapat menyumbat saluran bahan bakar atau saringan.

Hasil pemeriksaan biodiesel berdasar standar ASTM D 95 diperoleh harga Trace (sedikit sekali) sampai tidak terdeteksi volumenya.. Dari harga di atas maka kandungan air memenuhi standar ASTM (maks. 0,05% vol) dan Dirjen Migas (maks. 0,05% vol.).

8. Pengukuran Kandungan Sedimen (Sediment)

(46)
(47)

46

A. Kesimpulan

Dari hasil dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Penggunaan kopelarut MTBE pada reaksi transesterifikasi minyak ikan dapat

meningkatkan laju reaksi pada kecepatan reaksi 0,072 0,004 yang berada pada waktu reaksi optimum 13,89 menit

2. Pembuatan biodiesel dari minyak ikan menggunakan kopelarut MTBE mencapai kemurniannya pada kondisi optimum perbandingan volume MTBE terhadap minyak adalah 1,25 V/V

3. Struktur senyawa yang dihasilkan dari biodiesel berbahan dasar minyak ikan adalah Metil Ester Miristat, Metil Ester Palmitoleat, Metil Ester Palmitat, Metil Ester Stearat, dan Metil Ester 11-eikosanoat. Dan kandungan terbesarnya adalah metil palmitat dengan kandungan senyawa 22, 84%.

4. Sifat fisik biodiesel yang meliputi kerapatan relatif, kekentalan kinematis, titik nyala, titik kabut, korosi terhadap lempeng tembaga, sisa karbon conradson, dan kandungan air telah memenuhi standar ASTM dan Dirjen Migas, namun kandungan sedimennya tidak memenuhi standar.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dari percobaan yang telah dilakukan, penulis memberikan saran sebagai berikut:

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengatasi pembekuan yang terjadi pada biodiesel yang dihasilkan pada suhu kamar dengan waktu yang singkat. 2. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kondisi optimum perbandingan

(48)

47

Chi, Lirong., 1999, The Production of Methyl Esters from Vegetable Oil/ Fatty Acid Mixture. Tesis S2, Jurusan Teknik Kimia, Universitas Toronto.

Cresswell, Clifford, J., Runquist, Olaf, A., Campbel, Malcom, M.,1982, Analisis Spektrum Senyawa Organik Edisi ke 2, ITB press, Bandung.

De Man, John., 1997, Kimia Makanan Edisi kedua, Institut Teknologi Bandung Press, Bandung

Destianna, Mescha dkk, 2007, Intensifikasi Proses Produksi Biodiesel. LKIM, Institut Teknologi Bandung.

El-Mashad, H. M., Ruihong, Z., and Roberto J., 2008, A Two-Step Process for Biodiesel Production from Salmon Oil, Biosystem Engineering., 99, p 220-227

Fessenden and Fessenden, 1991, Kimia Organik Jilid 1 Edisi ke empat, Erlangga, Jakarta

Fischer, A., Oehm, C., Selle M., Werner P., 2005. Biotic and abiotic transformations of methyl tertiary butyl ether (MTBE). Environ Sci Pollut Res Int 12 (6): 381– 6

Foon, Cheng Sit., May, C,Y., Ngan,M,A., and Hock, C,C., 2004, Kinetics Study on Transesterification of Palm Oil, Journal of Oil Palm Research Vol.16 No.2, 19-29

Freedman, B., Pride, E.H., and Mounts, t.L., 1984, Variable Affecting the Yields of Fatty Esters from Transesterified Vegetable Oil, JAOCS, 61 (10), 1643-1683 Guru, Metin., Artukoglu, B.D., Keskin, A., and Koca, A., 2008, Biodiesel Production

from Waste Animal Fat and Improvement by Synthesized Nickel and Magnesium Additive, Energy Convertion and Management, Vol.50., 3, p 498-502

(49)

Hardjono, A., 2001, Teknologi Minyak Bumi, Edisi pertama, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Herlina, Netti, et. al., 2002, Lemak dan Minyak, Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sumatra Utara, Medan.

Ilgen, O., Dincer, I., Yildiz, M., Alptekin, E., Boz, N., Canakci, M., Akin, A, N, 2007, Investigation of Biodiesel Production from Canola Oil using Mg-Al Hydrotalcite Catalysts, Turk J Chem.

Juliati, Br. et. al., Ester Asam Lemak, Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatra Utara, Medan.

Knothe, G., 2000, Monitoring a Progressing Transesterification Reaction by Fiber- Optic Near Infrared Spectroscopy with Correlation to 1H Nuclear Magnetic Resonance Spectroscopy, J. Am. Oil Chem. Soc., 77, 9483, 489–493.

McLafferty, 1988, Interpretasi Spektra Massa. Gadjah Mada University, Yogyakarta.

Mittlebach, M., Remschmidt, Claudia, 2004, “Biodiesel The Comprehensive Handbook”, Vienna: Boersedruck Ges.

Padley, FB., Gunstone, F.D., and Harwood, J.L., 1994, Occurrence and Characteristic of Oil and Fat. In Lipid Handbook, p.47-223, London.

Park, Young Mo., et. Al., The Heterogeneous Catalyst System for The Continuous Conversion of Free fatty Acid in Used Vegetable Oil for The Production of Biodiesel, Catalysis Today 13, 238-243

Prakoso, Tirto, 2003, Potensi Biodiesel Indonesia. Laboratorium Termofluida dan Sistem Utilitas, Departemen Teknik Kimia ITB, Bandung.

Putrajaya, Hidayat, 2008, Antara Bensin, Timbal dan Etanol, http://hematbensinsolar.blog.detik.com/2008/09/26/antarabensin-timbal-dan-etanol-2

Rahayu, Martini, 2005, Teknologi Proses Produksi Biodiesel dalam Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak,

www.geocities.com/markal_bppt/publish/biofbbm/biraha.pdf

Schuchardt, Ulf., Sercheli, R., and Vargas., 1998, Transesterification of Vegetable Oil: a Review, J.Braz.Chem. Soc,Vol. 9 (2): 199-210.

(50)

Skoog, D.A., Holler, F.J & Nieman, A.T., 1997, Principle of Instrumental Analysis, Fifth Edition, New York, Hancourt Brace & Company.

Soerawidjaja, Tatang H, 2006, Fondasi-Fondasi Ilmiah dan Keteknikan dari Teknologi Pembuatan Biodiesel, Handout Seminar Nasional; Biodiesel Sebagai Energi Alternatif Masa Depan, UGM Yogyakarta.

Supandi, 2003, Pembuatan Biodiesel Melalui Transesterifikasi Minyak Kelapa Menggunakan Metanol dengan Katalis Natrium Metoksida (NaOCH3),

Skripsi S1, Jurusan Kimia MIPA, UNS, Surakarta

Van, Gerpen, J., Shanks, B., Pruszko, R., 2004, Biodiesel Production Technology, National Renewable Energy Laboratory, Collorado.

Wibisono, Ardian, 2007, Conoco Phillips Produksi Biodiesel dari Lemak Babi, Jakarta.

(51)

Lampiran 1. Perhitungan Bilangan Asam

Bilangan asam dihitung dari titrasi 1 ml minyak dalam erlenmeyer kemudian dititrasi dengan KOH 0,005 M.

Bilangan asam dihitung menggunakan persamaan:

sampel

Sedangkan % berat asam lemak dihitung menggunakan persamaan: %

Dari titrasi terhadap minyak hasil esterifikasi dengan variasi presentase katalis diperoleh:

(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)
(65)
(66)
(67)
(68)
(69)
(70)
(71)
(72)
(73)
(74)
(75)

Lampiran 25. Kondisi Operasi Kromatografi Gas Spektrometer Massa (GC-MS) Jenis Kolom : DB 5 MS panjang 30 meter

Suhu kolom : 60 oC Suhu detektor : 300 oC Suhu injektor : 310 oC Injection Mode : Split Flow Control Mode : Pressure

Pressure : 100 kPa

(76)

O

CH3(CH2)12C OCH3

Lampiran 26. Fragmentasi senyawa Metil Ester Miristat Spektra Massa senyawa I

Spektra Massa senyawa Metil Ester Miristat

Struktur senyawa metil ester miristat

O

O

Perkiraan Fragmentasi

-CH3(CH2)8

-CH3(CH2)9CH=CH2

+(CH 2)4-C

O

OCH3

m/z = 115

-CH2=CH2

O

+CH

2CH2C OCH3

m/z = 87

H2C=C +OH

OCH3

(77)

O O

Lampiran.27. Fragmentasi senyawa Metil Ester Palmitoleat Spektra Massa senyawa II

Spektra Massa senyawa Metil Ester Palmitoleat

(78)

Lampiran 28. Fragmentasi senyawa Metil Ester Palmitat Spektra Massa senyawa III

Spektra Massa senyawa Metil Ester Palmitat

(79)

O

O

Lampiran 29. Fragmentasi senyawa Metil Ester Stearat Spektra Massa senyawa IV

Spektra Massa senyawa Metil Ester Stearat

(80)

O O

O

-(CH2)9C OCH3 O

OCH3

CH3(CH2)7CH=CH(CH2)9C

CH3(CH2)7CH=CH+

-CH3(CH2)4CH=CH2

-CH3(CH2)3CH=CH2

-CH3(CH2)2CH=CH2

+

CH=CH(CH2)2CH3

+

CH=CH-CH3 +CH=CH-CH2-CH3

Lampiran 30. Fragmentasi senyawa Metil Ester 11-eikosenoat Spektra Massa senyawa V

Spektra Massa senyawa Metil Ester 11-eikosenoat

Struktur metil ester 11-eikosenoat

Perkiraan fragmentasi

m/z = 139

(81)
(82)

Gambar

Tabel 1. Asam lemak komponen utama beberapa minyak ikan air laut dan air tawar.
Tabel 2. Asam-asam lemak tak jenuh yang terdapat pada tumbuhan dan hewan
Gambar 2. Reaksi Transesterifikasi
Tabel 4. Tabel 4. Sifat senyawa MTBE
+7

Referensi

Dokumen terkait

2) KTP asli dan/atau KK dan/atau Surat Keterangan Domisili dan/atau Surat Keterangan Dinsos Kab/Kota setempat yang menyatakan bahwa KPM tersebut adalah

Persamaan dari penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah penggunaan variabel risk tolerance dan overconfidence sebagai faktor yang

Asimetris menunjukkan pembelatan (splinting) atau flail chest dan tiap pernapasan yang dilakukan dengan susah (labored breathing) sebaiknya harus dianggap

Daktilitas adalah kemampuan suatu struktur gedung untuk mengalami simpangan pasca elastik yang besar secara berulang kali dan bolak balik akibat beban gempa di atas beban gempa

38 Ahmad Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam …, h.. kehidupan manusia berupa penyaluran dorongan naluriah. Dengan kata lain id mengembangkan prinsip

Untuk menghindari meluasnya masalah yang dibahas, maka pembatasan masalah dalam penelitian ini hanya sampai pada pendayagunaan zakat produktif bagi peningkatan pendapatan

menyelesaikan model matematika yang telah dibuatnya; c) Kesalahan melaksanakan rencana, dilihat dari hasil pekerjaan siswa yaitu ketika siswa tidak menyelesaikan model

Bagaimana aktivitas wisata pantai Pangandaran sebagai daya tarik pengunjung yang mempengaruhi kepuasan wisatawan Pantai Pangandaran serta analisis pasar produk wisata