commit to user
i
PEMBELAJARAN APRESIASI DRAMA
DI SEKOLAH MENENGAH ATAS
(Studi Kasus di SMA Negeri Karangpandan)
SKRIPSI
Oleh:
Erma Susilowati
NIM K1208085
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
commit to user
iii
PEMBELAJARAN APRESIASI DRAMA
DI SEKOLAH MENENGAH ATAS
(Studi Kasus di SMA Negeri Karangpandan)
Oleh:
ERMA SUSILOWATI
K1208085
SKRIPSI
Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
commit to user
commit to user
vi
ABSTRAK
Erma Susilowati. K1208085. PEMBELAJARAN APRESIASI DRAMA DI SEKOLAH MENENGAH ATAS (STUDI KASUS di SMA NEGERI KARANGPANDAN). Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Juni 2012.
Tujuan Penelitian adalah untuk mendeskripsikan perencanaan
pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, pelaksanaan pementasan drama, dan kendala-kendala serta upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala dalam pembelajaran apresiasi drama di kelas XI IPS 1 SMA Negeri Karangpandan.
Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Strategi penelitian yang digunakan adalah studi kasus tunggal. Sumber data yang digunakan adalah tempat dan peristiwa berkaitan dengan lokasi dan aktivitas pembelajaran yang dilakukan oleh guru dalam kelas, informan, dan dokumen. Teknik pengambilan sampel yang
digunakan adalah purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan
teknik analisis dokumen, teknik observasi, dan teknik wawancara. Validitas data
diperoleh melalui triangulasi data, triangulasi metode, dan review informan.
Teknik analisis data menggunakan model interaktif yang terdiri dari empat tahap, yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Hasil temuan penelitian tentang pembelajaran apresiasi drama di SMA Negeri Karangpandan diperoleh simpulan: (1) Perencanaan pembelajaran apresiasi drama (silabus dan RPP) yang disusun oleh masih terdapat kekurangan, dalam RPP guru belum mencantumkan tujuan pembelajaran yang akan dicapai peserta didik. (2) Pelaksananaan pembelajaran apresiasi drama, guru menjelaskan materi dengan metode inovatif, media yang digunakan guru laptop, LCD,
proyektor, speaker, papan tulis dan spidol. Evaluasi yang dilakukan oleh guru
dalam pembelajaran apresiasi drama terdapat dua jenis, yaitu evaluasi proses dan hasil. (3) Pelaksanaan pementasan drama berwujud rekaman drama yang dimuat dalam CD. (4) Kendala yang dihadapi guru (a) peserta didik yang malu-malu/takut serta kurang rasa percaya diri dan tidak mengerjakan tugas; (b) belum memiliki fasilitas yang lengkap; (c) waktu yang terbatas; (d) kurangnya bahan dan materi ajar. Upaya yang dilakukan guru (a) guru memberikan motivasi, semangat, menjelaskan tujuan dan manfaat mempelajari materi sekaligus praktik dalam apresiasi drama, guru memberikan kelonggaran waktu untuk menyelesaikan tugas dan bila terjadi berkai-kali guru memberikan sanksi; (b) mengajak peserta didik untuk belajar di ruangan yang memiliki fasilitas lengkap, seperti di laboratorium fisika; (c) guru menjelaskan materi drama dengan singkat, padat, dan jelas, memberikan kepercayaan penuh kepada peserta didik untuk bermain drama dengan kelompoknya masing-masing; (d) mengupayakan mencari
tambahan materi ajar dari sumber lain, salah satunya buku Terampil Bermain
Peran karya Asul Wiyanto atau dari sumber-sumber lain di internet yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, serta menambahkan materi tentang pengeditan sebuah film dalam pembelajaran TIK.
commit to user
vii
MOTTO
“Pengalaman adalah segalanya yang aku miliki
Aku pernah jatuh, lalu bangkit kembali
Dan aku yakin bahwa pengalamanlah yang membantuku kembali kuat untuk
berdiri”
Carl Chirul
”Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan”
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Rasa syukur selalu ku panjatkan pada-Mu, kupersembahkan karya ini untuk:
Ayah dan Ibu
Doa restu darimu mengalir tiada hentinya demi kelancaran dan
kesuksesanku
Nur Syarohmawati
Adikku yang selalu menghibur kala susah dan memotivasiku
Edy Setiyawan, S. Psi dan Uning Intan Fittriawati, S.E
Dukungan moralmu membuatku untuk selalu berpikir positif dan optimis.
FACEL
Fira, Ardhy, Colin, Erma, Lina, lima bersaudara selamanya....
Teman-teman tercinta
Wahyu Purwanto, Nita Nur’aini, Aditya Permana. S., Muhari Widi, Dwi, Wahyudi, Ummi, dan seluruh teman-teman Bastind ’08.
Bapak/Ibu Dosen PBS
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur peneliti panjatkan ke hadirat Allah Swt yang telah melimpahkan
rahmat, nikmat, dan karunia-Nya, skripsi ini akhirnya dapat diselesaikan untuk
memenuhi sebagian persyaratan dalam mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Bahasa
Indonesia. Peneliti menyadari banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam
penyelesaian penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak
akhirnya kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu dengan segenap kerendahan
hati perkenankan peneliti menghaturkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah
memberi izin penulisan skripsi.
2. Dr. Muhammad Rohmadi, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, yang telah menyetujui permohonan penyusunan skripsi.
3. Dr. Kundharu Saddhono, M.Pd., selaku Ketua Program Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia yang telah memberikan izin penyusunan skripsi.
4. Prof. Dr. Herman. J Waluyo, M. Pd., dan Drs. Purwadi, selaku Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, dan masukan positif kepada
peneliti hingga skripsi ini dapat terselesaikan.
5. Bapak dan Ibu dosen Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang
dengan tulus membagikan ilmunya kepada peneliti.
6. Drs. Amin Suryadi, M.Pd., selaku Kepala Sekolah SMA Negeri Karangpandan yang memberikan izin untuk melakukan penelitian di sana.
7. Dra. Ami Rahayu, selaku guru bahasa Indonesia SMA Negeri Karangpandan
yang telah memberikan informasi yang peneliti butuhkan dalam menyusun
skripsi.
Semoga amal kebaikan semua pihak tersebut mendapatkan imbalan dari Allah Swt.
Akhirnya peneliti berharap skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan dan dunia pendidikan, khususnya pendidikan bahasa Indonesia.
Surakarta, Juli 2012
commit to user
x
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... i
PERNYATAAN ... ii
PENGAJUAN ... iii
PERSETUJUAN ... iv
PENGESAHAN ... v
ABSTRAK ... vi
MOTTO ….. ... vii
PERSEMBAHAN ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian ... 6
commit to user
xi
A. Kajian Teori ... 7
1. Hakikat Pembelajaran ... 7
2. Hakikat Drama ... 13
3. Hakikat Apresiasi Drama ... 23
4. Hakikat Pembelajaran Apresiasi Drama ... 26
B. Penelitian yang Relevan ... 39
C. Kerangka Berpikir ... 41
BAB III. METODE PENELITIAN ... 44
A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 44
B. Pendekatan dan Jenis Penelitian... 44
C. Data dan Sumber Data ... 45
D. Teknik Pengambilan Sampel ... 46
E. Teknik Pengumpulan Data ... 46
F. Uji Validitas Data ... 47
G. Teknik Analisis Data ... 48
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 50
A. Deskripsi Temuan ... 50
1. Perencanaan Pembelajaran Apresiasi Drama di Kelas XI IPS 1 SMA Negeri Karangpandan ... 50
2. Pelaksanaan Pembelajaran Apresiasi Drama di Kelas XI IPS 1 SMA Negeri Karangpandan ... 58
commit to user
xii
4. Kendala-kendala dan Upaya yang Dilakukan Guru dalam
Pembelajaran Apresiasi Drama di Kelas XI IPS 1 SMA
Negeri Karangpandan ... 68
B. Pembahasan ... 72
1. Perencanaan Pembelajaran Apresiasi Drama di Kelas XI IPS 1 SMA Negeri Karangpandan ... 72
2. Pelaksanaan Pembelajaran Apresiasi Drama di Kelas XI IPS 1 SMA Negeri Karangpandan ... 77
3. Pelaksanaan Pementasan Drama di Kelas XI IPS 1 SMA Negeri Karangpandan ... 80
4. Kendala-kendala dan Upaya yang Dilakukan Guru dalam Pembelajaran Apresiasi Drama di Kelas XI IPS 1 SMA Negeri Karangpandan ... 82
BAB V. SIMPULAN, IMPLIKASI, SARAN ... 85
A. Simpulan ... 85
B. Implikasi ... 87
C. Saran ... 88
DAFTAR PUSTAKA ... 90
commit to user
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Kerangka Berpikir ... 43
commit to user
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Format Penilaian Pribadi ... 37
Tabel 2.2. Format Penilaian Proyek ... 38
Tabel 3.1. Rincian Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian ... 44
commit to user
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 01 Catatan Lapangan Hasil Pengamatan ... 94
Lampiran 02 Catatan Lapangan Hasil Analisis Data ... 103
Lampiran 03 Catatan Lapangan Hasil Wawancara ... 106
Lampiran 04 Silabus Materi Pembelajaran Apresiasi Drama ... 115
Lampiran 05 RPP Apresiasi Drama ... 118
Lampiran 06 Materi Pembelajaran Apresiasi Drama ... 136
Lampiran 07 Daftar Nama Peserta Didik Kelas XI IPS 1 ... 153
Lampiran 08 Contoh Naskah Drama yang Ditulis Peserta Didik ... 154
Lampiran 09 Foto-foto Pembelajaran Apresiasi Drama dan Pengambilan Adegan Drama Peserta Didik ... 162
Lampiran 10 Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian di SMA Negeri Karangpandan ... 164
Lampiran 11 Surat Keterangan Permohonan Izin Penelitian di SMA Negeri Karangpandan ... 165
Lampiran 12 Surat Keterangan Permohonan Menyusun Skripsi ... 166
Lampiran 13 Surat Keputusan Dekan FKIP ... 167
commit to user
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembelajaran sastra di sekolah sesungguhnya sangat menyenangkan bagi
peserta didik. Pembelajaran sastra dapat membimbing peserta didik agar memiliki
wawasan tentang sastra, mampu mengapresiasi sastra, bersikap positif terhadap
sastra, dan dapat mengembangkan kemampuan dirinya guna kepentingan
pendidikan. Sunaryo (2011:156) berpendapat bahwa pembelajaran sastra dapat
benar-benar membimbing peserta didik apabila mampu mengolah aspek
kemanusian peserta didik, yang sekaligus dapat memperkokoh jati dirinya sebagai
manusia Indonesia. Berdasarkan pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa peserta didik lulusan sekolah lanjutan diharapkan dapat terlibat dalam
berbagai kegiatan apresiasi di sekolah, di rumah, dan di masyarakat. Kegiatan
apresiasi tersebut antara lain: mendengarkan, membaca hasil karya sastra,
mengadakan pementasan, mendiskusikan hasil sastra, maupun menulis kritik
sastra sebagai sarana untuk memperkokoh jati dirinya.
Pembelajaran sastra dalam mata pelajaran bahasa Indonesia bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan peserta didik dalam menikmati, menghayati, dan
memahami karya sastra. Namun, kegiatan bersastra belum dapat berkembang secara
maksimal yang dikarenakan kemampuan dan kebiasaan membaca dan menulis masih
relatif rendah. Temuan Ismail (dalam Suryaman, 2011: 3) menyebutkan bahwa
peserta didik tidak membaca karya sastra alias nol judul buku per tahun, padahal
mereka diwajibkan untuk membaca karya sastra minimal sebanyak lima belas judul
buku karya sastra. Selain itu, implementasi pembelajaran sastra di kelas selama ini
dimungkinkan peserta didik mahir dan terbiasa membaca dan menulis saja. Dalam
pembelajaran sastra guru dan peserta didik relatif menghabiskan banyak waktu untuk
keterampilan seperti bahasan kosakata, hubungan huruf-bunyi, dan jawaban terhadap
pertanyaan secara tertulis. Hal ini berbanding terbalik bahwa guru dan peserta didik
sedikit waktu yang digunakan untuk membaca prosa, menyimak cerita yang dibaca
commit to user
Pendramatisasian/pertunjukan drama termasuk salah satu pembelajaran
sastra yang terdapat di Sekolah Menengah Atas. Pembelajaran drama di Sekolah
Menengah Atas memiliki tujuan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik
dalam mengapresiasi drama. Hal ini berarti peserta didik harus mampu mengenal,
memahami, mengahayati dan menghargai drama sebagai karya sastra secara
kreatif. Selain itu, peserta didik diharapkan mampu mengkomunikasikan hasil
kegiatan mengapresiasi bentuk sastra tersebut kepada orang lain, baik secara lisan
maupun tulis dan dapat mendorong keberanian menuangkan gagasan,
pengalaman, dan perasaannya dalam bentuk drama. Pelaksanaan pembelajaran
drama, dan sastra pada umumnya masih menyatu atau merupakan dari pelajaran
bahasa Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada kurikulum mata pelajaran bahasa
Indonesia dari dulu hingga sekarang. Dalam kaitanya dengan kepentingan
pembelajaran bahasa Indonesia, sastra dan pembelajaran sastra Indonesia sangat
membantu pencapaian tujuan pembelajaran bahasa Indonesia, sehingga
penyajiannya dalam pendidikan formal bahasa Indnesia dan sastra tidak dapat
dipisahkan.
Pembelajaran apresiasi drama dianggap masih belum memenuhi sasaran.
Di sekolah-sekolah pembelajaran drama terkadang tidak berjalan sesuai dengan
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar mengingat alokasi waktu yang tidak
sebanding dengan banyaknya materi yang harus disampaikan membuat materi
terkesan dipaksakan, terkadang ada materi yang tercecer dan tidak dapat diajarkan
pada peserta didik. Akibatnya peserta didik menjadi kurang akrab dengan
apresiasi drama itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari hasil apresiasi drama peserta
didik masih rendah. Minimnya ketersediaan bahan ajar dan contoh teks-teks
drama juga menjadi penghambat tercapainya kompetensi yang diharapkan.
Kegiatan drama secara apresiatif tidak akan terwujud apabila peserta didik tidak
diperkenalkan secara langsung dengan teks drama maupun pementasan yang
kemudian membahasnya. Selain itu, minat peserta didik yang kurang antusias
pada pembelajaran drama di sekolah. Dibuktikan dengan hasil penelitian Yus
Rusyana (dalam Waluyo, 2003:1) menyatakan bahwa minat peserta didik dalam
commit to user
kemudian drama. Hal ini disebabkan karena ketika menghayati naskah drama
yang berbentuk dialog, peserta didik kurang teliti dibandingkan dengan
memahami prosa atau puisi terlebih lagi kurangnya rasa percaya didri dalam
menentukan gerak dan karakter dari pemain dalam naskah drama tersebut.
Hal lain yang menjadi permasalahan dalam pembelajaran drama adalah
faktor guru. Guru sebagai salah satu komponen pembelajaran adalah orang yang
bertindak dan bertanggung jawab langsung pada pengelolaan kelas. Peran serta
peserta didik secara aktif atau pasif dalam pembelajaran drama sangat tergantung
dengan cara guru mengajar. Sebagai pengelola seorang guru diharapkan dapat
membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Oleh karena itu, guru mata
pelajaran bahasa Indonesia harus mampu menyusun RPP secara matang dan
mampu melaksakan secara optimal dan sesuai dengan RPP yang telah dibuat, agar
kompetensi dasar yang terkait dengan pembelajaran drama dapat diraih dengan
baik. Menurut Mulyasa (2007:222) seorang guru dalam menyusun RPP paling
tidak harus mencakup beberapa aspek agar proses belajar dapat terkendali dengan
baik, yaitu (1) mengisi kolom identitas; (2) menentukan alokasi waktu yang
dibutuhkan untuk pertemuan yang telah ditetapkan; (3) menentukan standar
kompetensi dan kompetensi dasar, serta indikator yang akan digunakan yang
terdapat pada silabus yang telah disusun; (4) merumuskan tujuan pembelajaran
berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar,serta indikator yang telah
ditentukan; (5) mengidentifikasi materi standar berdasarkan materi
pokok/pembelajaran dalam silabus; (6) menetukan metode yang tepat dalam
pembelajaran yang akan digunakan; (7) merumuskan langkah-langkah
pembelajaran yang terdiri dari kegiatan awal, inti, dan akhir; (8) menentukan
sumber belajar yang digunakan; (9) menyusun kriteria penilaian, lembar
pengamatan, contoh soal, dan teknik penskoran. Pada saat pembuatan RPP,
hendaknya guru memilih metode yang akan digunakan dalam penyampaian materi
dengan inovatif, tidak monoton sehingga pesera didik tidak merasa jenuh dan
bosan. Pemilihan media yang kurang tepat atau kurang mendukung juga dapat
menghambat proses penyampaian materi kepada peserta didik. Kurangnya
commit to user
pengetahuan yang diterima dari guru selain itu kurang memenuhinya buku teks
yang dipakai dalam pembelajaran apresiasi drama.
Dalam sebuah pembelajaran, berbagai pendukung atau komponen
diperlukan agar pembelajaran dapat terlaksana dengan lancar dan tujuan yang
diharapkan dapat tercapai semaksimal mungkin. Sejalan dengan pendapat
Hamalik (2003:10) bahwa pembelajaran merupakan suatu kombinasi yang
tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan
prosedur yang saling memengaruhi dalam mencapai tujuan pembelajaran. Begitu
pula dengan pembelajaran drama, diperlukan beberapa unsur yang dapat
menunjang pembelajaran drama agar berjalan dengan baik dan lancar. Beberapa
unsur tersebut antara lain: guru yang berpengalaman, peserta didik yang aktif dan
kreatif, fasilitas yang menunjang pembelajaran, perlengkapan yang memadai, dan
prosedur yang sistematis. Guru yang berpengalaman dalam pembelajaran
apresiasi drama harus mampu menciptakan pembelajaran yang menyenangkan
bagi peserta didiknya, sehingga peserta didik dapat mengeksplorasikan
kemampuannya secara aktif dan kreatif dalam pembelajaran apresiasi drama.
Fasilitas dan perlengkapan pembelajaran dalam apresiasi drama yang minim
menjadikan proses petransferan ilmu menjadi terhambat. Pada saat proses
penyampaian materi kebanyakan guru masih susah dalam pengelolaan fasilitas
terutama pada penggunaan media yang mendukung. Di SMA Negeri Karangpadan
fasilitas yang ada belum memenuhi kebutuhan peserta didiknya. Dalam
pembelajaran apresiasi drama guru masih terbatasi dengan media LCD dan
pengeras suara/speaker yang jumlahnya sedikit. Sehingga dalam memberikan
contoh pementasan drama guru harus meminjam laboratorium fisika untuk
memutarkan contoh drama pentas tersebut dikarenakan belum mempunyai
commit to user B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan di atas,
permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pelaksanaan
pembelajaran apresiasi drama kelas XI di SMA Negeri Karangpandan, secara
lebih terperinci dijabarkan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah perencanaan pembelajaran apresiasi drama yang dilakukan
guru di kelas XI SMA Negeri Karangpandan (silabus dan RPP)?
2. Bagaimanakah pelaksanaan pembelajaran apresiasi drama yang dilakukan
guru di kelas XI SMA Negeri Karangpandan (guru, peserta didik, tujuan,
materi, metode, media, dan evaluasi)?
3. Bagaimanakah guru melaksanakan pementasan drama di kelas XI SMA
Negeri Karangpandan (pembentukan kelompok, penulisan naskah, proses
latihan, dan proses perekaman drama)?
4. Apakah kendala-kendala dalam pembelajaran apresiasi drama dan
bagaimanakah upaya yang dilakukan guru untuk mengatasinya di kelas XI
SMA Negeri Karangpandan (peserta didik, fasilitas,waktu, bahan ajar)?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai rumusan masalah yang dikemukaan, maka penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui.
1. Perencanaan pembelajaran apresiasi drama yang dilakukan oleh guru di
kelas XI SMA Negeri Karangpandan (silabus dan RPP).
2. Pelaksanaan pembelajaran apresiasi drama yang dilakukan oleh guru di
kelas XI SMA Negeri Karangpandan (guru, peserta didik, tujuan, materi,
metode, media, dan evaluasi).
3. Pementasan drama yang dilakukan oleh guru di kelas XI SMA Negeri
Karangpandan (pembentukan kelompok, penulisan naskah, proses latihan,
dan proses perekaman drama).
4. Kendala-kendala dalam pembelajaran apresiasi drama dan upaya yang
dilakukan oleh guru untuk mengatasi kendala-kendala yang ditemui di
commit to user D. Manfaat Penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan diharapkan memberikan manfaat bagi yang
membacanya. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Manfaat Teoretis
Hasil dari penelitian yang hendak dilakukan diharapkan dapat
memperkaya khazanah keilmuan khususnya dalam hal pembelajaran
apresiasi drama di SMA Karangpandan.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti
Sebagai pengembangan secara lengkap potensi dan kreativitas dalam
diri peneliti terkait dengan aspek pembelajaran apresiasi drama dan
sekaligus dapat menjadi bahan perbandingan dalam kenyataan di
lapangan.
b. Bagi Guru
Memberikan gambaran mengenai pembelajaran apresiasi sastra pada
umumnya, pada apresiasi drama khususnya sehingga dapat menjadi
alternatif pemecahan masalah dan memunculkan kreativitas serta
inovasi dalam pelaksanaan pembelajaran apresiasi drama.
c. Bagi Sekolah
Memberi masukan dan pertimbangan untuk meningkatan mutu
pembelajaran apresiasi sastra, khususnya pada pembelajaran
apresiasi drama.
d. Bagi Peneliti Lain
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan bagi peneliti lain
lebih lanjut sehingga bermanfaat bagi perkembangan dan kemajuan
pembelajaran apresiasi sastra, pada pembelajaran apresiasi drama
commit to user BAB II
KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN,
DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Kajian Teori
1. Hakikat Pembelajaran
Sebelum membahas mengenai hakikat pembelajaran, terlebih dahulu
disinggung sedikit tentang arti belajar. Belajar menurut Witherington (dalam
Sukmadinata, 2009:155) merupakan perubahan dalam kepribadian, yang
dimanifestasikan sebagai pola-pola respons yang baru dengan bentuk
keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan dan kecakapan. Senada dengan
pendapat di atas belajar diartikan sebagai suatu proses di mana suatu perilaku
muncul atau berubah karena adanya respons terhadap situasi (Hilgrad dalam
Sukmadinata, 2009:156). Lain halnya dengan pendapat Hamalik (2003:37)
memberikan pengertian bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku
individu melalui interaksi dengan lingkungan.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang
disebut dengan belajar adalah proses yang berkaitan dengan kegiatan/aktivitas
yang menghasilkan suatu perubahan, baik berupa penambahan informasi
(pengetahuan) maupun berupa perubahan tingkah laku melalui interaksi dengan
lingkungannya. Belajar merupakan suatu kegiatan penambahan informasi atau
perubahan tingkah laku. Belajar tidak hanya dapat dilakukan oleh anak kecil saja
tapi bisa dilakukan oleh setiap individu tanpa memandang umur. Kegiatan belajar
sendiri tidak hanya bisa dilakukan di bangku sekolah saja tetapi juga bisa di jalan,
di lingkungan keluarga dan masyarakat, juga berbagai tempat lainnya yang dapat
dijadikan sebagai penambah informasi dan pengalaman hidup bagi manusia.
Belajar sangat erat kaitannya dengan istilah pembelajaran. Istilah ini
sama dengan kata intruction atau pengajaran. Pengajaran merupakan interaksi
belajar dan mengajar (Hamalik, 2003:54). Seiring dengan perkembangan
commit to user
kurikulum pendidikan istilah pengajaran bergeser padaistilah pembelajaran yang
dapat diartikan sebagai suatu proses pengaturan lingkungan yang diarahkan untuk
mengubah perilaku peserta didik kearah yang positif dan lebih baik sesuai dengan
potensi dan perbedaanyang dimiliki peserta didik (Sanjaya, 2008:77-78)
Menurut Hamalik (2003:57-64), pembelajaran merupakan suatu
kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas,
perlengkapan, dan prosedur yang saling memengaruhi dalam mencapai tujuan
pembelajaran. Beliau juga mengemukakan bahwa ada lima pengertian
pembelajaran berdasarkan teori belajar.
a. Pembelajaran adalah upaya menyampaikan pengetahuan kepada peserta didik.
b. Pembelajaran adalah mewariskan kebudayaan kepada generasi muda melalui
lembaga pendidikan sekolah.
c. Pembelajaran adalah upaya mengorganisasikan lingkungan untuk menciptakan
kondisi belajar bagi peserta didik
d. Pembelajaran adalah upaya mempersiapkan peserta didik untuk menjadi
warga masyarakat yang baik.
e. Pembelajaran adalah suatu proses membantu peserta didik mengahadapi
kehidupan masyarakat sehari-hari.
Berdasarkan definisi-definisi pembelajaran yang diuraikan di atas, dapat
dikatakan bahwa pembelajaran adalah proses yang di dalamnya ada interaksi
antara guru dan peserta didik dengan mengoptimalkan faktor internal maupun
eksternal untuk mencapai tujuan berupa perubahan yang dialami oleh peserta
didik, perubahan itu meliputi aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
Komponen dalam pembelajaran berdasarkan pendapat Hamalik
(2003:57) yang terdiri dari unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas,
perlengkapan, dan prosedur. Hal ini dapat dijabarkan unsur manusiawi terdiri dari
peserta didik, guru, dan tenaga pendidikan lainnya. Unsur material dapat berupa
sumber belajar. Unsur fasilitas dan perlengkapan meliputi ruang kelas, media.
Prosedur meliputi metode, tujuan pembelajaran, isi pelajaran dan teknik evaluasi.
commit to user
a. Siswa/Peserta didik
Siswa adalah seseorang yang bertindak sebagai pencari, penerima, dan
penyimpan isi pelajaran yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Lain halnya
menurut UU no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
disebutkan bahwa istilah siswa berganti dengan istilah peserta didik yang
berarti anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri
melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan tertentu.
b. Guru
Guru adalah seseorang yang bertindak sebagai pengelola kegiatan
belajar mengajar, katalisator belajar mengajar, dan peranan lainnya yang
memungkinkan berlangsungnya kegiatan belajar mengajar yang efektif.
Seperti halnya dengan pengertian dan istilah peserta didik, guru pun memiliki
istilah lain dalam UU no 20 tahun 2003 yaitu pendidik. Pendidik adalah
tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor,
pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain
yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam
menyelenggarakan pendidikan.
Lebih lanjut diuraikan bahwa sebagai tenaga profesional yang
memiliki kualifikasi, peranan guru dalam pendidikan, diantaranya: sebagai
sumber belajar, sebagai fasilitator, sebagai manajer, sebagai demonstrator,
sebagai administrator, sebagai motivator, sebagai organisator, dan sebagai
evaluator (Sanjaya, 2008:147). Peran guru tersebut selaras dengan pendapat
Soedomo (2005:23) yang secara ringkas mengelompokkan tugas seorang
guru pada dasarnya meliputi tiga hal, yakni: (1) tugas edukasional
(mendidik), (2) tugas instruksional (mengembangkan kemampuan afektif,
kognitif, dan psikomotorik), dan (3) tugas managerial (mengelola kelas dan
kegiatan belajar).
c. Tujuan
Tujuan merupakan pernyataan tentang perubahan perilaku yang
commit to user
mengajar. Perubahan perilaku tersebut mencakup perubahan kognitif,
psikomotor, dan afektif. Hamalik (2003:73) menjelaskan bahwa tujuan
pengajaran adalah suatu deskripsi mengenai tingkah laku yang diharapkan
tercapai oleh peserta didik setelah berlangsung pengajaran. Tujuan belajar
merupakan cara yang akurat untuk menentukan hasil pengajaran. Lebih lanjut
Beliau menjelaskan bahwa suatu tujuan pengajaran terdiri dari tiga
komponenn yakni: (1) tingkah laku terminal, (2) kondisi-kondisi tes, dan (3)
standar (ukuran).
d. Isi pelajaran
Isi atau materi pelajaran yakni segala informasi berupa fakta, prinsip,
dan konsep yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Bahan pengajaran adalah
bagian integral. Rahmanto (2004:27-33) menyebutkan tiga aspek yang tidak
boleh dilupakan jika ingin memilih bahan pembelajaran sastra, yaitu:
1) bahasa, agar pengajaran sastra dapat berhasil, guru kiranya perlu
mengembangkan keterampilan khusus untuk memilih bahan pengajaran
yang bahasanya sesuai dengan tingkat penguasaan bahasa peserta didik;
2) psikologis, dalam memilih materi pengajaran sastra hendaknya guru
memperhatikan tahap ini karena sangat besar pengaruhnya terhadap
minat dan keengganan peserta didik dalam banyak hal. Tahap
perkembangan psikologis ini sangat besar pengaruhnya bagi daya ingat,
kemauan mengerjakan tugas, kesiapan bekerja sama, dan kemungkina
pemecahan masalah yang dihadapi; dan
3) latar belakang budaya, masalah-masalah yang ditampilkan oleh suatu
karya seyogyanya mendekati dengan apa yang dihadapi oleh para
peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.
e. Metode
Metode pembelajaran merupakan bagian dari strategi intruksional.
Metode adalah cara yang digunakan oleh guru dalam menyampaikan materi
pelajaran. Dalam usaha pemudahan ini guru memerlukan cara-cara (metode)
tertentu. Untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran yang baik tentunya
commit to user
pembelajaran yang baik dapat terealisasikan. Menurut Yamin (2006:147)
metode pembelajaran berfungsi sebagai cara untuk menyajikan, menguraikan,
memberi contoh, dan memberi latihan kepada peserta didik untuk mencapai
tujuan tertentu, tapi tidak setiap metode pembelajaran sesuai digunakan untuk
mencapai tujuan pembelajaran.
Selanjutnya Yamin (2006:148-152) menjelaskan beberapa
pertimbangan yang seharusnya dilakukan oleh pengajar dalam memilih
metode pengajaran secara tepat dan akurat, meliputi:
1) tujuan pembelajaran,
2) pengetahuan awal peserta didik,
3) bidang studi/pokok bahasan/aspek,
4) alokasi waktu dan sarana penunjang,
5) jumlah peserta didik, dan
6) pengalaman dan kewibawaan pengajar.
f. Media
Media merupakan bahan pengajaran dengan atau tanpa peralatan yang
digunakan untuk menyajikan informasi kepada peserta didik agar mereka
dapat mencapai tujuan. Suatu media yang digunakan tidak mungkin cocok
untuk semua peserta didik. Marshall Mcluhan (dalam Hamalik, 2003:201)
menjelaskan bahwa media adalah ekstensi manusia yang memungkinkan
mempengaruhi orag lain yang tidak mengadakan kontak langsung dengan dia.
William Burton (dalam Usman, 2005:32) memberikan petunjuk bahwa
dalam memilih media yang akan digunakan dalam pembelajaran, hendaknya
perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) alat-alat yang dipilih harus sesuai dengan kematangan dan pengalaman
peserta didik serta perbedaan individual dalam kelompok,
2) alat yang dipilih harus tepat, memadai, dan mudah digunakan,
3) harus direncanakan dengan teliti dan diperiksa terlebih dahulu,
4) penggunaan alat peraga disertai kelanjutannya, seperti dengan diskusi,
analisis, dan evaluasi, dan
commit to user
g. Evaluasi
Evaluasi yakni suatu upaya untuk memeriksa sejauh mana peserta
didik telah mengalami kemajuan belajar atau telah mencapai tujuan belajar
dan mengajar (Hamalik, 2003:157). Wand dan Brown (dalam Sanjaya,
2008:181) mendefinisikan evaluasi sebagai “… refer to the act process to
determining the value of something”. Evaluasi mengacu kepada suatu proses
untuk menentukan nilai suatu yang dievaluasi. Beliau juga menyebutkan
karakteristik evaluasi, yakni suatu proses berhubungan dengan pemberian nilai
atau arti.
Keberhasilan pembelajaran juga dipengaruhi oleh beberapa faktor di
antaranya:
1) Minat Belajar
Minat, artinya kecenderungan yang agak menetap, mempengaruhi si
subjek agar merasa tertarik dan senang berkecimpung dalam kegiatan suatu
bidang.
2) Motivasi Belajar
Motivasi diartikan sebagai suatu dorongan yang timbul pada diri
seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan sesuatu tindakan
guna mencapai tujuan tertentu.
3) Bahan Belajar
Bahan atau materi yang digunakan dalam pembelajaran harus
disesuaikan dengan tujuan yang akan dicapai oleh peserta didik, dan harus
sesuai dengan karakteristik peserta didik agar diminati oleh peserta didik.
4) Alat Bantu Belajar
Alat bantu belajar adalah semua alat yang digunakan dalam kegiatan
belajar-mengajar, dengan maksud untuk menyampaikan pesan pembelajaran
dari sumber belajar (guru) kepada penerima (peserta didik). Dalam memilih
alat bantu belajar harus mempertimbangkan kesesuaian alat bantu belajar itu
dengan tujuan belajar, kemampuan peserta didik, bahan yang dipelajari, dan
commit to user
5) Suasana Belajar
Suasana belajar merupakan situasi dan kondisi yang ada dalam
lingkungan tempat proses pembelajaran yang berlangsung.
6) Kondisi Peserta didik yang Belajar
Kondisi peserta didik adalah keadaan peserta didik pada saat kegiatan
belajar-mengajar berlangsung, baik fisik maupun psikis.
7) Kemampuan Guru
Kemampuan guru yang dimaksud dalam hal ini adalah kemampuan
guru dalam menyampaikan materi, dalam mengelola kelas, serta dalam
mengatasi berbagai masalah yang mungkin terjadi selama proses
belajar-mengajar berlangsung.
8) Metode Pembelajaran
Metode pembelajaran merupakan cara yang dipilih oleh guru untuk
meyampaikan materi kepada peserta didik.
2. Hakikat Drama
Secara etimologis kata drama berasal dari bahasa Yunani yaitu draomai
yang memiliki arti berbuat, berlaku, bertindak, atau beraksi. Menurut Moulton
(dalam Tarigan, 1991: 70) drama adalah kehidupan yang ditampilkan dengan
gerak (life presentedin action). Kemudian Sudjiman (dalam Siswanto, 2008: 163)
menyatakan bahwa drama merupakan karya sastra yang bertujuan
menggambarkan kehidupan dengan mengemukakan tikaian dan emosi lewat
lakuan dan dialog.
Selanjutnya, Waluyo (2006: 2) menyatakan bahwa drama memiliki arti
luas apabila ditinjau dari genre sastra atau cabang kesenian mandiri, yaitu drama
naskah dan drama pentas. Drama naskah merupakan genre sastra yang
disejajarkan dengan puisi dan prosa, sedangkan drama pentas merupakan kesenian
mandiri yang merupakan integrasi antara berbagai jenis kesenian seperti musik,
tata lampu, seni lukis (dekor, panggung), seni kostum, seni rias, dan sebagainya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:342) “drama” memiliki beberapa
commit to user
kehidupan dan watak melalui tingkah laku (akting) atau dialog yang dipentaskan;
(2) cerita atau kisah terutama yang melibatkan konflik atau emosi, yang khusus
disusun untuk pertunjukan teater; (3) kejadian yang menyedihkan. Subrata dalam
kamus Webster’s New World Dictionary (1989) akan menjumpai entri “drama”
(hlm. 413) yang menyatakan:
“a literary composition that tell a story, usually of human conflict, by means of dialogue and action, to be performed by actors”
Kalimat di atas mempunyai makna bahwa drama merupakan suatu
karangan yang mengisahkan suatu cerita yang mengandung konflik yang disajikan
dalam bentuk dialog dan laga, dan dipertunjukkan oleh para aktor di atas pentas.
Kemudian Wijanto (dalam Dewojati, 2010: 8) menyimpulkan yang dimaksud
drama dalam arti luas adalah semua bentuk tontonan yang mengandung cerita
yang dipertunjukkan di depan orang banyak. Dalam arti sempit, drama adalah
kisah hidup manusia dalam masyarakat yang diproyeksikan ke atas panggung,
disajikan dalam bentuk dialog dan gerak dalam bentuk naskah, didukung tata
panggung, tata lampu, tata musik, tata rias, dan tata busana.
Dari beberapa definisi dan pendapat di atas, dapatlah disimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan drama adalah sebuah bentuk karya sastra yang
menceritakan konflik kehidupan, dipertunjukkan oleh para aktor yang memiliki
karakter ditunjukkan lewat dialog dan tingkah dalam sebuah pementasan lengkap
dengan unsur-unsur pembangunnya.
Drama sering disebut dengan istilah “sandiwara” atau “teater”. Kata
“sandiwara” sendiri berasal dari bahasa Jawa yaitu “sandi” yang berarti rahasia
dan “warah” yang berarti ajaran. Sandiwara berarti ajaran ayng disampaikan secara rahasia atau tidak terang-terangan. Hal ini karena pada hakikatnya setiap
sandiwara memiliki/mengandung pesan/ajaran (terutama ajaran moral) bagi
penontonnya. Kata “teater” berasal dari bahasa Inggris theater yang berarti
“gedung pertunjukkan” atau “dunia sandiwara”. Kata tersebut ternyata sebenarnya
berasal dari bahasa Yunani yaitu theatron yang artinya pertunjukan atau dunia
sandiwara yang spektakuler, Wiyanto dan Soemanto dan Padmodarmaya (dalam
commit to user
yang hampir sama, tetapi tetap memiliki perbedaan yang mampu membedakan
ketiganya.
Setelah dipaparkan beberapa pengertian dari drama, akan dijelaskan
pengklasifikasian drama. Drama diklasifikasikan atas dasar jenis stereotip
manusia dan tanggapan manusia terhadap hidup dan kehidupan. Drama dalam
Waluyo (2003:38) diklasifikasikan dalam 4 jenis, yaitu:
a. Tragedi
Tragedi atau drama duka adalah drama yang melukiskan kisah sedih yang
besar dan agung. Tokoh-tokohnya terlibat dalam bencana yang besar.
Dengan kisah tentang bencana ini, pengarang naskah mengharapkan agar
penonton memandang kehidupan secara optimis. Kenyataan hidup yang
dilukiskan berwana romantis atau idealis, sebab itu lakon yang dilukiskan
sering kali mengungkapkan kekecewaan hidup karena mengharapkan
sesuatu yang sempurna atau yang paling baik di dunia ini.
b. Melodrama
Melodrama adalah lakon/cerita yang sentimentil, dengan tokoh dan cerita
yang mendebarkan hati dan mengharukan. Tokoh dalam melodrama
adalah tokoh yang tidak ternama (bukan tokoh agung seperti tragedi).
Dalam kehidupan sehari-hari, sebutan melodramatik kepada seseorang
seringkali merendahkan martabat orang tersebut, karena dianggap
berperilaku yang melebih-lebihkan perasaannya.
c. Komedi
Drama ringan yang sifatnya menghibur dan di dalamnya terdapat dialog
kocak dan bersifat menyindir dan biasanya berakhir dengan kebahagiaan
yaitu disebut drama komedi. Lelucon bukan tujuan utama dalam komedi,
tetapi hanya untuk menimbulkan kelucuan atau tawa riang. Nilai dramatik
dari komedi masih tetap dipelihara. Hal ini berbeda dengan dagelan (farce)
yang mudah mengorbankan nilai dramatik dari lakon demi kepentingan
mencari kelucuan. Drama komedi ditampilkan tokoh yang tolol, konyol,
atau tokoh bijaksana tetapi lucu. Brockett dalam Waluyo (2003:43)
commit to user
(2)komedi karakter/watak, (3) komedi pengembangan gagasan, (4) komedi
sosial, (5) komedi gaya, dan (6) komedi romantik.
d. Dagelan
Dagelan (farce) disebut juga banyolan. Seringkali jenis drama ini disebut
dengan komedi murahan atau komedi picisan. Sering pula disebut tontonan
konyol atau tontonan murahan. Dagelan adalah drama kocak dan ringan,
alurnya tersusun berdasarkan arus situasi, dan tidak berdasarkan
perkembangan struktur dramatik dan perkembang cerita sang tokoh. Isi
cerita dagelan ini biasanya kasar, lentur, dan vulgar. Jika melodrama
berhubungan dengan tragedi, dagelan berhubungan dengan dengan
komedi.
Wiyanto (2002:7-12) juga membagi beberapa jenis drama, yaitu
berdasarkan penyajian lakon, berdasarkan sasaran, dan berdasarkan keberadaan
naskah.
Bedasarkan penyajian, lakon (cerita) dapat di katagorikan menjadi
delapan jenis yaitu;
a. drama tagedi (duka cerita) adalah drama yang penuh kesedihan,
b. drama komedi (suka cerita) adalah drama penggeli hati. Drama ini penuh
kelucuan yang menimbulkan tawa penonton,
c. drama targekomedi adalah perpaduan antara drama tagedi dan komedi. Isi
lakonnya penuh kesedihan, tetapi juga menggandung hal-hal yang
menggembirakan dan menggelitik hati. Sedih dan gembira silih berganti,
d. drama opera adalah drama yang dialognya dinyanyikan dengan iringan
musik. Lagu yang dinyanyikan pemain satu berbeda dengan lagu yang
dinyanyikan pemain lain. Demikian pula irama musik pengiringgnya.
Drama jenis ini memang mengutamakan nyanyian dan musik, sedangkan
lakonnya sebagai sarana. Opera yang pendek namanya operet,
e. drama melodrama adalah drama yang dialognya diucapkan dengan iringan
melodi atau musik. Tentu saja cara mengucapkannya sesuai dengan musik
pengiringnya. Bahkan kadang-kadang pemain tidak berbicara apa-apa.
commit to user
sepenuhnya dagelan. Cerita berpola komedi. Gelak tawa dimunculkan
lewat kata dan perbuatan,
f. drama tablo adalah jenis drama yang mengutamakan gerak. Para
pemainnya tidak mengucapkan dialog, tetapi hanya melakukan
gerakan-gerakan. Jalan cerita dapat diketahui lewat gerakan-gerakan itu, dan
g. drama sendratari adalah gabungan antara seni drama dan seni tari. Para
pemain adalah penari-penari berbakat. Rangkaian peristiwa diwujudkan
dalam bentuk tari yang diringi musik. Tidak ada dialog hanya
kadang-kadang dibantu narasi singkat agar penonton mengetahui peristiwa yang
sedang dipentaskan.
Berdasarkan sarana atau alat yang digunakan untuk menyampaikan
kepada penonton, drama dibedakan menjadi 6 jenis, yaitu:
a. drama panggung dimainkan oleh para aktor di panggung pertunjukan.
Penonton berada di sekitar panggung dan dapat menikmati secara
langsung dengan melihat perbuatan para aktor, mendengarkankan dialog,
bahkan dapat meraba kalau mau dan boleh,
b. drama radio tidak bisa dilihat dan diraba, tetapi hanya bisa didengarkan
oleh penikmat,
c. drama televisi dapat didengar dan dilihat (meskipun hanya gambar).
Hampir sama dengan drama panggung, hanya bedanya, drama televisi tak
dapat diraba. Drama televisi dapat ditayangkan langsung, dapat pula
direkam dulu lalu ditayangkan kapan saja sesuai dengan program mata
acara televisi,
d. drama film hampir sama dengan drama televisi. Bedanya, drama film
menggunakan layar lebar dan biasanya dipertunjukan di bioskop. Namun,
drama film dapat pula ditanyangkan dari studio televisi sehingga penonton
dapat menikmati di rumah masing-masing,
e. drama wayang ciri khas tontonan drama adalah ada cerita dialog. Karena
itu, semua bentuk tontonan yang mengandug cerita disebut juga drama,
commit to user
tokoh digambarkan dengan wayang atau golek (boneka kecil) yang
dimainkan oleh dalang, dan
f. drama boneka hampir sama dengan wayang. Perbedaanya, dalam drama
boneka para tokoh digambarkan dengan boneka yang dimainkan oleh
beberapa orang. bahkan, kalau bonekanya besar (di dalamnya ada orang)
boneka itu dapat bermain sendiri tanpa dimainkan dalang.
Berdasarkan ada atau tidaknya naskah yang digunakan, drama dapat
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: (1) drama tradisional, dan (2) drama modern.
Dalam Endraswara (2011: 20-24) membagi struktur baku sebuah drama,
antara lain:
a. Babak yang biasanya kalau dalam prosa disebut episode. Suatu babak
dalam naskah drama merupakan bagian dari naskah drama itu sendiri yang
merangkum semua peristiwa yang terjadi di satu tempat pada urutan waktu
tertentu.
b. Adegan yaitu bagian dari babak yang batasnya ditentukan oleh perubahan
peristiwa berhubung datangnya atau perginya seorang atau lebih tokoh ke
atas pentas
c. Dialog ialah bagian dari naskah drama yang berupa percakapan antara satu
tokoh dengan yang lain. Dialog memainkan peranan yang penting karena
menjadi pengarah lakon drama. Ini berarti, cerita dari sebuah drama dapat
diketahui oleh penonton dengan mudah dan cepat lewat dialog yang
mereka ucapkan. Dalam pengucapan dialog diperlukan penjiwaan
emosional agar dialog yang diucapkan tidak membosankan dan hambar.
Selain memerlukan penjiwaan, pelafalan yang jelas dan volume suara
juga perlu diperhatikan agar suara yang dihasilkan jelas terdengar oleh
semua penonton baik dari bagian depan sampai bagian paling belakang.
d. Prolog adalah bagian naskah yang ditulis pengarang pada bagian awal.
Prolog berisi jalan cerita, perkenalan tokoh-tokoh dan pemerannya, serta
konflik-konflik yang akan terjadi di panggung. Selain itu, prolog juga bisa
commit to user
e. Epilog merupakan kata penutup yang mengakhiri pementasan. Epilog
berisi kesimpulan atau ajaran yang bisa diambil dari tontonan drama yang
disaksikan yang biasanya dibacakan oleh pembawa acara atau announcer.
Unsur-unsur lakon (cerita) suatu drama dalam Wiyanto (2002:23-30)
meliputi delapan hal.
a. Tema
Tema adalah pikiran pokok yang mendasari cerita dalam drama. Pikiran
pokok dikembangkan sampai menjadi cerita yang menarik. Seorang
penulis cerita harus menentukan lebih dahulu tema yang akan diangkat
dalam cerita tersebut. Waluyo (2003:24) menyatakan bahwa tema
merupakan gagasan pokok yang terkandung dalam drama. Tema tersebut
berhubungan dengan premis dari drama itu sendiri yang berhubungan pola
dengan nada dasar dari sebuah drama dan sudut pandang yang
dikemukakan oleh pengarangnya. Dialog yang diucapkan oleh para tokoh
menjadi pengejawantahan tema dari cerita drama.
b. Amanat
Amanat merupakan pesan moral yang ingin disampaikan penulis kepada
pembaca naskah atau penonton drama. Pesan moral tersebut tidak
disampaikan sacara langsung tetapi bisa lewat cerita dalam naskah drama
tersebut. Rampan (1995:72) berpendapat bahwa amanat adalah peristiwa
yang melahirkan kejadian-kejadian yang membuat sebuah cerita menjadi
hidup, yang berkaitan dan berkesinambungan.
c. Plot
Ali Ahmad dalam Rampan menjelaskan bahwa alur atau plot merupakan
aksi-aksi yang berkembang dan berhubungan satu sama lain,
perkembangan ini dimungkinkan oleh adanya perlawanan antara satu
kuasa dengan satu kuasa yang lain (1995:60). Wahyuningtyas dan Wijaya
membagi alur berdasarkan kriteria urutan waktu menjadi tiga jenis: (1)
alur garis lurus (progersif); (2) alur sorot balik (regersif) ; dan (3) alur
commit to user
Dalam usaha mengembangkan suatu alur, pengarang juga
memiliki kebebasan untuk berkreativitas. Namun sebaik apapun buah
pikiran pengarang, kalau pembaca atau penonton tidak tertarik kepada
karya yang diciptanya berarti karya tersebut belum bisa diterima.
Pengarang hendaknya memperhatikan unsur-unsur dalam plot. Menurut
Endraswara (2011: 27-28) terdapat tiga unsur plot yang paling utama,
yaitu (1) ketegangan (suspense) adalah plot yang akan menimbulkan
ketegangan pada diri pembaca atau penonton melalui kemampuannya
untuk menumbuhkan dan memelihara rasa ingin tahu dan kepenasaran
penonton dari awal hingga akhir cerita; (2) dadakan (surprise) ialah plot
yang akan mengagetkan penonton dengan cerita yang sedang dinikmatinya
mengakibatkan penonton terus menduga-duga ceritanya; (3) ironi dramatik
(dramatic irony) merupakan plot yang membuat pembaca atau penonton
meramalkan apa yang akan terjadi kemudian.
Plot dalam drama berkembang secara bertahap, mulai dari konflik
yang sederhana, konflik yang kompleks, sampai pada penyelesaian
konflik. Secara rinci, Gustaf dalam Waluyo, (2006: 9-14) menjelaskan
perkembangan plot drama ada lima tahap, yaitu:
1) Exposition atau pelukisan awal cerita
Pembaca diperkenalkan dengan semua tokoh dalam drama dengan
watak masing-masing agar pembaca memperoleh gambaran tentang
cerita yang dibaca.
2) Komplikasi atau pertikaian awal
Dalam tahap ini pengen
alan terhadap para pelaku sudah menjurus pada pertikaian, sehingga
konflik pun mulai menanjak.
3) Klimaks atau titik puncak cerita
Konflik yang meningkat pada tahap komplikasi akan meningkat terus
sampai mencapai puncak atau klimaksnya.
commit to user
Dalam tahap ini konflik mereda atau menurun. Konflik tokoh hampir
selesai atau memperoleh pemecahan/penyelesaiannnya.
5) Catastrophe atau denoument atau keputusan
Dalam tahap terakhir ini semua konflik berakhir dan sebentar lagi
cerita selesai.
d. Karakter
Karakter atau perwatakan adalah keseluruhan ciri-ciri jiwa seorang tokoh
dalam cerita drama. Karakter diciptakan penulis cerita untuk diwujudkan
oleh pemain (aktor) yang memerankan tokoh itu. Pemain harus memahami
benar karakter yang dikehendaki penulis lakon drama, agar dapat
mewujudkannya. Dalam kaitannya dengan karakter ada yang dinamakan
penokohan. Menurut Waluyo penokohan perwatakan memiliki hubungan
yang sangat erat, tokoh-tokoh yang memiliki watak menyebabkan
terjadinya konflik-konflik yang kemudian dapat menghasilkan sebuah
cerita (2009:27). Beliau juga mengklasifikasikan tokoh-tokoh dalam
drama seperti pengklasifikasian berdasarkan peranannya terhadap jalan
cerita, meliputi tiga jenis tokoh (2006:16).
1) Tokoh protagonis, yaitu tokoh yang mendukung cerita. Biasanya ada
satu atau dua figur tokoh protagonis utama yang dibantu oleh para
tokoh lainnya.
2) Tokoh antagonis, yaitu tokoh penentang cerita. Biasanya ada seorang
tokoh utama yang menentang cerita dan beberapa figur pembantu yang
ikut menentang cerita.
3) Tokoh tritagonis, yaitu tokoh pembantu baik untuk tokoh protagonis
maupun untuk tokoh antagonis.
Pengklasifikasian berdasarkan perananya dalam lakon (cerita) serta
fungsinya, maka terdapat tokoh-tokoh sebagai berikut:
1) tokoh sentral, yaitu tokoh yang paling menentukan gerak lakon. Dalam
hal ini tokoh sentral adalah tokoh protagonis dan antagonis,
2) tokoh utama, yaitu tokoh pendukung atau penentang tokoh sentral.
commit to user
3) tokoh pembantu, yaitu tokoh yang memegang peran pelengkap atau
tambahan dalam suatu cerita.
Watak para tokoh dalam cerita dapat digambarkan dalam tiga
dimensi (watak dimensional), yaitu penggambaran berdasarkan fisik,
psikis, dan sosial. Menurut Waluyo (2003:19-20) cara pengarang untuk
menggambarkan watak tokohnya ada beberapa cara yaitu: 1) phisical
descriptionr; penggambaran watak pelaku cerita melalui pemerian
(deskripsi) bentuk lahir atau temperamen pelaku; 2) portrayal of thought
stream or of conscious thought, yaitu pengarang melukiskan jalan pikir
pelaku atau apa yang terlintas dalam pikirannya; 3) reaction to events,
yaitu pengarang melukiskan bagaimana reaksi pelaku terhadap peristiwa
tertentu; 4) direct author analiysis, yaitu pengarang secara langsung
manganalisis atau melukiskan watak pelaku; 5) discussion of environment,
pengarang melukiskan keadaan sekitar pelaku, sehingga pembaca dapat
menyimpulkan watak pelaku tersebut; 6) reaction of others to character,
pengarang melukiskan pandangan-pandangan tokoh atau pelaku lain
dalam suatu cerita tentang pelaku cerita; dan 7) conversation of other
character, yaitu melalui dialog antar tokoh. Beberapa cara pelukisan
watak tersebut, maka perwatakan memiliki hubungan yang sangat erat,
tokoh-tokoh yang memiliki watak menyebabkan terjadinya konflik-konflik
yang kemudian dapat menghasilkan sebuah cerita .
e. Dialog
Ciri khas suatu drama adalah naskah dalam drama tersebut berbentuk
dialog atau cakapan. Ragam bahasa dalam dialog tokoh-tokoh drama
adalah bahasa lisan yang komunikatif dan bukan ragam bahasa tulis.
f. Setting
Setting adalah tempat dan suasana terjadinya suatu adegan. Setting
biasanya meliputi tiga dimensi, yaitu tempat, ruang, dan waktu. Menurut
Waluyo latar merupakan tempat kejadian cerita, tempat kejadian dapat
berkaitan dengan aspek fisik, aspek sosiologis, dan aspek psikis (2009:34).
commit to user
dan plot dalam sebuah cerita, karena merupakan tempat kejadian cerita
(Rampan, 1995:43).
Waluyo (2003:23) juga menjelaskan bahwa setting atau latar
biasanya meliputi tiga dimensi, yaitu: tempat, ruang, dan waktu. Setting
tempat tidak berdiri sendiri, melainkan berhubungan dengan waktu dan
ruang. Setting waktu berarti waktu terjadinya cerita yaitu siang, pagi, sore,
atau malam hari. Settting ruang dapat berarti ruang dalam rumah atau luar
rumah. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa latar atau
setting adalah sebuah tempat untuk melukiskan berlangsungnya sebuah
peristiwa atau kejadian, baik menyangkut ruang atau pun waktu.
g. Bahasa
Dalam hubungannya dengan drama, bahasa adalah segala-galanya, karena
bahasa ini yang mengantarkan ide dan pikiran dari penulis naskah drama.
Bahasalah yang membantu penulis untuk mengungkapkan pikiran dan
perasaan lewat kata-kata. Bahasa yang digunakan dalam penulisan naskah
adalah bahasa yang hidup dalam masyarakat, bahasa speech-act
(Endraswara, 2011:38).
h. Interpretasi
Drama sebagai tiruan (mimetik) terhadap kehidupan, berusaha memotret
kehidupan secara nyata. Drama sebagai interpretasi dalam kehidupan
mempunyai kekayaan batin. Kehidupan yang ditiru oleh penulis drama
dalam cerita disentuh atau dimasuki berbagai hal agar sesuai dengan
kehidupan nyata.
3. Hakikat Apresiasi Drama
Kata apresiasi secara etimologis berasal dari bahasa Latin apreciatio
yang berarti “menghargai”. Dalam bahasa Inggris appreciation berarti pemahaman, pengenalan, pertimbangan, penilaian, dan pernyataan yang berisi
evaluasi, Hornby (dalam Waluyo dan Nugraheni, 2009:43). Kata apresiasi dalam
bahasa Indonesia memilliki makna yang sejajar dengan kata apreciato (Latin),
commit to user
karya sastra sebagai sesuatu yang layak diterima dan menerima nilai-nilai sastra
sebagai suatu kebenaran. Dengan demikian berarti apresiasi tidak hanya
membutuhkan aspek afektif dan psikomotor tetapi juga aspek kognitif.
Kegiatan apresiasi bisa dilakukan dari tingkat yang paling rendah atau
sederhana yaitu tingkat membaca karya sastra, kemudian naik ke tingkatan yang
paling tinggi yaitu upaya untuk melakukan tindakan atau kegiatan. Dalam sebuah
kegiatan apresiasi drama misalnya, maka kegiatan awal yang paling mudah adalah
membaca naskah drama dan memahaminya, kemudian berlanjut ketingkat yang
paling sulit atau tinggi yaitu pada waktu memainkan peran suatu tokoh sesuai
dengan sifat dan karakter tokoh di atas sebuah panggung.
Secara lebih rinci, Abdul Rozak Z. (Waluyo dan Nugraheni, 2009:44)
menjelaskan bahwa apresiasi adalah penghargaan atas karya sastra sebagi hasil
pengenalan, pemahaman, penafsiran, penghayatan atas karya sastra tersebut
dengan didukung oleh kepekaan batin terhadap nilai-nilai yang terkandung di
dalam karya sastra tersebut.
Berdasarkan dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
apresiasi drama adalah sebuah kegiatan yang berkaitan dengan perihal memahami,
menghayati, dan menghargai karya drama dengan jalan mendengarkan, membaca,
menyaksikan, memerankan bahkan sampai pada mementaskan drama serta
membuat resensi drama.
Dalam mengapresiasi drama diperlukan kecerdasan, kehalusan perasaan,
dan daya khayal yang cukup lincah, demikan juga untuk mementaskannya. Hal itu
karena kita harus menangkap makna drama dari dialog-dialog yang
kadang menggunakan bahasa yang bukan bahasa sehari-hari, bahkan
kadang-kadang dengan bahasa yang berkadar estetika atau filosofis tinggi (Waluyo,
2003:194).
Fowler (dalam Waluyo, 2006:202) menjelaskan bahwa apresiasi drama,
khususnya pementasan drama dan prosa dapat dibagi atas empat tingkat apresiasi.
a. Pembaca yang telah dapat merasakan karya sastra itu sebagai sesuatu yang
hidup, dengan pelakunya-pelakunya yang mengagumkan. Mereka dapat
commit to user
tertawa, menangis, membeci seseorang pelaku dan sebagainya. Jadi, mereka
telah menggemari karya yang dibaca atau ditontonnya.
b. Pembaca drama yang telah dapat melihat dalamnya perasaan manusia atau jika
mereka telah dapat mengungkapkan rahasia kepribadian para pelaku suatu
drama telah selangkah lebih maju dari pembaca di atas. Pada tingkat ini
pembaca drama tidak saja minikmati kejadian-kejadian dalam drama secara
badaniah, tetapi lebih banyak pada apa yang terjadi dalam pikiran pelaku,
tingkat ini juga dinamakan tingkat menikmati.
c. Pembaca drama yang telah dapat membandingkan satu drama dengan yang
lain dapat memberi pendapatnya mengenai satu karya, telah dapat membaca
karya yang lebih sulit dengan kenikmatan. Tingkat ini dapat dikatakan tingkat
ketiga apresiasi drama, di mana telah dapat reaksi.
d. Pada tingkat keempat apresiasi drama, pembaca telah dapat melihat keindahan
susunan dialog, setting simbolis pemakaian kata-kata yang berirama yang
disajikan oleh sastrawan. Mereka telah mampu memberi respon pada daya
sastra yang merangsang mereka berpikir, diteruskan dengan memberi respon
pada seni yang disajikan sastrawan dan juga mereka telah dapat menghasilkan
karya sendiri. Tingkat ini disebut tingkat kreatif. Kegiatan apresiasi drama ini
menyebabkan seseorang memahami drama secara mendalam, mampu
merasakan apa yang ditulis oleh dramawan (penulis naskah drama), mampu
menyerap nilai-nilai yang terkandung di dalam drama, menghargai drama
sebagai karya seni dengan kekurangan dan kelebihannya.
Dissick (dalam Waluyo dan Nugraheni, 2009:44), menjelaskan ada 4
tingkatan apresiasi, yaitu: (1) tingkat menggemari, (2) tingkat menikmati, (3)
tingkat mereaksi, dan (4) tingkat produktif. Seseorang baru pada tingkat
menggemari, maka keterlibatan batinnya lebih kuat. Pada tingkat ini, seseorang
akan senang jika membaca dan mendengarkan karya sastra. Setelah sampai pada
tingkat menikmati keterlibatan batin akan semakin mendalam. Penikmat akan ikut
sedih, terharu, bahagia, dan sebagainya jika menikmati karya sastra. Kemudian
pada tingkat mereaksi, sikap kritis pembaca terhadap sastra lebih menonjol karena
commit to user
sebuah sastra. Penikmat mampu menunjukkan letak keindahan sastra dan
kekurangan sastra. Pada tingkat memproduksi, seoseorang mampu untuk
membuat sastra, atau membuat resensi sastra.
4. Hakikat Pembelajaran Apresiasi Drama
Di awal sudah dijelaskan bahwa drama merupakan salah satu bagian dari
karya sastra, oleh karena itu, untuk mempelajari drama kita tidak dapat
sepenuhnya lepas dari pembelajaran sastra secara umum, sehingga sebelum
membahas secara lebih rinci mengenai pembelajaran apresiasi drama, kita akan
membahasa terlebih dahulu pembelajaran apresiasi sastra pada umumnya.
Sastra adalah wujud dari gagasan seseorang yang dinyatakan dalam
sebuah tulisan yang berbentuk puisi, prosa, cerpen dan sejenisnya. Karya sastra
biasanya merupakan hasil dari pengalaman batin penulis, kejadian disekitar
lingkungan penulis, dan bisa juga hasil imajinasi penulis. Wellek dan Austin
Warren mengatakan, sastra adalah suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni
(1995:3). Mereka juga mendefinisikan sastra merupakan segala sesuatu yang
tertulis dan tercetak (1995:11).
Dari definisi sastra tersebut, kita tahu bahwa sastra memang sebuah
kegiatan kreatif dari sebuah seni. Hal ini bisa terjadi karena seseorang yang
membuat sebuah karya sastra berarti dia sedang mengembangkan daya
kreatifitasnya untuk merangkai kata, memilih kata, ataupun menyusun kata–kata
menjadi indah dan bernilai. Sastra dikatakan seni karena sastra merupakan salah
satu perwujudan dari seni.
Pembelajaran apresiasi sastra Indonesia ialah memperkenalkan kepada
peserta didik nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra dan mengajak
peserta didik ikut menghayati pengalaman-pengalaman yang disajikan.
Pembelajaran apresiasi sastra Indonesia bertujuan mengembangkan kepada
peserta didik terhadap nilai-nilai indrawi, nilai akali, nilai afektif, nilai
keagamaan, dan nilai sosial, secara sendiri-sendiri, atau gabungan keseluruhan,
commit to user
Pembelajaran drama tercakup dalam pembelajaran apresiasi sastra,
karena di dalamnya peserta didik tidak hanya diajari teori semata, tetapi juga
menemukan hubungan antara proses dan hasil yang nantinya akan dicapai. Drama
merupakan salah satu jenis karya sastra yang menjadi bahan ajar pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia di tingkat Sekolah Menengah Atas. Drama
merupakan bentuk karya sastra yang bersifat dialogis, karena berwujud
percakapan atau dialog antar tokoh. Pembelajaran apresiasi drama merupakan
bagian dari pembelajaran apresiasi sastra. Moody (dalam Rahmanto, 2004: 16-25)
mengungkapkan bahwa pembelajaran apresiasi sastra dapat membantu pendidikan
secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu:
a. Membantu keterampilan berbahasa
Dengan pengajaran apresiasi sastra, peserta didik dapat melatih
keterampilan menyimak dengan mendengarkan suatu karya sastra yang
dibacakan oleh guru, teman, atau pita rekaman. Peserta didik dapat melatih
keterampilan berbicara dengan ikut berperan dalam suatu drama. Peserta didik
dapat juga meningkatkan keterampilan membaca dengan membacakan puisi
atau prosa cerita. Peserta didik dapat mendiskusikannya dan kemudian
menuliskan hasilnya sebagai latihan keterampilan menulis.
b. Meningkatkan pengetahuan budaya
Setiap sistem pendidikan kiranya perlu disertai usaha untuk
menanamkan wawasan pemahaman budaya bagi setiap peserta didik. Salah
satu tugas yang utama pengajaran adalah memperkenalkan peserta didik
dengan sederetan kemajuan yang dicapai manusia di seluruh dunia tanpa
merusak kebanggaan atas kebudayaan yang mereka miliki sendiri. Begitu pula
dengan pengajaran apresiasi sastra, jika dilaksanakan dengan bijaksana, dapat
mengantar peserta didik berkenalan dengan pribadi-pribadi dan
pemikir-pemikir besar dunia serta pemikir-pemikiran-pemikir-pemikiran utama dari zaman ke zaman.
c. Mengembangkan cipta dan rasa
Dalam pengajaran sastra, kecakapan yang perlu dikembangkan
adalah kecakapan yang bersifat indra, penalaran, efektif, sosial, dan religius.