• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pascamodernisme Sejarah dan Arsitektur docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pascamodernisme Sejarah dan Arsitektur docx"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Pascamodernisme, Sejarah dan Arsitektur

oleh: Mushab Abdu Asy Syahid (2015)

1. Pendahuluan

Sebagai pembuka,  ada sebuah pengalaman pribadi,  tepatnya  cerita seorang teman pada saya saat mengikuti sidang skripsi S1 bidang sejarah arsitektur. Karena   beberapa   hal   yang   ia   sadur   (copy­paste)   di   skripsinya   dan   terlacak dosen penguji, lantas pengujinya bertanya, “Kenapa kamu mengambil sumber tulisan tanpa diubah kalimatnya?”, dan ia polos menjawab, ”Karena sejarah ‘kan tidak pernah berubah,  Pak.”. Dengan alasan itu, dia memahami tindakannya sah­sah saja, malah mengubah teks sejarah itulah yang ‘salah’.

Konon, karena jawaban itu (dan juga karena faktor lain seperti menyadur) ia jadi tertunda   kelulusannya.   Salah   seorang   dosen   juga   ‘memarahinya’   sekaligus memotivasinya untuk mengulang skripsi dengan tidak membahas bidang sejarah lagi. Dari kasus tadi, ada hal menarik yang menimbulkan pertanyaan pada benak saya: benarkah pengetahuan terhadap sebuah sejarah arsitektur— atau sejarah pada umumnya— bersifat tetap? Bagaimana kaitannya dengan pemahaman di era serba ‘post­‘ ini (terutama postmodernisme) yang konon menganggap bahwa kebenaran akan sejarah menjadi begitu relatif?

***

Ada   beberapa   kata   kunci   yang   muncul:   “sejarah”,   “postmodernisme”,   dan “relatif”. Yang  perlu  diklarifikasi   dari  teks  paper   ini  sejak   awal  adalah,  saya   takkan menambahkan arti dan definisi postmodernisme versi saya, dikarenakan selain saya bukan seorang filsuf, postmodernisme telah banyak memiliki konsep dari beragam filsuf dengan pola khas yang mirip­mirip, sehingga anggaplah kita memiliki pemahaman yang kurang lebih sama.

Untuk   menemukan   jawaban   dari   pertanyaan   saya   sendiri   di   paragraf   akhir pembuka di atas, ke depan saya akan lebih membahas bagaimana sebuah kerangka epistemologi   Barat   ini   mempengaruhi   cara­cara   berpikir,   hidup   dan   keseharian masyarakat   di   Indonesia   saat   ini,   khususnya   dalam   bidang   sejarah   dan   arsitektur. Pembahasan   ini   malah   juga   akan   terdengar   begitu   umum   dan   mungkin   kurang “berarsitekur”.

(2)

mengkonstruksikan pemikiran dan pengetahuan di dalam kajian dan penelitian sejarah saya kelak. 

2. Postmodernisme sebagai Akumulasi Fenomena Sejarah

Postmodernisme   (dari   kata   post­   dan   –moderne   serta   ­isme)   merupakan kelanjutan dari era modernisme. Bisa dibilang sebagai fenomena global, era post­ ini sederhananya   membalikkan   prinsip   modernisme   sebelumnya.   Ia   telah   mematikan kehadiran sebuah “pusat” (Lyotard mendefinisikannya dengan “the death of centers”) dan  mendesentralisasi   formasi   sosial   masyarakat  dunia,   terutama   Barat.  Tidak  ada yang solid, kokoh, dan pasti dalam mendefinisikan segala hal, termasuk meragukan kondisi   yang   telah   benar­benar   eksis.   Postmodernisme   diwarnai   oleh   sikap   skeptis terhadap satu makna tunggal dan berusaha mencari makna alternatif.

Menurut Jenkins, fenomena komputerisasi pada teknologi, konsumerisme pada ekonomi, demokratisasi pada politik, dan sekulerisasi pada agama di masyarakat Barat menjadi latar belakangnya. Untuk mengatakan telah terjadi adanya pergeseran formasi sosial itu, kita mesti lihat terlebih dahulu dan mengetahui bagaimana hirarki sosial sejak abad pramodern, modern, hingga saat ini. Jenkins mengambil contoh yang cukup baik bagaimana perubahan ini terkonstruksi melalui faktor dan motif ekonomi, politik, serta sejarah a la Marxis yang banyak ia catat, terutama pergesekan antara golongan kanan yang   berisikan   liberalisme   kapitalis   dan   golongan   kiri   yang   berisikan   sosialisme­ komunisme.

Secara singkat, peradaban manusia pramodern awalnya dipahami berdasarkan nilai­nilai instrinsik manusia, seperti ras, darah keturunan, dan kesucian tokoh­tokoh tertentu. Posisi manusia ditentukan oleh kondisi sejak ia lahir secara kodratnya (natural order), sehingga muncul adanya sentralitas dan posisi yang fiks, tetap dan mutlak. Kemudian era berkembang menjadi generasi borjuasi dan kekuasaan pascarevolusi industri, alias era modern, di mana hal ini terfokus pada pergerakan kaum buruh yang melihat kekuasaan dan nilai dari usaha­usaha yang dilakukan (effort), tidak lagi ‘given’ sejak lahir.

(3)

kebebasan dan hak formal yang sama dengan borjuis. Ketimpangan ini yang kemudian mesti dibongkar dan harus dibebaskan secara substansial.

Tentu   solusi   yang   Marx   berikan   meliputi   paket   ideologi   sosialisme   dan komunisme   yang   kita   ketahui   telah   “gagal”   bereksperimen   akibat   ambisi   diktatoral penguasanya di beberapa negara besar yang malah mengantarkan kepada pesimisme, meskipun hingga saat ini sisa­sisa ideologi tersebut tetap hadir dan dianut. Progres liberal dan kapitalisme sebagai musuhnya di sisi lain terus dipenuhi kritik di abad ke­20 oleh aktivis dan simpatisan kiri di Eropa, seperti Antonio Gramsci dengan “Dialectic of Enlightenment”   dan   konsep   hegemoni,   filsafat   Althusser,   orang­orang   madzhab Frankfurt, dan lain sebagainya.

Prioritas tinggi pihak kapitalis kepada para konsumen (baca: kepada uang milik konsumen) menyebabkan mereka hanya terfokus pada pragmatisme pasar yang serba relatif, karena yang terpenting ialah komoditas mereka laku terjual. Sektor privat dan publik terpengaruh secara etis akhirnya menjadi  personal oriented. Mereka mengejar kepuasan individu dengan slogan “you can be anything you like man!”.

Relativitas ini yang diperhatikan Jenkins mempengaruhi pola pikir masyarakat yang   relatif   dalam   memandang   sejarah   dan   mulai   secara   luas  untuk   diekspresikan dalam bentuk­bentuk karakteristik yang skeptis. Jenkins juga mengutip pernyataan filsuf lain, Rorty, bahwa “anything can be made to look good or bad by being re­described in history”.   Baik­buruk   hanyalah   persoalan   relatif.   Perspektif   postmodernisme   akhirnya memproduksi   multiplisitas   sejarah   yang   dapat   ditemui   di   mana   pun   melalui kebudayaan­kebudayaan manusia yang spesifik dan berbeda, melalui banyak  genre dan gaya pendekatan masal atas konsumerisme di atas. 

3. Reflexive Methodology dan Kritik terhadap Jenkins

Sampai   di   subbab   ini,   saya   belum   berbicara   korelasi   postmodernisme   dan arsitektur. Di paragraf ini, kita sampai pada pemahaman bahwa setiap produk sejarah dipengaruhi   oleh   kondisi   dan   perspektif   lokal,   regional,   nasional   dan   internasional. Kebenaran   sejarah   menjadi   amat   kontekstual.   Setiap   subyek   memiliki   pandangan sejarahnya sendiri yang juga bisa bercampur aduk dengan pandangan subyek lainnya. Intertekstualitas   dan   reinterpretasi   tidak   bisa   dihindari.   Setiap   orang   bahkan   dapat membuat sejarahnya sendiri.

(4)

Pembacaan alternatif terhadap sejarah seperti ini tentunya berisiko menimbulkan kesan subversif dan  tantangan  bagi  metodologi  dan  paradigma  modern  (atau lebih lampau   dari   itu)   dalam   menuliskan   sejarah.   Saya   melihat   contoh   bahaya kecenderungan ini yang tidak hanya terjadi pada sejarah, tetapi juga sosial, politik, hingga teologi seperti aliran radikal KKK pada Kristen, ISIS, hingga Jaringan Islam Liberal   (JIL)   menjadi   contoh   pion   terdepan   salah   kaprah   reinterpretasi   akan   teks. Penggunaan hermeneutika secara luas pada kalangan akademisi dan aforisme yang kental macam Nietzsche dalam menuangkan gagasannya (Gott ist tot, atau “Tuhan telah mati”) amat kontroversial, di sisi lain menggambarkan “kematian” dari metafisika (end of metaphysic) yang juga disebut­sebut sebagai awal dari postmodernisme. 

Jenkins   sendiri   menyarankan   sebuah   metodologi   historisisasi   sejarah   secara mengakar   (radical   historicisation   of   history)   melalui   term   yang   ia   sebut   dengan “reflexive methodology”. Terminologi ini mewajibkan kita harus mendapatkan gambaran analisis secara eksplisit mengapa kita bisa mencapai pemahaman sejarah yang kita pahami   saat  ini,   mengapa  kita  mendapatkan   pemahaman  yang   itu   dan  bukan pemahaman yang lain. Studi historiografi dan teks lebih detail juga dibutuhkan untuk menguji   metode   dan   konten   sejarah   sebelumnya   dan   saat   ini.   Dengan   mencapai tingkatan ini, kita bisa membangun posisi kita sendiri secara alam bawah sadar dalam memahami sejarah.

Diskursus liberal akan selalu menuntut kita memiliki posisi atau keberpihakan tertentu, dan itu wajar dan sah saja. Bisa saja kita mengaku “position­less”, tetapi tidak ada pilihan bagi kita sebuah “posisi tanpa posisi”.  Kita tidak bisa tidak berpihak. Netralitas yang kita tempuh lebih dipandang sebagai upaya menghindari hadirnya bias di   dalam   menjustifikasi   sejarah.   Ketika   kita   memilih   satu   versi   sejarah,   artinya   kita memiliki konsekuensi untuk bertentangan dengan versi yang lainnya; dan di situlah interpretasi tiap subyek berperan.

Teringat kembali pada kisah teman saya di awal paragraf, jika memang saat ini adalah era postmodernisme di mana kebenaran sejarah bersifat subyektif, kesalahan apa yang sebetulnya ia lakukan dalam skripsinya? Ia toh mencoba berpihak dengan mengatakan   “sejarah  tidak  pernah  berubah”.  Justru   di  sinilah   poinnya:   teman   saya menganggap bahwa obyek­obyek kajian sejarah hanya berupa tanggal, nama orang, nama tempat, dan lain­lain yang bersifat hapalan, tetapi tidak mencoba untuk menelaah apa yang ada di balik itu.

(5)

dalam   mengkaji   skripsi   sejarahnya.   Namun,   kepolosan   melihat   sejarah   seperti   ini sebetulnya juga tidak salah: berusaha untuk tetap ‘netral’ (atau justru pro?) terhadap teks­teks sejarah yang telah ada, meskipun tindakan menyadur mungkin bisa menjadi persoalan yang lain.

Kasus ini malah juga menjadi sebuah kritik atas konsep yang Jenkins paparkan. Sejauh apa subyektivitas individu sejarawan berperan menentukan sejarah? Apa yang membuat   seorang   sejarawan   harus   “mencekal”   kebenaran   atau   posisi   sejarawan lainnya?   Pendekatan   postmodern   ini   bisa   menjadi   sebuah   blunder   di   dalam penggunaan metode sejarah. Pertanyaan akan kebenaran sejarah terus menjalar dan terbongkar secara partikular hingga mencapai tingkatan pemahaman personal yang paling subyektif. 

Selain itu, sebagian besar pendekatan Keith Jenkins dalam melihat sejarah arus postmodernisme hanya melihat dari motif ekonomi materialistik a la kelompok Marxis. Memang   teori   kritis   dan   teori   sosial   banyak   berkembang   dari   ide   progresif   Marxis, namun   tidak   seluruh   fenomena   dapat   digeneralisasi   dengan   perspektif   sempit pertentangan kelas borjuasi dan buruh semata. Henri Lefebrvre, seorang Marxis lain dalam   bukunya  The   Production   of   Space,   lebih   baik   dalam   menjelaskan   sejarah produksi ruang yang muncul karena adanya interaksi sosial yang terjadi di masyarakat, terlepas oleh sebab motif ekonomi atau tidak.

Lantas, persoalan berikutnya ialah, bagaimana fenomena dan epistemologi Barat a la Jenkins jika ditinjau dalam segi non­Barat (Non­west modernist past)? Apakah era postmodernisme juga dapat dikatakan berlaku di luar konteks masyarakat Barat yang tidak mengalami tahap Revolusi Industri seperti di Eropa? Bagaimana, misalnya, dalam masyarakat   beragama   seperti   dunia   muslim,   atau   masyarakat   di   daerah   Timur umumnya? Tentu generalisasi macam ini menjadi ambigu dan semua bisa “benar” saja untuk   ditempuh   (sampai   datangnya   invasi   negara   adidaya   Barat   atas   nama “demokratisasi” di negara­negara berkembang). Dan ini juga patut dipertanyakan pada proses   demokratisasi   dan   liberalisasi   yang   berlangsung,   yang   sebetulnya   juga paradoks:   berprinsip   bebas   interpretasi,   tetapi   “melarang”   orang   lain   yang   berbeda posisi interpretasinya.

(6)

“kekerasan   epistemik”   terhadap   negara   dunia   ketiga   selama   era   imperialisme   dan penjajahan,   serta   teori  Gathering  (Bruno   Latour,   2004),   yaitu   setiap   hal   saling berkorelasi dan berkumpul dalam tiap­tiap unitnya membentuk kelompok (culture).

Partikularitas pada cara sejarawan era postmodernisme melihat sejarah akhirnya membongkar tafsiran­tafsiran kuno sejarawan masa lampau dalam memahami masa lampau   itu   sendiri.   Manifestasinya   pada   arsitektur   ialah;   seorang   arsitek   berperan sebagai   aktor   yang   menafsirkan   arsitek   kejayaan   terdahulu   dengan   menampilkan beragam simulakra atau simulasi pada karya­karyanya dari sejarah yang ada. 

4. Teori dan Praksis Sejarah Arsitektur era Postmodernisme 

Seperti halnya sejarah, teori juga harus terbuka terhadap perubahan yang terus berkelanjutan   jika   tujuannya   merepresentasi   dan   mengintervensi   kaitan   dengan lingkung   bangun,   sebab   kondisi   dunia   pasti   berubah,   dan   juga   partikularitas keberlakuan teori.

“Thus,   all   history   is   theoretical   and   all   theories   are   positioned   and positioning.” (Jenkins, Re­thinking History hal. 70)

Teori yang berasal dari kata Theoroi bermakna “see” and “tell”, menawarkan secara lebih resmi dan lebih jelas sebuah bentuk pengetahuan sebagai obyek yang telah disepakati sebagai fenomena public discourse (Godzich, 1986). Membahas teori postmodernisme pada arsitektur tidak bisa melupakan deretan nama seperti Charles Jencks   dan   Robert   Venturi.   Teori   arsitektur   berkembang   di   era   pos­kritikal   dengan meminjam   banyak   teori  lain   dan   interdisipliner   sesuai   konteks   yang  parsial,   seperti semiotika, poskolonialisme,  feminist­gender, hingga  the everyday. (Crysler, Cairns & Heynen, 2012)

Mengkaitkan  gap  antara   teori   dan   praktik   arsitektur   begitu   kompleks,   salah satunya disebabkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan empiris seperti sains dan teknologi. Cairns dan kawan­kawan menyebutnya sebagai “the end of metaphysic”. Salah satu kekuatan yang belum disebutkan oleh Keith Jenkins dalam mendukung arus terbitnya   postmodernisme   ialah   dengan   adanya   fasilitas   internet   dan   dunia   digital (Jenkins baru menyebutkan “komputerisasi” secara umum). 

(7)

fisiologis   akan   adanya   tempat   tinggal.   Sisanya   merupakan   perkembangan   ilmu pengetahuan  berikutnya  ketika  ilmu  teknis  tentang  bagaimana  cara  membangun ini telah terpenuhi. 

Hal   ini   berdampak   pada   pandangan   skeptis   terhadap   pembelajaran   teori perancangan   pada   diskursus   arsitektur   yang   juga   turut   menghilangkan   minat terhadapnya.  What for is theory?  Jika kebenaran akan sebuah teori berlaku secara partikuler   dan   sangat   kontekstual,   bukankah   kegunaan   teori   dalam   merangkum fenomena menjadi makin tidak substansial?

Salah satu contoh karya arsitektur yang baik dalam menggabungkan teori dan praksis arsitektur ialah Parc de la Vilette karya Bernard Tchumi, yang disebutkan dalam pembukaan buku  SAGE Handbook of Architectural Theory  oleh Cairns, Crysler dan Heynen. Proyek ini menggabungkan konsep arsitektural dengan teori  post­structural. Dengan menggunakan teori berupa multilayer menggabungkan titik­titik, multigeometris pada follies, serta di­overlap dalam kawasan eksisting membuat teori dalam merancang begitu berarti pada tapak.

Di   era   tahun   ’90­an   ketika   arus   utama   arsitektur   postmodern   merambah   di Jakarta,   terdapat  gap  yang   jelas   antara   teori   aslinya   dengan   praksis   di   lapangan. Arsitek   dan   klien   Indonesia   saat   itu   cenderung   memahami   arsitektur   postmodern sebagai   “arsitektur   kosmetik”   yang   penuh   warna­warni.   Itu   disebabkan   tiadanya pengkajian teori yang mendalam dan hanya melihat aspek teori dari fasad sekilas di lapangan,   yaitu   bangunan   yang   dilabeli   “postmodern”   asli.   Padahal,   pendalaman postmodernisme erat dengan meaning dan symbolism yang filosofis dan tidak sekadar meniru apa­apa dari luar negeri yang sedang tren.

Di Indonesia, kita sendiri mengenal seorang Isandra Matin yang bisa menjadi contoh menarik. Jika kita bandingkan ia dengan Bapak Arsitektur Modern Le Corbusier, ia   berusaha   seperti   meniru   sedikit   banyak   gaya   dan   pendekatan   Corbu   dalam mendesain, sehingga nampak pada karya Andra Matin (misalnya rumahnya sendiri). Pada kedalaman tertentu, penampilannya pun— dari rambut, kacamata bulat, kemeja putih rapi, dan gestur— sampai ‘ditiru’ habis­habisan. Simulasi atas sosok Le Corbusier semacam ini tentu juga telah melalui proses interpretasi Andra Matin terhadap sejarah tokoh idolanya itu.

(8)

Label   “minimalis”   yang   dimaksud   bisa   dipastikan   jarang   diangkat   dari   konsep   dan teorinya   secara   sungguh­sungguh,   katakanlah   dari   begawan   minimalisme   arsitektur seperti   Tadao   Ando   atau   John   Pawson.   “Minimalis”   telah   sama   nasibnya   dengan “Green”. Artinya, tiap arsitek, developer atau klien tidak begitu peduli teori dan label tersebut   lebih   karena   seperti   yang   Jenkins   gambarkan:   dengan   label   tersebut, diharapkan komoditas papan mereka akan laku terjual.

5. Penutup

Penulisan paper ini saya harapkan mampu membuat saya semakin memahami kompleksitas dan kontradiksi yang banyak muncul dari konsep postmodernisme. Di lain hal,   keadaan   membaca   yang   masih   kurang   menyebabkan   pemahaman   saya   akan postmodernisme barangkali masih setengah­setengah (saya belum menyebutkan duck & decorated shed, double­coding dan masih banyak lagi). Pertanyaan­pertanyaan dan kritik   yang   saya   lemparkan   di   dalam   paragraf   dapat   menjadi   sebuah   umpan   balik sebagai pengembangan diskusi dan diskursus teori maupun praksis arsitektur pada umumnya. 

***

Referensi:

Jenkins, Keith. (1991). Re­thinking History. London: Routledge.

Leach, Neil (ed.). (1998). Introduction, in Rethinking Architecture: A Reader in Cultural Theory. London & New York: Routledge.

Referensi

Dokumen terkait

Apabila seorang sejarawan telah berhasil mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang akan menjadi bahan dari cerita sejarahnya, maka langkah berikutnya yang

Arsitektur bangunan ini berbentuk tinggi dan ramping sesuai dengan arsitektur Hindu pada umumnya dengan candi Siwa sebagai candi utama memiliki ketinggian mencapai 47 meter menjulang

 Peserta didik menentukan tema cerita sejarah pribadi yang akan ditulis.  Peserta didik membangun kerangka cerita berdasarkan tema yang dipilih.  Peserta didik

Skripsi ini membahas tentang “Sejarah Perkembangan Arsitektur Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi Jawa Timur” yang bertujuan untuk mengkaji beberapa permasalahan 1)

Dalam arti luas, teori arsitektur mencakup apa itu arsitektur, tujuan apa yang hendak dicapai, teori-teori dan sejarah yang berkaitan dengan arsitektur, metode

Berundak. Elemen-elemen Hindu diungkapkan pada gubahan atap masjid maupun struktur.. Sejarah Arsitektur Islam di Jawa 6 ruang berdinding dengan paduraksa dan bentar. Semua

Dasar-dasar pengetahuan bidang arsitektur, wawasan-wawasan lain, pemahaman terhadap kegiatan perancangan arsitektur dan pengalaman praktek perancangan arsitektur merupakan kemampuan

PERTEMUAN BERITA ACARA TANGGAL AJAR 1 1 pembahasan kontrak kuliah, teknis perkuliahan, dan gambaran umum sejarah hindu budha 2020-03-03 2 2 penjelasan umum tentang arsitektur hindu