TUGAS TAKE HOME EXAMINATION
MK GIZI KESEHATAN MASYARAKAT SEMESTER 3 (2 SKS)
TOPIK : GIZI DAN INFEKSI
JUDUL :
PNEUMONIA DAN GIZI BURUK
DISUSUN OLEH :
ACHMAD RIZKI AZHARI NIM 25010113140258
KELAS D HARI RABU
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS DIPONEGORO
Prakata
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas berkah dan hidayah-Nya, maka pembuatan paper Gizi dan Infeksi yang berjudul “Pneumonia dan Gizi Buruk” dapat diselesaikan tepat waktu.
Paper Gizi dan Infeksi ini betujuan dalam pemenuhan tugas mata kuliah Gizi Kesehatan Masyarakat dan menghubungkan kejadian suatu penyakit dengan factor-faktor gizi dalam masyarakat.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Ir. Laksmi Widajanti, M.Si selaku dosen profesional ilmu gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro (FKM UNDIP) yang telah memberikan tugas dan selalu memotivasi penulis dalam mengerjakan paper Gizi dan Infeksi ini.
Penulis menyadari bahwa paper Gizi dan Infeksi yang berjudul “Pneumonia dan Gizi Buruk” ini tak lepas dari kesalahan dan kekurangan dikarenakan kemampuan penulis yang terbatas. Oleh karena itu penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca guna kesempurnaan paper ini. Penulis berharap semoga paper ini dapat bermanfaat serta menambah pengetahuan bagi pembaca serta mendapatkan nilai yang baik dari dosen selaku pemberi tugas.
Semarang, 22 Oktober 2014
Daftar Isi
Prakata ... ... v
Daftar Isi... ... vi
A. Kasus : Pneumonia di Indonesia ... ... 1
B. Pembahasan : Pneumonia dan Gizi Buruk ... ... 3
C. Kesimpulan ... ... 11
A.Kasus :
Pneumonia di Indonesia
Berdasarkan data Riskesdas , period prevalence dan prevalensi pneumonia tahun 2013 sebesar 1,8 persen dan 4,5 persen. Lima provinsi yang mempunyai period prevalence dan prevalensi pneumonia tertinggi untuk semua
umur adalah Nusa Tenggara Timur (4,6% dan 10,3%), Papua (2,6% dan 8,2%), Sulawesi Tengah (2,3% dan 5,7%), Sulawesi Barat (3,1% dan 6,1%), dan Sulawesi Selatan (2,4% dan 4,8%) (Tabel 6.1).
Berdasarkan karakteristik, kelompok umur penduduk, period prevalence pneumonia yang tinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun, kemudian mulai meningkat pada umur 45-54 tahun dan terus meninggi pada kelompok umur berikutnya. Period prevalence pneumonia balita di Indonesia adalah 18,5 per mil. Balita pneumonia yang berobat hanya 1,6 per mil. Lima provinsi yang mempunyai period prevalence pneumonia balita tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (38,5‰), Aceh (35,6‰), Bangka Belitung (34,8‰), Sulawesi Barat (34,8‰), dan Kalimantan Tengah
(32,7‰) (Tabel 6.1).
Period prevalence tertinggi pneumonia balita terdapat pada kelompok umur 12-23 bulan (21,7‰) (Gambar 6.3). Pneumonia balita lebih banyak dialami pada kelompok penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah (27,4‰).
B. Pembahasan Kasus :
Pneumonia dan Gizi Buruk
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru distal dari jalan napas besar dan mengenai bronkiolus repiratorik dan alveolus (Kenneth, 2009). Menurut Riskesdas (2013), Pneumonia adalah radang paru yang disebabkan oleh bakteri dengan gejala panas tinggi disertai batuk berdahak, napas cepat (frekuensi nafas >50 kali/menit), sesak, dan gejala lainnya (sakit kepala,
gelisah dan nafsu makan berkurang). Secara jelasnya pneumonia merupakan infeksi di ujung bronkhiol dan alveoli yang dapat disebabkan oleh berbagai pathogen seperti bakteri, jamur, virus dan parasit. Pneumonia merupakan penyakit infeksi saluran pernapasan yang sering menyebabkan kematian pada bayi dan anak balita (Misnadiarly, 2008)
Etiologi pneumonia secara umum dapat disebabkan oleh :
1. Bermacam golongan mikroorganisme, yaitu yang disebabkan oleh :
Bakteri : streptococcus pneumonia, staphylococcus aureus
Virus : Influenza, parainfluenza, adenovirus
Jamur : Candidiasis. Histoplasmosis, aspergifosis, coccidioido mycosis, cryptococosis, pneumocystis carinii
Aspirasi : Makanan, cairan, lambung
Inhalasi : Racun atau bahan kimia, rokok, debu, dan gas
2. Virus, antara lain :
Virus sinsisial pernapasan
Hantavirus
Virus influenza
Virus parainfluenza
Rhinovirus dan 24-35 bulan yang merupakan fase perkembangan manusia yang disebut balita. Pneumonia pada balita paling sering disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, Hemophilus Influenzae tipe b, dan Staphylococcus aureus (Misnadiarly, 2008). Usia balita adalah usia rentan dalam kehidupan manusia (Ali Khomsan, 2008). Sistem imun (kekebalan) pada rentang usia tersebut masih relative rendah dibandingkan dengan usia-usia selanjutnya (Ali Khomsan, 2008). Sistem imun anak balita sedang berproses menuju kesempurnaan. Oleh sebab itu, anak balita menjadi rentan terhadap gangguan kesehatan (Ali Khomsan, 2008).
Secara umum manifestasi pneumonia dapat dibedakan menjadi : a. Manifestasi nonspesifik dan laksitas berupa :
Demam Sakit kepala
Gelisah
Malas
Nafsu makan berkurang
Keluhan gastro intestinal
b. Gejala umum saluran pernafasan bawah berupa :
Batuk
Tekhipnea
Ekspesterasi sputum
Merintih
Seanisis
Anak balita yang lebih besar dengan pneumonia akan lebih suka berbaring pada posisi yang sakit dengan lutut ditekuk karena nyeri pada dada (Zr. Ganda Sigalingging, 2011).
Pneumonia lebih sering terjadi selama akhir musim dingin dan awal musim semi ataupun pada saat musim kemarau (Dhefika Mokoginta, 2012). Daerah yang memiliki period prevalence pneumonia balita tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (NTT). Menurut data BPS propinsi NTT (2012), penyakit ISPA (pneumonia) menduduki peringkat pertama dari 10 penyakit terbanyak yang terjadi di Nusa Tenggara Timur dengan presentase 52,87%. NTT juga memiliki curah hujan yang rendah (0 – 20 mm) dan memiliki 4 984 balita status gizi buruk.
Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada anak balita secara bermakna yaitu usia balita, riwayat pemberian ASI, status gizi balita dan kebiasaan merokok keluarga (Susi Hartati, 2012). Secara jelasnya menurut Depkes, faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian pneumonia terbagi atas dua kelompok besar yaitu faktor instrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor instrinsik meliputi umur, jenis kelamin, status gizi, berat badan lahir rendah, status imunisasi, pemberian ASI, dan pemberian vitamin A. Faktor ekstrinsik meliputi kepadatan tempat tinggal, polusi udara, tipe rumah, ventilasi, kelembaban, letak dapur, jenis bahan bakar, penggunaan obat nyamuk, asap rokok, penghasilan keluarga serta faktor ibu baik pendidikan, umur ibu, maupun pengetahuan ibu
(Nurjazuli, 2009) . Salah satu sumber media penularan penyakit pneumonia adalah kondisi fisik rumah serta lingkungannya yang merupakan tempat hunian dan langsung berinteraksi dengan penghuninya (Nurjazuli, 2009). Tetapi dalam pembahasan kali ini akan dikaitkan dengan factor gizi.
mekanisme pertahanan tubuh dan infeksi (Ridwan Setiawan, 2010). Pada keadaan malnutrisi (gizi kurang), status imun terganggu sehingga akan mudah teserang
infeksi (Ridwan Setiawan, 2010). Pada keadaan kekurangan energi protein terjadi suatu perubahan dalam sel mediator imunitas dalam fungsi bacterial netrofil, dalam sistem komplemen dan dalam respon sekresi Ig A (Ridwan Setiawan,
2010). Sekresi Ig A yang rendah berasamaan dengan penurunan imunitas mukosa
dan menyebabkan kolonisasi dan kontak phatogen –phatogen dengan epitel
sehingga terjadi penyebaran infeksi sistemik (Ridwan Setiawan, 2010). Anak-anak yang menderita malnutrisi mengalami penurunan sekrsi Ig A dalam cairan resoirasi dan komplemen serum, dan merekapun mengalami gangguan regenerasi epitel respirasi yang mengakibatkan infeksi pada paru-paru (Ridwan Setiawan, 2010). Salah satu jenis dari gangguan status gizi buruk adalah kwashiorkor, yaitu masukan protein yang kurang (Ridwan Setiawan, 2010). Ditinjau dari golongan umur, kwashiorkor sering terjadi pada anak balita. Pada defisiensi protein murni tidak terjadi katabolisme jaringan yang sangat berlebih, karena persediaan energi dapat dipenuhi oleh jumlah kalori dalm dietnya (Ridwan Setiawan, 2010).
Menurunnya status gizi pada KEP, dikarenakan persediaan protein jaringan tubuh, hal ini Hal ini mengakibatkan penurunan sintsesis asam amino baru yang sangat di perlukan sebagai fungsi antibody (Ridwan Setiawan, 2010). Linder (1992) menyatakan bahwa pada KEP terjadi penurunan serum protein yang
berfungsi sebagai faktor anti mikroba dan pertahanan termasuk lisoenzim, komplemen transferin dan protein lainnya dengan fungsi opsinik. Leukosit bertugas untuk memfagositir kuman sebelum membunuhnya. Pada penderita KEP, aktivitas untuk memfagositir maupun membunuh kuman menjadi penurunan
Pneumonia perlu mendapat perhatian, dengan penggunaan antibiotika pneumonia dapat disembuhkan. Dinas Kesehatan sebagai pengambil kebijakan perlu membuat kebijakan tentang program P2 ISPA dengan meningkatkan kunjungan rumah oleh perawat komunitas untuk kasus-kasus pneumonia balita untuk tercapainya upaya pengobatan yang baik (Fajar Triasih, 2007). Perlu ditingkatkan kegiatan luar gedung seperti kunjungan rumah perawat pada penderita Pneumonia balita dan kasus-kasus tertentu yang memerlukan upaya tindak lanjut dirumah (Fajar Triasih, 2007). Perlu dikembangkan metode penyuluhan yang lebih baik untuk perawat agar dalam kunjungan rumahmencapai hasil maksimal yang diharapkan dapat mengembangkan pengetahuan ibu-ibu
rumah tangga mengenai cara pemberian obat kepada anak/balita (Fajar Triasih, 2007).
Dalam kaitannya dengan gizi, untuk mencegah dan menggulangi
akan meningkatkan pengetahuan dan peranserta ibu tentang perilaku apa saja yang dapat dilakukan untuk meningkatkan gizi balitanya (Leni Merdawati, 2008). Ibu
akan dapat meningkatkan gizi balita dan keluarganya dengan berperilaku sadar gizi, antara lain; memantau berat badan balita secara teratur setiap bulan ke Posyandu, mengkonsumsi makanan yang beraneka ragam, hanya mengkonsumsi
garam beryodium, memberikan hanya ASI saja kepada bayi sampai usiia 6 bulan, serta mendapatkan dan memberikan makanan tambahan bagi balitanya (Leni Merdawati, 2008). Penyuluhan bukan hanya dilakukan kepada kelompok ibu, kader posyandu juga perlu mengikuti pelatihan agar memiliki pengetahuan tentang keluarga sadar gizi (KADARZI), cara menilai status gizi balita pada KMS Balita, menu dan gizi seimbang, serta tata laksana gizi buruk pada balita. Kader Kadarzi di masyarakat diharapkan dapat meningkatkan perannya sebagai orang yang terdekat dengan ibu dan balita (Leni Merdawati, 2008).
Dalam menangani pneumoni pada balita, pemerintah mnerapkan program PMT. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) adalah program intervensi bagi balita yang menderita kurang gizi dimana tujuannya adalah untuk meningkatkan status gizi anak serta untuk mencukupi kebutuhan zat gizi anak agar tercapainya status gizi dan kondisi gizi yang baik sesuai dengan umur anak tersebut. Sedangkan pengertian makanan untuk pemulihan gizi adalah makanan padat energi yang diperkaya dengan vitamin dan mineral, diberikan kepada balita
gizi buruk selama masa pemulihan (Kemenkes RI, 2011). Secara umum pemberian makanan tambahan bertujuan untuk memperbaiki keadaan gizi pada anak golongan rawan gizi yang menderita kurang gizi, dan diberikan dengan kriteria anak balita yang tiga kali berturut-turut tidak naik timbangannya serta yang berat badannya pada KMS terletak dibawah garis merah (Kemenkes RI, 2011). Pemberian makanan tambahan juga memiliki tujuan untuk menambah energi dan zat gizi esensial. Sedangkan tujuan pemberian makanan tambahan (PMT) pemulihan pada bayi dan balita gizi buruk, antara untuk memberikan makanan tinggi energi, tinggi protein, dan cukup vitamin mineral secara bertahap, guna mencapai status gizi yang optimal.
tidak mau dirawat yang status Gizi BB/TB ≥ – 3 SD s/d < -2 SD tanpa penyakit. Sedangkan spesifikasi jenis makanan yang diberikan antra lain dengan persyaratan
komposisi gizi mencukupi minimal 1/3 dari kebutuhan 1 hari, yaitu: energi 350-400 kalori dan protein 10-15 gram. Pemberian makanan tambahan pemulihan (PMT-P) diberikan setiap hari kepada anak selama 3 bulan (90 hari). Sedangkan
bentuk makanan PMT-P makanan yang diberikan berupa :
Kudapan (makanan kecil) yang dibuat dari bahan makanan setempat/lokal.
Bahan makanan mentah berupa tepung beras,atau tepung lainnya, tepung susu, gula minyak, kacang-kacangan, sayuran, telur dan lauk pauk lainnya
Cara pemberian/ pendistribusian PMT-P pada sasaran dilakukan di Posyandu atau tempat yang sudah disepakati,kader dibantu oleh PKK desa akan memasak sesuai menu yang telah ditentukan dan etiap hari selama 3 bulan ibu balita akan membawa balita untuk mengambil PMT-P yang sudah disediakan
(Depkes RI, 2008)
Dalam mencegah pneumonia, adapun program penaggulangan KEP secara garis besar meliputi :
1. Intervensi yang dilakukan pada saat skreening kasus, intervensi antara lain penyuluhan individual dan konseling, pengetahuan tentang pola asuh keluarga dan PMT.
2. Intervensi di bidang pertanian, mikronutrien, penyediaan air minum yang aman dan sanitasi yang baik, pendidikan tentang gizi dan makanan, memberikan perhatin khusus kepada kelompok yang rentan serta pengadaan pelayanan kesehatan yang berkualitas.
dapat di rujuk ke RSUD, biaya rujukan sementara di dapat dari biaya APBN
4. Memperbaiki pola pertumbuhan anak dan status gizi anak dari tidak normal menjadi normal atau lebih baik. Oleh karena pola pertumbuhan dan
status gizi anak tidak hanya disebabkan oleh makanan, maka pendekatan ini mengharuskan program gizi dikaitkan dengan kegiatan program lain diluar program pangan secara konvergen seperti dengan program air bersih dan kesehatan lingkungan, imunisasi, penyediaan lapangan kerja dan penanggulangan kemiskinan.program yang bersifat terintegrasi seperti itu, program gizi akan rasional untuk menjadi bagian dari pembangunan nasional secara keseluruhan.
5. Peningkatan pendapatan, pendidikan gizi, suplementasi makanan hingga subsidi bahan pangan, serta tindakan lain yang berefek pada peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum.
6. KEP yang umumnya terjadi di daerah dengan kondisi miskin, fokus harus diarahan pada kondisi spesifik yang ada. Pengobatan infeksi cacing 3 kali setahun misalnya akan sangat bermanfaat dan dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak. Penanganan diare yang saling terkait dan seperti membentuk lingkaran setan dengan KEP juga memerlukan perhatian khusus.
7. Penyuluhan mengenai pentingnya ASI, peningkatan kondisi air bersih dan kebersihan lingkungan, monitoring pertumbuhan anak melalui sarana pelayanan kesehatan telah terbukti sangat efektif. Oleh karena itu hal yang sangat mungkin namun sulit diwujudkan adalah mengaktifkan kembali posyandu-posyandu terutama yang sudah tidak berjalan pada tingkat dusun.
telur, ikan dan susu. Program penyuluhan gizi mengenai keberadaan produk pangan yang kaya protein dan mikronutrien di daerah setempat
akan sangat efektif dan bekesinambungan.
(Evawany Aritonang, 2004)
C. Kesimpulan
Pneumonia merupakan infeksi di ujung bronkhiol dan alveoli yang dapat disebabkan oleh berbagai pathogen seperti bakteri, jamur, virus dan parasite seta merupakan penyakit infeksi saluran pernapasan yang sering menyebabkan kematian pada bayi dan anak balita.
Pneumonia lebih sering terjadi selama akhir musim dingin dan awal musim semi ataupun pada saat musim kemarau.
Terdapat hubungan antara penyakit pneumonia dan KEP (Kurang Energi Protein) pada balita. KEP dapat menyebabkan imunitas (daya kebal) terhadap penyakit menjadi rendah, sehingga pathogen-pathogen penyebab pneumonia dapat dengan mudah menginfeksi tubuh (paru-paru).
Daftar Pustaka
Aritonang, Evawany. 2005. Kurang Energi Protein (Protein Energy
Malnutrition). Jurnal Online FKM USU.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3741/1/fkmgizi-evawany.pdf. 18 Oktober 2014 (17:00 WIB)
BPS NTT. 2012. ntt.bps.go.id. 17 Oktober 2014 (07:00 WIB)
Depkes RI. 2008. Pedoman Respon Cepat Penanggulangan Gizi Buruk.
Hartati, Susi. DKK. 2012. Faktor Risiko Terjadinya Pneumonia Pada Anak Balita. Jurnal Keperawatan Indonesia 15(1). http://journal.ui.ac.id/index.php/jkepi/article/view/2450. 14 Oktober 2014 (20:23 WIB)
Kemenkes RI. 2011. Panduan Penyelenggaraan Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan Bagi Balita Gizi Kurang
Khomsan, Ali dan Faisal Anwar. 2008. Sehat itu Mudah, Wujudkan Hidup Sehat dengan Makanan Tepat.Jakarta : PT Mizan Publika
Leveno, Kenneth J.. 2009. Obstetri Williams : Panduan Ringkas. Jakarta : EGC.
Merdawati, Leni dan Rika Sabri. 2008. Upaya Perbaikan GIZI Balita Melalui Gerakan Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) Di RW 01 Kelurahan Gurun Laweh Kecamatan Nanggalo Padang. Warta Pengabdian Andalas Volume XIV. Jurnal Online. http://repository.unand.ac.id/2576/3/9._Leni_Mardawati.pdf. 16 Oktober 2014 (13:00 WIB)
Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia Pada Anak Balita, Orang Dewasa, Usia Lanjut. Jakarta : Pustaka Obor Populer.
Mokoginta, Dhefika. 2012. Faktor Risiko Kejadian Pnemonia Pada Anak Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Sudiang Kota Makassar. Jurnal
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/9374/DHEFI KA%20MOKOGINTA%20K11110265.pdf?sequence=1. 17 Oktober
2014 (07:00 WIB)
Nurjazuli dan Retno Widyaningtyas. 2009. Faktor Risiko Dominan
Kejadian Pnumonia Pada Balita (Dominant risk factors on the occurrence of pneumonia on children under five years). Jurnal online
FKM Universitas Diponegoro.
jurnalrespirologi.org/jurnal/April09/Artikel%20NURJAZULI.pdf. 15 Oktober 2014 (07:47 WIB)
Riskerdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Setiawan, Ridwan. DKK. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Pneumonia Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Palasari Kecamatan Ciater Kabupaten Subang Tahun 2010. Jurnal online. http://stikesayani.ac.id/publikasi/e-journal/files/2010/201008/201008-008.pdf. 15 Oktober 2014 (07:55 WIB).
Sigalingging, Zr. Ganda. 2011. Karakteristik Penderita Penyakit Pneumonia Pada Anak Diruang Merpati II Rumah Sakit UMUM HERNA MEDAN. Jurnal Online Universitas Darama Agung Medan.
uda.ac.id/jurnal/files/Jurnal%2010%20-%20Ganda%20Sigalingging1.pdf. 15 Oktober 2014 (08:32 WIB)
Triasih, Fajar. DKK. 2007. Pengaruh Kunjungan Rumah Oleh Perawat Terhadap Tingkat Kepatuhan Pengobatan Penderita Pneumonia Pada