• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hak Asasi Pencari Suaka Asylum Seeker di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hak Asasi Pencari Suaka Asylum Seeker di"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV PEMBAHASAN

Dalam mendeskripsikan hasil penelitian tentang perlindungan hukum atas hak asasi manusia pengungsi dan pencari suaka pertama akan dideskripsikan secara singkat gambaran tentang keadaan yang menyebabkan adanya negara penghasil dan penerima pencari suaka dan pengungsi terutama kaitannya dengan negara Indonesia sebagai negara transit dari pengungsi dan pencari suaka.

Setelah itu akan dibahas tentang ketentuan dan pengaturan tentang pengungsi dan pencari suaka sebagaimana yang diatur dalam konvensi dan protokol internasional serta yang diatur dalam peraturan perundang-undangan Indonesia sendiri. Dalam menganalisis keadaan ini data primer dan sekunder didapatkan dari literatur, buku-buku, hasil penelitian terdahulu dan hasil wawancara.

4.1 Gambaran Umum

Pengungsi dan pencari suaka saat ini adalah isu yang sering diperbincangkan. Hal ini terutama karena Indonesia menjadi negara transit tempat persinggahan para pengungsi dan pencari suaka yang akan mencari perlindungan di negara australia. Letak geografis Indonesia yang menghubungkan antara benua asia dan australia memberikan posisi strategis sebagai jembatan dan gerbang antara negara-negara sumber pencari suaka dan negara yang memberikan perlindungan suaka. Hal ini menyebabkan banyaknya pendatang asing di Indonesia baik yang sudah memiliki status pengungsi maupun yang belum.

(2)

Negara-negara yang memiliki banyak tingkat pencari suaka tersebut antara lain adalah; Negara irak setelah perang irak-afghanistan dimana terdapat sekitar 40.000 orang pengungsi dari irak di libya, 200.000 orang di mesir serta lainnya di Yordania dan Syria yang keseluruhannya mencapai 2 juta orang; dan Negara palestina yang masih berperang sengit dengan israel. Menurut data PBB ada sekitar 4.2 juta penduduk Palestina yang masih menjadi pengungsi di wilayah negara-negara Timur Tengah termasuk 1,8juta di negara Yordania1.

Selain negara yang menghasilkan pencari suaka dan pengungsi, poin penting lainnya adalah negara penerima suaka yang tedapat disekitar Indonesia terutama adalah negara Australia. Hal ini terutama karena Autralia adalah salah satu negara maju dengan perekonomian yang stabil dan wilayah yang cukup luas. Selain itu Australia telah meratifikasi Konvensi tahun 1951 tnetang Pengungsi sehingga memiliki kewenangan untuk memberikan status bagi pengungsi.

Dalam perkembangannya seluruh pengungsi yang masuk ke wilayah australia pada periode 1975-1990 secara umum dibagi menjadi empat golongan besar negara kelahiran yaitu Chili, Lebanon, Polandia, dan Vietnam. Kedatangan kelompok indocina yang masuk pada sekitar tahun 1975 adalah jumlah terbesar yaitu sekitar 110.000 orang.

Indonesia sendiri sebagai negara transit sampai saat ini masih belum meratifikasi Konvensi tahun 1951 tentang Pengungsi dan Protokol 1967 tentang Pengungsi. Hal ini cukup memberikan kesulitan bagi pemerintah Indonesia dalam menangani para pencari suaka dan pengungsi yang transit dan melewati wilayah negara Indonesia. hal ini karena seluruh protokol dan tata cara pelaksanaannya masih belum diatur dan kurang jelas dalam prateknya. Pemerintah Indonesia juga tidak dapat memberikan status pada para penduduknya karena tidak memiliki kewenangan untuk memberikan status pengungsi.

Para pencari suaka dan pengungsi yang berada dalam wilayah negara Indonesia saat ini memiliki jumlah yang banyak. Orang-orang ini juga tidak dapat dikembalikan begitu saja oleh pemerintah Indonesia. Sebagaimana dijelaskan oleh

(3)

Wagiman mengenai kasus monumental yang menimpa sebuah kapan barang bernama Tampa sebagai berikut2;

Namun apabila dapat dibuktikan bahwa seluruh penumpang kapal tersebut adalah pelarian politik yang terancam hidupnya maka menurut asas non-refoulement, keseluruhan penumpang tersebut tidak boleh dikembalikan dengan alasan apapun. Jika penumpang kapal tersebut ingin masuk ke Indonesia, maka pemerintah Indonesia pun tidak dapat menolaknya dengan alasan bahwa Indonesia tidak meratifikasi Konvensi Tahun 1951 tentang Pengungsi.

Hal ini menggambarkan kondisi Indonesia yang tetap harus memperhatikan prinsip-prinsip yang dianut mengenai pengungsi dan pencari suaka walaupun Indonesia belum meratifikasi konvensi dan protokol internasional mengenai pengungsi dan pencari suaka.

4.2 Perlindungan Terhadap Hak-hak Asasi Manusia Pengungsi dan Pencari Suaka di Wilayah Indonesia

Jika dilihat dari instrument internasional terdapat beberapa perjanjian internasional, konvensi dan protokol internasional yang mengatur tentang pengungsi dan pencari suaka. dalam Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi, pengertian pengungsi adalah:

As a result of events occurring before 1 January 1951 and owing to well founded fear of being persecuted for reasons of race, religion, nationality, membership of a particular sosial group or political opinion, is outside the country of his nationality and is unable or, owing to such fear, is unwilling to avail himself of the protection of that country; or who, not having a nationality and being outside the country of his former habitual residence as a result of such events, is unable or, owing to such fear, is unwilling to return to it.”

Jadi, menurut konvensi ini, pengungsi adalah orang-orang yang sebagai akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum 1 Januari 1951 dan dikarenakan ketakutan yang beralasan akan disiksa karena alasan-alasan ras, agama, kewarganegaraan, keanggotaan dari suatu kelompok sosial tertentu atau pendapat politik, ada di luar negara kewarganegaraannya dan tidak dapat, atau karena ketakutan tersebut tidak mau memanfaatkan kesempatan untuk memperoleh

(4)

perlindungan dari negara yang bersangkutan, atau yang karena tidak mempunyai kewarganegaraan dan karena berada di luar negara bekas tempat tinggalnya, scbagai akibat peristiwa-peristiwa tersebut, tidak memungkinkan atau, dikarenakan ketakutan tersebut, tidak mau kembali ke bekas tempat tinggalnya itu.

Sedangkan menurut Protokol Tanggal 31 Januari 1967 Tentang Status Pengungsi (Protocol Relating to the Status of Refugees of 31 January 1967) yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 2 adalah:

for the purpose of the present Protocol, the term “refugee” shall, except as regards the application of paragraph 3 of this Article, mean any person within the definition of Article 1 of the Convention as if the words “As a result of events occurring before 1 January 1951 and …”and the words”… a result of such events; in Article 1 A (2) were committed”.

Kemudian adapula pengertian menurut Menurut Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1967 Tentang Asilium Teritorial (UN. Declaration on Territorial Asylum 1967) adalah setiap orang yang meninggalkan negaranya, termasuk mendapatkan perlakuan yang sewajarnya, dan pemulangan ke negaranya. Sedangkan pengungsi menurut Konvensi Jenewa Setiap orang yang memiliki ketakutan mendasar akan penganiayaan karena alasan-alasan: ras, agama, kebangsaan, pandangan politik atau keanggotaan pada kelompok sosial tertentu yang berada di luar negara asal kewarganegaraannya dan tidak dapat – atau karena ketakutannya tersebut – tidak mau memanfaatkan perlindungan dari negara asalnya.

Dalam instrumen-instrumen internasional ini telah dijelaskan dengan rinci tentang pengungsi dan pencari suaka itu sendiri yang pada intinya adalah orang yang meninggalkan negara kewarganegaraannya karena suatu alasan politik yang dapat mengancam hak hidupnya. Dengan melihat pasal-pasal ini dan selanjutnya pasal-pasal lainnya dalam instrumen internasional ini, adalah hak bagi pengungsi dan pencari suaka ini untuk mendapatkan bantuan dan perlindungan terutama dari pihak negara penerima (negara peserta konvensi).

(5)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab XA, Pasal 28G, butir 2:

“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.”

Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 24:

“Setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain.”

Undang-undang Republik Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 28 ayat 1 yang berbunyi;

“Setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain.”

Kemudian lebih lanjut diatur pula dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, Bab VI, pasal 25, 26, 27 pasal 25 yaitu:

Pasal 25

(1) Kewenangan pemberian suaka kepada orang asing berada di tangan presiden dengan memperhatikan pertimbangan menteri.

(2) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan keputusan presiden

Pasal 26

Pemberian suaka kepada orang asing dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional serta dengan memperhatikan hukum, kebiasaan dan praktek internasional

Pasal 27

(1) Presiden menetapkan kebijakan masalah pengungsi dari luar negeri dengan memperhatikan pertimbangan menteri

(2) Pokok-pokok kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan keputusan presiden.

(6)

Namun lebih lanjut yang menjadi permasalahan adalah pada pelaksanaannya terutama berkaitan dengan kewenangan pemberian suaka dan kebijakan tentang masalah luar negeri yang menurut undang-undang ini akan diatur lebih lanjut dengan keputusan presiden. Hingga saat ini, masih belum ada peraturan pelaksana yang dijanjikan oleh undang-undang ini. Keputusan presiden yang diharapkan untuk memberikan peraturan teknis dan tata cara untuk mengatur tentang kepengungsian dan pencari suaka ini masih belum juga diwujudkan sehingga diimplikasikan dapat menyebabkan kekosongan hukum.

Kekosongan hukum ini sangat mempengaruhi penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia mengenai pengungsi dan pencari suaka di Indonesia. Tidak adanya protokol dan peraturan teknis menyebabkan tidak adanya pula alat ukur tentang bagaimana sebaiknya pemerintah memperlakukan orang asing yang masuk ke dalam wilayah negara Indonesia dengan tujuan memperoleh perlindungan yang tidak mereka dapatkan di negara asalnya. Tidak ada pedoman yang jelas tentang bagaimana nasib pengungsi dan pencari suaka ini. Padahal telah jelas bahwa ada sangat banyak pencari suaka dan pengungsi yang berada di wilayah negara Indonesia sebagai negara tempat singgah.

Berikut adalah data yang dihimpun oleh JSR berdasarkan informasi dari UNHCR tentang pengungsi batas negara dan pencari suaka yang berada di 5. Pencari Suaka/Pengungsi yang berada di 14

rumah detensi migrasi. Kira-kira seperlima dari jumlah tersebut adalah perempuan dan anak-anak

1.500 jiwa

Implikasi dari kekosongan hukum ini menimbulkan kebingungan pemerintah dalam menentukan kebijakan dan langkah-langkah terutama ditingkat praktis yaitu daerah dalam menyikapi banyaknya jumlah pengungsi dan pencari

(7)

suaka di Indonesia. Karena kekosongan hukum ini, tidak ada suatu perangkat untuk berkoordinasi antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalam mengendalikan dan mengatur tentang pengungsi dan pencari suaka.

Dalam menangani kekosongan hukum ini sebenarnya pengratifikasian konvensi internasional tahun 1951 dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi memiliki bagian yang besar. Konvensi dan protokol ini telah memiliki pengaturan yang rinci mengenai segala aspek pencari suaka dan pengungsi yang dapat mempermudah pembuatan pedoman bagi pelaksanaan praktis di lapangan. Karena dengan meratifikasi, Indonesia dapat langsung menggunakan pasal-pasal yang tertuang dalam konvensi tersebut untuk selanjutnya diterapkan dalam penanganan pengungsi dan pencari suaka di Indonesia.

Menurut Atik Krustiyati, kekosongan hukum tentang pengungsi di Indonesia ini telah melemahkan koordinasi antara badan-badan pemerintah di lapangan. Sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, pengratifikasian konvensi 1951 dan protokol 1967 tentang Pengungsi adalah prioritas bagi Indonesia. kedua instumen ini relevan dengan hukum nasional Indonesia bukan hanya karena substansinya bukan hanya penuh dengan regulasi tentang hak asasi manusia tapi juga sejalan dengan nilai dan norma budaya Indonesia. Dengan demikian, proses ratifikasi ini adalah pertanda kesediaan Indonesia dalam aspek teknik, politk, dan hukum yang dapat mempersempit jarak antara hukum nasional Indonesia dengan hukum internasional4.

Lebih lanjut menurut Krustiyati, dengan Indonesia belum menjadi pihak dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967 ini maka pemerintah Indonesia juga tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan penentuan status pengungsi (Refugees Status Determination) yang hingga saat ini masih ditetapkan oleh UNHCR sebagai badan perwakilan PBB yang mengurusi soal pengungsi sesuai mandat dalam Statuta UNHCR tahun 1950.

Dari segi substansinya, konvensi 1951 dan Protokol 1967 ini merupakan perangkan internasional HAM yang merupakan salah satu aspek dalam

(8)

memajukan perlindungan HAM. Hal ini dapat dijadikan pedoman bagi pemerintah untuk dapat menjamin dan melindungi hak asasi manusia para pencari suaka dan pengungsi yang berada di wilayah negara Indonesia.

Selain hak utama untuk mendapatkan perlindungan dan tidak dikembalikan secara paksa ke negara asalnya tersebut (asas non-refulement) terdapat beberapa hak-hak lain yang diatur dalam Konvensi tahun 1951 ini yaitu;

1. Kebebasan mempraktekkan agama dan pendidikan agama bagi anak-anak pengungsi (Pasal 4)

2. Hak atas milik bergerak dan tidak bergerak (pasal 13)

3. Hak berserikat (pasal 15)

4. Hak berswakarya (pasal 18)

5. Hak menjalankan profesi liberal (pasal 19)

6. Hak atas pendidikan (pasal 22)

7. Hak atas kondisi kerja yang layak dan jaminan sosial (pasal 24)

8. Kebebasan berpindah tempat (pasal 26)

Hak-hak ini walaupun dapat direservasi oleh negara yang akan meratifikasi, namun dapat dijadikan petunjuk umum tentang hak-hak yang seharusnya diperoleh oleh pengungsi dan pencari suaka di negara tujuannya. Indonesia walaupun belum meratifikasi konvensi ini dapat menggunakan pasal-pasal ini sebagai acuan dalam menerapkan hak-hak asasi manusia yang harus dijamin dan dilindungi dari para pengungsi dan pencari suaka.

(9)

Indonesia sebenarnya telah menjelaskan kemauannya untuk menjadi pihak penandatangan Konversi Pengungsi tetapi kenyataannya hingga saat ini konversi tersebut belum juga diratifikasi. Menurut Anita Roberts, keadaan dan sistem ini masih belum jelas untuk diterapkan di Indonesia. dari dalam negeri sendiri, pendekatan pemerintah mengenai pengungsi ini sudah mendapat banyak kritik terutama terkait dengan Indonesia bukan negara pengungsi sehingga pencari suaka akan membebani negara. Karena jika Indonesia melakukan ratifikasi ditakutkan akan muncul masalah terutama di konteks keuangan dan kesadaran mengenai hak asasi manusia5.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Yasniar Rachmawati, S.H.,M.H., dosen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Brawijaya tentang penting tidaknya meratifikasi konvensi internasional dalam mewujudkan perlindungan terhadap pengungsi dan pencari suaka, mengemukakan sebagai berikut6;

Penting. Terutama dalam menjadikannya patokan pedoman ya. Karena konvensi internasional, terutama yang konvensi 1951 itu sudah menjelaskan semua tentang pengungsi. Jadi pemerintah tidak perlu bingung untuk mencari acuan. Apalagi, jika sudah meratifikasi, pemerintah dapat memberikan sendiri status pengungsi itu.

Meratifikasi konvensi internasional tentang pengungsi dianggap penting terutama dalam menjadikannya patokan dan pedoman untuk memberikan definisi hak-hak pencari suaka dan pengungsi yang dilindungi. Sehingga kedepannya tidak lagi terjadi kekosongan hukum. Namun lebih lanjut, beliau menyatakan:

Sebenarnya tanpa Indonesia meratifikasi konvensi inipun, tidak masalah. Konvensi ini mengandung prinsip-prinsip umum hukum internasional, seperti non-revoulement tadi. Tanpa Indonesia meratifikasipun, bisa saja membuat undang-undang yang isinya mengadopsi konvensi, tanpa ikut tandatangan. Contohnya, ya itu, konvensi wina tentang perjanjian itu.

Tanpa ada pengakuan ataupun ratifikasi, sebenarnya konvensi ini dapat diterapkan oleh pemerintah negara Indonesia. Sebagaimana yang dilakukan

5 Anita Roberts, Asylum Seekers dari Timur Tengah di Indonesia: Dari Perspektif Republik Indonesia, Australian Consortium for In-Country Indonesian Studies (ACICIS), hlm. 10-11

(10)

pemerintah Indonesia ketika tidak meratifikasi konvensi Wina tahun 1969 tentang hukum perjanjian. Saat itu Indonesia tidak melakukan ratifikasi karena perbedaan asas antara hukum internasional dan hukum nasional Indonesia. akhirnya Indonesia mengadaptasi pasal-pasal dalam konvensi tersebut sesuai kebutuhan dalam Undang-undang Nomor 24 tahun 2000 tanpa ikut menandatangani wadahnya sendiri.

(11)

BAB V PENUTUP

5.1. Simpulan

Indonesia masih belum meratifikasi konvensi maupun protokol internasional tentang pengungsi yang menyebabkan masih sulitnya pemerintah untuk menangani pengungsi dan pencari suaka yang semakin banyak memasuki wilayah negara indonesia. Hal ini menyebabkan tidak terpenuhi dan terlindunginya hak-hak suaka pengungsi dan pencari suaka yang berada di wilayah negara Indonesia. Banyak fenomena yang menyatakan bahwa terjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia terhadap pengungsi dan pencari suaka. Padahal hak asasi manusia telah dijamin melalui konstitusi Indonesia.

5.2 Saran

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil studi dan pembahasan yang sudah dilaksanakan peneliti mengenai kemampuan berpikir reflektif siswa kelas VIII-C SMP Negeri 1 Ciruas dalam

Dari sisi penyediaan, seluruh nilai tambah yang dihasilkan oleh setiap sektor ekonomi bila digabungkan akan diperoleh besaran Produk Domestik Regional Bruto atau disingkat PDRB (PDRB

Lajirunsauden ja pinta-alan sekä eristyneisyyden välisen yhteyden puuttuminen saattaa selit- tyä myös sillä, että vaikka nämä tekijät rajoittaisivatkin lajirunsautta,

0343-656450 Canned Pasteurized Crabmeat Frozen Demersal Fish Frozen Raw Shrimp Frozen Cooked Shrimp Frozen Crab Meat Frozen Crab Frozen Added Value Frozen Demersal fish Frozen

Prosedur ini jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang didapatkan maka dapat dikatakan bahwa proses penggunaan barang milik daerah yang dilakukan Badan Pengelola Keuangan

3 daring yang dilaksanakan oleh guru sehingga interaksi guru dalam proses pembelajaran daring tidak berjalan dengan efektif dikutip oleh (Pohan, 2020). Hal itu

Secara geografis, ruang adalah seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup bagi makhluk hidup baik manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan

lainnya, setelah bulan Ramadhan disaat Rasulullah berpuasa di pada tanggal sepuluh di bulan muharram atau yang di sebut dengan puasa ‘a>shu>>ra’> kemudian