• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konteks Kekinian Arsitektur dalam Meliha

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Konteks Kekinian Arsitektur dalam Meliha"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Konteks Kekinian Arsitektur

dalam Melihat Arsitektur Nusantara

Antariksa

Pendahuluan

Arsitektur kebangsaan adalah hasil tatanan budaya masyarakat-manusia yang mendiami wilayah Nusantara ini. Bentuk dan wujudnya adalah hasil pemikiran dari kecerdik-pandaian mereka dalam melihat alam-lingkungan geografisnya, dan berlanjut sampai sekarang. Tradisi dan budaya yang terdapat di dalamnya tercipta akibat dari proses peradaban yang sangat panjang. Hasil peradaban berhuni dan berarsitektur memunculkan berbagai macam bentukan arsitektur, hal inilah yang menarik untuk dilakukan kajian dan pengungkapkannya. Apa sebenarnya yang mendasari dibalik bentukan-arsitektur tersebut? Apakah hal tersebut terjadi akibat proses budaya antara manusia dengan alam-lingkungan geografisnya? Hal itulah yang sebenarnya menjadi latar belakang mengapa kita ingin mempelajari arsitektur hunian tradisional yang tersebar di wilayah Nusantara ini.

Peradaban bangsa ini berjalan seiring dengan perkembangan budaya masyarakat, dan arsitektur tentunya. Hal ini yang menjadikan bentuk fisik-spasial serta tradisi yang beragam dalam kehidupan berarsitektur. Perkembangan yang terjadi di wilayah Nusantara terjadi akibat bentukan arsitektur etnis-estnis kepulauan menjadi langgam yang sekarang banyak dibicarakan. Akulturasi dan adopsi terjadi setelah wilayah Nusantara ini kedatangan Bangsa Belanda yang mencekeram dan menduduki serta menjadikan koloninya. Perkembangan dan percampuaran arsitektur mulai terjadi dengan istilah Indisch-nya, percampuran antara arsitektur Nusantara yang tradisionalistik dengan arsitektur dari Belanda.

Perkembangan arsitektur di wilayah Timur seperti Cina, Korea, dan Jepang juga mengalami pergesaran dan perpaduan antara Barat dan Timur. Menjadikan perkembangan ini layak untuk dicermati dan dikaji, melihat peradaban Timur bersentuhan dengan arsitektur Barat, dan berkembang dalam budaya yang saling berdampingan. Hal inilah yang seharusnya menjadi acuan pandangan bagaimana arsitektur Barat dan Timur dapat menjadi icon baru dalam perkembangan arsitektur modern/kontemporer saat ini di Cina. Korea, dan Jepang.

(2)

Pemahaman mengenai Arsitektur Nusantara dan Tradisional

Pemahaman mengenai arsitektur tradisional telah banyak mengalami perkembangan makna dan arti. Arsitektur sebagai produk kebudayaan akan mencerminkan peradaban masyarakat setempat. Wujud fisik kebudayaannya dikenal sebagai arsitektur tadisional (Arsitektur tradisional kerap dipadankan dengan Vernakular Architecture, Indigenous, Tribal [Oliver dalam Martana, 2006]). Kemudian berkembang menjadi arsitektur rakyat (Arsitektur Rakyat, Anonymus, Primitive, Local atau Folk Architecture

[Papanek dalam Wiranto, 1999]), atau juga disebut sebagai Arsitektur Etnik [Tjahjono,1991]. Istilah-istilah tersebut di atas saling terkait dan pada penggambarannya sulit dipisahkan satu sama lain. Beberapa persamaannya adalah karakter spesifik yang merujuk pada budaya masyarakat, keterkaitan yang dalam dengan lingkungan alam setempat (lokalitas), serta bersumber dari adat yang diturunkan antar generasi dengan perubahan kecil. Menurut Oliver [1997] arsitektur vernakular (dalam bahasan ini akan disebut sebagai arsitektur tradisional) dibangun oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan khusus dalam pandangan hidup masing-masing masyarakat. Kebutuhan khusus dari nilai-nilai yang bersifat lokal ini menimbulkan keragaman bentuk antar daerah. Kekhasan dari masing-masing daerah tergantung dari respon dan pemanfaatan lingkungan lokalnya yang mencerminkan hubungan erat manusia dan lingkungannya (man & environment). Jadi keragaman arsitektur tradisional mencerminkan besarnya variasi budaya dalam luasnya spektrum hubungan masyarakat dan tempatnya.

Kecerdasan dalam memahami masalah ini, muncul karena interpretasi terhadap arsitektur yang berlebihan dari sekedar bernaung menjadi pemahaman akan style, langgam, fungsi dan sebagainya. Demikian juga dalam arsitektur, kearifan lokal merupakan pengkristalan dari solusi-solusi pengelolaan lingkungan binaan sesuai dengan modal sosial yang dimiliki suatu masyarakat dan –pada skala yang lebih luas- merupakan bagian dari kebijakan pembangunan nasional. Pengkristalan dari berbagai solusi rancang-bangun arsitektural yang lahir secara spontan di masyarakat, mengalami percepatan; solusi-solusi konstruksi dan arsitektural yang tadinya bersifat sangat lokal, kemudian menjadi “tradisi baru”. Selain sebagai modal sosial, sebetulnya malahan dapat dilihat sebagai “hak budaya” suatu masyarakat [Pangarsa, 2004: 28-29]. Hal tersebut membentuk kenyataan bahwa masyarakat punya tradisi turun-temurun menjadi sebuah budaya dan secara nyata membentuk lingkungan binaan dan karakteristik arsitekturnya yang lokal dibandingkan dengan karakteristik arsitektural-geografinya.

(3)

dalam teknologi arsitektur nusantara pun berangkat dari arsitektur tradisional dan konsep ini bukanlah keilmuan arsitektur Eropa maupun Amerika. Sebenarnya arsitektur nusantara merupakan arsitektur yang hidup secara bersama dengan alam lingkungannya. Merupakan hasil komunikasi antara alam, manusia dan arsitektur. Komposisi komponen-komponen alam di tropis lembab melahirkan ungkapan yang melukiskan kondisi iklim. Alam menyediakan contoh bagaimana seharusnya makhluk hidup yang tidak hidup beradaptasi dengan lingkungannya, dan alam menyediakan kebutuhan manusia tanpa harus menderita karenanya. Manusia melalui berbagai kegiatan yang dilakukan menunjukkan pola-pola kegiatan yang khas di daerah beriklim tropis lembab, dengan memanfaatkan apa yang disediakan oleh alam tanpa memberikan gangguan pada alam. Arsitektur, yang dihasilkan oleh manusia, adalah manifestasi dari komunikasi alam dan manusia. Arsitektur disini memahami bahasa alam manusia, mewujudkan tuntutan manusia akan kenyamanan dan perlindungan di daerah tropis, dengan memberikan kenyamanan dan perlindungan kepada manusia dengan tidak memberikan pengaruh buruk terhadap lingkungan. Komunikasi antar alam–manusia–arsitektur di Nusantara di masa lalu telah terekam menjadi satu bentuk pengetahuan yang mampu menghasilkan arsitektur tradisional Nusantara.

Kolonialisme dan Arsitektur Nusantara

Ketidak-jelasan dalam memandang arsitektur tradisional yang berkembang pada awal kolonialisme di Indonesia menjadi telaah atau titik pandang tentang perkembangan arsitektur yang terjadi pada saat itu. Dominansi perpaduan antar arsitektur yang mereka bawa dari negeri Belanda berpadu dengan bentuk serta tatanan arsitektur yang terdapat di alam di nusantara ini. Dalam perjalanannya, muncul pendapat yang diberikan oleh arsitek Belanda Hendrik Petrus Berlage yang menyatakan terdapat dua kelompok tentang pemakaian seni budaya lokal dalam bangunan. Kelompok pertama merujuk kepada arus gerakan EKLEKTISME EROPA ABAD ke-19 serta menghendaki seni bangunan Eropa juga diberlakukan di daerah koloni. Kelompok kedua mereka lebih mengharapkannya adanya kepekaan terhadap seni bangunan lokal (Nusantara) yang mengarah pada munculnya arsitektur baru, yakni Indo-Eropa. Kelompok pertama diwakili oleh M.J. Hulswitt, dan Ed Cuypers, jelas-jelas mengutamakan peradaban dari Barat dan berorientasi kepada seni bangunan Belanda. Kelompok kedua diwakili oleh C.P. Wolff Schoemaker, Henri Maclaine Pont dan H.T. Karsten. Penjelasannya adalah bahwa pentingnya pemahaman seni budaya Nusantara, yang meliputi faktor konstruksi bangunan, kesehatan dan ekonomi. Intinya, adalah seni budaya lokal/Nusantara juga mempunyai karakteristik sendiri seperti halnya pada seni bangsa Barat. Pada hakikatnya aspek lokalitas terdalam yang dimiliki bangsa pribumi harus ditonjolkan dan bahwa bahwa gaya Indo-Eropa hanya akan terjadi oleh adanya dialektika yang mendalam antara kedua unsur lokal dan Ekletik-Eropa keduanya mencakup baik unsur konstruksi maupun bentuk seninya.

(4)

konteks kenusantaraan sudah menjadi bagian yang waktu itu dipikirkan oleh para arsitek Belanda yang berkarya di masa pemerintahan kolonial Belanda. Mereka memikirkan betapa menariknya bentukan-bentukan yang ada di nusantara yang tropis ini menjadi bagian yang diolah oleh para arsitek Belanda. Perkawinan dalam arsitektur melalui pendekatan lokalitas bahan dan budaya menjadi hal yang sangat menarik untuk dijadikan pemikiran-pemikiran oleh para arsitek saat ini. Pada waktu itu, wilayah nusantara menjadi tempat karya para arsitek Belanda dipamerkan, dan ungkapkan fisiknya sampai saat ini terlihat di beberapa kota-kota besar di Indonesia.

Unsur lokalitas-tradisional sering mendominasi dalam pengambilan keputusan perancangan arsitektural oleh para arsitek Belanda yang punya kepekaan terhadap nusantara. Bentukan-bentukan itulah yang menjadi dasar keterikatan perpaduan arsitektur Eropa dan tropisnya nusantara. Hal inilah yang dapat merasakan kedamai-tentraman antara manusia-masyarakat-alam lingkungan hunian hidup nusantara. Disinilah nampak peran besar arsitek pada waktu itu sebagai pelaku penumbuh-kembang arsitektur Eropa dengan arsitektur lokal-tradisional menjadi sebuah penanda bagi peradaban nusantara yang mempunyai nilai budaya tinggi dan indah.

Masyarakat nusantara ini memiliki budaya yang ada di sekitar dan diwariskan kepada mereka sendiri. Mereka memberi makna pada lingkungan atau ruang hunian hidupnya dengan tujuan menentukan sikap dan beraktifitas dalam kehidupannya. Dengan cara memahami dan mengerti untuk dapat mengejawantahkan aktifitas di ruang lingkungan hidupnya. Jadi, memahami dengan mencerna arsitektur nusantara dalam hal ini tradisional-lokal adalah mempelajari akan suatu bingkai budaya nusantara dalam sebuah peradaban kebangsaan.

Peradaban Arsitektur Timur (Cina-Korea-Jepang)

Pandangan keilmuan arsitektur sampai dengan abad ini masih didominasi oleh teknologi dan bahan bangunan. Perkembangan peradaban arsitektur di wilayah Timur dalam hal ini Cina, Korea dan Jepang sudah jauh melewati peradaban mereka sendiri sebagai bangsa Timur. Perjalanan mereka begitu cepat mengadaptasi dan menumbuhkan identitas baru dalam mewujudkan jati diri arsitekturnya. Budaya mereka ditata sedemikian rupa meskipun peradaban berjalan dengan pengaruh globalisasi yang begitu cepat, namun tradisi dan budaya yang ia punyai masih bertahan dengan baik.

(5)

penghargaan terhadap kebudayaan lokalnya masing-masing tersebut berjalan dengan baik. Disini arsitektur kontemporer mau diterima dengan baik bahkan bersanding dengan budaya dan arsitektur tradisional yang mereka punyai. Kemudian muncul pertanyaan apakah dengan penerimaan tersebut mereka lupa dengan isu lokalitas teritori mereka sendiri? Pertanyaan tersebut dengan sendirinya terjawab apabila kita menelaah lebih dalam lagi alasan-alasan di balik berdiri megahnya karya-karya arsitektur tersebut. Justru seperti inilah, sebuah peradaban yang bisa membawa masa lalu dan menerima masa kini untuk menjelajah masa depan melalui identitas barunya, sedangkan perjalanan budayanya tetap bertahan sampai sekarang. Kehebatan perkembangan arsitektur di Cina, Korea, dan Jepang semakin jelas bahwa identitas mereka saat ini dalam hal material dan teknologi telah mengalami perkembangan yang sangat pesat yang berbeda dengan masa ratusan tahun yang mereka punyai di masa lalu.

Arsitektur Jepang sebagai contoh, sejak era idustrialisasi hingga kini malah lebih memperkokoh identitasnya, sebagai arsitektur yang akrab dengan bahan-bahan metal (alumunium, baja, beton dan lain-lain) sebagai identitas kontemporer mereka. Pada hal secara kasat mata kita tentu masih ingat arsitektur kayu dan kertas mereka pada zaman arsitektur awal di Jepang. Bukti sejarah masa lalu mereka dengan kuil-kuil kunonya yang menggunakan bahan batu, kayu dan kertas menandakan bahwa peradaban lalu mereka masih dipertahankan. Perjalanan dan perkembangan arsitektur di Jepang inilah yang menjadikan tonggak bahwa identitas terus berubah dan berkembang tetapi budaya mereka masih bertahan untuk dijalankan.

(6)

ruang dan filosofinya menjadikan dasar bahwa semua selalu berawal dari budaya dan tradisi yang mereka punyai. Hal ini akan menjawab mengapa budaya masyarakat manusianya bertahan sedangkan peradaban arsitektur berjalan sesuai dengan identitas yang mereka bawa dan kembangkan kedepan melalui belahan ruang-waktu. Dengan tanpa melupakan inti-inti filosofi Zen mereka yang mengharuskan keselarasan dengan alam bagi tempat mukim mereka.

Babak baru dari dunia arsitektur berkembang dengan pesat hampir keseluruh daratan Jepang, terutama di kota-kota besar. Sangat berbeda dengan native arsitektur yang tumbuh dan berkembang di Jepang sendiri. Pada periode Heisei (1989~sekarang) arsitektur post-modern mulai berkembang di Jepang (sebenarnya post-modern di Jepang berkembang awal tahun 1980-an) dan hal ini muncul akibat dari bubble economic. Perkembangan desain dari arsitektur post-modern memberikan perubahan dalam perjalanan arsitektur Jepang dalam memberikan segala macam bentuk-bentuk arsitekturnya. Dengan sedemikian rupa penjelajahannya memberikan ungkapan yang sukar untuk diduga ke mana arah ide dan gagasannya. Bermunculan seperti cendawan di musim hujan bersanding secara kontradiktif dengan ketradisionalan yang mereka punyai. Style-style

telah mengabaikan tradisi, budaya, bentuk, bahan dan ungkapannya. Menjadi tempat berlombanya para arsitek Jepang dalam menemukan ide-de dan gagasan baru dalam berkreasi untuk menciptakan bentuk-bentuk barunya.

Perubahan radikal juga terjadi di Cina menjelang Olimpiade di Beijing tahun 2008 yang lalu, dengan dibangunnya Bird Nest Stadium karya arsitek Prancis Jacques Herzog dan Pierre de Meuron. Secara kontekstual kotak merupakan simbol unsur bumi saling melengkapi dengan bangunan stadion “Bird Nest” diseberangnya, yang berbentuk dasar lingkaran yang merupakan simbol surga. Filosofi sarang burung (bird nest) sebagai sebuah penanda kemakmuran diwujudkan dalam sebuah stadium yang secara bentuk sangatlah berbeda dengan arsitektur tradisional Cina. Kemudian bersebelahannya dibangun juga bangunan Watercube Stadium (stadion renang) dengan arsiteknya PTW Architects (Australia), CSCEC International Design and Arup (Cina). Penggalian bentuk-bentuk simbolis arsitektur Cina kuno muncul seiring gagasan tim arsitek untuk menghadirkan konsep gelembung sabun sebagai pendekatan bentuk dasar melambangkan air. Bangunan ini mempunyai keunikannya dalam penyelesaian masalah perancangan khususnya di bidang facade engineering. Pada proses perancangan, secara utuh hal ini memberikan referensi bagaimana sebuah konsep facade bangunan dikembangkan dari dasar teori yang begitu abstrak menjelma menjadi bangunan nyata. Dengan memanfaatkan, material, metode, bahkan sistem perancangan baru dengan perangkat lunak yang khusus diciptakan untuk bangunan ini.

(7)

membuktikan bahwa mereka bisa menerima perubahan dan perkembangan arsitektur bahkan berdiri berdampingan secara fisik pada kultur dan geografi yang berbeda.

Demikian juga perkembangan yang terjadi di Korea, begitu cepat adaptasi dan perubahan yang terjadi dengan munculnya bentukan-bentukan arsitektur modern. Peradaban arsitektur tradisional mereka dengan budayanya masih juga berjalan dengan baik sampai saat ini. Perpaduan bangunan lama dan baru menjadi bagian dari urban architecture

muncul di Korea seperti halnya apa yang terjadi di Jepang dan Cina melalui sentuhan idealisme tinggi dari para arsiteknya. Tak berlebihan bila hal-hal di atas tampak sebagai munculnya “arsitektur modern” baru di Timur, dengan tujuan untuk menunjukkan peradaban arsitektur bangsa Korea telah berkembang bersamaan dengan lingkungan tradisinya yang masih kuat.

Arsitektur yang Bertradisi

Tugas kita bukan hanya meminjam material atau mengcopy konstruksi dari sesuatu satu atau dua abad yang lalu, tetapi harus mengetahui tentang diri kita tentang lingkungan untuk mengkreasikan sebuah arsitektur yang berstradisi etnik nusantara. Bisa jadi hal ini tak pernah disadari oleh para arsitek, tetapi hal ini justru membuktikan bahwa pengetahuan lokalitas-tradisionalistik dalam arsitektur perlu untuk dipahami. Dalam pandangan arsitek, fenomena merebaknya karakter etnik-nusantara semacam ini dalam arsitektur sedang menjadi pembicaraan di kalangan mereka termasuk para akademisi. Kebijakan berarsitektur dalam memandang budaya telah menghasilkan pandangan dalam memahami nusantara yang di dalamnya terdapat masyarakat dengan tradisi dan lokalitas arsitekturnya.

(8)

berkaitan dengan perkembangan arsitektur (bahan, teknologi dan lain sebagainya).

Arsitektur nusantara dalam perkembangannya harus memanfaatkan teknologi yang berkelanjutan. Membuat arsitektur nusantara menjadi pintar adalah membuat arsitektur yang dapat berkelanjutan dalam teknologi yang tepat guna, dan ini menjadi penting dalam membangun sebuah tradisi. Seharusnya arsitektur menjadi sebuah pembaharuan dan perubahan merupakan proses membangun arsitektur kedepan. Bahan dan teknologi dapat mengadaptasi dari apa yang ada dalam arsitektur nusantara untuk dapat ditumbuhkembangkan menjadi karya arsitektur baru. Berkelanjutan dalam pemahaman konsep, ide, bahan serta teknologi untuk dapat digunakan dalam rancangannya. Para arsitek harus cukup memahami dan mempelajari arsitektur nusantara (lokal-tradisional) sebagai bahan kajian dalam proses rancangannya, sehingga menciptakan arsitektur baru dengan pendekatan bahan dan teknologi lamanya. Pengetahuan rancangan dan konstruksi itu lambat-laun berproses menjadi bagian dari perjalanan peradaban manusia yang terungkap dalam bentukan fisik arsitekturnya.

Arsitektur Indonesia

Kini arsitek kontemporer Indonesia dihadapkan pada situasi paradoksial. Perlu dilakukan identifikasi penggalian karakteristik lokal-tradisional yang terdapat di balik fenomena arsitektur nusantara. Hal ini sangat penting mengingat dari perjalanan waktu di tengah gelombang globalisme, arsitektur lokal-tradisional belum mendapat tempat sebagai salah satu konsep maupun pendekatan dalam membangun arsitektur yang berkelanjutan.

Melakukan modernisasi sambil tetap memelihara inti dari identitas budaya merupakan bagian perjalanan peradaban dari budaya berarsitektur. Pembentukan penumbuhkembangkan tadi perlu dilihat prosesnya hingga cakupan hasil akhir desain yang disajikan. Arah dari perkembangan ini merupakan hasil olahan bagaimana mentransfer masa lalu menjadi bagian yang urban modernistik ini. Cara ini perlu pula dikaji ulang, bagaimana berlangsungnya proses berarsitektur itu dapat membawa peran serta sosial-budaya masyarakatnya dalam era modern ini.

Karya-karya kreatif kontemporer kini menjadi tonggak baru dalam perkembangan arsitektur Indonesia. Arsitektur mestinya tidak hanya dilihat sebagai produk aktifitas sosio-kultural masyarakatnya atau sebagai proses komunikasi manusia-arsitektur-alam yang mereka punyai, tetapi sebagai perwujudan dari potensi arsitek dalam menerjemahkan masa lalu dan mengolahnya untuk masa kini. Dalam perjalanan, peradaban memegang peranan penting karena membawa simbol-simbol kebudayaan, sedangkan bahan dan teknologi akan menjadikan arsitektur sebagai sebuah karya baru.

Memberikan semangat modernisasi baru yang lebih sensitif terhadap isu lokalitas dan perubahan paradigma arsitektur di Indonesia. Gelombang globalisme arsitektur Barat dan Timur yang datang ke Indonesia dengan

(9)

perkembangan karakter arsitektur dan kota yang terdapat di Indonesia dapat dimasukkan menjadi bagian dari proses modernisasi dalam arsitektur. Namun, jika dipakai sebagai metode untuk menemu-kenali lokal-tradisional dalam arsitektur modern, tampaknya masih memerlukan pemahaman dan penajaman tentang konsep dan pendekatan desainnya.

Pemikiran dan isu baru yang menjadi tantangan para arsitek muda. Para arsitek muda perlu menawarkan konsep pendekatan dan metode desain dalam menerjemahkan unsur lokal-tradisional tadi dalam rancangan arsitektur barunya. Tinjauan pemikiran arsitektur terhadap budaya bertujuan agar implementasi metode desain dalam arsitektur dapat teridentifikasi dengan baik. Kemanfaatannya adalah untuk mendukung upaya penguatan arsitektur berkelanjutan (sustainable architecture) dalam menjaga antara peradaban dan globalisasi dalam arsitektur. Pendekatan pemikiran ini muncul bahwa arsitektur lokal-tradisonal dipandang sebagai bagain dari manusia-masyarakat yang menempati ruang dan bangunannya.

Pada kenyataan, karya-karya arsitektur baru di Indonesia dapat meluruskan atau mengarahkan bahan dan teknologi baik lokal-tradisional maupun modern. Hal ini tergantung dari posisi karya tersebut berada pada waktu dan ruang yang tepat. Bahkan, dapat terjadi kesamaan-kesamaan bahan yang diwujudkan oleh beberapa arsitek bentukan bangunannya berbeda meskipun satuan geografi-kulturalnya berbeda. Karya-karya besar para arsitek muda telah bermunculan mengisi ruang-ruang kota di Indonesia. Permasalahannya adalah apakah mereka juga mengangkat lokal-tradisional nusantara untuk karya-karyanya, dan bagaimana mereka meletakkan bahan, teknologi serta detail-detailnya dalam karya arsitektur tersebut.

Pada ranah keilmuan arsitektur, muncul banyak pendapat berkaitan dengan lokal-tradisional dalam arsitektur nusantara terhadap perkembangan desain-desain arsitektur modern di Indonesia. Arsitektur modern lahir belakangan dan berkembang melalui peradaban manusia-masyarakat yang ada di dunia ini. Di Indonesia yang mempunyai wilayah yang disebut nusantara ini terdapat banyak etnis-lokal-tradisional, mereka punya tempat bermukim dengan kondisi kultur-geografinya yang berbeda-beda dan kita sebut sebagai arsitektur tradisional. Ruanga inilah yang perlu dibaca oleh para arsitek muda untuk mengambil pemikiran, ide, konsep, gagasan yang menjadikan bentukan arsitektur tersebut selain bahan dan teknologi yang melingkupinya. Paradigma, teori dan praksis keilmuan arsitektur lokal-tradisional itu dijadikan sandaran dasar filosofi arsitektur modern. Memang dalam pandangan globalisasi dapat menggunakan teknologi baru untuk menciptakan sifat yang lebih multicultural, egalitarian, demokratis dan globalisasi yang ekologi [Cvetkovich & Kellner, 1997].

(10)

gencar pula upaya-upaya mencuatkan kearifan lokal sebagai paradigma perencanaan atau pembangunan sehingga persoalan knowledge transfer

pun akhirnya dikaji dengan lebih intens. [Tinnaluck 2004a: 73 dan Tinnaluck 2004b]. Demikianlah, maka perwujudan karya-karya arsitektur yang tadinya bersifat lokal (regional) menjadi tawaran solusi di hadapan arsitektur Barat yang menghegemoni tata nilai global [Pangarsa, 1993].

Banyak arsitek muda yang telah menghadirkan hasil karya-karyanya dan tersebar di kota-kota Indonesia. Beberapa arsitek yang telah mengukir karyanya antara lain: Adi Purnomo, Yu Sing, Budi Pradono, Yori Antar Awal, Baskoro Tedjo, Ridwan Kamil, dan masih banyak lagi. Karya-karya mereka telah banyak memunculkan kreasi lokal-tradisional dalam wajah modern baik dalam ungkapan bentuk maupun bahan serta teknologinya. Mereka telah memberikan warna baru bagi arsitektur Indonesia, dengan cermat dan detail mempelajari masa lalau (lokal-tradisional) kemudian mencoba mentrasformasikan dalam kekinian. Penyelesaian sentuhan desain yang menggunakan bahan dan teknologi lokal berhasil diungkapkan oleh beberapa arsitek muda kita. Bahan lokal tersebut telah diolah menjadikan bagian desain arsitektur kontemporernya. Hal ini merupakan cerminan ketrampilan dan kecerdasan dalam memahami arsitektur nusantara (lokal-tradisional), sebagai bagian dari penyelesaian desainnya.

Namun perlu disimak, bahwa arsitektur nusantara (lokal-tradisional) menarik untuk dipelajari secara mendalam. Di dalam arsitektur nusantara terkandung ilmu dan teknologi serta bahan yang bisa bertahan sampai saat ini. Sesuatu yang terdapat dibalik itu perlu dilakukan kajian oleh para mahasiswa maupun akademisi agar apa yang yang terdapat dalam bangunan lokal-tradisional tersebut terungkap. Temuan-temuan hasil penelitian tersebut tentunya dapat disumbangkan untuk para praktisi arsitektur, sehingga hasil-hasil temuannya dapat digunakan menjadi bagian dari proses rancangannya. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan arsitektur telah berjalan dengan semestinya. Peradaban dan budaya berjalan berdampingan, arsitektur mengisi ruang dan waktu dari perjalanan tersebut. Dibalik fenomena menumbuhkan lokal-tradisional dalam arsitektur kontemporer terdapat fakta bahwa arsitektur itu menjadi wujud dasar lingkungan melalui proses perjalanan budaya masyarakatnya. Ide dasar dan konsep lokal-tradisional yang diambil arsitek menjadi bagian yang perlu untuk dilestarikan dalam konteks kontemporer atau modern. Melalui proses pembudayaan inilah solusi tersebut kemudian menjadi dasar para arsitek bahwa lokal-tradisional dapat berkelanjutan untuk diterapkan sebagai rancangan desainnya.

Karya-karya arsitektur perkotaan yang digali dari sumber-sumber lokal jika ditampilkan dalam ‘wajah atau wacana ke-Indonesiaan’ niscaya memiliki sumbangan yang sangat besar bagi terciptanya identitas baru bagi bangsa secara keseluruhan.

Penutup

(11)

kolonialisasi pemerintah Belanda di Indonesia, yang juga memberikan sumbangan arsitekturnya dengan dua aliran pada waktu itu. Kedua aliran tersebut juga memberikan pengalaman bagi para arsitek dan akademisi sebagai pembelajaran cara berarsitektur. Pandangan tersebut kemudian menjadi proses berkembangnya arsitektur di Indonesia, sementara arsitektur nusantara (lokal-tradisional) bertahan dengan alam dan waktu untuk mempertahankan dirinya. Saat inilah perjalanan arsitektur kontemporer di Indonesia mulai melakukan pendekatan-pendekatan dengan melihat arsitektur nusantara sebagai referensi untuk memecahkan persoalan desain arsitektur barunya. Solusi lokal-tradisional dengan melihat teknologi dan bahan dapat dipandang sebagai kearifan lokal yang dapat dibawa masuk keranah kontemporer atau modern. Sebagai praksis arsitektur seringkali cara membaca dan mengambil bagian dari arsitektur nusantara masih cenderung untuk meniru atau cenderung eklektik dalam penerapanya. Sebaiknya kita juga perlu belajar ke Timur untuk melihat perkembangan arsitektur di Cina, Korea, dan Jepang bagaimana peradaban dan tradisi arsitektur mereka yang lama masih bertahan, budaya tradisi masyarakat masih berjalan, dan arsitektur kontemporer mereka tumbuh seperti cendawan di kusim hujan bersanding dengan arsitektur tradisional mereka. Bahkan ada bentuk-bentuk arsitekturnya yang sangat kontras antara yang lama (tradisonal) dan yang modern (kontemporer).

Sumber Pustaka

Cvetkovich, A. & Kellner, D. [1997]. Artiulating The Global and The Local. Globalization and Cultural Studies. Boulder Col: Westview.

Handinoto. [1996]. Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya 1870-1940. Diterbitkan atas Kerja Sama Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Kristen Petra Surabaya dan Penerbit Andi. Yogyakarta: Andi Offset

Martana, S.P. [2006]. Problematika Penerapan Metode Field Research Untuk Penelitian Arsitektur Vernakular di Indonesia. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur 34 (1): 59-66.

Oliver, P. [1997]. Encyclopedia of Vernacular Architecture of the World. Oxford: Oxford Institute for Sustainable Development.

Pangarsa, G.W. [1993]. Hegemoni Kekuasaan Budaya dalam Arsitektur.

MAJALAH IAI. Jakarta: IAI.

Pangarsa, G.W. [2006]. Catatan Atas Inskripsi Sosial: Memahami Kearifan Lokal di Balik Fenomena Arsitektural. Jurnal TEKNIK XIII (2): 107-114. Papanek, V. [1995]. The Green Imperative. Ecology and Ethics in Design and

Architecture. London: Thames and Hudson.

Sumalyo, Y. [ 1995]. Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Tinnaluck, Y. [2004a]. Modern science and native knowledge: collaboration process that opens new perspective for PCST. Quark 32.

(12)

Wiranto [1999]. Arsitektur Vernakular Indonesia Perannya Dalam Pengembangan Jati Diri. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur 27 (2): 15-21.

Referensi

Dokumen terkait

Masukkan gula pasir, tepung terigu dan kocokan telur, aduk semua adonan sampai rata Tambahkan susu sedikit demi sedikit, aduk lagi hingga rata dan diamkan selama 60 menit..

Sesuai dengan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan yaitu, apa saja bentuk leksem berkonsep

Hal ini memberikan penjelasan bahwa pada Wajib Pajak Badan Madya, Tindakan Penegakan Hukum memberikan pengaruh yang paling kuat dan menjadi variabel yang penting dalam memelihara

kedalaman aliran tidak sama dengan nol dan kecepatan aliran tidak sama dengan nol maka debitnya dapat dihitung. Melakukan pengukuran debit pada vertikal paling tepi dengan

Saya lebih memilih olahraga berat yang melelahkan daripada olahraga ringan untuk menurunkan kadar gula Saya merasakontrol gula darah baik dilakukan secara rutin Pemeriksaan

Oleh karena itu, atas dasar permasalahan yang ada diatas, penulis merancang kampanye sosial tentang pengurangan penggunaan styrofoam sebagai media informasi bagi penduduk kota

Abstrak: Makalah ini berisi proses kreatif membuat Film Pendek yang ceritanya terinspirasi oleh Kotak Pertanyaan konsep pembelajaran Khas di Sekolah Dasar Mangunan

Adapun faktor yang mempengaruhi kegiatan tersebut adalah faktor psikologis, antara lain yaitu: motivasi, perhatian, pengamatan, tanggapan dan lain sebagainya; (b)