Pendahuluan
Sebagai Firman yang diwahyukan untuk memberikan petunjuk bagi setiap manusia, Alkitab pasti memberikan tuntunan pada kebenaran dan kebaikan. Tidak bisa disangkal, tuntunan itu dalam beberapa hal tidak dapat terilhat dengan jelas, karena Alkitab seolah
memberikan catatan yang bertolak belakang dengan nilai-nilai kemanusiaan pada saat ini. Tentu Alkitab tidak mengajarkan yang salah, yang dibutuhkan untuk membaca catatan-catatan seperti itu adalah pemahaman yang tepat.
Perang adalah salah satu bagian yang seringkali disalah-pahami. Alkitab, khususnya Perjanjian Lama, mencatat banyak perang. Bahkan dalam beberapa perperangan itu disebutkan bahwa Tuhanlah yang memberi perintah. Yang membuatnya lebih membingungkan adalah detil dari perintah itu yang dengan tegas bertentangan dengan peraturan perang pada saat ini yang melindungi anak-anak, wanita dan orang-orang tua. Kadang-kadang Tuhan memerintahkan supaya tidak ada satupun yang hidup. Ini tentu menimbulkan banyak pertanyaan: apa yang dimaksud dengan semua catatan itu? Mengapa Tuhan menyuruh Israel melakukannya? Sebagai orang Kristen, bagaimana pandangan tentang perang yang seharusnya dimiliki?
Jenis-Jenis Perang di Perjanjian Lama1
Langkah pertama untuk memecahkan masalah perang dalam Perjanjian Lama adalah dengan mengetahui jenis-jenis perang yang dicatat di Perjanjian Lama. Apa yang melatar-belakangi perang itu? Siapa yang terlibat dalam perang itu? Bagaimana perang itu diceritakan dalam Perjanjian Lama? Pertanyaan-pertanyaan itu akan membantu mengenali jenis-jenis perang yang terjadi di Perjanjian Lama.
Perang untuk Mempertahankan Diri atau Membebaskan Diri
Jenis perang yang pertama adalah perang untuk mempertahankan diri atau membebaskan diri. Jenis perang ini tercatat di kitab Hakim-Hakim. Yang membedakan adalah bahwa orang Israel tidak berjalan dari sebuah tempat ke tempat lain untuk menaklukkan. Melainkan, di tanah Kanaan, Israel mempertahankan dirinya. Perang seperti ini tidak terlalu menuntut penumpahan darah untuk korban. Perhatikan penjelasan Musa dalam Ulangan 10:9, “Dan apabila kamu maju berperang di negerimu melawan musuh yang menyesakkan kamu, kamu harus memberi tanda semboyan dengan nafiri, supaya kamu diingat di hadapan TUHAN, Allahmu, dan diselamatkan dari pada musuhmu.” Di ayat 9 ini, Musa hanya mengatakan supaya tanda peperangan
dibunyikan,2 dengan maksud supaya semua orang mengetahuinya dan kemudian terlibat dalam
peperangan itu dan mereka diselamatkan dari musuh mereka. Tentu keterlibatan Tuhan tidak dapat diabaikan di sini. Penekanan untuk perang ini adalah bahwa perang ini sama dengan
1 Adeboye dalam artikelnya mendaftarkan tiga jenis perang, namun menurut penulis, hanya dua jenis yang sesuai. Godwin Oriyomi Adeboye, Theology of Peace and War in the Old Testament and its Relevance in Solving Insecurity in Nigeria, American Journal of Biblical Theology, 2014: 15.
perang-perang yang terjadi antar bangsa yang ada pada saat itu di mana mereka mempertahankan diri.
Bahkan Adeboye3 mengatakan bahwa sebenarnya peperangan yang dilakukan oleh Yusua
yang tercatat di kitab Yosua termasuk perang ini, karena mereka perang itu terjadi di wilayah mereka. Namun sebenarnya tidak demikian. Perang yang dilakukan Yosua memang terjadi di tanah Kanaan, tetapi perang itu bersifat merebut tanah yang telah dijanjikan. Ketika Abraham atau bahkan Yakub tinggal di tempat itu, mereka bukanlah sebuah negara, mereka hanya
sekelompok pengembara yang belum dapat dikatakan memiliki tanah tersebut. Jadi perang yang dilakukan oleh Yosua bukanlah perang mempertahankan diri.
Perang Kudus
Istilah perang kud4us jika tidak dikaitkan dengan Perjanjian Lama, seseorang akan
langsung menghubungkannya dengan perang salib. Namun ini sangat berbeda. Perang kudus dalam Perjanjian Lama memiliki ciri-ciri seperti yang disebutkan dalam Ulangan 20:10-18. Perang tersebut diwarnai dengan seruan kepada YHWH, pemberian korban dan tindakan mengkhususkan pasukan yang akan maju berperang. Perang ini diinisiatifi oleh YHWH karena didalamnya terdapat motif herem.
Meskipun demikian perang kudus tidak membenarkan semua tindakan pembunuhan. Peperangan. Perang kudus didasarkan atas niat kudus Tuhan untuk menegakkan keadilan. Dalam perang penaklukan Kanaan, disebutkan bahwa pada saat perang itu terjadi kejahatan Kanaan telah mencapai puncak Jadi pada saat itu Kanaan layak dihukum. Dan dalam
kedaulatan Tuhan, Dia memakai Israel yang menerima janji untuk memasuki tanah perjanjian untuk menaklukkan Kanaan.
3Adeboye.
Douglas Stuart dengan tegas mengatakan bahwa sebuah perang dapat disebut perang kudus jika perang tersebut berhubungan dengan janji penerimaan tanah perjanjian. Pendapat ini benar, karena dengan membatasi hanya pada penggenapan janji, maka perang tersebut mengacu pada pertimbangan kudus dan maha sempurna dari Allah. Perang ini tidak akan dinodai oleh nafsu haus kekuasaan manusia atau balas dendam manusia.5
Lebih lanjut Stuart 6mengatakan bahwa raja atau Musa sekalipun tidak mampu
menginisiatifi perang ini. Hanya jika Tuhan yang menyuruh mereka maju, maka Tuhan akan maju. Perhatikan peristiwa yang dialami oleh Saul, dia tidak dapat memulai perang karena Samuel, nabi Tuhan, belum mempersembahkan korban. Dengan demikian umat Israel adalah alat untuk melaksanakan kehendak Tuhan menegakkan keadillanNya. Tuhan tidak menjalankan perang kudus hanya demi penggenapan janji, melainkan lebih dari itu, perang itu dipakai untuk menghukum dosa.
Kaitan antara Hubungan YHWH dan Israel dengan Perang
Langsung dapat dipahami dari penjelasan di atas bahwa Hubungan YHWH dengan Israel sangat terkait erat dengan perang yang diadakan. Tonggak pertama yang mendeklarasikan keterkaitan itu adalah nyanyian setelah Israel keluar dari Mesir. Tuhan disebut sebagai warrior
(ay. 3).7 Setelah itu berturut-turut beragam penjelasan tentang kepahlawananNya disebutkan
secara beruntun. Sejak saat itu, YHWH memerintahkan banyak perang untuk dijalani oleh Israel. Sejak saat itu pula Israel percaya bahwa YHWH yang membebaskan mereka akan selalu
5Douglas Stuart, What were the characteristics of holy war in the Old Testament, Biblical Training. n.d. https://www.biblicaltraining.org/blog/curious-christian/6-19-2012/what-were-characteristics-holy-war-old-testament (diakses pada 15 Maret 2014).
6Ibid.
bersama dengan mereka, meskipun kepercayaan itu harus dijaga dan ditanamkan berulang-ulang oleh Musa.
Pembebasan ini menandai dimulainya hubungan formal antara Israel dengan YHWH. Jika sebelumnya hubungan itu bersifat tidak bersyarat, namun kini hubungan itu bersyarat. Ada hukum yang harus ditaati oleh Israel. Ketaatan itu berfungsi sebagai bahasa tanggapan atas ucapan kasih dan perhatian Tuhan yang memakai Israel sebagai alat penggenapan janjiNya. Dan di dalam rangka penggenapan janji itu, Tuhan harus menghukum yang salah dan memberkati yang benar. Penghukuman kepada yang salah dapat terwujud dalam kekalahan perang dengan Israel.
Hubungan itupun bukanlah hubungan yang selalu dalam keadaan baik. Selalu sejak kejatuhan dalam dosa, hubungan itu harus diuji, dan beberapa kali Israel gagal. Akhan terbukti tidak taat dan mencuri barang jarahan. Anak-anak Eli membawa tabut Allah dan
memperlakukanNya seperti jimat yang tunduk kepada kehendak manusia. Saul yang tidak sabar menanti dan banyak yang lain menunjukkan bahwa seluruh kegagalan itu terjadi di pihak Israel sebagai umat. Ketiga ketidaktaatan itu menimbulkan kekalahan yang menyedihkan.
Salah satu tema yang menonjol dalam Perjanjian Lama adalah pembebasan atau
deliverance.8 Pembebasan itu telah ada sejak semula bahkan sebelum dosa masuk dalam dunia.
Shalom adalah bentuk pembebasan yang sempurna. Sebuah idealisme yang pada masa yang akan datang akan dipulihkan oleh Tuhan melalui perang. Eden melambangkan suasana ciptaan yang penuh dengan kebebasan. Tidak ada penjajahan, penindasan dan perang. Dengan demikian sebelum manusia jatuh dalam dosa motif pembebasan telah ada dan itu muncul dari sebuah hubungan antara sang Pencipta dan ciptaan.
8
Sampai akhir pembahasa sub bagian ini harus dipahami bahwa hubungan yang ada antara YHWH dan Israel itulah yang menyebabkan Israel berperang. Namun perang yang
dilakukannya bukan perang ekspansi memperluas wilayah, tetapi perang untuk menghancurkan mereka yang jahat dan pada saat yang sama untuk menggenapi janji pemberitan tanah perjanjian. Karena hanya dengan penggenapan janji-janji itulah pembebasan yang sebenarnya melalui Mesias akan dapat dilakukan.
Apa hasil dari hubungan itu? Bagaimana Israel mengenal Tuhan? Karakter apa yang ingin Tuhan nyatakan pada umatNya tentang diriNya? Tiga pertanyaan itu adalah pertanyaan yang wajar setelah mengamati adanya keterkaitan antara hubungan YHWH dengan Israel dengan perang, karena hubungan pasti menghasilkan sesuatu. Jawaban untuk pertanyaan pertama adalah Israel lebih mengenal Tuhan. Mereka mengerti apa yang Tuhan inginkan dan cara-cara untuk mencapai pemenuhan kehendak itu? Cara yang dipakai adalah dengan menguji ketaatan Israel: apakah mereka mengerjakan perintah itu atau tidak. Jawaban terhadap pertanyaan ketiga adalah yang paling penting. Melalui hubungan itu, Tuhan ingin menyatakan diriNya kepada Israel, bahkan juga kepada semua orang.
Tuhan Adalah Tuhan yang Kudus dan Adil
Pemahaman keesaan Tuhan ini adalah pemahaman yang aktif dan bukan pasif. Artinya, keesaan Tuhan dalam Perjanjian Lama dinyatakan dengan cara bertindak dan menegakkannya. Israel sama sekali tidak mengakui bahwa ada Tuhan yang lain. Mereka adalah penganut monoteisme dan bukan henoteisme. Yang membedakan keduanya adalah henoteisme mengacu pada kepercayaan terhadap satu Tuhan tetapi tetap mengakui keberadaan tuhan lain yang disembah oleh kelompok lain. Pengakuan ini terlihat dari sikap mereka yang membiarkan kelompok lain melakukan penyembahan itu. Tidak demikian dengan monoteisme, pengakuan adanya Tuhan yang esa membuat mereka secara aktif menegakkan dan mengabarkan Tuhan yang esa itu. Kekudusan Tuhan erat dengan keesaanNya. Melalui perang kudus, Tuhan ingin
membawa kembali semua manusia kepada diriNya, Allah yang benar.
Kekudusan Tuhan erat terkait dengan keadilan. Perang penegakan kekudusan itu
bukanlah perang yang didorong oleh egoisme dan fanatisme. Dalam kasus penghancuran Mesir, Tuhan telah memberikan kesempatan pada orang-orang Mesir dan kepada Firaun untuk bertobat. Tetapi mereka menolak. Selain itu, Tuhan tidak serta merta langsung menghukum setiap orang begitu mereka tidak menyembahNya. Tuhan menghukum Kanaan setelah kejahatan mereka mencapai puncaknya.
Pengakuan orang Gibeon itu jelas, “kami mendengar bahwa Tuhan Allahmu menyuruh Musa untuk menaklukkan tempat ini...kami takut...perlakukanlah kami seperti yang kau pandang baik...dan Yosua menjadikan mereka tukang belah kayu.” Gibeon akhirnya terhindar dari perang dan tujuan itu, keselamatan, tercapai.9
Belas Kasih Tuhan
Namun perlu diperhatikan bahwa peperangan ini sama sekali bukan untuk kepentingan Tuhan. Peperangan ini adalah karena belas kasih Tuhan kepada umat Manusia yang tidak dapat melepaskan diri dari dosa. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa aktivitas pembebasan telah terlihat sejak manusia belum jauh dalam dosa. Pada saat itu pembebasa itu berbentuk kedamaian sempurna. Namun ketika dosa telah masuk, maka pembebasan itu semakin terlihat. Tujuan semula Allah adalah membawa kedamaian yang sempurna itu kembali. Bukan demi
kenyamananNya, tetapi untuk kebaikan manusia, karena dosa hanya akan membinasakan manusia.
Herem
Kata herem sering digunakan dalam konteks pembunuhan masal. Kata ini sendiri dan semua turunannya mengacu pada penyerahan sesuatu kepada Tuhan. Perhatikan Imamat 27: 28-29 ini,
“Akan tetapi segala yang sudah dikhususkan oleh seseorang bagi Tuhan dari segala miliknya, baik manusia atau hewan maupun ladang miliknya, tidak boleh dijual dan tidak boleh ditebus, karena segala yang dikhususkannya adalah maha kudus bagi Tuhan.
Setiap orang yang dikhususkan, yang harus ditumpas diantara manusia tidak boleh ditebus, pastilah ia dihukum mati.”
Herem mengacu pada segala sesuatu yang dikhususkan. Konsep yang hampir sama dengan
herem dimiliki oleh bangsa lain di sekitar Israel. Ketika sebuah bangsa kalah perang, dan kekayaan bangsa itu, atau dewa sesembahan bangsa itu dirampas, maka benda-benda itu ditaruh dihadapan dewa mereka sebagai herem, yang dikhususkan. Namun, ini tidak berlaku bagi Israel, yang dikhususkan itu adalah Israel sendiri, sedangkan bangsa-bangsa Kanaan tidak. Bukan berarti Tuhan Allah Israel kejam. Perlu untuk tekankan sekali lagi di sini bahwa, pada saat itu kejahatan Kanaan sudah mencapai puncaknya. Dengan demikian status mereka dihadapan Tuhan sebagai bukan herem adalah tepat.
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa perang itu terkait erat dengan hubungan Israel dengan Tuhan, Tuhan yang telah berjanji, Tuhan akan memulihkan tatanan dunia yang hancur karena dosa. Perang itu bukan dimotivasi karena Israel ingin memperluas wilayahnya. Pertanyaan selanjutnya adalah, apa yang harus dilakukan sebagai orang Kristen dalam
hubungannya dengan perang?
Pertama harus dipahami bahwa Perjanjian Baru mengembangkan konsep yang berbeda namun berkesinambungan.10 Yesus dengan jelas menentang penggunaan kekerasan, bahkan
ketika muridNya membelaNya, Dia mencegah mereka. Rasul Paulus menambahkan pentingnya ketundukan kepada pemerintah dan memandang pemerintah sebagai sarana untuk mendatangkan kedamaian. Bukan berarti Yesus dan Paulus berbeda dengan Perjanjian Lama, keduanya melihat
Daftar Pustaka
Adeboye, Godwin Oriyomi. "Theology of Peace and War in the Old Testament and its Relevance in Solving Insecurity in Nigeria." American Journal of Biblical Theology, 2014: 15. Deijl, Aarnoud van der. Protest or Propaganda: War in the Old Testament Book of Kings and.
Leiden: Brill, 2008.
Hess, Richard S. "War in Hebrew Bible: An Overview." In War in the Bible and Terrorism in the Twenty-First Century, by Richard S.Hess. Warsaw, Indiana: Eisenbrauns, 2008.
Kidner, Derek. "Old Testament Perspective of War." Evangelical Quarterly, -: 113. M.D., Douglan Clark. Theology of Holiness. EBooks Directory, 1893.
Martens, Elmer A. God's Design: A Focus on Old Testament Theology. Texas: Bibal Press, 1994.
Merril, Eugene H. "A Case for Moderate Discontinuity." In Show Them No Mercy, by Stanley M. Gundry, 91. Grand Rapids: Michigan: Zondervan, 2003.