commit to user
PERBEDAAN AKTIVITAS FISIK PADA PASIEN ASMA TERKONTROL
SEBAGIAN DENGAN TIDAK TERKONTROL
DI RSUD DR. MOEWARDI
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana
Olivia Dwimaswasti
G.0009165
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
Surakarta
commit to user
vi PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena limpahan rahmat, hidayah, serta ridho-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Perbedaan Aktivitas Fisik pada Pasien Asma Terkontrol Sebagian dengan Tidak Terkontrol ”. Penelitian tugas karya akhir ini merupakan salah satu persyaratan dalam menyelesaikan Program Sarjana Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menyadari bahwa penelitian tugas karya akhir ini tidak akan berhasil tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan penuh rasa hormat ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya saya berikan kepada:
1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Muthmainah, dr., M. Kes selaku Ketua Tim Skripsi FK UNS.
3. Harsini, dr.,Sp. P sebagai Pembimbing Utama yang telah memberikan waktu, pengarahan, bimbingan, dan saran dalam penyusunan skripsi.
4. Isdaryanto, dr., PHK., MARS sebagai Pembimbing Pendamping yang telah memberikan waktu, pengarahan, bimbingan, dan saran dalam penyusunan skripsi.
5. Dr. Reviono, dr.,Sp. P (K) sebagai Penguji Utama yang telah berkenan menguji dan memberikan bimbingan, pengarahan, kritik, dan saran demi kesempurnaan penulisan skripsi.
6. Hadi Sudrajad, dr., Sp. THT-KL, MSi. Med sebagai Anggota Penguji yang telah berkenan menguji dan memberikan bimbingan, pengarahan, kritik, dan saran demi kesempurnaan penulisan skripsi. mendoakan tiada henti serta memberikan dukungan dalam segala hal sehingga terselesaikannya penelitian ini.
10. Sahabat-sahabat saya yang terdekat dan terbaik, Nurul, Asti, Nimas, Dhiandra, Dian, Atika, Imah, serta teman-teman seperjuangan angkatan 2009 atas semangat dan bantuan yang tak henti-henti dan waktu yang selalu tersedia.
11. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu proses penelitian tugas karya akhir ini yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Mudah-mudahan skripsi ini dapat memberikan manfaat sepenuhnya.
Surakarta, 23 Januari 2013
commit to user
iv ABSTRAK
Olivia Dwimaswasti, G0009165, 2013. Perbedaan Aktivitas Fisik pada Pasien Asma Terkontrol Sebagian dengan Tidak Terkontrol di RSUD Dr. Moewardi. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Latar Belakang: Asma dapat mengganggu pemenuhan kebutuhan dan terbukti menurunkan produktivitas serta kualitas hidup bagi penderitanya. Meskipun asma jarang menimbulkan kematian, penyakit ini sering menimbulkan masalah baik pada anak maupun dewasa. Asma dapat menyebabkan gangguan aktivitas sehari-hari dan gangguan emosi (cemas, depresi). Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivitas sehari-hari tetapi juga bersifat menetap dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan aktivitas fisik pada pasien asma terkontrol sebagian dengan tidak terkontrol di RSUD Dr. Moewardi.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Sebanyak 60 subjek penelitian yang dipilih dengan puposive sampling terdiri dari 30 pasien asma terkontrol sebagian dan 30 pasien asma tidak terkontrol yang memeriksakan diri di Poliklinik Paru RSUD Dr. Moewardi. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara langsung dan rekam medik pasien. Data hasil penelitian dianalisis menggunakan uji Chi-square dan uji regresi logistik serta diolah dengan Statistical Product and Service Solution (SPSS) 17.00 for Windows.
Hasil Penelitian: Pada asma terkontrol sebagian dengan aktivitas fisik rendah 11 orang (36,7%), aktivitas fisik sedang 10 orang (33,3%) dan aktivitas tinggi 9 orang (30%). Sedangkan pada asma tidak terkontrol dengan aktivitas rendah 24 orang (80%), aktivitas sedang 5 orang (16,7%) dan aktivitas tinggi 1 orang (3,3%). Perbedaan aktivitas fisik pada pasien asma terkontrol sebagian dan tidak terkontrol dengan aktivitas fisik rendah x2 = 12,895, p = 0,002; OR = 19,6 (CI 95% 2,20 s.d. 174,72; p = 0,008) dan perbedaan aktivitas fisik pada pasien asma terkontrol sebagian dan tidak terkontrol dengan aktivitas fisik sedang x2 = 12,895, p = 0,002; OR = 4,5 (CI 95% 0,44 s.d. 46,17; p = 0,205).
Simpulan Penelitian: Terdapat perbedaan aktivitas fisik pada pasien asma terkontrol sebagian dengan tidak terkontrol.
commit to user
v ABSTRACT
Olivia Dwimaswasti, G0009165, 2013. Differences of Physical Activity between Partly Controlled and Not Controlled Asthma Patient at RSUD Dr. Moewardi. Mini Thesis. Faculty of Medicine, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Background: Asthma can interfere with the fulfillment of the needs and proven to reduce the productivity and quality of life for the sufferer. Although asthma rarely cause death, disease often cause problems in both children and adults. Asthma can cause interference with daily activities and emotional disorders (anxiety, depression). Asthma can be mild and do not interfere with daily activities but also be persistent and interfere with daily activities. This study aimed to determine differences of physical activity between partly controlled and not controlled asthma patient at the RSUD Dr. Moewardi.
Methods: This analytic study was observational using cross sectional approach. A sample of 60 study subjects was selected by purposive sampling from outpatients who visited Pulmonology Clinics, RSUD Dr. Moewardi Surakarta. The data was collected by interview and some datas taken from the medical records. The data was analyzed using logistic regression model on SPSS 17.00 for windows.
Results : In partly controlled asthma with low physical activity 11 people (36.7%), moderate physical activity 10 people (33.3%) and high activity 9 people (30%). While in the not controlled asthma with low activity 24 people (80%), moderate activity 5 people (16.7%) and the high activity 1 person (3.3%). Differences in physical activity in asthma patients partly controlled and not controlled with low physical activity x2 = 12.895, p = 0.002; OR = 19.6 (95% CI 2.20 up to 174.72, p = 0.008) and the differences in physical activity in patients partly controlled asthma and not controlled with moderate physical activity x2 = 12.895, p = 0.002; OR = 4.5 (CI 95% 0.44 up to 46.17, p = 0.205).
Conclusion: There are differences of physical activity between partly controlled and not controlled asthma patient.
commit to user
b. Manfaat Aktivitas Fisik bagi Kesehatan ... 19
c. Sifat Aktivitas Fisik ... 19
commit to user
viii
e. Sistem Metabolisme yang Dihasilkan Selama Aktivitas Fisik.... 22
6. Global Physical Activity Questionnaire (GPAQ) ... 23
7. Hubungan Aktivitas Fisik dengan Asma ... 30
B. Kerangka Pemikiran ... 32
C. Hipotesis ... 33
BAB III. METODE PENELITIAN ... 34
A. Jenis Penelitian ... 34
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 34
C. Subjek Penelitian ... 34
D. Teknik Sampling... 35
E. Pengumpulan Data ... 35
F. Alur Penelitian... 36
G. Identifikasi Variabel ... 37
H. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 37
I. Alat dan Bahan Penelitian ... 40
J. Cara Kerja ... 40
K. Teknik Analisis Data ... 41
BAB IV. HASIL PENELITIAN ... 43
BAB V. PEMBAHASAN ... 48
BAB VI. PENUTUP ... 53
A. Simpulan ... 53
B. Saran ... 53
DAFTAR PUSTAKA ... 55
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini asma merupakan penyakit saluran napas kronis yang
penting dan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius di
berbagai negara di seluruh dunia dengan kekerapan yang bervariasi di setiap
negara dan cenderung meningkat di negara berkembang. Hal ini dipengaruhi
oleh gangguan saluran napas kronis ketika tidak terkontrol dan dapat
menempatkan batas parah pada kehidupan sehari-hari dan kadang-kadang
hingga fatal (GINA, 2011). Meskipun asma jarang menimbulkan kematian,
penyakit ini sering menimbulkan masalah baik pada anak maupun orang
dewasa. Asma dapat menyebabkan gangguan aktivitas sehari-hari dan
gangguan emosi (cemas, depresi). Asma dapat bersifat ringan dan tidak
mengganggu aktivitas sehari-hari tetapi dapat pula bersifat menetap dan
mengganggu aktivitas sehari-hari (Imelda dkk, 2007).
Asma dapat mengganggu pemenuhan kebutuhan dan terbukti
menurunkan produktivitas serta kualitas hidup bagi penderitanya (PDPI,
2006). Dalam sebuah studi ditemukan bahwa dari 3.207 kasus yang diteliti,
penderita yang mengaku mengalami keterbatasan dalam berekreasi atau
olahraga sebanyak 52,7%, mengalami batuk malam dalam sebulan terakhir
44-51%, keterbatasan dalam aktivitas fisik sebanyak 44,1%, keterbatasan
commit to user
sebanyak 37,9%, dan keterbatasan dalam cara hidup sebanyak 37,1%.
Bahkan, penderita yang mengaku mengalami keterbatasan dalam melakukan
pekerjaan rumah tangga sebanyak 32,6%, 28,3% mengaku terganggu tidurnya
minimal sekali dalam seminggu, dan 26,5% orang dewasa juga absen dari
pekerjaan. Selain itu, total biaya pengobatan untuk asma sangat tinggi dengan
pengeluaran terbesar untuk ruang emergensi dan perawatan di rumah sakit
(United States Environmental Protection Agency, 2004). Biaya pengobatan
untuk asma diperkirakan mencapai 850 poundsterling tiap tahunnya (Thomas,
2004).
Asma merupakan penyakit yang sangat dekat dengan masyarakat dan
mempunyai populasi yang terus meningkat. Menurut survey the Global
Initiative for Asthma (GINA) tahun 2004, ditemukan bahwa kasus asma di
seluruh dunia mencapai 300 juta jiwa dan diprediksi pada tahun 2025
penderita asma bertambah menjadi 400 juta jiwa. Data World Health
Organization (WHO) juga mengindikasikan hal yang serupa bahwa jumlah
penderita asma di dunia diduga terus bertambah sekitar 180 ribu orang per
tahun (Arif, 2009).
Adapun di Indonesia, penyakit asma merupakan sepuluh besar
penyebab kesakitan dan kematian. Selain mengganggu aktivitas, asma tidak
dapat disembuhkan. Bahkan, dapat menimbulkan kematian (WHO, 2010). Di
samping prevalensi yang meningkat, berbagai studi memperlihatkan bahwa
commit to user
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan RI
tahun 2004 memperlihatkan asma masih menempati urutan ke 3 dari 10
penyebab kematian utama di Indonesia dan prevalens penyakit asma
berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 4%, sedangkan berdasarkan
tanda dan gejala yang responden rasakan dalam satu tahun terakhir
prevalensinya lebih besar lagi yaitu 6% (Anfasha, 2010).
Penderita asma dianggap sebagai individu lemah yang perlu dilindungi
dan harus terlindungi, terutama dari aktivitas fisik dengan tenaga kuat, karena
penderita akan menyerah pada asma berat yang menyerangnya. Pada
anak-anak dicegah untuk bermain olahraga di sekolah dan pada orang dewasa
menjalani hidupnya dengan tidak aktif, sehingga terjadi perubahan dalam
kehidupannya (Worsnop, 2003).
Telah diketahui bahwa aktivitas fisik dapat menimbulkan serangan
asma. Berlari lebih bersifat asmagenik dibanding bersepeda dan baik berlari
maupun bersepeda jauh lebih bersifat asmagenik dibanding dengan berenang.
Lamanya latihan dengan berat tertentu, kira-kira 6-8 menit dapat
menimbulkan serangan asma dan beratnya serangan asma meningkat sesuai
dengan lama latihan (Muninggar dan Sardjimin, 2002).
Ford dkk menyatakan bahwa gaya hidup moderen, baik di tempat kerja
dan liburan, telah menyebabkan banyak penderita menjadi tidak aktif, dan
penderita asma tidak kebal terhadap gejala yang terjadi. Jika penderita asma
yang membatasi aktivitas fisik karena gejala asma, seperti sesak napas, batuk
commit to user
baik. Mempunyai riwayat penyakit asma seharusnya tidak menjadi
penghalang untuk berolahraga. Penderita asma masih dapat berolahraga dan
meningkatkan kebugarannya, dan keterbatasan dalam latihan fisik cenderung
menyebabkan terjadinya obstruksi aliran udara (Worsnop, 2003).
Global Initiative for Asthma (GINA) 2006 menetapkan tingkat kontrol
asma sebagai asma terkontrol total, sebagian, dan tidak terkontrol.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) 2004 merumuskan kriteria asma
kontrol bila tidak ada (minimal) gejala harian asma, tidak ada keterbatasan
aktivitas fisik, tidak ada gejala malam, tidak ada (minimal) kebutuhan obat
pelega, fungsi paru normal, dan tidak ada eksaserbasi.
Para peneliti mencari alat ukur yang dapat mewakili kontrol asma
secara keseluruhan (Sundaru, 2007). Saat ini terdapat sekitar lima alat ukur
kuesioner. Salah satunya Asthma Control Test (ACT). Jumlah skor dari tiap
pertanyaan menilai keadaan pasien terkontrol dan tidak terkontrol (Surjanto,
2008).
Pada penelitian ini alat ukur yang digunakan adalah Global Physical
Activity Questionnaire (GPAQ) dikembangkan oleh WHO untuk aktivitas
fisik pada penderita asma. Kuesioner ini mengumpulkan informasi tentang
aktivitas fisik yang dibagi dalam tiga pengaturan (atau domain) serta perilaku
menetap, yang terdiri dari 16 pertanyaan. Tiga pengaturan dalam kuesioner
tersebut adalah kegiatan di tempat kerja, perjalanan ke dan dari tempat dan
commit to user
Sepengetahuan penulis, penelitian mengenai perbedaan aktivitas fisik
pada pasien asma terkontrol sebagian dengan tidak terkontrol belum pernah
diteliti. Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis ingin melakukan
penelitian untuk mengetahui perbedaan aktivitas fisik pada pasien asma
terkontrol sebagian dengan tidak terkontrol.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan
masalah penelitian ini, yaitu apakah ada perbedaan aktivitas fisik pada pasien
terkontrol sebagian dan tidak terkontrol?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya
perbedaan aktivitas fisik pada pasien terkontrol sebagian dan tidak terkontrol
di RSUD Dr. Moewardi.
D. Manfaat Penelitian
1. Aspek Teoritis
Memberikan informasi ilmiah mengenai adanya perbedaan aktivitas
fisik pada pasien terkontrol sebagian dan tidak terkontrol guna
mengembangkan ilmu kedokteran.
2. Aspek Aplikatif
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendorong pihak klinis untuk
memperhatikan dan memberikan penatalaksanaan dalam menangani
masalah keterbatasan aktivitas pada pasien asma sehingga dapat
commit to user
6 BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Asma
a. Definisi
Istilah asma berasal dari kata Yunani yang artinya
“terengah-engah” dan berarti serangan napas pendek (Purnomo, 2008).
Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang
terdapat di seluruh dunia dengan gejala bervariasi yang berhubungan
dengan peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu
episode mengi berulang (wheezing), sesak napas (breathlessness),
dada rasa tertekan (chest tightness), dispnea, dan batuk (cough)
terutama pada malam atau dini hari. Gejala ini biasanya
berhubungan dengan penyempitan jalan nafas, biasanya bersifat
reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan (PDPI,
2006; GINA, 2009).
b. Etiologi
Penyebab mendasar dari asma tidak sepenuhnya dipahami.
Asma tidak bisa disembuhkan, tetapi pengelolaan yang tepat dapat
mengontrol gangguan dan memungkinkan orang untuk menikmati
commit to user
Faktor imunologi juga berpengaruh pada penderita asma,
terjadi setelah pemaparan terhadap faktor lingkungan seperti debu
rumah, tepung sari, dan ketombe. Faktor endokrin menyebabkan
asma lebih buruk dalam hubungannya dengan kehamilan dan
menstruasi atau pada saat wanita menopause, dan asma biasanya
membaik pada beberapa anak saat pubertas. Faktor psikologis emosi
dapat memicu gejala-gejala pada beberapa anak dan orang dewasa
yang menderita asma, tetapi emosional atau sifat-sifat perilaku yang
dijumpai pada anak asma lebih sering dari pada anak dengan
penyakit kronis lainnya (Purnomo, 2008; Sundaru dan Sukamto,
2007).
c. Patogenesis
Mekanisme utama timbulnya gejala asma diakibatkan
hiperreaktivitas bronkus, sehingga pengobatan utama asma adalah
untuk mengatasi bronkospasme (Warner, 2001).
Konsep terkini yaitu asma merupakan suatu proses inflamasi
kronik yang khas, melibatkan dinding saluran respiratorik,
menyebabkan terbatasnya aliran udara dan peningkatan reaktivitas
saluran napas. Gambaran khas adanya inflamasi saluran respiratorik
adalah aktivasi eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit T pada
mukosa dan lumen saluran respiratorik. Proses inflamasi ini terjadi
commit to user
Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen
pada awalnya menimbulkan fase sensitisasi. Akibatnya terbentuk
IgE spesifik oleh sel plasma. IgE melekat pada Fc reseptor pada
membran sel mast dan basofil. Bila ada rangsangan berikutnya dari
alergen serupa, akan timbul reaksi asma cepat (immediate asthma
reaction). Terjadi degranulasi sel mast, dilepaskan
mediator-mediator : histamin, leukotrien C4(LTC4), prostaglandin D2(PGD2),
tromboksan A2, tryptase. Mediator-mediator tersebut menimbulkan
spasme otot bronkus, hipersekresi kelenjar, oedema, peningkatan
permeabilitas kapiler, disusul dengan akumulasi sel eosinofil.
Gambaran klinis yang timbul adalah serangan asma akut. Keadaan
ini akan segera pulih kembali (serangan asma hilang) dengan
pengobatan (Elias et al, 2003; Lenfant dan Khaltae, 2002; UKK
Pulmonologi PP IDAI, 2004).
Setelah 6-8 jam maka terjadi proses selanjutnya , disebut
reaksi asma lambat (late asthma reaction). Akibat pengaruh sitokin
IL-3, IL-4, GM-CSF yang diproduksi oleh sel mast dan sel limfosit T
yang teraktivasi, akan mengaktifkan sel-sel radang : eosinofil,
basofil, monosit dan limfosit. Sedikitnya ada dua jenis T-helper (Th),
limfosit subtipe CD4+ telah dikenal profilnya dalam produksi sitokin.
Meskipun kedua jenis limfosit T mensekresi IL-3 dan
Granulocyte-Macrophage Colony-Stimulating Factor (GM – CSF), Th l terutama
commit to user
terutama memproduksi sitokin yang terlibat dalam asma, yaitu IL-4,
IL-5, IL-9, IL-13, dan IL-16. Sitokin yang dihasilkan oleh Th 2
bertanggung jawab atas terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe
lambat. Masing-masing sel radang mempunyai kemampuan
mengeluarkan mediator inflamasi. Eosinofil memproduksi LTC4,
Eosinophil Peroxidase (EPX), Eosinophil Cathion Protein (ECP)
dan Major Basic Protein (MBP). Mediator-mediator tersebut
merupakan mediator inflamasi yang menimbulkan kerusakan
jaringan. Sel basofil mensekresi histamin, LTC4, PGD2. Mediator
tersebut dapat menimbulkan bronkospasme. Sel makrofag
mensekresi IL8, Platelet Activating Factor (PAF), Regulated upon
Activation novel T cell Expression and presumably Secreted
(RANTES) .Semua mediator di atas merupakan mediator inflamasi
yang meningkatkan proses keradangan, mempertahankan proses
inflamasi. Mediator inflamasi tersebut akan membuat kepekaan
bronkus berlebihan, sehingga bronkus mudah konstriksi, kerusakan
epitel, penebalan membrana basalis dan terjadi peningkatan
permeabilitas bila ada rangsangan spesifik maupun non spesifik.
Secara klinis, gejala asma menjadi menetap, penderita akan lebih
peka terhadap rangsangan. Kerusakan jaringan akan menjadi
irreversible bila paparan berlangsung terus dan penatalaksanaan
kurang adekuat (Elias et al, 2003; Lenfant dan Khaltae, 2002; UKK
commit to user
Karakteristik asma berupa obstruktif jalan napas pada bronkus,
ada 4 faktor yang mendukungnya meliputi:
1) Kontraksi otot polos bronkus yang merupakan respon terhadap
alergen spesifik
2) Edema selaput lendir yang dapat disebabkan karena
bertambahnya permeabilitas pembuluh darah
3) Hipersekresi kelenjar mukus dan sel goblet dengan
penyumbatan bronkus oleh lendir yang kental.
4) Airway remodeling (Baratawidjaja, 2003).
“Airway remodeling” merupakan reaksi tubuh dalam
memperbaiki jaringan yang telah rusak akibat dari inflamasi
yang berjalan terus-menerus (Baratawidjaja, 2003). Inflamasi
yang terus-menerus akan mengakibatkan terjadinya perubahan
struktur pada jalan napas seperti hipertrofi otot polos,
pembentukan pembuluh darah baru, peningkatan sel-sel goblet
epitelial, fibrosis subepitelial, penebalan membrana basalis
(Boushey, 2000). Konsekuensi klinis airway remodeling
adalah peningkatan gejala dan tanda asma (PDPI, 2004), dan
biasanya terjadi pasa asma yang telah menjadi kronis
commit to user
Gambar 1.1 Patogenesis Asma
Sumber: GINA, 2002
d. Patofisiologi
Perubahan akibat inflamasi pada penderita asma merupakan
dasar kelainan faal yang terjadi pada pasien asma antara lain:
1) Obstruksi saluran napas
Penyempitan saluran napas akibat inflamasi saluran
pernapasan maupun peningkatan tonus otot polos bronkhioler
dan terjadi ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Penyempitan
saluran napas menyebabkan gejala batuk, rasa berat di dada,
mengi, dan hiperesponsivitas bronkus (Price dan Wilson, 2004).
2) Hiperesponsivitas saluran napas
Hipereaksi saluran napas akibat proses inflamasi yang
akan menyebabkan terjadinya penyempitan saluran napas
commit to user 3) Hipersekresi mukus
Gambaran makroskopis biopsi pasien asma adalah oklusi
bronkus dan bronkiolus oleh sumbatan mukus kental dan
lengket (Matra dan Kumar, 2007).
4) Eksaserbasi
Eksaserbasi merupakan gambaran umum pada asma.
Faktor penyebab eksaserbasi antara lain rangsangan
bronkokonstriksi (inciter) seperti latihan, udara dingin, dan
rangsangan inflamasi (inducer) seperti pajanan alergen,
sensitisasi zat, dan infeksi saluran napas (GINA, 2006).
5) Asma nokturnal
Biopsi transbronkus pada penderita asma menunjukkan
akumulasi eosinofil dan makrofag pada malam hari di alveolar
dan jaringan peribronkus (O’Byrne, 2001).
6) Analisis gas darah
Asma menyebabkan gangguan pertukaran gas (O’Byrne,
2001). Gangguan pertukaran gas ini akan bermanifestasi pada
hipoksemi yang dapat menyebabkan asidosis metabolik dan
konstriksi pembuluh darah paru (Sundaru dan Sukamto, 2007).
e. Faktor risiko
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2004) menyatakan
bahwa secara umum faktor risiko asma dibedakan menjadi 2
commit to user 1) Faktor penjamu :
a) Predisposisi genetik
b) Atopi : produksi Ig.E yang berlebihan dalam kontak
dengan alergen lingkungan.
c) Hiperesponsif jalan napas
d) Jenis kelamin
e) Ras/etnik
2) Faktor lingkungan
a) Alergen di dalam dan di luar ruangan
b) Polusi udara di dalam dan di luar ruangan, Asap rokok,
Sulfur dioksida
c) Infeksi pernapasan, Ekspresi emosi yang berlebihan,
Perubahan cuaca
d) Makanan, zat adiktif, obat-obatan tertentu (misalnya aspirin,
NSAID)
e) Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray
dan lain-lain)
f) Exercise induced asthma, penderita yang kambuh asmanya
ketika melakukan aktivitas fisik tertentu.
f. Diagnosis
Diagnosis asma didapatkan dari riwayat penyakit, pemeriksaan
commit to user 1) Riwayat penyakit
Riwayat penyakit dapat ditemukan berupa keluhan batuk,
sesak, mengi, atau rasa berat di dada. Gejala asma sering timbul
pada malam hari tetapi dapat juga muncul dalam waktu tak
menentu (Sundaru dan Sukamto, 2007).
2) Pemeriksaan fisik
Secara umum pasien yang sedang mengalami serangan
asma dapat dijumpai hal-hal sebagai berikut, sesuai derajat
serangan
a) Inspeksi : pasien terlihat gelisah, sesak nafas, dan
sianosis
b) Palpasi : biasanya tidak didapatkan kelainan, namun
pada serangan berat dapat terjadi pulsus
paradoksus
c) Perkusi : biasanya tidak didapatkan kelainan
d) Auskultasi: ekspirasi memanjang dan mengi.
3) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan dalam diagnosis
asma antara lain:
a) Pemeriksaan fungsi paru dengan alat spirometer
b) Pemeriksaan arus puncak ekspirasi dengan alat peak flow
rate meter
commit to user
d) Uji provokasi bronkus, untuk menilai ada atau tidaknya
hiperaktivitas bronkus
e) Uji alergi (tes tusuk kulit atau skin prick test) untuk menilai
ada atau tidaknya alergi
f) Foto toraks, pemeriksaan ini dilakukan untuk
menyingkirkan penyakit selain asma
(DepKes RI, 2008).
g. Penatalaksanaan asma
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah untuk
menghi-langkan dan mengendalikan gejala asma serta berupaya untuk
mempertahankan atau meningkatkan fungsi paru seoptimal mungkin
(Afriwardi, 2008), dan mempertahankan kualitas hidup agar pasien
asma dapat hidup normal tanpa hambatan aktivitas sehari-hari (asma
terkontrol) (Sundaru, 2007).
Pada prinsipnya penatalaksanaan asma diklasifikasikan
menjadi 2 golongan, yaitu:
1) Penatalaksanaan asma akut (Departemen Kesehatan RI, 2008).
Serangan akut adalah keadaan darurat dan membutuhkan
bantuan medis segera, penanganan harus cepat dan sebaiknya
dilakukan di rumah sakit/gawat darurat. Penilaian berat serangan
berdasarkan riwayat serangan, gejala, pemeriksaan fisik dan bila
memungkinkan pemeriksaan faal paru, agar dapat diberikan
commit to user
pemeriksaan faal paru dan laboratorium yang dapat
menyebabkan keterlambatan dalam pengobatan maupun
tindakan.
Serangan ringan, obat yang digunakan β2 agonis kerja
cepat yang sebaiknya dalam bentuk inhalasi. Pada keadaan
tertentu (seperti ada riwayat serangan berat) kortikosteroid oral
diberikan dalam 3-5 hari.
Serangan sedang, diberikan β2 agonis kerja cepat dan
kortikosteroid oral. Pada dewasa dapat ditambah ipratropium
bromida inhalasi, aminofilin IV. Bila perlu dapat diberikan
oksigen serta cairan IV.
Serangan berat, pasien harus dirawat dan diberi oksigen,
cairan IV, β2 agonis kerja cepat, ipratropium bromida inhalasi,
kortikosteroid IV, dan aminofilin IV. Pemberian bronkodilator
diutamakan dalam bentuk inhalasi menggunakan nebulizer.
2) Penatalaksanaan asma kronik
Pasien asma kronik diupayakan untuk dapat memahami
sistem penanganan asma secara mandiri, sehingga dapat
mengetahui kondisi kronik dan variasi keadaan asma. Anti
inflamasi merupakan pengobatan rutin yang bertujuan
mengontrol penyakit serta mencegah serangan dikenal sebagai
commit to user
untuk mengatasi eksaserbasi/serangan, dikenal pelega (Bernstein
JA, 2003; Broide D, 2008).
Sundaru (2007) menyatakan bahwa obat asma terdiri dari
obat pelega dan pengontrol. Obat pelega diberikan pada saat
serangan asma, sedangkan obat pengontrol ditujukan untuk
pencegahan serangan asma dan diberikan dalam jangka panjang
secara terus-menerus.
Tabel 1.1 Tingkatan Kontrol Asma menurut Global Initiative for Asthma
(GINA)
Karakteristik Terkontrol Terkontrol Sebagian
Tidak
Terkontrol
Gejala harian Tidak ada (dua
commit to user
Fungsi paru (PEF
atau FEV1) Normal
< 80% nilai prediksi
dalam beberapa hari
Eksaserbasi Tidak ada Satu/lebih per tahun
Satu dalam
beberapa
minggu
Sumber: GINA, 2006
2. Asthma Control Test (ACT)
Sampai saat ini terdapat 5 alat ukur berupa kuesioner dengan atau
tanpa pemeriksaan fungsi paru, tetapi yang lazim dipakai adalah tes
kontrol asma.
Kuesioner ini terdiri dari 5 pertanyaan, dikeluarkan oleh American
Lung Association dengan tujuan untuk memberi kemudahan kepada
dokter dan pasien dalam mengevaluasi asma pada penderita yang berusia
lebih dari 12 tahun dan menetapkan terapi pemeliharaannya (Nathan et
al., 2004). Pertanyaan tersebut mengenai gangguan aktivitas karena
asma, sesak napas, gangguan tidur terbangun malam hari karena gejala
asma, penggunaan obat pelega napas, penilaian pasien tentang seberapa
terkontrolnya penyakit asma (Yunus, 2005).
Interpretasi hasilnya adalah apabila jumlah skor/nilai ≤ 19 maka
asma dinyatakan tidak terkontrol, sedangkan apabila jumlah skor/nilai ≥
20 maka asma dinyatakan sudah terkontrol (ALA, 2004).
Kuesioner ini telah diteliti dan divalidasi sehingga dapat
digunakan secara luas untuk menilai dan memperbaiki kondisi asma
commit to user
3. Aktivitas Fisik
a. Definisi
Aktivitas fisik adalah pergerakkan anggota tubuh yang
menyebabkan pengeluaran tenaga yang sangat penting bagi
pemeliharaan kesehatan fisik dan mental, serta mempertahankan
kualitas hidup agar tetap sehat dan bugar sepanjang hari (Pusat
Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2006).
b. Manfaat aktivitas fisik bagi kesehatan
Melakukan aktivitas fisik secara teratur memiliki beberapa
keuntungan terhadap kesehatan antara lain :
1) Terhindar dari penyakit jantung, stroke, osteoporosis, kanker,
tekanan darah tinggi, kencing manis, dan lain-lain.
2) Berat badan terkendali.
3) Otot lebih lentur dan tulang lebih kuat.
4) Bentuk tubuh menjadi ideal dan proporsional.
5) Lebih percaya diri.
6) Lebih bertenaga dan bugar.
7) Secara keseluruhan keadaan kesehatan menjadi lebih baik
(Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI 2006)
c. Sifat aktivitas fisik
Sifat aktivitas fisik menurut Pusat Promosi Kesehatan
Departemen Kesehatan RI (2006), meliputi:
commit to user
Aktivitas fisik yang bersifat untuk ketahanan, dapat
membantu jantung, paru-paru, otot, dan sistem sirkulasi darah
tetap sehat dan membuat orang lebih bertenaga. Untuk
mendapatkan ketahanan maka aktivitas fisik yang dilakukan
selama 30 menit (4-7 hari perminggu).
Contoh beberapa kegiatan yang dipilih seperti: berjalan
kaki, lari ringan, berenang, senam, bermain tenis, berkebun dan
bekerja di taman.
2) Kelenturan (flexibility)
Aktivitas fisik yang bersifat kelenturan dapat membantu
pergerakan anggota tubuh yang lebih mudah, mempertahankan
tubuh tetap lemas (lentur) dan sendi dapat berfungsi dengan
baik. Untuk mendapatkan kelenturan maka aktivitas fisik
dilakukan selama 30 menit (4-7 hari perminggu).
Contoh beberapa kegiatan yang dapat dipilih seperti:
peregangan, mulai dengan perlahan-lahan tanpa kekuatan atau
sentakan, lakukan secara teratur dalam 10-30 detik, bisa mulai
dari tangan dan kaki.
Contoh kegiatan yang lain yaitu mencuci pakaian atau
mobil, mengepel lantai.
3) Kekuatan (strength)
Aktivitas fisik yang bersifat untuk kekuatan dapat
commit to user
diterima, tulang tetap kuat, dan mempertahankan bentuk tubuh
serta membantu meningkatkan pencegahan terhadap penyakit
seperti osteoporosis (keropos pada tulang). Untuk mendapatkan
kelenturan maka aktivitas fisik yang dilakukan selama 30 menit
(2-4 hari per minggu).
Contoh beberapa kegiatan yang dapat dipilih seperti: push
up, naik turun tangga, angkat berat/beban, membawa belanjaan,
mengikuti kelas senam terstruktur dan terukur (fitness).
d. Pengaruh aktivitas fisik pada fisiologi tubuh
1) Aktivitas fisik mempengaruhi (Soebiyanto, 2004):
a) Jaringan tubuh, oleh karena perubahan biokimiawi.
b) Organ, terutama yang terlibat dalam pengangkutan O2
dalam tubuh, yaitu jantung, paru, dan pembuluh darah.
c) Komposisi tubuh, tingkat kolesterol, trigliserida, tekanan
darah, dan suhu tubuh.
2) Perubahan Aerobik selama latihan (Steven dan Foss, 1989)
a) Terjadi peningkatan mioglobin yang berkorelasi positif
dengan durasi latihan.
b) Peningkatan proses oksidasi karbohidrat dalam bentuk
glikogen, dimana kemampuan memecah glikogen menjadi
lebih efisien. Faktor yang mempengaruhi efisiensi tersebut
adalah terjadinya peningkatan jumlah, ukuran, volume dan
commit to user
konsentrasi enzim yang terlibat dalam sistem transpor
elektron dan siklus krebs.
c) Perbaikan sistem oksidasi lemak. Pada olahragawan
katabolisme lemak lebih tinggi daripada katabolisme
karbohidrat, terutama pada kondisi latihan submaksimal
yang adekuat, karena terjadinya penurunan deplesi glikogen
serta penurunan akumulasi asam laktat. Aktivitas fisik
teratur dan berimbang dapat mengurangi kelelahan otot
akibat penurunan asam laktat melalui proses di atas.
3) Perubahan anaerobik selama latihan (Steven dan Foss, 1989)
a) Meningkatnya sistem fosfagen (ATP-PC), dimana terjadi
peningkatan kadar enzim kunci ATP-PC. Pada kondisi
normal, otot skelet hanya mengandung 25% ATP, akan
tetapi aktivitas fisik teratur dapat meningkatkan kadar
tersebut. Enzim tersebut berupa ATPase, enzim pemecah
ATP, dan enzim resintesa ATP yaitu Creatin Kinase (CPK),
dan Miokinase (MK).
b) Meningkatnya kapasitas glikolitik anaerobik, sehingga
terjadi peningkatan asam laktat.
e. Sistem metabolisme energi yang dihasilkan selama aktivitas fisik
Menurut Guyton dan Hall (1997) Ada 3 sistem energi yang
commit to user
1) Sistem Fosfagen (ATP-PC), dimana ATP dipecah menjadi ADP,
kemudian AMP. Sistem fosfagen ini bersifat mendadak dan
dapat terjadi dalam 10 detik, meskipun energi yang dihasilkan
sangat sedikit. Contoh kegiatan yang dilakukan adalah: sprint,
melompat. Sistem fosfagen juga dihasilkan dari gabungan hasil
metabolisme pemecahan fosfokreatin.
2) Sistem glikogen anaerob dan glikolisis anaerob menghasilkan
asam laktat sebagai produk akhir pemecahan asam piruvat.
Akumulasi asam laktat yang berlebihan akan menyebabkan
kelelahan. Sistem anaerob terjadi pada kegiatan intensif jangka
menengah, sekitar 1,3 – 1,6 menit, contohnya: lari 400 m.
3) Sistem Aerob, energi yang dihasilkan ini berasal dari pemecahan
asam piruvat melalui jalur glikolisis aerob, metabolisme
karbohidrat dan lemak. Energi yang dihasilkannya tidak
terbatas, terjadi pada latihan jangka panjang dengan intensitas
rendah.
4. Global Physical Activity Questionnaire (GPAQ)
World Health Organization (WHO) mengembangkan Global
Physical Activity Questionnaire (GPAQ) untuk pengawasan aktivitas
fisik di negara-negara terutama negara yang sedang berkembang. GPAQ
merupakan instrumen yang dirancang untuk menyediakan data valid
tentang pola aktivitas yang dapat digunakan untuk pengumpulan data
commit to user
adalah kuesioner valid dan reliabel, tetapi juga mudah beradaptasi
dengan perbedaan budaya di negara-negara berkembang (WHO, 2010).
GPAQ meliputi 4 area aktivitas fisik yaitu aktivitas fisik pada
hari-hari kerja, aktivitas fisik di luar pekerjaan dan olahraga, dalam
perjalanan ke suatu tempat, serta pekerjaan rumah tangga (Kristanti,
2002). Berikut ini adalah paparan cakupan pada 4 area dari aktivitas fisik
tersebut:
a. Aktivitas fisik pada hari-hari kerja
Kegiatan ini biasanya membutuhkan energi yang lebih banyak
daripada melakukan kegiatan dalam kehidupan sehari-hari.
b. Aktivitas fisik di luar pekerjaan dan olahraga
Waktu luang diartikan berbeda pada kebanyakan orang dan
sering diartikan sebagai tidak aktif atau tidak melakukan kegiatan,
maka lebih tepatnya disebut kegiatan di luar pekerjaan rutin.
c. Transportasi
Transportasi di sini diartikan kegiatan yang dilakukan selama
perjalanan ke suatu tempat, seperti bersepeda, berjalan kaki juga
membutuhkan banyak energi.
d. Pekerjaan rumah tangga dan merawat anak/orang tua
Aktivitas ini juga membutuhkan banyak energi. Biasanya
dijumpai pada ibu rumah tangga dan keluarga dari kondisi ekonomi
commit to user
Untuk perhitungan indikator kategori, digunakan kriteria GPAQ
WHO 2010 yaitu total waktu yang dihabiskan dalam melakukan aktivitas
fisik selama 1 minggu. Tiga tingkatan aktivitas fisik yang disarankan
untuk mengklasifikasikan populasi tinggi, sedang, dan rendah melalui
kriteria sebagai berikut:
1) Tinggi
a) Melakukan aktivitas yang berat minimal 3 hari dengan
intensitas minimal 1500 MET-menit/minggu atau
b) Melakukan kombinasi aktivitas fisik yang berat, sedang, dan
berjalan dalam 7 hari dengan intensitas minimal 3000
MET-menit/minggu.
2) Sedang
a) Intensitas aktivitas kuat minimal 20 menit/hari selama 3 hari
atau lebih, atau
b) Melakukan aktivitas sedang selama 5 hari atau lebih atau
berjalan paling sedikit 30 menit/hari, atau
c) Melakukan kombinasi aktivitas fisik yang berat, sedang, dan
berjalan dalam 5 hari atau lebih dengan intensitas minimal 600
MET-menit/minggu
3) Rendah
Orang yang tidak memenuhi salah satu dari semua kriteria
yang telah disebutkan dalam kategori tinggi maupun kategori
commit to user
Untuk menilai intensitas aktivitas fisik yang dilakukan, GPAQ
mengelompokkan intensitas menjadi 3 tingkatan menurut nilai METs
(menit), yaitu:
a) Intensitas Ringan : <3 Mets
b) Intensitas Sedang : 3-6 Mets
c) Intensitas Berat : >6 Mets
Tabel 1.2 Nilai MET (metabolic energy turnover)
RINGAN Mets
Duduk, pekerja kantor yang ringan, pertemuan
Berdiri, ringan (penjaga toko, penata rambut dll)
Mencuci piring (sambil berdiri)
Memasak (sambil berdiri)
menyetrika
bermain musik, umum
merawat anak
berbaring atau duduk diam (sambil menonton TV, mendengarkan musik)
mengemudikan kendaraan
mengendarai bus, kereta api
menemudikan sepeda motor
berjalan, perlahan (<3,2 km/jam)
Konstruksi umum di luar gedung
Tukang kayu, umum
5,5
commit to user Berdiri, sedang (pedagang, mengangkat barang yang ringan)
Membersihkan, umum (sambil berdiri)
menggosok lantai
lebih dari 1 pekerjaan rumah tangga
memperbaiki rumah, mereparasi kendaraan
mereparasi rumah, mengecat
mereparasi rumah, mencuci, dan memoles mobil
memotong rumput dengan mesin
memotong rumput dengan alat potong manual
memetik buah dari pohon
menanam tanaman
commit to user
bermain ski, cross-country, mendaki bukit
6,5
Tingkatan aktivitas fisik diklasifikasikan dengan ketentuan
penghitungan sebagai berikut:
commit to user
(a) (P2+P11) > 3 hari dan jumlah aktivitas fisik MET menit per
minggu > 1500 atau
(b) (P2 + P5 + P8 + P11 + P14) > 7 hari dan jumlah aktivitas fisik
MET menit per minggu > 3000
(2) Aktivitas fisik sedang.
(a) Jika aktivitas fisik tidak mencapai kriteria untuk aktivitas fisik
tinggi dan minimal satu dari kriteria sedang.
(b) (P2 + P11) > 3 hari dan ((P2 x P3) + (P11 x P12)) > 3 x 20
menit atau
(c) (P5 + P8 + P14) > 5 hari dan ((P5 x P6) + (P8 x P9) + (P14 x
P15)) > 150 menit atau
(d) (P2 + P5 + P8 + P11 + P14) > 5 hari dan jumlah aktivitas fisik
MET menit per minggu > 600.
(3) Aktivitas fisik rendah.
Jika aktivitas fisik tidak mencapai kriteria untuk aktivitas
fisik tinggi dan aktivitas fisik sedang.
Dimana jumlah aktivitas fisik MET menit per minggu = [(P2 x P3
x 8) + (P5 x P6 x 4) + (P8 x P9 x 4) + (P11 x P12 x 8) + (P14 x P15 x
4)]. P merupakan jawaban dari pertanyaan dalam kuesioner. P3, P6, P9,
commit to user
5. Hubungan Aktivitas fisik dan Asma
Aktivitas fisik merupakan salah satu yang sering memicu
terjadinya serangan asma. Sekitar 50-70% penderita asma melaporkan
pernah mengalami paling tidak satu kejadian EIA dalam hidupnya
(Mahler 1993; Virant 1997). Hal inilah yang kemudian menimbulkan
kecenderungan bagipenderita asma untuk mengurangi aktivitas fisiknya.
Di sisi lain, dewasa ini mulai bermunculan hasil-hasil penelitian yang
menyatakan bahwa program olahraga disebutkan dapat memperbaiki
gejala asma (Welsh et al, 2005).
Asma merupakan suatu kelainan yang ditandai dengan terjadinya
bronkospasme serta hipersekresi mukosa bronkus yang dapat dicetuskan
oleh kegiatan olahraga atau aktivitas fisik (Afriwardi, 2008).
Olahraga dan latihan fisik juga dapat menjadi iritan karena aliran
keluar masuk udara ke paru-paru dalam jumlah besar dan cepat. Udara
ini belum mendapat pelembaban, penghangatan, atau pembersihan dari
partikel debu yang adekuat sehingga dapat mencetuskan serangan asma
(Corwin EJ, 2009).
Serangan sesak nafas yang kadang menimbulkan mengi dan dada
terasa berat seringkali timbul saat melakukan latihan. Pada umumnya
sesak dan dada berat akan berkurang setelah latihan dihentikan.
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
dilakukan pada saat serangan yang terakhir serta adanya catatan medis
commit to user
faktor yang mencetuskan asma selama aktivitas fisik berat adalah
(1) besarnya aliran udara yang melalui saluran nafas, (2) terjadinya
perubahan biokimia darah akibat meningkatnya metabolisme dalam
tubuh sebagai akibat meningkatnya kebutuhan energi selama melakukan
latihan atau aktivitas fisik. Peningkatan aliran udara selama melakukan
latihan fisik yang merupakan kompensasi meningkatnya kebutuhan akan
oksigen selama latihan fisik, merupakan faktor eksogen yang
memberikan trauma langsung terhadap mukosa bronkus (Afriwardi,
commit to user
B. Kerangka Pemikiran
Keterangan:
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti
: Mempengaruhi
Edema saluran napas Hipersekresi mukus Airway remodeling
commit to user
C. Hipotesis
Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran di atas, maka
hipotesis dalam penelitian ini adalah: “Ada Perbedaan Aktivitas Fisik pada
Pasien Asma Terkontrol Sebagian dan Tidak Terkontrol di RSUD Dr.
commit to user
34 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini dilakukankan secara observasional analitik dengan
pendekatan cross sectional. Cross sectional merupakan suatu penelitian yang
mempelajari hubungan antara faktor risiko (independen) dengan faktor efek
(dependen), observasi atau pengukuran variabel sekali dan sekaligus pada
waktu yang sama (Riyanto, 2011).
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Poliklinik Paru RSUD Dr. Moewardi pada
bulan Mei - Juli 2012.
C. Subjek Penelitian
1. Populasi
Pasien asma yang memeriksakan diri di Poliklinik Paru RSUD Dr.
Moewardi pada bulan Mei - Juli 2012.
2. Sampel Penelitian
Pasien asma yang memeriksakan diri di Poliklinik Paru dan Pasien
Rawat Inap Penyakit Paru RSUD Dr. Moewardi pada bulan Mei - Juli
2012 yang masuk dalam kriteria inklusi dan tidak masuk dalam kriteria
commit to user 3. Kriteria Subyek Penelitian
a. Kriteria inklusi:
1) Populasi yang diteliti adalah pasien berumur 15 – 64 tahun.
2) Didiagnosis menderita asma oleh Dokter Ahli Paru dalam
berbagai derajat asma di RSUD Dr. Moewardi.
3) Bersedia mengikuti penelitian dan menandatangani informed
consent.
b. Kriteria Eksklusi:
1) Didiagnosis oleh dokter menderita Gagal Jantung, PPOK dan
Emboli Paru.
2) Pasien yang buta huruf dan tidak dapat membaca.
D. Teknik Sampling
Pengambilan sampel dilakukan secara non probability sampling yakni
purposive sampling dimana setiap yang memenuhi kriteria di atas
dimasukkan dalam penelitian sampai kurun waktu yang ditetapkan (Murti,
2006).
E. Pengumpulan Data
Data merupakan data primer yang diperoleh melalui wawancara dan
hasil dari pengisian kuesioner, selain itu juga menggunakan data sekunder
dengan melihat rekam medik pasien.
Penelitian ini akan diambil 60 sampel yang terdiri dari 30 sampel
kelompok yang diteliti dan 30 sampel kelompok kontrol. Hal ini sesuai
commit to user
datanya akan dianalisis secara statistik dengan analisis bivariat membutuhkan
sampel minimal 30 subyek penelitian (Murti, 2006).
F. Alur Penelitian
Keterangan :
ACT : Asthma Control Test
GPAQ : Global Physical Activity Questionnaire
Pasien Asma di RSUD Dr. Moewardi
Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi
Mengisi kuesioner ACT
Asma Terkontrol Sebagian Asma tidak Terkontrol
Mengisi Kuesioner GPAQ
Analisis Data
Mengisi Kuesioner GPAQ
commit to user
G. Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas : Asma terkontrol sebagian dan tidak terkontrol.
2. Variabel Terikat : Aktivitas fisik.
3. Variabel Luar
a. Variabel terkendali : umur penderita, penyakit dengan
diagnosis banding asma (Gagal jantung, PPOK, Emboli paru).
b. Variabel Tidak terkendali : perubahan cuaca, alergen, serta
subjektifitas pasien dalam menjawab kuesioner.
H. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Asma terkontrol sebagian dan asma tidak terkontrol
a. Definisi : asma terkontrol sebagian adalah gejala harian
timbul lebih dari dua kali dalam seminggu, ada
keterbatasan aktivitas, terdapat gejala nokturnal,
fungsi paru ≤ 80% dan eksaserbasi terjadi dalam
satu/lebih pertahun, sedangkan kategori asma tidak
terkontrol adalah gejala harian, keterbatasan
aktivitas dan gejala nokturnal dapat timbul
sewaktu-waktu dalam seminggu, serta eksaserbasi
dapat terjadi sekali dalam beberapa minggu
(GINA, 2006).
b. Sumber data : Data primer pasien.
commit to user
d. Skala pengukuran : Nominal dikotomik, mengkatagorikan menjadi
asma terkontrol dan terkontrol sebagian.
2. Aktivitas fisik
a. Definisi : Pergerakkan anggota tubuh yang menyebabkan
pengeluaran tenaga yang sangat penting bagi
pemeliharaan kesehatan fisik dan mental, serta
mempertahankan kualitas hidup agar tetap sehat
dan bugar sepanjang hari (Pusat Promosi
Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2006).
b. Sumber data : Data primer pasien.
c. Alat ukur : Kuesioner GPAQ.
d. Skala pengukuran : Ordinal, mengkategorikan aktivitas fisik tinggi,
sedang, dan rendah.
3. Jenis kelamin
a. Definisi : Jenis kelamin sampel dibedakan menjadi
laki-laki dan perempuan.
b. Alat ukur : Wawancara.
c. Skala pengukuran : Nominal.
4. Umur
a. Definisi : Umur sampel adalah selisih hari kelahiran dengan
ulang tahun terakhir saat penelitian berlangsung
commit to user b. Alat ukur : Wawancara.
c. Skala pengukuran : Rasio.
5. Ras
a. Definis : Ras sampel penelitian adalah WNI keturunan
asli Indonesia.
b. Alat ukur : Wawancara.
c. Skala pengukuran : Nominal.
6. Penyakit dengan diagnosis banding asma
a. Definisi :
1) Gagal jantung adalah sindroma klinis ditandai oleh sesak napas
dan fatigue (saat istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan
kelainan struktur dan fungsi jantung (Panggabean, 2009).
2) Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit
ditandai dengan adanya hambatan aliran udara yang tidak
sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara bersifat progesif
disertai respon inflamasi abnormal paru terhadap partikel atau
gas beracun (Hood, 2004).
3) Emboli paru merupakan kejadian obstruksi sebagian atau total
sirkulasi arteri pulmonalis atau cabang-cabang akibat
tersangkutnya emboli trombus atau emboli yang lain
(Rahmatullah, 2009).
b. Alat ukur : Wawancara dan rekam medik.
commit to user
7. Gangguan medis lain yang menimbulkan gangguan aktivitas fisik
a. Definisi : gangguan aktivitas fisik yang terjadi karena
akibat dari gangguan medis umum seperti
hipertensi, gagal jantung, gagal ginjal, diabetes
melitus, osteoarthritis, stroke.
b. Alat ukur : Wawancara.
c. Skala pengukuran : Nominal.
I. Alat dan Bahan Penelitian
1. Informed Consent.
2. Kuesioner ACT dan Kuesioner GPAQ.
3. Rekam medik pasien.
J. Cara Kerja
1. Melakukan wawancara dengan pasien yang telah didiagnosis asma,
meliputi:
a. Wawancara mengenai data diri pasien (nama, umur, jenis,
kelamin, pendidikan terakhir, pekerjaan dan alamat).
b. Menjelaskan maksud, tujuan, prosedur penelitian kepada pasien
dan mendapat persetujuan keikutsertaan dalam penelitian dengan
penandatanganan informed consent.
c. Pengisian kuesioner Asthma Control Test (ACT).
d. Pengisian kuesioner Global Physical Activity Questionnaire
(GPAQ).
commit to user 2. Cara mengisi kuesioner ACT dan GPAQ
a. Memberikan penjelasan pada pasien.
b. Mempersilahkan pasien bertanya bila menemui kesulitan dalam
mengisi kuesioner.
c. Jika pasien tidak dapat mengisi kuesioner sendiri, maka peneliti
dapat melakukan wawancara terhadap pasien.
3. Menghitung skor total ACT dan mengelompokkan dengan cara:
a. Setiap soal masing-masing pilihan jawaban mempunyai skor 1-5.
b. Skor tiap soal tergantung dari jawaban pasien.
c. Skor tiap soal dijumlahkan dan didapatkan skor total yang
kemudian dikategorikan menjadi asma terkontrol sebagian jika
skor total 20-24 dan asma tidak terkontrol jika skor total ≤ 20
(GINA, 2006).
4. Menghitung skor total GPAQ
5. Menilai perbedaan aktivitas fisik menurut GPAQ pada pasien asma
terkontrol sebagian dan tidak terkontrol menurut ACT.
K. Teknik Analisis Data
Data penelitian dianalisis menggunakan program Statistical Package
for Social Sciences (SPSS) 17.0 for Windows. Analisis data statistik yang
digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis bivariat uji Chi-Square.
Variabel bebas dan variabel terikat akan dianalisis secara bivariat
menggunakan uji Chi-Square untuk mengamati apakah hubungan yang
commit to user
peluang terlalu besar sehingga keterkaitan yang teramati tidak bermakna.
Data diolah menggunakan uji Chi-Square dengan taraf signifikansi (α) 0,05.
Hubungan antara kedua variabel dikatakan bermakna apabila faktor peluang
atau nilai p kurang dari 5% (p < 0,05). Untuk mengetahui seberapa kuat
hubungan antara aktivitas fisik dengan kontrol asma pada pasien asma
bronkiale maka dilakukan penghitungan dengan Odds Ratio. Penghitungan
nilai Odds Ratio menggunakan uji Regresi Logistik karena pada uji
Chi-Square hanya dapat mengolah data dengan tabel 2x2, sedangkan dalam
penelitian ini menggunakan tabel 3x2. Dengan uji Regresi Logistik
commit to user
43 BAB IV
HASIL PENELITIAN
Penelitian mengenai Perbedaan Aktivitas Fisik pada Pasien Asma
Terkontrol Sebagian dan Tidak Terkontrol telah dilaksanakan pada bulan Mei -
Juli 2012 di Poliklinik Paru RSUD Dr. Moewardi. Sampel berjumlah 60 terdiri
dari 30 sampel pasien asma terkontrol sebagian dan 30 sampel pasien asma tidak
terkontrol. Berikut disampaikan hasil penelitian yang disajikan dalam bentuk tabel
dan grafik.
A. Karakteristik Sampel Penelitian
Tabel 4.1 Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin
No. Jenis Kelamin Jumlah %
1. Perempuan 37 62
2. Laki-laki 23 38
60 100
Gambar 4.1 Persentase Sampel Menurut Jenis Kelamin 38%
62%
laki-laki
commit to user
Tabel 4.1 dan gambar 4.1 menunjukkan selama penelitian, penderita asma
yang memeriksakan diri di RSUD Dr. Moewardi paling banyak berjenis kelamin
perempuan yakni berjumlah 37 orang (62%).
Tabel 4.2 Distribusi Sampel Berdasarkan Umur
No Kelompok Umur Frekuensi %
1 <20 tahun 2 3,3
2 21-30 tahun 5 8,3
3 31-40 tahun 9 15
4 41-50 tahun 24 40
5 51-60 tahun 14 23.3
6 >61 tahun 6 10
Jumlah 60 100
Gambar 4.2 Persentase Sampel Menurut Kelompok Umur
Dari tabel 4.2 dan gambar 4.2 didapatkan penderita asma pada kelompok
umur 41-50 tahun menempati persentase terbanyak yaitu 24 orang (40%). 3%
8%
15%
40% 24%
10% <20 tahun
21-30 tahun
31-40 tahun
41-50 tahun
51-60 tahun
commit to user
Tabel 4.3 Distribusi Sampel Berdasarkan Pekerjaan
No. Pekerjaan Jumlah %
Gambar 4.3 Persentase Sampel Menurut Pekerjaan
Dari Tabel 4.4 dan Gambar 4.4 didapatkan persentase pekerjaan sampel
terbanyak adalah swasta 25 orang (41,67%), sedangkan persentase pekerjaan
sampel terkecil adalah pensiunan sebanyak 1 orang (1,67%).
B. Analisis Statistika
Data dalam penelitian ini dianalisis dengan uji Chi-Square, dengan uji
ini dapat diketahui apakah hubungan yang teramati hubungan antara variabel
commit to user
uji Chi-Square didapat, maka dapat dilihat niali signifikansinya. Hubungan
signifikan jika p < 0,05.
Tabel 4.4 Analisis Bivariat tentang Aktivitas Fisik antara Pasien Asma
Terkontrol Sebagian dengan Tidak Terkontrol
Variabel
Dari tabel 4.4 dapat diketahui bahwa pada kelompok asma terkontrol
sebagian sampel dengan aktivitas fisik rendah sebanyak 11 orang (36,7%),
aktivitas fisik sedang sebanyak 10 orang (33,3%) dan aktivitas tinggi
sebanyak 9 orang (30%). Sedangkan pada kelompok asma tidak terkontrol
sampel dengan aktivitas rendah sebanyak 24 orang (80%), aktivitas sedang
sebanyak 5 orang (16,7%) dan aktivitas tinggi 1 orang (3,3%).
Tabel 4.5 Analisi Data dengan Menggunakan Uji Chi Square
Value df Asymp.Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 12.895a 2 .002
Likehood Ratio 14.006 2 .001
N of Valid
Cases
60
Dengan analisis bivariat menggunakan uji Chi Square (Tabel 4.5) dapat
commit to user
signifikan antara kontrol asma dengan aktivitas fisik. Akan tetapi, tidak dapat
memperoleh nilai Odd Ratio (OR) karena tabel yang diperoleh adalah 3x2.
Sehingga data penelitian dianalisis menggunakan uji Regresi Logistik untuk
mengetahui nilai OR dengan program SPSS 17.00 for Windows. Kelompok
aktivitas fisik rendah digunakan sebagai pembanding dalam mencari nilai OR.
Dengan menggunakan uji Regresi Logistik dapat diketahui apakah
perbedaan perbedaan yang teramati pada masing-masing variabel bermakna atau
tidak bermakna.
Tabel 4.6 Analisis Data dengan Uji Regresi Logistik
B S.E Wald Df Sig. Exp(B) 95% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Aktivitas 10.321 2 .006
Aktivitas
(1)
2.977 1.115 7.128 1 .008 19.636 2.207 174.714
Aktivitas
(2)
1.504 1.188 1.603 1 .205 4.500 .439 46.170
Constant -2.197 1.054 4.345 1 .037 .111
Dari tabel 4.6 dapat diketahui bahwa Aktivitas (1) adalah perbandingan
antara aktivitas fisik rendah dengan tinggi. Nilai p adalah sebesar 0,008. Nilai
OR adalah sebesar 19,62 dengan interval kepercayaan 95% antara 2,2 sampai
dengan 174,7. Sedangkan aktivitas (2) adalah perbandingan antara aktivitas
sedang dengan tinggi. Nilai p adalah sebesar 0,205. Nilai OR adalah sebesar
commit to user
48 BAB V
PEMBAHASAN
Penelitian yang berjudul “Perbedaan Aktivitas Fisik pada Pasien Asma
Terkontrol Sebagian dengan Tidak Terkontrol” dilakukan sejak bulan Mei - Juli
2012 di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dan didapatkan 60 sampel yang terdiri
dari 30 pasien asma terkontrol sebagian dan 30 pasien asma tidak terkontrol.
Distribusi subyek penelitian berdasarkan jenis kelamin (Tabel 4.1)
didapatkan hasil bahwa penderita asma yang terbanyak adalah wanita, berjumlah
37 orang (62%) dibandingkan dengan laki-laki yang berjumlah 23 orang (38%).
Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa pada orang dewasa dengan
asma mayoritas penderitanya adalah wanita (Sundaru dan Sukamto, 2007). Hal ini
dikarenakan jenis kelamin merupakan faktor predisposisi asma. Perempuan lebih
rentan terhadap stres dan faktor hormonal (menstruasi, premenstruasi, kehamilan)
yang menjadi faktor pencetus terjadinya asma (Surjanto, 2001).
Berdasarkan Tabel 4.2 dapat diketahui bahwa pada penelitian ini, penderita
asma paling banyak didapatkan pada kelompok umur 41-50, berjumlah 24 orang
(40%). Penelitian yang dilakukan Center for Disease Control (CDC) tahun 1998
di Amerika Serikat juga menunjukkan bahwa penderita asma dewasa paling sering
ditemukan pada usia 45-47 tahun.
Faktor pekerjaan merupakan salah satu faktor risiko pencetus asma (Karjadi,
2003). Prevalensi di masyarakat umum tidak diketahui secara pasti, tetapi di
commit to user
erat dengan faktor lingkungan kerja (Yeung dan Malo, 1995). Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa persentase pekerjaan terbanyak adalah swasta 43% atau 25
orang (Tabel 4.3). Pekerjaan yang dikategorikan swasta sebagian besar adalah
buruh bangunan dan pabrik yang lingkungan kerjanya banyak terdapat agen
pencetus asma seperti debu, uap, gas, iritan, dan bahan kimia.
Manfaat kontrol asma telah dilaporkan oleh banyak peneliti. Vollmer dkk
(1999) melakukan penelitian pada 5181 pasien asma dewasa, untuk mencari
hubungan kontrol asma dengan pemakaian fasilitas kesehatan dan kualitas hidup.
Hasilnya menunjukkan makin buruk kontrol asma, makin sering kunjungan ke
dokter, ke gawat darurat rumah sakit atau perawatan inap. Demikian
pula semakin buruk kontrol asma, maka semakin rendah pula kualitas hidup
pasien. Penelitian ini dianalisis lebih lanjut dan hasilnya menyatakan bahwa
indeks kontrol asma berkontribusi secara bermakna dalam memprediksi
pemakaian fasilitas kesehatan akut.
Pasien yang mengalami gangguan saluran napas kronis ketika tidak
terkontrol dapat menempatkan batas parah pada kehidupan sehari-hari dan
kadang-kadang hingga fatal (GINA, 2011). Meskipun asma jarang menimbulkan
kematian, penyakit ini sering menimbulkan masalah baik pada anak maupun
dewasa. Asma dapat menyebabkan gangguan aktivitas sehari-hari dan gangguan
emosi (cemas, depresi). Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu
aktivitas sehari-hari tetapi dapat pula bersifat menetap dan mengganggu aktivitas
commit to user
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan aktivitas fisik pada
pasien asma terkontrol sebagian dengan tidak terkontrol. Tabel 4.4
menggambarkan distribusi subjek penelitian berdasarkan aktivitas fisik. Pada
kelompok asma terkontrol sebagian sampel dengan aktivitas fisik rendah
sebanyak 11 orang (36,7%), aktivitas fisik sedang sebanyak 10 orang (33,3%) dan
aktivitas tinggi sebanyak 9 orang (30%). Sedangkan pada kelompok asma tidak
terkontrol sampel dengan aktivitas rendah sebanyak 24 orang (80%), aktivitas
sedang sebanyak 5 orang (16,7%) dan aktivitas tinggi 1 orang (3,3%). Sebagian
besar pasien yang tidak terkontrol asmanya mengalami berbagai gejala klinis
seperti gejala harian atau serangan asma, gangguan tidur, frekuensi penggunaan
obat spray atau pelega yang cukup tinggi, penurunan fungsi paru dan eksaserbasi
(GINA, 2010). Rabe dkk (2000) menyatakan bahwa gejala klinis tersebut
menyebabkan penurunan aktivitas fisik sehari-hari, sehingga pada beberapa
pekerjaan penderita membutuhkan bantuan orang lain untuk melakukannya.
Dari tabel 4.5 menunjukkan hubungan yang signifikan antara hubungan
aktivitas fisik dengan kontrol asma yaitu p = 0,002 (p < 0,05). Namun dengan uji
Chi Square tidak didapatkan nilai Odd Ratio (OR) karena data penelitian lebih
dari dua kategori dan diperoleh tabel 3x2 sehingga untuk mencari nilai OR
menggunakan uji Regresi Logistik.
Dari data pada tabel 4.6 dapat mengetahui seberapa besar risiko asma tidak
terkontrol tiap kategori aktivitas fisik yang terdiri dari dua OR (OR1 dan OR2).
Nilai OR1 yaitu aktivitas fisik rendah dibanding tinggi sebesar 19,64 kali, artinya
commit to user
dibandingkan dengan aktivitas tinggi (OR = 19,64; CI 95% 2,20 s.d. 174,72; p =
0,008). nilai OR2 yaitu aktivitas fisik sedang dibanding tinggi sebesar 4,50 kali,
artinya pasien asma akan mengalami penurunan aktivitas menjadi sedang 4,50
kali dibandingkan dengan aktivitas tinggi (OR = 4,50; CI 95% 0,44 s.d. 46,17; p =
0,205). pada pasien asma terkontrol sebagian jarang mengalami penurunan
aktivitas fisik yaitu rendah dibandingkan asma tidak terkontrol yang cenderung
mengalami penurunan aktifivitas fisik.
Asma dapat menyebabkan terganggunya pemenuhan kebutuhan dan terbukti
menurunkan produktivitas serta kualitas hidup penderitanya (PDPI, 2006). Hasil
penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh United States
Environmental Protection Agency dan Thomas (2004) yang menyimpulkan bahwa
dari 3.207 kasus yang diteliti, penderita yang mengaku mengalami keterbatasan
dalam berekreasi atau olahraga sebanyak 52,7%, mengalami batuk malam dalam
sebulan terakhir 44-51%, keterbatasan dalam aktivitas fisik sebanyak 44,1%,
keterbatasan dalam aktivitas sosial sebanyak 38%, keterbatasan dalam memilih
karier sebanyak 37,9%, dan keterbatasan dalam cara hidup sebanyak 37,1%.
Bahkan, penderita yang mengaku mengalami keterbatasan dalam melakukan
pekerjaan rumah tangga sebanyak 32,6%, 28,3% mengaku terganggu tidurnya
minimal sekali dalam seminggu, dan 26,5% orang dewasa juga absen dari
pekerjaan. Selain itu, total biaya pengobatan untuk asma sangat tinggi dengan
pengeluaran terbesar untuk ruang emergensi dan perawatan di rumah sakit.
Proses pengambilan data dilakukan dengan wawancara langsung, pengisian
commit to user
dari penelitian ini adalah faktor subyektivitas pasien dalam menjawab pertanyaan