• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah tentang sosiologi komunikasi sederhan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Makalah tentang sosiologi komunikasi sederhan "

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Makalah ini akan membahas bagaimana suatu media memberitakan kasus kekersaan yang terjadi terhadap perempuan. Hal ini perlu di bahas karena kode etik jurnalistik yang telah ada tidak diterapkan media dalam memberitakan kekerasaan terhadap perempuan. Tidak sedikit media yang masih saja melanggar kode etik jurnalistik. Akhirnya banyak perempuan dirugikan. Perempuan yang seharusnya dilindungi dari tindak kekerasaan malah dieksploitasi oleh media.

Pemberitaan media mengenai kekerasaan terhadap perempuan tak jarang hanya untuk meningkatkan eksistensi instansi media tersebut. Biasanya media menggunakan kata- kata yang tak pantas yang malah membuat malu perempuan korban kekerasaan.

Dikutip dari website Aliansi Jurnalis Independen (AJI), ada sebuah media yang menuliskan judul “Mahasiswa UIN digilir 6 pria lalu dibunuh”. Dalam artikel tersebut menceritakan bahwa korban diperkosa dulu baru dibunuh. Kata “digilir” memiliki makna lain seperti piala bergilir, berarti korban disamakan dengan piala bergiril yang pantas untuk diperkosa. Hal tersebut dilakukan media yang bersangkutan tidak lain untuk tujuan membuat pembaca tertarik. Apabila judul sudah menarik pasti akan menambah minat pembaca untuk membaca artikel lebih dalam. Tetapi seorang jurnalis juga harus memperhatikan kode etik jurnalistik, dengan tidak membuat pihak lain dirugikan.

(2)

mengunakan kalimat tak pantas sehingga korban pun kekerasaan semakin terpojokan.

Untuk itu masyarakat awan juga harus bisa mengatahui kata mana yang pantas dan tidak pantas untuk digunakan media dalam pemberitaannya. Masyarakat diajak untuk lebih kristis mengenai berita yang mereka baca, khususnya di media online. Media online memiliki keharusan untuk membuat suatu judul artikel semenarik mungkin agar pembaca pun tertarik untuk membaca artikelnya secara menyeluruh. Sehingga tidak sedikit media online membuat judul artikel semenarik mungkin, walaupun kadang tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik.

Apabila masyarakat sudah bisa kritis kepada berita yang ada dimedia, maka masyarakat tidak akan mudah percaya dengan media. Masayarakat tidak mudah masuk dalam agenda setting media. Media secara sadar atau tidak sadar juga membuat konstruksi sosial.

1.2 Rumusan Masalah

Setelah menentukan latar belakang dari makalah ini, maka rumusan masalahnya adalah:

1.2.1 Bagaimana seharusnya media online menulis berita tentang kekerasaan terhadap perempuan?

1.2.2 Mengapa masih ada media yang melanggar kode etik jurnalistik dalam beritanya tentang kekerasaan terhadap perempuan?

1.3 Tujuan Makalah

Berdasarkan rumusan masalah, tujuan makalah ini yaitu:

1.3.1 Mengungkapkan cara media online menulis berita mengenai kekerasaan perempuan.

1.3.2 Menganalisa alasan media yang melanggar kode etik jurnalistik dalam pemberitaannya tentang kekerasaan perempuan.

(3)

BAB II

KERANGKA TEORI DAN KONSEP

2.1 Teori Konstruksi Sosial

Tokoh dari Teori Konstruksi Sosial adalah Peter Berger dan Thomas Luckman.

Berger adalah seorang sosiolog asal New York dan Luckman adalah sosiolog adalah Jerman. Kedua sosiolog ini menyakini bahwa realitas yang ada saat ini merupakan hasil ciptaan manusia sendiri, dengan adanya konstruksi sosial terhadap dunia disekelilingnya atau lingkungannya.

Burhan Bungin (2014: 194) mengatakan pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari individu yang mengetahui dan tidak dapa ditransfer kepada individu lain yang pasif. Karena itu, konstruksi harus dilakukan sendiri olehnya terhadap pengetahuan itu, sedangkan lingkungan adalah sarana terjadinya konstruksi itu.

Dalam Teori Konstruksi Sosial ini memiliki proses yang disebut dengan konsep dialektis. Di mana dalam konsep ini memiliki tiga tahapan yaitu, eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi. Eksternalisasi adalah tahap yang sangat mendasar, yang berarti manusia melakukan penyesuaian diri (mengeksternalisasikan) dengan produk- produk sosial kultural masyarakat. Setiap individu dalam tahapan ini harus dapat menyesuaikan diri dengan sosio-kultural masyarakat sebagai bagian dari produk manusia.

Tahap selanjutnya yaitu obyektivasi yang didalamnya akan terjadi intersubjektif masyarakat yang dilembagakan. Tahapan ini bertahan lama. Masyarakat yang telah menyesuaikan diri dengan produk sosial-kultural lalu akan membuat produk tersebut “diam” atau “tinggal” dalam diri mereka. Sehingga

(4)

manisfestasi dari proses- proses subjektif bagi orang lain, yang dengan demikian menjadi bermakna secara subjektif bagi individu itu sendiri.

Proses internalisasi berarti bahwa individu tidak hanya mengetahui atau memahami produk sosio-kultultural. Tetapi juga produk sosio-kultural tersebut benar- benar masuk dalam diri individu, “menginternalisasi” dalam diri individu. Menurut Burhan Bungin (2014: 202), individu “memahami” dunia di mana ia hidup dan dunia ini menjadi dunia individu bagi dirinya. Setiap individu yang telah ada pada tahap ini juga melakukan timbal balik dari sesuatu apa yang mereka tahu.

Proses dialektis ini tidak akan berhenti. Tetapi akan berjalan terus- menerus, selalu berputas. Hal ini karena produk sosio-kultural yang ada di masyarakat juga akan berubah. Maka dari itu manusia akan terus melakukan proses dialektis ini. Setiap ada produk sosio-kultural pasti individu akan mulai menyesuaikan diri (eksternalisasi), lalu obyektivasi, kemudian akan internalisasi.

Media massa juga memiliki tahapan sendiri dalam konstruksi sosial. Konstruksi sosial media massa memiliki empat tahapan, yaitu:

1. Tahap menyiapkan materi konstruksi: ini adalah tugas redaksi yang

menentukan materi apa yang akan disebarkan kepada publik. Dalam menyiapkan materi, media massa akan memposisikan dirinya. Pertama adalah keberpihakan kepada kapitalisme, keberpihakan kepada masyarakat, dan keberpihakan kepada kepentingan umum.

2. Tahap sebaran konstruksi: setiap media massa memiliki strategi

penyebaran yang berbeda, tetapi konsep utamanya adalaha realtime. Sebaran konstruksi media massa sebenarnya adalah satu arah. Hal ini terlihat jelas pada media cetak. Televisi dan radio masih bisa menggunakan komunikasi dua arah walaupun sebagian besar masih didominasi oleh media.

3. Pembentukan konstruksi realitas: di sini terdapat dua tahap yaitu tahap pembentukan konstruksi realitas dan pembentukan konstruksi citra.

(5)

konstruksi oleh media massa adalah sikap dari konstruksi pembenaran. Seorang bersedia menjadi sebagai pembaca atau pemirsa media massa. Ketiga sebagai pemilih konsumtif, dalam hal ini seorang tergantung pada media massa. Media massa menjadi bagian dari kehidupan dan hal tersebut tak bisa dilepaskan.

• Pembentukan konstruksi citra yang dibuat oleh media ada dua jenis yaitu, good news dan bad news. Good news berarti pemberitaan yang baik. Burhan Bungin (2014: 213) mengatakan pemberitaan dikonstruksikan sebagai sesuatu yang memiliki citra baik sehingga terkesan lebih baik dari sesungguhnya kebaikan yang ada. Sedangkan bad news adalah media mengkonstruksikan kejelekan

atau citra buruk sehingga terkesan lebih buruk daripada aslinya. 4. Tahap konfirmasi: di mana tahap ini menjelaskan bahwa audience dan

media massa memberikan pendapat atau argumen tentang mengapa mereka terlibat dalam konstruksi.

2.2 Teori Agenda Setting

Teori ini memiliki dua tokoh, yiatu Maxwell McCombs dan Donald L. Shaw. Dasar teori ini muncul karena saat pemilihan Presiden Amerika tahun 1963, ditemukan hubungan antara berita yang memiliki kuantitas tinggi dengan sikap seorang dalam menentukan tingkatan suatu berita. Meningkatnya nilai penting sebuah berita di media massa, akan menyebabkan meningkatnya nilai topik berita tersebut bagi masyarakat. Media cetak seperti koran dan media online selalu berhasil memberitahui kita sedang berpikir tentang apa. Dan mereka akan menyajikannya dalam sebuah berita.

(6)

1) Media massa tidak menentukan “what to think” tetapi “what to think about”.

2) Media memiliki kemampuan untuk menyeleksi dan mengarahkan perhatian masyarakat pada peristiwa atau gagasan tertentu.

3) Media menyaring artikel, berita, tulisan yang akan disiarkannya.

4) Media memiliki gatekeepers yang selektif memilih mana yang pantas untuk diberitakan, dan mana yang tidak.

5) Agenda media akan mempengaruhi agenda publik, kemudian agenda publik sendiri akan mempengaruhi agenda kebijakan atau pemerintah.

2.3 Elemen Jurnalistik

Terdapat 10 elemen jurnalistik yang digunakan sebagai pedoman media dalam memberitakan suatu hal. Pertama kewajiban utama jurnalisme adalah pencarian kebenaran. Kedua, loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga negara. Ketiga, esensi jurnalisme adalah disipin verifikasi. Keempat, jurnalisme harus menjaga indepedensi dari narasumber atau objek liputan. Kelima, jurnalis sebagai watchdog. Keenam, pers meberika forum kepada publik untuk menyuaran

pendapat. Ketujuh, jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan. Kedelepan, jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proposional. Kesembilan, jurnalis harus mendengarkan hati nurani. Kesepuluh, citizen journalism yaitu semua orang dapat dengan mudah menyajikan berita.

2.4 Framing

(7)

BAB III

METEDEOLOGI

3.1 Metode Penelitian

Metode penilitian yang dipakai dalam makalah ini adalah kualitatif. Penilitian

kualitatif menggunakan analisis dan deskriptif. Kerangka teori dan konsep digunakan untuk memandu memperinci temuan dilapangan. Kualitatif tidak menggunakan hasil data yang diperoleh, melainkan menggunakan teori sebagai penjelasaan suatu fenomena yang dibahas. Selain itu penulis juga melakukan

wawancara dengan mantan wartawan yang juga anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan sekarang menjadi pengamat media.

Dalam wawancara tersebut menggunakan pertanyaan terpusat pada masalah yang ada. Wawancara bertujuan untuk mengetahui pandangan pengamat media mengenai bagaimana sekarang media memberitakan tentang kekerasaan terhadap perempuan. Hasil dari wawancara diajukan menjadi data yang dapat menambahkan sumber pada penilitian. Wawancara yang dilakukan penulis santai dan tidak terlalu mendalam. Hal ini dikarenakan wawancara yang dilakukan bukan pedoman baku tetapi untuk dijadikan kisi- kisi.

Wawancara memang diperlukan dalam metode kualitatif karena pada dasarnya kualitatif memiliki ciri subjektif. Dalam kualtitatif kualitas dari seorang yang diwawancari atau informan harus bisa dipertanggungjawabkan. Motode kualitatif lebih menjurus kepada mencari, menemukan, dan kemudian menyimpulkan hipotesis yang biasanya tentatif dan berkembang.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Penulis melakukan wawancara untuk pengumpulan data. Wawancara yang dilakukan secara santai dengan Ignatius Haryanto. Sekarang ini Ignatius Haryanto menjabat sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) di Jakarta. Beliau juga merupakan Dewan Penasehat di sebuah lembaga

(8)

kejadian tidak sebebas sekarang. Karena pada saat itu pemerintahan orde baru masih ketat dan seluruh instansi media dipegang sekaligus dikontrol oleh pemerintah saat itu.

Selain itu penulis juga mengumpulkan data dengan mengambil beberapa berita di tiga media yang dirasa cukup kompeten dalam menyiarkan berita. Tetapi dari tiga media tersebut, mereka (media) masih saja melanggark kode etik jurnalistik. Artikel yang diambil di media yang bersangkutan dijadikan data sebagai penelitian dalam makalah ini. Dari artikel tersebut juga dapat diketahui bahwa media masih saja memberitakan kekerasaan perempuan dengan cara yang tidak benar. Berita yang dibuatnya malah membuat korban (perempuan) semakin dipermalukan.

3.3 Analisis Data

Dalam makalah ini penulis menganalisis data dengan menggunakan beberapa teori yang ada di dalam buku yang dipakai. Selain itu penulis juga menggunakan artikel- artikel terkait dengan makalah yang berada di website yang memiliki kredibitas atau bisa dipertanggungjawabkan.

Analisis menggunakan framing juga sedikit akan dipakai penulis. Pemilihan framing terkait dengan posisi media yang biasanya menonjolkan aspek tertentu. Suatu media dapat menbingkai suatu hal dengan berbeda. Hal ini tidak jarang dikarenakan kebutuhan setiap media berbeda. Sebagai contoh adalah cara grup Viva News memberitakan tentang “Lumpur Lapindo”. Di media yang

tergabung dalam grup Viva News menyebut “Lumpur Lapindo” dengan “Lumpur Sidoarjo”, sedang media- media lain menyebutnya dengan “Lumpur Lapindo”.

(9)

BAB IV

PEMBAHASAN

4. 1 Artikel “Kronologis Pembunuhan Mahasiswa UIN” di Tempo.co Pada 25 April 2012 lalu, Tempo.co mengeluarkan artikel mengenai mahasiswi Univeristas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Ciputat yang tewas dibunuh. Dalam artikel yang berjudul “Kronologis Pembunuhan Mahasiswa UIN” ini sudah jelas bahwa artikel tersebut akan menjelaskan kronologis pembunuhan korban. Nama korban dituliskan jelas dalam artikel tersebut. Padahal pada aturan jurnalistik, nama korban dari kekerasan tidak boleh dicampumkan. Tapi hanya

bisa diberikan dengan nama inisial saja. Lain halnya dengan nama pelaku kejahatan. Nama pelaku utama dari kasus pembunuhan ini diberi tahu oleh Tempo.co tetapi profil pelaku lainnya tidak dijelaskan.

Kata “kronologi” yang dipakai dalam judul artikel ini juga dapat mempermalukan perempuan yang menjadi korban. Mengapa begitu? Karena media menceritakan jelas pembunuhan yang dialami oleh korban. Dituliskan dalam artikel tersebut “dua orang lainnya tidak ikut memperkosa, tapi menyaksikan aksi brutal tersebut. Selanjutnya, mereka membunuh gadis itu

dengan menggorok lehernya”. Kata “selanjutnya” bagaikan korban memang

sudah sepantasnya setelah diperkosa lalu dibunuh. Tempo.co juga memilih kata

“menggorok” sebagai bumbu- bumbu dalam berita. Sebagai media online yang

dapat dibaca oleh seluruh kalangan masyarakat, seharusnya Tempo.co dapat

menggunakan kata lain yang lebih sopan.

Penggunaan kalimat yang Tempo.co pilih dalam artikel ini tidak juga bisa

dibantah agar dapat menarik minat pembaca. Apabila sebuah artikel bagus dari

awal (judul), maka artikel tersebut akan di buka oleh pembaca. Alasannya karena

artikel di media online setiap menitnya pasti ada, sehingga jurnalis akan

menggunakan cara- cara lain agar artikelnya di-klik oleh pembaca.

Dari kasus diatas cocok disandingkan dengan teori konstruksi sosial pada

tahap menyiapkan materi konstruksi. Dari tahap menyiapkan materi kontruksi

dijelaskan bahwa redaksi atau redaktur-nya telah menentukan berita mana yang

(10)

kronologi kasus pembunuhan terhadap salah satu mahasiswi UIN. Maka dari awal

berita ini telah disusun sedemikian rupa agar pembaca mengetahui hal tersebut.

Pers secara sadar maupun tidak membuat konstruksi sosial. Dari banyaknya berita

yang ada, Tempo.co memilih berita kekerasaan perempuan. Dikutip dari aji.or.id,

berita mengenai kekerasaan terhadap perempuan berada diurutan tiga teratas pada

tahun 2012. Dapat di lihat bahwa tidak hanya Tempo.co saja yang menjadikan

kekerasan perempuan sebagai topik- topik mereka, tetapi juga kebanyakan media

melakukan hal yang sama. Tempo.co menjadi salah satu media yang membingkai

(framing) atau membuat berita kekerasaan perempuan mendapat porsi lebih.

Dari artikel tersebut juga dapat dilihat cara pandang Tempo.co dalam

membuat berita dari kalimat- kalimat yang digunakan. Dari awal judul sudah

menarik perhatian pembacanya. Di dalam isi artikel pun juga dituliskan jelas

tanggal dan tempat sekaligus adegan kasus pembunuhan tersebut.

4.2 Artikel “Kejam! Suami Gunting Lidah Istri Gara- gara Ditegur” di Liputan6.com

“Kejam! Suami Gunting Lidah Istri Gara- gara Ditegur”. Salah satu judul artikel

yang terdapat pada situs berita online yaitu Liputan6.com pada 6 Februari 2014. Artikel tersebut menceritakan seorang istri yang lidahnya dipotong oleh suaminya sendiri. Sang istri menegur suami karena tidak suka suaminya membuat abu rokok dan puntung rokok di kamar secara sembarangan. Akibat teguran tersebut si suami merasa tidak terima dan nekat melakukan kejahatan tersebut. Kasus ini telah

sampai di meja hijau, tetapi korban hanya dijadikan sebagai saksi dan meminta bercerai dengan suaminya karena KDRT yang dilakukan suaminya sudah terjadi sejak menikah.

(11)

maka suami pun menggunting lidah istrinya. Padahal media seharusnya melindungi korban, bukan malah menuduh untuk kedua kalinya.

Artikel kekerasaan perempuan yang diberitakan oleh media online dapat membuat terjadinya proses dialektis. Pada tahap pertama yaitu eksternalisasi, seorang menyesuaikan diri dengan pemberitaan- pemberitaan kekerasan perempuan seperti artikel “Kejam! Suami Gunting Lidah Istri Gara- gara Ditegur”. Kekerasaan yang dialami oleh perempuan seolah- olah karena perbuatan perempuan itu sendiri. Sehingga lelaki pun dapat melakukan kekerasan karena memiliki alasan yang jelas. Seorang pun menyesuaikan diri dengan fenomena tersebut.

Kemudian akhirnya terjadi proses objektivikasi, di mana proses intersubjektif terjadi yang menyebutkan kekerasan perempuan terjadi karena ulah perempuan itu sendiri. Tidak sedikit orang yang lalu menganggap hal tersebut benar adanya. Pemikiran tersebut tidak subjektif lagi, dan telah menjadi objektif karena banyak orang berpendapat yang sama.

Setelah itu terjadi proses internalisasi yang membuat pemikiran tersebut akan diam dan tinggal di dalam diri seseorang. Selain itu juga individu telah

memahami produk sosio- kultural ini. Tetapi proses dialektis ini tidak pernah berhenti. Layaknya roda, proses ini akan terus berputar. Pemikiran mengenai penyebab kekerasan perempuan terjadi karena perempuan itu sendiri bisa hilang. Hal ini dapat terjadi apabila peraturan berubah seperti media massa manapun tidak lagi menggunakan kata- kata yang tidak memojokan perempuan. Dan hak-

hak perempuan lebih diperhatikan lagi.

4.3 Artikel “Bidan Desa Boyok Dianiaya Mantan Pacar” di Sindonews.com

(12)

secara lengkap nama korban kekerasan. Di artikel tersebut juga mewawancarai korban kekerasaan ini. Informasi mengenai pelaku kekerasan tidak dijelaskan banyak. Malahan nama pelaku kekerasaan tidak dituliskan lengkap melainkan hanya di tulis inisial. Terdapat kalimat yang tertuliskan “Bahkan Vika terancam cacat karena mata kirinya pecah” juga di artikel ini. Seharusnya kalimat “pecah” dapat digantikann dengan kata lain yang tidak membuat korban semakin dijelek- jelekan lagi. Sindonews.com malah melakukan kebalikan dari kebijakan yang seharusnya dilakukan oleh jurnalis.

Elemen jurnalisme yang kesembilan menyebutkan bahwa seorang jurnalis harus mendengarkan hati nuraninya. Di artikel “Bidan Desa Boyok Dianiaya Mantan Pacar” ini lebih menonjolkan sisi korbannya. Padahal korban dari kasus- kasus seperti ini seharusnya tidak boleh terlalu diekspos dan harus dilindungi. Pelaku dari kejahatan yang seharusnya lebih diungkapkan profil dirinya. Jurnalis seharusnya menyikapi hal ini, dan mengikuti hati nuraninya. Berita yang didapatkannya seharusnya tentang pelaku dan bukan korban. Jurnalis harus dapat mengambil tindakan bila belum mendapat berita tentang pelaku sebaiknya jangan membuat berita tentang korban.

Di artikel ini dituliskan bahwa jurnalis mewawancari korban pada saat korban masih di rumah sakit untuk mendapat perawatan. Sebagai jurnalis seharusnya menghargai korban dengan tidak melakukan wawancara pada saat yang tidak memungkinkan. Intinya seorang jurnalis harus mengikuti hati nuraninya dalam hal memilih berita, dan menulis berita agar korban kekeraan

tidak menjadi korban lagi dalam artikel yang ditulis oleh seorang jurnalis.

4.4 Kaitan Antara Tiga Artikel dengan Pandangan Narasumber

(13)

lebih mengekspos tentang korban. Dan penggunaan kata- katanya malah merugikan pihak perempuan. Lelaki yang biasa disebut Pak Har ini juga mengatakan, media massa harus menampilkan informasi secara proposional tetapi ada etik yang menyebutkan bahwa korban kejahatan susila harus dilindungi.

“Pelakunyaa inilah yang harus lebih di sorot ketimbang si perempuannya. Ada istilah untuk kalangan feminis, media sering kali melakukan pemerkosaan yang kedua kali. Jadi, maunya merekonstruksi kejadian. Tapi ketika melakukan itu media tidak sensitif untuk memperhatikan perasaan si korban,” ucap Ignatius Haryanto.

Apa yang dilakukan media massa seperti contoh media online Tempo.co, Liputan6.com, dan Sindonews.com dengan artikel kekerasan perempuan (artikel di atas) bisa dibilang menjadikan korban sebagai korban untuk kedua kalinya. Hal ini dapat dibaca dari kata- kata yang dipilih yang malah lebih memojokan korban. “Kalimat-kalimat yang dipergunakan, deskripsi juga sebagai gambar, itu juga yang menjadi problem. Bagaimanapun menekankan privasi itu penting dan wartawan juga harus menghargai hal itu,” kata Ignatius Haryanto.

Menurutnya juga pemerintah tidak usah sejauh untuk turun tangan dengan

apa yang dilakukan oleh media. Adanya Dewan Pers sudah cukup untuk selalu mewanti- wanti media massa. Media yang sudah diwanti- wanti oleh Dewan Pers bisa lebih mempersiapkan beritanya agar lebih baik. Hal ini terkai dengan agenda media. Setiap media massa pasti telah memiliki agendanya sendiri atau sering disebut dengan agenda setting. Media telah mengatur peristiwa- peristiwa apa

yang akan mereka (media) pilih untuk diberitakan kepada masyarakat. Dalam hal ini Tempo.co, Liputan6.com, dan Sindonews.com yang juga telah memiliki agenda. Salah satunya adalah dengan memberitakan kekerasaan perempuan seperti contoh artikel yang telah dijelaskan sebelumnya.

(14)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Pemberitaan kekerasaan perempuan di media online tetap harus proposional. Media online harus dapat menyajikan berita yang tidak boleh membuat korban kekerasaan merasa dirugikan lagi. Penggunaan kata dalam kalimat berita harus sesuai dengan kode etik yaitu tidak boleh mengedepankan sensasionalitas semata. Media online juga harus menghargai korban. Dalam pemberitaan kekerasaan media juga tidak seharusnya mengekspos korban terlalu dalam. Pelaku dari

kekerasaan perempuan yang seharusnya diberitakan. Media harus berfokus pada pelakunya dan bukan korbannya.

Pelanggaran yang masih saja dilakukan oleh media online dalam pemberitaannya mengenai kekerasaan perempuan karena faktor kecepatan media online. Kecepatan merupakan ciri khas dari media online. Banyaknya artikel masuk setiap menitnya membuat jurnalis media online membuat artikelnya semenarik mungkin. Bila dari judul artikel telah menarik maka pembaca pun akan membuka artikel tersebut. Dan sensionalitas merupakan salah satu cara untuk menarik pembaca.

5.2 Saran

Pemimpin redaksi yang merupakan puncak dari keputusan sebuah berita seharusnya lebih menyortir lagi berita sebelum diterbitkan. Adanya editor dalam media online memang diperlukan untuk meminimalisir kata- kata yang dirasa kurang pantas. Sebaiknya media online tetap harus memiliki editor berita. Sehingga setiap berita yang akan naik bisa dikoreksi terlebih dahulu. Sekarang ini beberapa dari media online tidak memiliki editor karena ingin menang dalam hal kecepatan. Tetapi hal ini malah membuat berita menjadi tidak proposional.

Jurnalis media online juga sebaiknya tahu betul tatanan kata- kata yang baik dalam memberitakan kekerasaan perempuan. Agar mereka tidak seenaknya saja menggunakan kata- kata sensasional yang malah dapat melecehkan korban

Referensi

Dokumen terkait

Rumus untuk mengurangkan bilangan bulat positif dengan bilangan  bulat negatif adalah ..... Daerah yang diarsir menunjukkan

Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian sebelumnya yaitu pembuatan perangkat keras, program aplikasi mikrokontroler dan program aplikasi komputer dalam sistem

Panjang suatu lintasan atau lintasan tertutup sederhana adalah jumlah dari panjang busur mulus yang digunakan untuk lintasan tersebut.. Titik-titik pada setiap kurva tertutup

Pengaruh Motivasi Kerja Terhadap Kepuasan Kerja Penyuluh Perikanan di Badan Ketahanan Pangan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BKP5K) Kabupaten

Setelah hasil observasi perkembangan anak dianalis, diperoleh hasil rata-rata prosentase peningkatan perkembangan kognitif anak pada siklus I sebesar 55,88%, sudah

antara harapan dan persepsi atas kualitas pelayanan. 11 Untuk itu Madrasah meningkatkan mutu kinerjanya dengan berbagai cara, di antaranya adalah dengan

Dari hasil diskusi dengan mitra Kepala Sekolah dan beberapa guru MA NW NW Boro’ Tumbuh diperoleh simpulan bersama bahwa terdapat beberapa masalah utama yang ditemui pada