• Tidak ada hasil yang ditemukan

demokrasi dan masyarakat sipil doc

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "demokrasi dan masyarakat sipil doc"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demokrasi dan masyarakat sipil (civil society) bagaikan dua sisi mata uang, keduanya bersifat ko-eksistensi. Dengan civil society yang kuat, demokrasi akan berjalan dengan baik (Putnam, 1993). Dan dalam suasana negara yang demokratis, civil society akan berkembang dan tumbuh dengan kuat pula. Nurcholish Madjid (1999) membuat metafor yang cukup menarik, civil society adalah “rumah” persemaian demokrasi. Jadi demokrasi tidak hanya tercermin dalam pemilu yang bebas dan demokratis, tetapi juga diperlukan persemaian dalam “rumah”, yaitu civil society.

Larry Diamond (1994) mengatakan bahwa civil society memberikan kontribusi yang cukup besar bagi tumbuhnya demokrasi. Pertama, civil society menyediakan wahana sumber daya politik, ekonomi, kebudayaan dan moral untuk menjaga dan mengawasi keseimbangan negara. Asosiasi independen dan media yang bebas memberikan dasar bagi pembatasan kekuasaan negara melalui kontrol publik. Kedua, beragam dan pluralnya dalam masyarakat sipil dengan berbagai kepentingannya, bila diorganisasi dan dikelola dengan baik, maka hal ini dapat menjadi dasar yang penting bagi persaingan yang demokratis. Ketiga, akan memperkaya peranan partai-partai politik dalam hal partisipasi politik, meningkatkan efektivitas politik dan meningkatkan kesadaran kewarganegaraan (citizenship). Keempat, ikut menjaga stabilitas negara. Dalam arti bahwa civil society, karena kemandiriannya terhadap negara, mampu menjaga independensinya yang berarti secara diam-diam mengurangi peran negara. Kelima, sebagai wadah bagi seleksi dan lahirnya para pemimpin politik yang baru. Keenam, menghalangi dominasi rezim otoriter.

(2)

melalui prosedur dan mekanisme politik yang sah, konstitusional dan beradab. Kondisi seperti ini dapat dipahami sebagai proses awal dari dekratisasi. Sebuah demokrasi tidak akan terwujud tanpa adanya sebuah kesadaran dari masyarakat yang merupakan pelaku demokrasi. Ketidaksadaran masyarakat akan membuat mereka terbimbing masuk dalam sikap politik yang membuat mereka menjadi massa yang tidak lagi mengerti tentang pilihan-pilihan politik. Depotisme kemudian terjadi akibat dikorupsinya public spirit yang menyebabkan civil society menjadi kehilangan arah (Keane, 1988).

(3)

BAB II

Masyarakat Sipil dan Demokrasi

2.1 Hubungan Masyarakat Sipil (Civil Society) dan Demokrasi

Dalam hubungan masyarakat dengan negara, civil society memiliki tiga fungsi, yaitu: Pertama, sebagai komplementer di mana elemen-elemen civil society mempunyai aktivitas memajukan kesejahteraan untuk melengkapi peran negara sebagai pelayan publik (public services). Kedua, sebagai subtitutor. Artinya, kalangan civil society melakukan serangkaian aktivitas yang belum atau tidak dilakukan negara dalam kaitannya sebagai institusi yang melayani kepentingan masyarakat luas. Dan ketiga, sebagai kekuatan tandingan negara atau counterbalancing the state atau counterveiling forces. Kalangan civil society melakukan advokasi, pendampingan, ligitasi, bahkan praktik-praktik oposisi untuk mengimbangi kekuatan hegemonik negara atau paling tidak menjadi wacana alternatif di luar aparatur birokrasi negara.

Fungsi-fungsi di atas, mengandaikan perbedaan titik-tekan implementasi gagasan-gagasan civil society, antara ranah sosial budaya ataukah pada lingkup politik. Iwan Gardono (2001) berpendapat, bahwa civil society yang menekankan pada aspek sosial budaya dapat bersifat horisontal biasanya terkait erat dengan “civility” atau keberadaan dan “fraternity”. Indigenisasi konsep civil society dilakukan dalam rangka menarik relevansi dengan konteks keumatan. Sedangkan civil society dalam konotasi vertikal lebih merujuk pada dimensi politis, sehingga lebih dekat pada aspek citizen dan liberty. Perbedaan titik-tekan tersebut berimplikasi pada pemaknaan yang beragam, atau setidaknya istilah-istilah yang beragam untuk menyebutkan civil society.

(4)

2.2 Membangun Pemerintahan Demokratis Melalui Peran Masyarakat Sipil Pemerintahan demokratis adalah sistem pemerintahan yang berdasarkan kedaulatan rakyat. Pemerintahan demokratis bergantung pada seberapa besar keterlibatan politik (civic engagement) warganya. Ada proses pelibatan masyarakat dalam mengawasi kinerja pemerintahan. Kekuatan politik menyebar dalam masyarakat dan politik nasional merupakan hasil pertarungan di masyarakat. Keterlibatan warga negara dalam asosiasi-asosiasi yang potensial menumbuhkan sikap terbuka, trust, toleransi dan sikap positif lainnya kemudian menjadi penting dalam bangunan politik nasional (Putnam, 1993). Dengan demikian, demokrasi tidak menjadi makanan kaum elite saja, tapi mengalami reeksaminasi oleh masyarakat secara transparan dan terus-menerus di ruang publik, tidak saja pada masa pemilu.

Dalam konteks penumbuhan elemen-elemen demokrasi, kita tidak bisa melepaskan diri dari komponen dasar demokrasi, yakni partisipasi aktif dari civil society. Hal ini berarti perlu mengembalikan hak-hak rakyat sebagai stakeholders di dalam pengambilan keputusan sehingga menunjukkan keterkaitan antara demokrasi, otonomi, dan partisipasi.

1. Modal Sosial dan Trust

Dalam studi kontemporer tentang demokrasi, faktor penunjang demokrasi adalah ada-tidaknya civic culture dalam suatu masyarakat. Civic culture menjadi model demokrasi berbasis masyarakat dan merupakan bagian integral dari civil society selain civic knowledge dan civic value.

(5)

Memang tidak mudah untuk membangun saling percaya di antara warga. Minimnya interpersonal trust pada gilirannya nanti menyebabkan kurangnya kepercayaan pada lembaga-lembaga publik. Misalnya, kurangnya rasa percaya warga terhadap lembaga pengadilan, polisi, parlemen, dan lembaga-lembaga publik yang nota bene adalah institusi demokrasi lainnya. Realitas sui-generis tersebut, tentu menyulitkan pertumbuhan demokrasi karena demokrasi membutuhkan pupuk yang bagus, yakni adanya modal sosial (social capital). Modal sosial biasanya didefinisikan sebagai organisasi sosial itu sendiri atau jaringan sosial yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Jaringan sosial ini berisi berbagai interaksi sosial. Interaksi sosial yang menumbuhkan civil society harus dimulai dengan sikap berkeadaban yang mensyaratkan sikap saling percaya, fairness, toleran, dan kesukarelaan. Secara normatif (Ace Hasan, 2002) setiap agama manapun selalu mengajarkan sikap toleran dan saling percaya.

Modal sosial ditentukan oleh seberapa jauh dua jenis trust (sikap toleran dan saling percaya) tersebut melembaga dalam kehidupan sosial. Memang social capital hanya “penyumbang” bukan determinan faktor bagi demokrasi. Modal sosial lebih khusus lagi menyumbang bagi “stabilnya”, bukan “munculnya” demokrasi. Modal sosial terjadi melalui perubahan hubungan antarindividu yang mempengaruhi perbuatan atau tindakan. Menurut Imam Prasodjo (2002), modal sosial adalah akumulasi rasa saling percaya sebagaimana ditunjukkan oleh keragaman dan kombinasi aksi sukarela yang pada akhirnya menghasilkan pemerintahan yang efektif.

2. Partisipasi Sosial

(6)

Studi tentang civil society kaitannya dengan demokrasi pada dasarnya membicarakan serangkaian partisipasi politik dalam hubungan sosial yang dilakukan secara sukarela. Dengan demikian, demokrasi mengandaikan mekanisme keterlibatan aktif masyarakat. Dalam pemerintahan demokratis, partisipasi masyarakat dijamin eksistensinya. Partisipasi politik, secara umum diartikan sebagai aksi sukarela (voluntarily) untuk mengubah keadaan atau kebijakan publik (Barnes, Kaas, 1978). Partisipasi politik terbagi menjadi dua, yaitu: partisipasi politik itu sendiri dan partisipasi sosial.

Partisipasi sosial didefinisikan sebagai keterlibatan warga negara dalam kehidupan sosial atau civic community. Dengan kata lain, keterlibatan warga atau civic engagement dalam kelompok sosial menjadi ruhnya partisipasi sosial. Kelompok sosial itu sendiri, ditandai oleh dua aktivitas. Pertama, intensitas partisipasi dalam memecahkan masalah sosial antarwarga negara. Artinya, sesama warga negara memiliki kepedulian dan tindakan konkret menyelesaikan problem-problem sosial kemasyarakatan di sekitar mereka dengan melakukan aksi atau kegiatan kolektif (collective action). Hal ini dimungkinkan bila masing-masing warga mau membuka diri untuk terlibat dalam berkomunikasi dan bergaul dengan warga lainnya. Semakin intensif pergaulan antarwarga terjadi, maka peluang terjadinya kegiatan kolektif secara positif dapat terbuka lebih lebar. Keterlibatan warga negara dalam komunitas-komunitas kemasyarakatan atau kelompok sosial jelas mempertebal jaringan sosial antarwarga. Pada gilirannya nanti, jaringan sosial tersebut membuka kemungkinan besar bagi pemecahan-pemecahan masalah publik. Sebaliknya, bila jaringan sosial menipis, yang ditandai sikap selfish yang menguat dan enggan melibatkan diri dalam komunitas, bisa ditebak akan melahirkan fenomena “bermain bola boling sendirian (bowling alone)”.

(7)

oleh seberapa kuat jaringan sosial terbentuk dan seberapa besar keterlibatan dalam komunitas untuk membicarakan masalah-masalah publik terjalin di antara sesama warga.

Intensitas partisipasi warga dalam memecahkan masalah-masalah sosial di sekitarnya relatif tidak membutuhkan keahlian dan pengelolaan serta intensitas yang besar ketimbang jenis kegiatan kelompok sosial yang pertama. Semakin sering warga bertemu (berinteraksi) dan membicarakan masalah sosial, maka peluang pemecahan masalah sosial tersebut semakin besar. Oleh karena itu, tidak heran bila aktivitas sosial yang pertama lebih banyak frekuensinya ketimbang jenis aktivitas sosial yang kedua. Partisipasi warga dalam menyelesaikan masalah sosial juga lebih banyak ketimbang warga yang punya prakarsa membentuk organisasi sosial. Biasanya jenis keanggotaan kelompok sosial dibagi menjadi tiga, yakni anggota aktif, anggota tidak aktif, dan bukan anggota.

Selain berkemampuan masyarakat dalam memecahkan masalah-masalah sosial, terbentuknya asosiasi-asosiasi berdasarkan kesadaran masyarakat untuk berkumpul dan berorganisasi juga menjadi salah satu indikator kesehatan masyarakat ditinjau dari kemampuan masyarakat untuk mau mengatur dirinya secara kolektif.

3. Partisipasi Politik

Demokrasi mensyaratkan adanya partisipasi aktif dari masyarakat biasa untuk menyampaikan aspirasi atau kepentingan, dan ikut memutuskan kebijakan publik yang harus diambil pemerintah. Partisipasi menentukan siapa yang harus menjadi pejabat publik, keputusan-keputusan apa yang harus diambil dan dilaksanakan oleh pemerintah tersebut, dan bagaimana pelaksanaan amanat dari rakyat tersebut dikontrol hingga penyimpangannya dapat ditekan, kalau bukan sama sekali dihilangkan.

(8)

(Laporan Penelitian Islam dan Good Governance, 2002). Partisipasi politik bukanlah sejenis kepercayaan atau keimanan, tapi juga bukan sikap seseorang terhadap sesuatu. Partisipasi politik membutuhkan tindakan individu. Ia telah mendarat pada level psikomotorik yang diwujudkan dengan perbuatan, bukan lagi pada level kognitif dan afektif.

Karena begitu luasnya cakupan tindakan warga negara biasa dalam menyuarakan aspirasinya, maka tidak heran bila bentuk-bentuk partisipasi politik ini sangat beragam. Partisipasi politik paling tidak mencakup beberapa dimensi: ikut dalam pemilihan umum (voting), kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kampanye dan partai politik (kegiatan kampanye), kegiatan-kegiatan sosial di tingkat kemasyarakatan (kegiatan sosial), dan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan protes dan demonstrasi (protes).

Pemilihan umum berarti menyalurkan suaranya dalam bilik-bilik suara dengan asumsi telah memenuhi beberapa tahapan untuk dapat mencoblos. Partisipasi dalam kampanye misalnya, menghadiri kampanye model monologis atau dialogis, menyebarluaskan atribut partai kepada orang lain, ikut dalam pawai yang diselenggarakan partai politik yang sedang berkampanye, menonton atau mendengarkan program kampanye partai di televisi atau radio dan lain-lain.

Partisipasi politik sangat terkait erat dengan seberapa jauh demokrasi diterapkan dalam pemerintahan. Negara yang telah stabil demokrasinya, maka biasanya tingkat partisipasi politik warganya sangat stabil, tidak fluktuatif. Negara yang otoriter kerap memakai kekerasan untuk memberangus setiap prakarsa dan partisipasi warganya. Karenanya, alih-alih bentuk dan kuantitas partisipasi meningkat, yang terjadi warga tidak punya keleluasaan untuk otonom dari jari jemari kekuasaan dan tidak ada partisipasi sama sekali dalam pemerintahan yang otoriter. Negara yang sedang meniti proses transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi galib disibukkan dengan jenis dan bentuk partisipasi yang sangat banyak, mulai dari yang bersifat “konstitusional” hingga yang bersifat merusak sarana umum.

(9)

sosial, kemudian diikuti oleh partisipasi yang terkait dengan partai politik dan kampanye (mengahadiri kampanye partai atau pawai partai, memakai tanda gambar partai, menyebarkan selebaran partai, dan membantu partai), dan yang paling rendah proporsinya adalah partisipasi dalam bentuk protes (demontrasi, mogok, memboikot, dan protes dengan merusak sarana umum) yang dilakukan untuk mendukung atau menolak keputusan yang berkaitan dengan kepentingan publik. Di belahan dunia manapun, protes merupakan bentuk partisipasi yang relatif jarang dilakukan oleh warga negara.

Dilihat dari kuantitasnya, di luar pemilu, hanya sekitar 17% yang tidak pernah berpartisipasi dalam kegiatan politik. Yang menyatakan pernah melakukan minimal satu bentuk partisipasi politik di luar pemilu sekitar 16%, dua bentuk partisipasi 19%, dan sekitar tiga bentuk atau lebih partisipasi 48%. Proporsi kuantitas partisipasi ini tidak banyak berbeda dengan di negara-negara demokrasi lain di dunia (TB Ace Hasan Syadzily, 2003). Keikutsertaan dan ketidakikutsertaan dalam pemilu menunjukkan sejauh mana tingkat partisipasi konvensional warga negara. Seseorang yang ikut mencoblos dalam pemilu, secara sederhana, menunjukkan komitmen partisipasi warga. Tapi orang yang tidak menggunakan hak memilihnya dalam pemilu bukan berarti ia tidak punya kepedulian terhadap masalah-masalah publik. Bisa jadi ia ingin mengatakan penolakan atau ketidakpuasannya terhadap kinerja elite politik di pemerintahan maupun partai dengan cara golput.

Mekanisme pemilu biasanya telah disepakati melalui institusi demokrasi seperti perwakilan rakyat di parlemen dan dieksekusi oleh lembaga yang ditunjuk pemerintah. Waktu pemilu telah ditentukan secara reguler –apakah empat, lima, atau tujuh tahunan- yang biasanya termaktub dalam konstitusi negara, meskipun tanggal pelaksanaannya secara pasti biasanya dimasukkan dalam tahapan-tahapan pemilu yang telah disepakati bersama dan telah ditentukan prosedur dan teknis operasionalnya.

(10)

dalam pemilu bersifat ritual dan dimaknai sebagai kewajiban warga negara, bukan hak sebagai citizenship. Hal ini sudah mengasumsikan bahwa mobilisasi warga untuk berpartisipasi dalam pemilu diekslusikan karena mobilisasi pada dasarnya bukanlah partisipasi. Mobilisasi selalu mengandung unsur keterpaksaan, bukan atas dasar kesukarelaan.

Oleh karena itu, seseorang yang ikut kampanye membuktikan tingkat kepedulian yang lebih baik ketimbang mencoblos pemilu karena partisipasi politik juga ditentukan oleh seberapa besar tingkat partisanship warga. Turut serta dalam kampanye partai politik menunjukkan keingintahuan (curiosity) seseorang terhadap program partai sebelum ia menjatuhkan pilihan suaranya dalam perhelatan pemilu.

Lain halnya jika orang ikut kampanye karena dimobilisasi oleh partai atau ditawari mendapatkan keuntungan ekonomis. Lepas daripada itu, kampanye tetap menjadi indikasi seberapa jauh sikap partisan warga terhadap partai. Namun demikian, orang yang ikut kampanye tidak berkorelasi secara positif dengan pilihannya waktu pemilu. Kampanye suatu partai mungkin diikuti secara meriah, tapi waktu pemilu partai politik bersangkutan hanya mendapat sedikit suara. Hal ini menunjukkan kampanye hanya dilihat sebagai bagian mencari kesesuaian program partai tersebut dengan pilihan konstituennya.

2.3 Peran Masyarakat Sipil dalam Transisi Demokrasi

(11)

kumpulan organisme private yang berbeda dengan negara yang disebutnya sebagai masyarakat politik (political society).

Dari penjabaran di atas, secara tersirat kita ketahui bahwa masyarakt sipil selalu terkait namun berbeda dengan masyarakat politik yang berorientasikan pada kekuasaanm maupun masyarakat ekonomi yang tujuanya mencari keuntungan. Masyarakat sipil masih dapat terjun ke pemerintahan dan politik namun tidak dengan terbuka, misalnya saja dengan menjadi pressure group yang menggunakan pengaruh politiknya pada issue yang sedang berkembang di suatu Negara. Dengan pengaruhnya yang cukup besar itu, masyarakat sipil dapat beperan sebagai pengawas, memberi evaluasi pada pemerintah, civic education, menjadi mediator bagi masyarakat dan melindungi masyarakat dari kemungkinan dominasi Negara.

Mayarakat sipil terdiri dari beragam organisasi, baik yang formal maupun informal, selain menjadi organisasi yang sukarela, mandiri dan independent dari negara, masyarakat sipil memiliki lima karakteristik lain yang membedakanya dengan organisasi lain. Pertama, masyarakat sipil merupakan oraganisasi yang berorientasikan pada tujuan-tujan public bukan private. Kedua, meski mereka kerap berhubungan dengan negara, tetapi tidak berniat untuk merebut kekuasaanya. Ketiga, masyarakat sipil merupakan bentuk pluralism dan keberagaman. Keempat, masyarakat sipil tidak berusaha menampilkan seluruh kepentingan pribadi atau komunitas. Kelima, masyarakat sipil dibedakan dari fenomena civic community yang meningkatkan kualitas dan konsolidasi demokrasi.

Tidak semua organisasi masyarakat sipil berorientasi pada demokrasi, mereka memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Ada lima karakteristik yang membedakan antara organisasi masyarakat sipil demokratis dengan organisasi mayarakat sipil lain, yaitu

1. Masyarakat sipil demokratis mengelola urusan internalnya sendiri secara formal.

(12)

3. Adanya tingkatan kelembagaan

Masyarakat sipil mengukur kapasitas kelembagaan para aktornya dengan empat kriteria Samuel Huntington yaitu:

- Otonom : aktor masyarakat sipil harus bisa memisahkan diri dari dominasi

negara atau pemimpin individual (penguasa).

- Adaptasi : organisasi masyarakat sipil harua bisa mengadaptasikan misi,

fungsi, dan struktur mereka dengan konteks politik dan

sosialyang berubah ubah dan peluang peluang yang berbeda.

- Koherensi : berisi consensus tentang misi organisasi batas fungsional dan

prosedur penyelesaian konflik

- Kompleksitas : penjabaran berbagai fungsi dan subunit dan hal ini punya potensi

menyusutkan koherensi, tapi tidak selamanya kompleksitasi

menegasikan koherensi.

4. Pluralism dan

5. Kesolid-an

Dalam kaitanya dengan demokrasi, masyarakat sipil mempunyai peranan yang besar. Mereka mendorong terjadinya transisi dari pemerintah otoriter menjadi demokratis dan memperkuat demokrasi dengan melakukan konsolidasi, hal ini pernah terjadi di Afrika, Chili, Polandia dan Nigeria. Besarnya peran masyarakat sipil menimbulkan pertanyaan, bagaimana cara masyarakat sipil mendorong pengembangan dan konsolidasi demokrasi?

(13)

memberi batasan terhadap kekuasaan pemerintah agar tidak absolut dan melengkapi peran dari partai politik dalam meningkatkan partisipasi, keterampilan serta mengetahuan warga melalui pendidikan politik. Masyarakat sipil juga perlu mengangkat issue-issue public yang kurang diperhatikan pemerintah.

Kontekstualisasi masyarakat sipil dan demokrasi dapat kita lihat pada penyelenggaraan pemilu di Indonesia dari masa ke masa dan transisi dari pemerintahan otoriter menjadi demokrasi di Indonesia. Pertama kita akan membahas mengenai pemilu, dimana pasca merdeka, Indonesia telah melaksanakan pemilu sebanyak sebelas kali, sekali saat orde lama (1955), enam kali saat orde baru (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997) dan 4 kali saat era reformasi(1999,2004,2009,2014). Seperti kita ketahui, ketika orde baru kita menganut system demokrasi meskipun dalam pelaksanaanya cenderung kearah otoriter. Kekuasaan presiden sangat dominan dengan Golkar sebagai pihak yang selalu memenangkan pemilu, kebebasan masyarakat untuk berpendapat, berserikatpun diawasi dan dibatasi, contohnya dapat kita lihat pada perbandingan jumlah partai yang mengikuti pemilu ketika orde baru dan reformasi. Partai saat orde baru lebih sedikit dibanding ere reformasi saat ini, mengindikasikan masyarakat sulit untuk berserikat dan membawa kepentinganya ke atas.

Meski diawal tadi saya mengatakan bahwa masyarakat sipil berbeda dengan masyarakat politik namun jumlah partai ini dapat dijadikan indicator peranan masyarakat sipil saat itu. Sedikitnya jumlah partai maka sedikit pula peluang orang untuk berserikat dan semakin kecil juga jalan masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya. Prinsip demokrasi yang menjunjung kebebasan serta partisipasi rakyat tidak berjalan dengan semestinya saat itu dan organisasi masyarakat sipil sulit berkembang.

(14)

saat itu, Indonesia memasuki masa transisi yang disertai dengan proses desentralisasi yang menekankan pada otonomi rakyat dan pemerintahan yang transparan.

Disini, masyarakat sipil menjadi actor utama, mereka memberdayakan warga, menggalang massa yang memiliki kepentingan sama dengan mereka lalu membentuk kelompok-kelompok agar aktif menyampaikan aspirasi serta tuntutanya dengan harapan pemerintah bisa mempertimbangkan, hal ini dirasa penting karena partai politik yang berperan sebagai intermediary antara warga dengan pemerintah dianggap gagal saat itu. Alhasil, semangat masyarakat sipil tersebut berhasil menggulingkan rezim yang telah berkuasa selama 32 tahun.

Dari penjelasan di atas kita lihat bahwa hubungan antara demokrasi dengan masyarakat sipil selalu berjalan beriringan, akan tetapi, sesungghnya telah timbul dilema dan keberatan dimasyarakat, dimulai dengan asosiasi masyarakat sipil dan media massa sebagai saran mobilisasi informasi yang hanya dapat menjalankan peran pembangunan demokrasi jika memiliki beberapa otonomi dari negara dalam pembiayaan, operasi, dan legal standing. Selanjutnya, muncul civic deficit, hal ini berkaitan dengan nilai positif dari masyarakat sipil untuk demokrasi. Masyarakat sipil harus otonom dari negara, tetapi tidak terasing dari itu. Mereka harus mewaspadainya tapi juga menghormati otoritas negara, ia harus mewujudkan beberapa derajat keseimbangan antara subjek dan partisipan.

Dilema lain adalah, muncul ketergantungan yang semakin besar, bukan pada negara, namun pada komunitas internasional (masalah financing). Dukungan dari dunia internasional tersebut dianggap dapat menguatkan, namun juga dapat membebankan negara secara aktif atau pasif. Ini dapat menjadi indikasi kemunduran dari masyarakat sipil yang seharusnya otonom tanpa ditunggangi oleh kepentingan pemerintah.

(15)

menentukan, bahkan bukan yang paling penting dalam negara, namun dengan semakin aktif, pluralistik, cerdas, dilembagakan dan semakin efektif menyeimbangkan ketegangan dalam hubungan dengan negara (antara otonomi dan kerjasama, kewaspadaan dan loyalitas, skeptisisme dan kepercayaan, ketegasan dan kesopanan) demokrasi akan lebih mudah timbul dan tumbuh lebih kuat. Masyarakat sipil tidak bisa memisahkan diri dari Negara karena ia membutuhkan pengakuan serta perlindungan dari Negara, masyarakat sipil juga tidak bisa menggantikan peran partai politik, karena mereka bukan masyarakat politik, namun masyarakat sipil dapat menggalang massa demi terjadinya transisi demokrasi.

(16)

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan

Civil society bukan sekedar arena di luar negara yang berusaha untuk mengartikulasikan kepentingan mereka, tetapi juga ada kesadaran secara horizontal dari kelompok masyarakat untuk menghimpun dirinya dalam asosiasi dan organisasi sukarela bekerjasama dalam bingkai keteraturan (ensemble of arrangement).

Demokrasi adalah semacam sistem yang lebih berorientasikan masyarakat (based on communities). Berbeda dengan sistem otoritarianisme yang bisa berdiri tegak dengan memakai aparatus ideologi negara saja, demokrasi tidak akan berjalan stabil bila tidak mendapatkan dukungan riil masyarakat. Demokrasi yang hanya melibatkan segelintir elite politik biasanya menjurus pada “otoritarianisme baru” atas nama demokrasi itu sendiri.

(17)

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan ekstrakurikuler merupakan salah satu perangkat operasional Kegiatan ekstrakurikuler merupakan salah satu perangkat operasional ((supplement  supplement   dan  

(2) faktor yang mempengaruhi para pedagang untuk berdagang adalah besarnya pangsa pasar dan lokasi yang stategis yang menjanjikan banyak keuntungan bagi para pedagang,

Matriks IFE adalah alat analisa strategi yang dapat digunakan untuk faktor internal dengan meringkas dan mengevaluasi kekuatan dan kelemahan internal perusahaan. Factor –

Aktiva tetap berwujud adalah Aset yang berwujud yang didapat/diperoleh dengan kondisi siap pakai ataupun dibangun terlebih dahulu dan dipakai dalam aktivitas operasi entitas

Bahan bakar jenis Premium menjadi bahan bakar yang paling boros digunakan, sedangkan Pertamax Plus merupakan jenis bahan bakar yang paling rendah dikonsumsi untuk

Torque dapat dihitung dengan Equation (12-3)... Arus rotor meningkat dengan proporsi yang sama dengan slip. Perubahan torque terhadap slip menunjukkan bahwa begitu slip naik dari

Ada dua tipe sistem bagi hasil yang dilakukan oleh para buruh tani, yang pertama yakni semua biaya produksi pertanian ditanggung oleh buruh tani, petani hanya membayar uang sewa

umumnya dan teknik perawatan pesawat udara pada khususnya yang diakui secara nasional.. dan regional pada