• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN MILITER MESIR DALAM DEMOKRATISASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERAN MILITER MESIR DALAM DEMOKRATISASI"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN MILITER MESIR DALAM DEMOKRATISASI PASCA PRESIDEN

HUSNI MUBARAK

disusun untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Militer dan Politik

Dosen Pengampu: Prof. Jahja Muhaimin Muhammad Rum, IMAS

Oleh:

Ezka Amalia 09/283366/SP/23675

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Selama ini, keterlibatan militer suatu negara dalam kehidupan politik dan kenegaraan seringkali dikaitkan dengan kudeta dan otoritarianisme. Apalagi ketika militer yang memiliki pengaruh yang kuat dalam suatu negara merasa “kebutuhan” ataupun kepentingan mereka tidak dipenuhi oleh pemerintah. Suatu negara yang berada di bawah pemerintahan militer seringkali tidak demokratis atau otoriter. Keotoriteran pemerintah tersebut kemudian menimbulkan keinginan untuk terjadinya demokratisasi. Keotoriteran juga seringkali menimbulkan hubungan yang tidak selaras antara sipil dengan militer. Republik Arab Mesir sebagai salah satu negara yang pernah mengalami kudeta militer pun tak lepas dari kecenderungan tersebut.

Kudeta pertama di Mesir yang terjadi pada tahun 1952 terhadap pemerintahan Raja Farouk dilakukan oleh militer yang tergabung dalam Free Officers Group yang dikomando oleh Kolonel Gamal Abdul Nasser. Kudeta tersebut membuat Mesir berada di bawah rezim militer. Kepenguasaan militer di pemerintahan Mesir kemudian diwujudkan dalam Revolution Command Council (RCC) dengan Jenderal Muhammad Naguib sebagai presiden. Seperti kecenderungan pemerintahan otoriter, pemerintahan Mesir saat itu juga menerapkan beberapa larangan termasuk larangan adanya partai politik. Naguib kemudian digantikan oleh Nasser. Meski hanya memperbolehkan satu organisasi politik di Mesir yaitu Arab Socialist Union, di bawah kepemimpinan Nasser, demokrasi mulai diperkenalkan ke Mesir. Setelah Nasser, Anwar Sadat yang juga berasal dari militer maju sebagai presiden Mesir. Sadat memiliki cita-cita mulia untuk menghapus jejak-jejak otoritarian di Mesir misalnya dengan membentuk Partai Demokrat Nasional (NDP) namun dianggap sebagai alat politik untuk mengendalikan kekuasaan militer dan menguasai proses politik Mesir.

(3)

kesejahteraan rakyat tidak diperhatikan. Setelah Mubarrak resmi mengundurkan diri lewat pidato resmi wakil presidennya, militer kemudian maju dan berjanji untuk mengawal proses demokratisasi di Mesir.

B. RUMUSAN MASALAH

Bagaimana peran militer dalam proses demokratisasi di Mesir pasca kejatuhan Presiden Husni Mubarak?

C. Landasan Konseptual

1. Tipologi Prajurit Amos Perlmutter

Tipologi yang dikemukakan oleh Amos Perlmutter merupakan pembagian tipe-tipe militer terkait dengan reaksi militer terhadap jenis kekuasaan atau politik dalam lembaga pemerintahan. Perlmutter membaginya menjadi tiga tipe yaitu:

a. Prajurit Profesional

Profesionalisme menempatkan tentara profesional sebagai prajurit yang memiliki kecakapan-kemahiran-kepandaian dalam bidang militer. Perwira profesional di zaman modern merupakan suatu jenis kelas sosial baru, dengan ciri-ciri dasar: 1). Keahlian, 2). Tanggung Jawab, 3). Korporatisme, dan 4). Ideologi. Perlmutter memposisikan variabel ketiga dan keempat, yakni korporatisme dan ideologi jauh lebih penting diantara variabel lainnya.

b. Prajurit Pretorian

Pretorianisme menggambarkan praktik kediktatoran militer atau keterlibatan militer dalam politik suatu negara, atau dengan kata lain politisasi militer atau militerisasi politik. Politisasi militer bisa diidentifikasi apabila tentara menjalankan tugas-tugas non-kemiliteran seperti misalnya membuat kebijakan baik domestik maupun luar negeri, terlibat secara aktif dalam pergantian jabatan pemerintahan atau memegang jabatan politis dalam pemerintahan. Sedangkan militerisasi politik adalah penggunaan koersif angkatan bersenjata dari aktor-aktor politik dalam suatu negara. Kecenderungan keterlibatan militer dalam politik ini disebabkan rendahnya tingkat budaya politik. c. Prajurit Revolusioner

(4)

suatu perkumpulan eksklusif para ahli yang membela tingkat kompetensi teknis perse, dan tidak membela kepentingan kelas.1 Oleh karena itu dalam tipe ini muncul hubungan

klien yang merujuk kepada siapa prajurit mengabdi dan berubah tiap fase revolusi yang mana siapapun yang dibela oleh prajurit adalah mereka yang melawan rezim. Ciri khas lain dari tipe ini yaitu intensitas mereka yang tinggi dalam keterlibatan berbagai bentuk tindak kekerasan, akan tetapi tidak berusaha melembagakan kekerasan sebagai okupasi yang otonom dan eksklusif. Perlmutter menyatakan bidang keahlian prajurit revolusioner tidak dipandang sebagai sarana mobilitas sosial. Komitmen revolusionernya memperkokoh keahlian dan keterampilan sekaligus merupakan nilai tambah tersendiri karena mereka tidak secara eksklusif masuk kedalam suatu kelompok fungsional yang terspesialisasi.

D. Argumen Utama

Dengan pernyataan yang dikemukakan oleh pihak militer sehari sebelum Mubarak mundur dari kursi presiden yaitu militer mendukung sipil dan akan mengawal jalannya demokrasi di Mesir, maka seharusnya peran militer dalam pemerintahan Mesir saat ini adalah sebagai prajurit praetorian, lebih khusus prajurit arbitrator. Hal ini turut diperjelas pada peran yang saat ini dipegang oleh Dewan Agung Militer sebagai pemerintahan transisional dengan jangka waktu enam bulan atau sampai dilaksanakannya pemilihan anggota parlemen dan presiden.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Keterlibatan Militer Mesir dalam Pemerintahan

1 A. Pelrmutter, The Military and Politics in Modern Times, edisi bahasa Indonesia Militer dan Politik, edisi kedua,

(5)

Militer Mesir, beserta akademi militernya, pertama kali dibentuk oleh Muhammad Ali, yang dianggap sebagai pendiri Mesir modern.2 Militer Mesir saat itu hingga akhir tahun 1940an

dan awal 1950an bertujuan untuk berperang dan memenangkan perang. Namun semenjak militer membentuk Free Officers Group di bawah komando Kolonel Gamal Andel Nasser dan rasa kekecewaan yang dirasakan oleh militer terhadap pemerintahan sipil di bawah Raja Farouk, militer mulai bergerak masuk ke dalam politik. Pergerakan dan intervensi militer dalam politik Mesir diawali dengan kudeta militer tahun 1952 yang dilakukan dengan mengatasnamakan rakyat Mesir terhadap pemerintahan sipil di bawah Raja Farouk, dan semenjak saat itu tercatat empat presiden Mesir berasal dari kalangan militer yaitu Jenderal Muhammad Naguib, Letnan Kolonel Gamal Abdel Nasser, Jenderal Besar Muhammad Anwar Sadat, dan Laksamana Jenderal Husni Mubarak.

Kudeta militer 1952 yang dilakukan oleh Free Officers Group mengakhiri kekuasaan monarkhi di bawah Raja Farouk dan menempatkan Jenderal Muhammad Naguib sebagai perdana menteri dan Nasser sebagai deputi perdana menteri. Pemilihan Naguib didasari alasan bahwa dia merupakan pahlawan yang terkenal dalam perang Arab-Israel serta dipercaya oleh tentara.3

Kemudian dibentuklah Revolutionary Command Council (RCC) yang menjadi motor pendukung pemerintahan militer saat itu. Naguib menunda pemilihan umum hingga Februari 1953, mengumumkan pencabutan Konstitusi 1923 dan bahwa Mesir berada di bawah “Pemerintahan Transisional” serta pemimpin Revolusi akan memegang kekuasaan kedaulatan tertinggi.4 Semua

partai politik yang ada di Mesir saat itu dilarang dan digantikan Liberation Rally yang berfungsi sebagai gerakan nasional. Pada tanggal 18 Juni 1953 sistem monarki dihapus dan Mesir menjadi negara republik. Keputusan tersebut kemudian menempatkan Jenderal Mohammad Naguib sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, dengan Letnan Kolonel Gamal Abdel Nasser sebagai deputi perdana menterinya dan menteri dalam negeri.5

Kepemimpinan dwi-tunggal militer tersebut kemudian mulai mengalami perpecahan pada 28 Februari 1954 ketika Naguib diminta mundur dari dunia politik oleh RCC. Setelah sempat mengundurkan diri sebagai presiden Mesir, Naguib kembali menduduki jabatan presiden

2 Egypt State Information Service, Modern Era (online), <http://www.sis.gov.eg/En/Story.aspx?sid=1662>, 8 Mei

2011.

3 P. Coutsoukis, Egypt: The Revolution and the Early Years of the New Government: 1952-56 (online), 21 Mei 2011. 4 S.E. Finer, THE MAN ON HORSEBACK: The Role of The Military in Politics, Frederick A. Praeger Inc., New

York, 1962, p. 37.

5 J. Sitohang, S. Dam, dan A.R. Rahman, Militer dan Demokratisasi di Nigeria, Mesir, dan Afrika Selatan, P2P-LIPI,

(6)

setelah terjadi demo besar-besaran yang menuntut kembalinya Naguib. Nasser kemudian menjadi perdana menteri sekaligus ketua RCC, dan mengumumkan pencabutan keputusan terkait pengembalian kekuasaan kepada sipil hingga tiga tahun masa pemerintahan transisional berakhir yaitu tahun 1956. November 1954 Naguib menjadi tahanan rumah dan jabatan tertinggi di Mesir jatuh ke tangan Nasser. Akhir tahun 1954, militer menjadi satu-satunya kelompok yang kuat di Mesir.

Di bawah Nasser dan dukungan penuh dari RCC, Mesir kembali diperintah oleh militer. Militer digunakan oleh Nasser sebagai dasar untuk legitimasi dan kekuasaan. Susunan pemerintahanpun didominasi oleh perwira militer, misalnya saja semua wakil presiden berasal dari militer dan kementrian-kementrian yang dianggap sebagai pos penting seperti kementrian perang dan kementrian dalam negeri diberikan kepada militer.6 Bahkan dewan pengurus redaksi

organisasi press seperti al-Ahram dikontrol oleh perwira militer. Selain itu, satu-satunya organisasi politik yang dibentuk dan diperbolehkan oleh pemerintah saat itu dikontrol oleh militer.

Di bawah kekuasaan militer, konstitusi baru dirumuskan pada tahun 1956 yang memberikan kekuasaan absolut pada presiden yaitu presiden memiliki hak untuk menunjuk maupun memberhentikan menteri. Organisasi mobilisasi rakyat Liberation Rally kemudian diganti menjadi Nasional Union (NU) yang akan memilih kandidat untuk Majelis Nasional yang merupakan badan legislatif tertinggi, sekaligus juga kandidat Presiden. National Union dibentuk dengan tujuan untuk memenangkan dukungan publik dan menghapus konflik antar kelas.7 23

Juni 1956, Nasser kembali terpilih menjadi presiden Mesir yang disusul pembubaran RCC. Meski anggota Majelis Nasional mayoritas merupakan perwira militer, mereka tetap memperbolehkan beberapa diskusi bebas dan debat tentang isu-isu yang kontroversial.8

Tahun 1958, bersamaan dengan pembentukan United Arab Republic (UAR) dengan Syria, dibentuklah konstitusi baru. Meskipun Konstitusi 1958 menjamin adanya kebebasan dasar seperti kebebasan pers, kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat, dan kepemilikan pribadi, konstitusi juga memperluas dan memperpanjang kekuasaan presiden. Misalnya presiden yang menentukan keanggotaan Majelis Nasional, presiden juga memiliki hak untuk memveto undang-undang meski veto dapat dibatalkan oleh 2/3 suara Majelis, dan sidang Majelis baru bisa

6 I. Harb, “The Egyptian Military in Politics: Disengagement or Accommodation”, Middle East Journal, vol. 57, no.

2, 2003, p. 279-8.

7 Feit, THE ARMED BUREAUCRATS: Military-Administrative Regimes and Political Development, Houghton

Mifflin Company, Boston, 1973, p. 156.

(7)

diadakan jika sudah ada surat perintah dari presiden. Tahun 1962, setelah Syria memisahkan diri, dibuatlah Undang-undang Konstitusional yang diikuti dengan dibuatnya Piagam Nasional 1962. Piagam Nasional tersebut selain menggabungkan pengaturan-pengaturan sebelumnya ke dalam kebijakan yang sosialis, juga menetapkan Arab Socialist Union atau ASU sebagai satu-satunya organisasi politik yang diakui oleh pemerintah dan menggantikan National Union.

Dalam konstitusi baru tersebut, Presiden memiliki hak untuk membubarkan Majelis. Selain itu, dengan adanya kebijakan nasionalisasi perusahaan asing yang telah dimulai sejak 1957 dan memuncak pada tahun 1961 dan dengan adanya dekrit semakin memperluas keterlibatan militer dalam politik Mesir ketika Nasser menempatkan perwira dalam posisi-posisi kunci dalam negara misalnya dalam perencanaan pembentukan kebijakan ekonomi dan sosial. Para perwira juga ditempatkan dalam pos diplomatik senior, bahkan dalam bidang kebudayaan, radio, pers, dan televisi.9 Meski Nasser tetap menyediakan posisi bagi birokrat sipil, perwira

militer tetap mendominasi pemerintahan. Terutama dalam ASU yang tujuan awalnya sebagai pemersatu kekuatan-kekuatan di Mesir, pada akhirnya tetap didominasi perwira militer, bahkan mantan anggota RCC. Tahun 1964, Nasser merilis sebuah rancangan konstitusi yang berfungsi sampai tahun 1971 dan didasarkan pada Piagam Nasional yang menekankan kebebasan, sosialisme, dan kesatuan.10

Namun, kekalahan Mesir dalam peperangan Enam Hari tahun 1967 dengan Israel mulai menurunkan otoritas pemerintahan Nasser dan sekaligus mencoreng citra militer dan merusak posisi istimewa mereka dalam negara.11 Nasser sempat mengundurkan diri namun

ditolak oleh rakyat Mesir, Kabinet dan Majelis Nasional. Nasser kemudian juga tetap menjabat sebagai panglima tertinggi, bahkan memperbesar kekuasaan politiknya dengan mengambil peran sebagai Perdana Menteri dan menjadi sekretaris jenderal ASU. Maret 1968 terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dan pekerja di Kairo, Alexandria, dan Hulwan. Meski penyebab langsung demonstrasi adalah keputusan pengadilan militer yang hanya menghukum dua perwira yang dianggap lalai dalam Perang 1967, demonstrasi tersebut juga didasari frustasi rakyat atas penindasan yang dilakukan oleh pemerintah dan kurangnya partisipasi rakyat dalam pemerintahan.

9 Feit, THE ARMED BUREAUCRATS: Military-Administrative Regimes and Political Development, p. 149.

10 Coutsoukis, Egypt: Nasser and Arab Socialism (online), 4 Juli 2002, <

http://workmall.com/wfb2001/egypt/egypt_history_nasser_and_arab_socialism.html>, 21 Mei 2011.

(8)

Nasser kemudian melakukan reformasi sistem politik yang meliputi pembentukan konstitusi baru, reformasi ASU, adanya kontrol parlemen atas pemerintah, dan jaminan kebebasan personal dan pers yang lebih besar, serta melaksanakan pemilu untuk memilih anggota Majelis Nasional. Namun reorganisasi ASU melalui pemilihan anggota baru dalam semua organ di ASU ternyata tidak memuaskan karena terbukti Nasser tidak memperluas partisipasi rakyat dalam pemerintahan. Meski muncul demonstrasi, Nasser tetap memimpin Mesir hingga tahun 1970 ketika dia meninggal akibat serangan jantung. Kursi presiden kemudian jatuh ke tangan wakil presiden Jenderal Besar Muhammad Anwar Al Sadat setelah sebelumnya disetujui oleh Komite Eksekutis ASU, Majelis Nasional dan dipilih secara referendum oleh rakyat Mesir.12

Saat itu, Anwar Sadat belum memiliki basis politik sendiri dan dimusuhi oleh pengikut Nasser hingga akhirnya Sadat menyingkirkan mereka dan mengurangi pengaruh militer dalam pemerintahan dengan menangkap beberapa tokoh-tokoh militer yang dianggap menentang kebijakannya.13 Penangkapan tersebut didasari alasan adanya perencanaan kudeta terhadap

pemerintahan. Beberapa perwira yang ditangkap adalah presiden ASU Ali Sabri, Menteri Dalam Negeri Sa’d Jum’a, dan Menteri Perang Muhammad Fawzi.14 Bulan Mei 1971 angkatan

bersenjata Mesir menjanjikan dukungan mereka untuk pemerintahan Sadat yang kemudian dibalas oleh Sadat dengan mengijinkan mereka untuk terjun ke dalam bidang ekonomi.

Profesionalisme militer Mesir pun semakin ditekankan setelah Perang 1973. Demi mencapai profesionalitas militer, Sadat menerapkan kebijakan untuk memberhentikan dan memecat perwira militer yang tidak menyetujui kebijakannya. Profesionalisme militer terlihat ketika militer memainkan peran dalam menjaga stabilitas dalam negeri misalnya dalam menangani kerusuhan 1977, dan segera kembali ke barak setelah situasi darurat berakhir. Jumlah perwira militer yang berada di kursi pemerintahan pun berkurang dengan rasio pada tahun1967 berkisar antara 40% hingga 60% dan pada tahun 1972 berkurang hingga 22,2%.15 Perdana

menterinya pun empat dari enam orang merupakan orang sipil dan dua lainnya merupakan mantan perwira militer. Walaupun demikian, Sadat mengangkat Husni Mubarak, mantan jenderal angkatan udara, sebagai wakil presidennya, dan mengisi posisi-posisi tinggi dalam pemerintahan

12 Sitohang, Dam, dan Rahman, Militer dan Demokratisasi di Nigeria, Mesir, dan Afrika Selatan, p. 68.

13 J. Pike, Egypt: Military in Politics, 16 Februari 2011, <

http://www.globalsecurity.org/military/world/egypt/politics-military.htm>, 2 April 2011.

(9)

dengan menunjuk beberapa perwira aktif maupun yang sudah pensiun. Aksi tersebut menandai dimulainya The Corrective Revolution yang bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi Mesir dan mengoreksi arah Revolusi 1952, terutama dalam kebijakan yang terlihat otoriter. September 1971 Sadat membentuk konstitusi baru yang memberikan jaminan tambahan terhadap penahanan sewenang-wenang, penyitaan properti, dan pelanggaran lain di era Nasser, setelah sebelumnya membubarkan badan legislatif dan menggantinya dengan kabinet baru.

Meski salah satu kebijakan Sadat adalah liberalisasi politik, kebijakan tersebut dijalankan hanya dalam tingkat tertentu, misalnya penyelenggarakan pemilu untuk anggota Majelis Rakyat—dulunya Majelis Nasional. Tahun 1975, Sadat mengizinkan adanya kelompok dalam ASU untuk mengekpresikan pendapat yaitu kelompok kanan yang kemudian bernama Socialist Liberal Organization, kelompok kiri yang dinamai National Progressive Unionist Organization, dan kelompok tengah yang diberi nama Egyptian Arab Socialist Organization. Namun, kekuatan utama politik Mesir seperti partai Wafd dan Ikhawanul Muslimin tidak diijinkan untuk mengikuti pemilu. Sadat juga membentuk partai politiknya sendiri sebagai alat dukungan politiknya yaitu Partai Demokrat Nasional atau NDP pada Juli 1978. Tahun 1979 keberadaan ASU diakhiri lewat penghilangan status konstitusional ASU dengan tujuan menghindari persaingan yang tidak diperlukan dan menghapus jejak-jejak politik otoritarianis dari presiden Mesir sebelumnya. Meski demikian, NDP menguasai sekitar dua pertiga kursi di parlemen dan menjadi partai terkuat di Mesir. Sadat juga membebaskan pemimpin Ikhawanul Muslimin dan tahanan politik lain. Mereka kemudian diberi jaminan kebebasan untuk beroperasi secara terbuka dan menerbitkan majalah mereka dengan tujuan melawa pertumbuhan kelompok kiri. Kebijakan tersebut runtuh ketika Sadat mengadakan perjanjian perdamaian dengan Israel. Mesir kembali berada di bawah pemerintahan militer setelah pembunuhan Anwar Sadat yang dilakukan oleh anggota Gerakan Al Jihad. Husni Mubarak maju menggantikan posisi Anwar Sadat sebagai presiden Mesir.

B. Mesir Di Bawah Kepemimpinan Husni Mubarak

(10)

1981.16 Mubarak sendiri bukan merupakan anggota Free Officers Group seperti

presiden-presiden Mesir sebelumnya. Hal ini menunjukkan upaya Sadat dalam memutus lingkaran pendukung Nasser. Pemerintahan Mesir di bawah Mubarak dinilai mewarisi warisan yang kompleks dari presiden-presiden sebelumnya yaitu di satu sisi undang-undang, lembaga dan prakteknya yang cenderung mendukung kepala negara, dan di sisi lain hasil dari kebijakan-kebijakan sebelumnya memberatkan dia.17 Meski demikian Mubarak tetap mempertahankan

personel yang sama dari era Sadat dan bergantung pada partai politik yang sama yaitu National Democratic Party (NDP). Mubarak juga melakukan perbaikan ala kadarnya untuk menyempurnakan demokratisasi di Mesir dengan tujuan utama memperoleh dukungan publik baik dalam negeri maupun luar negeri terhadap rezim militer yang berkuasa di Mesir.18

Perbaikan untuk menyempurnakan demokratisasi tersebut termasuk mulai mengendorkan pembatasan-pembatasan politik yang berujung pada partisipasi politik yang meluas meski dengan koridor politik yang terbatas. Kelompok masyarakat sipil mulai menjamur walaupun negara masih mengawasi kegiatan mereka. Partai-partai politik lebih bebas untuk beroperasi secara terbuka, bahkan pada pemilu tahun 1984 partai Wafd beraliansi dengan Ikhwanul Muslimin dan memenangkan 58 kursi gabungan di Majelis Rakyat.19 Namun,

kemenangan NDP pada pemilu 1984 yang dianggap sebagai “partai pemerintah” tersebut terkesan meminggirkan partai oposisi yang ada, dan memperlihatkan penetapan secara de facto sistem satu partai di Mesir dengan mengacu pada fakta yang ada saat itu dimana pembentukan partai politik baru sangat sulit di bawah Undang-undang Partai Politik. Pada pemilu tahun 1987, NDP kembali memenangkan pemilu, dan Mubarak kembali terpilih menjadi presiden melalui referendum nasional berturut-turut pada tahun 1987, 1993, dan 1999. Mubarak kembali menjadi presiden lewat pemilihan umum yang diadakan untuk pertama kalinya di Mesir pada tahun 2005. Di bawah pemerintahan Mubarak, militer tetap memiliki pengaruh penting di Mesir, tidak hanya dalam politik tetapi juga dalam ekonomi dengan memunculkan industri militer yang dikembangkan oleh Panglima Tertinggi ‘Abd al-Halim Abu Ghazala.20 Mubarak

memperbolehkan militer yang dianggap tidak lagi disibukkan dengan peperangan eksternal untuk terjun ke dalam domain sipil. Keterlibatan militer dalam politik di masa Mubarak ditunjukkan

16Coutsoukis, Egypt: Mubarak and the Middle Way, 4 Juli 2002, <

http://workmall.com/wfb2001/egypt/egypt_history_mubarak_and_the_middle_way.html>, 21 Mei 2011.

17 N.N. Ayubi, The State & Public Policies in Egypt Since Sadat, Ithaca Press, Reading, 1991, p. 226-7. 18 Sitohang, Dam, dan Rahman, Militer dan Demokratisasi di Nigeria, Mesir, dan Afrika Selatan, p. 71. 19 Harb, “The Egyptian Military in Politics: Disengagement or Accommodation”, p. 284.

(11)

dengan adanya penunjukan beberapa perwira militer untuk menempati posisi gubernur provinsi, perluasan yurisdiksi pengadilan militer, dan tekanan dari pihak militer untuk menggabungkan industri motor lokal dengan perusahaan Amerika General Motor.21 Dalam bidang politik

pengaruh militer semakin menguat ketika militer mampu menghentikan pemberontakan oleh polisi keamanan pada tahun 1986. Bahkan dikatakan bahwa militer meminggirkan pengaruh sipil pada orientasi umum politik negara.22

Selain itu, militer juga menikmati otonomi dalam tingkat tertentu misalnya alokasi anggarannya tidak terperinci dan tidak memerlukan pengawasan dari Badan Pengawasan Keuangan. Keuangan mereka juga tidak bergantung pada pemerintah sejak mereka menjadi actor baru dalam perekonomian Mesir. Meskipun berada di bawah kekuasaan seorang presiden yang berasal dari militer, hubungan sipil dan militer di Mesir dapat dikatakan bahwa militer Mesir mulai didepolitisasi dan susunan pemerintahan mulai diisi oleh orang-orang sipil. Di sisi lain, wajah pemerintah yang dikatakan lebih “sipil” dibandingkan sebelumnya pada kenyataanya tidak mengubah peran ganda yang dimiliki oleh militer.23

Awal masa pemerintahan Mesir di bawah Mubarak sendiri tidak lepas dari masalah, terutama terkait masalah ekonomi yang mencapai taraf kritis. Apalagi subsidi yang diberikan oleh pemerintah pada tahun 1983 hingga 1984 terhadap barang-barang kebutuhan dasar menguras anggaran secara besar-besaran. Namun, ketika subsidi ini dihilangkan muncul peristiwa kekerasan yang kemudian menyebabkan sejumlah orang ditangkap termasuk tujuh orang anggota National Progressive Union Party. Penangkapan tersebut merupakan salah satu penangkapan yang dilakukan pemerintah terhadap anggota partai politik yang legal menggunakan hukum darurat yang telah diperbaharui.24

Bahkan dalam masa pemerintahannya yang berlangsung sekitar 30 tahun, Mubarak menghadapi permasalahan yang semakin pelik, diantaranya adalah suburnya korupsi, demokrasi, hingga usaha percobaan pembunuhan terhadap dirinya sendiri oleh oposisi-oposisinya. Hingga akhirnya terjadi revolusi pada tahun 2011 yang dilakukan oleh rakyat mesir sendiri karena kekecewaan mereka terhadap pemerintahan saat itu, khususnya Mubarak yang telah terlalu lama menjadi presiden Mesir. Usaha pertama yang dilakukan oleh Mubarak adalah menunjuk Kepala

21 Ayubi, The State & Public Policies in Egypt Since Sadat, p. 261.

22 Harb, “The Egyptian Military in Politics: Disengagement or Accommodation”, p. 287.

23 M. Kamrava, “Military Professionalization and Civil Military Relations in the Middle East”, Political Science

Quarterly, vol. 115, no. 1, 2000, p. 68.

24 Hukum darurat tersebut diperbaharui dengan justifikasi hukum tersebut hanya akan ditujukan untuk melawan

(12)

Intelijen Nasional Omar Suleiman sebagai wakil presiden, untuk pertama kalinya Mubarak mempunyai wakil presiden sejak dia berkuasa, dan Menteri Penerbangan Sipil Ahamd Shafiq sebagai perdana menteri. Kedua orang tersebut dianggap sebagai tokoh militer yang memiliki hubungan dekat dengan presiden.25 Meski tidak lagi bersedia menjadi calon presiden dalam

pemilu tahun ini, Mubarak yang sempat menolak mengundurkan diri dengan alasan untuk melindungi bangsa Mesir26 akhirnya turun dari jabatannya sebagai presiden terlama di Mesir

setelah rakyat mendapat dukungan penuh dari militer yang pada awal munculnya protes terhadap pemerintah tetap loyal terhadap presiden.

C. Peran Militer Dalam Demokratisasi Mesir Pasca Husni Mubarak

Setelah pengunduran diri Mubarak pada 11 Februari 2011 sebagai presiden Mesir, pemerintahan Mesir hingga saat ini dipegang oleh Dewan Agung Militer Mesir dengan mengatasnamakan rakyat dan untuk mengawal transisi menuju demokrasi.27 Dewan Agung

Militer, yang dibentuk dengan 20 anggota yang semuanya merupakan perwira militer berpangkat tinggi di bawah pimpinan Menteri Pertahanan dan Produksi Militer Marsekal Mohammed Husain Tantawi,28 memerintah berdasarkan undang-undang darurat militer dengan jangka waktu

pemerintahan enam bulan atau sampai dilaksanakannya pemilihan untuk presiden dan anggota parlemen.29 Mereka mengambil alih kekuasaan setelah pertemuan Majelis Utama Militer Mesir30

memutuskan militer akan mendukung dan memenuhi tuntutan rakyat demi melindungi negara. Janji militer untuk mengawal dan mengawasi jalannya transisi demokrasi di Mesir dilakukan dengan membongkar rezim Mubarak melalui reshuffle kabinet, mengubah konstitusi melalui referendum, dan menunda pemilu untuk parlemen yang awalnya akan dilaksanakan pada bulan

25 Congressional Research Service, “Egypt: Background and U.S. Relations”, CRS Report for Congress, 4 Februari

2011, <http://fpc.state.gov/documents/organization/156525.pdf>, 3 Mei 2011, p. 2.

26 Congressional Research Service, “Egypt: Background and U.S. Relations”, p. 3.

27 Congressional Research Service, “Egypt in Transition”, CRS Report for Congress, 29 Maret 2011,

<http://www.fas.org/sgp/crs/mideast/RL33003.pdf>, 3 Mei 2011, p. 1.

28 Egypt State Information Service, Formation of the Armed Forces Supreme Council,

<http://www.sis.gov.eg/En/LastPage.aspx?Category_ID=1136>, 8 Mei 2011.

29 Egypt State Information Service, The Supreme Council of the Armed Forces: Constitutional Proclamation,

<http://www.sis.gov.eg/En/Story.aspx?sid=53709>, 1 Juni 2011.

30 Media Indonesia, Militer Akan Penuhi Keinginan Demonstran, 10 Februari 2011,

(13)

Juni 2011, akhirnya dijadwalkan dilaksanakan pada bulan September meski belum ada tanggal pasti untuk pemilihan presiden.

Menurut Amos Perlmutter, tipologi prajurit dalam sebuah negara dapat dibagi menjadi tiga, salah satunya adalah prajurit praetorian. Prajurit praetorian adalah prajurit yang melibatkan diri dalam politik dan menjalankan tugas non kemiliteran. Dengan definisi tersebut, keterlibatan militer Mesir saat ini dalam proses transisi demokrasi Mesir, terutama mereka yang duduk di Dewan Agung Militer Mesir termasuk ke dalam tipe prajurit praetorian. Hal tersebut terlihat dari keterlibatan mereka ke dalam politik dengan berperan sebagai pemerintahan sementara yang berkuasa di Mesir. Dengan menggunakan dalih demi melindungi negara dan atas nama rakyat, mereka menggunakan undang-undang darurat militer untuk mengambil alih kekuasaan dan terlibat dalam urusan politik yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang sipil. Mereka menjalankan tugas non kemiliteran, misalnya saja menunda pemilihan, mengganti susunan pemerintahan31, dan menangguhkan konstitusi. Ditambah lagi, Dewan Agung Militer mengganti

18 gubernur di beberapa provinsi yang diangkat oleh Mubarak dengan menunjuk beberapa perwira militer dan polisi.

Posisi sebagai prajurit praetorian yang dimiliki oleh militer Mesir, terutama pasca kejatuhan Mubarak dari kursi kepresidenan Mesir, salah satunya didasari oleh perkembangan politik di Mesir yang lambat. Hal ini dapat dilihat dari misalnya pemilihan presiden di Mesir yang dari tahun 1952 hingga 2005 dipilih melalui referendum Majelis Rakyat. Selain itu meski kelompok oposisi telah ada sejak Mesir menjadi Negara republik dan mengajukan tuntutan adanya reformasi, pemerintah hanya memberikan reformasi yang terbatas yang tidak akan merusak secara substansial tatanan politik yang ada. Apalagi konstitusi yang ada dan susunan pemerintahan mendukung terciptanya iklim politik yang membuat rakyat tidak percaya pada system pemerintahan dan tidak tertarik untuk mengikuti kegiatan partai oposisi.

Tipe prajurit praetorian yang dimiliki oleh militer Mesir sebenarnya sudah terlihat ketika militer Mesir sampai saat ini menjadi kekuatan dan penyokong utama rezim pemerintah Mesir. Dengan kata lain pemerintahan Mesir memiliki ketergantungan terhadap militer untuk memastikan legitimasi dan kekuasaan mereka terus bertahan.32 Militerlah dukungan politik

31 Era Muslim, Ikut Cara Mubarak, Penguasa Mesir Tunjuk 18 Gubernur dari Kalangan Militer, 15 April 2011,

<http://www.eramuslim.com/berita/dunia/ikut-cara-mubarak-penguasa-mesir-tunjuk-18-gubernur-dari-kalangan-militer.htm>, 1 Juni 2011.

(14)

paling penting dalam pemerintahan Mesir hingga saat ini. Apalagi dengan budaya politik di Mesir yang tergolong rendah, misalnya sistem satu partai yang ditetapkan secara de facto dengan melihat kemenangan yang diraih oleh partai NDP yang secara langsung dipimpin berturut-turut oleh Sadat dan Mubarak, meski secara de jure Mesir menggunakan sistem multipartai.

(15)

BAB III

KESIMPULAN

Mesir adalah negara praetorian. Hal ini terlihat dari sejarah Mesir sebagai sebuah negara modern dengan sistem presidensiil yang susunan pemerintahannya didominasi oleh militer. Dimulai dari Revolusi 1952 yang menandakan keterlibatan militer Mesir untuk pertamakalinya dalam politik hingga Revolusi Rakyat 2011, Mesir berada di bawah pemerintahan rezim militer meski setiap pemerintahan memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Muhammad Husni Mubarak merupakan salah satu presiden Mesir yang berasal dari kalangan militer. Setelah 30 tahun memerintah, akhirnya Mubarak turun dari kursi kepresidenan pada tanggal 11 Februari 2011, 18 hari setelah terjadinya protes besar-besaran oleh rakyat Mesir.

(16)

pemerintahan transisional dan dikembalikan ke sipil namun pada akhirnya pemerintahan berada di bawah kuasa junta militer. Oleh karena itu, pihak sipil, terutama rakyat Mesir harus benar-benar mengawasi jalannya pemerintahan transisional di bawah Dewan Agung Militer dan tidak begitu saja menerima keputusan mereka jika benar-benar ingin terjadi transisi demokrasi di Mesir. Selain itu, keterlibatan militer Mesir dalam politik tersebut memperlihatkan bahwa pada kenyataanya konsep yang menyatakan bahwa militer berada di bawah control pemerintahan sipil tidak dapat diterapkan begitu saja di negara-negara berkembang.

DAFTAR PUSTAKA

Pustaka Literatur

Ayubi, Nazih N. 1991. The State & Public Policies in Egypt Since Sadat. Reading: Ithaca Press. Feit, Edward. 1973. The Armed Bureaucrats: Military-Administrative Regimes and Political

Development. Boston: Houghton Mifflin Company.

Finer, S.E. 1962. The Role of the Military in Politics. New York: Frederick A. Praeger Inc. Maniruzzaman, Talukder. 1987. Military Withdrawal From Politics: A Comparative Study.

Massachusetts: Ballinger Publishing Company.

Nordlinger, Erick A. 1977. SOLDIERS IN POLITICS: Military Coups and Government. New Jersey: Prentice-Hall Inc.

Perlmutter, Amos. 1981. Political Roles and Military Rules. London: Frank Cass and Company Limited.

______________. 2000. The Military and Politics in Modern Times. Edisi Bahasa Indonesia Militer dan Politik. Edisi Kedua. Diterjemahkan oleh PT Raha Grafindo Pustaka. Jakarta: PT. Raja Grafindo Pustaka.

Sitohang, Japanton, Syamsyumar Dam, dan Agus R. Rahman. 2001. Militer dan Demokratisasi di Nigeria, Mesir, dan Afrika Selatan. Jakarta: P2P-LIPI.

(17)

Congressional Research Service. 2011. “Egypt: Background and U.S. Relations”. CRS Report for Congress. Diunduh dari <http://fpc.state.gov/documents/organization/156525.pdf> pada 3 Mei 2011.

__________________________. 2011. “Egypt in Transition” (online). CRS Report for Congress. Diunduh dari <http://www.fas.org/sgp/crs/mideast/RL33003.pdf> pada 3 Mei 2011.

Cordesman, Anthony H. 2011. If Mubarak Leaves: The Role of Egyptian Military. Diunduh dari <http://csis.org/publication/if-mubarak-leaves-role-us-military> pada 3 Januari 2011.

Coutsoukis, Photius. 2002. Egypt: On the Treshold of Revolution (online). Diunduh dari < http://workmall.com/wfb2001/egypt/egypt_history_on_the_threshold_of_revolution_1945_5 2.html> pada 21 Mei 2011.

________________. 2002. Egypt: The Revolution and the Early Years of New Government

(online). Diunduh dari

<http://workmall.com/wfb2001/egypt/egypt_history_the_revolution_and_the_early_years_of _the_new_government_1952_56.html> pada 21 Mei 2011.

________________. 2002. Egypt: Nasser and Arab Socialism (online). Diunduh dari < http://workmall.com/wfb2001/egypt/egypt_history_nasser_and_arab_socialism.html> pada 21 Mei 2011.

________________. 2002. Egypt: Nasser Legacy (online). Diunduh dari <http://workmall.com/wfb2001/egypt/egypt_history_nassers_legacy.html> pada 21 Mei 2011.

________________. 2002. Egypt: Sadat Takes Over, 1970-73 (online). Diunduh dari <http://workmall.com/wfb2001/egypt/egypt_history_sadat_takes_over_1970_73.html> pada 21 Mei 2011.

_________________. 2002. Egypt: Political Developments, 1971-78 (online). Diunduh dari <http://workmall.com/wfb2001/egypt/egypt_history_political_developments_1971_78.html> pada 21 Mei 2011.

(18)

Egypt State Information Service. Modern Era (online). Diunduh dari <http://www.sis.gov.eg/En/Story.aspx?sid=1662> pada 8 Mei 2011.

Egypt State Information Service, Formation of the Armed Forces Supreme Council, <http://www.sis.gov.eg/En/LastPage.aspx?Category_ID=1136>, 8 Mei 2011.

Egypt State Information Service, The Supreme Council of the Armed Forces: Constitutional Proclamation, <http://www.sis.gov.eg/En/Story.aspx?sid=53709>, 1 Juni 2011.

Era Muslim. 2011. Ikut Cara Mubarak, Penguasa Mesir Tunjuk 18 Gubernur dari Kalangan Militer (online). Diunduh dari <http://www.eramuslim.com/berita/dunia/ikut-cara-mubarak-penguasa-mesir-tunjuk-18-gubernur-dari-kalangan-militer.htm> pada 1 Juni 2011.

Harb, Imad. 2003. “The Egyptian Military in Politics: Disengagement or Accommodation” (online). Middle East Journal (vol. 57, no. 2). Diunduh dari < http://ezproxy.ugm.ac.id:2056/stable/pdfplus/4329881.pdf> pada 23 April 2011.

Kamrava, Mehran. 2000. “Military Professionalization and Civil Military Relations in the Middle East” (online). Political Science Quarterly (Vol. 115, No. 1). Diunduh dari <http://ezproxy.ugm.ac.id:2056/stable/pdfplus/2658034.pdf> pada 2 April 2011.

Referensi

Dokumen terkait

(1) Pemegang IUP Operasi Produksi yang sudah memperoleh perpanjangan IUP Operasi Produksi sebanyak 2 (dua) kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (3), dalam jangka waktu

Berdasarkan permasalahan implementasi Antropometri tersebut dan adanya fasilitas website Antropometri Indonesia Online yang telah dijelaskan diatas, didapatkan peluang

1 2 3 4 5 6 7 MULAI DOSEN SELESAI MAHASISWA MULAI DOSEN SELESAI MAHASISWA MULAI DOSEN SELESAI MAHASISWA MULAI DOSEN SELESAI MAHASISWA MULAI DOSEN SELESAI MAHASISWA MULAI DOSEN

Imam Ibn Hadjar al-Asqolany mengatakan bahwa sahabat adalah mereka yang bertemu Rasulullah saw., beriman dengan wahyu yang diterimanya, meninggal dalam keadaan tetap Is- lam dan

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang atas segala berkah, rahmat, dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan karya tulis

Proposed draft and draft maximum levels for lead in selected fruits and vegetables (fresh and processed) and other selected food categories in the General Standard for Contaminants

Hasil penelitian yang akan dilakukan ini diharapkan dapat menambah dan melengkapi informasi dan kepustakaan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi anemia pada ibu

Pada tahapan pertama ini pula dapat diketahui jika dalam tahapan kedua nanti diketahui bentuk transkrip teks dialog dapat muncul linieritas dengan bahasa non verbal, maka