• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Teori Peran terhadap Kebijakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisis Teori Peran terhadap Kebijakan"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Ujian Tengah Semester Hubungan Luar Negeri dan Diplomasi Indonesia Nama: Ayuni Yustika Sari

NPM: 1606823973

Analisis Teori Peran dan Relevansi Bebas-Aktif dalam Kebijakan Luar Negeri Indonesia di Era Kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono

Di atas panggung internasional, tidak dapat dipungkiri bahwa seluruh aktor internasional kini sedang berkompetisi dan bertarung. Indonesia sebagai negara yang hadir dengan kebijakan luar negerinya dengan prinsip bebas aktif, diharapkan dapat menaruh diri dalam menentukan arah dalam pengambilan langkah dan keputusannya. Berangkat dari situ, penulis hendak menempatkan Indonesia apabila diterapkan melalui teori peran (role theory). Lebih sempit lagi, penulis hendak mengkajinya pada masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, di mana ramainya jargon politik segala arah. Tulisan ini akan dibagi menjadi empat babak: pertama, penjelasan mendasar mengenai teori peran; kedua latar belakang historis dari prinsip bebas aktif tersendiri; ketiga, analisis penulis mengenai keterkaitan teori peran dan prinsip bebas aktif pada era SBY; dan keempat, akan ditutup oleh sebuah kesimpulan.

Selayang Pandang Teori Peran

Layaknya pemaparan prinsip bebas-aktif di atas, kajian tersebut penulis anggap menarik, karena Indonesia—sebagai emerging country dengan posisi geopolitik yang strategis—memiliki peluang besar dalam menjadi pemimpin kawasan. Oleh karenanya, penulis hendak menganalisis perkembangan kebijakan luar negeri Indonesia dengan teori peran. Paling tidak terdapat dua alasan mengapa teori peran dipilih sebagai pendasaran. Pertama, teori ini digunakan dalam memahami perilaku berkelompok yang terlibat dalam pengambilan keputusan. Kedua, teori peran digunakan tanpa acuan terhadap sistem politik yang lebih tinggi, sistem internasional, tanpa lepas dari pemahaman persepsi policy-makers

terhadap expected roles.

Sebelum beranjak lebih lanjut, penulis akan menjelaskan konsep teori peran tersendiri. Teori peran dalam kajian hubungan internasional pertama kali dirangkai oleh K. J. Holsti pada tahun 1970 dalam karyanya yang bertajuk National Role Conceptions in the Study of Foreign Policy. Awalnya, konsep ini hadir sebagai dialektika persepsi akademisi hubungan internasional terhadap perilaku suatu negara dalam interaksi internasional. Karena ditelaah pada masa Perang Dingin, Holsti mengungkapkan bahwa sistem internasional diklasifikasikan menjadi sejumlah blok—seperti Blok Barat, Blok Timur, hingga Non Blok— yang kemudian terbagi kembali menjadi pemimpin blok (bloc leaders), penyeimbang (balancers), atau sekadar pengikut (satellites).1

Holsti yang kemudian mengklasifikasi kategori tiap-tiap negara dalam sejumlah kuartil, melakukan rangkaian analisis terhadap peran yang dimiliki negara dalam sistem internasional. Ia menyingkap bahwa peran negara dalam berinteraksi ditentukan oleh konsepsi peran, status negara, kemudian harapan dan bahkan tuntutan peran dari negara lain. Mengenai konseptualisasi peran, Holsti mengenalkan tiga konsepsi peran yakni: role

(2)

conception, role prescription, dan role performances.2 Secara sederhana, role conception merupakan kepribadian atau pemikiran suatu negara; role prescription adalah harapan peran yang diemban suatu negara dalam sistem internasional; sedangkan role performances adalah perilaku dan tindak-tanduk negara dalam politik internasional.3

Penulis akan menarik fondasi teori Holsti menjadi empat asumsi mendasar: (1) pembuat kebijakan luar negeri atau policy-makers sejatinya mengemban role conception; (2)

role conception dalam batasan tertentu lebih berpengaruh dibandingkan dengan role prescription yang turun dari lingkungan internasional; (3) sumber role conception adalah gabungan penjumlahan dari kemampuan lokasi, struktur sistem, kekhasan sosial ekonomi, dan kepribadian pemimpin saat itu; serta (4) konsekuensi dari role conception berupa perilaku atau sikap negara yang kemudian berpengaruh terhadap keseimbangan dan perubahan dalam sistem internasional. Melalui asumsi-asumsi dasar inilah Holsti mencetuskan teori peran dalam kajian hubungan internasional.

Latar Belakang dan Kerangka Singkat Prinsip Bebas Aktif

Foreign policy begins at home.” Petikan tersebut dirasa sangat terukir pada kebijakan luar negeri Indonesia yang hadir dan berkembang melalui manifestasi historis dan budayanya. Para policy-makers Indonesia percaya bahwa kebijakan luar negeri sepatutnya mencerminkan kepentingan nasional, kemudian disongsong dan dikemas berdasarkan rangkaian nilai, prinsip, serta junjungan bersama.4 Pendasaran normatif tersebut ternyata tidak membedakan Indonesia dengan penegakan foreign policy pada umumnya. Maka dari itu, tercetuslah prinsip politik luar negeri Indonesia dengan konseptualisasi bebas (independent) dan aktif (active).

Ditelaah dari aspek historis, prinsip bebas aktif tercatat pertama kali disebutkan oleh Sutan Syahrir dalam Inter-Asia Relations Conference di New Delhi pada tahun 1947.5 Lagi-lagi menyinggung Perang Dingin, pernyataan Syahrir saat itu mengangkat konteks di mana dua hegemon sedang bersaing menyebarluaskan pengaruhnya. Hal yang penulis tangkap adalah Syahrir, secara tidak langsung, bersabda bahwa negara yang baru merdeka layaknya Indonesia sepatutnya lepas dari usikan berat untuk memihak pada satu blok. Pidato Syahrir yang dikenal dengan tajuk Mendayung di Antara Dua Karang menjadi tolak ukur terkemuka yang mengabsahkan deklarasi Indonesia atas prinsip bebas aktif.

Filosofi ‘mendayung di antara dua karang’ yang dibantu oleh Mohammad Hatta membayangkan Indonesia sebagai negara berdaulat yang merdeka seutuhnya, tanpa harus mengabdi terhadap satu pihak. Hal yang penulis anggap menarik di sini adalah SBY yang mencoba membangunkan kembali filosofi tersebut melalui pidatonya yang menyebutkan Indonesia sedang ‘mengarungi samudera bergejolak.’ Kebijakan luar negeri Indonesia saat itu gemar menggali opini publik yang dilakukan berdasarkan kehendak publik di ruang publik, di mana terjadinya interaksi antarpemerintah dan publik. Dari sinilah upaya ‘bebas aktif’ dicanangkan dalam era kepresidenan SBY.

Teori Peran, Kebijakan Luar Negeri Indonesia, dan SBY

Prinsip yang telah diangkat sebagai identitas nasional sejak awal kemerdekaan selalu menjadi acuan dalam pembuatan ukuran kebijakan luar negeri Indonesia. Seperti yang telah dipaparkan terkait teori peran; role conception kebijakan luar negeri suatu negara dapat

2Ibid., hlm. 239.

3Ibid., hlm. 239–240.

4 Rizal Sukma, “The Evolution of Indonesia’s Foreign Policy: An Indonesian View,” Asian Survey vol. 35, no. 3 (Maret 1995): hlm. 306.

(3)

bersumber dari prinsip dasar politik luar negerinya, sementara role prescription berasal dari lingkungan, norma, maupun hukum internasional yang berlaku. Jikalau teori tersebut diterapkan pada kebijakan luar negeri Indonesia, maka pelaksanaannya bersumber dari role conception berupa kepentingan nasional yang diemban serta prinsip bebas aktif, sedangkan peran yang diharapkan dari Indonesia atau role prescription-nya timbul dari situasi internasional yang bergolak dari waktu ke waktu, dari satu pemerintahan ke pemerintahan lainnya. Perpaduan keduanya diasumsikan menjadi keluaran (output) kebijakan luar negeri Indonesia.

Gejolak lingkungan internasional saat itu berubah secara cepat. Hal ini tentu disertai dengan suatu jargon yang mengungkapkan bahwa Indonesia sebaiknya menggabungkan diplomasi kebebasan dan diplomasi aktif untuk tidak menerima siapa pun sebagai musuh dan mencari kawan sebanyak-banyaknya. Pelayaran kebijakan luar negeri Indonesia kontemporer di bawah naungan mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dikenal dengan jargon zero enemy and a million friends. Penulis berpendapat bahwa jargon tersebut cenderung utopis dan hanya berusaha menggenapi doktrin “mengarungi samudera di antara dua karang” yang sebelumnya dikemukakan oleh Syahrir dan Mohammad Hatta.

Ketika gejolak perpolitikan dipertaruhkan, maka kerjasama internasional dirasa menjadi faktor utama untuk memandang secara optimis. Dengan kebijakan luar negeri ke segala arah yang dicanangkan SBY, Indonesia direncanakan aktif dalam menguak ikatan erat dengan seluruh penjuru dunia. Semboyan megah yang diagungkan oleh pemerintahan SBY seringkali terbentur dengan berbagai kontroversi. Contoh kecilnya adalah Indonesia yang pada saat itu—dan sampai sekarang—masih ragu untuk menjalin kerjasama dengan Israel. Penulis merasa hal ini perlu ditindaklanjuti karena secara tidak langsung, hal tersebut juga menciptakan suatu anomali keberpihakan. Arti dari semboyan tersebut kerap kali dipertanyakan, namun senantiasa dipromosikan.

Di tengah era polaritas dunia yang semakin kompleks, jargon tersebut menekankan posisi netralitas Indonesia. Kebijakan era kepresidenan SBY menciptakan role performance

bagi Indonesia untuk—mengutip Dino Patti Djalal—“mengulurkan tangan dengan siapa pun yang pro-Indonesia.”6 Penulis merasa bahwa Indonesia secara bertahap mengalami transisi performa ke arah persepsi publik yang positif. Reputasi tersebut mengalihkan mispersepsi masyarakat terkait berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia dan sebagai negara yang diasosiasikan dengan oasis bagi koruptor.

Citra positif tersebut tidak dapat dipungkiri mengundang Indonesia sebagai pemegang amanah tuan rumah sejumlah forum internasional. Sebut saja Indonesia yang didaulatkan sebagai ketua ASEAN tahun 2011. Jargon SBY yang menyiratkan politik luar negeri dari segala arah diterapkan dalam peran yang Indonesia mainkan dalam ASEAN, yakni Asia Tenggara yang dipilih sebagai lingkaran konsentris perdana dalam perjuangan kebijakan luar negeri Indonesia. Sejumlah permasalahan yang diangkat pada saat itu tidak lain adalah masalah perbatasan Thailand-Kamboja, hingga perselisihan Laut Cina Selatan. Indonesia, yang ditunjuk menjadi ketua dan tuan rumah ASEAN pada tahun 2011, menjalankan role conception-nya sebagai penyeimbang dinamika di kandangnya sendiri.

Selain itu, keterlibatan Indonesia di Forum G-20 semakin unggul dalam konstelasi politik internasional. Reputasi Indonesia dan presidennya sangat positif pada saat itu, mulai dari Presiden SBY yang dinobatkan sebagai kandidat Piala Perdamaian Nobel, hingga ditawarkan posisi penting di Perserikatan Bangsa-Bangsa.7 Mulai dari permasalahan mendasar, memahami pemilihan diksi a million friends penulis rasa sulit dimaknai. Jumlah

6 Dino Patti Djalal, Harus Bisa: Seni Kepemimpinan ala SBY (Jakarta: R&W, 2009), hlm. 107.

7 The Straits Times, “Indonesian President Yudhoyono Offered Leading Position at United Nations: Report,”

(4)

total negara yang berdaulat tentunya jauh dari angka seribu, lebih lagi satu juta. Alasan SBY menciptakan role perception melalui petikan tersebut didasari oleh pengungkapan bahwa kawan Indonesia bukan hanya ‘aktor’ negara.

Perwujudan dari a million friends and zero enemy dimanifestasikan dengan Indonesia yang menjalin hubungan diplomatik baru dengan 21 negara anggota PBB. Setidaknya pada tahun 2011, Kementerian Luar Negeri telah meresmikan pembukaan hubungan dengan delapan negara di sela-sela Sidang Majelis Umum, sebut saja Antigua dan Barbuda, El Salvador, Mauritania, Montenegro, Niger, San Marino, Republik Dominika, serta Sao Tome dan Principe.8 Selanjutnya, pada tahun 2012, direncanakan pembukaan perwakilan untuk Georgia, Oman, dan Vanuatu di Jakarta.

Hal yang hendak penulis jawab adalah pertanyaan atas: Ketika suatu rezim kerap mengemas penyamarataan citra terhadap masyarakat awam, herankah jika muncul kontradiksi atau perlawanan terhadap pemerintahan tersebut? Perlunya proyek pencitraan penulis rasa berbasis pada fondasi awalnya. Bahwasanya kekuatan dari kekuasaan SBY, role perception yang ia ciptakan, terletak pada fondasi reputasi. Partai Demokrat sendiri naik daun atas ketenaran personal pemimpinnya, terlepas dari populisme ideologinya.

Penulis merasa Indonesia, pada era kepemimpinan SBY, sejatinya terkekang dalam upaya menjadi sosok netral sebagai role prescription-nya di panggung internasional. Dikotomi ‘musuh’ dan ‘teman’ yang dituaikan dalam jargon tersebut menimbulkan dilema dialektika dalam penerapannya. Melalui anggapan bahwa entitas tertentu merupakan seorang ‘teman’ atau ‘musuh’ tidak sepenuhnya menempatkan keberpihakan dan kelonggaran. Kembali ke contoh pertama yang penulis bahas: tanpa Indonesia pernah secara resmi dalam sejarahnya menganggap Israel sebagai musuh, hingga kini pemerintah tidak mencanangkan hubungan diplomatik dengan Israel. Berangkat dari sini, jargon a million friends and zero enemy tidak ayal benar-benar zero enemy. Yang dapat penulis tarik dari sisi pragmatisme ini semua, kepemimpinan SBY saat itu menjunjung mitos tentang adanya netralitas.

Kesimpulan

Teori peran yang disampaikan Holsti menyampaikan bahwa prinsip dan ideologi suatu negara dapat dijadikan sumber peran sebuah negara dalam lingkungan internasional. Pada konteks tersebut, prinsip bebas aktif yang dianut Indonesia dalam merumuskan kebijakan luar negerinya merupakan sumber paling mendasar. Prinsip tersebut seakan-akan menjelma menjadi identitas nasional yang ditegaskan oleh Indonesia. Hal ini menciptakan role prescriptions terhadap Indonesia dalam menjalankan politik luar negerinya. Kendati demikian, Indonesia seringkali harus mempertimbangkan faktor-faktor lainnya.

Penulis hendak mempertegas kembali argumen penulis terkait pembangunan citra politik pada era kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono. Problematika dalam semboyan a million friends and zero enemy menimbulkan pertanyaan terkait jati diri Indonesia sebagai sebuah negara yang tegak berdiri. Pada saat itu, Indonesia yang diiming-imingi sebagai sahabat semua negara pun belum mampu merumuskan siapa sebenarnya Indonesia. Hal inilah yang menjadi tugas bagi penerusnya.

(5)

Daftar Pustaka

Departemen Luar Negeri Republik Indonesia. Sejarah Diplomasi Republik Indonesia dari Masa ke Masa: Buku III Periode 1960-1965. Jakarta: Departemen Luar Negeri, 1996. Djalal, Dino Patti. Harus Bisa: Seni Kepemimpinan ala SBY. Jakarta: R&W, 2009.

Holsti, K. J. “National Role Conceptions in the Study of Foreign Policy.” International Studies Quarterly vol. 14, no. 3 (September 1970): halaman 233–309.

Noviansyah, Aditya. “Indonesia Buka 21 Hubungan Diplomatik 2011.” Tempo, 12 Januari 2011.

Sukma, Rizal. “The Evolution of Indonesia’s Foreign Policy: An Indonesian View.” Asian Survey vol. 35, no. 3 (Maret 1995): 304–15.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil kebijakan tersebut memberi pengaruh langsung, diantaranya meningkatnya volume perdagangan dalam negeri mengikat namun pangsa luar negeri menjadi berkurang,

Eisenhower melaksanakan kebijakan politik luar negerinya dengan mengandalkan militer dan CIA, berbagai kebijakan politik luar negeri yang telah dikerjakan A.S untuk

Implikasi kebijakan pemberian pembiayaan pada PT Bank Muamalat Cabang Pontianak sudah cukup baik sesuai dengan teori-teori yang ada karena telah menerapkan prinsip

Fokus penelitian ini adalah tentang sistem dan kebijakan pengamanan data yang telah diterapkan, tingkat kepatuhan karyawan terhadap kebijakan pengamanan data, dan

Fenomena diatas tentunya menarik untuk dikaji, mengingat perilaku sebuah negara yang terwujud dalam kebijakan luar negeri mencerminkan kepentingan nasionalnya, namun

Dalam penelitian ini, model keseimbangan teori keagenan tidak terjadi pada pengaruh kebijakan dividen terhadap kepemilikan manajerial dalam perusahaan sektor

Teori ini menganalisis wacana kebijakan ekonomi bisnis dalam tiga level, yaitu (1) level teks untuk melihat makna tersembunyi atau maksud dalam bahasa yang digunakan

Kemudian secara teknis pelaksaan kebijakan di tingkat pendidikan tinggi yaitu dengan terbitnya surat edaran Direktur Jendral Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan kebudayaan