PENDIDIKAN ORANG TUA TERHADAP ANAK DALAM KITAB JAMI’ LI AHKAM
AL-QUR’AN KARYA AL-QURTUBI
Moh. Muafi bin Thohir
Institut Agama Islam Syarifuddin Lumajang, Indonesia E-mail: [email protected]
Abstrak
Hak dan Kewajiban orang tua terhadap anak dalam tafsir Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurtubiy terdapat pada tiga surat, di antaranya pada surat Luqman ayat 14, surat al-Ahqaf ayat 15 dan surat al-'Ankabut ayat 8, yang di pilih mempunyai keterkaitan antara satu dengan yang lain, seperti menginformasikan kepada para orang tua rentetan sikap yang harus dilakukan dalam mendidik anak-anaknya. Manfaatnya menambah wawasan dalam khazanah keilmuan dan pengembangan kemampuan diri, bagi para pembaca tentang pendidikan orang tua terhadap anak, khususnya dalam kajian kitab tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurtubiy dan mengharapkan umat Islam nantinya mampu menerapkan nilai-nilai keislaman dalam kehidupannya sehari-hari, sehingga umat Islam menjadi umat yang mempunyai karakteristik yang baik berlandaskan al-Qur’an dan hadis. Tafsir Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurtubiy menjelaskan tentang beberapa hak dan kewajiban orang tua terhadap anak yaitu: 1). Mendapatkan perlakuan yang baik dari anak-anaknya; 2). Seorang anak mentaati perintah orang tuanya; 3). Berbuat baik. Adapun Kewajiban orang tua terhadap anak. Di antaranya: 1). Memberikan pengetahuan akidah dan moral (akhlaq) yang baik agar senantiasa bersyukur, tidak menyekutukan Allah Swt. dan berbakti kepada orang tua. 2). Memberikan nafkah; 3). Bersabar dalam mendidik anak, menghargai pilihan anak dan mendoakan anak-anak serta keturunannya agar menjadi hamba-hamba-Nya yang baik.
Kata kunci: pendidikan orang tua, anak, kitab al-jami’ li ahkam al-qur’an
Pendahuluan
Perkembangan teknologi dewasa ini mempunyai dua sisi yang kontradiktif, di
satu sisi teknologi berperan penting dalam memberikan kelebihan yang tidak pernah
terjangkau pada masa generasi sebelumnya, di sisi lain teknologi telah menciptakan
kesenjangan sosial dan dekadensi moral bagi generasi harapan bangsa saat ini.
Disaat anak-anak yang lain memperoleh kasih sayang, perhatian dan waktu
untuk bermain, berkomunikasi dan belajar bersama kedua orang tua mereka,
anak-anak yang kesepian mulai berfantasi dan melampiaskan kekecewaan mereka kepada
hal-hal yang negatif. Alkohol, narkoba, pergaulan bebas dan beragam hal yang
Volume 9, Nomor 1, Pebruari 2016| 90 mengobati perasaan mereka. Keberadaan orang tua bagi seorang anak tidak serta
merta bisa tergantikan dengan adanya baby sitter atau lainnya, semakin lama seorang
anak berinteraksi dengan orang lain maka anak tersebut akan lebih dekat dengan
orang tersebut.
Kasus penelantaran anak yang menjadi headline news pada media cetak dan
elektronik baru-baru ini adalah berita kasus penelantaran lima orang anak yang
dilakukan oleh kedua orang tuanya. Secara akademik seharusnya kedua orang tua
tersebut mampu mendidik dan bisa menjadi teladan yang baik anak-anak mereka.
Kemudian secara finansial (ekonomi) pelaku (orang tua) berkecukupan untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari dan memberikan nafkah atau penghidupan yang
layak kepada anak-anak mereka.
Maka menjadi pertanyaan besar bagi para orang tua khususnya dan
masyarakat Indonesia pada umumnya sebagai negara yang mayoritas penduduknya
beragama Islam, seterpuruk inikah generasi bangsa Indonesia saat ini? Bagaimana
sikap seorang muslim dalam menerapkan nilai-nilai keislaman dengan berlandaskan
al-Qur’an dan hadits dalam kehidupan mereka sehari-hari?
Seorang anak merupakan karunia, nikmat dari Allah SWT, investasi akhirat
dan perhiasan tak terhingga dalam kehidupan duniawi. Bagi orang tua yang yakin
bahwa buah hati mereka adalah karunia dari Allah SWT maka para orang tua tersebut
bersyukur baik dengan perkataan ataupun perbuatan. Allah SWT akan menjadikan
anak-anak mereka sebagai anak-anak yang berbakti dan sebagai pemberat timbangan
kebaikan bagi para orang tuanya di akhirat kelak. Sebaliknya, bagi mereka yang
mengingkari dan menganggap buah hati mereka adalah cobaan dan aib bagi
kehidupan mereka maka Allah SWT akan menjadikan hal itu nyata dalam
kehidupannya. Pandangan orang tua terhadap anak yang seperti ini keliru.1
Allah SWT mewajibkan kepada orang tua (dalam hal ini ibu) untuk menyusui
anak-anaknya dan bagi seorang anak untuk mendo’akan kedua orang tuanya. (Q.S.:
al-Ahqaf: 16). 2 Pada ayat ini, Allah SWT juga memerintahkan kepada seorang anak
1 Hidayatullah Ahmad al-Shashi, Mausu’ah al
-Tarbiyah al-‘Amaliyah li al-Tifli (Kairo, Dar al-Salam, 2010), 33-34.
untuk berbuat baik kepada ibu bapaknya, terutama kepada ibu mereka. Karena
perjuangan sang ibu, seorang anak terlahir di muka bumi ini. Para ibu mengandung
dengan susah payah, melahirkan juga dengan sangat susah payah dan setelah
tahapan-tahapan itu para ibu juga berkewajiban untuk menyusui anak-anak mereka,
mendidik dan memperhatikan tumbuh kembang anak-anak mereka. Dengan
mengetahui proses ini, apakah pantas bagi seorang anak untuk durhaka kepada
ibu-ibu mereka? Sudah sepatutnya seorang anak menjalankan kewajibannya untuk
memuliakan ibu bapaknya, membantu dan mendo’akan mereka. Perjuangan dan
pengorbanan ibu bapaknya tidak akan pernah terbalaskan hanya dengan materi,
seorang anak merupakan harta terbesar bagi ibu bapaknya, karena anak-anak mereka
merupakan investasi berharga baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Al-Qurtubiy mencantumkan perkataan sahabat Ibnu Abbas RA untuk
menjelaskan penafsiran ayat wa hamalnahu wa fisholuhu shastuna syahran yaitu jika
seorang ibu hamil dengan masa kandungan sembilan bulan maka masa menyusui
bayinya adalah dua puluh satu bulan, jika masa mengandungnya enam bulan maka
masa menyusuinya dua puluh empat bulan. Dari Utsman RA, telah datang kepadanya
seorang perempuan yang melahirkan seorang bayi dengan masa kehamilan enam
bulan. Kemudian Uthman bermaksud untuk memberikan hukum had,3 maka berkata
kepadanya ‘Ali RA tidak demikian seharusnya kamu menghukumi perempuan itu
dengan membaca firman Allah SWT wa hamalnahu wa fisholuhu shastuna syahran dan wal walidatu yurdi’na awladahunna haulaini kamilaini yang terdapat dalam surah
al-Baqarah ayat 233, kemudian ‘Ali RA menjelaskan bahwa masa mengandung
perempuan itu enam bulan dan masa menyusuinya adalah dua puluh empat bulan.
Kemudian Uthman RA menarik perkataannya dan hukuman had atas perempuan
tersebut.4
3 Hukum had dalam syariat Islam di bagi menjadi dua. Pertama, apabila pelaku zina adalah
orang yang sudah menikah maka hukumannya di rajam (dilempari batu) sampai mati. Kedua, apabila pelaku zina belum pernah menikah maka hukumannya adalah dicambuk sebanyak 100 kali jambukan. Untuk lebih jelasnya lihat di kitab Shahih Fiqh al-Sunnah vol. 4, 36-38.
4 Abi ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Ansariy al-Qurtubiy,
Volume 9, Nomor 1, Pebruari 2016| 92 Dari kasus Uthman RA dan ‘Ali RA bisa di ambil kesimpulan bahwa seorang
perempuan mempunyai masa kehamilan yang berbeda-beda, hal ini disebabkan oleh
banyak hal sebagai faktor pemicu lambat, normal atau cepatnya seseorang
melahirkan buah hatinya.
Kemudian seorang muslim dituntut untuk berhati-hati dalam memutuskan
suatu perkara, khususnya bagi mereka yang memegang amanah sebagai pemimpin
ataupun hakim misalnya. Menjadi suatu keharusan bagi seorang hakim untuk
mengumpulkan bukti-bukti dan saksi sebelum memutuskan suatu perkara agar
terhindar dari kezaliman dan penganiayaan terhadap orang lain.
Rasulullah SAW mengajarkan kepada umatnya untuk berbuat baik kepada ibu
bapak. Hal ini tertuang dalam sabda beliau, ketika itu ada salah seorang sahabat
bertanya kepada beliau: “Kepada siapakah aku harus berbuat baik? Rasulullah
menjawab: ibumu. Kemudian sahabat itu bertanya lagi: kemudian kepada siapa?
Rasulullah menjawab: ibumu. Kemudian sahabat itu bertanya lagi: kemudian kepada
siapa? Rasulullah menjawab: ibumu. Kemudian sahabat itu bertanya lagi: kemudian kepada siapa? Rasulullah menjawab: bapakmu.” (HR. Bukhari dan Muslim)5
. Inilah
alasan, mengapa derajat para ibu mulia di mata Islam. Mereka sudah bersusah payah,
berjuang, bersabar menjalani penderitaan dan tabah dalam memberikan pendidikan
untuk menjadikan para tunas-tunas harapan menjadi anak-anak yang saleh dan
salehah.
Setiap manusia mempunyai hak dan kewajiban terhadap dirinya sendiri dan
orang lain. Dalam lingkup keluarga, maka orang tua mempunyai hak terhadap
anak-anaknya. Sebaliknya, orang tua juga mempunyai kewajiban terhadap anak-anak
mereka sebagai tanggungjawab yang harus orang tua laksanakan. Dengan demikian
maka hak dan kewajiban seorang anak akan terlaksana dengan sendirinya.
Hak adalah kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu.
Atau kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh
undang-undang, aturan dsb). Contoh, semua warga negara Indonesia yang telah berusia
delapan belas tahun ke atas mempunyai hak untuk memilih dan di pilih dalam
pemilihan umum.6
Ibn al-Manzur menukil perkataan Abu Ishaq menyatakan: Hak adalah perintah
Rasulullah SAW dan apa saja yang datang dari al-Qur’an. Maka maksud hak disini
adalah lawan dari kebatilan.7
Diantara hak seorang anak terhadap orang tuanya
adalah memperoleh penamaan yang baik. Rasulullah SAW bersabda: ”“Sesungguhnya kalian pada hari kiamat akan dipanggil dengan nama kalian
masing-masing, dan nama bapak-bapak kalian. Maka perbaguslah (dalam pemberian) nama-nama kalian.” (HR. Ahmad).8
Setiap muslim wajib untuk berbuat baik, taat dan memelihara kedua orang
tuanya. Rasulullah SAW bersabda: “Apakah kalian tahu apa saja dosa besar itu? Para
sahabat menjawab: Tidak wahai Rasulullah, Rasulullah menjawab: “Menyekutukan
(syirik) Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.” (HR. Bukhari).9
Dari hasil tinjauan di atas, maka hak orang tua secara umum adalah apa saja
yang dituntut atau yang diperbuat sesuai dengan kekuasaannya, selama tidak
bertentangan dengan undang-undang, norma dan agama. Sedangkan kewajiban
orang tua secara umum adalah sesuatu yang harus dilaksanakan, atau apa saja yang
menjadi tanggungjawab orang tua terhadap anak-anaknya. Seperti memberi nafkah,
memberikan pembelajaran, tempat tinggal dan lain sebagainya.
Di dalam al-Quran terdapat 13 surat dan 22 ayat yang menerangkan tentang
hak dan kewajiban orang tua terhadap anak. Diantara surat tersebut terdapat di surat
Maryam ayat 14 dan 32, surat al-Naml ayat 19, surat al-Isra’ ayat 23, surat al-An'am ayat
151, surat Luqman ayat 14 dan 33, al-Ahqaf ayat 15 dan 17, surat Nuh ayat 28, surat
Ibrahim ayat 41, surat al-'Ankabut ayat 8, al-Baqarah ayat 180, 215 dan 233 dan surat
al- Nisa ayat 36 dan 135.
6 Ibid, 474.
Volume 9, Nomor 1, Pebruari 2016| 94 Biografi dan Pemikiran
Nama lengkap Al-Qurtubiy adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin
Abi Bakar bin Farh al-Ansariy al-Khazrajiy al-Andalusiy al-Qurtubiy. Seorang ahli tafsir
yang dilahirkan di Cordoba Andalusia. Beliau merupakan salah satu ulama bermazhab
maliki.10
Kemudian berkelana ke Mesir dan menetap disana. Beliau wafat pada tahun
671 H. di kota Almania sebelah barat sungai Nil.11
Sumber lain menyebutkan, beliau
wafat di kota Manniyah Ibn Hasib Andalusia.12
Beliau merupakan salah seorang ulama saleh yang terkenal, sederhana dalam
urusan dunia dan lebih banyak menyibukkan diri dalam urusan akhirat. Sehingga
keseharian beliau hanya beribadah dan berkarya (menulis). Imam al-Dhahabiy berkata tentang beliau: “Beliau adalah seorang imam yang cerdas, mempunyai pengetahuan
yang luas. Karya-karyanya yang banyak menunjukkan betapa banyak sumbangsih pemikiran yang telah diberikan dan keutamaannya.”13
Adapun metode penafsiran al-Qurtubiy dalam karyanya, tafsir al-Jami’ li
Ahkam al-Qur’an, menggabungkan kedua metode penafsiran tersebut (bi al-ma’thur
dan bi al-ra’yi) atau disebut dengan metode penafsiran bi al-iqtirani (perpaduan
antara bi al-manqul dan bi al-ma’qul).14
Ketika membahas basmalah pada surah
al-Fatihah misalnya, selain menukil banyak riwayat hadith dan athar yang berkaitan
dengan basmalah, al-Qurtubiy juga mengutip aneka macam pendapat para ulama
yang berkaitan dengannya, kemudian membahasnya serta menarik kesimpulan.
Dengan demikian dapat disimpulkan, Al-Qurtubiy dalam menafsirkan al-Qur’anmenggunakan metode tafsir bi al-iqtiran yaitu menggabungkan dua metode
penafsiran sekaligus, baik dengan tafsir bi al-ma’thur dan tafsir bi al-ra’yi.
Dari hasil identifikasi dan pengklasifikasian ayat kemudian di ambil beberapa
ayat saja sebagai acuan pembahasan inti penulisan ini, ayat-ayat tersebut adalah:
10 Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, “ter.”, Mudzakir AS., (Jakarta: Litera
AntarNusa, 2000), 520.
11Abi ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Ansariy al-Qurtubiy, al-Jami’ li Ahkam al
-Qur’an, (Kairo: Dar al-Hadis, 2010), vol.1, 6
12 Hamim Ilyas, Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2004), 65. 13 Abi ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Ansariy al-Qurtubiy,
al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Hadis, 2010), vol.1, 6
1. Q.S.Luqman: 14.
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; lbunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”
2. Q.S. al-Ahqaf: 15.
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkan dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo’a: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.”15
3. Q.S.al-‘Ankabut: 8.
“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Kulah kembalimu, lalu aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.16
Ketiga ayat di atas dipilih karena mempunyai beberapa faktor yaitu: a).
Kesamaan redaksi; Jika diperhatikan ketiga ayat di atas, maka ditemukan kesamaan
pada awal permulaan redaksi ayat yaitu kalimat Wawassainal insane biwalidaihi . b).
Pembahasan yang berkaitan; Ketiga ayat di atas mempunyai keterkaitan dalam
pembahasan yang sama, dalam hal ini membahas perihal yang berhubungan dengan
orang tua, baik secara khusus atau terhadap diri mereka sendiri atau secara umum.
Inilah ayat-ayat yang menjadi pembahasan utama dalam tulisan ini, untuk
memudahkan pembahasan selanjutnya, lihat tabel berikut ini:
Volume 9, Nomor 1, Pebruari 2016| 96 Ayat-Ayat Inti Pembahasan Penelitian
No Nama
Surah Ayat
Urutan Wahyu
Urutan Mushaf
Tempat Diturunkan
Jumlah Ayat
1 Luqman 14 57 31 Makkiyah 34
2 al-Ahqaf 15 66 46 Madaniyah 35
3 al-'Ankabut 8 85 29 Madaniyah 69
Penafsiran Ayat Dalam Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an
1. Tafsir Q.S.Luqman:14.
Al-Qurtubiy menafsirkan ayat ini menggabungkan pembahasannya dengan ayat
selanjutnya (ayat kelima belas). Ada beberapa permasalahan yang terdapat dalam
kitab tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’anini, yaitu: pertama, Wawassainal insane
biwalidaihi . Ayat ini merupakan wasiat Nabi Luqman As. kepada anaknya untuk tidak
menyekutukan Allah Swt. dan tidak mengikuti perbuatan syirik yang dilakukan oleh
kedua orang tuanya, karena Allah Swt. memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya
untuk taat kepada kedua orang tua selama apa yang diperintahkan tidak dalam
kesyirikan dan kemaksiatan kepada-Nya. Maksud kalimat ini juga adalah manusia
diminta untuk bersyukur kepada Allah Swt. yaitu dengan berwasiat kepada setiap
insan. Sama ketika Nabi Luqman As. berwasiat kepada anaknya: “Jangan berbuat
syirik, dan kami berwasiat kepada setiap insan untuk berbuat baik kepada kedua
orang tuanya. Dan kami memerintahkan manusia untuk demikian. Maka Nabi Luqman As. memerintahkan kepada anaknya hal yang sama.”17 Al-Qushairiy berkata, kedua
ayat ini (Q.S.Luqman: 14-15) diturunkan kepada Sa’ad bin Abi Waqas, begitu juga
pembahasan ayat pada surah al-‘Ankabut dan kebanyakan para mufassirin
menafsirkan seperti itu. Pada masalah ini, menyelisihi perintah orang tua tidak
menjadikan seseorang berdosa besar dan meninggalkan keutamaan kewajiban
(mentaati perintah orang tua). Maka menjadi suatu keharusan untuk mentaati kedua
orang tua dalam hal yang diperbolehkan dan menolak perintah dengan santun
mendapatkan pahala.18
Kedua, Allah Swt. memuliakan derajat seorang ibu lebih tinggi dari seorang
bapak sebanyak tiga derajat. Dan bagi seorang bapak satu derajat. Hal ini dikuatkan
dengan sabda Rasulullah Saw. ketika bertanya salah seorang sahabat kepada beliau: “Kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali? Rasulullah menjawab: ibumu.
Kemudian sahabat itu bertanya lagi: kemudian kepada siapa? Rasulullah menjawab:
ibumu. Kemudian sahabat itu bertanya lagi: kemudian kepada siapa? Rasulullah
menjawab: ibumu. Kemudian sahabat itu bertanya lagi: kemudian kepada siapa? Rasulullah menjawab: bapakmu.” (HR. Muttafaqun ‘Alaih)19
Ketiga, wahnan ‘ala wahnin yaitu seorang ibu yang mengandung dalam perutnya, setiap hari seorang ibu yang mengandung bertambah lemah dan lemah.
Dan berkata: seorang perempuan diciptakan dalam keadaan lemah dan bertambah
lemah dalam keadaan hamil atau mengandung. Dan maksud kalimat (wafisholuhu)
adalah menyapih bayi dari penyusuan seorang ibu, yaitu jika masa menyusuinya sudah
mencapai dua tahun.20
Keempat, masyarakat sepakat dua tahun adalah masa untuk menyusui dalam
permasalahan hukum dan nafkah.21 Pada penafsiran surah al-Baqarah ayat 233,
Al-Qurtubiy menjelaskan tentang menyusui lebih detail lagi. Dikatakan tentang (
Haulaini) para mufassirin sepakat bahwa setiap bayi yang dilahirkan berhak untuk mendapatkan pemberian ASI (air susu ibu) selama dua tahun. Dari Ibn ‘Abbas Ra. ia berkata: “Bayi bisa dilahirkan dalam usia kandungan enam bulan (prematur yaitu 25
pekan atau sekitar 180 hari), bayi yang berada dalam kandungan tujuh bulan masa
penyusuannya adalah dua puluh tiga bulan, bayi yang berada dalam kandungan
delapan bulan masa penyusuannya adalah dua puluh dua bulan dan bayi yang berada
dalam kandungan sembilan bulan masa penyusuannya adalah dua puluh satu bulan,
sebagaimana firman Allah Swt.( Wa hamluhu wa fisholuhu stalastuna syahron) Adapun
tuntunan dua tahun masa pemberian ASI pada surah al-Baqarah ayat 233 tidak wajib
hukumnya, tapi bersifat anjuran yang sangat ditekankan sebagaimana Allah Swt.
Berfirman. (Liman arada an yutimmar rhodhoah) jika kedua orang tua bayi tersebut
Volume 9, Nomor 1, Pebruari 2016| 98 sudah bersepakat untuk menyapih sebelum dua tahun, atau memberikan penyusuan
kepada ibu-ibu yang lain dengan memberikan upah maka diperbolehkan.
Penambahan atau pengurangan masa menyusui dua tahun mempunyai dua kondisi:
Pertama, jika tidak membahayakan kesehatan bayi. Kedua, kerelaan atau
kesepakatan orang tua masing-masing terhadap bayinya.22
2. Tafsir Q.S.al-Ahqaf: 15;
Pada penafsiran ayat ini, Al-Qurtubiy membahasnya dengan beberapa
permasalahan, yaitu: pertama, wawassainal insane biwalidaihi menjelaskan situasi dan
kondisi masing-masing individu berbeda-beda terhadap kedua orang tuanya,
terkadang ada yang mentaati dan ada juga yang durhaka kepada keduanya. Maka
tidak jauh berbeda dengan situasi dan kondisi Rasulullah Saw. dalam berdakwah
kepada umatnya sehingga ada sebagian dari mereka yang menerima dan sebagian
yang lain mengingkari apa yang di bawa oleh Rasulullah Saw.23
Kedua, Hamalathu Ummuhu kurhan wawadho’athu kurhan, yaitu mengandung
dalam keadaan susah payah. Berkata al-Kasaiy: al-kurhu dan kurhan mempunyai
makna berbeda. al-kurhu apa yang dikandung oleh manusia dalam perutnya (rahim)
sendiri, sedangkan (kurhan) apa yang dikandung oleh manusia dalam perut orang
lain. Maksudnya adalah terpaksa dan penuh amarah.24 Wa hamluhu wa fisholuhu
stalasuna syahron, Ibn ‘Abbas Ra. berkata: “Jika seorang ibu mengandung selama
sembilan bulan maka masa menyusuinya adalah dua puluh satu bulan. Dan jika
seorang ibu mengandung selama enam bulan maka masa menyusuinya adalah dua
puluh empat bulan.
Ketiga, wa ashlih lii fii zdurriyyati, yaitu jadikanlah keluargaku orang-orang yang saleh. Ibn ‘Abbas berkata: “Maka tidak boleh bagi anak dan kedua orang tuanya
meninggal kecuali dalam keadaan beriman kepada Allah Swt. semata. Dan tidaklah
seorang pun dari sahabat-sahabat Rasulullah Saw. yang memeluk Islam kedua orang tuanya, keluarganya kecuali Abu Bakar.” Berkata Muhammad ‘Ali: “Jangan membuat
sesuatu bagi syaitan, diri dan hawa nafsu jalan keburukan atau kemaksiatan.”
3. Tafsir Q.S.al-‘Ankabut: 8.
Ayat ini diturunkan kepada Sa’ad bin Abi Waqas. Diriwayatkan dari al -Tirmidhiy, ia berkata: “Berkata ibu Sa’ad: Bukankah Allah Swt. telah menyuruhmu
untuk berbuat baik kepada orang tuamu? Demi Tuhan, aku tidak akan makan apapun
dan aku tidak akan minum apapun sampai aku mati atau aku memeluk agama yang
sama sepertimu (Sa’ad) kemudian turunlah ayat ini.Abu ‘Isa mengatakan hadith ini
hasan sahih. Diriwayatkan dari Sa’ad, dia berkata: “Aku tinggal bersama ibuku,
kemudian aku memeluk Islam. Kemudian ibuku berkata: Janganlah kamu mengajakku
untuk memeluk agamamu atau aku tidak akan makan dan minum sesuatu apapun sampai aku mati, kemudiaan dia mencemoohku. Sa’ad pun berkata: Wahai ibuku, jika
engkau mempunyai seratus nyawa kemudian keluar (hilang) satu persatu, maka aku
tidak akan pernah meninggalkan agama ini. Jika engkau mau maka makanlah, jika
engkau enggan maka tidak usah makan. Kemudian pada suatu waktu sang ibu memakan sesuatu dan turunlah ayat wa injahadaka litusyrika bi”.25
Ayat ini juga diturunkan kepada siapa saja yang tidak bisa bersabar atau ujian
yang diberikan Allah Swt. (husnan) orang-orang Basrahmembacanya ( husnan ) yaitu
perintah untuk melakukan kebaikan. Sedangkan orang Kufah membacanya ( husnan )
yaitu perintah kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya.26
Hak dan Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak Dalam Kitab al-Jami' li Ahkam al-Qur'an
No. Surah Ayat Hak Kewajiban
1 Luqman 14
1. Anak memperlakukan kedua orang tuanya dengan baik
1. Orang tua berwasiat untuk tidak berbuat syirik kepada anak-anaknya
2. Anak mentaati perintah kedua orang tuanya selama tidak berbuat syirik dan bermaksiat kepada Allah Swt.
2. Menanamkan akidah dan perilaku yang baik agar kelak berbakti kepada kedua orang tuanya
Hak dan Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak
Hak dan kewajiban orang tua terhadap anak dalam tafsir Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurtubiy terdapat pada tiga surat, di antaranya; Pada surat Luqman ayat 14, surat al-Ahqaf ayat 15 dan surat al-'Ankabut ayat 8, yang dipilih mempunyai
keterkaitan antara satu dengan yang lain, seperti menginformasikan kepada para
orang tua rentetan sikap yang harus dilakukan dalam mendidik anak-anaknya.27
Pada surah Luqman, orang tua diajak untuk membekali anak-anaknya dengan
akidah yang benar dan perilaku yang baik agar kelak mampu berbakti kepada kedua
orang tua dan berbuat baik kepada mereka. Hal ini berlangsung dengan dibarengi
usaha orang tua untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya, mulai dari
memberikan ASI dan kasih sayang bagi para ibu, memberikan nafkah keluarga,
bimbingan dan perlindungan bagi para ayah. Di samping itu, pada surah Luqman juga
mengajak orang tua untuk mensyukuri karunia Allah Swt. berupa keturunan (anak)
dan nikmat iman, sehingga anak-anaknya meneladani sikap kedua orang tuanya dan
bersyukur atas apa yang telah diberikan oleh bapak ibunya.
Pada surah al-Ahqaf menjelaskan tentang metode menyusui yang baik bagi
seorang anak. Yaitu memberikan ASI ekslusif sampai dua tahun penuh atau tiga puluh
bulan yang merupakan akumulasi masa mengandung dan menyusui, namun apabila
ada kerelaan atau kesepakatan antara ibu bapak dan di rasa tidak membahayakan
bayinya kemudian memilih menyapih sebelum dua tahun maka hal itu diperbolehkan,
karena masa dua tahun penyusuan pada surah al-Baqarah ayat 233 tidak wajib
hukumnya, namun bersifat anjuran yang ditekankan.
Diperbolehkan juga bagi orang tua untuk menyusukan anak-anaknya kepada
ibu-ibu yang lain dengan memberikan upah kepada ibu-ibu tersebut. Hal ini dilakukan
karena banyak faktor, bisa karena ibu kandung yang tidak bisa memproduksi ASI yang
baik sebagai asupan makanan bagi bayinya yang cukup atau karena sakit dan lain
sebagainya.
Pada surah al-‘Ankabut, syari’at Islam memerintahkan kepada hamba-Nya
untuk berbuat baik kepada orang tuanya meskipun ibu bapaknya berlainan agama
27 Abi ‘Abdillah Muhammad b. Ahmad al-Ansariy al-Qurtubiy, al-Jami’ li Ahkam al
Volume 9, Nomor 1, Pebruari 2016| 102 atau keyakinan. Seperti sikap seorang sahabat Sa’ad bin Abi Waqas terhadap ibu kandungnya yang enggan untuk memeluk Islam, Sa’ad tetap bersikap baik terhadap
ibunda tercinta, bertutur kata yang baik, santun dalam bersikap, membantu dan mendo’akan ibunya agar mendapatkan hidayah dan mau meninggalkan keyakinannya
yang salah serta memeluk Islam.
Ayahnya bernama Malik bin Ahib dari Bani Abd Manaf, ibunya bernama
Himnah binti Abi Sufyan bin Umayyah. Setelah ayahnya meninggal ibunya bersusah payah untuk menghidupi dan mendidik Sa’ad bersama saudara-saudaranya, hingga
datanglah Islam kemudian mereka bersebrangan jalan. Pada zaman jahiliyah Sa’ad bin
Abi Waqas bekerja sebagai tukang pembuat panah, setelah Islam datang dia di kenal
sebagai sahabat yang paling lihai dalam memanah dan menunggang kuda.28
Dengan hasil pembahasan ini dapat di ambil pelajaran bahwa pentingnya
kerjasama yang baik antara ibu dan bapak dalam mendidik dan memperhatikan
tumbuh kembang anak. Karena untuk mendapatkan generasi terbaik tidak semudah
membolak-balikkan telapak tangan, butuh kerja keras, kesabaran dan do’a serta
keikhlasan untuk mengharap ridha Allah SWT semata.
Permasalahan dan Hukum yang Berkaitan Tentang Hak dan Kewajiban Orang Tua
Terhadap Anak
Semakin berkembang ilmu pengetahuan dewasa ini semakin menunjukkan
bahwa eksistensi manusia di muka bumi ini tumbuh dan berkembang serta
melakukan perbaikan-perbaikan dalam kehidupannya sehari-hari. Namun proses itu
diperoleh dengan cara yang tidak mudah, butuh riset, pemecahan suatu
permasalahan dan solusi untuk kebaikan manusia pada saat itu dan generasi
selanjutnya.
Begitu juga dalam hal rumah tangga, khususnya hubungan orang tua dan
anak pasti menemukan permasalahan-permasalahan yang terkadang begitu pelik dan
berpolemik. Berikut ini beberapa permasalahan dan hukum yang berkaitan tentang
hak dan kewajiban orang tua terhadap anak, di antaranya adalah:
28 Abdurrahman Umairah, Tokoh-Tokoh Yang Diabadikan Dalam al-Qur’an, terj. Salim Basyarahil
1. Pemberian Nafkah
Allah SWT memerintahkan kepada orang tua untuk memberikan nafkah
kepada keluarganya dan orang-orang disekitar. Firman Allah Swt: yas alunaka madza
yunfikuna qul ma amfaqtum min khairin falil walidaini wal aqrabina wal yatamawal
masakinwabnis sabil wama tafaluna min khairin fainnallaha bihi alim. (Qs. Al-Baqarah:
215).29
M. Quraish Shihab dalam kitabnya, Tafsir Al-Misbah menjelaskan: Dampak dari
keimanan seorang hamba kepada Allah Swt. terlihat dengan kemantapan keinginan
untuk menyesuaikan tingkah laku dengan tuntunan Sang Pencipta. Pertanyaan ini
muncul jauh sebelum diturunkan ayat ini, sehingga ayat ini menggunakan bentuk kata
kerja masa kini (yas aluna) seakan-akan sedang berlangsungnya sebuah dialog. Kata
(khairin) yaitu harta disini memberikan isyarat bahwa apa saja yang dinafkahkan
hendaklah sesuatu yang baik dan dipergunakan untuk tujuan-tujuan yang baik juga.30 Selanjutnya dijelaskan untuk siapa saja harta itu sebaiknya diberikan. Yaitu,
pertama kepada ibu bapak, karena merekalah sebab wujud anak serta paling banyak
jasanya. Kedua, kepada kaum kerabat baik yang dekat maupun yang jauh. Ketiga,
anak-anak yatim, yakni anak yang belum dewasa sedang ayahnya telah meninggal.
Keempat, orang-orang miskin, yakni mereka yang membutuhkan bantuan. Kelima,
orang-orang yang sedang dalam perjalanan tetapi kehabisan bekal. Ayat ini tidak
berbicara tentang cara membantu fakir, memerdekakan budak, atau menguraikan
kelompok yang berhak menerima zakat (Q.S.9:60). Karena yang dimaksud nafkah
disini adalah infaq yang bersifat anjuran dan di luar kewajiban zakat, sehingga pada
penutup ayat ini mengungkapkan secara umum siapa dan nafkah apapun selain harta
dengan redaksi yang menunjukkan kesinambungan (wama tafaluna min khairin fain
nallaha bihi alim ),31
Abu Bakar Jabir al-Jazairiy menafsirkan ayat ini: “Bertanya orang-orang
muslim: Bagaimana cara memberikan nafkah? Dan dengan apa kita memberikan
nafkah? Dan kepada siapa nafkah itu diberikan? Maka jawablah wahai Muhammad:
29 Departemen Agama, al-Qur’an, 52
Volume 9, Nomor 1, Pebruari 2016| 104 Berikanlah nafkah itu apa saja yang paling mudah dari mereka untuk ibu bapaknya,
kaum kerabat, anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang dalam perjalanan
yang kehabisan bekal atau dengan berbuat kebaikan apapun. Nafkah itu diberikan
dengan tujuan kebaikan dan ketaatan, sesungguhnya Allah Swt. Maha Mengetahui
atas apa yang dilakukan hamba-hamba-Nya. Dan hendaknya nafkah itu dari harta yang baik dan halal.”32
Nafkah adalah segala sesuatu berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal
yang diberikan kepada orang yang berhak mendapatkannya. Yang berhak menerima
nafkah itu adalah istri oleh suami, Perempuan yang di talak ba’in, maka wajib di beri
nafkah oleh suaminya, pada hari-hari menjalani masa ‘iddahnya jika perempuan
tersebut dalam keadaan hamil, Anak-anak yang masih kecil; Orang yang wajib
memberikan nafkah kepada anak kecil adalah orang tuanya, Budak, Nafkah hewan;
Orang yang wajib memberinya nafkah adalah pemiliknya.33
2. SeputarPenyusuan.
Memberikan ASI kepada anak adalah tanggungjawab orang tua, dalam hal ini
ibu karena yang mampu melakukan hal tersebut hanyalah seorang perempuan saja.
Adapun tanggungjawab bapak dalam hal ini adalah memberikan nafkah berupa
asupan makanan untuk istrinya, agar ASI yang diberikan kepada anak-anaknya lancar.
Atau membayar upah penyusuan manakala telah disepakati oleh keduanya untuk
menyusukan anaknya kepada orang lain karena faktor sakit dan lain sebagainya. Yang
terdapat pada surat Luqman: 14 dan surat al-Ahqaf: 15.
Pada dua ayat tersebut, dapat di lihat ada perbedaan masa menyusui seorang
anak. Pada ayat pertama mengatakan dua tahun, sedangkan pada ayat kedua
merupakan akumulasi masa mengandung dan menyapih yang digenapkan menjadi
tiga puluh bulan. Apabila seorang ibu mengandung selama tujuh bulan maka masa
menyusuinya adalah dua puluh tiga tahun atau apabila seorang ibu mengandung
selama sembilan bulan maka masa menyusui buah hatinya adalah dua puluh satu
tahun. Hal ini sebagaimana pendapat Ibn ‘Abbas dalam menafsirkan surah al-Ahqaf
ayat kelima belas ini.34
Lantas, apakah menyusui anak itu harus dua tahun? Atau dua puluh
satu bulan, atau dua puluh empat bulan, tergantung masa kehamilan masing-masing
ibu yang diakumulasikan menjadi tiga puluh bulan?. Para ulama sepakat tidak ada
hukum qat’iy yang menerangkan bahwa masa menyusui anak selama dua tahun
adalah sebuah kewajiban. M. Quraish Shihab menerangkan tafsir surah al-Baqarah
ayat 233 mengatakan: “Ayat ini menginformasikan kepada umat Islam bahwa air susu ibu merupakan makanan terbaik bagi anak sampai berusia dua tahun. Baik itu melalui ibu kandung ( Ummahat) atau ibu-ibu yang lain ( wal walidatu). Masa dua tahun
merupakan batas maksimal kesempunaan penyusuan dan tolak ukur apabila terjadi
perbedaan pendapat antara ibu bapak perihal memperpanjang masa penyusuan. Di
sisi lain, bilangan itu juga mengisyaratkan bahwa yang menyusu setelah usia dua
tahun bukanlah penyusuan yang mempunyai dampak hukum yang mengakibatkan anak yang disusui berstatus sama dalam sejumlah hal dengan anak kandung.”35
3. Hak Orang Tua Terhadap Anak Setelah Wafat
Diantara kewajiban seorang muslim terhadap muslim yang lainnya adalah membantu dan mendo’akan saudara kita yang tertimpa musibah (seperti tertimpa
bencana, kecelakaan dan kematian) dan menunaikan perkara-perkara mereka yang
belum terselesaikan pada masa hidupnya. Seorang anak juga mempunyai
tanggungjawab terhadap orang tuanya yang telah meninggal dunia atau wafat. Maka
menjadi kewajiban bagi seorang anak untuk menunaikan apa yang diwasiatkan, hal
waris dan tanggungan yang ditinggalkan oleh orang tuanya yang telah meninggal. Allah Swt. berfirman: “wa Qadha robbuka illa ta’bidu illa iyyahu wabil walidain ihsanan”
(Qs. Al-Isra’: 23).36
Ada beberapa pembahasan al-Qurtubiy dalam menafsirkan ayat ini,
diantaranya adalah sebagai berikut ini: Pertama, pada pembahasan kedua, al-Qurtubiy
menukil riwayat imam al-Bukhari sebagai penjelasan pentingnya berbakti kepada
34 al-Qurtubiy, vol.8, 486.
Volume 9, Nomor 1, Pebruari 2016| 106 kedua orang tua. Rasulullah Saw. menjawab pertanyaan sahabat tentang amalan
yang paling dicintai oleh Allah Swt.: “Shalat pada waktunya, berbuat baik kepada kedua orang tua dan jihad di jalan Allah.”37
Kedua, Pada pembahasan ketujuh,38
al-Qurtubiy menjelaskan bahwa tidak dikhususkan bagi seorang anak untuk berbakti
ataupun berbuat baik kepada orang tua yang muslim saja. Bagi seorang anak yang
orang tuanya berbeda keyakinan (kafir) maka Islam mengajarkan untuk tetap berbuat
baik dan memberikan hak-haknya selama mereka masih hidup. (Qs. Al- Mumtahanah:
8)39. 3). Pada pembahasan kesepuluh, al-Qurtubiy menjelaskan kewajiban seorang anak untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya yang meninggal. Diriwayatkan
Abu Asid pada waktu perang Badar ia berkata: kami sedang duduk bersama
Rasulullah Saw. tiba-tiba datang sahabat dari kalangan Ansar bertanya: wahai
Rasulullah Saw. apakah ada amalan kebaikan yang bisa aku lakukan untuk berbuat
baik kepada orang tuaku yang telah wafat? Kemudian Rasulullah Saw. menjawab:
Maka menjadi kewajiban seorang anak kepada orang tuanya yang telah meninggal
yaitu: menshalatkan, memohon pengampunan, menunaikan janji (tanggungan) yang
belum dilaksanakan, memuliakan dan menyambung tali silaturahim kawan dan
kerabat orang tuanya.40
Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun
seseorang (salah satu atau kedua orang tua) meninggal, masih mempunyai hubungan
dengan kerabatnya (anak dan lain-lain). Maka menjadi kewajiban bagi seorang anak
untuk menunaikan hal-hal yang menjadi tanggungan orang tuanya yang belum
terselesaikan semasa hidupnya, seperti hutang, warisan, wasiat dan lainnya.
Al-Tabariy menukil sebuah perkataan (hikmah) sebagai bentuk keridaan orang tua
terhadap seorang anak: “Barangsiapa orang tuanya rida kepadanya maka Sang
Pencipta juga akan meridainya, dan barang siapa orang tuanya murka kepadanya maka Tuhan akan murka kepadanya.”41
37 al-Qurtubiy, vol.5, 575. 38 Ibid, 576.
39 Departemen Agama, al-Qur’an, 924. 40 al-Qurtubiy, vol.5, 577.
41 Abi Ja’far Muhammad bin Jarir al-Tabariy. Jami’ al
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya,
dapat di ambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: Al-Qur’an mengungkapkan
redaksi ayat-ayat berkenaan tentang hak dan kewajiban orang tua terhadap anak
sebanyak dua puluh dua ayat dengan perincian pada delapan surah berbeda
masing-masing satu ayat (surah al-Balad, al-Naml, al-Isra, al-An’am, Nuh, Ibrahim, al-‘Ankabut
dan al-Maidah), pada tiga surah berbeda masing-masing dua ayat (surah Maryam,
Luqman dan al-Ahqaf) dan pada dua surah berbeda masing-masing empat ayat (surah
al-Baqarah dan al-Nisa’).
Hasil dari pengklasifikasian ayat-ayat berkenaan tentang hak dan kewajiban
orang tua terhadap anak menunjukkan dari dua puluh dua ayat yang berhasil
dihimpun sepuluh ayat merupakan ayat-ayat Makkiyah dan dua belas ayat merupakan
ayat-ayat Madaniyah. Kemudian diidentifikasikan beberapa hak dan kewajiban orang
tua terhadap anak secara khusus seperti, pembekalan akidah yang lurus,
pembelajaran moral atau akhlaq dan berbuat baik kepada orang tua secara lisan dan
perbuatan. Atau secara umum seperti, tidak membunuh anak dan jiwa yang di larang,
bersyukur kepada Allah SWT atas karunia-Nya berupa anak, memberikan nafkah dan
sedekah dan lain sebagainya.
Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurtubiy menjelaskan tentang
beberapa hak dan kewajiban orang tua terhadap anak yaitu: (a). Hak orang tua
terhadap anak. Diantaranya: 1). Mendapatkan perlakuan yang baik dari anak-anaknya
baik secara lisan dan perbuatan. 2). Seorang anak mentaati perintah orang tuanya
selama tidak bertentangan dengan syariat Islam (syirik dan maksiat). 3).Berbuat baik, menyambung tali silaturahim dan mendo’akan kedua orang tuanya meskipun
berbeda agama atau keyakinan. (b). Kewajiban orang tua terhadap anak.
Diantaranya: 1). Memberikan pengetahuan akidah dan moral (akhlaq) yang baik agar
senantiasa bersyukur, tidak menyekutukan Allah Swt. dan berbakti kepada orang tua.
2). Memberikan nafkah. Bagi seorang ayah memberikan pakaian, makanan dan
tempat tinggal serta pendidikan. Bagi seorang ibu, memberikan ASI, membantu
Volume 9, Nomor 1, Pebruari 2016| 108 dalam mendidik anak, menghargai pilihan anak dan mendo’akan anak-anak serta
keturunannya agar menjadi hamba-hamba-Nya yang baik.
Pembahasan tentang hak dan kewajiban orang tua terhadap anak dalam tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurtubiy sangat luas dan detail, sehingga hanya
beberapa hal saja yang mampu disajikan. Oleh karena itu penulis menyarankan
adanya kajian yang lebih spesifik sehingga mampu membedah dan membahas kajian
tersebut lebih mendalam, baik dilakukan oleh individu (personal) ataupun kelompok.
Referensi
Richo Pramono, “Fakta Pilu di Balik Penelantaran 5 Anak di Cibubur Oleh Orang Tua”, http://news.liputan6.com/read/2234559/fakta-pilu-di-balik-penelantaran-5-anak-di-cibubur-oleh-orang tua , 15 Juni 2015.
Abi ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Ansariy al-Qurtubiy, Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Kairo: Dar al-Hadis, 2010.
Abi Ja’far Muhammad bin Jarir al-Tabariy. Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil ay al-Qur’an. Giza: Dar Hajr, 2001
Abdurrahman Umairah, Tokoh-Tokoh Yang Diabadikan Dalam al-Qur’an, “terj.”, Salim Basyarahil, Jakarta: Gema Insani Press, 2000.
Abu Bakar Jabir al-Jazairiy, Minhajul al-Muslim, Kairo: Dar al-Salam, 2001.
Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’anDan Terjemahannya. t.t.: t.p. t.th.
Dhahabiy (al), Muhammad Husain. al-Tafsir wa al-Mufassirun, Kuwait: Dar al-Nawadir, 2010.
Ibn Manzur, Abi al-Fadil Jamaluddin Muhammad. Lisan al-‘Arab. Beirut: Dar Sadir 1992 . Hamim Ilyas, Studi Kitab Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2004
Hidayatullah Ahmad Shashi, Mausu’ah Tarbiyah ‘Amaliyah li Tifli, Kairo, Dar al-Salam, 2010.
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, “ter.”, Mudzakir AS., Jakarta: Litera AntarNusa, 2000
Muhammad Husain al-Dhahabiy, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Kairo: Maktabah Wahbah, 2000.
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Tangerang: Lentera Hati, 2007.
Nasir, M. Ridlwan. Memahami al-Qur’an. Prespektif Baru Metodologi Tafsir Muqarin. Surabaya: CV. Indra Media, 2003.