• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keywords : corticosteroid, Systemic Lupus Erythematosus (SLE), DRP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Keywords : corticosteroid, Systemic Lupus Erythematosus (SLE), DRP"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

POLA PENGGUNAAN DAN ANALISA

DRUG RELATED PROBLEM’s

OBAT KORTIKOSTEROID PADA PASIEN LUPUS

DI BANGSAL PENYAKIT DALAM RSUP Dr. M. DJAMIL PADANG

TAHUN 2013

Putri Ramadheni1, Raveinal2, Dina Imamukhlisa1

1Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia Perintis Padang 2Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

ABSTRACT

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) is an autoimmune rheumatic disease with cause tissue damage. One of SLE threatment is corticosteroid as the anti-inflamatory and immunosupression. Because it has many side effect, its use should be carefull. The study aims to determine usage patterns and analysis of corticosteroid Drug related problem’s patient lupus in internal medicine wards at RSUP Dr.M.Djamil Padang in 2013. The research was done descriptively using retrospective data obtained from a medical record for patien lupus in internal medicine wards in 2013. The quantitative analysis result, total of 37 people wih lupus are dominated by women (93,94%) in most age range 17-25 years old (57,57%) using corticosteroid medications is methyl prednisolone (90,90%) and prednisone (3,03%) of the oral utilization (60,60%). Reveal any drug related problem’s (DRP’s) in the administration of oral prednisone (6,06%) and drug interactions of corticosteroid in the recipe (21,21%).

Keywords : corticosteroid, Systemic Lupus Erythematosus (SLE), DRP

PENDAHULUAN

Kortikosteroid merupakan obat yang telah dipakai secara luas dalam dunia kedokteran, untuk berbagai gangguan rematik dan merupakan pengobatan andalan terhadap radang penyakit yang lebih serius seperti lupus eritematosus sistemik, dan berbagai gangguan vaskulitis, seperti poliarteritis nodosa, granulomatosis dan giant cell arteritis

(Goodman & Gilman’s, 2007).

Penggunaan kortikosteroid jangka lama pada beberapa penyakit autoimun akan

menimbulkan efek samping meliputi

hiperglikemia, osteoporosis, gangguan fungsi ginjal, moon face, imunosupresan dan lain-lain. Pemberian dosis tinggi dapat menyebabkan nekrosis vaskular dan sindrom cushing yang sifatnya berpulih (reversible) (Sukandar dkk.,2008). Penanganan yang disarankan untuk saat ini pada penderita yang mendapatkan efek samping kortikosteroid adalah dengan melakukan penurunan konsumsi dosis kortikosteroid secara perlahan-lahan (tapering off) (Schwaz, 2005).

Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit reumatik autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan (Isbagio dkk.,2009).

Berdasarkan survey data di RSUP Dr. M. jamil Padang, pada tahun 2012 jumlah untuk pasien Lupus (SLE) sebanyak 32 orang. Jumlah ini mengalami peningkatan pada tahun 2013, mencapai 37 orang.

Pasien dengan SLE menggunakan obat kortikosteroid sebagai pengobatan utama. Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping, kortikosteroid tetap merupakan obat yang banyak dipakai sebagai antiinflamasi dan imunosupresi (Anonim, 2011).

(2)

Pharmaceutical care Project menunjukkan bahwa 17% dari masalah terapi obat yang telah diidentifikasi dan dikatagorikan sebagai pasien menerima obat yang salah (Cipolle et al.,, 1998). Berdasarkan latar belakang diatas, maka penggunaan obat yang tepat sangat menentukan keberhasilan terapi. Oleh karena itu, perlu dipelajari Pola Penggunaan dan Analisa Drug Related Problem’s obat kortikosteroid di Rumah Sakit sebagai evaluasi terpadu dalam meminimalisir kejadian yang tidak diinginkan (DRP’s) dari penggunaan terapi obat demi keselamatan pasien

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan deskriptif retrospektif yaitu dengan cara pendekatan observasi, pengumpulan data sekaligus dalam satu waktu dan menggunakan data yang lalu (Notoatmojo, 2010). Sumber data pada penelitian ini diperoleh dari catatan rekam medis pasien di Bangsal Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang periode Januari-Desember 2013.

Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang terdiagnosa penyakit Lupus (SLE) yang dirawat di Bangsal Penyakit Dalam RSUP Dr.M.Djamil Padang selama tahun 2013.

Sampel Penelitian

Sampel penelitian dikumpulkan dari data rekam medik pasien Lupus yang menggunakan obat kortikosteroid yang dirawat di Bangsal Penyakit Dalam di RSUP Dr. M. Djamil Padang dalam periode Januari sampai dengan Desember tahun 2013 dengan kriteria sebagai berikut : Kriteria inklusi :

Kriteria inklusi merupakan persyaratan umum yang dapat diikutsertakan dalam penelitian. Yang termasuk dalam kriteria inklusi ini adalah :

a. Pasien yang mendapat terapi kortikosteroid secara oral dan parenteral.

b. Pasien yang teerdiagnosa penyakit Lupus (SLE)

c. Pasien dewasa ( berumur > 17 tahun).

d. Pasien di Bangsal penyakit dalam yang dirawat pada bulan Januari – Desember tahun 2013.

Kriteria ekslusi :

Kriteria ekslusi merupakan keadaan yang menyebabkan subyek yang memenuhi kriteria inklusi tidak dapat diikutsertakan. Yang termasuk kriteria eklusi adalah :

a. Pasien yang mendapatkan terapi

kortikosteroid secara topikal.

b. Pasien yang tidak terdiagnosa penyakit Lupus (SLE)

c. Pasien berumur < 17 tahun.

Defenisi Operasional

1. Pasien Lupus (SLE) adalah orang yang terdiagnosa penyakit inflamasi autoimun kronis, adanya ruam malar, ruam discoid, fotosensitivitas, ulserasi dimulut, arthritis, scrositis dan kelainan imunologik yang berusia > 17 tahun yang menggunakan obat kortikosteroid yang dirawat di Bangsal Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang.

2. Drug Related Problems (DRPs) adalah kejadian atau pengalaman yang tidak menyenangkan yang dialami pasien yang melibatkan atau diduga berkaitan dengan terapi obat dan secara aktual maupun potensial mempengaruhi outcome terapi pasien.

3. DRP’s dalam penelitian ini meliputi terapi obat yang tidak efektif, dosis terlalu rendah, dosis terlalu tinggi dan interaksi obat.

4. Rekam Medik menurut Surat Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas, anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang diberikan kepada seorang penderita selama di rawat di rumah sakit, naik rawat jalan maupun rawat inap.

Cara Pengumpulan Data

(3)

hasil pemeriksaan laboratorium). Data yang diperoleh dipindahkan ke lembar pengumpul data yang telah disiapkan

Analisa Data

Analisa data meliputi analisa Pola Penggunaan Obat dan Analisa Drug Relaed Problem’s (DRP’s).

Data ditampilkan secara deskriptif dalam bentuk tabel dan diagram kemudiann dianalisa menggunakan rumus sebagai berikut :

= 100%

Keterangan : P = Persentase hasil S = Jumlah sampel N = Jumlah semua sampel

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pengamatan dari buku catatan rekam medis di RSUP Dr. M. Djamil Padang periode Januari-Desember 2013 diperoleh data seluruh pasien Lupus di Bangsal penyakit dalam RSUP Dr.M. Djamil Padang sebanyak 37 pasien. Data yang di dapatkan dari rekam medik pasien yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 33 orang sedangkan 4 orang tidak memenuhi syarat sebagai subjek (eksklusi), sehingga total subjek yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 33 pasien.

Analisa Pola Penggunaan Obat

1. Jumlah persentase pasien Lupus (SLE) berdasarkan jenis kelamin Pasien Lupus yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 2 orang dengan persentase 6,060%, sedangkan pasien yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 31 orang dengan persentase 93,94 % .

2. Jumlah persentase pasien Lupus (SLE) berdasarkan usia Pasien yang berusia 17-25 tahun sebanyak 19 pasien dengan persentase 57,57%, pasien yang berusia 26-35 tahun sebanyak 8 pasien dengan persentase 24,24%, pasien yang berusia 36-45 tahun sebanyak 5 pasien dengan persentase 15,15%, dan pasien yang berusia 46-55 tahun sebanyak 1 pasien dengan persentase 3,03%

3. Jumlah persentase pasien Lupus (SLE) berdasarkan jenis obat kostikosteroid Pasien lupus yang mendapat terapi obat kortikosteroid metil prednisolon sebanyak 30 pasien dengan persentase 90,90 %, pasien lupus yang mendapat terapi obat kortikosteroid prednisone sebanyak 1 pasien dengan persentase 3,03% dan pasien yang mendapatkan terapi kostikosteroid metil prednisolon dan prednisone sebanyak 2 pasien dengan persentase 6,07%

4. Jumlah persentase pasien lupus (SLE) berdasarkan rute pemberian obat kortikosteroid Pasien lupus yang mendapatkan terapi kortikosteroid dengan rute pemberian per oral sebanyak 20 pasien dengan persentase 60,60%, rute pemberian secara intravena sebanyak 4 pasien dengan persentase 12,12%, dan rute pemberian obat kortikosteroid secara oral dan intravena sebanyak 9 pasien dengan persentase 27,28% .

5. Jumlah persentase pasien Lupus (SLE) berdasarkan penggunaan obat kortikosteroid dan kombinasi obat kortikosteroid dengan obat SLE lainnya.

Pasien lupus yang menggunakan obat kortikosteroid saja dalam terapinya sebanyak 23 pasien dengan persentase 69,70%, pasien yang menggunakan obat kortikosteroid dan obat terapi SLE lainnya sebanyak 10 pasien dengan persentase 30,30%.

(4)

estrogen, adanya korelasi peningkatan hormone estrogen yang tinggi dengan resiko terjadinya Lupus, dimana estrogen yang tinggi ini dapat mengaktivasi sel B poliklonal sehingga merangsang proliferasi sel B dan abnormalitas intrinsic sel B untuk membentuk antibody dalam jumlah yang abnormal. (Sylvia, Lorraine, 2006).

Hasil analisa persentase pasien Lupus (SLE) berdasarkan katagori usia berdasarkan depkes RI 2009 meliputi pasien yang berusia 17-25 tahun (masa remaja) sebanyak 19 pasien dengan persentase 57,57%, pasien yang berusia 26-35 tahun (masa dewasa awal) sebanyak 8 pasien dengan persentase 24,24%, pasien yang berusia 36-45 tahun (masa dewasa akhir) sebanyak 5 pasien dengan persentase 15,15%, dan pasien yang berusia 46-55 tahun (masa lansia awal) sebanyak 1 pasien dengan persentase 3,03%. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa pasien Lupus (SLE) banyak terjadi pada rentang usia 17-25 tahun yaitu pada masa remaja. Hal ini sesuai dengan penelitian lupus biasanya lebih banyak menyerang wanita berumur kisaran 20 sampai 30 tahun (Sweetman, 2009). Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) adalah penyakit reumatik autoimun dimana penyakit ini menyerang wanita muda dengan insiden puncak usia 15-40 tahun selama masa reproduktif (Isbagio dkk., 2009).

Hasil analisa persentase pasien Lupus (SLE) berdasarkan golongan obat kortikosteroid disesuaikan dengan Dipiro et al., (2011) bahwa terapi kortikosteroid yang digunakan dalam pengobatan Lupus (SLE) adalah obat kortikosteroid metil prednisolon dan prednison. Berdasarkan hasil analisa diketahui terapi obat kortikosteroid metil prednisolon sebanyak 30 pasien dengan persentase 90,90 %, pasien lupus yang mendapat terapi obat kortikosteroid prednison sebanyak 1 pasien dengan persentase 3,03% dan pasien yang mendapatkan terapi kostikosteroid dan prednison sebanyak 2 pasien dengan persentase 6,07%. Adanya pemakaian metil prednisolon dan prednison dalam suatu kasus Lupus (SLE) diberikan dalam rentang

waktu yang tidak bersamaan. Obat

kortikosteroid yang paling banyak dipakai dalam

pengobatan Lupus ini adalah metil prednisolon dengan persentase 90,90% dibandingkan dengan prednison yang memiliki persentase 3,03%. Metil prednisolon merupakan glukokortikoid sintetik turunan dari prednisolon, yang mempunyai efek kerja lebih kuat dari prednisone yang dapat diberikan secara oral maupun

intravena, Glukokortikoid sintetik

dikembangkan terutama untuk aktivitas anti inflamasi dan imunosupresannya (Katzung, 2010). Potensi anti inflamasi untuk obat metil prednisolon lebih besar dibandingkan dengan

prednisone (Ganiswarna S.G,1995).

Gukokortikoid kerja lebih singkat, seperti prednison dan metil prednisolon, lebih disukai daripada steroid kerja lama seperti deksametason karena waktu paruhnya lebih pendek dan lebih mudah apabila akan diganti ke

alternate-day therapy (Goodman & Gilman’s, 2007).

Jumlah persentase pasien Lupus (SLE) berdasarkan rute pemberian obat kortikosteroid yaitu yang mendapatkan terapi kortikosteroid dengan rute pemberian per oral sebanyak 20 pasien dengan persentase 60,60%, rute pemberian secara intravena sebanyak 4 pasien dengan persentase 12,12%, dan rute pemberian oral dan intravena sebanyak 9 pasien dengan persentase 27,28%. Berdasarkan data ini dapat dilihat bahwa pemberian terapi kortikosteroid paling banyak diberikan secara per oral dibandingkan secara intra vena. Rute pemberian keduanya juga diberikan dalam waktu yang berbeda. Steroid yang diberikan peroral efektif untuk mengatasi manifestasi konstitusional, kulit, arthritis dan serositis sedangkan steroid parenteral biasanya hanya digunakan pada keadaan yang sangat berat, mengancam jiwa (Wachjudi, 2010).

Golongan steroid sintetik diabsorbsi dengan cepat dan sempurna bila di berikan melalui mulut (peroral). Meskipun mereka ditransportasikan dan dimetabolisme dalam pola yang sama dengan steroid endogen, beberapa perbedaan penting tetap dijumpai, seperti aktivitasnya dalam mengikat protein, stabilitas rantai samping, kecepatan eksresi dan produk metabolitnya (Katzung, 2010).

(5)

obat kortikosteroid saja sebanyak 23 pasien dengan persentase 69,70% sedangkan pasien yang menggunakan obat kortikosteroid dengan terapi SLE lainnya sebanyak 10 pasien dengan persentase 30,30%. Terapi obat untuk lupus dirancang untuk menekan respon imun dan peradangan. Secara umum, pilihan terapi obat tergantung pada luas dan tingkat keparahan penyakit, obat yang digunakan antara lain NSAID, anti malaria, kortikosteroid, dan obat sititoksik (Delafuente and Cappuzzo,2008).

NSAID merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan (Defaluente and Cappuzzo, 2008). Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi SLE yang ringan atau sedang (demam, antalgia, lemas atau serositis) yang tidak menyebabkan kerusakan organ (Herfindal

et al., 2000). Kortikosteroid diberikan kepada penderita SLE dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon terhadap penggunaan obat lain seperti NSAID dan anti malaria. Obat sitotoksik seperti siklofosfamid digunakan untuk pengobatan penyakit SLE dengan manifestasi klinis yang berat (Anonim,2011).

Analisa Drug Related Problem’s (DRP’s)

1. Obat tidak efektif

Tidak ditemukan adanya terapi obat kortikosteroid yang tidak efektif yang diberikan kepada pasien Lupus di bangsal penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2013. Obat kortikosteroid yang digunakan pada terapi penyakit lupus (SLE) sudah sesuai dengan Literatur. 2. Dosis terlalu rendah

Tidak ditemukannya dosis obat

kortikosteroid yang terlalu rendah pada pengobatan penyakit Lupus (SLE) di

Bangsal Penyakit Dalam RSUP

Dr.M.Djamil Padang tahun 2013. 3. Dosis terlalu tinggi

Tidak ditemukan adanya dosis yang terlalu tinggi pada pemberian obat kortikosteroid metil prednisolon tablet dan injeksi, dosis yang diberikan sudah sesuai dengan standar literatur. Namun ditemukannya dosis yang tidak sesuai dengan literatur pada pemberian prednisone tablet sebanyak 2 orang pasien (6,06%), yaitu dosis 120mg/hari (3,03%), dosis 180mg/hari (3,03%).

4. Interaksi Obat

Ditemukan adanya interaksi obat kortikosteroid dan obat lainnya pada peresepan pasien lupus sebanyak 7 orang

(21,21%) yakni Interaksi obat

kortikosteroid dengan fenitoin sebanyak 1 pasien (3,03%), kortikosteroid dengan diuretik sebanyak 5 pasien (15,15%), dan kortikosteroid dengan Rifampicin (3,03%). Interaksi obat kortikosteroid yang ditemukan disesuaikan dengan standar literatur.

Drug Related Problems (DRP’s) merupakan kejadian atau pengalaman yang tidak menyenangkan yang dialami pasien yang melibatkan atau diduga berkaitan dengan terapi obat secara aktual maupun potensial mempengaruhi outcome terapi pasien (Cipolle et al, 1998) (Rovers et al., 2003). Analisa kualitatif meliputi analisa terjadi atau tidaknya Drug Related Problem’s (DRP’s) untuk obat kortikosteroid yang dipakai meliputi obat yang tidak efektif, dosis terlalu rendah dan dosis terlalu tinggi dan interaksi obat.

Hasil penelitian yang telah dilakukan, tidak ditemukan adanya Drug Related Problems

untuk kategori obat yang tidak efektif. Penggunaan obat kortikosteroid pada terapi Lupus (SLE) di RS Dr. M. Djamil Padang sudah sesuai dengan Dipiro et al ( 2011 ) dan standar terapi RS yaitu menggunakan obat metil prednisolon dan prednisone baik oral maupun parenteral. Kortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien Lupus (SLE), dimana dosis kortikosteroid yang digunakan juga bervariasi. Tujuan pemberian kortikosteroid pada SLE adalah untuk anti inflamasi, imunosupresi, menghilangkan gejala, memperbaiki manifestasi klinik yang timbul (Anonim, 2011).

(6)

dengan dosis 4mg - 48mg/hari hingga dosis tertinggi 100mg/hari peroral (Sweetman, 2009). Tidak ditemukan adanya pemakaian dosis kurang atau dosis berlebih dalam peggunaan obat metil prednisolon po karena dosis yang digunakan masih dalam range dosis yang tertera pada literatur artinya tidak ditemukan adanya

Drug Related Problem pada pemberian obat metil prednisolon peroral.

Kortikosteroid efektif untuk pengobatan berbagai manifestasi SLE. Kortikosteroid sistemik mulai dari 5mg - 30mg perhari efektif untuk pengobatan SLE ringan sampai sedang, termasuk maniestasi kutaneus, arthritis dan serositis. Pada keterlibatan obat yang lebih berat seperti nefritis, pneumoritis, kelainan hematologik dan vaskulitik sistemik membutuhkan kortikosteroid dosis tinggi dalam preparat oral atau intravena dengan dosis setara prednison 1-2mg/kgBB/hari. Metil prednisolon intravena dapat diberikan selama 3 hari berturut-turut untuk manifestasi SLE berat yang mengancam jiwa (Wachjudi, 2010)

Pada kasus pasien lupus di bangsal penyakit dalam RSUP Dr.M.Djamil Padang dapat dilihat dosis terapi obat kortikosteroid metil prednisolon parenteral yang digunakan adalah 62,5 mg/hari, 125 mg/hari, 250 mg/hari, 375 mg/hari, 500 mg/hari. Sesuai literatur metil prednisolon parenteral diberikan dosis 10-500 mg/hari (Sweetman, 2009), 500-1000 mg/hari (Dipiro et al., 2011), 1 gr/hari (standar RS), metil prednisolon dosis tinggi yang diberikan intravena dengan dosis 0,5-1gram ke dalam NaCl 0,9% 100cc selama 1 jam diberikan secara 3 hari berturut-turut (Anonim, 2011). Berdasarkan data diatas tidak ditemukan adanya

Drug Related Problem untuk dosis terlalu rendah dan dosis terlalu tinggi pada pemberian metil prednislon parenteral dan pemakaiannya sudah sesuai dengan standar literatur.

Berdasarkan data Pola Penggunaan Obat, dapat dilihat persentase pemakaian obat prednisone dalam terapi penyakit Lupus yaitu 6,07% dengan rute pemberian secara oral. Pada kasus pasien lupus di bangsal penyakit dalam RSUP Dr.M.Djamil Padang dapat dilihat dosis terapi obat kortikosteroid prednison yang digunakan adalah 80 mg/hari, 90 mg/hari, 120 mg/hari, 180 mg/hari. Sesuai literatur obat prednison untuk terapi lupus diberikan peroral dengan dosis 1-2mg/kg/hari po (Dipiro et al,

2011), 40-60mg/hari po (standar RS), 1mg/kg/hari po (Sweetman, 2009). Tidak ditemukan adanya Drug Related problem’s

(DRP’s) kategori dosis obat terlalu rendah pada pemberian obat prednison peroral karena sudah sesuai standar lteratur, tetapi ditemukan adanya

Drug Related problem’s (DRP’s) kategori dosis terlalu tinggi untuk prednisolon tablet 120mg/hari, 180mg/hari sebanyak 2 orang pasien (6,06%), dimana tidak sesuai dengan dosis terapi standar literatur.

Apabila menggunakan standar 1-2mg/kg/hari terdapat pasien dengan berat badan 52 kg diberikan dosis 120 mg/hari, yang seharusnya diberikan terapi obat dengan range dosis sesuai standar literatur 52-104mg/hari. Pasien dengan berat badan 65 kg diberikan prednisolon dosis 180mg/hari, yang seharusnya diberikan terapi obat dalam range dosis sesuai standar literatur 65-130mg/hari. Berdasarkan literatur. Dosis > 100mg prednisone termasuk dalam golongan dosis sangat tinggi , dosis tinggi ini biasanya diberikan secara intravena dengan dosis 0,5-1 gram metil prednisolon diberikan selama 3 hari berturut-turut (Anonim,2011). Pemberian dosis yang tinggi ini juga tergantung pada tingkat keparahan hasil diagnosa pasien dan pertimbangan dari dokter RS.

(7)

kombinasi obat ini dapat menyebabkan efek kortikosteroid dapat berkurang, akibatnya kondisi arthritis tak terawasi sengan baik (Harkness, 1998).

Analisa untuk dosis obat kortikosteroid dalam penelitian ini hanya dapat peneliti sesuaikan dengan literatur. Peneliti tidak dapat mengetahui pertimbangan dokter memberikan dosis tinggi di luar rentang yang dianjurkan pada studi literatur. Peneliti juga tidak menemukan adanya interaksi obat prednison dengan obat lain yang dapat menurunkan kadar obat steroid di dalam darah sehingga perlu penambahan dosis. Semua hal ini disebabkan oleh keterbatasan metoda penelitian yang menggunakan data rerospektif.

Untuk kategori Drug Related Problem’s (DRP’s) terapi obat yang tidak perlu dan perlu terapi obat tambahan tidak dilakukan dalam penelitian ini karena penelitian ini hanya menganalisa 1 jenis obat yaitu obat kortikosteroid saja. Reaksi obat yang merugikan dan ketidakpatuhan pasien pada penelitian ini juga tidak dapat diteliti karena penelitian ini menggunakan data yang lalu (retrospektif), katagori ini dapat diteliti apabila menggunakan data-data yang sekarang (prospektif).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Berdasarkan data Pola Penggunaan Obat Pasien lupus (SLE) di Bangsal Penyakit Dalam RSUP Dr.M.Djamil Padang tahun 2013 banyak diderita oleh perempuan dalam rentang usia antara 17-25 tahun.

2. Obat kortikosteroid yang digunakan yaitu metil prednisolon dan prednison dengan rute pemberian secara oral dan parenteral.

3. Berdasarkan literatur, analisa Drug Related Problem’s tidak ditemukan adanya obat yang tidak efektif dan dosis terlalu rendah dalam pemberian obat kortikosteroid, tetapi terdapat penggunaan dosis yang tidak sesuai dengan literatur dalam penggunaan obat prednisone dosis 120mg dan 180mg per hari.

4. Berdasarkan literatur ditemukan adanya Interaksi obat, terdapat 3 jenis obat yang berinteraksi dengan obat kortikosteroid yaitu obat Furosemid, Fenitoin dan Rifamficin.

Saran

Untuk meningkatkan terapi pengobatan pada pasien Lupus (SLE) maka diharapkan Apoteker bekerja sama dengan Dokter sehingga prevalensi Drug related Problem’s (DRP’s) dapat menurun secara signifikan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2011. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Erimatosus Sistemik, Perhimpunan Reumatologi Indonesia.

Cipolle, R.J, Strand, L.M., and Morley, P.C., 1998. Pharmaceutical Care Practice,

McGraw-Hill Companies, Inc, New York. Delafuente, J.C., and Cappuzzo, K.A., 2008. Systemic Lupus Erythematosus, In : Dipiro, J.T., Wells, B.G., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Posey,

L.M.,(Eds),Pharmacotherapy, A

Pathophysiologic Approach, 7th ed, New York : McGraw Hill Companies, Inc. Dipiro, J. T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke,

nG. R., Wells, B.G., Posey. L. M., 2011.

Pharmacoteraphy ; A Pathophysiology Approach, 8th edition, Mc Graw Hill, New York.

Ganiswarna, S. G, Editor, 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi 4, Bagian Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Goodman dan Gilman, 2007. Dasar

Farmakologi Terapi Vol. 2, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.

Harkness, Richard, R.PH., 1998. Interaksi Obat, Bandung, Penerbit ITB

Herfindal, E., T., and D R, Gourlev. 2000.

Textbook of Therapeutic Drug and Disease Management Seventh Edition.

Book 2. USA: Lippincott Williams and Wilkins.

Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, 2009. Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi kelima. Jakarta: Interna Publishing; 2565-2579.

(8)

Wahidin Sudirohusodo Makassar Periode 2005-2010, Jurnal : Penelitian Kesehatan PharmaMedika, 2010 Vol,2, No,2. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Katzung, B. G., 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi 10, alih bahasa oleh Staf Dosen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Penerbit Kedokteran EGC, Jakarta.

Komalig FM, Hananto M, Sukana B, Pardosi J. 2008. Faktor Lingkungan yang Dapat Meningkatkan Resiko Penyakit Lupurs Eritematosus Sistemik. Jurnal Ekologi Kesehatan ; 7(2):747-57.

Rovers, Jay P., Harry, D, Currie Harry, P., Hage Randal, P, MC Donought, Jenelle, L. Sobotka, 2003. A Practical Guide to Pharmaceutical Care, second edition, American Pharmaceutical Assosiation. Schwaz, M.W., 2005. Pedoman Klinis Pediatri,

EGC, Jakarta.

Sukandar, E. Y., Andrajati, R., Sigit, J. I., Adnyana, I. K., Setiadi, A. A. P., Kusnandar, 2008. Iso Farmakoterapi, PT. ISFI Penerbitan, Jakarta.

Sweetman C. Sean, 2009. Martindale The Complete Drug Reference 1, 36 edition. Sylvia A.Price., Lorraine M Wilson, 2006.

Patofisiologi Konsep Klinis Proses Proses Penyakit, Edisi 6, Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

We expect NIM pressure to be mitigated by new subsidy schemes such as KPR SSB (interest subsidy is linked to 12mth SBI rate) and new KPR FLPP scheme (with funding ratio of

Kondisi sungai Gelis saat ini bisa dibilang sangat memprihatinkan karena air yang berwarna hitam dan memiliki bau tak sedap.. Adanya beragam aktivitas manusia di sekitar Sungai

Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan penelitian untuk mengetahui jenis fungi yang mampu berperan aktif merombak atau mendekomposisi serasah daun Macaranga

Pada Frame 139 buat animasi kaki karakter Neo yang sedang menendang, kini gerakan kaki tersebut tepat mengenai kepala karak- ter Smith. Animasi Tween pada

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul “FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MAHASISWA AKUNTANSI DALAM PEMILIHAN

Dalam hal ini, skenario lebih mungkin adalah bahwa investor hanya akan menarik uang mereka dari bank dan menaruhnya ke dalam reksa dana yang aman diinvestasikan di Treasury

Klasifikasi Tanah Di Dekat Daerah Sumber Mata Air Panas Pada Daerah Vulkanis Di Kanagarian Cupak, Kanagarian Koto Anau Dan Kanagarian Batu Bajanjang.. Skripsi Sarjana

Pening- katan konsentrasi oksigen terlarut di perairan dengan sistem aerasi dapat dilakukan menggunakan kincir yang dapat dipasang di setiap unit KJA atau pada