• Tidak ada hasil yang ditemukan

INVENTARISASI DAN DIGITALISASI NASKAH-NASKAH KUNA DI WILAYAH EKS-KARESIDENAN SURAKARTA SEBAGAI UPAYA PENYELAMATAN INTANGIBLE ASSET BANGSA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "INVENTARISASI DAN DIGITALISASI NASKAH-NASKAH KUNA DI WILAYAH EKS-KARESIDENAN SURAKARTA SEBAGAI UPAYA PENYELAMATAN INTANGIBLE ASSET BANGSA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

INVENTARISASI DAN DIGITALISASI NASKAH-NASKAH KUNA DI

WILAYAH EKS-KARESIDENAN SURAKARTA SEBAGAI UPAYA

PENYELAMATAN

INTANGIBLE ASSET

BANGSA

Asep Yudha Wirajaya, dkk.

Prodi Sastra Indonesia

Fakultas Ilmu Budaya – Universitas Sebelas Maret E-mail:asepyudha.w@gmail.comatauasepyuda@yahoo.com

Abstrak

Penelitian kodikologi terhadap naskah-naskah kuna di wilayah eks-Karesidenan Surakarta masih belum banyak dilakukan. Pada umumnya, telaah manuskrip dilakukan dengan titik berat pada perbandingan naskah dalam hal kandungan isi. Terlebih lagi, penelitian naskah yang berupaya menginventarisir keberadaan naskah yang masih dalam koleksi-koleksi pribadi sekaligus juga mengupayakan penyelamatannya dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (digitalisasi dan cybermedia), dapat dipastikan masih sangat jarang dilakukan. Selain itu, keberadaan naskah-naskah kuna di wilayah eks-Karesidenan Surakarta kondisinya sudah berada dalam ambang batas kepunahan. Hal ini disebabkan oleh usia kertas yang sudah semakin tua, kurangnya perawatan karena keterbatasan dana, kondisi kelembaban iklim tropis yang sangat tidak bersahabat terhadap kertas, kondisi keasaman tinta yang sudah mulai merusak lembar kertas (slowfire), serangan serangga yang mengakibatkan kondisi kertas semakin memprihatinkan, dan bencana alam yang datang silih berganti (banjir atau kebakaran). Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya penyelamatannaskahdenganmemanfaatkan teknologi digital.

Kata Kunci:inventarisasi, digitalisasi, dan naskah kuna

A. Pendahuluan

Sejak berdirinya suatu kerajaan, istana atau keraton mempunyai fungsi ganda. Di samping sebagai pusat pemerintahan, istana berfungsi pula sebagai pusat kebudayaan (Darsiti-Suratman, 1990). Contoh fungsi yang kedua ialah bahwa sebagai pusat kebudayaan, pemerintah kerajaan banyak menghasilkan peninggalan bersejarah yang bersifat monumental berupa bangunan yang usianya sudah berabad-abad yang dapat disaksikan hingga sekarang. Misalnya, Candi Prambanan merupakan peninggalan Kerajaan Mataram (Hindu), Candi Penataran merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit, Masjid Demak

merupakan peninggalan Kerajaan Demak, serta istana Surakarta dan Yogyakarta merupakan peninggalan Kerajaan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

(2)

musnah, atau belum berhasil ditemukan kembali (Tjiptaningrum-Fuad Hassan dalam Ikram, 2004: 61). Namun, masih ada sejumlah naskah yang terselamatkan dan disimpan dengan baik di dalam negeri dan di luar negeri.

Beberapa faktor yang perlu mendapatkan perhatian adalah penelitian terhadap aspek kodikologis naskah-naskah Nusantara masih belum banyak dilakukan. Pada umumnya, telaah manuskrip dilakukan dengan titik berat pada kandungan isi. Terlebih lagi, penelitian naskah yang berupaya menginventarisir keberadaan naskah yang masih dalam koleksi-koleksi pribadi sekaligus juga mengupayakan penyelamatannya dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (digitalisasi dan cybermedia), dapat dipastikan masih sangat jarang dilakukan. Kalaupun dilakukan, maka hampir dapat dipastikan penelitinya berasal dari luar negeri (lihat Solopos, Jawa Pos, Suara Merdeka dan Kompas, pada awal sampai pertengan Mei 2009). Hal ini terkait dengan masalah pembuatan mikrofilm terhadap naskah-naskah di Surakarta, khususnya koleksi Museum Radyapustaka, Sasanapustaka dan Reksapustaka yang dilakukan oleh Nancy. K. Florida dari Cornell University (Australia) pada sekitar tahun 1980-an. Ketika kondisi ini “dibiarkan” terus terjadi secara berkepanjangan, maka ada hal mendasar yang harus segera dibenahi dalam konteks pendidikan tinggi di Indonesia, khususnya bidang pernaskahan Nusantara.

Belum lagi, mengingat keberadaan naskah-naskah Nusantara ini kondisinya sudah berada dalam ambang batas kepunahan. Selain disebabkan usia kertas yang sudah semakin tua, kurangnya perawatan karena keterbatasan dana, kondisi kelembaban iklim tropis yang sangat tidak bersahabat terhadap kertas,

kondisi keasaman tinta yang sudah mulai merusak lembar kertas (slowfire), serangan serangga yang mengakibatkan kondisi kertas semakin memprihatinkan, dan bencana alam yang datang silih berganti (banjir atau kebakaran).

Oleh karena itulah, perlu dilakukan upaya penyelamatan, mengingat peninggalan tertulis ini sudah terancam punah dengan memanfaatkan kemajauan ilmu pengetahuan dan teknologi (digitalisasi dan cybermedia) yang tidak hanya menjangkau keraton sebagai ikon kebudayaan, tetapi juga menjangkau naskah-naskah Nusantara yang masih tersimpan dalam koleksi-koleksi pribadi masyarakat di wilayah Eks-karesidenan Surakarta. Akhirnya, nilai-nilai universal yang terkandung di dalam naskah tersebut dapat dijadikan sumber inspirasi dalam pembangunan bangsa.

B. Metode Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah daerah eks-karesidenan Surakarta yang meliputi wilayah kotamadya Surakarta, kabupaten Boyolali, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, Sragen dan Klaten, Propinsi Jawa Tengah.

2. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah masyarakat atau orang-orang yang bertempat tinggal di daerah eks-karesidenan Surakarta. Adapun sampel penelitian ini adalah orang-orang tua atau muda yang diperkirakan memiliki koleksi pribadi -- naskah Kuna. Sampel ini ditetapkan sebagai responden. Dalam pemilihan sampel ini digunakan teknik sampling, yaitupurposive sampling. 3. Sumber Data Penelitian

(3)

4. Pendekatan yang Digunakan

Dalam penelitian ini akan digunakan model pendekatan kodikologi dan pendekatan digitalisasi. Artinya, pendekatan kodikologi digunakan pada tahap katalogisasi. Adapun pendekatan digitalisasi digunakan dalam rangka konservasi naskah sehingga softfile naskah dapat ditransfer padacybermedia.

Pendekatan kodikologi dimulai dengan menguraikan kondisi suatu naskah sesuai model yang terdapat dalam ”De Descriptione Codicum” (Hermans dan Huisman, 1979: 11—13). Akan tetapi, penerapannya disesuaikan dengan kondisi fisik naskah Nusantara yang ditemukan sehingga tidak semua rincian dipakai untuk menguraikan kondisi naskah. Penyederhanaan ini misalnya pada penjilidan.

Aspek yang dirinci dalam suatu naskah mencakup hal-hal sebagai berikut.

a. Identifikasi

Ini diawali dengan penjelasan tentang tempat naskah tersimpan, nomor naskah, bentuk naskah lengkap atau merupakan fragmen atau kumpulan. Catat pula judul, bahasa yang digunakan, tanggal yang tercantum dalam naskah. Kodikologi memang tidak membahas isi teks, tetapi hanya mencatat teks awal, tengah, dan akhir saja.

b. Bagian Buku

Naskah Nusantara pada umumnya menggunakan alas berupa kertas, baik kertas Eropa maupun kertas Daluwang (dluwang). Walaupun demikian, ada pula naskah yang masih tertulis pada daun tal (daun lontar), kulit kayu, ataupun kulit hewan. Bagian ini membicarakan ciri dan keadaan kertas, penyusunan kuras, ukuran

naskah serta halaman, dan cara penggarisan kertas.

c. Tulisan

Pokok ini menjelaskan jenis huruf yang digunakan, misalnya huruf Jawa atau huruf Pegon (Arab – Jawa). Penyalinan dilakukan oleh satu orang atau lebih, dan juga cara menulis rapi atau tidak. Selain itu, yang masih berkaitan dengan tulisan adalah rubrikasi, iluminasi, ilustrasi, dan gambar.

d. Penjilidan

Untuk naskah Nusantara, teknik penjilidannya lebih sederhana bila dibandingkan dengan naskah Barat pada abad pertengahan. Sebagai contoh, sampul naskah pada umumnya memakai karton atau kulit kayu. Pada siku sampul tidak diberi penguat, sampulnya tidak diberi hiasan. Punggung naskah tidak ada rusuk.

e. Sejarah

Dalam usaha menelusuri riwayat naskah, hal-hal yang dapat diteliti adalah kolofon, ciri kepemilikan, catatan-catatan dalam naskah, penggunaan naskah, cara memperoleh naskah, dan data-data luar. Untuk data luar, contohnya siapakan pemilik naskah (Maria Indra Rukmi, 1997: 3—5; Mu’jizah dan Maria Indra Rukmi, 1998: 3—4).

(4)

Pendekatan digitalisasi digunakan pada tahap konservasi dalam penelitian ini. Pendekatan digitalisasi merupakan konsep baru yang berupaya mendesain sebuah naskah dalam bentuk kemasan softfile/digital. Tahap-tahapan digitalisasi konservasi adalah (1) pengambilan gambar/ pemotretan dengan kamera digital, (2) pengolahan gambar dengan software Photopaint, (3) pembuatan file Flipbook, dan (4) pembuatanWeb Design.

5. Teknik Pengumpulan Data

Data penelitian ini dikumpulkan dengan teknik pustaka dan teknik digital. Artinya, dengan membaca secara cermat sumber data penelitian, ditemukan data yang relevan untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Data yang telah dikumpulkan akan diklasifikasikan sesuai dengan jenisnya. Setelah itu, data penelitian yang berupa naskah dilakukan tahapan digitalisasi (pemotretan/pengambilan gambar). Tahap berikutnya, dilakukan FGD yang melibatkan ACG (Academic – Community – Goverment). Diharapkan dengan FGD ini akan didapat berbagai masukan, baik yang terkait dengan draf katalog maupun hal-hal teknis lainnya. Masukan ini nantinya akan dipertimbangkan dan diolah, baik sebagai bahan penyempurnaan draf katalog naskah kuna maupun penyempurnaan format digitalisasicybermedia.

6. Teknik Analisis Data

Untuk menganalisis data, penelitian ini menggunakan teknik analisis komparatif (comparatif analysis). Artinya, data yang telah diklasifikasi akan ditelaah dan dikaji kemudian dikomparasikan dengan teori yang sudah dipaparkan sebelumnya. Perlu dikemukakan bahwa ilmu kodikologi merupakan

pengertian yang baru, di bidang ini mulai diperkenalkan oleh Alphonse Dain dalam kuliahnya di Paris pada Februari 1944. Kemudian, dengan kehadiran karya Les Manuscripts pada tahun 1949 kodikologi mulai diperkenalkan kepada masyarakat. Hal ini berarti data tentang kodikologi dalam naskah-naskah Nusantara yang ditemukan akan disistematiskan, kemudian dikaji, dan akhirnya di komparasikan sehingga menghasilkan sebuah pemahaman yang baik dan lengkap.

Namun, sebelum digitalisasi dilakukan, terlebih dahulu dilakukan deskripsi naskah berdasarkan model penelitian kodikologi. Artinya, segala keterangan yang terkait dengan seluk-beluk naskah akan dideskripsikan. Dengan demikian, hasil deskripsi naskah yang baik dan benar inilah yang nantinya akan dijadikan bahan analisis bagi pembuatan katalogisasi dan digitalisasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

C. Pembahasan

1. Keraton sebagai Ikon Pusat Kebudayaan

(5)

mardawa-basa‘ahli dalam bidang bahasa; (6) mandra-guna ‘ahli karya cipta’; (7) nawung kridha ‘perasa hingga mampu meramal’; dan (8) sambegama ‘berwatak utama’ (Padmosoekotjo, 1958: 12). Dengan demikian, para pujangga adalah orang-orang yang terpilih dan sekaligus sebagai budayawan intelektual yang juga menguasai ilmukasunyatan. Oleh karena itu, banyak orang berpendapat bahwa pujangga (Jawa) yang memiliki keahlian tersebut hanya sampai pada pujangga Ranggawarsita sehingga ia disebut pujangga terakhir (Padmosoekotjo, 1958: 13).

Ranggawarsita sendiri – yang dikenal sebagai pujangga terkahir Istana Surakarta – menghasilkan karya yang jumlahnya mencapai kurang lebih 94 judul (Riyadi, 1988: 61 – 64) dengan isi dan jenis yang beraneka ragam. Berakhirnya sistem kepujangaan sampai dengan Ranggawarsita, bukan berarti bahwa setelah itu tidak ada orang atau abdi keraton / istana yang melakukan kegiatan kesusastraan. Di Keraton Surakarta dan Yogyakarta, misalnya, kegiatan kesusastraan tetap berlangsung meskipun pada periode terakhir ini intensitasnya jauh lebih menurun daripada periode-periode sebelumnya. Kegiatan itu dilakukan oleh para (abdi dalem) carik, yakni abdi yang ditugasi untuk menulis dan menyalin karya sastra. Karya para pujangga dan carik itu tersimpan di berbagai perpustakaan dan museum serta koleksi yang lain, misalnya di Perpustakaan Nasional Jakarta, Perpustakaan Kasunanan, Mangkunegaran, dan Museum Radya Pustaka di Surakarta serta di Widya Budaya Kasultanan, Perpustakaan Pakualaman, dan Museum Sonobudoyo di Yogyakarta (Lih. Pigeaud, 1968; Mudjanattistomo, 1971; Girardet, 1981;

Behrend, 1990; dan Lindsay, dkk, 1994). Di samping itu, banyak naskah (Jawa/ Nusantara) – termasuk naskah keraton – yang disimpan di perpustakaan dan koleksi di luar negeri, misalnya di Belanda dan Inggris (Lih. Ricklef dan Voorhoeve, 1977). Belum lagi, naskah-naskah yang tersebar dan tersimpan dalam koleksi pribadi masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa kesinambungan penulisan karya sastra di istana atau di keraton terus berlangsung sehingga fungsi istana sebagai pusat kebudayaan – khususnya pusat kegiatan sastra – telah berjalan.

Berdasarkan keterangan dalam

Babad Kuntharatama Hamengku

(6)

Dalam buku Golden Letter atau Surat Emas (Arps, 1991: 78) dinyatakan bahwa Pangeran Natakusuma (yang kemudian bergelar Paku Alam I), putra Hamengku Buwana I, pernah menghadiahi manuskrip kepada Crawfurd. Bait-bait awal naskah itu berisi wejangan almarhum Hamengku Buwana I kepada anak cucu dan para punggawa (sehingga dalam tulisan ini disebut Serat Wejangan Dalem Hamengku Buwana I).

Selain itu, masih dalam buku Golden Letter dinyatakan pula bahwa putra mahkota (yang kemudian bergelar Hamengku Buwana II) menghasilkan karya tulis yang berjudul Serat Surya Raja. Naskah itu ditulis dan disungging sendiri oleh putra mahkota pada bulan Maret 1774 (Arps, 1991: 80; bdk. Ricklefs, 1974: 188; Supadjar, 1993: 225; dan Lindsay, dkk., 1994: 133). Kini, di Keraton Yogyakarta terdapat tiga naskah Serat Surya Raja;sebuah naskah disebut Kanjeng Kyai Serat Surya Raja, disengker ‘dikeramatkan’ di Dalem Prabayeksa, serta dua buah disimpan di K.A.P. Widya Budaya yang masing-masing merupakan salinan atas prakarsa Hamengku Buwana V dan Adipati Danureja IV (cucu Hamengku Buwana IV). Naskah dengan judul yang sama, antara lain disimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta, Museum Sonobudoyo Yogyakarta, Perpustakaan Pakualaman, dan Perpustakaan Balai Bahasa Yogyakarta (Lih. Girardet, 1981; Behrend, 1990; Lindsay, dkk., 1994: dan Suyamto, 1994). Dalam Golden Letters disebutkan pula bahwa setelah 1792 dilakukan penyalinan naskah Serat Menak dengan huruf Arab untuk Kanjeng Ratu Ageng, Ibunda Hamengku Buwana II (Arps, 1991: 101).

Demikianlah, sekilas gambaran tentang kegiatan kesusastraan di lingkungan istana atau keraton yang berlangsung dari waktu ke waktu,

meskipun menghadapi berbagai kendala. Misalnya, pada masa pemerintahan Hamengku Buwana I, selalu mendapat tekanan dari pemerintah colonial Belanda. Pada periode pemerintahan Hamengku Buwana II harus menghadapi serbuan serdadu Inggris yang berhasil membobol benteng kerajaan. Selanjutnya, pada pemerintahan Hamengku Buwana III terjadi Perang Jawa atau Perang Dipanegara (1825 – 1830). Hal ini ditegaskan oleh Ricklefs (1981 : 109; bdk Lindsay, dkk., 1994: xi – i) bahwa langkanya naskah dari abad ke-18 dan sebelumnya disebabkan oleh penaklukan Keraton Yogyakarta (Hamengku Buwana IV) pada Juni 1812 oleh pasukan Inggris dengan bantuan serdadu Sepoi dari India dan Prajurit Legiun Mangkunegaran. Sementara itu, pada masa pemerintahan Hamengku Buwana V (1822 – 1855) intensitas penulisan (termasuk penyalinan) naskah amat melonjak. Setidaknya, ada 121 naskah yang dapat diidentifikasi sebagai karya (atas prakarsa) Hamengku Buwana V. Naskah-naskah tersebut disimpan bersama dengan naskah-naskah lain hasil penulisan sampai periode Hamengku Buwana IX dan naskah-naskah yang berasal dari luar keraton sebagai pisungsung ‘hibah’ (Riyadi, 2002: 14 – 15).

Dari gambaran situasi dan kondisi kerajaan yang sarat dengan gejolak tersebut tentu saja sangat menghambat kegiatan dan fungsi keraton sebagai pusat kebudayaan – khususnya pusat kegiatan sastra. Namun, kondisi tersebut tidak mematikan kegiatan sastra baik yang berlangsung di dalam keraton maupun di luar tembok keraton (bdk. Riyadi, 2002: 13 – 14; Ikram, 2004: 62 – 63)

2. Pemilik Naskah dan Koleksinya

(7)

seperti Museum dan Perpustakaan, terdapat juga naskah yang masih merupakan milik atau koleksi pribadi masyarakat. Koleksi pribadi ini lazimnya merupakan warisan yang diteruskan secara turun-temurun. Meskipun naskah-naskah yang diwariskan ini dihormati sebagai pusaka warisan nenek moyang, tetapi dewasa ini – oleh keterbatasan kemampuan para pewarisnya – naskah-naskah tersebut kini terancam perawatan dan pelestariannya.

Faktor lain yang perlu mendapat perhatian adalah bahan naskah yang dipergunakan pada umumnya kurang baik sehingga tidak dapat bertahan lama. Iklim tropis dengan kelembabannya yang tinggi juga tidak menguntungkan bagi diselamatkannya naskah. Lebih lagi, faktor manusia yang cenderung acuh terhadap perawatan naskah dan tidak biasanya menyimpan naskah tersebut dalam tempat yang layak; begitu pula para pembaca yang tidak memperlakukan naskah dengan sebagaimana mestinya. Kesemuanya itu turut menyumbang terhadap terjadinya kerusakan naskah, bahkan pada kepunahannya.

Pada mulanya, naskah-naskah milik pribadi itu tadinya dibaca, tetapi setelah si pemilik naskah meninggal dunia, kebiasaan tersebut tidak lagi berlanjut. Sepeninggal si pemilik naskah, sebagian besar anggota keluarga pemilik naskah yang bersangkutan justru menyimpan naskah tersebut di tempat tersembunyi yang terkadang akhirnya naskah itu hancur dimakan masa atau serangga. Selain itu, salah satu halangan lain ialah adanya anggapan dari sebagian anggota pemilik naskah yang menganggap naskah warisannya sebagai barang pusaka sehingga terlalu berlebihan dalam proses penjagaannya (over protectif). Bahkan, mendapatkan izin untuk dapat melihat

dan membacanya saja harus dengan persyaratan tertentu yang kadang tidak masuk akal.

Belum lagi, kini semakin gencarnya ‘tawaran manis makelar naskah’ yang begitu aktif dan progresif berburu naskah sampai ke pelosok-pelosok daerah terpencil semakin membuat tantangan para pegiat dan pemerhati naskah Nusantara semakin besar. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa para ‘makelar naskah’ ini bergerak secara terorganisir. Bahkan, mereka juga dapat ‘menarik’ naskah yang berada di luar daerah operasi dengan catatan bahwa naskah tersebut memang isinya menarik dan kondisi masih baik. Naskah semacam ini ketika berada dalam genggaman mereka, maka akan cepat sekali pergerakannnya hingga sampai pada ‘pengepul atau bandar kecil’ dan ‘pengepul atau bandar besar’ dan berakhir di luar negeri. Sayang, dalam hal ini kehadiran negara belum terasa sama sekali. Padahal, Undang-Undang Cagar Budaya No 11 Tahun 2010 telah disahkan sejak lama, tetapi aplikasinya di lapangan masih sangat lemah (khususnya, Pasal 14 ayat 1 dan ayat 2). Hal ini tentu saja harus menjadi keprihatinan dan pekerjaan rumah bagi para pemerhati dan pegiat naskah Nusantara.

(8)

khususnya terhadap naskah-naskah yang masih tersebar dan tersimpan dalam koleksi-koleksi pribadi masyarakat. Langkah berikutnya ialah melakukan pencatatan naskah-naskah tersebut dalam suatu katalogus yang lengkap serta sekaligus menyediakan data digitalnya sehingga dapat dimanfaatkan oleh para peneliti atau peminat naskah Nusantara. Sekali lagi saya tekankan, bahwa upaya ini tidak semudah yang dibayangkan. Koleksi pribadi kurang jelas jumlah dan keberadaannya, tetapi masih dapat diduga bahwa masih ada naskah milik pribadi yang disimpan di rumah-rumah penduduk yang tersebar di wilayah eks-Karesidenan Surakarta. Maka tidak mustahil masih ada teks yang langka karena tidak atau belum ditemukan sebagai simpanan lembaga-lembaga resmi.

Berikut ini beberapa nama pemilik naskah yang berhasil diwawancarai:

1). Sajogja Darnawi – Gondang -Manahan – Surakarta

Koleksi naskah milik Sajogja Darnawi pada umumnya merupakan hadiah / hibah / pemberian dari para pemilik naskah sebelumnya. Hal ini disebabkan para pemilik naskah sebelumnya sudah tidak dapat membaca lagi tulisan atau aksara yang digunakan di dalam naskah sehingga naskah tersebut hanya disimpan dan didiamkan begitu saja sampai akhirnya mulai lapuk karena iklim tropis yang tidak bersahabat (lembab). Sebenarnya, beliau (Sajogja Darnawi) sendiri juga tidak dapat membaca semua jenis huruf yang digunakan di dalam naskah. Hanya karena beliau merupakan sahabat baik dari ayah para pemilik naskah tersebut, akhirnya beliau bersedia menerima naskah-naskah tersebut. Adapun naskah-naskah

yang sempat didigitalisasi adalah sebagai berikut.

a). Sujinah

b). Pustaka Raja Purwa c). Kitab Mujarobat

2). Muhammad Ramelan – Kauman – Surakarta

Berdasarkan keterangan Bapak Muhammad Ramelan diketahui bahwa semua naskah koleksinya didapatkan dari warisan Mbah Buyut H. Muhammad Rasyid As-Samamin Ash-Shuluy. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya pencantuman nama yang sama pada kolofon naskah. Pada umumnya kondisi naskah koleksi Muhammad Ramelan masih baik dan dapat dibaca dengan jelas. Sayang, pada bagian sampul atau cover sudah mulai lapuk, terutama pada bagian rusuknya. Pada koleksi Muhammad Ramlan ditemukan 1 (satu) naskah dengan judul Qur’an Jawi yang terbagi ke dalam 10 jilid.

3). Alwi Mulaim – Gemolong – Sragen Naskah milik Alwi Mualim ini merupakan warisan dari kakeknya yang bernama Mu’alim, yang tinggal di Cawas, Klaten. Alwi mendapatkan naskah ini ketika sang kakek turut menjadi korban dalam gempa Yogya – Klaten. Naskah ini berisi ayat-ayat alquran, dimulai dengan Juz A’ma (kumpulan Surat-surat pendek), yaitu potongan surat Al-Bayyinah ayat ke-3 hingga akhir Surat Al-maidah (juz 7). Lalu ditutup dengan semacam uraian dan doa-doa dalam bahasa Arab dan Jawa

(9)

(Paina Partana). Adapun Bapak Paina Partana mendapatkan naskah-naskah tersebut dari warisan kedua orangtua beliau. Selain itu, ada juga beberapa naskah yang merupakan hibah atau pemberian dari sahabat beliau yang tinggal di Malaysia (Ibu Noriah Mohammad) yang merasa bahwa naskah tersebut merupakan naskah-naskah Jawa yang akan lebih bermanfaat bila keberadaan naskah tersebut tetap di Jawa. Sayang, perawatan naskah tersebut kurang begitu baik sehingga ada beberapa naskah yang kondisinya sudah sangat lapuk dan menyulitkan bagi penulis untuk membacanya. Adapun naskah-naskah yang sempat didigitalisasi adalah sebagai berikut.

a). Hikmat Obat Melayu

Naskah ini merupakan

pemberian atau hibah dari Ibu Noriah Mohammad. Naskah ini merupakan bunga rampai dari 5 teks yang lain, yaitu Hikmat Obat Melayu (1—26), Hikmat an-Nisā’ (26—65), Kitab Nubuat (65—74), Punika Kitab Nubuat Shala Alam (75-91),danLawang Syahwat(92 – 203).

b). Aneka Ragam

Naskah ini merupakan bunga rampai dari 5 teks yang lain, yaitu obat-obatan herbal, cara pembuatan obat herbal, rajah dan khasiatnya, pernikahan, dan talak.

c). Kitab Ilmu Hukum Al-Ahkamul AL-Aqra

Naskah ini berisi tentang penjelasan ilmu fikih.

5). Wishnu – Sukoharjo

Koleksi naskhah milik Wishnu – Sukoharjo diperoleh dari warisan ayahnya. Berdasarkan sebuah

catatan yang diperkirakan merupakan tulisan ayah Wishnu, diketahui bahwa naskah-naskah yang disimpan dalam koleksinya merupakan warisan dari kakeknya Wishnu. Isi tulisan tersebut menyatakan bahwa kakek Wishnu tidak dapat meninggalkan sesuatu yang berharga kecuali naskah-naskah. Karena sang kakek merupakan pejuang, maka ia selalu berpindah-pindah tempat. Ketika Belanda masuk ke wilayah Jaten, sang kakek pindah ke daerah Selatan (Sukoharjo). Mereka meninggalkan semua harta benda yang dimilikinya di daerah Jaten, kecuali sebagian naskah yang sempat dibawa. Wishnu sendiri mengaku bahwa dirinya sudah tidak dapat membaca tulisan yang ada pada naskah tersebut. Ia hanya sekedar menjalankan amanat dari sang ayah bahwa naskah-naskah tersebut harus disimpan dan dirawat dengan baik. Saat ini, Wishnu tinggal di Jl Mayor Sunaryo no 32 Sukoharjo. Di lokasi ini ditemukan sebanyak 28 naskah yang kesemuanya dituliskan dalam huruf Jawa dan bahasa Jawa.

(10)

Adapun naskah-naskah yang Babad Sekar Parepat Papat 1 Babad Sekar Parepat Papat 2 Sekar Macapat Tengahan Babad Sekar Wedha Wening Dinten Ageng Among Tani 1

o)

Babad Wayang Kuna Jilid 4 Serat Babad Beksa

Sekar Sukengtyas 1 Sekar Sukengtyas 2

Wedha Wening Agami Para Hyang 1 Wedha Wening Agami Para Hyang 2

g)

Dinten Ageng Among Tani 2 Kidung Wedha Nirwana 1 Kidung Wedha Nirwana 2 Kidung Wedha Nirwana 3 Babad Wayang Kuna Jilid 1 Babad Wayang Kuna Jilid 2 Babad Wayang Kuna Jilid 3 Babad Wayang Kuna Jilid 4

u)

Wedha Wening Agami Para Hyang 3 Wedha Wening Agami Para Hyang 4 Katrangan Warni-Warni 1

6). Suwanto – Jaten – Karanganyar Koleksi naskah beliau ini cukup beragam. Ia mendapatkan naskah dengan berbagai macam cara. Ada yang merupakan pemberian atau hibah, warisan dan pembelian. Beliau adalah sosok yang sangat peduli terhadap keberlangsungan budaya Jawa sehingga tidaklah mengherankan apabila beliau begitu semangat dalam menyelamatkan, melestarikan dan menyebarkan budaya Jawa. Setidaknya, ada 83 naskah yang tersimpan dalam koleksi beliau. Sayang, sampai saat ini penulis belum diperkenankan untuk melakukan digitalisasi naskah. Penulis hanya diberi kesempatan membaca katalog yang sudah beliau buat sambil sesekali melihat wujud naskahnya.

D. Penutup

1. Simpulan

Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat disimpulkan pertama, keberadaan keraton atau istana sebagai pusat kebudayaan – khususnya pusat kegiatan kesusastraan – dapat berjalan karena

didukung oleh konsistensi para pujangga dalam terus berkarya. Berakhirnya sistem kepujangaan sampai dengan Ranggawarsita, bukan berarti bahwa setelah itu tidak ada orang atau abdi keraton / istana yang melakukan kegiatan kesusastraan. Di Keraton Surakarta dan Yogyakarta, misalnya, kegiatan kesusastraan tetap berlangsung meskipun pada periode terakhir ini intensitasnya jauh lebih menurun daripada periode-periode sebelumnya. Kegiatan itu dilakukan oleh para (abdi dalem) carik, yakni abdi yang ditugasi untuk menulis dan menyalin karya sastra. Kegiatan semacam ini pun tersebar tidak hanya di dalam lingkungan keraton, tetapi juga di luar lingkungan keraton.

(11)

turun-temurun. Meskipun naskah-naskah yang diwariskan ini dihormati sebagai pusaka warisan nenek moyang, tetapi dewasa ini – oleh keterbatasan kemampuan para pewarisnya – naskah-naskah tersebut kini terancam perawatan dan pelestariannya. Belum lagi, semakin gencarnya ‘tawaran manis makelar naskah’ yang begitu aktif dan progresif berburu naskah sampai ke pelosok-pelosok daerah terpencil semakin membuat tantangan para pegiat dan pemerhati naskah Nusantara semakin besar. Artinya, efektivitas Pasal 14 ayat 1 dan ayat 2 dalam UU No. 11 Tahun 2011 tentang Cagar Budaya perlu dipertanyakan kembali.

Ketiga, berdasarkan hasil

inventarisasi yang telah dilakukan, ditemukan lebih dari 100 naskah Nusantara yang tersimpan dalam koleksi-koleksi pribadi masyarakat di wilayah eks-karesidenan Surakarta yang belum terdaftar dalam data base katalog naskah. Kondisi naskah yang ditemukan tidak semuanya baik. Artinya, ada beberapa naskah yang kondisinya sudah sangat memprihatinkan (kertasnya sudah benar-benar lapuk) sehingga cukup menyulitkan pada saat dilakukan proses digitalisasi. Ada pula

kondisi naskah yang masih baik karena terawat dengan baik. Hal ini disebabkan oleh kesadaran dan kemampuan dari masing-masing pemilik naskah memang berbeda. Ada yang menganggap bahwa naskah adalah warisan yang sangat berharga sehingga harus diupayakan penyelamatan dan penggalian isinya. Ada juga yang menganggap bahwa naskah hanyalah sebagai buku biasa sehingga hanya diletakkan begitu saja di atas lemari sampai akhirnya kertas naskah tersebut menjadi lapuk. Ada pula yang menganggapnya sebagai pusaka warisan lelehur, yang tidak sembarang orang dapat mengaksesnya.

2. Saran

Perlu kesadaran, komitmen, kerjasama, dan koordinasi lintas sektoral agar dapat menyelamatkan naskah kuna sebagai intangible asset bangsa yang terancam punah. Selain itu, pemerintah tidak cukup hanya dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, melainkan juga perlu lebih pro aktif untuk dapat melibatkan semua stakeholder terkait agar penyelamatan naskah ini dapat berjalan dengan baik dan benar.

Daftar Pustaka

Arps, Bernard. 1991. Golden Letters.London: The British Library.

Behrend, T.E. (Penyunting). 1990. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid I Museum Sonobudoyo Yogyakarta.Jakarta: Djambatan.

Darsiti-Suratman. 1990.Istana sebagai Pusat Kebudayaan Lampau dan Kini.(Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Gadjah Mada). Yogyakarta.

Girardet, Nikolaus. 1981. Descriptive Catalogue of the Javanese Manuscripts and Printed Books in Main Libraries of Surakarta and Yogyakarta.Weisbaden: Franz Steiner Verlog G.M.B.H.

(12)

Lindsay, Jennifer, dkk. 1994. Katalog Naskah-naskah Nusantara Jilid 2 Keraton Yogyakarta.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Mudjanattistomo. 1971.Katalogus Manuskrip Keraton Jogjakarta.Jogjakarta: Lembaga Bahasa Nasional Tjabang II.

Nusantara, A. Ariobimo (Editor). 1999.Sri Sultan Hamengku Buawana X: Meneguhkan Tahta untuk Rakyat. Jakarta: Grasindo.

Padmosoekotjo, S. 1958. Ngengrengan Kasusastraan Djawa I.Jogjakarta: Hiien Hoo Sing.

Pigeaud, Th. P. Th. 1967 – 1970. Literature of Java Jilid I – III. The Hague: Martinus Nijhoff.

Ricklef, M.C. 1974.Jogjakarta under Sultan Mangkubumi 1749 – 1792.London: Oxford University Press.

Ricklef, M.C. dan P. Voorhoeve. 1977.Indonesian Manuscripts in Great Britain.London: Oxford University Press.

Riyadi, Slamet. 2002.Tradisi Kehidupan Sastera di Kasultanan Yogyakarta.Yogyakarta: Gama Media.

Supadjar, Damardjati. 1993. Nawangsari.Yogyakarta: Media Widya Mandala.

Suyamto. 1994. “Katalog Manuskrip Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta” dalamBerita Pustaka.Nomor 15. Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa.

(13)

Referensi

Dokumen terkait

B, 1990, Wanita, Kerja Dan Rumah Tangga, Pengaruh PembangunanPertanian Terhadap Peranan Wanita Pedesaan Di Yogyakarta, Pusat Penelitian Kependudukan Unuversitas Gajah

Informasi lain Pemaparan pekerjaan terhadap bahan atau campuran dapat menyebabkan efek yang merugikan... Informasi ekologis

Proses utama yang terjadi adalah perubahan molekul, yaitu proses pemrosesan hidrokarbon dari fraksi berat menjadi fraksi yang lebih ringan tanpa melalui

[r]

Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang

Ezzel kapcsolatban nem ártott volna azért ennek a ténynek az okát is keresni, hiszen a jelenség elsősorban azzal függ össze, hogy a példák latin megfelelőiben túlnyomórészt a

Hasil empiris pada Tabel 1 menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap tingkat profitabilitas pada bank pembiayaan rakyat syariah ialah rasio efisiensi

Pada penelitian ini dikembangkan sebuah prototype aplikasi penjurusan siswa yang bertujuan untuk melakukan pengujian penerapan metode Naïve Bayes dalam memberikan rekomendasi