• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berger ngenet 2 Di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Berger ngenet 2 Di Indonesia"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

Etnobudaya Tentang Kebudayaan

Menu

Skip to content

 Home  Afan Gaffar  Orang Biasa  Parsudian  Snapshot

Home › artikel › Kebakaran Hutan dan Perkebunan Sawit

Kebakaran Hutan dan Perkebunan Sawit

Posted on September 1, 2014 by tijok — 1 Comment

Rate This

Oleh Adi Prasetijo

Ini adalah tulisan lawas (15 Juni 2001), tapi sepertinya masih layak untuk disimak karena kebarakan hutap tetap saja terjadi.

Latar Belakang

Pada tahun 1997-1998, di Indonesia terjadi kebakaran hutan yang dashyat. Kebakaran hutan di Indonesia pada waktu itu, terjadi bersamaan dengan fenomena El-Nino.[1] Dari hasil

pemantauan CRISP (The Singapore Center for Remote Sensing) tercatat bahwa di tahun 1997, diperkirakan ada 1,5 juta ha. areal telah terbakar di Sumatra dan 3 juta ha ketika itu. di

(2)

lokasi hutan rawa gemuk (peat swamp), hutan rawa-rawa (wetland) dan hutan dataran rendah, WWF menemukan bahwa sebagian besar titik hot spot tersebut ditemukan di lokasi hutan dataran rendah. Dari kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1997 dengan luas area kebakaran perkiraan 1.500.000 ha. di Sumatra & Kalimantan, kurang lebih 675.000 ha. adalah areal perkebunan. Diketahui pula bahwa 46% titik hotspot kebakaran berada di lokasi perkebunan, terutama di perkebunan sawit & HTI. Kebakaran diduga kuat terjadi sebagai akibat pembukaan lahan/land clearing perkebunan sawit. Ada 176 perusahaan, diantaranya 133 perkebunan yang dianggap bertanggung jawab. Selain 28 perusahaan HTI, dan 15 perusahaan pembuka lahan transmigrasi (Eric Wakker, 1998).

Tentu saja akibat kebakaran hutan ini terdapat beberapa dampak negatif yang dihasilkannya. Beberapa dampak akibat terjadinya kebakaran hutan yang berhubungan dengan permasalahan lingkungan alam adalah, hilangnya hutan, baik kawasan hutan primer dan sekunder, hilangnya beberapa spesies flora dan fauna tertentu terutama yang dilindungi, menurunnya kualitas air, pengaruh tidak langsung pada regulasi atmosfer bumi, dan pada kesehatan manusia (Barber & Schweithelm, 2000, 15-20). Sebagai contoh oleh Bappenas pada data tahun 1999 di Indonesia, tercatat bahwa ada 100.000 ha. hutan dataran tinggi dan 3.100.000 ha. hutan dataran rendah yang masih “perawan” hilang akibat kebakaran hutan. Dengan hilangnya hutan yang berfungsi sebagai habitat binatang dan tumbuhan, maka spesies tertentu dikwatirkan akan punah. Tercatat ada 17 areal konservasi, kawasan konservasi nasional dan internasional yang mengalami kerusakan.[2] Orangutan misalnya, habitatnya di Taman Nasional tanjung Puting terganggu akibat kebakaran hutan. Orangutan (Pongo pygmaeus) menjadi spesies binatang yang penting karena dianggap sebagai indikator spesies keanekaragaman hayati bagi Indonesia. Populasinya menyusut hingga 30%-50% ( jumlah orangutan kini kurang lebih 25.000 ekor) pada dasawarsa ini, sebagai akibat tindakan perburuan, kebakaran hutan, perdagangan, dan hilangnya habitat mereka sebagai akibat transmigrasi, logging dan perkebunan (EIA, The Orangutan in Crisis, 1997). Tercatat di

Wanariset Semboja ada 126 orangutan yang tewas, dan 63 bayi orangutan yang ditampung karena kehilangan induknya. Juga tercatat di hutan lindung Tangkoko Sulut, terdapat 20 pasang burung maleo ditemukan mati dengan tanda-tamda kepanasan (Kompas, 5/10/1999).

Kebakaran hutan juga mengakibatkan penurunan kualitas air yang signifikan. Kebakaran hutan mengganggu sistem hidrologi hutan. Meskipun belum ada penelitian yang memadai telah dilakukan di Indonesia, tetapi berdasarkan penelitian di Australia tenggara, ditemukan bahwa hujan membawa lapisan tanah dari hutan yang habis terbakar ke aliran sungai sehingga

mengakibatkan penimbunan sedimen yang berlebihan. Penimbunan sedimen yang berlebihan ini lalu mengakibatkan penurunan kualitas air sungai dan biota air yang hidup didalamnya. Kasus ini mempunyai kemiripan dengan situasi kondisi kawasan yang terbakar di Indonesia. Seperti kita ketahui bahwa menururt CRISP, kawasan yang terbakar sebagian besar berada di daerah pinggir sungai dan jalan. Terlebih lagi, kondisi cuaca Indonesia yang ketika itu menghadapi ancaman banjir akibat fenomena El-Nina (Barber & Schweithelm, 2000, 15-20).[3]

(3)

konsentrasi atmosfer pada gejala rumah kaca dimana akan menyebabkan pemanasan global dunia (Barber & Schweithelm, 2000, 17).

Selain itu asap yang diakibatkan kebakaran hutan ini, selain mengganggu kesehatan juga

menimbulkan dampak-dampak aktivitas sosial dan ekonomi. Kejadian tersebut tidak saja terjadi di Indonesia saja, asap kebakaran hutan tersebut juga sampai ke Malaysia, Singapura, dan negara Asia Tenggara lainnya. Tercatat oleh Depkes & UNDP, bahwa ada 12,3 juta orang yang

mengalami gangguan kesehatan akibat asap tersebut selama September-November 1997. Orang yang meninggal ada 527 jiwa, 16.000 orang masuk rumah sakit, dan 36.000 orang memperoleh penanganan serius di Jambi, Sumbar, Riau, Kalbar, Kalteng, Kalsel, & Kaltim. Di Malaysiapun tercatat terdapat 5.000 orang yang mengalami gangguan kesehatan akibat asap kebakaran hutan dari Indonesia (Barber & Schweithelm, 2000, 19).

Kebakaran hutan juga mengganggu berbagai aktivitas sosial dan ekonomi manusia. Dari data yang dikeluarkan oleh Bappenas pada tahun 1999 tercatat bahwa di Indonesia terjadi kerusakan lahan akibat kebakaran hutan ada sekitar 9.756.000 ha., dengan kerugian total rata-rata senilai $ 9,298 juta. Atau senilai 2,5 % GNP Indonesia sebelum krisis moneter (Barber & Schweithelm, 2000, 10). Kerugian terbesar dialami oleh sektor pertanian sekitar senilai $ 2,431 juta dan tidak kurang 3,843,000 ha. lahan pertanian telah rusak. (Barber & Schweithelm, 2000, 10 & 15). Nilai kerusakan lingkungan akibat kebakaran hutan thn 1997-1998, bahkan dilihat melebihi nilai total kerugian yang terjadi di Bhopal, India (Tragedi Bhopal) dan Alaska (Tragedi tumpahnya minyak Exxon Valdez) yang senilai $ 4,5 juta. Kebakaran hutan thn 1997-1998 ini menurut perkiraan Walhi menyebabkan 20 juta masyarakat desa sekitar hutan mengalami pemiskinan hingga 40-73 % karena kehilangan lahan dan tanamannya (Hakim Basyar, 1999,88).

Asap yang menyelimuti Asia Tenggara selama berbulan-bulan tahun lalu telah merugikan Singapura 104 juta dolar Singapura (64 juta dolar AS), sekitar 20 persen lebih tinggi dari

perkiraan semula, demikian kata harian The Strait Times. Harian itu mengutip sebuah studi yang dilakukan oleh “Economy and Environment Program for South East Asia” bahwa kerugian terbesar dialami sektor pariwisata, yang kehilangan 81,8 juta dolar Singapura.. Biaya untuk kesehatan mencapai 12,5 juta dolar Singapura, dan industri penerbangan yang merugi karena penutupan bandar udara dan pembatalan penerbangan, mengalami rugi 9,7 juta dolar Singapura (SP, 16/3/1997). Tak dipungkiri lagi melihat dampak-dampak yang ditimbulkan, masalah kebakaran hutan di Indonesia telah menjadi permasalahan regional, bahkan internasional.

Awalnya oleh pemerintah dikatakan bahwa penyebab kebakaran hutan thn. 1997-1998 tersebut diakibatkan oleh 2 sebab utama. Pertama oleh tindakan secara sengaja, yaitu aktivitas

perladangan berpindah, arson (tindakan pembakaran kebun oleh penduduk/pegawai sbg akibat ketidakkepuasan atas kebijakan tertentu), dan tindakan pembakaran lahan. Kedua

ketidaksengajaan. Fenomena ketidaksengajaan ini didasarkan atas fenomena El Nino dan kebakaran alami rawa gemuk/gambut dan lapisan batu bara yang mudah terbakar. Dan El Nino inilah yang menjadi penyebab utamanya (Vayda, 1999, 2-3). Apakah benar demikian ?.

Bagaimana dengan fenomena lonjakan perkebunan sawit yang menlonjak tinggi ?.

(4)

dahsyatnya, sehingga menimbulkan dampak-dampak yang luar biasa besar dan luas cakupannya. Apa benar fenomena kebakaran hutan tersebut benar-benar fenomena alam yang tidak bisa kita cegah ?.

Tinjauan Peristiwa Kebakaran Hutan Sebelumnya

Sebenarnya kebakaran hutan thn. 1997-1998 di Indonesia/Asia Tenggara bukanlah kejadian yang pertama. Berdasarkan cerita rakyat, tercatat bahwa kebakaran hutan yang besar dampaknya pernah terjadi pada tahun 1877 di Kalimantan. Kemudian tahun 1915, terjadi kebakaran hutan yang mengakibatkan rusaknya 80.000 ha. di Sabah. Juga tercatat pada tahun 1880’an, 1930’an, 1958, 1983, & 1991. Sebetulnya fenomena kebakaran hutan di kawasan hutan seperti

Kalimantan dan Sumatra adalah fenomena yang biasa terjadi. Berdasarkan penelitian carbon dating diperoleh gambaran bahwa kebakaran hutan di hutan dataran rendah Kalimantan, kebakaran hutan bahkan telah terjadi dimulai 17.500 thn yang lalu, sebagai akibat lamanya musim kemarau pada periode glasial pada waktu itu. Kebakaran hutan yang terjadi, baik yang disebabkan oleh alam maupun oleh ulah manusia sifatnya tidaklah meluas dan tersebar.

Penggunaan api dalam kehidupan masyarakat lokal untuk aktivitas perladangan di Sumatra dan Kalimantan telah menjadi bagian kebudayaan mereka. Sehingga kemudian fenomena kebakaran hutan banyak dikaitkan dengan tindakan manusia. (Vayda, 1999) (Barber & Schweithelm, 2000). Bagi masyarakat lokal, mereka mempunyai cara tersendiri untuk mengatasi dan mengontrol api agar dapat bermanfaat bagi kehidupannya. Masyarakat asli senantiasa belajar bagaimana

mengontrol api dan mengatasinya. Oleh Vayda, api dilihatnya dalam prespektif api sebagai yang tak terkontrol (wildfire) dan api yang terkontrol (controlled burn). Masyarakat lokal mempunyai cara berdasarkan pengalamannya untuk dapat mengontrol api agar selalu terkontrol, dan

mencegah agar apai tidak menjadi tak terkontrol. Ini terbukti dari hasil titil hot spot thn 1997-1998, bahwa daerah pegunungan yang menjadi areal perladangan/perkebunan masyarakat lokal di Sumatra yang densitasnyua rendah. Sehingga tidak benar sepenuhnya bahwa para peladang berpindah (masyarakat lokal) tersebut sebagai penyebab kebakaran hutan seperti kata pemerintah (Vayda, 1999, 6-12) (Dove, 1988) (Barber & Schweithelm, 2000,6).

Kebakaran hutan pada thn. 1982-1983 di Kaltim, tercatat sebagai kebakaran hutan terdahsyat yang pernah terjadi Indonesia ketika itu. Kebakaran itu telah merusakan 3,6 juta ha. hutan dengan perkiraan kerugian $ 9 miliar. Kebakaran terjadi pada bulan November – Desember 1982, kemudian terjadi lagi pada awal tahun 1983 dengan intensitasnya yang lebih tinggi. Berdasarkan data tipe vegetasi yang terbakar, banyak terjadi di lahan bekas areal penebangan (balak). Sebuah tim pencari fakta yang dibentuk melaporkan di tahun 1983 bahwa ada 800.000 ha. hutan primer, 1.400.000 ha. yang sudah dibalak, 750.000 ha. hutan sekunder/ladang

berpindah/pemukiman, dan 550.000 ha. lahan dan hutan rawa gemuk/gambut (Hakim Basyar, 1999,86).

(5)

kemarau di seluruh Indonesia berada di bawah normal (SP 13/3/ 1998). Pada catatan sejarah tahun 1878, terjadi El Nino. Ketika itu terjadi musim kering yang panjang. Kemarau berlangsung 8 hingga 9 bulan, sama dengan kebakaran hutan 1982-83, tetapi tidak ada laporan kebakaran hutan yang besar telah terjadi (Hakim Basyar, 1999,86). Juga kasus-kasus El Nino sebelumnya, yaitu 1972 dan 1976. Persamaan dengan fenomena El Nino thn. 1982-83 tersebut, aktivitas logging di Indonesia mulai meningkat. Api pada awalnya bergerak pada bulan November – Desember 1982, tetapi hanya di daerah hutan primer yang masih basah. Api bergerak secara lamban, tidak ganas, dan tidak menimbulkan kerusakan yang berarti. Kemudian pada akhir Desember, api mulai bergerak ke daerah-daerah yang merupakan bekas penebangan & areal pertanian. Api dengan cepat menjalar dan secara intensif sulit dipadamkan karena menggunakan mediasi bekas/sisa-sisa tebangan logging. Jadi bukanlah kondisi situasi kekeringan yang dibuat El Nino yang membuat kebakaran hutan, tetapi aktivitas logging dan pembukaan lahan yang bertindak sembronolah yang jadi pemicunya (Barber & Schweithelm, 2000, 6).

Setelah kebakaran tahun 1982-83 tersebut, kebakaran hutan pernah dinyatakan terjadi di tahun 1987, melibatkan 22 propinsi, thn. 1991 kebakaran terjadi 23 propinsi, thn. 1994 terdapat 24 propinsi. Memang setelah kebakaran hutan thn 1982-83 kebakaran hutan tidak bersifat memusat (menyebar) dan sifatnya lokalitas (Hakim Basyir, 1998, 87). Jadi sebelum kebakaran hutan thn 1997-1998, kita mempunyai pengalaman panjang tentang kebakaran hutan.

Kebakaran Hutan 1997-1998

Sebelum tahun 1997, oleh para oceonograoher dan ilmuwan atmospheric memprediksikan bahwa 1997 merupakan tahun El Nino (Barber & Schweithelm, 2000, 8). Api pertama nampak di satelit pada bulan Januri di Riau, Sumatra dan menjadi meningkat intensitas dan distribusinya selama musim kemarau berlangsung. Dalam waktu singkat tercatat tersebar ke 25 propinsi di Indonesia, dengan titik hot spot terbanyak dipulau Sumatra dan Kalimantan (Hakim Basyir,1999, 87). Kebakaran dengan cepat menjalar ke daerah rawa gemuk dan padang ilalang yang sulit dikendalikan. Kebakaran yang terjadi di pulau Jawa dan Sumatra bersifat lebih kecil, lokalitas dan dampak yang ditimbulkan lebih kecil. Di propinsi Irian Jaya meskipun mengalami musim kekeringan seperti daerah yang lain, tetapi total areanya tidak seluas pulau Sumatra dan Kalimantan (Barber & Schweithelm, 2000).[4] Dua pulau ini memang tercatat sebagai pulau yang mempunyai luas areal perkebunan sawit terbesar di Indonesia pada thn. 1997 berdasarkan data dari Direktorat Perkebunan. Sebagai catatan, Sumatra mempunyai luas areal perkebunan sawit 2.039.008 ha. dan Kalimantan mempunyai luas 409.408. Coba bandingkan luas

perkebunan di Irian Jaya yang hanya 19.250 ha. dan Sulawesi 88.000 ha. (Direktorat Jendral Perkebunan, 1998).

(6)

terakhir. Kekeringan juga melanda beberapa wilayah di Korea Utara, Cina, Australia dan

Selandia Baru. Pada tahun 1987 El Ninopun pernah terjadi , sebanyak 89 persen Pulau Jawa dan 91 persen daerah luar Jawa mengalami curah hujan musim kemarau yang di bawah normal. Tahun 1991, di seluruh Indonesia tingkat curah hujan musim kemarau di bawah normal. Tahun 1994, di seluruh Indonesia pada saat musim kemarau, tingkat curah hujannya juga berada di bawah normal. Namun ada perbedaan mencolok antara El Nino 1997 dengan tahun-tahun sebelumnya. El Nino tahun ini membuat suhu di Samudera Pasifik lebih panas dari sebelum-sebelumnya. Selain itu, awal kejadiannya juga menyimpang dari normalnya (sudah muncul sejak pertengahan bulan Mei), dan peningkatan kegiatan El Nino sangat cepat dibandingkan dengan normalnya. Biasanya muncul pada akhir tahun dan berlangsung hingga 12-18 bulan berikutnya. Akibatnya, awan sulit terbentuk dan peluang hujan sangat kecil selama periode El Nino yang umumnya bersamaan dengan musim kemarau. Karena itulah, maka kekeringan terjadi di banyak wilayah Indonesia, dan sekaligus memperburuk akibat pembakaran hutan di Sumatra dan

Kalimantan lewat bencana nasional asap (SP 13/3/ 1998).

Sebab kebakaran hutan lain yang berhubungan dengan fenomena alam yang dikemukakan oleh pihak pemerintah adalah adanya kebakaran alami yang terjadi di kawasan rawa gemuk/rawa gambut. Memang benar dari pantauan WWF, dari ketiga lokasi kebakaran yang ditangkap oleh titik-titik hot spot di Kalimantan, ada 3 lokasi yaitu hutan rawa gemuk (peat swamp), hutan rawa-rawa (wetland) dan hutan dataran rendah. Tetapi WWF menemukan bahwa sebagian besar titik hot spot tersebut ditemukan di lokasi hutan dataran rendah (Eric Wakker 1998). Juga hasil temuan Goladammer & Seibert dalam artikel Vayda menemukan bahwa hanya ada 30 kasus kebakaran hutan yang diakibatkan oleh kebakaran alami oleh lapisan batu bara (Vayda, 1999, 32). Sebab penyebab kebakaran hutan lebih banyak berhubungan dengan tindakan sembrono manusia.

Respon pemerintah ketika kebakaran hutan terjadi dinilai banyak kalangan pihak terlambat dan tidak siap menghadapi kebakaran hutan yang terjadi thn. 1997-1998. Dari kebakaran awal, pada bulan Januari, diketahui pemerintah bereaksi pada bulan September 1997, yaitu dengan

mengeluarkan larangan total untuk melakukan pembakaran lahan Itupun setelah mendapatkan protes dari negara-negara di Asia Tenggara. Bahkan pemerintah diduga melakukan manipulasi luas hutan yang terbakar.[5] Akhir september 1997, pemerintah mengumumkan 176 perusahaan tersangka pembakaran (Barber & Schweithelm, 2000, 8). Hal ini menunjukan bahwa pengakuan pemerintah bahwa perkebunan sawit mempunyai kontribusi besar dalam kejadian kebakaran hutan thn. 1997-1998. Sistem upaya pemadaman kebakaran hutan pada thn 1997-1998 yang menyerap dana kurang lebih $ 2 miliar dan volunter sekitar 10.000 orang, dianggap tidak efektif. Karena selain sifatnya sporadis, kurangnya koordinasi, kurangnya alat pemadaman, kurangnya dana, air, kemampuan pemadaman yang tidak memadai, juga ketidakmampuan pemerintah untuk mengontrol kawasan kebakaran hutan yang terpencil. Pada akhirnya kebakaran hutan dapat padam sebagai akibat datangnya fenomena alam La Nina, yang merupakan kebalikan dari El Nino yaitu musim hujan yang panjang dan lebat (Barber & Schweithelm, 2000, 8-10).

(7)

nyatanya hingga kini aparat penegak hukum tak pernah menindaklanjuti. Kalau didesak selalu diberi alasan bahwa kebakaran hutan akibat El Nino. Padahal fakta menunjukkan peristiwa itu terjadi karena perbuatan manusia, bukan alam. Lebih jauh ia juga menilai pernyataan-pernyataan pemerintah seputar masalah kebakaran hutan tidak menggambarkan upaya-upaya yang terencana dan sistematis. Tetapi hanya pada tataran normatif, tanpa sedikit pun menyentuh masalah

subtansi penyebab kebakaran hutan, yaitu pembakaran lahan sebagai akibat aktivitas konversi hutan. Dengan demikian Walhi memang sangat meragukan bahwa pemerintah telah siap untuk mengantisipasi dan mencegah terjadinya kebakaran hutan. Padahal publik memerlukan gambaran utuh tentang rencana tersebut (Kompas 20/9/1999).

Lebih lanjut menurut Dr Daniel Murdiyarso, Ketua Program IC-SEA (Global Change Impacts Centre for Southeast Asia) mengatakan bahwa respons pemerintah Indonesia saat ini hanya menangani simptomnya, bukan penyebabnya. Kesimpulan lain dari studi yang melibatkan banyak lembaga penelitian, menunjukkan kebakaran hutan dan asap sangat erat kaitannya dengan pengelolaan lahan di Indonesia (Kompas, 6/7/1999). Ahli kebakaran hutan dari Institut Pertanian Bogor, Dr Ir Bambang Hero Saharjo MAgr bahkan menilai bahwa pemerintah terlihat tidak serius menangani permasalahan kebakaran hutan. Bambang memberi contoh mengenai kebijakan zero burning (pembukaan lahan tanpa bakar) yang sudah dikeluarkan sejak tahun 1995 tersebut, tidak pernah diimplementasikan di lapangan (Kompas, 23/7/1999).

Kontribusi Perkebunan Sawit pada Kebakaran Hutan 1997-1998

Berdasarkan data-data yang ada, memang penyebab kebakaran hutan bukanlah merupakan sebab tunggal. El Nino yang selama ini dianggap sebagai satu-satunya penyebab utama kebakaran hutan, bukanlah pemicu adanya api. El Nino hanya membuat kondisi hutan rentan terhadap api. Perkebunan sawit dianggap sebagai pihak pemberi kontributor terbesar pada kejadian kebakaran hutan 1997-1998 tersebut. Beberapa argumen yang diungkapakan berdasarkan fakta berikut ini. Antara lain adalah:

 Dari hasil pemantauan CRISP (The Singapore Center for Remote Sensing) tercatat bahwa di tahun 1997, diperkirakan ada 1,5 juta ha. areal telah terbakar di Sumatra dan 3 juta ha. di Kalimantan. Menurut kesimpulan CRISP sebagian besar kebakaran terjadi di daerah dataran rendah yang berdekatan dengan sungai dan jalan, hutan di areal pegununangan tidak tersentuh api pada tahun itu (Barber & Schweithelm, 2000, 11). Daerah dataran rendah merupakan areal yang sesuai untuk lokasi perkebunan, baik itu HTI atau perkebunan sawit.

 Dari kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1997 dengan luas area kebakaran perkiraan 1.500.000 ha. di Sumatra & Kalimantan, kurang lebih 675.000 ha. adalah areal perkebunan. Diketahui pula bahwa 46% titik hotspot kebakaran berada di lokasi perkebunan, terutama di perkebunan sawit (Eric Wakker, 1998).

(8)

terjadi sebagai akibat pembukaan lahan/land clearing perkebunan sawit (Eric Wakker, 1998). .

 Ada 176 perusahaan, diantaranya 133 perkebunan yang dianggap

bertanggung jawab. Selain 28 perusahaan HTI, dan 15 perusahaan pembuka lahan transmigrasi (Eric Wakker, 1998).

 Pada Bln. September 1997, Menteri Pertanian pada waktu itu, Baharsja, memperkirakan bahwa 5.600 ha. perkebunan sawit telah rusak (JP 2/9/97). Kemudian pada waktu Oktober 1997, ia menyatakan bahwa kebakaran telah mempengaruhi 122.000 ha. areal perkebunan, dimana 33.000 ha. pada lahan yang diland clearing, dan yang benar-benar perkebunan ada 89.000 ha. Kemudian 45.000 ha. adalah areal perkebunan sawit yang berusia 1-5 tahun (JP 8/10/97). Mengikuti ucapan menteri lingkungan pada waktu itu, Juwono Sudarsono yang mengatakan bahwa 160.000 ha. hutan dan kebun yang telah rusak akibat kebakaran hutan di Kaltim thn 1998, 65 % dikarenakan oleh perusahaan land clearing (Eric Wakker, 1998).

 Dari data yang dikeluarkan oleh Kozijn, bahwa di Palembang, HTI

(perkebunan tanaman industri) menyumbangkan kurang lebih 25 % dari kebakaran. Secara tidak langsung, perusahaan ini berkontribusi pada tindakan arson (tindakan pembakaran kebun oleh penduduk/pegawai sbg akibat ketidakkepuasan atas kebijakan tertentu). Kontribusi kebakaran hutan hingga 50 % diberikan oleh aktivitas pembakaran yang dilakukan oleh

perusahaan, karena proses pembukaan lahannya (Eric Wakker, 1998).

Data-data diatas dapat menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara kebakaran hutan dengan perkebunan sawit. Keterkaitan itu mengarah pada aktivitas perkebunan sawit yang banyak berhubungan dengan tindakan pembakaran. Pembakaran merupakan proses pembukaan lahan yang umum dilakukan oleh perusahaan perkebunan sawit. Biasanya perusahaan

mengerjakan perusahaan kontraktor atau pekerja individu yang dianggap berpengalaman untuk melakukan pembukaan lahan. Sebelum pembakaran, pekerja melakukan pengukuran dan memberi batasan yang jelas. Untuk pembakaran utama, pohon berdiameter diatas 40 cm. ditebang maka dibutuhkan waktu seminggu untuk mengeringkannya. Kemudian setelah itu dilakukan pembakaran pada minggu berikutnya. 2 minggu setelah pembakaran, buldozer dikerahkan untuk mengatur/menyingkirkan kayu-kayu yang belum terbakar seutuhnya lalu dilakukan pembakaran kedua (Eric Wakker, 1998). Selain itu ternyata diketahui juga bahwa penjalaran kebakaran hutan dapat melalui jalan atau batas perkebunan sawit. Sebab jalan/batas tersebut ditumbuhi rumput yang menjadi media pembakaran yang cepat selama musim kering terjadi (Potter & Justin Lee, 1999, 24).

Selain itu ada faktor-faktor lain yang menyebabkan perkebunan sawit dihubungkan dengan fenomena kebakaran hutan pada tahun 1997-1998, yaitu alasan mengapa perkebunan sawit tersebut melakukan pembakaran. Antara lain yaitu:

(9)

2. Faktor Kebijakan. Dari sisi kebijakan bahwa terdapat Surat Keputusan Direktur Jendral PHPA No. 47/Kpts/DJ.VI/97 tentang petunjuk teknis

Pembakaran terkendali dan Surat Keputusan Direktur Jendral Perkebunan No. 38/KB 110/DJ. BUN/05/97 tentang petunjuk teknis pembukaan lahan tanpa pembakaran untuk pengembangan perkebunan, merupakan peluang bagi pengusaha perkebunan besar untuk melakukan lans clearing dengan pembakaran. SK Dirjen PHPA No. 47/Kpts/DJ.VI/97 merupakan legalisasi pembukaan lahan dengan pembakaran terkendali, dengan syarat-syarat tertentu dalm pelaksanaannya yang tentu saja sulit untuk diawasi oleh

petugas. Seperti pembakaran hanya dilakukan bila tingkat kekeringan bahan bakar sekitar 5-10%, juga kecepatan angin maksimum 3 meter/detik,

temperatur suhu harus 15-20 ° celsius, dsb. Kemudian SK Dirjen Perkebunan No. 38/KB 110/DJ. BUN/05/97 tentang petunjuk teknis pembukaan lahan tanpa pembakaran untuk pengembangan perkebunan yang berisi tahapan dan tata cara pembukaan lahan tanpa bakar (Hakim Basyar, 1999, 94). Sekali lagi aturan ini juga susah untuk diawasi di lapangan pengerjaannya atau setidak-tidaknya menimbulkan dorongan untuk kolusi.

3. Faktor Pengeloaan Tindakan Preventif Kebakaran. Ada 2 hal yang penting, yaitu :

1. Tehnik pembukaan lahan tanpa bakar (zero burning) seperti diungkapkan dalam SK Dirjen Perkebunan No. 38/KB 110/DJ. BUN/05/97, operasionalisasinya dianggap memakan beaya yang

mahal, apabila dibandingkan dengan tehnik pembukaan lahan dengan pembakaran. Karena selain membutuhkan alat berat yang dinilai lebih mahal sekitar 125 % untuk areal hutan, dan 40% lebih mahal untuk daerah padang rumput/ilalang. Juga menimbulkan resiko hama yang tinggi (babi hutan, tikus dll), karena proses pembukaan lahan tanpa bakar tidak mematikannya. Lalu nilai investasi kemampuan pekerja dan alat berat yang tinggi (Eric Wakker, 1998). Di Malaysia tehnik ini bisa berjalan karena keterbatasan lahan, tenaga buruh mahal sehingga lebih memilih untuk menginvestasikan pada alat mekanikal dan

pekerja terdidik, dan persaingan antar perusahaan tidak seketat di Indonsesia sehingga ada pos dana yang dialokasikan oleh pengusaha. 2. Dalam pembakaran lahan, para pekerja/kontraktor tidak membagi

lahan yang dibakarnya ke dalam wilayah bakar yang apinya mudah dikontrol, sehingga tidak menjadi tak terkontrol. Dari perusahaan yang mempunyai luas 15. 0000 ha., oleh kontraktor/pekerja dibagi dalam 2.000 wilayah bakar. Idealnya seperti di Malaysia dengan menggunkan zero burning, hanya 250 ha. agar api tetap dapat dikontrol (Eric

Wakker, 1998). Perkembangan Perkebunan Sawit

Pada rentang waktu 1911 – 1957 dan 1957 – 1980’an , perkebunan kelapa sawit[6] tidak menimbulkan permasalahan lingkungan yang berarti, karena pengendalian perluasannya masih dapat dikontrol oleh pemerintah ketika waktu itu. Terlebih lagi tidak banyak peran yang

(10)

menjadi 199.538 ha, perkebunan swasta 88.847 ha., sehingga total 139.103. Nah, kalau dibandingkan dengan data pada tahun 1997 misalnya, luas PTP hanya 443.008 ha, sedangkan luas perkebunan swasta berlipat menjadi 1.194.521 ha. dan perkebunan rakyat menjadi 824.298 ha., sedangkan jumlah luas total menjadi 2.461.827 ha. Dari data ini, dapat menunjukan pada kita bahwa terjadi lonjakan cukup besar pada luasan yang dikelola perusahaan swasta, dan terjadi kemandegan pada lahan yang dikelola oleh PTP yang kemudian berimplikasi pula kepada aktor yang bermain. Demikian pula muncul lahan perkebunan baru yang dikelola oleh masyarakat. Aktor yang bermain dalam bidang inipun juga bertambah, selain PTP, perusahaan swasta juga terlibat, dan tentu saja masyarakat sendiri yang tergabung dalam koperasi, kelompok tani, dan golongan lain.[7] Perusahaan swasta saja terdapat 10 perusahaan.yang bergerak dalam bidang persawitan pada tahun 1995-1997 (Hakim Basyar, 1999, 34-37).

Tentu saja dengan jumlah dan luasan yang terbatas, perkebunan kelapa sawit pada waktu itu tidak menimbulkan dampak negatif yang luas. Apalagi hanya terlokalisir di Sumatra Utara dan Aceh saja. Permasalahan yang timbul karena perkebunan sawit yang tumbuh ketika banyak menyangkut permasalahan sosial. Seperti misalnya digusurnya hak –hak tanah masyarakat oleh pemerintah Belanda secara represif. Demikian pula dengan didatangkannya buruh-buruh

perkebunan dari Jawa ke Sumatra untuk menangani perkebunan-perkebunan Belanda di Sumatra, termasuk perkebunan kelapa sawit di Sumatra Utara dan Aceh.

Ada beberapa alasan mengapa lonjakan luas perkebunan menjadi melonjak dari thn.1980, dengan luas total 139.103 menjadi 2.461.827 ha. di tahun 1997. Antara lain alasan tersebut adalah: Minyak sawit merupakan komoditi ekspor dunia yang dibutuhkan. Permintaan dunia akan minyak kelapa sawit (CPO) semakin meningkat. Permintaan pasar dunia akan minyak kelapa sawit/CPO semakin meningkat. Permintaan dunia akan import CPO, dari tahun 1993 sebesar 9.386.000 ton, kemudian tahun 1994 10.757.000 ton, tahun 1995 sebesar 10.475.000 ton, tahun 1996 sebesar 10.698.000 ton meningkat menjadi 12.259.000 ton di tahun 1997, dapat menjadi bukti bahwa kebutuhan dunia akan CPO tetap stabil dan cenderung meningkat. (EIA, 1997). Negara-negara Eropa menggunakan minyak sawit lebih banyak digunakan sebagai bahan pembuat kosmetik (lipstik), margarin, dan sabun. Diperkirakan negara-negara Asia akan tetap menjadi negara konsumen terbesar minyak sawit ini beberapa tahun mendatang. Keadaan ini tentu saja memotivasi investasi dalam usaha persawitan.

Alasan lain adalah daya tarik Indonesia selain dianggap masih mempunyai lahan yang luas untuk membuka perkebunan kelapa sawit juga mempunyai tenaga kerja yang murah pada waktu itu (1997). Tidak kurang ada 43 perusahaan Malaysia yang bekerja sama dengan perusahaan sawit di Indonesia, dengan total lahan yang digunakan 1,1 juta ha. (Eric Wakker, 1998). Kemudian adanya permintaan dari perusahaan untuk pembukaan lahan sebesar 32 juta ha. pada tahun 1999. Dibandingkan dengan Malaysia yang luas lahan sawitnya terbatas dengan produksi 8.660.000 ton/tahun pada tahun 1998, indonesia mempunyai potensi lebih baik karena mempunyai daerah yang lebih luas. Oleh karena itu banyak pengusaha Malaysia yang memperluas usahanya di Indonesia (Sumatra & Kalimantan).

(11)

Ini terbukti ketika pada tahun 1998, IMF memberikan bantuan dan pinjaman $ 43 miliar, yang didalamnya untuk mendukung program-program agribisnis, termasuk didalamnya perkebunan sawit. Kebijakan ini mendorong para investor dalam negeri dan asing untuk berlomba-lomba menanamkan usahanya di bidang perkebunan sawit di Indonesia. Kebijakan ini kemudian berimbas pada usaha perkebunan sawit yang semakin marak, dan pengusahaannya semakin tidak terkendali di daerah. Kebijakan Bank Dunia seperti ini memang sudah berlaku lama. Sejak dari tahun 1984 hingga 1994, Bank Dunia telah mengucurkan dana pinjaman bank senilai 1,4 milyar US $ untuk menciptakan 2,9 juta ha areal perkebunan di dunia. Sehingga tidak mengherankan timbul tudingan bahwa sebenarnya bank Dunialah sebagai aktor utama pengrusakan hutan di dunia (WRM, 13/7/1998). Kelemahan ini nampak pada kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Dephutbun. Pemerintah sendiri pada tahun 1995 memperkirakan di luar Jawa tersedia 40 juta ha lahan yang siap untuk dikonversi menjadi budi daya tanaman komersil (termasuk sawit). Pada tahun 1997, pemerintahan Suharto bahkan mempunyai rencana untuk meningkatkan areal perkebunan sawit menjadu 5,5 juta ha di tahun 2000, dengan estimasi produksi 7,2 juta ton di tahun 2000 dan 10,6 juta ton di tahun 2005 (Anne Casson, 1999).

Kemudian alasan yang lain adalah bahwa sampai saat ini, oleh pemerintah usaha perkebunan kelapa sawit ini dianggap sebagai usaha untuk mengatasi kemiskinan dan usaha pemerataan hasil-hasil pembangunan. Tercatat bahwa pada tahun 1998 lebih dari 2 juta orang bekerja pada bidang ini (Anne Casson, 1999). Kemudian usaha perkebunan kelapa sawit ini oleh pemerintah daerah dianggap juga sebagai salah satu pemasukan kas daerah lewat pajak. Secara nyata hal ini nampak dari kebijakan Dephutbun yang mengalokasikan sekitar 3,1 juta ha. di Indonesia timur untuk konversi lahan menjadi perkebunan sawit, dan 1 juta areal diperuntukan untuk investasi asing (Eric Wakker, 1998). Hal tersebut juga tercermin dari kenaikan pajak CPO yang dilakukan oleh pemerintah sebesar 5% (kemudian turun menjadi 3%) (Kontan, 12/3/ 2001).

Pencegahan Kebakaran Hutan: Upaya Partisipatif ?

Tindakan usaha pencegahan kebakaran hutan akan saya kaitkan dengan konsep self governance yang dikemukakan oleh Elinor Ostrom. Menurut Vayda, api yang menyebabkan kebakaran hutan tersebut, setidaknya ada 2 akibat yaitu, api yang tak terkontrol (wildfire) dan api yang terkontrol (controlled burn). Dari hasil penelitian Vayda di Taman Nasional Kutai, ia menemukan bahwa tidak ada bukti kegiatan perladangan yang dilakukan oleh petani setempat menghasilkan api yang tak terkontrol (wildfire). Dengan kata lain proses pembakaran untuk ladang dapat terkontrol oleh mereka (Vayda,1999,10). Selain itu mereka juga mempunyai tindakan pencegahan agar api dapat selalu dapat dikontrol dan meluas ke tempat lain. Selain membuat koridor pembatas yang jelas, pengaturan waktu bakar, penggalian tanah sepanjang batas, juga penyusunan kayu yang akan dibakar merupakan beberapa cara yang digunkan oleh masyarakat lokal. Selain itu ternyata, di dalam pengelolaan mereka untuk mengontol api dalam rangka membakar lahan, mereka mengkonsolidasikan diri ke dalam institusi, baik yang sudah ada (adat), maupun yang dibentuk baru untuk mengatur regulasi pengontrolan pembakaran lahan. Aturan-aturan diperlukan dan diberlakukan oleh institusi sosial tersebut untuk mengatur para anggotanya. Dan aturan-aturan tersebut disepakati bersama. Dalam aturan tersebut juga terdapat sangsi-sangsi yang

(12)

bahwa masyarakat lokal belajar akan pengalaman mereka ketika menghadapi kebakaran hutan pada tahun 1982-1983. Dengan kejadian kebakaran hutan pada tahun 1982-1983, mereka menjadi berhati-hati untuk senantiasa mengontrol api pembakaran ladangnya. Mereka

beradapatasi dengan permasalahan-permasalahan yang dirasakan aktual dan mencari solusinya. Biasanya kebakaran hutan yang disebabkan pembakaran lahan di areal perladangan dikerjakan oleh para peladang/petani luar yang tidak mempunyai pengetahuan memadai tentang

pengontrolan api (Vayda, 1999, 13).

Dari hasil penelitian Vayda diatas dapatlah kita simpulkan bahwa sebenarnya masyarakat lokal sebagai pemilik common property[8], lebih berhasil mengontrol api pembakaran lahannya dibandingkan perusahaan perkebunan HTI & sawit. Tetapi dampak yang dirasakan oleh

masyarakat lokal lebih besar dibandingkan para pengusaha tersebut.[9] Usaha pengontrolan api tersebut merupakan salah satu tindakan preventif/pencegahan yang cukup efektif. Perusahaan sawit & HTI sebagai pemilik private property, ternyata gagal mengelola sumber daya alamnya. Terbukti ada 176 perusahaan yang diajukan ke pengadilan oleh pemerintah. Negara sebagai pemilik state property juga dianggap gagal melakukan kontrol terhadap api yang membakar hutan-hutan milik negara. Sebetulnya pada tahun 1996 IFFM (Indonesian Forest Fire Management)[10] melakukan berbagai usaha preventif kebakaran hutan di Bukit Soeharto, Kalimantan. IFFM & Dephut mengenalkan berbagai alat yang digunakan untuk usaha

pemadaman kebakaran hutan. Selain itu mereka juga memberikan pelatihan cara penggunaan dan cara-cara pemadaman kebakaran hutan. Masyarakat di tingkat desa dimobilisasi untuk mengikuti program-program ini. Tetapi masyarakat lokal tidak tertarik akan program tersebut (Vayda, 1999, 15). Sehingga kemudian program tersebut dianggap gagal dalam mengelola/mengontrol api.

Disini nampak bahwa keberhasilan pengelolaan masyarakat lokal dalam mengontrol api sebagai upayanya untuk mengelola lahannya, terjadi. ketika aktor pengguna utama sumber daya tersebut dilibatkan dalam proses pembuatan dan penadaptasian aturan yang didalamnya terdapat elemen partisipasi, strategi yang tepat, menampung tujuan anggotanya, monitoring, dan resolusi

konfliknya (Ostrom, 1999). Biasanya yang menjadi permasalahan atas usaha pengorganisasian diri oleh masyarakat lokal adalah tidak dikenalinya mereka oleh para pembuat kebijakan dan ancaman akan otonomi mereka dalam melakukan tindakan pengelolaan. Selain itu ada beberapa masalah lain yaitu keterbatasan kemampuan pemimpin yang dikombinasikan dengan

peningkatan populasi dalam kelompok, dan komersialisasi produk hutan dan teknologi yang membuat laju kemungkinan deforestasi (Ostrom, 1999).

Untuk itu memang usaha pencegahan kebakaran, pemerintah perlu untuk membuat kemitraan yang sejajar dengan institusi-institusi lokal tersebut. Atau pemerintah mendukung dan

(13)

diperhatikan oleh sebuah institusi agar tetap eksis, yaitu batas kepemilikan lahan yang jelas, kesesuaian, kesepakatan kolektif, monitoring, sangsi, mekanisme resolusi konflik, otonomi, dan pengelolaan pemadaman api yang multiple (Ostrom, 1999).

Bagi pemerintah dengan mengefektifkan instusi lokal ini dapat secara jelas memonitor bahaya api, asap, dan kebakaran yang sulit dijangkau oleh mereka. Kemudian masyarakat lokal dapat juga mengawasi usaha-usaha pencegahan kebakaran hutan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Sejauh mana pengimplementasian tehnik zero burning dapat dilaksanakan. Sehingga kemudian fungsi monitoring tidak hanya dilakukan oleh pemerintah saja tetapi juga masyarakat lokal. Selain fungsi kontrol, dengan otoritas penuh mereka dapat dengan cepat memadamkannya di daerah-daerah yang sulit terjangkau oleh pemerintah dan dalam waktu yang cepat.

Penutup

Melihat kebakaran hutan tahun 1997-1998, nampak bahwa pemerintah sebenarnya tidak siap menghadapi kemungkinan tersebut. Meskipun Indonesia mempunyai pengalaman panjang tentang kebakaran hutan, pemerintah tidak belajar dari pengalaman tersebut. El Nino yang dianggap sebagai penyebab utama kebakaran hutan, ternyata bukanlah sebab utama, tetapi hanya sebagai pemberi kondisi yang mendukung kejadian kebakarannya saja. Demikian pula dengan peladang berpindah yang menjadi tertuduh. Ternyata mereka mempunyai konsep pengelolaan kontrol api pembakaran lahan yang baik. Jadi yang menjadi permasalahan utama kebakaran hutan adalah sistem pengelolaan hutan/sumber daya yang memperhatikan prinsip-prinsp keberlanjutan. Permasalahan kebakaran hutan sangatlah terkait dengan pengelolaan hutan yang tidak menekankan pada asas keberlanjutan. Ada beberapa asas dikenal dalam bidang lingkungan hidup (LH), atau yang disebut sebagai asas-asas pengelolaan LH. Pada Pasal 3 UU No. 23 Tahun 1997 (UUPLH) dikemukakan tiga asas, yaitu asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan dan asas manfaat. Demikian pula yang terjadi dengan perkembangan perkebunan sawit. Dalam parkteknya perkembangan perkebunan sawit tidak memperhatikan azas-azas pengelolaan yang keberlanjutan/kesinambungan. Usaha perkebunan sawit lebih banyak didasarkan pada

kepentingan-kepentingan ekonomi kelompok tertentu saja. Pemerintah sebagai pengelola utama sumber daya alam negara demi rakyat banyak, tidak memperhatikan azas-azas ini. Hal ini nampak dari berbagai kebijakan-kebijakan, operasionalisasi, dan kerja monitoring-nya yang tidak mengarah pada azas-azas tersebut. Demikian pula dalam hal pengelolaan tindakan preventif kebakaran hutan. Usaha preventif/pencegahan kebakaran hutan yang partisipatif, strategi yang tepat, monitoring, dan resolusi konfliknya ada dalam institusi-instusi lokal yang mempunyai pengetahuan lokal dalam pencegahan kebakaran hutan. Pemerintah dapat mengakomodasi peraturan-peraturan yang disepakati di tingkat lokal tersebut dalam tingkat regional dan nasional untuk lebih mengefektifkan keputusannya.

Daftar Pustaka

(14)

Barber, Charles Victor & James Schweithelm, Trial By Fire, Forest Fire and Forestry Policy in Indonesia’s Era of Crisis and Reform, Kerjasama World Resources Institute dgn WWF Indonesia & Yayasan Telapak, 2000.

Basyar, Hakim, Perkebunan Kelapa Sawit (Blunder Ketiga Kebijakan Sektor Kehutanan), E-law dan Cepas, Jakarta, 1999.

Elinor Ostrom, Self Governence and Forest Resources, CIFOR, Februari, 1999.

Environment IA, The Orangutan in Crisis, 1997.

Eric Wakker, Forest Fire & the Expansion of Indonesia’s Oil Palm Plantation Report, AID Environment & WWF,1998.

Feeny, David, Framework for Understanding Resource Management on the Commons, dalam Community Management & Common Property of Waste Coastal Fishereis in Asia & The Pacific: Concepts, Methods & Experiences, JCZARM, manila, 1994.

Potter, Lesley & Justin Lee, Oil Palm in Indonesia: Its Role in Forest Conversion and the Fires of 1997/98, WWF Indonesia Forest Fires Project, Jakarta, 1999.

Vayda, Andrew, Finding causes of the 1997-98 Indonesian Forest Fires: Problem and Possibilities, WWF Indonesia Forest Fires Project, Jakarta, 1999.

WWF Germany & WWF Indonesia, “Lipstick Traces in the Rainforest” , Palm Oil, Crisis and Forest Loss in Indonesia: The Role of Germany: A Forest Campaign Project of WWF Germany in collaboration with WWF Indonesia, January 1998.

Surat kabar:

Kontan, Perang Melawan Konsumen, Edisi 24, 12 Maret 2001.

WRM, Tree Plantations generate unemployment, No.3 , 28 Novemver 1999.

Kompas, Sabtu, 7 Agustus 1999 , Kebakaran Hutan Meluas, Ekspor Minyak Sawit Diboikot

Kompas, 5 Oktober 1999, Kendalikan Dampak Kebakaran Hutan pada Satwa

Suara Pembaruan Daily, Singapura Alami Kerugian .S$ 104 Juta Akibat Asap

Suara Pembaruan Daily,13 maret, 1998, El Nino Dahsyat 1997-1998: Dalang Berbagai Bencana

(15)

Kompas, Jumat, 6 Agustus 1999, Soal Kebakaran Hutan Pemerintah Hanya Tangani Gejala Bukan Penyebab

Kompas, Jumat, 23 Juli 1999, Kebakaran Hutan tidak Serius Ditangani

[1] El Nino adalah sebuah peristiwa Alam yang menunjukan adanya proses proses pemanasan permukaan air laut di kawasan ekuator di Samudera Pasifik sebelah timur, memang diyakini oleh para pakar dunia sebagai dalang terjadinya bermacam bencana. Perubahan muka air laut di Pasifik tersebut dapat mempengaruhi dan mengubah pola cuaca dunia. Akibatnya, di beberapa negara bisa terjadi hujan di atas normal sementara di negara lainnya terjadi kekeringan parah. El Nino tahun 1997-1998 lebih dahsyat dibandingkan dengan peristiwa besar terakhir 15 tahun lalu dan sekaligus yang terbesar yang pernah dicatat. Peristiwa El Nino dapat diprediksi 2-15 tahun akan kembali lagi. Fenomena El Nino pernah terjadi pada tahun 1982-1983, bersamaan dengan peristiwa kebakaran hutan pada waktu itu (SP, 13/3/1998).

[2] Sebagai ilustrasi lain, dari data ringkasan kejadian kebakaran hutan thn. 1997 oleh

Dephutbun, tercatat ada 54.331 ha. areal taman nasional (20,6 %), 17.238 ha. suaka alam (6,5%), dan 653 ha. areal hutan yg terbakar (0,247 %) dari luas kebakaran 293.992 ha. Data luas

kebakaran thn 97 yang dikeluarkan oleh Dephutbun banyak diragukan oleh para ahli lain, krn luas kebakaran yang diungkapkan sangat kecil. Bandingkan dengan luas kebakaran yang hasil perkiraan Walhi, WWF, dan Institusi lain (CRISP, CIFOR, World Bank dll) yang kisaran angka luasannya antara 5 juta –10 juta ha ( Hakim Basyir, 1998) .

[3] Fenomena El-Nina, yaitu mendinginnya suhu laut pasifik timur & menghangatnya suhu di Indonesia . Tekanan udara di darwin, Australia rendah & Tahiti, hawai tinggi. Fenomena Indeks Osilasi Selatan positif ibi kemudian mengakibatkan awan mudah terbentuk di wilayah udara Ind. Sehinggamudah sekali turun hujan dengan lebat. El-Nina ditandai dengan huajan yang lebat dan musim hujan yg panjang (Suara Pembaharuan, 13 Desember 1997).

[4] Luas area total yang rusak akibat kebakaran hutan menurut estimasi Bappenas, 1999.

Sumatra 1.756.000 ha., Irian Jaya 1.000.000, dan Kalimantan 6.500.000. ha. Disusul daerah lain Jawa 100.000 ha., Sulawesi 400.000 ha. (Barber & Schweithelm, 2000).

[5] Baca lebih lanjut Barber & Schweithelm, dalam box The politic of data Manipulation: How much Of East Kalimantan Burned during 1997-1998 dalam Trial By Fire, 2000, hal. 14.

(16)

[7] Banyaknya aktor yang terlibat dalam kepemilikan perkebunan sawit diyakini juga merupakan faktor yang menyebabkan kegagalan dalam melakukan pemadaman kebakaran hutan. Dengan banyaknya aktor yang terlibat, menyebabkan penangan kebakaran hutan menjadi sporadik dan tidak terkordinasi dengan baik (Barber & Schweithelm, 2000, 9)

[8] Pemahaman common property ini lebih mengacu kepada pelibatan pengguna dalam usaha penggaliannya yang bersifat kerjasama (joint use) yaitu tanah. Meskipun tanah tersebut adalah milik pribadi, tetapi pengelolaannya melibatkan sesama pengguna seperti apa yang sudah diungkapkan oleh vayda. Dalam pengelolaan common property ini ada mekanisme akses yang disepakati bersama dan level eksploitasi yang diatur bersama (David Feeny, 1994).

[9] Tercatat bahwa luasan total kerusakan lahan akibat kebakaran hutan, areal pertanian seluas 3.843.000 ha. sedangkan areal perkebunan & HTI seluas 307.000 ha.Berdasarkan sumber Bappenas 1999.. Juga jumlah kerugiannya sekitar $ 586 juta. (Barber & Schweithelm, 2000, 10).

[10] Proyek kerjasama antara pemerintah Jerman dan Dephut.

Share this:

 Click to share on StumbleUpon  Click to share on Reddit

Related

Perubahan bentuk produksi Orang Rimba; Strategi Adaptasi..?In "tulisan"

Tehnik-tehnik Berburu Suku Penan Benalui di Taman Nasional Kayan MentarangIn "tulisan"

Mencermati Kasus Konflik Etnis di Kalimantan Barat : Tantangan Untuk Mempertahankan Perdamaian BerkesinambunganIn "Social"

About tijok

Orang biasa yang tertarik dengan kajian budaya...

‹ The Root of Green Budgeting

Tehnik-tehnik Berburu Suku Penan Benalui di Taman Nasional Kayan Mentarang › Tagged with: indonesia, opini

(17)

One comment on “Kebakaran Hutan dan Perkebunan Sawit”

1. leo putra says:

September 18, 2014 at 7:33 pm

Saya tertarik dengan tulisan anda mengenai Kebakaran Hutan dan Perkebunan Sawit. Sangat disayangkan kalau perkebunan sawit terbakar, dikarenakan sawit merupakan salah satu bahan yang sering di impor dan di ekspor. Saya juga mempunyai tulisan yang sejenis mengenai Ekonomi Pertanian yang bisa anda kunjungi di Ekonomi Pertanian

Leave a Reply

(18)

adi prasetijo

Archives Academia

Follow me on Academia.edu

Recent Comments

alfian on The Root of Green Budgeti…

tijok on Konsep Rekonsiliasi

05mei1993 on Konsep Rekonsiliasi

leo putra on Kebakaran Hutan dan Perkebunan…

tijok on Konsep Rekonsiliasi

Blog Stats

 313,060 hits Artikel

antropologi

English article

humaniora

indonesia

opini

Orang Rimba

Parsudi Suparlan

Resensi Buku

Resensi Film

sosial

teori organisasi

Recent Posts

 Bhinneka Tunggal Ika: Keanekaragaman Sukubangsa atau Kebudayaan?  Tehnik-tehnik Berburu Suku Penan Benalui di Taman Nasional Kayan

Mentarang

 Kebakaran Hutan dan Perkebunan Sawit  The Root of Green Budgeting

(19)

Top Posts

 Keragaman Budaya Indonesia  Konsep Kebudayaan Menurut Geertz  Perubahan Sosial

 Adaptasi Dalam Antropologi

 Mencermati Kasus Konfik Etnis di Kalimantan Barat : Tantangan Untuk Mempertahankan Perdamaian Berkesinambungan

(20)

Blog at WordPress.com. The Responsive Theme. Follow

Follow “Etnobudaya”

Get every new post delivered to your Inbox.

Join 1,729 other followers

Powered by WordPress.com

 Beranda  Berita  Opini

 Foto & Video  Tokoh

 Lingkungan  Budaya  Wisata  Ekonomi  Pendidikan  Remaja

News Flash:

Percepatan Huntap: Masalah Kayu Selesai Bupati: Pembangunan Huntap Libatkan MasyarakatJadi Anggota DPRD, Dua Kader AMAN Disumpah Adat ADD Saibi

Samukop Tak Cair Polindes dan Poskesdes Sudah Ada Tenaga Medis September Ini Perahu Puskemas Siberut Tengah Rusak, Pasien Rujukan Terancam Menghadang Jalan Berlumpur ke Bosua Kontrak Fasilitator Huntap Diperpanjang Dua Kantraktor di Saibi Ditegur PPTK P2D Mandiri Temukan Proyek Tak Sesuai Kontrak Percepatan Huntap: Masalah Kayu Selesai Bupati: Pembangunan Huntap Libatkan

(21)

Tak Cair Polindes dan Poskesdes Sudah Ada Tenaga Medis September Ini Perahu Puskemas Siberut Tengah Rusak, Pasien Rujukan Terancam Menghadang Jalan Berlumpur ke Bosua Kontrak Fasilitator Huntap Diperpanjang Dua Kantraktor di Saibi Ditegur PPTK P2D Mandiri Temukan Proyek Tak Sesuai Kontrak Percepatan Huntap: Masalah Kayu Selesai Bupati: Pembangunan Huntap Libatkan Masyarakat Jadi Anggota DPRD, Dua Kader AMAN Disumpah Adat ADD Saibi Samukop Tak Cair Polindes dan Poskesdes Sudah Ada Tenaga Medis September Ini Perahu Puskemas Siberut Tengah Rusak, Pasien Rujukan Terancam Menghadang Jalan Berlumpur ke Bosua Kontrak Fasilitator Huntap Diperpanjang Dua Kantraktor di Saibi Ditegur PPTK P2D Mandiri Temukan Proyek Tak Sesuai Kontrak

 Suara Anda

 Puailiggoubat Cetak 

Artikel » Opini/Podium

Kelapa Sawit, Kisah Tanpa Akhir

printsendpdf

Oleh: Sr. Maria Veronika SFS Terlibat dalam kegiatan JPIC OFM (Justice, Peace and Integrity of Creation )

Rabu, 11 April 2012 | 13:11:00 WIB

KELAPA SAWIT, KISAH TANPA AKHIR!!!:

Mengenal Kekuatan Kepulauan Mentawai secara Geografis & Tipologi dari kelapa sawit.

(22)

sebelah Barat pantai pulau Sumatera dan terdiri dari 40 pulau kecil & besar serta dikelilingi oleh Samudera Hindia(Laut Lepas). Luas Kepulauan Mentawai hanya 6.700 km2. Kepulauan

Mentawai tak bergunung, tapi berbukit sekitar 500 meter tingginya. Tipologi orang Mentawai umumnya berbadan kuat, kekar, sehat. Sifat orang Mentawai baik, ramah, kreatif, berjiwa seni dan mampu menciptakan sesuatu yang berdaya guna, lepas dari itu semua orang Mentawai adalah Pribadi yang sangat Religi terhadap alam. Hidup mati mereka berasal dari alam (mone). Makanan khas mentawai adalah sagu, talas/keladi dan sejenisnya, pisang, ubi kayu/ubi jalar yang semuanya itu berasal dari ladang, menu tambahan lainnya dari laut dan sungai.

Seluk Beluk Penindasan dan Perusakan lingkungan Hidup akibat Kelapa sawit

Kekayaan alam yang harusnya dimanfaatkan secara arif demi kesejahteraan rakyat telah lama mengalami salah kelolah. Ragam Regulasi negara telah menyebabkan aset-aset alam seolah menjadi kutukan. Kini alam terancam bencana ekologis akibat akumulasi dari krisis ekologi dan gagalnya pengurusan alam yang telah menyebabkan kolapsnya pranata kehidupan rakyat. Penghancuran terhadap alam terus meningkat karena lemahnya kebijakan hukum. Demikian terjadi pada sektor perkebunan kelapa sawit. Perluasan kelapa sawit sudah jauh dari kebutuhan domestik akan sawit. Pengusaha perkebunan kelapa sawit kini diberi keleluasaan menguasai areal hingga 100.000 hektar di satu wilayah provinsi atau kabupaten. Dengan demikian kalau kita kritisi secara geografis kepulauan mentawai, maka kepulauan mentawai akan dihantar pada babak baru sejarah mentawai yakni: kebangkrutan dan bencana ekologis. Sebab luas kepulauan mentawai dengan luasnya perkebunan kelapa sawit yang telah dipatok oleh para Pemodal dan pengusaha sangat tidak memadai. Ibarat berada di kapal, bila muatan melebihi kapasitas yang ada maka kapal akan tenggelam. Dan kemungkinan ini akan terjadi di kepulauan mentawai apabila perkebunan kelapa sawit sudah mendapat tempat di tanah mentawai Bumi Sikerei itu!.

Keuntungan segi finansial untuk pelaku usahanya

Kelapa Sawit bagi para pelaku usahanya adalah tanaman yang mampu memberikan keuntungan besar dengan nilai ekspornya yang tinggi. Maka mereka berusaha membuka perkebunan kelapa sawit dimana-mana. Nilai ekspor yang dihasilkan memang tinggi, sehingga pemerintah pun tergiur akan pembagian keuntungan yang didapat dari kelapa sawit, sehingga banyak izin perusahaan perkebunan yang diloloskan tanpa kejelasan yang pasti. Kelapa Sawit hanya menguntungkan Para pelaku usahanya seperti Para Pemodal, investor, Para Pejabat, Agen atau mereka yang dibayar secara kusus. Memang benar bahwa perkebunan kelapa sawit menyerap tenaga kerja untuk perkebunan, memberikan devisa untuk negara tetapi di balik itu semua banyak pula kontroversi yang ditimbulkan berupa hal-hal negatif. Keuntungan finasial memang didapat dari hasil perkebunan kelapa sawit tersebut, tapi hal itu hanya berlaku bagi para pelaku usahanya sedangkan bagi rakyat? Apa yang kita dapat ? Devisa yang belum tentu masuk ke kas negara?. Kalau pun toh pada akhirnya rakyat mendapat bagian, itu karena “mereka” adalah pekerja atau tenaga kuli dan sebagai pekerja memang patut mendapat upahnya bukan?

(23)

Perkebunan kelapa sawit juga berpengaruh buruk terhadap lingkungan masyarakat baik terhadap budaya setempat ataupun masalah sosial lainnya. Masuknya perkebunan kelapa sawit ke daerah-daerah terpencil akan mengubah sistem pertanian tradisional menjadi sistem pertanian industri yang belum tentu membawa dampak positif bagi masyarakat di daerah tersebut. Perkebunan kelapa sawit juga dapat menyebabkan hancurnya tatanan adat dan kebiasaan hidup masyarakat adat, terciptanya kemiskinan struktural, konflik tanah yang berkepanjangan (masalah

kepemilikan tanah perkebunan), konflik antarkelas, masa dan penguasa, kepentingan investor-kapitalis dengan masyarakat setempat dsb. Disini fakta yang selalu terjadi adalah hegemoni kepentingan oleh sekelompok tertentu, pemaksaan kehendak oleh orang yang ber-Power, pelucutan hak kaum tak berdaya. Di Mentawai, kita diwarisi sistem budaya sasi, yakni

pelarangan mengambil hasil hutan atau hasil laut sebelum waktunya. Budaya peninggalan para leluhur ini berlangsung sejak ratusan tahun lamanya. Budaya sasi di hutan bisa dijalankan jika tanaman di hutan itu beraneka ragam.

Saat hutan di sulap menjadi perkebunan sawit maka secara otomatis yang tumbuh hanya satu jenis tanaman saja yakni kelapa sawit. Tentu saja, kondisi ini akan mengakibatkan perubahan hidup masyarakat dan budaya sasi kedepan terancam hilang. Generasi kita yang berikutnya akan semakin miskin budaya. Khusus di banyak kampung di Sumatera, pembukaan lahan untuk perkebunan sawit juga merusak berbagai tempat keramat seperti kuburan nenek-moyang mereka. Perkebunan sawit juga berdampak buruk pada hak masyarakat adat atas tanah ulayat (warisan), dan ini berpotensi menciptakan konflik di kemudian hari. Perusahaan sawit memerlukan lahan yang luas untuk mendapat keuntungan besar. Di samping itu, pemerintah daerah se-Indonesia merencanakan melakukan perluasan hingga 20 juta hektar perkebunan kelapa sawit sebelum tahun 2020. Sebagian besar tanah yang dimaksud untuk perluasan lahan itu adalah tanah yang dikuasai oleh masyarakat secara pewarisan, hal ini tentu semakin memperparah keadaan menjadi semakin rumit karna akan ada banyak permasalahan yang muncul.

Pengaruh perkebunan kelapa sawit terhadap alam sekitar

Pada zaman yang seperti ini seharusnya kita lebih bijak dalam pemanfaatan alam sekitar termasuk pemanfaatan lahan/pumonean di Mentawai. Produksi kelapa sawit telah dinyatakan sebagai penyebab kerusakan terhadap lingkungan alam. Dampak yang timbul meliputi:

deforestasi (penurunan secara kualitas dan kuantitas sejumlah areal hutan), hilangnya habitat dan spesies tertentu, dan peningkatan yang signifikan dalam gas rumah kaca (emisi). Kondisi ini diperburuk karena banyak hutan dan lahan berbaring di atas rawa gambut yang menyimpan sejumlah besar karbon yang dilepaskan ketika hutan ditebang dan rawa dikeringkan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit, tentu hal ini berakibat buruk untuk lingkungan. Beberapa ilmuwan juga mengeluarkan pernyataan bahwa perkebunan kelapa sawit melepas lebih banyak karbon dibandingkan dengan hutan tropis alami. Bahkan, beberapa penelitian terbaru

menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit, jika dibangun di daerah lahan gambut, menghasilkan lebih banyak emisi gas rumah kaca dibandingkan dengan hutan alami. Jika penggunaan pupuk dan emisi dari proses dimasukkan ke dalam perhitungan, dampak pada iklim dari pengubahan hutan alami untuk kelapa sawit lebih besar lagi.

(24)

tumbuhan). Walau demikian, proses penggundulan hutan dalam rangka mendirikan sebuah perkebunan melepaskan lebih banyak karbon dibandingkan yang akan digunakan oleh kelapa sawit-kelapa sawit yang akan tumbuh. Jadi, sementara sebuah perkebunan kelapa sawit baru akan tumbuh lebih cepat dan membutuhkan karbon lebih tinggi, dan pada hitungan tahunan itu menjadi lebih buruk dibandingkan dengan hutan alami yang terus beregenerasi.

Selanjutnya, praktek konversi hutan alam untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit ternyata seringkali menjadi penyebab utama bencana kebakaran hutan dan lahan . Hal ini terjadi karena dalam kegiatan pembukaan lahan (land clearing) untuk membangun perkebunan kelapa sawit dilakukan dengan cara membakar agar cepat dan biayanya murah. Berbagai pemberitaan media masa dan hasil penelitian lapangan menyebutkan bahwa sebagian besar kejadian kebakaran hutan dan lahan berada di (berasal dari) lokasi pembangunan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI). Penyebab utama kebakaran hutan tersebut diidentifikasi sebagai faktor kesengajaan oleh manusia (yang diperburuk oleh faktor alami, yaitu terjadinya musim kering yang panjang akibat El-Nino), yaitu perusahaan secara sengaja melakukan pembakaran, atau perusahaan perkebunan "membayar" penduduk lokal untuk melakukan pembakaran dalam kegiatan pembukaan lahan untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit.

Selain merusak lingkungan dengan emisi gas rumah kaca dan kebakaran hutan, perkebunan kelapa sawit juga merusak habitat spesies lain diantaranya yang paling parah adalah spesies primata dari pulau kalimantan yaitu orang utan yang kini terancam punah karna pengalihan hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit. Dalam UU RI sudah di tetapkan bahwa hewan langka seperti orang utan dilindungi oleh pemerintah dan tidak boleh diburu, tapi nyatanya karna habitat mereka yang diambil alih oleh kelapa sawit akhirnya mereka menjadikan perkebunan itu sebagai habitat baru dan karna itulah para orang utan ini diburu dan dibunuh karna dianggap hama perusak kelapa sawit. Hal-hal inilah yang memicu dilematika perkebunan kelapa sawit di

Indonesia di satu sisi banyak keuntungan yang didapat dari nilai jualnya yang tinggi tapi banyak hal negatif yang harus didapatkan.

Kelapa Sawit & Problematikanya

Kelapa sawit adalah ancaman serius didepan mata, sebab revolusi hijau dan varietas lokal akan hilang, melahirkan ketergantungan baru pada pupuk kimia dan peptisida serta keragaman hayati lokal dan ketahanan pangan akan rontok. Bencana Ekologis akibat kelapa sawit tak terelakkan. Dari hasil penelitian & survei diberbagai tempat secara langsung, perkebunan kelapa sawit sarat dengan masalah. Mulai dari pencemaran lingkungan hidup, pelanggaran HAM, kejahatan ekonomi, konflik antara perusahaan dengan penduduk lokal yang berkisar pada perampasan tanah juga penguasaan lahan penduduk. Pencemaran lingkungan, mulai dari tanah yang tidak dapat dipulihkan lagi keberadaannya, kering, keras, meranggas, pencemaran air yang menjadi sumber pokok hidup manusia, kesehatan, kekeringan sehingga melahirkan abrasi dan memicu banjir. Dimana-mana yang namanya perkebunan kelapa sawit di berbagai tempat, kota, kampung, dan provinsi selalu meninggalkan dan menciptakan kerusakan, penindasan,

(25)

hidupnya? Akankah kesejahteraan masyarakat diwakilkan kepada lembaga asing?Apakah kita masih memiliki hati bila melihat generasi berikutnya mati kelaparan di tanahnya sendiri?

Peran PEMDA

Dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat secara keseluruhan, maka sangat dibutuhkan peran PEMDA secara total, sudah merupakan Hak dari setiap warga untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Dalam kasus perkebunan (pembukaan) lahan sawit ini, maka PEMDA harus benar-benar memperhatikan segala sesuatunya secara detail agar tidak menjadi permasalahan baru dalam masyarakat di kemudian hari.

Tidak dapat dipungkiri bahwa peran industri perkebunan kelapa sawit bagi perekonomian Indonesia sangat baik, dan para pengusahanya mendapatkan keuntungan besar. Disamping itu, industri perkebunan kelapa sawit mampu menciptakan lapangan kerja baru, sementara

permintaan dunia terhadap minyak nabati dan berbagai produk turunan yang berasal dari minyak kelapa sawit semakin meningkat. Namun demikian, apakah arti semuanya itu bila kehidupan kita terancam akibat semakin rusaknya hutan alam kita yang sangat indah, kaya dengan varietas lokal dan mempesona? Apakah berbagai kerugian yang terjadi (biaya lingkungan dan biaya sosial yang timbul) dapat dibayar dengan keuntungan yang diperoleh?

Masalah yang kita hadapi memang sangat pelik dan rumit, tetapi akan lebih baik PEMDA melakukan konversi hutan alam untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit distop karena hal itu merupakan salah satu sumber utama deforestasi hutan dan lahan yang menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap lingkungan. Selanjutnya, lahan kritis atau lahan terlantar yang sudah tersedia dalam skala yang sangat luas, sekitar 30 juta ha, perlu segera dimanfaatkan secara optimal dan harus diprioritaskan untuk "dikonversi" (dirubah), termasuk diprioritaskan untuk areal pembangunan perkebunan kelapa sawit. Dengan demikian, lahan kritis atau lahan terlantar tersebut dapat menjadi lahan yang produktif, dan dapat menghasilkan manfaat ekonomi yang tinggi.

Selanjutnya, PEMDA perlu memberikan sanksi yang tegas dan jelas terhadap pihak pelaku kegiatan konversi hutan yang tidak bertanggung jawab, yang kemudian menelantarkan lahan menjadi semak belukar atau lahan kritis baru. Sanksi yang tegas juga harus diberikan kepada perusahaan pembuka lahan hutan dengan cara membakar. Disamping itu, pemerintah juga harus tanggap dalam menyelesaikan konflik lahan antara masyarakat dengan pihak perusahaan pemilik konversi lahan.

Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak sawit dan inti sawit merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang menjadi sumber penghasil devisa non migas bagi Indonesia. Cerahnya prospek komoditi minyak sawit dalam perdagangan minyak nabati dunia telah mendorong pemerintah untuk memacu pengembangan areal perkebunan kelapa sawit. Tetapi dibalik keuntungan finansial yang kita dapatkan banyak dampak negatif yang harus kita terima juga mulai dari lingkungan alam, masyarakat sekitar, dsb. Dan hal itulah yang menjadi dilematika untuk perkebunan kelapa sawit.

(26)

Setiap perubahan memberikan catatan khas sepanjang pelayaran sejarah. Globalisasi sebagai sebuah realitas perubahan modern telah menjadikan dunia tempat kita hidup kini terasa kian sempit. Sistem politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan, ilmu pengetahuan dan sebagainya menuntut tanggung jawab semua warga kampung dunia. Tidak bisa tidak, setiap warga kampung harus membuka isolasi dan menantang badai globalisasi. Desa dan kampung adalah miniatur dunia. Saatnya kita berpikir bagaimana menggali keluhuran kampung dan menjadikannya bekal untuk mengarungi samudera hidup. Bukan Sebaliknya!. Tanah Mentawai/Bumi Sikerei/ Polak teteu juga miniatur untuk masa depan generasi berikutnya. Polak Teteu, tanah sikerei adalah tanah agaria. Untuk itu perkebunan kelapa sawit tidak cocok ditanam di tanah mentawai, jangan sampai privasi tanah mentawai diganti fungsinya. Mengubah & Menerima kelapa sawit berarti kita telah merampas kehidupan generasi yang akan datang, telah menjual hidup kita dan secara tidak langsung kita telah menyumbang negara-negara maju, sehingga kita hanyalah korban dari para pemilik modal yang memiliki gaya hidup yang instan, konsumerisme dan hedonisme. Lantas apa yang kita benahi dalam pola hidup kita? Dalam situasi seperti ini, kita dituntut berpartisipasi mencari model pembangunan lokal di tengah arus globalisasi yaitu

Mengembangkan politik Ekonomi Kerakyatan. Penataan sistem politik daerah dengan fokus pada ekonomi lokal sangat memperngaruhi masyarakat lokal. Yang kedua Pengelolaan APBD yang berpihak pada rakyat. Kemauan untuk bekerja keras dan tidak terlena dengan keadaan alam.

Jalan Baru, jalan Pembebasan

Kondisi Mentawai jangan sampai jauh dari cita-cita masyarakat yakni untuk mentawai yang berdaulat dan bermartabat. Berdaulat atas setiap jengkal tanah Bumi sikerei dan bermartabat sebagai putra putri mentawai.

Darurat mentawai terhadap kelapa sawit harus diakhiri. Sudah saatnya rakyat bangkit dari kecerdasan dan kekuatan kolektif rakyat, dengan menekankan tiga hal pokok seperti:

Mentawai membutuhkan kepemimpinan yang kuat, efektif dan berpihak pada kepentingan rakyat, anti terhadap pendekatan sektoral, keberanian politik untuk meninjau ulang seluruh kebijakan yang berpotensi menghancurkan ekologis.

Membangun rakyat kritis sebagai wujud dari percepatan perjuangan lingkungan hidup yang sejati menjadi mutlak diperlukan untuk menahan dan melawan laju ketidakadilan lingkungan. Rakyat kritis yang dimaksud adalah rakyat yang mengetahui bahwa ia hidup sedang hidup dalam ancaman ekologis, siap berbuat untuk keselamatan kolektif, dan berani untuk membangun kekuatan politik alternatif yang anti terhadap model pembangunan neolibaralisme yang telah menghacurkan ekologis.

(27)

Sumbangsih dan saran

Kelapa sawit memang sangat banyak memberi keuntungan! Penghasilan minyak sawit telah menembus pasar global dan menjadi komoditas terbesar saat ini. Untuk itulah demi mengejar target yang melimpah dan hasil yang cukup tinggi, perluasan lahan kelapa sawit diperbanyak sehingga hutan-hutan atau tanah adat diubah fungsinya. Hal yang perlu kita kritisi disini adalah pengalihan fungsi lahan. Dimana-mana kampanye pembangunan, pihak pemodal, para

pengusaha selalu menyerukan dan menjanjikan kesejahteraan. Visi dan Misi yang “mereka” dengungkan selalu atas nama kesejahteraan, kemakmuran untuk masa depan, tetapi setelah semua berjalan mereka ini “LEPAS TANGAN” dan akhirnya saling melempar tanggung jawab kalau sudah ditagih janjinya.

Kembali peran PEMDA serta keterlibatan masyarakat sangat dibutuhkan. Masyarakat yang cerdas secara inteletual, cerdas secara emosional dan cerdas secara spiritualitas akan mampu melihat masa depan dengan alternatif lain. Pemanfaatan kekayaan alam yang ada di tanah mentawai seperti kelapa, pisang, sagu, talas, coklat, nilam, kayu manis, cengkeh dan lainnya justru inilah yang perlu dikembangkan, bukan sebaliknya dimusnakan kemudian diganti dengan kelapa sawit.

Yang perlu diketahui oleh masyarakat bahwa keuntungan kelapa sawit hanya berpihaK, berlaku dan dialamatkan kepada pemilik modal, para kapitalis, para investor, pengusaha dan penguasa. Sementara kita? Hanya menikmati bencana, polusi dan pencemaran lingkungan. Minyak sawit yang dijual ditanah Indonesia, sesungguhnya hanyalah sisa ampas dari kelapa sawit itu sendiri, sebab minyak yang berkualitas telah dijual di Negara lain.

Tanah Mentawai jangan sampai di Jual Murah; Jual Cepat; dan Jual Habis. Kita semua dipanggil dan diutus untuk membela dan memperjuangkan kelangsungan hidup tanah sikerei demi

kebahagiaan dan kesejahteraan bersama dan berupaya mendorong semua orang untuk menaruh sikap hormat, menghargai lingkungan. Bijaksana melakukan usaha konservasi lingkungan hidup yang menjamin kehidupan sekarang dan masa yang akan datang. Memberikan tanah kita kepada pemilik modal dan menerima kelapa sawit sama saja kita membiarkan para pegusaha memiliki “Tubuh yang makin berlemak” dan mendukung pola hidup yang Korupsi, kolusi dan Nepotisme sehingga mereka ini semakin memiliki rekening Bank yang “Menggendut”. Hanya ada dua pilihan yang kita jalani, pertama:BERTOBAT dan BEKERJA KERAS menyelamatkan dan menjaga bumi sikerei agar masa depan tetap ada, agar kehidupan tetap ada. Atau pilihan lain, kita DIAM dan semuanya habis dalam kerakusan dan ketamakan segelintir orang.

Menilai Persoalan Alam Dengan Kaca mata Iman

(28)

realitas kehancuiran yang menafikan pertalian keluarga antara “Ada yang Transenden sebagai Pencipta, umat manusia dan segenap ciptaan lainnya”. Tanah yang diubah prefasinya sehingga bumi menangis dengan keras menyadarkan kita akan sebuah logika perpikir liar yang sudah dan sedang merasuki manusia. Logika tentang kenikmatan sementara dan palsu yang melahirkan keserakahan. Logika ini memperlihatkan kepada kita bahwa umat manusia zaman ini telah mengabaikan Roh solidaritas antar umat manusia dengan segenap ciptaan dan generasi di masa depan. Fakta dramatis ini menunjukan kepada kita pertarungan yang tak adil antara keserakahan, kekuasaan, egoisme kapitalis dan kealpaan global dengan masyarakat kecil.

Kebangkitan bumi dan tanah menyuarakan fakta kehancuran global akibat keserakahan segelintir orang. Karena itu yang perlu kita hayati dan maknai dalam hidup sebagai orang beriman

adalah:”yang disediakan tanah dan bumi cukup untuk memenuhi kebutuhan tiap orang, tetapi tidak untuk memenuhi keserakahan tiap orang”. Artinya setiap orang hanya berkenan mengambil sesuatu yang betul-betul ia perlukan dari bumi dan tanah ini, sebab jika ia mengambil lebih, pasti orang lain akan berkekurangan dan bumi akan terkuras habis. Inlah aspek “Etika Kecukupan” yang melandasi paradigma “Kesejahteraan bersama dan kebaikan bersama”. Jangan sampai ada ratap tangis dikampung halaman kita hanya karena kealpaan dan kelupaan, karena keserakahan segelintir orang.

Ketika tanah sikerei ini diubah prefasinya dari tanah agraria menjadi lahan perkebunan kelapa sawit, maka tanah rahim bumi sikerei semakin digerogoti, dikuras, dan dihancukan secara tak terkendali oloeh mesin-mesin Perusahaan raksasa multi-nasioanl, atas nama pembangunan, ekonomi, kemajuan, peradaban, investasi masa depan, maka suatu saat nanti, keberadaan bumi sikerei hanyalah tinggal sebuah potret buram dari seonggok bola batu panas dan masif, yang menggelinding liar tanpa penghuni, tanpa kehidupan dan tanpa makna. Mari selamatkan Bumi sikerei dari kelapa sawit!!!!

Referensi

Dokumen terkait

Variabel ekuitas merek yang terdiri dari kesadaran merek, kesan kualitas, asosiasi merek dan loyalitas merek berpengaruh signifikan secara simultan terhadap

· Avia tour tidak bertanggung jawab atas biaya – biaya tambahan maupun pengembalian uang dari biaya – biaya tour jika peserta tersebut mengalami deportasi atau penolakan

Menimbang, bahwa Surat Pemberitahuan untuk mempelajari berkas perkara untuk Terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum pada tanggal 3 April 2018 dengan Nomor

Sedangkan Pendekatan Perundang-undangan (Statue Approach ) dipergunakan dalam penelitian ini karena focus penelitian ini adalah berbagai peraturan perundang-undangan

Pada Gambar 2 dapat dilihat hasil uji kekerasan kompon karet dari pewarna alami yang menggunakan beberapa variasi warna, dimana Formula A= tepung kulit

Dari grafik pada gambar 5 berdasarkan maximum shear stress theory atau Guest’s theory menunjukkan bahwa diameter minimum ujung poros yang berfungsi sebagai tumpuan pada

Jl. Prof Soedarto, Tembalang, Semarang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tata ruang parkir yang tepat pada jembatan timbang, sebagai salah satu fasilitas untuk

Analisa identifikasi permasalahan ini perlu melihat secara holistik yang melibatkan beberapa aspek secara terintegrasi seperti aspek sosial, ekonomi, budaya, lingkungan,