• Tidak ada hasil yang ditemukan

MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM MANAJEMEN ORA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM MANAJEMEN ORA"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

MANAJEMEN ORANG TUA

TERHADAP ANAK

Bahrun Ali Murtopo

Dosen IAINU Kebumen

Email: bahrunalimurtopo@gmail.com

Abstarct: All parents certainly expect their children to be pious people. However, unintentionally, they often treat them in the way that contradict with their expectation. So many people are busy doing their job. Reserches proves that children grown up without both parents’ supervision tend to have more problems than those grown up in under both parents’ supervision (Dr Fakhir Aqil, ‘Ilm Al-Nafs Al-Tarbawi: 111). For that reson, in building a family, it is necessary to prepare an integrated and guided education program. This kind of program should be able to provide a clear job description for each individual in the family that enables each individual to play his/her roles to reach a condusive family environment for bringing up children optimally.

Key words: Islamic education, parents, children

Abstrak: Semua orang tua pasti menginginkan agar anak-anak mereka menjadi orang yang shalih dan shalihah. Namun dalam kenyataannya, secara tidak sadar mereka justru memperlakukan anak-anak dengan cara yang menjauhkan dari terwujudnya cita-cita tersebut atau bahkan menjerumuskan kepada kondisi yang sebaliknya. Banyak sekali orang tua yang sibuk dalam mencari nafkah.

(2)

Oleh karena itu, dalam proses pembentukan sebuah keluarga diperlukan adanya sebuah program pendidikan yang terpadu dan terarah. Program pendidikan dalam keluarga ini harus pula mampu memberikan deskripsi kerja yang jelas bagi tiap individu dalam keluarga sehingga masing-masing dapat melakukan peran yang berkesinambungan demi terciptanya sebuah lingkungan keluarga yang kondusif untuk mendidik anak secara maksimal.

Kata Kunci: Pendidikan Islam, Orang Tua, Anak

A. Pendahuluan

Mayoritas manusia berorientasi untuk mendapatkan kebahagiaan, menanti ketentraman dan ketenangan jiwa, terlebih dalam lingkungan keluarga. Pentingnya keharmonisan keluarga paling berpengaruh untuk pribadi dan masyarakat adalah pembentukan keluarga dan komitmennya pada kebenaran. Terkait dengan hal ini, Allah dengan hikmah-Nya telah mempersiapkan tempat yang mulia buat manusia untuk menetap dan tinggal dengan tentram didalamnya (Irwan Prayitno, 2003: 50)

Keluarga merupakan salah satu isu penting dalam Islam. Suatu masyarakat terbentuk oleh sekelompok keluarga. Jika keluarga sebagai pembentuk masyarakat itu sehat dan kuat, maka suatu negara akan sehat dan kuat pula. Sebaliknya jika keluarganya sakit dan lemah, maka suatu negara juga akan lemah dan sakit. Dalam Islam, keluarga adalah pusat pembentuk masyarakat dan peradaban Islam. Secara pemahaman masyarakat Barat, keluarga adalah ibu, bapak dan anak atau bahkan single parent, karena mereka memandang keluarga sebagai nuclear family. Sedangkan masyarakat Islam memandang keluarga dalam pengertian yang lebih luas (extended family) bahkan tiga atau empat generasi masih dianggap satu keluarga (Muhtar Gandaatmaja, 1993: 35)

(3)

umat Islam. Keluarga islami bukan hanya sekedar berdiri di atas kenyataan karena seringnya terdengar lantunan ayat-ayat al-Qur’an dari rumah itu, bukan pula sekedar anak-anaknya disekolahkan ke masjid waktu sore hari.

Keluarga islami adalah rumah tangga di dalamnya ditegakkan adab-adab islami, baik yang menyangkut individu maupun keseluruhan anggota rumah tangga. Keluarga islami adalah sebuah rumah tangga yang didirikan di atas landasan ibadah. Mereka bertemu dan berkumpul karena Allah, saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Keluarga secara sinonimnya ialah rumah tangga, dan keluarga adalah satu institusi sosial yang berasas karena keluarga menjadi penentu (determinant) utama tentang apa jenis warga masyarakat. Keluarga menyuburi (nurture) dan membentuk (cultivate) manusia yang budiman, keluarga yang sejahtera adalah tiang dalam pembinaan masyarakat (Sufean Hussin dan Jamaluddin Tubah, 2004: 1)

Menurut Leha Zaleha Muhamat (2005: 2), istilah ‘keluarga’ ialah komponen masyarakat yang terdiri daripada suami, istri dan anak-anak atau suami dan istri saja (sekiranya pasangan masih belum mempunyai anak baik anak kandung/angkat atau pasangan terus meredhai kehidupan dengan tanpa dihiasi dengan gelagat kehidupan anak-anak). Pengertian ini hampir sama dengan pengertian keluarga yang dijelaskan oleh Zakaria Lemat (2003: 71) yaitu, keluarga merupakan kelompok paling kecil dalam masyarakat, sekurang- kurangnya dianggotai oleh suami dan istri atau ibu bapak dan anak-anak. Ia adalah asas pembentukan sebuah masyarakat. Kebahagiaan masyarakat adalah bergantung kepada setiap keluarga yang menganggotai masyarakat.

William J. Goode (2007: 16) menjelaskan keluarga sebagai suatu unit sosial yang ekspresif atau emosional. Keluarga bertugas sebagai agensi

(4)

berupaya untuk mengembangkan semua aspek kehidupan manusia dalam mencapai kesempurnaan hidup, baik yang berhubungan dengan manusia, terlebih lagi dengan sang Pencipta. Keluarga adalah lingkungan pertama bagi pembentukan ketauhidan anak. Orang tua adalah unsur utama bagi tegaknya tauhid dalam keluarga, sehingga setiap orang wajib memiliki tauhid yang baik, sehingga dapat membekali anak-anaknya dengan ketauhidan dan materi-materi yang mendukungnya, di samping anak dapat melihat orang tuanya sebagai teladan yang memberikan pengetahuan sekaligus pengalaman, dan pengarahan. Menurut Zakiyah Daradjat (1976: 57) jika latihan-latihan dan bimbingan agama terhadap anak dilalaikan orang tua atau dilakukan dengan kaku dan tidak sesuai, maka setelah dewasa ia akan cenderung kepada atheis bahkan kurang perduli dan kurang membutuhkan agama, karena ia tidak dapat merasakan apa fungsi agama dalam hidupnya. Namun sebaliknya jika pendidikan tentang Tuhan diperkenalkan sejak kecil, maka setelah dewasa akan semakin dirasakan kebutuhannya terhadap agama.

(5)

Usaha merumuskan manajemen pendidikan agama Islam dalam keluarga, ternyata tidak mudah. Terbukti banyak keluarga yang mengalami hambatan dalam memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Hal ini mungkin disebabkan manajemen yang disusun kurang memenuhi apa yang diharapkan. Atau tingkat sosialisasi dan pemahaman masyarakat yang masih rendah, sehingga tidak dapat mengaplikasikan dalam bentuk nyata.

Di samping itu, aspek luar yang mempengaruhi keluarga semakin besar. Seperti era globalisasi yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, selain berdampak positif juga bisa berdampak negatif. Beberapa masalah yang dihadapi keluarga dewasa ini adalah :

1. Renggangnya hubungan keluarga sebagai akibat individualisme yang acap kali menimbulkan kesenjangan hubungan antara suami-istri, antara orang tua dan anak-anaknya (terutama remaja).

2. Berkurangnya peran dan fungsi orang tua dalam membimbing dan mengawasi anak.

3. Berubahnya penghayatan terhadap norma-norma agama dan sosial budaya yang bisa berlaku dalam kelurga sehingga muncul kecendrungan beralihnya sistem kekeluargaan, dari keluarga besar (extended family)

kepada keluarga inti (nuclear family). Hubungan antara keluarga besar menjadi renggang atau retak. Fungsi keluarga tak dapat ditunaikan. Kebanyakan anak menjadi nakal atau melakukan kejahatan, hal ini terjadi pada keluarga yang berantakan (broken home) (Ikhtijanto, 1995: 15)

(6)

Dalam konteks interaksi antar agama, masyarakat Indonesia dikenal sudah memiliki sistem nilai tersendiri sehingga dapat melakukan toleransi dengan berbagai macam kebhinekaan yang ada dalam masyarakat. Masing-masing masyarakat memiliki sistem nilai yang diyakini, dipatuhi, dan dilaksanakan demi menjaga harmonisasi dalam masyarakat. Nilai-nilai inilah yang dikenal sebagai kearifan lokal (traditional wisdom). Menurut Nicholas Maxwell, yang dimaksud traditional wisdom adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan, serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan komunitas ekologis yang menyangkut relasi yang baik di antara sesama manusia, juga di antara semua penghuni komunitas ekologis (Magnis-Suseno, 2001) Seluruh kearifan tradisional tersebut biasanya dihayati, dipraktikkan, diajarkan, dan diwariskan dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Religiositas masyarakat berikut tradisi dan kearifan local yang masih berlaku di masyarakat memiliki peran untuk mendorong kerukunan hidup dan damai antaragama. Oleh karena biasanya kearifan lokal mengajarkan perdamaian dengan Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan. Hakikatnya, dalam hal memandang agama, biasanya masyarakat melihat dari dua aspek, yaitu aspek ketuhanan dan aspek kemanusiaan (Zainuddin, 2004) Aspek ketuhanan dari agama mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, yang caranya sudah ditentukan oleh masing-masing agama. Aspek kemanusiaan berkaitan dengan interaksi manusia beragama dengan sesamanya (in-group) dan dengan penganut agama lain (out-group).

B. Manajemen Pendidikan Islam

(7)

1. Dasar Pendidikan Islam

a. Perencanaan

Perencanaan atau planning merupakan fungsi pertama dari manajemen. Menurut S.P. Hasibuan (1995: 94) Planning adalah fungsi dasar atau fundamental manajemen karena organizing, actuating dan controlling pun harus terlebih dahulu direncanakan. Dengan demikian betapa pentingnya kedudukan perencanaan dalam sebuah kegiatan atau aktivitas. Menurut Muhammad Rifa’i (1986: 72) mengemukakan bahwa perencanaan merupakan “prequisilte to actioan” artinya sebuah prasyarat dalam bertindak, berhasil tidaknya suatu usaha ditentukan oleh matangnya dan lengkapnya perencanaan.

Atas dasar pengertian itu, maka setiap usaha apapun tujuannya hanya dapat berjalan secara efektif dan efisien bilamana sebelumnya sudah dipersiapkan dan direncanakan terlebih dahulu dengan matang. Menurut Abdul Rosyad Saleh (1977: 48) bahwa efektifitas dan efisiensi dalam penyelenggaran pendidikan di keluarga merupakan suatu hal yang mendapat perhatian. Penyelenggaraan pendidikan di keluarga dikatakan berjalan secara efektif bilamana apa yang menjadi tujuan benar-benar dapat dicapai, dan dalam mencapainya dikeluarkan pengorbanan berupa pikiran, tenaga, biaya, waktu dan sebagainya

Dengan perencanaan, pelaksanaan pendidikan di keluarga dapat berjalan secara lebih tearah dan teratur rapi. Hal ini bisa terjadi, sebab dengan pemikiran secara masak mengenai tujuan apa yang akan dicapai (tertuang tujuan pendidikan), hal-hal apa yang harus dilaksanakan (tertuang kurikulum), dan bagaimana cara melaksanakannya dalam rangka pendidikan agama itu (tertuang metode), atas dasar inilah maka kegiatan pendidikan di keluarga itu dapat diurutkan dan diatur sedemikian rupa, tahap demi tahap yang mengarah pada pencapaian sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan.

(8)

pada suatu rencana yang telah dipersiapkan secara matang akan lebih baik hasilnya bila mana dibandingkan dengan pelaksanaan pendidikan yang dilakukan secara sambil lalu dan sembrono.

Menurut Muhammad Rifa’i (1986: 75) prinsip-prinsip dalam perencanaan meliputi:

1. Perencanaan harus merupakan proses yang kooperatif

2. Penrencaan harus didasarkan atas kebutuhan dan fakta yang riil dan obyektif

3. Perencanaan harus fleksibel

4. Perencanaan harus mengandung unsur-unsur evaluasi 5. Perencaan harus mempunyai tujuan yang jelas

Prinsip pertama, perencanaan pendidikan dalam keluarga adalah kooperatif. Suatu program kegiatan pendidikan dalam keluarga hendaknya merupakan hasil pemikiran bersama antara ayah dan ibu sebagai pendidik anaknya. Prinsip kedua, didasarkan pada kebutuhan dan fakta yang riil dan objektif. Dalam hal ini rencana tidak boleh merupakan cita-cita atau impian belaka, rencana harus dilaksanakan dan merupakan titik tolak untuk memilih suatu usaha yang konkret. Prinsip ketiga, harus fleksibel. Maksudnya waktu penyusunan rencana harus dipikirkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Prinsip keempat, harus mengandung unsur evaluasi; dalam hal ini ayah dan ibu bertugas sebagai pengawas dengan tujuan agar mereka dapat mengatur hasil pendidikan tersebut dengan senantiasa berpedoman pada rencana dan tujuan yang hendak dicapai. Prinsip kelima, mempunyai tujuan yang jelas dan terperinci; maksudnya orang tua tidak dapat membuat suatu rencana jika belum ada tujuan yang jelas. Maka apa sebenarnya yang akan dicapai orang tua tersebut dalam mendidik anaknya. Prinsip keenam, perencanaan memerlukan kepemimpinan. Disinilah diperlukan jiwa pemimpin dalam keluarga yakni peran ayah sebagai pemimpin keluaga mampu menggerakkan istri dan anaknya untuk melaksanakan pendidikan.

(9)

1. What (apa), yakni berkaitan dengan penetapan tujuan 2. Why (mengapa), berkaitan dengan alasan atau latar belakang 3. Where (dimana), yakni berkaitan dengan tempat (keluarga) 4. When (kapan), yakni berkaitan dengan waktu

5. Who (siapa), yakni berkaitan dengan orang (pendidik) 6. How (bagaimana), yakni berkaitan dengan cara (metode)

Pokok pertama dalam perencanaan adalah menetapkan tujuan yang akan dicapai. Tujuan pendidikan tauhid di keluarga yakni agar anak beriman dan meyakini Allah swt adalah Esa, mengetahui sifat-sifat-Nya serta tanda-tanda kekuasaan-Nya (Abdullah Nasih Ulwan, 1992: 103). Hal ini perlu ditanamkan pada anak semenjak dengan keyakinan dan ketauhidan yang asasi dengan hakikat alamiah dan dengan segala keyakinan menuju kebaikan. Untuk membina hal ini orang tua harus menanamkan pada anaknya kepercayaan serta ketauhidan pada Allah swt dengan bahasa yang dimengerti oleh anak, hal ini sebagaimana yang diisyaratkan Imam Ghazali bahwa seorang pendidik hendaknya dalam bicara dengan anak-anak harus sesuai dengan daya pengertiannya (akal), jangan diberikan pada anak sesuatu yang tidal dapat ditangkap oleh akalnya (Athiyah Al-Abrasy, 1970: 12).

Pelaksanaan pendidikan tauhid bagi anak pertama-tama harus diselenggarakan di lingkungan keluarga sebab sebagai tahap awal pembentukkan akidah oleh kedua orang tuanya. Sebagaimana yang diilustrasikan oleh Luqman pada anaknya dalam firman Allah swt surat Luqman: 13, yaitu:

ميظع ملظل كشرلا نإ للهاب كشرت لا نيباي هظعي وهو هنبلا نامقل لاق ذإو

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”. (Abdullah Nasih Ulwan, 1992: 66)

(10)

tuhan-tuhan yang semu yang bisa menyesatkannya. Dengan demikian generasi yang terdidik dalam lingkungan keluarga akan tumbuh generasi yang sadar akan sifat-sifat ilahiyah yakni menyadari bahwa Allah swt Maha Esa, dan segala materi dan benda yang ada di bumi ini hanyalah makhluk ciptaan-Nya sebagai tanda-tanda kebesarannya.

Dalam memberikan pendidikan tauhid pada anak hendaknya orang tua menggunakan metode atau pendekatan yang tepat sesuai dengan fase anak agar tujuan yang ditentukan dapat tercapai dengan baik. Menurut Ahmad Tafsir (1997: 9) metode berasal dari bahasa Latin yakni metha artinya cara dan hodos artinya untuk melakukan sesuatu hal. Metode pendidikan tauhid di keluarga menyangkut bagaimana caranya pendidikan itu harus dilaksanakan dimana tindakan atau kegiatan pendidikan yang telah dirumuskan akan efektif bilamana dilaksanakan dengan mempergunakan cara-cara yang tepat. Menurut Winarno Surakhmand dalam pemilihan metode banyak hal yang harus dipertimbangkan, antara lain:

1. Keadaan anak, dalam hal ini tingkat kecerdasannya 2. Situasi yang mencakup hal umum

3. Tijuan yang hendak dicapai 4. Alat-alat yang tersedia 5. Kemampuan pendidik

6. Sifat bahan pelajaran (Tafsir, 1997:33)

Diantara metode (pendekatan) atau cara-cara mendidik anak yang efektif di dalam membentuk ketauhidan anak baik secara moral, psikologis dan sosial adalah dengan memberikan nasihat. Sebab pendekatan sangat berperan dalam menjelaskan pada anak tentang segala hakikat dasar tauhid. Dalam memberikan nasehat orang tua perlu menyampaikannya dengan cara yang baik, seperti yang ditegaskan oleh Nabi saw, yaitu:

فورعمب هرما نكيلف فورعمب رما نم

(11)

b. Pengorganisasian

Fungsi kedua menajemen setelah perencanaan adalah pengorganisasian. Menurut Terry (1985: 82) pengorganisasian adalah proses pengelompokkan kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan dan penugasan setiap keompok pada seorang manager yang mempunyai kekuatan. Hadari Nawawi dalam bukunya Administrasi Pendidikan (1988: 20) mengemukakan bahwa setelah perencanaan ditata sedemikian rupa, kemudian disusun suatu organisasi pendidikan yang meliputi organisasi personal, pembagian kerja serta struktur keorganisasian yang kemudian menimbulkan suatu koordinasi kerja yang baik, sehingga dalam pelaksanaan pendidikan di keluarga terdapat suatu komunikasi aktif antara pihak yang satu dengan yang lainnya.

Pengorganisasian tersebut mempunyai arti penting bagi proses pendidikan di keluarga, sebab dengan pengorganisasian maka rencana pendidikan di keluarga menjadi lebih mudah pelaksanaannya. Hal ini disebabkan karena dengan dibagi-bagikan tindakan atau kegiatan pendidikan di keluarga dalam tugas yang lebih terperinci akan mencegah timbulnya kumulasi kerja yang hanya seseorang saja, ini tentunya akan sangat memberatkan. Adanya spesialisasi ini akan mendatangkan kemudahan bagi proses pendidikan di keluarga, sebab setiap pekerjaan dilakukan oleh orang-orang yang mendalam akan tugas masing-masing.

Sebagaimana dengan uraian di atas, maka langkah-langkah terpenting dalam pengorganisasian meliputi:

1. Menggolongkan tindakan dalam kesatuan-kesatuan tertentu

2. Menentukan tugas masing-masing dalam kesatuan serta menempatkan pelaksana untuk melakukan tugas tersebut

3. Memberikan wewenang pada masing-masing pelaksana

4. Menentapkan jalinan hubungan (Abdul Rosyad Saleh, 1977: 79)

(12)

serta jalinan hubungan antara satu dengan lainnya dalam rangka usaha kerjasama itu, hal ini akan memudahkan orang tua dalam mengendalikan dan mengevaluasi penyelenggaraan pendidikan tauhid di keluarga.

Dalam prakteknya, dimanapun tugas ayah memberikan pengertian dasar tentang tauhid dengan menekankan pada aspek sifat-sifat Allah SWT, kekuasaan Allah dan sebagainya sebagaimana diuraikan di awal. Sedangkan tugas ibu mengetahui materi yang sudah diberikan atau bisa juga bekerjasama antara ayah dan ibu tergantung apa materi dan kemudahan satu sama lainnya. Walaupun sifatnya sederhana, hal ini bertujuan agar dalam pelaksanaannya terkesan teratut tidak tumpang tindih dalam mendidik anaknya.

c. Penggerakan

Setelah rencana pendidikan di keluarga ditetapkan, begitu pula setelah kegiatan dalam rangka pencapaian tujuan itu dibagi-bagikan pada pendidik maka tindakan berikutnya adalah penggerakkan atau actuating. Penggerakkan sebenarnya merupakan inti manajemen hal ini disebabkan karena fungsi perencanaan dan pengorganisasian akan berhasil dan baik apabila sudah dilaksanakan dengan baik dan benar sesuai dengan rencan.

Menurut Ishak Solih (1990: 62) fungsi penggerakkan dalam melaksanakan perencanaan mengenai pengembangan pendidikan ini hendaknya memegang penciptaan dan penerusan keinginan oleh setiap anggota kelompok kerja untuk melaksanakan kewajiban sesuai pelaksana pengembang, sesuai dengan tugasnya masing-masing. Bagi proses pendidikan di keluarga penggerakkan ini mempunyai arti dan peranan yang sangat penting, sebab diantara fungsi manajemen lainnya maka penggerakkan merupakan fungsi yang secar alangsung berhubungan dengan manusia (pendidik).

(13)

bekerjasama dan bekerja secara ikhlas serta bergairah untuk mencapai tujuan sesuai dengan perencanaan dan usaha-usaha penggerak.

Dari uaraian di atas, jelaslah bahwa penggerakan itu merupakan fungsi yang sangat penting bahkan menentukan jalannya proses pendidikan di keluarga. Dengan kata lain, penggerakkan yakni proses dari ralitasm program yang telah ditentukan. Menurut Abdul Rosyid Saleh (1977: 112) langkah-langkah terpenting dalam penggerakkan antara lain:

1. Pemberian motivasi 2. Pembimbingan 3. Penjalinan hubungan 4. Penyelenggaraan komunikasi 5. Peningkatan kemampuan pendidik

Menurut Maslow (1970) bahwa motivasi adalah suatu proses yang menentukan tingkatan kegiatan, intensitas, konstitusi serta arahan umum dari tingkah laku manusia (Slamet, 1995: 170). Dalam pendidikan tauhid di keluarga bahwa pemberian motivasi merupakan salah satu aktivitas yang harus dilakukan oleh pimpinan pendidikan di keluarga dalam rangka penggerakkan pendidikan tauhid. Motivasi dalam hal ini adalah pengabdiaan orang tua dalam mendidik tauhid anaknya yang semata-mata demi cinta kasih kodrati sehingga dalam suasana kemesraan inilah proses pendidkan tauhid akan berlangsung dengan baik.

Dalam hal ini, Abdurrahman An-Nahlawi (1989: 197) berpendapat bahwa keluarga yang kedua tiangnya adalah ayah dan ibu memikul tanggung jawab kasih sayang dan kecintaan pada anak-anak karena itu semua azas pertumbuhan dan perkembangan psikis serta sosial yang kokoh lurus bagi mereka. Jadi dengan demikian pemberian motivasi dalam melakukan pendidika tauhid di keluarga merupakan hal terpenting yang harus dilakukan oleh orang tua. Motivasi terpenting adalah ibadah pada Allah swt dan kewajiban sebagai pendidik bagi anaknya.

(14)

memberikan perintah, arahan serta petunjuk lainnya pada istri yang bersifat mempengaruhi dan menetapkan arah tindakan mereka. Atas dasar itu maka usaha-usaha pendidikan tauhid akan berjalan dengan baik dan efektif bilamana ayah dapat memberikan arahan yang tepat pada ibu untuk melaksanakan tugas kependidikan. Selain itu perlu adanya kesadaran antara keduanya untuk mencapai tujuan yang akan dicapai.

Penjalinan hubungan juga mutlak diperlukan dimana kedua orang tua dalam melakukan tugas kependidikannya akan berjalan lancar. Disamping itu dapat menyadari bahwa segenap aktivitas yang dilakukan itu adalah dalam rangka pencapaian sasaran pendidikan tauhid. Menurut Bedjo Siswanto (1990: 126) dalam melakukan perjalinan hubungan ada tiga hal yang perlu diperhatikan, antara lain:

1. Koordinasi, yakni pelaksanaan atas aktivitas secara teratur guna memberikan jumlah, waktu dan pengarahan pelaksanaannya yang tepat. 2. Integrasi, yakni penggabungan bagian-bagian menjadi satu kesatuan

yang bulat dan utuh

3. Sinkronisasi, yakni menyatakan berbagai aktivitas untuk dilaksanakan secara berbarengan.

Peranan komunikasi juga penting terutama komunikasi timbal-balik antara kedua orang tua dalam kelancaran proses pendidikan di keluarga. Menurut Mc. Farland dalam Soewarno (1996: 94) komunikasi adalah proses interaksi atau hubungan saling pengertian satu sama lainnya dengan maksud agar dapat diterima dan dimengerti diantara sesamanya dengan jalan bisa atau tulisan. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa komunikasi dalam pelaksanaan pendidikan tauhid adalah perlu dikembangkan terutama komunikasi antar ayah dan ibu di lingkungan keluarga dalam pendidikan untuk anaknya.

(15)

(1992: 41) menyebutkan adanya beberapa tantangan yang harus dihadapi oleh lembaga pendidikan pada masa depan, antara lain: 1) Politik; 2) Kebudayaan; 3) IPTEK; 4) Ekonomi; 5) Perubahan sosial; 6) Sistem nilai

d. Pengawasan

Fungsi berikutnya dari manajemen adalah pengawasan atau controlling. Menurut Soewarno (1996: 143) pengawasan ialah suatu proses dimana pimpinan ingin mengetahui apakah hasil pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan oleh bawahannya sesuai dengan rencan, perintah, tujuan, serta kebijakan yang telah ditentukan. Tujuan utamanya adalah agar hasil pelaksanaan pekerjaan diperoleh secara efisien, sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.

Dalam pelaksanaan pendidikan tauhid, fungsi pengawasan ini menjadi penting artinya terutama dalam rangka mencapai keberhasilan proses pendidikan tersebut. Anak yang dibiarkan tumbuh sendiri menurut alamnya akan menjadi manusia yang hidup dengan nafsunya dan kemungkinan besar anak itu tidak patuh terhadap pendidikan yang telah diajarkan. Dari uraian tersebut, nampak jelas aktivitas penting yang perlu dilakukan oleh orang tua, sebeb mereka merupakan alat pengaman dan sekaligus dinamisator jalannya proses pendidikan.

Maksud pendidikan yang disertai pengawasan yaitu mendampingi anak dalam upaya membentuk akidah dan moral dalam mempersiapkan secara psikis dan sosial Islam dengan prinsipnya yang universal dan peraturannya yang abadi mendorong orang tua selalu mengawasi dan mengontrol anak mereka dalam setiap segi kehidupan dan aspek kependidikan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat At-Tahrim: 6, yaitu:

اران مكيلهأو مكسفنأ اوق اونماء نيلذا اهيأاي

“Hai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”

(16)

berfungsi sebagai pengawas karena ia selalu berada di rumah. Apabila terjadi penyimpangan, maka orang tua harus segera mengambil tindakan perbaikan sehingga pelaksanaan pendidikan tauhid tersebut berjalan sesuai dengan rencana atau tujuan yang telah ditentukan.

2. Dasar-dasar Pendidikan a. Perencanaan

Perencanaan atau planning merupakan fungsi pertama dari manajemen. Menurut S.P. Hasibuan (1995:94) planning adalah fungsi dasar atau fundamental manajemen karena organizing, actuating dan controlling pun harus terlebih dahulu direncanakan. Dengan demikian betapa pentingnya kedudukan perencanaan dalam sebuah kegiatan atau aktivitas. Menurut Muhammad Rifa’i (1986:72) mengemukakan bahwa perencanaan merupakan “perquisite to action” artinya sebuah pra-syarat dalam bertindak, berhasil tidaknya tindakannya suatu usaha ditentukan oleh matangnya dan lengkapnya perencanaan.

Atas dasar pengertian itu, maka setiap usaha apapun tujuannya hanya dapat berjalan secara efektif dan efisien bilamana sebelumnya sudah dipersiapkan dan direncanakan terlebih dahulu dengan matang. Menurut Abdul Rasyad Saleh (1977: 48) bahwa efektivitas dan efesiensi dalam penyelenggaraan pendidikan di keluarga merupakan suatu hal yang harus mendapat perhatian. Penyelenggaraan pendidikan di keluarga dikatakan berjalan secara efektif bilamana apa yang menjadi tujuan benar-benar dapat dicapai dan dalam mencapainya dikeluarkan pengorbanan berupa pikiran, tenaga, waktu, biaya, dan sebagainya.

(17)

kepada anak-anak apa yang tidak diketahui mereka, tapi lebih dari itu yaitu menambahkan fadilah, membiasakan akhlak yang baik, sopan santun, sehingga terbentuk akhlak Islamiyah. Sebagaimana yang didasarkan pada hadis Nabi saw, yaitu:

قلاخلاا مركام ممتلأ تشعب امنا

“Sesungguhnya Aku diutus ke dunia ini untuk menyempurnakan akhlak”

Para filosof Islam merasakan betapa pentingnya periode anak-anak dalam pendidikan akhlak dan membiasakan anak-anak pada tingkah laku yang baik sejak kecilnya. Mereka ini semua sependapat bahwa pendidikan anak-anak sejak kecil harus mendapat perhatian penuh. Pepatah lama mengatakan “Belajar diwaktu kecil ibarat mengukir di atas batu, belajar di waktu besar ibarat mengukir di air”. Artinya bahwa pendidikan akhlak yang tinggi, wajib dimulai di rumah (keluarga) sejak waktu kecil dan jangan sampai dibiarkan anak-anak tanpa pendidikan, bimbingan, petunjuk sehingga mereka terbiasa pada akhlak yang baik kelak. Hal ini sebagaimana pendapat Imam Ghazali dan Ibnu Sina dalam Athiyah Al-Abrasy (1970: 114) mengatakan bahwa anak-anak haruslah dibiasakan sejak waktu kecil, jika dibiasakan berbuat baik sejak kecil maka akan menjadi kebiasaan yang terpuji sehingga menjadi kebiasaan pula bila ia sudah besar.

Jadi apabila dikaitkan dengan pendidikan akhlak di keluarga, maka hal yang pertama dan utama yang perlu ditanamkan oleh orang tua pada anaknya dapat membedakan hal yang baik dan hal yang buruk sebagai pendidikan awal dan dasar. Kerena pendidikan akhlak membicarakan nilai suatu perbuatan menurut ajaran agama, membicarakan sifat-sifat terpuji atau tercela menurut agama, membiarkan berbagai hal yang langsung ikut mempengaruhi pembentukan sifat itu pada diri anak.

1) Pembiasaan Shalat

(18)

Sebagaimana Nabi Muhammad saw selalu menekankan akan pentingnya anak dilatih untuk shalat yaitu ketika usia 7 tahun sehingg anak nantinya akan terbiasa sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Hakim, sebagai berikut:

يننس شرعل ةلاصلا وكرتاذا اهيلع اوبضراو يننس عبسل ةلاصلاب بيصلا اوملع

“Ajarilah anak-anakmu mengerjakan shalat sejak usia 7 tahun dan pukullah jika mereka enggan mengerjakan shalat katika 10 tahun” (Abdullah Nasih Ulwan, 1992: 62)

2) Pembiasaan Membaca al-Qur’an

Nabi saw menyuruh para orang tua untuk membiasakan pada anak mereka tentang mencintai Nabi saw, ahli-baitnya dan membaca al-Qur’an. Pembiasaan membaca al-Qur’an juga perlu ditanamkan sejak dini dengan pemahaman yang sederhana, misalnya pengenalan tajwid atau cara membaca al-Qur’an Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh At-Thabrani:

نارقلا ةولاثو هتيب لا بحو مكيبن بح :لاصخ ثلاث على مكدلاوا اوبذا

“Didiklah anak-anak kalian dengan tiga hal: mencintai Nabi, ahli bait dan membaca al-Qur’an” (Abdullah Nasih Ulwan, 1992: 210)

Dalam Muqqadimah-nya Ibnu Khaldun mengisyaratkan betapa pentingnya mengajarkan al-Qur’an pada anak-anak beliau menjelaskan bahwa mengajarkan al-Qur’an merupakan dasar pengajaran, sebab hal ini merupakan salah satu syiar agama juga dalam Ihya-nya Imam Ghazali mewasiatkan hendaknya anak diajari al-Qur’an, hadits dan sebagainya, hal ini tidak lain supaya mereka fasih dan terbiasa (Abdullah Nasih Ulwan, 1992: 210).

3) Pembiasaan Berdoa

(19)

Pembiasaan adalah salah satu alat pendidik yang penting sekali terutama bagi anak-anak oleh karena itu sebagai permulaan pendidikan sehingga anak dapat menurut dan taat pada peraturan dengan jalan pembiasaan sebagaimana Imam Ghazali mengatakan bahwa anak adalah amanah di tangan orang tuanya, maka apabila ia dibiasakan pada suatu yang baik maka akan tumbuh dengan baik pula (Atiyah Al-Abrasyi, 1979: 114).

d. Pengawasan

Fungsi terakhir dari manajemen adalah pengawasan atau controlling. Yang dimaksud dengan pengawasan adalah suatu proses dimana pimpinan ingin mengetahui apakah hasil pelaksanaan yang dilakukan sesuai dengan rencana, perintah, tujuan, atau kebijakan yang telah ditentukan (Soewarno, 1996: 143)

Dalam pelaksanaan pendidikan di keluarga, fungsi pengawasan ini menjadi penting artinya terutama dalam rangka mencapai keberhasilan proses pendidikan. Maksud pendidikan yang disertai pengawasan yaitu mendampingi anak dalam segala aktivitas yang dilakukan guna membentuk pribadi anak. Mengawasinya, mempersiapkannya dan menanyakan secara terus menerus oleh orang tua sangat penting artinya guna mengevaluasi sejauh mana pendidikan yang telah diajarkan itu dilaksanakan secara baik atau tidak. Demikian pula aliran psikologi individual mengutamakan pentingnya pembiasaan itu dalam pendidikan dan memandang kecil arti bakat dan keturunan.

Pengawasa berate mendampingi anak dalam setiap aspek kependidikan dalam prakteknya berarti orang tua mendampingi anak dalam hal ini: 1) Mendampingi anak dalam melaksanakan shalat atau secara bersama-sama. 2) Mendampingi anak dalam membaca Al Qur’an.

3) Mendampingi anak dalam berdo’a

(20)

kecilnya, maka diwaktu tuanya akan terbiasa” (Atiyah Al-Abrasy, 1970: 112).

4. Dasar Pendidikan Sosial a. Perencanaan

Perencanaan atau planning merupakan fungsi pertama dari manajemen. Menurut S.I. Hasibuan (1995: 94) planning adalah fungsi dasar atau fundamental manajemen karena organizing, actuating dan controlling pun harus terlebih dahulu direncanakan. Dengan demikian betapa pentingnya kedudukan perencanaan dalam sebuah kegiatan atau aktivitas. Menurut Muhammad Rifa’i (1986: 72) mengemukakan bahwa perencanaan merupakan “prequisilte to action” artinya sebuah prasyarat dalam bertindak, berhasil tidaknya suatu usaha ditemukan oleh matangnya dan lengkapnya perencanaan.

Dengan perencanaan, penyelenggaraan pendidikan sosial di keluarga dapat berjalan secara lebih terarah dan teratur rapi. Hal ini bisa terjadi sebab dengan pemikiran yang matang mengenai hal apa yang harus dilakukan, bagaimana cara melakukannya. Kegaitan apa yang mesti mendapat prioritas. Jadi dalam pendidikan sosial dikeluarga orang tua mempunyai tanggung jawab besar dalam mendidik anak untuk terikat oleh tata-krama kemasyarakatan dan menegakan dasar-dasar sosial yang mulia bersumber dari nilai Islam dan kedalaman emosional persaudaraan sehingga anak mampu tampil di tengah-tengah masyarakat Islam dengan modal yang baik.

Pendidikan sosial meliputi berbagai hal, menurut Abdullah Nasih Ulwan (1992: 150) dasar pendidikan sosial bagi anak, antara lain:

1. Memelihara hak orang lain 2. Tata cara bergaul

3. Menghormati dan tata krama pada masyarakat

(21)

agar ia menjadi penunjang positif dalam masyarakat. Cara inilah yang menjadi titik tolak Islam dalam upaya perbaikan dan pembiinaan.

b. Pengorbanan

Fungsi kedua manajemen setelah perencanaan adalah pengorganisasian. Menurut Terry (1985: 82) pengorganisasian adalah proses pengelompokkan kegiatan-kegiatan seorang manajer yang mempunyai kekuasaan. Hadari Nawawi dalam bukunya Administrasi Pendidikan (1988: 20) mengemukakan bahwa setelah perencanaan ditata sedemikian rupa, kemudian disusun suatu organisasi pendidikan yang meliputi organisasi personal, pembagian kerja serta struktur keorganisasian yang kemudian menimbulkan suatu koordinasi kerja yang baik, sehingga dalam pelaksanaan pendidikan dikeluarga terdapat suatu komuniakasi aktif antara pihak yang satu dengan yang lainnya.

Jadi dengan demikian apabila dikaitkan dengan pendidikan sosial, maka pengorganisasian dapat dirumuskan sebagai aktivitas menyusun suatu kerangka kerja yang menjadi wadah bagi setiap usaha pendidikan di keluarga. Adapun pengorganisasian yang meliputi materi-materi sebagaimana diungkap di awal antara lain:

1) Tata cara Bergaul

2) Memlihara hak orang lain

3) Menghormati dan tata-krama pada Masyarakat (Abdullah Nasih Ulwan, 1992: 150)

(22)

5. Dasar Pendidikan Kewarga Negaraan

a. Perencanaan

Fungsi pertama dalam manajemen adalah perencanaan. Dalam pandangan Manullang (1992: 21) perencanaan secara sederhana adalah penentuan serangkaian tidakan untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan. Suatu rencana tanpa adanya perubahan atau hambatan yang berarti. Dalam pasal ini, maka tanpa adanya perubahan atau hambatan yang berarti. Dalam pasal ini, maka tujuan pendidikan diarahkan pada mendidik anak menjadi manusia yang bermasyarakat berbangsa dan bernegara.

Perencanaan pendidikan ini berarti menjadikan anak menjadi warga negara yang baik, maka tugas orang tua dalam hal ini menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 45, dengan menekankan pada aspek-aspek:

1) Mengetahui hak dan kewajiban

2) Menanamkan rasa kesetiakawanan sosial 3) Bertanggung jawab

Tujuan terpenting dalam pendidikan ini pada dasarnya adalah mebentuk kepribadian anak agar selaras dengan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila ataupun norma yang berlaku di masyarakat serta mengetahui apa yang menjadi peraturan negara. Dalam kaitan ini John Dewey bahwa pendidikan menurutnya membentuk manusia untuk menjadi warga negara yang baik, untuk itu baik keluarga maupun sekolah diajarkan segala sesuatu pada anak yang perlu bagi kehidupannya dalam masyarakat (Ngalim Purwanto, 2000: 24).

(23)

dan pemahaman yang lebih terperinci. Metode ceramah yakni pemberian informasi yang dilakukan dengan cara penerangan secara lisan, sedangkan metode dialog yakni penyajian suatu topik masalah yang dilakukan melalui dialog antara orang tua dengan anaknya.

Dengan langkah di atas, maka perencanaan akan semakin mudah dilaksanakan mengingat dalam perencanaan banyak hal yang mesti dipertimbangkan seperti bahan materi, tujuan yang dicapai dan bagaimana cara menerapkannya. Hal ini merupakan landasan dari perencanaan.

b. Pengorganisasian

Setelah perencanaan maka pengorganisasian merupakan tahapan berikutnya dalam proses manajemen S.P. Hasibuan (1995: 121) pengorganisasian artinya menentukan pekerjaan yang harus dilakukan pengelompokkan tugas-tugas dan membagi pekerjaan yang harus dilakukan, pengelompokkan tugas-tugas dan membagi pekerjaan pada setiap orang. Jadi apabila dihubungkan dengan pendidikan, kewarganegaraan dapat dirumuskan sebagai aktivitas menyusun kerangka kerja dengan jalan membagi tugas antara ayah dan ibu, sehingga satu dengan lainnya terjalin hubungan kerja.

Menurut Abdul Rosyad Saleh (1997: 79) adapun langkah-langkah dalam pengorganisasian, meliputi:

1. Mengelompokkan tindakan pada kesatuan tertentu

2. Menentukan dan merumuskan tugas masing-masing kesatuan 3. Memberikan wewenang pada masing-masing pelaksana 4. Menetapkan jalinan hubungan

(24)

telah diberikan. Walaupun sifatnya sederhana hal ini memudahkan dalam pelaksanaannya.

c. Penggerakkan

Menurut S.P Hasibuan (1995: 176) penggerakkan adalah proses realisasi dari seseorang yang secara ikhlas serta bergairah untuk mencapai tujuan sesuai dengan perencanaan dan usaha-usaha pengorganisasian. Dari uraian ini jelaslah bahwa pernggerakkan fungsi yang sangat penting bahwa menentukan jalannya proses pendidikan di keluarga. Tujuannya meminta para orang tua untuk melakukan kegiatan pendidikan intelek di keluarga secara bergairah untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.

Penggerakkan pendidikan kewargaan di keluarga berarti proses menggerakkan orang tua untuk melakukan aktivitas pendidkannya. Menurut Abdul Rosyad Saleh (1977: 112) bahwa penggerakkan meliputi, motivasi, pembimbingan dan penjalinan komunikasi. Menurut Maslow (1970) bahwa adalah suatu proses yang menentukan tingkat kegiatan, intensitas, konsistensi dan arah umum dari tingkah laku manusia (Slameto, 1995:17), motivasi ini dapat diberikan pada anak dengan cara memberikan pengertian yang dapat dimengerti oleh anak, mengingat bahwa anak merupakan fase yang sangat butuh akan dorongan dari orang tuanya, begitu juga pembimbingan dan komunikasi sangat penting artinya guna mengarahkan anak untuk melakukan hal-hal semestinya dilakukan sebagaimana yang telah diajarkan oleh orang tuanya sehingga pada diri anak akan timbul rasa tanggung jawab penuh.

d. Pengawasan

(25)

Dalam pelaksanaan pendidikan di keluarga, fungsi pengawasan ini menjadi penting artinya terutama dalam rangka mencapai keberhasilan proses pendidikan. Maksud pendidikan yang disertai pengawasan yaitu mendampingi anak dalam, segala aktivitas yang dilakukan guna membentuk pribadi anak. Mengawasinya, mempersiapkannya dan menanyakan secara terus menerus oleh orang tua sangat penting artinya guna mengevaluasi sejauh mana pendidikan yang telah diajarkan itu dilaksanakan secara baik atau tidak. Demikian pula aliran psikologi individual mengutamakan pentingnya pembiasaan itu dalam pendidikan dan memandang kecil arti bakat dan keturunan.

Pengawasan berarti mendampingi anak dalam setiap aspek kependidikan, dalam prakteknya berarti orang tua mendampingi anak dalam hal:

1) Mendampingi anak dalam pengajaran hak dan kesetiakawanan sosial 2) Mendampingi anak dalam menerapkan kesetiakawanan sosial 3) Mendampingi anak dalam menerapkan tanggung jawab

Orang tua harus memperlihatkan cara anak melaksanakan hak dan kewajiban, adapun hak anak adalah mendapatkan penghidupan, pendidikan dan pemeliharaan yang layak, sedangkan kewajiban adalah berbakti pada orang tua dengan menjalankan apa yang diperintahkannya. Begitu juga orang tua harus memberikan pengertian rasa keistimewaan sosial antara dirinya dengan temannya seperti bersikan adil, peduli dan sebagainya sehingga anak akan timbul rasa tanggung jawab penuh. Inilah nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yakni bagaimana bersikap dengan orang lain pada khususnya, sebab kewarganegaraan adalah materi yang berhubungan dengan norma-norma yang ada di lingkungan masyarakat.

C. Pendidikan Orang Tua Terhapat Anak

(26)

sebagaimana ia menyimpulkan dari pendapatnya Cak Nur (2001: 47) mengatakan bahwa:

“Hubungan antara orang tua dan anak yang demikian intim tidaklah mungkin digantikan secara total oleh lembaga-lembaga persekolahan, termasuk universitas. Bahkan sekolah-sekolah agamapun tidak mungkin menggantikan sepenuhnya peran dan tanggung jawab orang tua. Institusi formal yang memberikan ajaran-ajaran yang bersifat umum maupun agama hanya mungkin meringankan beban tanggung jawab orang tua, tetapi tidak dapat dan tidak boleh diharapkan untuk menggantikan peran dan tanggung jawab orang tua secara keseluruhan”

Dari pernyataan ini dapat kita ketahui bahwa kehidupan keluarga merupakan lapangan pendidikan yang sangat urgen dalam membentuk dan mengarahkan kepribadian anak supaya menjadi manusia atau generasi yang berguna bagi agama dan bangsa. Dan orang tuanya merupakan pangkal pendidik yang akan banyak mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak lebih lanjut. Disadari atau tidak itu adalah merupakan tanggung jawab orang tua yang dibebankan oleh Tuhan kepada mereka. Sementara itu menurut Hasbullah (2003:198) tugas utama dari keluarga bagi pendidikan anak ialah sebagai peletak dasar bagi pendidikan akhlak dan pandangan hidup beragama.

Sementara itu di dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 7 ayat (2) menyatakan bahwa orang tua dari usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya. Hal ini juga diperkuat dengan pasal 27 ayat (1) menyatakan bahwa kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dalam lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.

(27)

a. Nilai-Nilai Pendidikan Agama Islam

Untuk membentuk anak yang shaleh dan shalehah serta mempunyai kepribadian yang baik, yakni anak yang menjalin hubungan baik dengan Allah dan sesama makhluk lainnya, maka pokok-pokok yang harus di berikan tiada lain adalah nilai-nilai pendidikan agama Islam itu sendiri. Yang mana nilai-nilai pendidikan agama Islam itu tercover dalam ajaran Islam itu sendiri.

Menurut para ulama sebagaimana yang dikutip oleh Nipan Abdul Halim (2003: 91) ajaran Islam secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga yakni: akidah, ibadah, dan akhlak. Begitu juga Yusuf Ali Anwar (2003: 107) dalam bukunya Studi Agama Islam menyatakan bahwa ajaran-ajaran Islam secara garis besar terhimpun dan terklasifikasi dalam tiga hal pokok yakni akidah, ibadah dan akhlak. Dengan demikian menjadi jelas bahwa pokok-pokok pendidikan yang harus ditanamkan atau diberikan pada anak sedikitnya harus meliputi pendidikan akidah, pendidikan ibadah, pendidikan akhlak. Karena ketiga pokok ajaran Islam tersebut sebenarnya sudah mencakup aspek kehidupan manusia secara universal.

Menurut Hasan Basri (1999: 89) dalam bukunya keluarga sakinah

berpendapat bahwa ajaran agama dengan tuntunan akhlak dan ibadah serta akidah jika dilaksanakan sungguh-sungguh akan mampu menghasilkan perkembangan anak yang saleh yang mampu membahagiakan keluarga. Di antara peranan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan agama Islam pada diri anak semenjak usia dini.

b. Mengajarkan Al-Qur’an

(28)

teratur, tentram serta bahagia. Karena tanpa adanya pedoman hidup, maka kehidupan manusia akan terombang-ambing dan tidak akan menemui jalan hidup yang lebih baik.

Karena betapa Al-Qur’an dalam hal ini sangat urgen bagi kehidupan manusia maka sudah selayaknyalah Al-Qur’an diajarkan pada umat manusia utamanya pada diri anak supaya nantinya mereka mempunyai bekal untuk melangkah pada kehidupan selanjutnya yakni kehidupan yang lebih hakiki, lebih paripurna yang sesuai dengan norma-norma atau gari-garis yang diajarkan oleh agama.

Ibnu Khaldun sebagaimana yang dikutip oleh Abdullah Nashih Ulwan (1996: 46), mengisyaratkan tentang pentingnya mengajarkan dan menyuruh menghafalkan Al-Qur’an pada anak kecil. Ia menjelaskan bahwa “mengajarkan Al-Qu’an merupakan dasar pengajaran dalam semua sistem pengajaran di berbagai negara Islam, karena hal itu merupakan salah satu syiar agama yang akan berpengaruh terhadap proses pemantapan aqidah dan meresapnya iman”.

c. Mengajarkan Sholat

Ibadah sholat merupakan ibadah yang paling istimewa kedudukannya ketimbang ibadah-ibadah yang lainnya. Hal ini terbukti dengan diterimanya langsung ibadah ini, sementara ibadah-ibadah yang lainnya cukup disampaikan kepada Nabi melalui wahyu yang disampaikan oleh malaikat Jibril. Jadi, dari sini jelas bahwa shiolat mempunyai tujuan kebahagiaan manusia sendiri dalam mengarungi kehidupan dunia lebih-lebih kehidupan akhirat kelak. Dengan demikian dapat kita pahami bahwa shalat merupakan indikasi tegak atau tidaknya seseorang dalam beragama, semakin baik shalat seseorang akan semakin tegak pula akidah Islamiahnya.

(29)

Karena shalat di sini merupakan sesuatu yang fundamental, maka sejak usia dini harus diperkenalkan dan dianjurkan pada anak. Dalam hal ini orang tua seharusnya dapat menuntun dan mengajarkan sholat pada diri anak mulai sejak usia kecil dengan cara selalu mengajak anak untuk selalu melakukan ibadah sholat. Dan apabila anak sudah menginjak usia tujih tahun, orang tua harus bisa memerintahkan anak-anaknya untuk selalu melakukan sholat lima waktu. Dan apabila hingga usia sepuluh tahun ia masih belum mengerjakan sholat maka orang tua harus bisa menghukum anak-anaknya. Tentunya yang dimaksud hukuman dalam hal ini adalah hukuman yang mendidik

Sehubungan dengan diperintahkannya shalat semenjak anak berusia tujuh tahun, maka sejak itu pula anak harus diberi pengetahuan secukupnya tentang hal ihwal seputar shalat. Namun yang terpenting dalam hal ini pemberian teladan dari fihak orang tua.

d. Nilai-Nilai Akhlak

Menurut Mahjuddin (1999: 138) akhlak dalam Islam merupakan sendi yang ketiga setelah akidah dan syari’ah (ibadah) dengan fungsi yang selalu mewarnai sikap dan prilaku manusia dalam memanifestasikan keimanannya, ibadah serta muamalahnya terhadap sesama manusia.

Suatu hal yang tidak diragukan bahwa keutamaan akhlak, keutamaan tingkah laku, dan naluri merupakan salah satu buah iman yang meresap dalam pertumbuhan keagamaan yang sehat. Maka, seorang anak jika sejak dini ditumbuh besarkan atas dasar keimanan kepada Allah, terdidik untuk takut kepadanya, niscaya ia akan punya kemampuan fitri dan akan terbiasa dengan ahklak mulia.

Dari sini kita tahu bahwa seorang anak memerlukan pendalaman dan penanaman nilai-nilai norma dan akhlak kedalam jiwa mereka. Karena menurut Syech Mustafa Al-Ghulayani dalam bukunya Idhatun nasyiin

(30)

yang kokoh untuk membangkitkan umat. Di sinilah tugas orang tua untuk selalu menanamkan nilai-nilai mulia kedalam jiwa anak-anak mereka dan menyucikan kalbu mereka dari kotoran. Dari pentingnya masalah ahklak ini sampai-sampai Husain Mazhahiri (2003: 240) menyatakan bahwa “sepertiga dari kandungan Al-Qur’an baik secara langsung atau tidak telah membahas sekitar masalah akhlak”. Begitupun sabda Nabi:

ُلَمْك َا َمَّلَس َو ِهْيَلَع ُللها َّل َص ِلله ا لَوْسُرَ َلاَق: َلاَق ُهْنَع ُللها َ ِضرَ َةرَيْ َرُه ْ ِباَ ْنَع )نابح نباو دودوبا دحما هاور( .اَقُلُخ ْمُهُن َسْحَأ َناَمْيِا َ ْينِنِمْؤُمْلأ

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah mereka bayang paling mulia akhlaknya”(HR. Abu Daud dan Ibnu Hibban)

Dengan demikian, maka dalam rangka menyelamatkan dan memperkokoh akidah islamiyah anak, pendidikan anak harus dilengkapi dengan pendidikan ahklak yang memadai, sehingga dikemudian hari kesalehan anak betul-betul dapat diharapkan. Karena selain harus pandai berhubungan baik dengan sang pencipta kesalehan anak harus pula dilengkapi dengan ahklakul karima dalam berhubungan dengan sesama manusia dan lingkungannya.

Pendidikan akhlak yang memadai ini seharusnya di mulai terhadap anak sejak kecil hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Ibnul Jauzi dalam bukunya At-Tib Ar-Rohani sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Athiyah Al-Abrosyi (2003: 116) bahwa:

(31)

Sementara A. Toto Suryana (1997: 188) membagi ahklak menjadi tiga bagian yaitu 1). Ahklak terhadap Allah 2). Ahklak terhadap sesama manusia 3). Ahklak terhadap lingkungan.

a. Akhlak Terhadap Allah

Akhlak yang baik pada Allah berucap dan bertingkah laku yang terpuji pada Allah baik melalui ibadah langsung pada Allah seperti sholat, puasa dan sebagainya, maupun melalui prilaku tertentu yang mencerminkan hubungan atau komunikasi dengan Allah diluar ibadah itu. Berahklak yang baik antara lain beriman, taat, ihklas, husnudzan, tawakal, syukur, dan lain-lain.

b. Ahklak Terhadap Manusia

Manusia dalam hidup bermasyarakat perlu adanya tatanan yang tepat mengarahkan pada suatu kebaikan bersama. Oleh karena itu di dalam buku etika Islam sebagaimana yang dirumuskan oleh Tim Akhlak (2003: 54) disebutkan bahwa “semua sifat, prilaku dan ahklak harus kita perhatikan dengan sungguh-sungguh dalam berhubungan dengan masyarakat, sifat-sifat terpuji yang harus diterapkan dan sifat-sifat tercela harus kita jauhi inilah yang disebut dengan ahklak pergaulan”.

(32)

c. Akhlak Terhadap Lingkungan

Seseorang memandang alam sebagai milik Allah yang wajib di syukuri dengan cara mengelolanya dengan baik agar bermanfaat bagi manusia dan bagi alam itu sendiri. Siregar (1999: 93) berpendapat di dalam bukunya

Islam untuk berbagai aspek kehidupan bahwa: “Allah telah menjadikan alam ini untuk manuisia dan untuk dimanfaatkan sesuai de ngan ridha Allah tidak untuk dirusak dan untuk berbuat binasa. Dalam hal ini Allah berfirman:

َنِّم ٌبْيِرَق ِللها َتَ ْحمَر َّنِإ جاًعَم َطَو اًفْوَخ ُهْوُعْداَو اَهِحَلا ْصِإ َدْعَب ِضْرَلاْا ِفاو ُدِسْفُت َلاَو

)65 :فارع لاا( . َ ْينِن ِسْحُمْلا

“Dan janganlah kamu berbuat binasa di bumi sesudah dijadikan baik dan berdo’alah kepada Allah dengan takut (kepada siksanya) dan menuntut (kasihnya) sesungguhnya rahmat Allah dekat dengan orang-orang yang berkebajikan”. (Al-A’raf: 56)

Pemanfaatan alam dan lingkungan hidup bagi kepentingan manusia hendaknya disertai sikap tanggung jawab untuk menjaganya agar tetap utuh dan lestari.

Berakhlak pada lingkungan alam adalah menyikapinya dengan cara memelihara kelangsungan hidup dan kelestariaannya. Agama Islam menekankan agar manusia mengendalikan dirinya dalam mengeksploitasi alam. Sebab alam yang rusak akan merugikan bahkan menghancurkan kehidupan manusia.

Dari ketiga komponen pembagian akhlak diatas seharusnya diajarkan dan dibiasakan pada kehidupan anak sehari-hari agar mereka dapat terbiasa berlaku baik dalam hidupnya, kalau kesholehan personal sudah terbentuk, maka kami yakin kesholehan sosialpun akan terbentuk, karena pada dasarnya kehidupan sosial adalah manifestasi dari kehidupan personal manusia.

(33)

d. Memotivasi Anak

Motivasi sebagaimana yang dijelaskan oleh Sadirman (2003: 73) berasal dari kata “motif ”, diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam dan di dalam subyek untuk melakukan aktifitas-aktifitas tertentu demi mencapai suatu tujuan. Sedangkan menurut Mc. Donald sebagaimana yang dikutip oleh Oemar Hamalik (1999: 106) dalam bukunya Kurikulum dan Pembelajaran mengatakan bahwa “motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya feeling dan didahului dengan tanggapan terhadapa adanya tujuan”.

Dalam kaitannya dengan pendidikan keagamaan anak, yang terpenting bagi orang menciptakan kondisi atau suatu proses yang mengarahkan anak untuk melaksanakan aktifitas keagamaan. Dalam hal ini sudah barang tentu peran keluarga sangat menentukan. Bagaimana orang tua sebagai pemimpin keluarga dapat melakukan usaha-usaha untuk mendapatkan dan memberikan motivasi agar anak tertarik untuk melakukan kegiatan keagamaan.

e. Memberi Teladan Pada Anak

Orang tua, sebagaimana yang dijelaskan oleh Hasbullah (2003: 115) mempunyai peranan utama dan pertama bagi anaknya selama anak belum dewasa dan mandiri. Untuk membawa anak pada kedewasaan, maka orang tua harus memberi tauladan yang baik karena suka mengimitasi orang tua.

(34)

baik tauladan yang sifatnya vertikal kepada Allah (ibadah) maupun yang sifatnya horizontal sesama manusia (sosial).

f. Membentuk Kebiasaan-Kebiasaan Anak

Pembentukan kebiasaan pada anak mulai sejak dini amatlah urgen. Utamanya pembentukan kebiasaan-kebiasaan yang bersifat relegius, sesuai dengan perkembangan jiwanya. Apabila anak tidak mendapatkan latihan dan pembiasaan tentang agama pada waktu kecilnya, menurut Zakiyah Daradjat (1995: 65) bisa jadi ia akan besar dengan sikap acuh tak acuh atau anti terhadap agama.

Oleh karena itu seharusnya orang tua bisa menanamkan kebiasaan-kebiasaan berprilaku baik mulai sejak dini. Karena masa anak-anak adalah masa yang paling baik untuk meresapkan dasar-dasar kehidupan beragama. Misalnya anak-anak dibiasakan ikut serta ke masjid bersama-sama untuk menjalankan ibadah, mendengarkan ceramah keagamaan, kegiatan seperti inilah yang sangat besar sekali pengaruhnya terhadap kepribadian anak selanjutnya.

Di antara beberapa hal kebiasaan yang perlu ditanamkan pada anak Menurut Halim (2003: 182) adalah sebagai berikut: 1) Menanamkan kebiasaan beribadah, 2). Menanamkan kebiasaan berakhlakul karimah, 3). Menanamkan kebiasaan bertindak ekonomis, 4). Menanamkan kebiasaan hidup sehat.

D. PENUTUP

Orang tua sesibuk apapun masih bisa membagai waktu untuk anak-anak dan keluarganya berbagi waktu tanpa menghilangkan perbedaan unsur ayah, ibu dan anak-anaknya di berbagai tempat saat bertemu atau berkumpul, tetap memilik kebersamaan di keluarga dan menjaga nama baik keluarga.

(35)

anak merupakan satu hal yang bisa membuat proses dalam pelaksanaan pendidikan dalam keluarga menjadi kurang maksimal. Bahkan ada juga yang beranggapan bahwa kalau anak-anak mereka sudah dimasukkan ke lembaga pendidikan yang berlabel agama Islam mereka merasa sudah cukup. Selain itu, faktor orangtua yang kurang menjalankan ajaran agama merupakan salah satu kekurangan dalam memberikan pendidikan agama pada anak.

Jika anjuran dan himbauan ini tidak diperhatikan dan masing-masing pihak saling melemparkan tuduhan kepada pihak lain serta membongkar aib dan kesalahannya kepada anak, si anak akan membenci kehidupan dan merasa rendah diri. Lebih jauh lagi, hal itu akan berpengaruh pada perasaannya terhadap orang tuanya. Ia akan membenci dan sekaligus mencintai mereka pada saat yang sama setelah mengetahui cela dan kesalahan masing-masing. Anak yang demikian ini akan selalu dihinggapi oleh rasa gelisah dan kekhawatiran. Kegelisahannya hari demi hari akan bertambah, dan hal itu berpengaruh buruk pada kehidupan sosialnya dan rumah tangganya di masa mendatang.

Tidak diragukan lagi bahwa peran keluarga berada pada posisi yang paling depan di antara pihak-pihak yang berpengaruh. Di atas pundak kedua orang tua terletak tanggung jawab pendidikan yang benar, meluruskan akidah, dan menanamkan nilai moral dalam benak anak-anak.

Tentu saja di antara tuntutan hal itu adalah lurusnya akidah kedua orang tua dan pelaksanaan mereka akan syiar-syiar agama secara benar, ini adalah poin asasi dan esensial yang harus diingat. Karena orang yang tidak memiliki sesuatu tidak mungkin memberikannya pada orang lain (faaqidus syai’ laa yu’thihi).

(36)

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama. (1969). Al-Qur’andanTerjemahnya, Jakarta: Yayasan penterjemah/ pentafsir Al-Qur’an.

Hasibuan, S.P. Malayu. (1995). Manajemen Sumber Daya Manusia, cetakan II. Jakarta, PT Toko Gunung Agung.

M. Arifin, 2006, Ilmu Pendidikan Islam, Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara.

Zainuddin dkk, (1991),Seluk Beluk Pendidikan dari al-Ghazali, Jakarta: Bumi Aksara.

Zakiah Daradjat, (1976), IlmuJiwaAgama, Jakarta: Bulan Bintang.

Irwan Prayitno, (2004), Anaku Penyejuk Hatiku. Pustak: Pustaka Tarbiatuna

Muhtar Gandaatmaja, (2008), Teori perkembangan anak. Gunung Mulia Jakarta

Sireger, (1999), Islam untuk berbagai aspek kehidupan, Gema Isan Pres

Muhammad Athiyah Al-Abrosyi, (2003) .At-Tib Ar-Rohani

Hasan Basri, (1999). dalam keluarga sakinah

Dr Fakhir Aqil, ‘Ilm Al-Nafs Al-Tarbawi

Referensi

Dokumen terkait

1) Menentukan tujuan, sasaran atau visi misi.. Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman Kota Semarang dalam mengelola ruang terbuka hijau sudah menentukan tujuan,

Siswa melakukan perenungan dengan menjawab pertanyaan yang terdapat dalam buku siswa (3 hal yang mereka pelajari pada hari tersebut, bagian yang sudah mereka pahami dengan

Preparasi yang menghasilkan kadar fosfat terlarut yang tertinggi adalah super fosfat yang di tambah asam organik dan larutan urea lalu dididihkan selama 5 menit.. Kata Kunci:

Tidak hanya gebyok, saya mendapatkan banyak mendengar cerita dari "arga mengenai cerita kali 1engek, maupun cerita tokoh!tokoh yang kini makamnya berada di

Maka permasalahan yang diteliti dibatasi sesuai dengan rumusan masalah yang dibahas yaitu mengenai pelanggaran terhadap asas hukum diplomatik dalam kasus penolakan

Rancang Bangun Sistem Software Pengembangan sistem software untuk pengelolaan data kualitas air limbah domestik dilakukan dengan membuat rancangan user interface pengisian data

Jika bahan diamagnetik diberi medan magnet luar, maka elektron-elektron dalam atom akan mengubah gerakannya sedemikian rupa sehingga menghasilkan resultan medan magnet atomik

Dalam khasanah manajemen sektor publik, Pertanggungjawaban (akuntabilitas) keuangan adalah bagian inheren dari setiap pengelolaan anggaran negara, artinya seluruh