• Tidak ada hasil yang ditemukan

paper lengkap hubungan etnis cina dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "paper lengkap hubungan etnis cina dengan"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

PAPER KELOMPOK SOSIOLOGI RELASI ETNISITAS

HUBUNGAN ETNIS DAN PEMBANGUNAN BANGSA DI ASIA TENGGARA

KASUS ETNIS CINA

DISUSUN OLEH:

ADI NURACHMAN

1206252972

CARMEN PRIYANKA

1006692606

DWI SAPUTRA HARIYADI

1206272766

NUR FADILAH

1206254675

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

PROGRAM SARJANA REGULER

DEPOK

(2)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Terdapat berbagai cerita dan isu yang berkembang mengenai etnis Cina yang berada di Indonesia dimulai sejak jaman penjajahan Belanda hingga saat ini. Banyak relasi yang terjadi sejak kedatangan etnis Cina ke Indonesia untuk melakukan perdagangan hingga munculnya penjajahan oleh Belanda yang membuat posisi etnis Cina secara stratifikasi sosial berada di atas etnis pribumi. Salah satu poin yang telah disepakati oleh pendiri Indonesia ketika mereka memutuskan untuk membangun sebuah negara yang diberi nama Indonesia, adalah fakta bahwa negara terdiri dari berbagai kelompok etnis, masing-masing memiliki beragam kebiasaan, tradisi dan budaya. Politik SARA yang dipraktikkan pada era orde baru menyebabkan masyarakat Indonesia tersegregasi ke dalam kotak-kotak yang dilabeli oleh salah satu unsur dari empat elemen (suku, agama, ras, antargolongan) untuk menjaga keamanan dan keteraturan nasional dan untuk menghindari konflik. Namun, dalam segeregasi ini, etnis Cina dianggap sebagai “others” bukan sebagai “we” oleh masyarakat pribumi.

(3)

BAB II

URAIAN MENGENAI FAKTOR-FAKTOR TERKAIT

2.1.Unity in Diversity: Etnis Cina dan Pembangunan Bangsa

Dimulai dari saat Indonesia merdeka, terdapat diskriminasi yang terlihat jelas kepada etnis Cina yang tinggal di Indonesia. Pada periode sebelumnya dari awal republik, periodisasi sejarah etnis Tionghoa dapat dibagi lagi menjadi rezim Soekarno, rezim Soeharto, diikuti oleh periode berjalan reformasi. Terdapat empat konsep utama yang dapat dilihat dalam pembahasan ini, yaitu unity (kesatuan), diversity (keragaman), nation-building (pembangunan bangsa), dan ethnic Chinese (etnis Cina atau Tionghoa).

Pada masa pembangunan di masa orde baru, konsep kesatuan yang dinyatakan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus ditinjau dalam menghadapi gejolak konflik bersenjata separatis, dan konflik antar etnis dan antar agama yang telah mengoyak struktur masyarakat, sejak sepuluh tahun terakhir pemerintahan Soeharto dan semakin cepat setelah kejatuhannya sebagai presiden. Masih kurangnya otonomi daerah dan implementasi untuk mengelola masing-masingg daerah membuat nada-nada skeptis dari rakyat muncul.

Keragaman adalah sebuah konsep yang dimasukkan dalam moto Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika atau persatuan dalam keberagaman. Keragaman ini dinyatakan dalam sifat majemuk masyarakat Indonesia yang mempunyai sekitar 300 kelompok etnis yang dianggap "pribumi". Ada juga empat kelompok etnis keturunan asing, yang terdiri dari orang-orang Cina, Belanda, Arab, dan asal India. Lima agama dunia (Islam, Protestan, Katolik, Budha, Hindu) yang diwakili. Selain itu, ada sekitar empat ratus sistem kepercayaan adat, biasanya disebut sebagai Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Ketuhanan Tuhan Yang Maha Esa). Ada tiga variasi dari sistem kekerabatan (matrilineal, patrilineal, parental); Dua jenis sistem perkawinan: monogami dan poligami bagi mereka yang beragama (dalam hal ini, Islam) menyediakan untuk ini. (Tan, 2004: 21)

Pada saat yang sama masyarakat Indonesia memiliki karakteristik "dualistik". Mayoritas dari penduduk adalah orang yang berbasis pedesaan (rural-based), sementara minoritas berada di wilayah perkotaan. Hal tersebut telah mengakibatkan situasi dikotomi yang ditandai dengan ketidaksetaraan atau hubungan asimetris yang mempunyai potensi untuk meledak dan hubungan yang dianggap penuh dengan ketidakadilan.

Dari hal tersebut muncul pemikiran Soekarno mengenai konsep bangsa dan pembangunan bangsa yang secara komprehensif dijelaskan sebagai “Lahirnya Pantja Sila” pada tanggal 1 Juni 1945. Ketika memberi penjelasan pada Pancasila, ia mengatakan lima prinsip dapat dikompresi menjadi satu istilah yang benar-benar Indonesia yaitu gotong royong atau saling kerjasama. Selain itu, dilihat pula partisipasi dan keterwakilan etnis Cina dalam proses pembangunan bangsa Indonesia. Selain Pancasila yang digagaskan oleh Soekarno, terdapat pula semangat pergerakan kebangsaan dari para kaum intelektual muda Indonesia pada tanggal 28 October 1982, yaitu Sumpah Pemuda.

(4)

Salah satu aspek penting dari aspek partisipasi dan representasi dari etnis Cina adalah selama awal pembentukan Republik, sebagai anggota Badan Penyidik Usaha Persiapan Kemerdekaan atau BPUPK. Salah satu orang keturunan Tionghoa yang ikut dalam BPUPK adalah Liem Koen Hian. Dia adalah seorang jurnalis, yang menjadi erat terkait dengan nasionalis Indonesia seperti Dr Tjipto Mangunkusumo. Bersama dengan sejumlah peranakan Cina lainnya ia mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada bulan September tahun 1932, yang merupakan nasionalisme pro-Indonesia. Leo Suryadinata telah mengamati: "Liem Koen Hian adalah seorang peranakan yang tinggal di Indonesia dalam waktu transisi. Dia sedang mencari identitasnya dan hampir menemukannya, tapi pada akhirnya ia gagal "(Suryadinata 1995, hlm. 110).

Kisah Liem Koen Hian dan daftar anggota BPUPK indikasi bahwa dalam masa kolonial dan pada periode pra-kemerdekaan ada etnis Tionghoa yang berpartisipasi aktif dalam perjuangan nasionalisme dan kemerdekaan. Semangat inklusif yang ditunjukkan pada awal Republik berlanjut selama periode dua puluh Presiden Soekarno, yang memiliki tujuh menteri etnis Tionghoa di berbagai cabinet nya.

Terlihat jelas bahwa terdapat etnis Cina yang aktif dalam politik selama pemerintahan Soekarno. Tidak diragukan lagi, yang paling aktif, paling terlihat, dalam politik Indonesia mainstream, dan yang berlangsung sepanjang rezim Soekarno adalah Siauw Giok Tjhan. Ia umumnya dikenal sebagai "Bung Siauw" atau "Cak Siauw". Dia didukung sejak awal karir politiknya yang diungkapkan dalam gagasan bahwa etnis Tionghoa sebagai kelompok harus dianggap sebagai salah satu dari banyak kelompok etnis di masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, etnis Tionghoa sebagai suku Tionghoa harus dapat terus memelihara dan mengekspresikan warisan budaya, dan tradisi Cina mereka. Dengan demikian mereka akan menjadi bagian integral dari bangsa Indonesia dan istilah yang digunakan untuk proses ini adalah integrasi. Dia secara jelas mengutarakan pandangannya tentang sosialisme dan percaya bahwa hanya sosialis yang akan membuat "masalah Cina" di Indonesia dapat diselesaikan.

Sebuah upaya yang lebih terorganisir untuk melawan ide-ide dan kegiatan Siauw Giok Tjhan dan Baperki datang sekitar lima tahun setelah pemilu September 1955. Ini berasal dari sekelompok sepuluh intelektual China peranakan, yang termasuk di dalamnya Injo Beng dan Auwjang Peng Koen. Kelompok ini mendukung asimilasi sukarela, dan menolak semua tindakan koersif untuk mencapai tujuan ini. Pernyataan ini juga menolak konsep "integrasi" Siauw Giok Tjhan.

Pada bulan Januari 1961, sebuah seminar tentang tema Kesadaran Nasional diselenggarakan di Bandungan (Ambarawa). Pada akhir seminar yang diadakan tanggal 15 Januari tersebut, sebuah pernyataan disebut sebagai piagam asimilasi terbentuk dengan tiga puluh penandatangan. Kelompok ini yakin bahwa satu-satunya cara untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur adalah melalui proses asimilasi. Dalam kaitannya dengan etnis Cina atau Warganegara Indonesia Keturunan Tionghoa . . . "Asimilasi berarti bagi orang-orang asal Cina untuk bergabung dan diterima dalam bangsa Indonesia, dengan cara demikian pada akhirnya kelompok yang awalnya berbeda, menjadi tidak ada lagi" (hal. 143).

(5)

dengan politik. Hal tersebut dilakukan karena hukum dan peraturan yang diskriminatif dan represif terhadap etnis Cina, dan yang secara jelas merupakan penyalahgunaan hak-hak sipil dan budaya mereka.

2.2. Kelanjutan Etnis Cina di Indonesia

Terdapat berbagai pertanyaan apakah banyak etnis Cina di Indonesia, hal ini dikarenakan jumlah sensus di jaman Kemerdekaan tahun 1961, dimana penekanan jumlah kelompok etnis ditekan karena alasan politik.Melihat dari hal ini peneliti mempelajari kelompok etnis tersebut menggunakan Volkstelling (sensus) dari 1930 yang dilakukan oleh pemerintah colonial yang mempunyai informasi dari berbagai jumlah kelompok etnis termasuk etnis Cina sendiri.Di dalam sensus pada tahun 2000 terdapat pertanyaan mengenai etnisitas,didalam Leo Suryadinata seorang tokoh ekonomi dan demografi di Universitas Indonesia memberikan informasi ditaraf tingkat provinsi mengenai sensus itu sendiri ternyata jumlah etnis Cina sedikit daripada yang dinyatakan sebelumnya.Hal ini dikarenakan identifikasi social dimana kelompok etnis Cina tersebut tidak mengindikasikan diri mereka sebagai etnis Cina maupun keturunan Cina.Namun hal ini menjadi informasi yang sangat berguna untuk informasi umum serta untuk pemilihan presiden di tahun 2004.

Akan tetapi terdapat hal yang di perhatikan oleh kelompok etnis Cina dimana kejadian tragedi May 1998 membuat kelompok tersebut tidak dapat berpartisipasi dalam kegiatan politik.Setelah paska Soeharto,kelompok etnis Cina mulai ikut berespon serta berpartisipasi dalam berbagai bentuk seperti saat di era Soekarno. Walau etnis Cina tidak berpatisipasi dalam aktivitas organisasi namun mereka tetap focus pada bisnis mereka.Hal lain yang berbeda adalah munculnya kelompok aktivis di etnis Cina ini karena dimasa lalu mereka dimanfaatkan sebagai kambing hitam dan sekarang kelompok aktivis tersebut mulai masuk ke dalam partai politik untuk tujuannya melindungi kelompok etnis mereka serta mempertahankan kepentingan mereka.

Ide tersebut disadari pertama oleh kelompok etnis Cina yang muda yakni Lieus Sungkharisma,anggota dari Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) yang merepresentasikan pemuda Buddha,ia juga yang membuat Partai Reformasi Tionghoa(PARTI),dimana partai tersebut tidak berhasil dalam memasuki kategori partai besar didalam pemilihan 1999 karena tidak yakin bahwa partainya masuk ke dalam kategori legitimasi serta sedikitnya vote kepada partai mereka.Berikutnya terdapat Partai Bhineka Tunggal Ika yang dimulai oleh etnis Cina yang dipimpin oleh Nurdin Purnomo.Partai ini tidak memiliki kepemimpinan etnis Cina namun sukses didalam penerimaan kontestan dalam pemilu 1999.

(6)

tersebut,beliau hanya mengintervensi dalam Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia(SBKRI) namun hal ini juga untuk Hendrawan(pemain badminton yang ingin mengikuti Turnamen Thomas Cup).Beliau juga tidak mempertahankan hal tersebut,yang sebelumnya telah dilakukan dijaman Soeharto (1996) dan Habibie (1999).Sekarang masih terdapat banyak kasus dimana etnis Cina harus membuat SBKRI dan dokumen lainnya untuk digunakan maupun diperbaharui dibawah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Para aktivis ini tidak ingin membentuk partai politik yang lebih memilih menjadi kelompok penekan dengan panggilan “Forum”.Terdapat berbagai contoh kelompok tersebut yaitu Forum Masyarakat untuk Solidaritas dan Demokrasi(FORMASI) yang mempunyai dua kelompok,yang satu adalah kelompok yang ingin membentuk partai politik mengatasnamakan identitas Cina didalam partainya yang ingin melindungi hak serta kepentingan etnis Cina dan kelompok lainnya adalah kelompok penekan yang memiliki tujuan untuk memperoleh keuntungan untuk seluruh kelompok termasuk etnis Cina.Namun forum tersebut tidak berhasil dan menghilang.

Berikutnya terdapat Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa (FKKB) cabang dari Bakom PKB yang dibentuk pada 26 Agustus 1998 dimana terdapat kelompok asimilasi yang diketuai oleh K.Sindhunata lalu digantikan pada tahun 1995 oleh Yuwono Sudarsono.Anggota lainnya adalah etnis India,Jawa,Minangkabau dan sisanya dua etnis Cina seorang pengacara dan pengusaha besar.Mantan anggota dewan dari forum tersebut kebanyakan etnis Cina yaitu dua sarjana ilmu politik dari CSIS,dua pengusaha besar etnis Cina dan dua pengusaha besar etnis Indonesia.Forum ini menyatakan bahwa mereka bukan lagi dibawah pengawasan Kementrian Dalam Negeri begitu pula dengan Bakom PKB.Perhatian forum ini tertuju pada promosi pembangunan bangsa menggunakan mekanisme advokasi kepada para pemimpin negara dan kegiatan pada tingkat wacana melalui dialok umum dan seminar yang melibatkan berbagai macam orang.

Terdapat tiga organisasi yang berfungsi sebagai kelompok penekan yaitu

a. Perhimpunan Indonesia Keturunan Tionghoa atau INTI (Indonesia Tionghoa),ketua umumnya yaitu Drs Eddy Lembong.INTI ini menandatangani persetujuan untuk bekerjasama dengan Universitas Islam Nasional Syarif Hidayatulah atau yang dikenal dengan Institut Agama Islam Nasional(IAIN).Dimana pemimpin dari INTI ini kebanyakan beretnis Cina.

b. Solidaritas Nusa Bangsa (SNB) yang dibentuk oleh Ester Jusuf Indahyani seorang pengacara beretnis Cina.Dimana beliau dan kelompoknya berjuang untuk menghapuskan berbagai bentuk diskriminasi.Pada peringatan kedua dari organisasi ini,mereka menerbitkan buku “Dua Tahun Solidaritas Nusa Bangsa” yang isinya berupa urutan dari hukum dan regulasi yang mendiskriminasi etnis Cina dan mempengaruhi dari sudut kewarganegaraan,aspek social budaya dan agama dari jaman colonial sampai 1988.Fokus dari aktivitas mereka adalah menghapuskan diskriminasi dan ketidakadilan

(7)

Selanjutnya terdapat kelompok lain yang dinamakan “Paguyuban” yaitu kelompok organisasi yang dibentuk oleh berbagai orang yang membutuhkan dukungan dari kelompok,seperti asosiasi yang mempunyai pemikiran yang sama,yang berbagi perasaan ketidakpastian dan kegelisahan mereka selama priode panjang mengalami situasi susah dan mereka yang siap membantu satu sama lain ketika dibutuhkan.Contohnya Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia(PSMTI) yang telah teregistrasi sebagai organisasi didalam Kementrian Dalam Negerian pada September 1993.Ketuanya adalah Brigjen TNI Tedy Jusuf yang hanya diketahui umumnya adalah jendral berbintang satu yang beretniskan Cina. Terakhir adalah individu yang memutuskan sendiri bagaimana Etnis Cina berpartisipasi dalam politik dan dapat masuk ke dalam tiga partai politik besar seperti Golkar,PDI,PPP atau bergabung dengan partai baru.

2.3. Hubungan Pribumi dan Non-Pribumi di Era Reformasi melalui Perspektif Pribumi 2.3.1. Faktor penyebab Etnis Cina menjadi target korban kerusuhan Mei 1998

Politik SARA yang dipraktikkan pada era orde baru menyebabkan masyarakat Indonesia tersegregasi ke dalam kotak-kotak yang dilabeli oleh salah satu unsur dari empat elemen (suku, agama, ras, antargolongan) untuk menjaga keamanan dan keteraturan nasional dan untuk menghindari konflik. Namun, dalam segeregasi ini, etnis Cina dianggap sebagai “others” bukan sebagai “we” oleh masyarakat pribumi. Politik SARA bisa dibilang sukses pada dua puluh tahun pemerintahan presiden Soeharto, namun sepuluh tahun terakhir pemerintahan Soeharto, politik SARA malah menjadi ancaman atau pemincu konflik SARA karena adanya kesenjangan sosial yang membuat masyarakat pribumi termarginalisasi.

Etnis Cina dilihat pribumi terlalu dekat dan terkait dengan pihak yang berkuasa (yang memiliki otoritas), orang-orang kaya atau konglomerat dan kelompok yang menikmati kemakmuran yang lebih dibanding kelompok lainnya. Hal ini menjadi alasan mengapa etnis Cina dianggap sebagai others oleh pribumi. Imam Syafii, seorang reporter Jawa Pos dalam mengomentari mengapa etnis Cina selalu menjadi target kemarahan massa, ia menulis artikel di mana di artikelnya ia meenyampaikan bahwa “dosa” etnis Cina yang memicu tindakan brutal dan kejam masyarakat pribumi kepada mereka.

Pertama, ia mengindikasi terdapat hubungan sekunder yang tidak harmonis antara etnis Cina dengan lingkungannya yang lebih luas terutama oleh masyarakat pribumi. Fenomena ini muncul karena kesuksesan etnis Cina dalam mendominasi sektor ekonomi karena sosialisasi lingkungan dan budayanya yang membuat etnis Cina lebih tertarik dan ahli dalam sektor ekonomi atau perdagangan. Kedua, Syafii juga melihat ada perasaan buruk pada etnis Cina karena kecendrungan mereka untuk hidup secara eksklusif baik dari lokasi tempat tinggalnya maupun dari sosialisasi atau lingkaran pergaulannya. Lebih jauh lagi, kedekatan etnis Cina pada konglomerat dan pihak yang berkuasa meningkatkat kecurigaan masyarakat pribumi terhadap etnis Cina.

(8)

Selain itu, Anita Lie juga menanggapi pernyataan Syafii mengenai tempat tinggal eksklusif warga etnis Cina, ia mengatakan bahwa reporter tidak jeli dalam mengamati karena tempat tinggal etnis Cina yang eksklusif bukan berdasarkan kecendrungan kesamaan etnis, namun kesaaan kelas karena pada kenyataannya hanya sedikit warga etnis Cina yang hidup di kawasan tempat tinggal eksklusif tersebut. Kesalahan lain dari warga etnis Cina adalah keengganan mereka dalam menolak tuduhan yang menyatakan mereka identik atau sama dengan Eddy Tansil dan Hartono, dan bahwa mereka juga sebenarnya marah dan menentang perbuatan konglomerat Cina yang terlibat dalam korupsi dan kolusi dengan beberapa anggota birokrasi pemerintahan.

2.3.2. Persepsi Pribumi mengenai tragedi Mei 1998

Serangkaian kejadian yang terjadi pada 13 dan 14 Mei menjadi awal mula jatuhnya Soeharto dan pemerintahan orde barunya merupakan tragedi nasional yang mana etnis Cina terutama kaum wanitanya menjadi korban utama dalam peristiwa ini. Peristiwa ini menjadi guncangan besar bagi bangsa yang menjadikan Bhinneka Tunggal Ika sebagai slogan nasional. Peristiwa ini kemudian dianalisis oleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk oleh pemerintah setelah insiden terjadi. TGPF pun melihat terdapat pola yang sama dalam kericuhan-kericuhan yang terjadi. Kemudian analisis kejadian ini pun dibagi menjadi dua bagian yanitu analisis pada level makro dan level mikro.

Pada level makro, kejadian ini tidak dapat dipisahkan dari konteks dinamika sosial dan politik Indonesia saat itu. Pada level ini ditandai dengan serangkaian peristiwa seperti pemilu tahun 1997, krisis ekonomi, pertemuan MPR/DPR 1998, demonstrasi mahasiswa, dan penculikan aktivis-aktivis mahasiswa. Dari serangkaian kejadian yang menimpa bangsa Indonesia saat itu, krisis ekonomi yang melanda Indonesia menjadi peristiwa yang mendorong kerusuhan dan kekerasan massa yang berlebihan karena krisis ekonomi semakin memperluas jarak antara masyarakat yang kaya dengan yang miskin dan memperkuat persepsi ketidakadilan di masyarakat.

Hal ini pun menghasilkan terlepasnya hubungan sosial yang semakin meluas dan mengakibatkan munculnya konflik horizontal dan konflik vertikal. Selain serangkaian perisstiwaa ynag mempengaruhi kerusuhan Mei 1998 pada level makro di atas, kelompok Muslim radikal yang termarginalisasi selama pemerintahan orde baru juga turut andil dalam memanipulasi emosi pengikutnya untuk membuat mereka merasa bahwa mereka juga didiskriminasi dan perlu mengambil langkah untuk melindungi diri mereka. Menurut laporan TGPF pun menunjukkan bahwa kemarahan yang ditujukan pada warga etnis Cina karena prasangka rasial terhadap etnis Cina di masyarakat. Laporan TGPF yang menyatakan terdapat pola yang sama baik dari perencanaan sampai eksekusi kerusuhan yang terjadi di beberapa kota khususnya di Jakarta hati-hati menyimpulkan bahwa ada konspirasi nasional yang telah direncanakan dengan baik.

(9)

gangguan dalam komunikasi, tetapi mereka tidak secara alami mendorong kemarahan etnis. Hubungan antar etnis hanya akan mengubah ke permusuhan dan kekerasan apabila perbedaan-perbedaan tersebut berdampingan dengan dominasi salah satu kelompok etnis terhadap kelompok etnis lainnya yang mana tidak disebabkan oleh beberapa konsekuensi alami tetapi lebih karena kebijakan pemerintah.

2.3.3. Perubahan sikap masyarakat Pribumi terhadap etnis dan kebudayaan Cina

Setelah masa orde baru berakhir, terdapat beberapa perubahan termasuk perubahan pada hubungan etnis di Indonesia. Tetapi perubahan ini memiliki bisa menghasilkan dua kecendrungan, pertama kecendrungan untuk menghasilkan sikap toleransi terhadap perbedaan-perbedaan (khususnya dalam etnis), dan disisi lain adanya kecendrungan untuk menghasilkan sikap ketidaktoleranan terhadap perbedaan-perbedaan yang ada. Selepas pemerintahan orde baru runtuh, presiden B.J. Habibie pun menurunkan instruksi presiden untuk tidak lagi menggunakan istilah pribumi dan non-pribumi di seluruh kebijakan pemerintah dan implementasinya.

Selanjutnya presiden Abdurrahman Wahid juga mencabut Instruksi Iresiden No.14 tahun 1967 mengenai pelarangan praktik ritual, kepercayaan, tradisi dan adat untuk etnis Cina. Saat ini sebagian besar masyarakat Indonesia pun lebih menunjukkan sikap toleransi yang lebih tinggi kepada warga etnis Cina dan kebudayaannya dan Indonesia mulai memasuki paham multikulturalisme. Namun pada kenyataannya paham multikulturalisme yang dianggap telah dianut atau dipraktikkan oleh masyarakat Indonesia masih bersifat dangkal dan memperdayakan. Karena pada dasarnya Indonesia masih pada masa transisi dan jalan menuju demokrasi, multikulturalisme, dan pluralisme yang harus dilalui masih panjang.

Hal ini dibuktikan pada konflik-konflik yang terjadi setelah orde baru runtuh di beberapa daerah di Indonesia yang masih didasarkan pada SARA. Meskipun pada dasarnya konflik-konflik tersebut berasal dari masalah-masalah kecil atau sepele, masalah ini didukung dengan prasangka yang dimiliki antar individu yang bertikai sehingga konflik ini berujung pada konflik kelompok. Konflik-konflik ini masih menjadi ancaman bagi masyarakat Indonesia karena sewaktu-waktu konflik ini bisa muncul kembali karena masih adanya sifat etnosentrisme, tindakan streotip dan menggeneralisasi, kemiskinan, kecemburuan sosial, dan kepercayaan negatif lainnya.

2.4. Nasionalisme, Membangun Bangsa dan Identitas Cina

(10)

Merdeka) dan Pembebasan Papua – telah berkembang menjadi gerakan separatis yang kuat. Pergerakan tersebut terutama disebabkan oleh peran kuat dan pengaruh negara dan pemerintah pusat yang didominasi oleh sebagian besar kelompok etnis yang cenderung mengabaikan aspirasi regional dan kelompok minoritas lainnya.

Secara historis dapat dikatakan bahwa minoritas yang tidak puas dengan pemerintah pusat yang dipandang sebagai perpanjangan dari pemerintah kolonial Belanda. Hal ini terbukti dalam, misalnya, sistem hukum. Sistem hukum dan buku-buku hukum (baik perdata dan pidana) yang digunakan di negara ini diwariskan dari Belanda. Hal yang sama berlaku dari sistem kewarganegaraan. Pemerintah kolonial membagi masyarakat menjadi tiga kelas: a.European b. orang Timur Asing, dan c.pribumi, masing-masing dengan hak-hak yang berbeda dan dengan praktek-praktek diskriminatif terhadap dua kategori dibawah. Ketika bangsa-negara dibentuk dan Eropa yang dibuang, klasifikasi warga berkelanjutan, dengan perlakuan yang diskriminatif terhadap etnis Cina, yang sebelumnya dimasukkan ke dalam kategori kedua

Faktor lainnya adalah nasionalisme dan demokrasi. Tidak dapat disangkal bahwa pembentukan Republik Indonesia adalah puncak dari perjuangan nasionalis kemerdekaan yang dimulai pada tahun 1920-an. Di samping ini, Konstitusi sementara yang diterapkan selama periode liberal (hingga pertengahan 1950-an) dan kembali ke UUD 1945 yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1957 dan pembentukan dewan perwakilan untuk setiap daerah dan pusat, membuktikan bahwa apa pun yang dipraktekkan, Indonesia pada dasarnya demokrasi. Namun, menurut Horowitz, nasionalisme dan masyarakat yang dipisahkan oleh unsur etnis karakteristik negara-negara berkembang dan sayangnya, di negara-negara tersebut, termasuk Indonesia, nasionalisme tidak kompatibel dengan demokrasi. Hal ini karena dalam masyarakat yang pluralistik identitas etnis menyediakan satu pembedaan yang jelas untuk memutuskan siapa yang dapat berpartisipasi dan yang tidak dapat berpartisipasi dalam politik (Horowitz 1998, p.430). Dia lebih lanjut menyatakan bahwa dalam hubungan etnis, faktor sejarah sering mendorong pembentukan sebuah konsep masyarakat yang eksklusif. Misalnya, otoritas atau sebagian besar sering menentukan siapa yang menjadi otoritas di daerah tertentu. Jawabannya biasanya akan keprihatinan ras atau kelompok etnis yang dianggap berada di sana pertama. Mereka yang menganggap leluhur mereka untuk menjadi yang pertama untuk tiba di suatu tempat biasanya mengklaim hak-hak politik yang lebih besar dan kekuasaan atau bahkan mengambil orang lain oleh kekuatan (ibid., ms.).

Perlakuan terhadap minoritas Tionghoa Indonesia mengikuti pola-pola yang digambarkan oleh Horowitz. Cina, menjadi non-pribumi, diskriminasi oleh pribumi dalam jangka kewarganegaraan dan proses untuk memperoleh kewarganegaraan. Dalam kasus ekstrim, ketidakcocokan antara nasionalisme dan demokrasi akan menimbulkan kasus etnosentris dan nasionalisme yang sempit, yang, misalnya, terjadi di Yugoslavia dan munculnya pemimpin ultra-nationalistik seperti Slobodoan Milosevitch dengan program pembersihan etnis nya. Tragedi Mei 1998 belum mencapai titik ekstrem seperti itu karena hampir semua orang mengutuk kekejaman dan menurut banyak laporan, banyak korban atau mungkin korban diselamatkan oleh pri maupun non-pribumi.

(11)

Indonesia. Kecenderungan ini pada dasarnya memiliki konsep-konsep pluralistik marginal, akhirnya menimbulkan diskriminatif minoritas, khususnya Tionghoa di Indonesia (Hikam, 1998, p.1). Tekanan pada etnis Cina mengubah nama – meskipun ini tidak wajib – kewajiban mereka untuk menunjukkan SBKRI (Surat bukti kewarganegaraan Indonesia untuk semua hal yang berhubungan dengan birokrasi dan simbol khusus pada kartu identitas, adalah contoh praktik kebijakan pemerintah ini. Beberapa tokoh terkemuka dari etnis Tionghoa di Indonesia, misalnya, dianggap sebagai perjanjian kewarganegaraan Indonesia-Cina tahun 1950-an sebagai sebuah kesalahan yang dibuat oleh kedua negara. Karena Perjanjian ini, Tionghoa di Indonesia dipaksa untuk secara aktif memilih untuk mempertahankan kewarganegaraan Cina mereka atau untuk menjadi warga negara Indonesia. Jika perjanjian ini tidak telah dibuat, sesuai dengan hukum Belanda yang diadopsi oleh pemerintah pasca kolonial, etnis Cina akan secara otomatis menerima kewarganegaraan Indonesia.

Hal paling aneh terjadi pada tahun 2002 di sebuah insiden di Garut, ibukota dari salah satu Kabupaten di Jawa Barat. Pada 30 Juni dan 1 Juli 2002, situasi di Garut, sebuah kota yang biasanya damai, tiba-tiba menjadi tegang karena masalah isu anti-kekerasan Cina akan meletus. Untungnya, berita itu hanya desas-desus tidak berdasar. Namun ternyata bahwa sumber desas-desus ini adalah sebenarnya pemerintah daerah itu sendiri, yang seharusnya bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban atau wilayahnya. Ini dipicu oleh kasus yang melibatkan pengusaha kecil bernama Acun Somabrata (Sie Anda Le), 62 tahun, yang membiayai hidupnyadengan penjualan obat di toko kecil. Ternyata bahwa di balik toko obat, ia menawarkan layanan perbankan ilegal. Ia menerima deposito bulanan dengan tingkat bunga bulanan 10 persen. Tentu ini sangat menarik karenabunga bank tabungan hanya ditawarkan 13 persen dalam bunga per tahun. Akhirnya Acun terjebak ke dalam utang 4,2 milyar Rupiah yang tidak bisa dia bayar. 200 kliennya , yang terdiri dari manusia di jalan, pegawai negeri sipil, dan prajurit yang takut bahwa mereka tidak akan mendapatkan uang mereka kembali sehingga mereka melaporkan kasus ini ke polisi. Berita ini, yang segera menyebar ke seluruh kota, membuat kliennya yang lain merasa gelisah, akhirnya berubah menjadi rumor kemungkinan kerusuhan seperti di tragedi Mei. Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) terdiri dari birokrat kota, polisi, militer, dan penuntut umum memperburuk situasi itu ketika mendistribusikan undangan untuk berbagai lingkaran etnis Cina. Undangan memberikan tekanan pada etnis Cina untuk memberikan kontribusi untuk membayar hutang Acun atau akan ada kerusuhan anti-Cina. Sekitar 400 etnis Cina menerima undangan Muspida dan dalam pertemuan Bupati Garut, Dede Satibi, meminta mereka untuk membantu Acun untuk membersihkan utang atau kerusuhan akan terjadi di kota.

Permintaan Bupati mendapatkan perlawanan dari orang-orang yang menghadiri pertemuan. Pada akhirnya, para peserta pada pertemuan menuntut bahwa kasus dibawa ke pengadilan dan keluarga Acun yang bertanggung jawab atas hutangnya. Bagaimanapun, Bupati terus menarik bagi etnis Cina untuk mengambil tanggung jawab untuk utang Acun (Suara Pembaruan, 31 Juli 2002). Kasus ini tidak terdengar. Mungkin karena para birokrat di Garut yang malu oleh liputan media nasional yang tertarik oleh kasus ini, ilustrasi ini menunjukkan kekuatan dari otoritas dan kenyataan bahwa masih ada orang yang menggeneralisasi etnis Cinake dalam satu kategori.

(12)

orang-orang. Kedua, fakta bahwa minoritas sebesar 4 persen mendominasi 60 persen dari ekonomi. Ketiga, pemerintah sebagai pengelola urusan ekonomi telah menempatkan terlalu banyak penekanan pada pengembangan, mengabaikan kesetaraan. Semua ini telah membuka peluang besar untuk korupsi dan kolusi yang pada gilirannya telah menyebabkan konflik etnis dan tindakan kekerasan (1998 berkata, p.60). Masih ada perdebatan tentang Apakah etnis Cina mendominasi 60 persen dari asset-aset nasional. Namun, ia berpendapat bahwa kekerasan yang ditujukan untuk etnis Cina disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi. Maharani menggarisbawahi pentingnya pendidikan untuk mempersiapkan generasi muda untuk menerima etnis dan budaya heterogenitas (Maharani, 1999).

Pendidikan kewarganegaraan, yang mengajarkan para pemuda untuk menerima heterogenitas dalam etnis dan budaya, untuk menerima kenyataan bahwa menjadi berbeda adalah tidak dosa, untuk menerima prinsip pluralisme dan bahwa perbedaan berkembang menjadi antagonis, tentu saja, ideal. Sayangnya, kita harus menunggu waktu yang sangat lama untuk melihat perubahan dari pendidikan ini di generasi berikutnya. Namun ini tidak berarti bahwa program harus ditunda. Dalam hal pemuda Indonesia, ada harapan bahwa mereka akan menerima pluralisme.

2.5. Hambatan bagi Pribumi dan Non Pribumi dalam Keramahan Hubungan

Hubungan antara pribumi dan non-pribumi di pasca Orde Baru di Indonesia meningkatkan kedua belah pihak telah datang untuk beberapa tingkat pemahaman, terutama dalam hal toleransi terhadap perbedaan. Tapi ini masih pada tahap awal dalam pengembangan dan hubungan baik mungkin masih dangkal. Meskipun lingkungan kondusif, periode Transisi ini rapuh dan dapat dengan mudah kambuh, mungkin karena akibat dari situasi rezim Orde Baru. Hambatan untuk pengembangan hubungan baik, hampir semua penulis disebut dalam bab ini menunjuk ke faktor ekonomi (terlepas dari faktor-faktor lain) sebagai penyebab utama dari permusuhan terhadap etnis Cina. Hal ini dinyatakan sebelumnya dalam bab ini bahwa kekerasan terhadap etnis Cina adalah bom waktu yang dapat meledak sewaktu-waktu bahkan ketika dipicu oleh faktor-faktor non-rasial.

Sebagai kesimpulan, beberapa hal yang dapat menghalangi pembentukan baik hubungan antar etnis dan intra etnis, terutama antara pribumi dan non-pribumi (dalam hal ini, Tionghoa di Indonesia). Pertama, faktor yang paling dominan dalam pendapat saya adalah krisis ekonomi yang tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Negara-negara Asia lainnya yang telah dipukul oleh krisis ekonomi tapi telah bangkit kembali pada kaki mereka sendiri. Sebaliknya, Indonesia masih belum pulih. Hal ini terutama karena elit Indonesia telah sibuk berkelahi satu sama lain daripada bekerja untuk membangun ekonomi dan melihat ke dalam bagaimana meningkatkan kesejahteraan rakyat. Mereka tidak dengan fokus dengan cara meningkatkan ekonomi namun fokus merancang strategi untuk memungkinkan mereka untuk memenangkan pemilihan umum mendatang yang dijadwalkan akan berlangsung pada tahun 2004.

(13)

jika kerusuhan terjadi lagi di Jakarta, target tidak hanya orang-orang Cina tetapi semua orang yang mengendarai mobil. Beberapa pihak yang mencari kesempatan untuk memicu kerusuhan rasial bisa mendesak massa untuk menyerang pengemudi mobil dengan cara ini. Hal ini bisa terjadi karena dalam pikiran orang-orang, orang Cina identik dengan yang kaya.

(14)

BAB III PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Terlepas dari kenyataan bahwa banyak pemimpin pribumi telah merubah sikap mereka terhadap Tionghoa Indonesia dan budaya Cina sejak tragedi Mei. Kebencian terhadap Cina masih tetap ada. Multikulturalisme disebut yang disebut oleh banyak pemimpin pribumi adalah terbatas dan dangkal. Hal ini tidak lebih dari toleransi dan persamaan dari budaya Cina dengan budaya asli. Orang pribumi Indonesia masih berprinsip bahwa merekalah penduduk asli dan etnis Cina dianggap orang asing yang diharapkan untuk menyesuaikan diri dengan bangsa Indonesia dan nasionalisme. Persepsi bahwa Tionghoa Indonesia terus memiliki status unggul ekonomi juga menimbulkan kebencian antara pribumi. Karena tidak ada penerimaan penuh Tionghoa di Indonesia sebagai asli Indonesia, posisi mereka di Indonesia masih berbahaya. Ini disertai dengan belum selesai proses reformasi - belum terselesaikan masalah sosial, politik, dan masalah-masalah ekonomi. Jika ada pergolakan politik atau ekonomi lain,kejadian yang tidak diinginkan mungkin saja dapat terjadi lagi.

Posisi dari Etnis Cina tetap lemah selama situasi ekonomi tidak stabil, situasi politik yang tidak stabil serta situasi sosial dan kehidupan sehari-hari yang membuat tekanan stress.Walaupun sekarang Etnis Cina sudah dibiarkan mandiri oleh negara dan pemerintah karena situasi umum dimana masih terdapat konflik etnis dan agama antar kelompok etnis pribumi,masih adanya perselisihan abadi diantara berbagai organisasi Islam dan kelanjutan kekerasan diberbagai area seperti Aceh dan Papua.Dimana Etnis Cina harus merefleksikan bagaimana mengembangkan penampilan kelompok mereka di Etnis Indonesia dan Etnis lainnya. Dimana kedepannya pasti akan tetap terdapat kendala dan hambatan namun setiap kelompok didalam masyarakat harus membuat usaha untuk membuat kapasitas bernegosiasi dijalan ini dengan terampil dan dengan cara damai.

REFERENSI

Suryadinata, Leo. 2004. Ethnic Relations and Nation-Building in Southeast Asia: The Case of the Ethnic Chinese. Singapore. ISEAS / NIAS Press. Chapter 2: Unity in Diversity: Ethnic Chinese and Nation-Building in Indonesia. Tan, Mely G..

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan persamaan di atas menunjukkan koefisien regresi dari variabel Persepsi Kualitas (PK), dan Kepuasan Pelanggan (KP) menunjukkan nilai yang positif yang

Apakah Anda memerlukan balikan berupa contoh silabus dan RPP IPA (beserta segala kelengkapannya)? Suplemen Unit 4 ini dirancang untuk menyediakan contoh silabus

prikazuje koeficijente obrtaja ukupne imovine za trideset poduzeća iz djelatnosti proizvodnje kruha, proizvodnje svjeţih peciva, slastičarskih proizvoda i kolača.

melakukan ekspansi usaha melalui skema kredit. Dampak

Kebijakan otonomi daerah yang berimplikasi pada munculnya konsep desentralisasi di bidang pendidikan sejak beberapa tahun terakhir semakin memberikan legitimasi kuat

(1) Subbagrenmin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 huruf a bertugas menyusun perencanaan program kerja dan anggaran, manajemen Sarpras, personel, dan kinerja,

Dengan demikian, penelitian tindakan kelas ini menunjukkan bahwa menerapkan model cooperative learning tipe talking stick dapat meningkatkan keaktifan dan hasil

Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Kualitas Fisik Urea Molases