• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengajaran Bahasa Asing UNY 2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengajaran Bahasa Asing UNY 2"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Pengajaran Bahasa Asing

Peng-’indo”-an atau Pencerahan Bangsa?

Manneke Budiman Universitas Indonesia

Pendahuluan

To trouble oneself with the task of dealing with something that has been adequately dealt with before is superfluous, a result of ignorance, or a sign of evil intent.

Abu Bakar Muhammad Ibn Bajjah, Tadbir al-mutawahhid

Mempersoalkan dampak bahasa asing pada identitas kultural suatu kelompok manusia pada masa seperti sekarang ini bisa dilihat sebagai suatu tindakan kesiangan, sebagai pseudo-problem, dan bahkan sebagai ilusi neurotik untuk kembali ke keadaan masa lampau yang hanya ada dalam imajinasi. Hal ini menjadi lebih gamblang, khususnya ketika bahasa asing yang dipersoalkan adalah bahasa Inggris, yang de facto telah menjadi lingua franca komunitas internasional. Masihkah ada gunanya berteriak-teriak tentang dampak kultural bahasa Inggris pada pemahaman kita tentang diri sendiri maupun dunia tempat kita hidup di kala kita sendiri nyaris tak lagi dapat bertahan hidup tanpa penguasaan atas bahasa Inggris?

Namun demikian, jawaban sekaligus akar permasalahan justru terletak dalam pertanyaan itu sendiri. Bahwa bahasa asing, atau tepatnya bahasa Inggris, yang telah sedemikian mendominasi hidup kita sebagai bagian dari masyarakat internasional dan, dengan demikian, cenderung diterima begitu saja sebagai suatu fakta yang tak dapat diganggu-gugat, seharusnya dilihat sebagai suatu persoalan serius. Kita tak lagi merasa perlu bertanya mengapa karena kita telah menerima kebutuhan untuk mampu berbahasa Inggris sebagai suatu keniscayaan, seperti juga dengan kebutuhan kita untuk makan, bernapas, dan tidur. Dengan kata lain, bahasa Inggris telah menjadi bagian dari darah dan daging kita, meskipun itu tidak serta-merta berarti bahwa kita telah menguasai bahasa Inggris dengan sempurna.

Kenyataan ini menjadi cukup mengusik terlebih karena keistimewaan serupa tidak dinikmati oleh bahasa-bahasa asing lainnya, baik yang berasal dari Eropa maupun Asia. Argumen terkuat yang diajukan untuk menjelaskan situasi ini, sejauh yang saya tahu, adalah yang berbasis pada sejarah imperialisme Inggris. Dunia modern, singkatnya, dibentuk oleh imperialisme Inggris: ‘The way of England is the way of the world,’ yang dengan tepat diungkapkan oleh seorang raja Siam kepada guru bahasa Inggris istana yang didatangkan dari Britania dalam film klasik The King and I. Sang raja sadar betul bahwa melalui bahasa Inggris-lah pintu menuju dunia dapat dibuka, dan itu sebabnya mengapa seorang guru dengan susah-payah didatangkan dari Inggris: untuk membawa modernisasi dalam cara berpikir keluarga istana melalui pelajaran bahasa Inggris.

(2)

kecenderungan studi budaya masa kini, kemapanan selalu menjadi sasaran kajian kritis karena dalam dan lewat kemapananlah cara pandang dan sistem nilai dominan disebarluaskan serta dilestarikan. Kita perlu memahami secara kritis mengapa dan bagaimanakah kemapanan itu terbentuk, apakah dampaknya pada realitas hidup kita, dan masih adakah ruang untuk menyiasati kemapanan itu. Dalam konteks globalisasi bahasa Inggris, pertanyaan-pertanyaan itu jauh lebih mendesak untuk dilontarkan sekarang ketimbang pada masa dalam latar film The King and I.

Dalam paparan berikut, persoalan-persoalan tersebut akan didalami tanpa harus mundur terlalu jauh ke sejarah masa lalu dan dengan berorientasi pada pemikiran mengenai apa yang (masih) dapat kita lakukan sekarang. Itu pun jika kita sepakat bahwa identitas budaya adalah sebuah persoalan serius dan jauh dari usang. Globalisasi, lepas dari baik buruknya, ternyata mengusung juga wacana bahwa, dengan mulai terwujudnya global village yang cair batas-batas teritorialnya, identitas budaya pun akan kian kehilangan relevansinya. Tulisan ini juga akan mengaji cara pandang tersebut untuk memperlihatkan problematikanya, terutama dalam kaitan dengan bahasa Inggris.

Secara lebih spesifik, dalam konteks pengajaran bahasa Inggris, akan disoroti bagaimana cara pandang global terhadap bahasa Inggris di atas turut membentuk cara kita mengajarkan bahasa Inggris dalam kelas-kelas bahasa. Namun, karena kajian ini bukanlah sebuah kerja berbasis riset lapangan, titik-tolak yang digunakan adalah pelbagai asumsi di atas yang, sebagai semacam ideologi atau paradigma berpikir dengan perangkat-perangkat nilai yang ada di belakangnya, mewujudkan dirinya dalam bahasa dan perilaku kita. Tentu saja, harus diakui bahwa kenyataan lapangan jauh lebih dinamis, dan mungkin juga lebih kompleks, dibandingkan dengan kritik ideologi yang dikerjakan di sini. Saya menerimanya sebagai kekurangan tulisan ini, dan ini perlu ditegaskan sejak awal untuk menghindari salah pengertian atau kekecewaan.

Imperialisme dan mimicry

One cannot learn except by imitation. Just as children learn to speak by imitating the speech of adults, to act by imitating the actions of adults, so do uncivilized and uneducated people learn by imitating the ways of the civilized and the educated. Thus it is reasonable and rational that Bengalis should imitate the English.

Bankimchandra Chattopadhyay

(3)

Dalam praktiknya, imperialisme menghadapi sebuah dilema: keuntungan ekonomi dan politik yang diraih dari koloni-koloni sangat berlimpah, dan hal ini dapat dipertahankan dengan melestarikan “ketertinggalan” bangsa-bangsa di koloni. Namun, “ketertinggalan”, “kebodohan”, atau “primitivisme” itu juga menakutkan karena berada di luar pagar keberadaban. Dalam pandangan kolonial, subjek yang bodoh dan liar sama saja dengan hewan yang tak dapat dikendalikan dan diperkirakan jalan pikirannya. Persoalannya adalah bagaimana koloni dapat diberadabkan dan menjadi warga kemajuan tanpa mengakibatkan tumbuhnya perlawanan terhadap kolonialisme sebagai hasil dari bangkitnya kesadaran yang merupakan produk pemberadaban itu sendiri.

Di India, misalnya, secara intensif dilakukan pendidikan atas orang-orang terpilih, sehingga mereka pun menjadi fasih dalam berpikir secara Inggris dan bertutur-kata dalam bahasa Inggris. Inilah kaum elit berkulit gelap yang memandang dunia, orang lain, dan dirinya sendiri dengan kaca mata baru yang disediakan oleh pendidikan Barat itu. Bhabha (1994) menyebutnya mimicry, suatu jalan keluar yang bersifat ironis bagi dilema yang dihadapi oleh kekuatan imperial. Ada keinginan untuk menciptakan suatu Liyan yang sudah mengalami “reformasi” dan tak lagi “primitif.” Agar dapat secara efektif mendukung pemberadaban dan imperialisme secara keseluruhan, sang Liyan ini harus mampu berpikir dan bertindak seperti penciptanya, tetapi tetap dapat dibedakan dari penciptanya: sebuah subyek yang ‘nyaris serupa, tetapi tak betul-betul sama’ dengan tuannya.1

Di Indonesia, hal serupa pernah dilakukan Belanda lewat Politik Etis-nya, dan untuk pertama kali anak-anak bumiputra dapat menikmati pendidikan sekolah dan belajar bahasa Belanda serta kebudayaan Barat, meskipun sekolah mereka dipisahkan dari sekolah anak-anak Belanda totok. Banyak di antara kita tentu ingat bahwa pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia, melalui apparatus seperti NICA dan KNIL, juga didukung oleh kelompok-kelompok elit bumiputra yang memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan Belanda. Dengan adanya kelompok elit bumiputra yang terdidik, mesin-mesin pemerintahan kolonial dapat dijalankan dengan efisien dan produktif. Secara lebih spesifik, Thomas B. Macaulay menyebutkan bahwa tujuan pendidikan kolonial di India adalah untuk membentuk ‘sebuah kelompok juru bahasa antara kita dan jutaan orang yang ‘kita perintah’ yang ‘darah dan warna kulitnya India, tetapi citarasa, pandangan, moral dan intelektualitasnya Inggris’ (dikutip dalam Bhabha, hal. 87).

Jadi, sejak semula—lama sebelum era “globalisasi” yang kini kerap didengung-dengungkan itu—di koloni-koloni Barat di Asia telah ada semacam kelompok “indo” dalam masyarakat, bukan dalam artian kelompok blasteran hasil perkawinan antar-etnik, melainkan kelompok kecil elit yang bumiputra tetapi dididik secara Barat. Jika kita betul-betul mencermati masyarakat kita kini, fenomena ini masih berlangsung;

1

(4)

bedanya barangkali adalah bahwa proses mimicry atau pem-barat-an kini terjadi secara meluas dengan media massa sebagai agen sentralnya dan tidak hanya terbatas dilakukan melalui sekolah-sekolah modern. Di mana-mana citarasa dan gaya hidup Barat mendominasi dan menjadi acuan dalam menentukan mana yang lebih “maju” dan mana yang “ketinggalan zaman”, mana yang trendy” dan mana yang “udik.” Menariknya, sejarah menunjukkan bahwa pada akhirnya kelompok elit yang kecil jumlahnya inilah yang menjadi pelopor pelbagai gerakan nasionalis di “Dunia Ketiga” yang berusaha membebaskan diri dari imperialisme Barat. Gagasan-gagasan tentang kebebasan yang dipelajari dari sekolah-sekolah Barat melahirkan kesadaran akan kemerdekaan dan perlunya mengusir kekuasaan kolonial dari tanah jajahan. Namun, para elit yang memimpin gerakan nasionalis di negeri-negeri terjajah juga menghadapi dilema yang pelik. Di satu pihak, mereka ingin melepaskan diri dari kekuasaan kolonial asing dan mengejar ketertinggalan dari Barat. Di lain pihak, standar-standar kebebasan dan kemajuan yang hendak dicapai tak bisa tidak harus ditiru dari Barat.

Nasionalisme Timur, menurut John Plamenatz, tumbuh di tengah bangsa-bangsa yang belum lama menjadi bagian dari peradaban yang sebelumnya asing bagi mereka, dan bangsa-bangsa itu tidak memiliki standar keberhasilan dan keunggulan (dikutip dalam Chatterjee 1993:2). Akibatnya, kata Plamenatz lagi, mereka harus mengukur keterbelakangan dan kemajuan mereka dari ‘standar global’ yang ditetapkan oleh bangsa-bangsa Eropa Barat. Jadi, ada kesadaran bahwa standar-standar yang dibutuhkan memang berasal dari kebudayaan asing, sehingga untuk mencapai standar tersebut bangsa-bangsa yang baru merdeka itu harus melengkapi dirinya lagi secara kultural agar dapat beradaptasi.2

Sampai di sini kita berhadapan dengan fakta bahwa mimicry adalah strategi kolonial yang tak dapat ditolak, dan strategi tersebut menjadi sebuah kendala untuk sepenuhnya melepaskan diri dari pengaruh kolonialisme sekaligus pembuka peluang untuk menjadi bagian dari kemajuan global. Pembelajaran bahasa asing dapat diteropong dari konteks yang problematik karena bahasa asing juga terletak di antara persilangan kedua perspektif yang saling bertolak belakang ini. Di satu pihak, bahasa asing membuka jalan bagi pembelajar untuk menjadi bagian dari warga dunia dan keluar dari isolasi dunianya yang lokal yang dibentuk oleh bahasa ibu/lokal. Namun, pada saat yang sama, mempelajari bahasa asing sama artinya dengan menyerap dan membiarkan diri dibentuk oleh nilai-nilai asing yang mewujudkan diri dalam bahasa. Oleh sebab itu, sebelum kita berbicara tentang penyiasatan atas dilema ini, ada baiknya kita meneliti pengaruh infiltrasi ideologis lewat bahasa pada kesadaran dan identitas secara lebih lanjut.

Dampak dan perlawanan

2

Partha Chatterjee melihat situasi ini sebagai sebuah kontradiksi: nasionalisme di Timur bersikap meniru Barat sebagai model bagi kemajuannya, tetapi pada saat yang sama juga memusuhi model yang ditirunya itu (hal. 2). Dengan demikian, jelas bahwa mimicry tetap bertahan di bekas koloni, meskipun kekuasaan kolonial dalam wujud fisiknya telah berakhir. Lebih lanjut, periksa Partha Chatterjee,

(5)

Is it right that a man should abandon his mother tongue for someone else’s? It looks like dreadful betrayal and produces a guilty feeling. But for me there is no other choice. I have been given the language and I intend to use it.

Chinua Achebe, dalam pidato berjudul “The African Writer and the English Language (1964)

Tahun 1962, dalam sebuah konferensi para penulis Afrika di Makarere University College di Nairobi, Kenya, terjadi perdebatan apakah seorang penulis Afrika harus menulis dalam bahasa lokal (Swahili, Kikuyu, dll) atau dalam bahasa asing (Prancis, Inggris, dll). Sebagian peserta, termasuk penulis Kenya Ngugi wa Thiong’o—yang saat itu masih menjadi mahasiswa Makarere University College di Nairobi, saat itu cenderung memilih untuk mengungkapkan pengalaman Afrika mereka dalam bahasa asing, baik bahasa Inggris, Prancis, atau Portugis, yang di mata banyak orang sudah diterima sebagai bagian yang alamiah dari kenyataan Afrika. Tahun 1977, Ngugi wa Thiong’o memproklamasikan bahwa ia akan berhenti menulis drama, novel, dan cerpen dalam bahasa Inggris dan beralih ke bahasa Gikuyu dan Kiswahili. Bukunya yang cukup radikal, Decolonizing the Mind (1981) menjadi semacam talak resmi bagi pemutusan hubungan dengan bahasa Inggris sebagai medium ekspresi kreatifnya. Ia mengecam penulis-penulis Afrika lain, seperti Chinua Achebe dan Gabriel Okara, yang secara fatalistik menerima begitu saja posisi dominan bahasa Inggris sebagai medium ekspresi, bahkan ketika yang hendak diekspresikan adalah gagasan, falsafah, kisah, dan citraan Afrika (1981:7-9). Di mata Ngugi, bahasa memiliki kemampuan untuk menyihir jiwa dan memenjarakannya seperti seorang tawanan. Jika peluru adalah sarana penaklukan fisik, bahasa adalah sarana penaklukan jiwa. Ia teringat masa sekolahnya dahulu, ketika setiap prestasi dalam bahasa Inggris diberi pujian, hadiah, dan penghargaan tinggi, sementara berbicara dalam bahasa lokal sama sekali tidak memberikan kebanggaan apa-apa. Bahasa dan sastra (Barat) yang dipelajarinya justru menjauhkan ia dari diri dan dunianya sendiri, dan ini semua membuatnya bertanya-tanya: Apa yang telah dilakukan oleh sistem kolonial pada anak-anak Kenya?3

Dari perspektif internasional, penguasaan bahasa asing memberikan akses ke politik, bisnis, dan pendidikan, serta membantu penutur bahasa asing tersebut menjelaskan tentang dirinya kepada dunia. Sementara itu, dari perspektif domestik, para bumiputra penutur bahasa asing menjadi kian dikukuhkan kelas sosialnya dalam masyarakat. Bahasa asing, dengan kata lain, memberikan ‘kepercayaan diri’ kepada penuturnya (1981:20-21).

Uniknya, di banyak negara “Dunia Ketiga” pihak yang justru gencar mempromosikan penggunaan bahasa asing adalah para elit yang tak jarang merupakan pemimpin gerakan nasionalis. Di Afrika, para penulis yang serius memikirkan Afrika, seperti

3

(6)

Achebe, Senghor, Soyinka, dan Ousmane, lebih suka menyuarakan ke-Afrika-an mereka dalam bahasa Inggris atau Prancis. Di India, ketika negeri itu meraih kemerdekaannya dari Inggris, para tokoh nasionalislah, seperti Bankimchandra Chattopadhyay dan Jawaharlal Nehru, yang menyepakati bahwa bahasa resmi Negara yang baru merdeka itu adalah bahasa Inggris, dan bukan bahasa Hindi, Tamil, Bengali, atau bahasa lokal lainnya. Di Indonesia, sudah umum diketahui bahwa R.A. Kartini dalam surat-suratnya secara konsisten berpendapat bahwa bahasa Belanda-lah yang akan dapat mengantarkan bangsa Indonesia ke gerbang kemajua, dan bukan bahasa Indonesia.

Tentu saja, ini tidak serta-merta berarti bahwa nasionalisme mereka adalah nasionalisme palsu atau bahwa mereka kurang memiliki patriotisme. Namun, jangan-jangan, mereka menghadapi dilema atau ambivalensi seperti yang telah diuraikan di atas. Mereka sepakat bahwa kemerdekaan dari penjajah perlu diraih, tetapi model acuan untuk mendirikan sebuah bangsa modern yang merdeka mau tak mau harus dipinjam dari mantan penjajah, termasuk dalam hal ini bahasanya, jika benar apa yang dikatakan Ngugi bahwa bahasa menyediakan akses ke kekuasaan. Frantz Fanon mendukung pernyataan ini ketika ia berkata, ‘Mastery of language affords remarkable power’ (1972:13-14) karena bertutur kata dalam suatu bahasa (asing) berarti menempatkan diri dalam budaya bahasa itu, yang menjadi tiang penyangga suatu peradaban.4

Kini, dalam era yang disebut dengan “globalisasi,” yang konon membuat dunia menjadi lebih cair batas-batasnya, dan semua orang secara teoritis punya kesempatan untuk berpartisipasi di dalamnya, ambivalensi peninggalan masa kolonial tersebut bukannya mereda. Fatalisme yang terkait dengan penerimaan dominasi bahasa asing tanpa pertanyaan di mana-mana kian dikukuhkan. Namun, pada saat yang sama tanggapan kritis dan perlawanan terhadap kuasa hegemonik bahasa asing juga kian mengeras, sama persis dengan apa yang terjadi pada tataran ekonomi dan politik dunia saat ini. Penerimaan terhadap gagasan globalisasi kian hari juga kian menunjukkan sifat yang fatalistik. Globalisasi dipandang sebagai satu-satunya opsi masa depan, dan tak ada lagi yang dapat diperbuat untuk menolak atau menentangnya. Penguasaan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, di samping penguasaan atas pengetahuan yang berasal dari Barat, dianggap sebagai kunci keberhasilan dalam menyambung hidup di era ini. Namun, barangkali sikap fatalistik itu tidak sepenuhnya tepat, dan tidak sepenuhnya benar bahwa tak ada hal lain yang bisa dilakukan terhadap globalisasi selain menerimanya dengan kedua tangan terbentang lebar.

4

(7)

Berbagai peristiwa yang terjadi dalam satu dasawarsa terakhir ini jelas memperlihatkan bahwa globalisasi tidaklah se-omnipoten sebagaimana yang mungkin dibayangkan sebagian orang. Serangan atas simbol-simbol hegemoni ekonomi dan dominasi militer Amerika Serikat, yakni gedung kembar WTC dan Pentagon, perlawanan kelompok-kelompok radikal dan kubu World Social Forum pada organisasi perdagangan dunia WTO, dan bangkitnya fundamentalisme religius di banyak tempat, adalah beberapa ilustrasi yang membuktikan hal itu. Dalam proses perencanaan dan persiapan serangan atas Amerika, misalnya, para pelaku tidak segan-segan memanfaatkan temuan dan peralatan teknologi mutakhir, seperti telpon genggam, komputer, dan jaringan internet, untuk belajar navigasi udara dan membuat bahan peledak. Ini semua adalah produk globalisasi yang sebelumnya hanya identik dengan kemajuan dan kecanggihan peradaban. Di tangan mereka yang marah dan frustrasi terhadap globalisasi, yang seringkali dianggap sebagai sekadar nama yang lebih halus untuk “Amerikanisasi,” penanda-penanda kemajuan itu digunakan secara destruktif untuk melancarkan pukulan balik kepada penciptanya.

Perubahan luar biasa yang dibawa oleh globalisasi, menurut Kevin Robins (1997) telah menyebabkan terjadinya disorientasi. Identitas kita dari hari ke hari dibanjiri oleh air bah berupa barang, jasa, dan informasi yang membuat kita bahkan nyaris tak lagi dapat mengenali kesadaran diri kita sendiri. Namun, Robins mengingatkan, globalisasi belum sepenuhnya mengubah segala-galanya. Ada perbenturan yang terjadi antara unsur-unsur baru dan unsur-unsur lama. Tambahan lagi, ternyata tidak semua orang dapat memiliki akses yang sama ke globalisasi (hal. 44). Di matanya, globalisasi lebih tampak sebagai sebuah proses yang tidak merata dan mengandung banyak kontradiksi. Ada yang muncul sebagai pemenang, tetapi banyak pula yang tersingkirkan, dan mereka inilah yang lalu giat mengobarkan perlawanan.5 Jelasnya, globalisasi lebih mirip segelondong benang ruwet yang letak ujung dan pangkalnya tidak jelas daripada seutas garis yang linear dan berujung pada kemajuan.

Hegemoni dalam pengajaran bahasa

The facile assumption to make is that because of improved communications and awareness of global connections differences between cultures area also being erased. The spread of English as a lingua franca around around the world contributes to this idea: if we all understand English, we can easily overcome any minor, local differences. But this is a very Anglo-centric concept.

Susan Bassnett, ‘Making Sense of the Global Village’ (2005)

Di pelbagai negara bekas jajahan Inggris, seperti di India dan Afrika Selatan, telah tumbuh suatu kebutuhan untuk melakukan pengajaran bahasa Inggris dalam kerangka pengakuan terhadap kemajemukan bahasa dan dengan dilandasi oleh kesadaran akan bahaya hegemoni bahasa Inggris (Joseph dan Ramani, 1998:214). Jadi, para profesional pengajar bahasa Inggris, yang kebanyakan juga merupakan bagian dari kaum elit di kedua tempat itu, merasa perlu untuk mulai melihat bahasa Inggris dari ‘mata seorang India’ atau dari ‘mata seorang Afrika Selatan.6 Strategi ini

5

Kevin Robins, ‘What in the World’s Going On?’ dalam Paul du Gay (peny.), Production of Culture/ Cultures of Production, London: sage Publications & Open University (1997).

6

(8)

kedengarannya tidak hanya kontradiktif dengan tujuan pembelajaran bahasa asing, tetapi juga bertolak belakang dengan cara pandang pembelajar sendiri tentang hakikat belajar bahasa asing. Pentingnya pengembangan keberaksaraan (literacy) bahasa ibu dalam kelas-kelas bahasa Inggris jelas tidak menarik para siswa di Afrika Selatan, seperti yang dilaporkan oleh Joseph dan Ramani (hal. 217).

Apabila Joseph dan Ramani mencium adanya bahaya kehilangan bahasa sendiri di kalangan pembelajar bahasa Inggris karena kecenderungan mereka untuk merasa lebih kerasan dengan bahasa Inggris, Markku Ninioja—lewat studi kasus pembelajaran bahasa Inggris di Finlandia—melihat persoalan dengan lebih optimis (2005:126). Ia mengakui bahwa dengan integrasi yang terjadi di Eropa saat ini, bahasa Finlandia bisa jadi terancam oleh hegemoni bahasa Inggris. Namun demikian, ia juga melihat adanya potensi pengayaan bahasa Inggris oleh bahasa Finlandia, meskipun dalam skala yang terbatas. Sebaliknya, di mata seorang skeptis seperti Ngugi, misalnya, pertanyaannya adalah mengapa kita sedemikian bangganya apabila bahasa ibu kita memperkaya bahasa Inggris? Pertanyaan ini menjadi penting, terutama di saat penguasaan bahasa nasional kita sendiri masih berada dalam taraf memprihatinkan (1981; 1991:8). Sementara itu, Joseph dan Ramani mengusulkan agar kita memanfaatkan saja hegemoni dan kecanggihan bahasa Inggris, khususnya dari segi metode pengajaran, untuk membekali para guru pengajar bahasa-bahasa lokal. Dengan demikian, bahasa-bahasa lokal yang terpinggirkan dapat dilestarikan melalui pengajaran yang dilakukan dengan metode-metode mutakhir, dan diharapkan minat orang untuk mempelajari bahasa lokal pun akan dapat ditumbuhkan (1998:218-220). Namun, bahkan dalam strategi semacam ini pun hegemoni bahasa Inggris bertambah menjadi kian kukuh.

Bila betul bahwa dominasi bahasa ini tak dapat ditolak, adakah strategi kultural tertentu yang dapat membantu kita memanfaatkan ruang gerak yang masih ada, walaupun mungkin sudah sangat terbatas, untuk bermanuver mempertahankan identitas kultural kita? Bagaimana sebuah bahasa asing dapat diserap dan dikuasai tanpa menyebabkan kita menjadi “indo-indo” berkulit sawo matang dengan kepala penuh berisi gagasan dari Barat dan selalu mengukur taraf keberadaban diri sendiri lewat standar-standar kemajuan Barat? Bagaimana caranya untuk tidak dipandang sebagai “udik” di negeri sendiri semata karena tidak menguasai bahasa Barat atau karena tidak menjadikan Barat sebagai acuan utama dalam memaknai diri sendiri? Ini semua bukan pertanyaan yang mudah dijawab, meskipun telah ada sejumlah tawaran jawaban yang diajukan dalam perspektif pengajaran bahasa asing selama ini.

Barangkali, sebagian dari para guru masih dapat mengingat adanya kecenderungan tertentu yang terjadi saat mengajarkan pelbagai ekspresi dalam bahasa Inggris. Kita secara tak sadar menanamkan pada para siswa kita di kelas untuk tidak bertanya ‘How old are you?’, ‘Are you married?’, atau ‘Where are you going?’ kepada seorang

(9)

penutur asli bahasa Inggris karena dalam budaya Barat pada umumnya pertanyaan-pertanyaan semacam itu melanggar privacy individu.

Para siswa, secara tanpa sadar, dididik lewat pengajaran bahasa, untuk memperlihatkan toleransi yang sangat besar pada perasaan orang asing sampai pada taraf menyensor diri sendiri dan mengabaikan cara pandang budaya lokal terhadap sifat dan maksud pertanyaan-pertanyaan di atas. Kita tidak selalu ingat bahwa dalam budaya lokal, pertanyaan-pertanyaan, seperti ‘Umur Anda berapa?’, ‘Anda sudah menikah?’, ‘Anda mau ke mana?’ dan yang sejenisnya tidak selalu merupakan ungkapan referensial yang bertujuan untuk mencari informasi. Seringkali, dalam komunikasi sosial di masyarakat kita, pertanyaan-pertanyaan tersebut lebih berfungsi secara fatis, yakni sebagai strategi pembuka atau penyambung percakapan, sama seperti bila seorang Inggris berkomentar tentang cuaca atau bertanya ‘How are you today?’ Kita tidak selalu menyadari bahwa diperlukan toleransi yang sama besar dari seorang penutur asli sebuah bahasa ketika bahasanya digunakan sebagai medium komunikasi oleh seorang nonpenutur asli dalam suatu hibriditas dengan cara berpikir dan bertutur kata lokal.

Pelajaran yang melekat dalam benak para siswa itu adalah ‘Tidak baik bertanya a, b, c, d pada seorang penutur asli bahasa Inggris karena hal itu dapat menyinggung perasaannya.’ Tidak terlalu menjadi soal bahwa dalam budaya kita sendiri pertanyaan-pertanyaan seperti itu lazim diujarkan dalam komunikasi sosial dan jarang berkaitan dengan privacy (sebuah kata asing yang hingga saat ini belum ada padanannya dalam bahasa Indonesia!). Ada kemungkinan bahwa pelajaran seperti ini akan diturunkan oleh para siswa kita itu ke orang lain sebagai semacam model “pemberadaban”. Mereka menjadi warga baru kelompok elit yang mengerti bagaimana cara memuja budaya asing, tetapi tidak memiliki cukup bekal untuk mampu menghargai budaya sendiri. Di India, tidak mudah untuk mengajari para siswa mengucapkan ‘Thank you’ karena cara mengungkapkan rasa terima kasih yang lazim di negeri itu berwujud non-verbal, yakni dengan mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada tanpa disertai sepatah kata pun. Apakah tindakan ini akan ditafsirkan oleh seorang non-India sebagai suatu sikap tidak tahu berterima kasih hanya karena ucapan ‘Thank you’ tidak keluar dari mulut seorang India?

(10)

pengawasan terselubung yang dilakukan negara melalui tangan PKK, sebagaimana yang telah didiktekan oleh paradigma teoritis risetnya!

Dalam dunia bisnis, tidak sedikit manajer Amerika yang brilyan dan ditugaskan ditempat-tempat lain di dunia oleh perusahaan tempat mereka bekerja, tetapi mereka gagal memperlihatkan kinerja yang baik. Akar masalahnya seringkali terletak pada komunikasi yang dilakukannya dengan para bawahan lokalnya.7 Para manajer itu selalu membeberkan rencana mereka dalam menangani suatu persoalan kepada anak buahnya dan meminta tanggapan atas rencana tersebut. Para anak buahnya secara kompak menyatakan persetujuan mereka terhadap rencana itu. Ketika rencana itu tidak berjalan dengan baik dan dilakukan evaluasi, anak buahnya mampu menunjukkan kelemahan rencana itu yang menyebabkannya gagal.

Manajer Amerika ini tidak dapat mengerti mengapa selama ini anak buahnya setuju saja dan tidak mengkritisi rencana itu, padahal mereka tahu bahwa rencana itu mengandung kelemahan. Ia menganggap para anak buahnya kurang peduli pada hasil dan tidak punya orientasi pada kinerja. Di lain pihak, para anak buahnya memilih untuk tidak mengkritik rencana atasannya karena mereka tidak ingin mempermalukan atasan dengan menunjukkan kekurangannya. Di mata mereka, atasan yang meminta pendapat anak buah tidak memiliki kepercayaan diri dan, oleh sebab itu, kurang berwibawa.

Dalam situasi seperti ini, persoalan utamanya adalah siapa yang paling mendesak untuk dibekali dengan ketrampilan kepekaan lintas-budaya? Biasanya, tekanan lebih besar diberikan kepada para anak buah. Merekalah yang harus belajar memahami dan memberikan toleransi kepada atasannya yang berkebangsaan asing. Jadi, bahkan di negeri sendiri mereka harus belajar menerapkan kode-kode budaya asing dalam berkomunikasi dengan orang asing yang tinggal dan bekerja di situ. Bandingkan dengan berbagai persiapan yang rinci, khususnya di bidang kemahiran berbahasa dan pengenalan budaya, yang harus kita tempuh sebelum kita dapat tinggal di sebuah negara asing. Di sadari atau tidak, ada persoalan hegemoni di sini. Budaya yang posisi tawarnya dipersepsikan lebih rendah harus mengalah kepada budaya yang dipersepsikan lebih dominan. Kecenderungan serupa bukannya mustahil terjadi dalam kelas-kelas pengajaran bahasa asing.

Hegemoni ini ternyata berdampak negatif tidak hanya pada budaya dan bahasa yang marginal dari segi kuasa, melainkan juga pada budaya dan bahasa dominan, seperti Inggris misalnya.8 Di satu pihak, penyebaran bahasa Inggris secara global telah memungkinkan orang di seluruh dunia saling berkomunikasi satu sama lain. Namun, sesungguhnya motivasi penutur bahasa Inggris untuk belajar bahasa-bahasa

7

Edgar H. Schein, Organisational Culture and Leadership, San Fransisco & Oxford: Jossey-Bass Inc. Publishers (1991), khususnya hal. 19-20 yang membahas tentang betapa rumitnya melangsungkan komunikasi antar dua budaya yang berbeda.

8

(11)

Inggris juga menurun. Akibatnya, berjuta-juta orang di dunia kini mampu bergerak dengan leluasa dari satu bahasa ke bahasa lain, sedangkan jutaan penutur bahasa Inggris sama sekali tak mempunyai pemahaman apapun tentang budaya-budaya lain. Pada gilirannya, hal ini menumbuhkan sikap monokulturalis, yang menganggap bahwa semua orang berpikir dengan cara yang sama, dan setiap perbedaan dari cara berpikir ini dinilai sebagai penyimpangan (Bassnett, 2005:30).

Di Indonesia, persoalan-persoalan ini sudah mulai dipikirkan secara serius oleh beberapa sarjana. Jelas bahwa sudah ada kesadaran mengenai ancaman hegemoni bahasa Inggris dan perlunya penguasaan yang cukup baik atas bahasa dan budaya lokal di dalam proses pembelajaran bahasa asing pada umumnya. Athriana Pattiwael, misalnya, melihat bahwa pembelajaran bahasa asing berpotensi menyebabkan terjadinya gegar budaya. Dalam hal ini, budaya justru menjadi kendala bagi proses penguasaan suatu bahasa asing (2005:57). Ia juga sepakat dengan banyak pemikir yang telah dikutip di atas bahwa ada juga kemungkinan tumbuhnya sikap elitis sebagai akibat dari penguasaan bahasa asing, yang bisa jadi memperlebar jurang antara yang kaya dan yang miskin, menghambat proses keaksaraan dalam bahasa ibu, dan merugikan budaya lokal. Aktivitas kelas-kelas pengajaran bahasa asing malahan kerap mengukuhkan stereotipe-stereotipe di atas alih-alih memperluas cakrawala atau perspektif internasional para pembelajar.

Sebagai solusinya, Pattiwael mengusulkan agar bahan ajar disesuaikan dengan konteks budaya pembelajar. Kelas-kelas pengajaran bahasa Inggris justru harus dimanfaatkan untuk mempersempit kesenjangan antara budaya Barat yang dominan dan budaya-budaya lokal yang ‘minoritas’ (hal. 61). Senafas dengan Joseph dan Ramani, ia berkeyakinan bahwa para guru perlu menjadikan kelas-kelas bahasa asing mereka sebagai ajang penciptaan ‘mosaik’ tempat etnisitas dan latar belakang budaya pembelajar dapat dengan penuh kebanggaan dipertunjukkan (hal. 62).

Luciana (2005) juga menekankan pada pentingnya mempertimbangkan budaya lokal dalam pembelajara bahasa Inggris. Seorang pengajar bahasa Inggris mau tidak mau harus memahami budaya bahasa yang diajarkannya demi kepentingan praktis. Namun, jika kemudian pengetahuan akan budaya asing ini diajarkan secara gegabah, penilaian yang salah kaprah tentang budaya lain juga bisa terjadi (hal. 75). Sepakat dengan pemikiran Bassnett, Luciana mengemukakan bahwa citarasa suatu budaya terwujud dalam kosakata, tata kalimat, dan bentuk ungkapan lain dalam bahasa yang berasal dari budaya tersebut (hal. 76).

Menurutnya, pengajaran bahasa Inggris di Indonesia harus mampu mengembangkan identitas kita sendiri yang diperkaya oleh budaya lain. Kedua, budaya asing bermanfaat sejauh dapat menjadi sarana untuk membangun keluasan wawasan. Selain itu, guru harus berhati-hati untuk tidak menafsirkan budaya lokal secara ceroboh dari perspektif ‘ke-Inggris-an’ mereka sendiri (hal. 77). Sama seperti Pattiwael, Luciana menyerukan perlunya pembelajar bahasa Inggris untuk dapat melakukan refleksi objektif maupun subjektif pada budaya lokal dan budaya asing yang memungkinkan terjadinya perkembangan perspektif pribadi mereka.

(12)

siswa perlu dibantu menempuh suatu proses penemuan bahwa bahasa suatu bangsa terbatas, bersisi tunggal, dan bahkan terkadang bisa menyesatkan. Kemampuan melihat jauh ke balik kata yang memberi bentuk pada suatu ideologi ini akan membuat siswa sulit untuk dibuai oleh suatu ideologi tertentu. ‘Suatu pelajaran,’ menurut Postman dan Weingarter (1969) hanyalah ‘apa yang kita katakan dari sudut pandang kita’ (hal.93) dan, oleh karenanya, diperlukan siswa yang mampu menjadi ‘pemberi makna’ (meaning makers). Dengan kata lain, apa yang dipelajari di kelas harus bermakna atau masuk akal bagi para siswa alih-alih sekadar informasi yang mereka serap hanya karena mereka harus menerimanya.

Di dalam proses belajar-mengajar bahasa asing yang “subversif,” daya kritis siswa harus dirangsang pada setiap tahapan pembelajaran. Mereka selayaknya didorong untuk menanggapi metode yang digunakan sebuah buku teks, mempertanyakan foto-foto dan ilustrasi-ilustrasi yang muncul di dalamnya, dan mempersoalkan mengapa suatu gagasan dinyatakan dengan cara tertentu dalam bahasa asing yang dipelajari untuk melihat letak “keanehan” cara berpikir budaya yang melahirkan bahasa tersebut.

Akan menarik juga bagi para siswa untuk mendiskusikan bersama, misalnya, mengapa pasir hisap, misalnya, dalam bahasa Inggris disebut dengan quicksand, padahal proses penghisapan terjadi dengan perlahan-lahan. Atau, mengapa arena tinju disebut dengan boxing ring, sementara bentuk arena tersebut tidak melingkar melainkan persegi? Mengapa vegetarian berarti pemakan sayur-sayuran, sedangkan

humanitarian tidak berarti pemakan manusia melainkan sesuatu yang terkait dengan kemanusiaan? Demikian pula ketika kita mengajarkan bahwa bangsa Inggris mempunyai tradisi minum teh yang sudah mendarah daging, apakah kita juga menunjukkan kepada para siswa keanehan tradisi ini? Sedemikian mengakarnya tradisi ini hingga ada anekdot bahwa bangsa Inggris dapat ditaklukan oleh Julius Caesar dari Roma karena di tengah-tengah pertempuran tiba-tiba para pejuang Briton berhenti berperang bersamaan dengan tibanya saat minum teh. Namun, barangkali tak banyak yang menyadari bahwa tanaman teh sama sekali tak dapat tumbuh di Inggris, dan yang disebut dengan English tea, atau Earl Grey tea, dan yang semacamnya diimpor bahan mentahnya dari India. Ini semua dimungkinkan oleh kolonialisme Inggris yang panjang di India. Jadi, sebuah tradisi nasional bisa saja tercipta bukan karena faktor “asli” yang berasal dari dalam bangsa itu sendiri, melainkan berasal dari pengaruh luar sebagai akibat imperialisme.

(13)

Bila para guru bahasa asing ingin memainkan peranan yang strategis dalam era globalisasi tersebut, dalam artian mampu merekayasa arah pendidikan kaum muda pembelajar bahasa asing agar tidak tenggelam dalam jenis identitas yang dilukiskan Ohmae dan dirisaukan oleh Bhabha dkk, proses berpikir kritis harus dimulai dari mereka sendiri. Ini merupakan conditio sine qua non bagi keberhasilan dalam menanamkan kemampuan berpikir kritis pada para siswa dalam kelas-kelas pengajaran bahasa asing. Dengan demikian, pengajaran bahasa asing tidak sekadar berurusan dengan bagaimana membuat para pembelajar mahir berbahasa asing, tetapi juga dengan bagaimana mereka dapat menjadi kritikus budaya yang berwawasan plural. Jika sasaran ini dapat dicapai dengan efektif, maka potensi ancaman yang terkandung dalam pembelajaran bahasa asing akan dapat diubah menjadi kemungkinan-kemungkinan pemerkayaan, sebagaimana didambakan oleh Pattiwael, Luciana, dan para sarjana pengajaran bahasa asing di Indonesia lainnya.

**********

Daftar Pustaka

Bassnett, Susan (2005), ‘Making Sense of the Global Village,’ dalam Warwick The Magazine, Issue 6, Spring (edisi ulang tahun ke-40)

Bhabha, Homi (1994), ‘Of Mimicry and Man: The ambivalence of colonial discourse,’ dalam Homi Bhabha (peny.), The Location of Culture, London: Routledge

Edgar H. Schein (1991), Organisational Culture and Leadership, San Fransisco & Oxford: Jossey-Bass Inc. Publishers

Fanon, Frantz (1970; cetak ulang 1972), Black Skin White Masks, London: Paladin Joseph, Michael and Esther Ramani (1998), ‘The ELT Specialist and Linguistic

Hegemony: A response to Tully and Mathhew,’ dalam ELT Journal Volume 52/3, July

Kevin Robins (1997), ‘What in the World’s Going On?’ dalam Paul du Gay (peny.),

Production of Culture/ Cultures of Production, London: sage Publications & Open University

Luciana (2005), ‘Whose Culture: Your Culture? My Culture? A case of English language learning in Indonesia,’ dalam Stuart A. Bruce & Antonius Suratno (peny.), Proceeding Representation of Cultural Values in Language and Literature, Semarang: Soegijapranata Chatolic University

Ngugi, wa Thiong’o (1981; cetak ulang 1991), Decolonising the Mind: The Politics of Language in African Literature, Nairobi: Heinemann Kenya

Ninioja, Markku (2005), ‘Language and Cultural Identity,’ dalam Stuart A. Bruce & Antonius Suratno (peny.), Proceeding Representation of Cultural Values in Language and Literature, Semarang: Soegijapranata Chatolic University

Ohmae, Kenichi (1991), ‘Global Consumers Want Sony not Soil,’ dalam New Perspectives Quarterly, Fall

Partha Chatterjee (1993), Nationalist Thought and the Colonial World: A Derivative Discourse, Minneapolis: University of Minnesota Press

(14)

Antonius Suratno (peny.), Proceeding Representation of Cultural Values in Language and Literature, Semarang: Soegijapranata Chatolic University

Referensi

Dokumen terkait

per unit dihitung dengan cara membagi total biaya pesanan tertentu dengan jumlah satuan pesanan yang dihasilkan pada pesanan yang bersangkutan. Untuk mengetahui

Tepung tapioka dengan kadar amilase lase yang rendah tetapi berkadar amilopektin yang tinggi merupakan sifat yang yang rendah tetapi berkadar amilopektin yang tinggi merupakan

Penggabungan faktor internal dan eksternal dan analisis Internal- Ekasternal dalam matriks Strengths,Weaknesess, Opportunities, Threats (SWOT) dalam Pengembangan Agribisnis

Daripada persoalan-persoalan tersebut, adakah dengan menggunakan konsep kerajaan perpaduan berteraskan Islam mampu membentuk kerjasama dalam kalangan parti

trauma pada kepala menyebabkan tengkorak beserta isinya bergetar, kerusakan yang terjadi tergantung pada besarnya getaran makin besar getaran makin besar kerusakan

Dengan pengetahuan dalam pengenalan komponen mesin pemecah batu diharapkan operator mesin pemecah batu akan lebih terarah dalam melaksanakan tugasnya melakukan

z Digunakan untuk menyajikan data   dalam bentuk kolom dan baris,   tujuannya agar   informasi. dapat ditampilkan secara lebih terstruktur

Semua pasien yang datang ke rumah sakit akan dilakukan asesmen atau pengkajian yaitu asesmen informasi (yang berisi tentang asesmen medis, riwayat sakit dahulu), asesmen