DALAM KEPEMIMPINAN LINTAS BUDAYA
(Studi Fenomenologi pada Gandhi Memorial
Intercontinental School Semarang)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Sarjana (S1)
pada Program Sarjana Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro
Disusun oleh:
SETYONINGSIH SUBROTO NIM. 12010112130063
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS DIPONEGORO
ii
PERAN CULTURAL INTELLIGENCE (CQ) DALAM KEPEMIMPINAN LINTAS BUDAYA (Studi Fenomenologi pada Gandhi Memorial Intercontinental School Semarang)
Nama Penyusun : Setyoningsih Subroto Nomor Induk Mahasiswa : 12010112130063 Fakultas / Jurusan : Ekonomi / Manajemen
Judul Skripsi :
Dosen Pembimbing : Dr. Fuad Mas’ud, MIR
Semarang, 19 September 2016 Dosen Pembimbing,
iii
Nama Penyusun : Setyoningsih Subroto Nomor Induk Mahasiswa : 12010112130063 Fakultas/Jurusan : Ekonomi/Manajemen
Judul Skripsi : PERAN CULTURAL INTELLIGENCE (CQ)
DALAM KEPEMIMPINAN LINTAS
BUDAYA (Studi Fenomenologi pada Gandhi Memorial Intercontinental School Semarang)
Telah dinyatakan lulus ujian pada tanggal 29 September 2016
Tim Penguji
1. Dr. Fuad Mas’ud, MIR ( ... )
2. Mirwan Surya Perdhana, S.E., M.M., Ph.D ( ... )
iv
Yang bertanda tangan di bawah ini saya, Setyoningsih Subroto,
menyatakan bahwa skripsi dengan judul: PERAN CULTURAL INTELLIGENCE (CQ) DALAM KEPEMIMPINAN LINTAS BUDAYA (Studi Fenomenologi
pada Gandhi Memorial Intercontinental School Semarang), adalah hasil tulisan
saya sendiri. Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa dalam
skripsi ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan orang lain yang saya
ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau
simbol yang menunjukkan gagasan atau pendapat atau pemikiran dari penulis lain,
yang saya akui seolah-olah sebagai tulisan saya sendiri, dan/atau tidak terdapat
bagian atau keseluruhan tulisan yang saya salin itu, atau yang saya ambil dari
tulisan orang lain tanpa memberikan pengakuan penulis aslinya.
Apabila saya melakukan tindakan yang bertentangan dengan hal tersebut
di atas, baik disengaja maupun tidak, dengan ini saya menyatakan menarik skripsi
yang saya ajukan sebagai hasil tulisan saya sendiri ini. Bila kemudian terbukti
bahwa saya melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain
seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, berarti gelar dan ijazah yang telah diberikan
oleh universitas batal saya terima.
Semarang, 19 September 2016
Yang membuat pernyataan,
v
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri
(Q. S. Ar-Ra’d : 11)
It takes courage to grow up and become who you truly are
(E. E. Cummings)
Nothing is impossible, the word itself says “I’m possible”! (Audrey Hepburn)
I think it’s an okay thing to express yourself
(Britney Spears)
I am bad and that’s good, I will never be good and that’s not bad, there’s no one I’d rather be than me
(Ralph – Wreck it Ralph)
Skripsi ini kupersembahkan untuk:
Kedua orang tua dan kedua kakakku, yang selalu menghadapi segala tingkah lakuku dengan penuh kesabaran dan tak pernah jenuh dalam
vi
There were several studies about expatriate leadership that conducted in Indonesia, but those are only focuses on the experience of living and working abroad. Consequently, this study aims to investigate the role of cultural intelligence (CQ) in cross-cultural leadership effectiveness, within the context of Indian-Indonesian cultural differences. Besides, what kind of leadership style that practiced by an expatriate leader as the result of CQ's role.
This study used a qualitative method and conducted in one of the international schools in Semarang. The participants of this study contain 5 peoples (an Indian Principal, 2 school coordinators, and 2 teachers). Each participant delivered briefly about all the points that used in this study.
The data were gathered by using in-depth interviews to revealed that all aspects in CQ (metacognitive, cognitive, motivational, behavioral) thoroughly
have the main role in the Principal’s cross-cultural leadership effectiveness. The result of the data analysis indicate that The Principal has some
characteristics of an effective leader, such as communicative, pay attention to the well-being of the staffs, listen carefully to the suggestion from the staffs, and directly see the conditions that faced by the staffs. Besides, the role of CQ also resulted in the Principal's leadership style, which shows bureaucratic but with a touch of nurturant side inside. The Principal is task-oriented, but still, keep a good relation with the staffs through motivation and praise.
vii
Hingga saat ini, terdapat beberapa penelitian yang mengkaji kepemimpinan ekspatriat di Indonesia, namun hanya fokus pada pengalaman yang dirasakan oleh pemimpin ekspatriat selama tinggal dan bekerja di luar negara asal. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menemukan peran cultural intelligence (CQ) dalam menciptakan kepemimpinan lintas budaya yang efektif, yang berada pada persinggungan budaya antara India dan Indonesia. Kemudian berdasarkan peranan CQ tersebut, gaya kepemimpinan apa yang dipraktikkan oleh pemimpin ekspatriat dalam memimpin sejumlah staf lokal.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan dilakukan pada sebuah sekolah internasional di Kota Semarang. Partisipan dalam penelitian ini terdiri dari seorang Principal berkebangsaan India beserta beberapa staf lokal (2 orang koordinator sekolah dan 2 orang guru). Tiap partisipan kemudian memberikan penjelasan yang terperinci mengenai seluruh aspek yang digunakan dalam penelitian ini.
Berdasarkan hasil wawancara mendalam yang dilakukan terhadap seluruh partisipan, diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa segenap aspek dalam CQ (metacognitive, cognitive, motivational, behavioral) sepenuhnya berperan dalam menciptakan kepemimpinan lintas budaya yang efektif pada diri Principal. Principal telah menunjukkan berbagai karakteristik pemimpin yang efektif, yakni komunikatif, peduli terhadap kesejahteraan staf, mau mendengarkan pendapat staf, dan mau terjun langsung untuk melihat kondisi yang dihadapi oleh staf. Kemudian CQ juga berperan serta dalam menghasilkan gaya kepemimpinan yang dipraktikkan oleh Principal. Principal cenderung birokratis, namun tetap memiliki sentuhan nurturant. Principal adalah pemimpin yang berorientasi pada tugas, namun tetap menjaga hubungan baik dengan staf, yakni dengan memberi motivasi dan pujian.
viii
Segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah yang telah diberikan, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi berjudul “PERAN CULTURAL INTELLIGENCE (CQ) DALAM
KEPEMIMPINAN LINTAS BUDAYA (Studi Fenomenologi pada Gandhi
Memorial Intercontinental School Semarang)”.
Selama proses penyusunan skripsi ini, penulis tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah banyak memberikan bimbingan, bantuan, dukungan,
dan doa yang tulus sehingga penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Kedua orangtuaku, Bapak Drs. Hardjanto Mulyo Subroto dan Ibu Noor Aini, S.E., M.Pd., kedua kakakku, Setyowati Subroto, S.E., M.Si dan Setyanto Pujo Subroto, S.Psi., M.Si., serta keponakanku tercinta Kenna Aretha Putri yang selalu menyayangi dan mendukung dalam setiap kesempatan.
2. Bapak Dr. Suharnomo, S.E., M.Si., selaku Dekan Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang.
3. Bapak Anis Chariri, S.E., M.Com., Ph.D., Akt. selaku Pembantu Dekan I atas izin penelitian yang telah diberikan sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian di instansi pendidikan yang dituju.
ix
meluangkan waktunya untuk memberikan berbagai macam pengarahan dan saran yang sangat berharga, serta kesempatan untuk berdiskusi dengan penulis hingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
6. Bapak Mirwan Surya Perdhana, S.E., M.M., Ph.D dan Bapak Dr. Ahyar Yuniawan, S.E., M.Si., selaku dosen penguji yang telah memberikan keputusan untuk meluluskan penulis dalam sidang akhir.
7. Bapak Dr. Susilo Toto Raharjo, S.E., M.T., selaku dosen wali yang telah membimbing, membantu, dan memberikan motivasi kepada penulis selama proses perkuliahan maupun skripsi.
8. Seluruh dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang, yang telah memberikan ilmu yang berharga selama penulis menempuh studi di Jurusan Manajemen.
9. Ibu Smitha Sharma, selaku Principal Gandhi Memorial Intercontinental School Semarang beserta school coordinator dan staf pengajar yang telah berpartisipasi sebagai narasumber dalam skripsi ini.
10. Fitri Permatasari, Adelina Fitri Dwi Ariesti, Fonny Kusmita Aprilia, dan Ema Maharani yang telah menjadi sahabat terbaik dan memiliki kesabaran khusus dalam menghadapi segala tingkah laku penulis, menjadi garda terdepan dalam memberi penghiburan dan dukungan, serta muara untuk berkeluh kesah.
x
Raihan, Riyan, Resa, Aries) yang telah mengisi hari-hari selama 4 tahun perkuliahan dan tak pernah sungkan dalam memberi pertolongan bagi penulis.
13. Segenap rekan di AIESEC Local Committee Universitas Diponegoro (EwA Department, Project GCDP Department, UNIVERSE Project 2013,
REFRESH Project 2014, UNIVERSE Project 2015) yang telah membantu penulis untuk menjadi pribadi yang tangguh dalam menghadapi berbagai rintangan.
14. Tim Batik Fashion Week 2014 (Mbak Yuni, Mellisa, Ivo, Bitinia) yang telah mengajarkan penulis untuk menjadi lebih dewasa di segala sisi.
15. Segenap anggota Tim I KKN UNDIP 2016 Desa Karangrejo, Kec. Borobudur, Kab. Magelang (Dhita, Gita, Vinda, Ilma, Duta, Rizky,
Umar, Afri, Ruli) yang menambah pengalaman menarik bagi penulis akan hidup dalam kebersamaan yang bersahaja dan penuh keceriaan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna dan banyak kekurangan karena keterbatasan yang dimiliki. Namun besar harapan penulis bahwa skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pembaca.
Semarang, 3 Oktober 2016 Penulis
xi
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN SKRIPSI ... ii
HALAMAN PENGESAHAN KELULUSAN UJIAN ... iii
PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI ... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v
ABSTRACT ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ...xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 17
1.3 Tujuan Penelitian ... 17
1.4 Manfaat Penelitian ... 18
1.5 Sistematika Penulisan ... 19
BAB II TELAAH PUSTAKA ... 20
2.1 Landasan Teori dan Penelitian Terdahulu ... 20
2.1.1 Budaya ... 20
2.1.2 Budaya Nasional ... 25
2.1.2.1 Dimensi Budaya Nasional ... 25
2.1.2.2 Budaya Nasional dan Manajemen ... 30
2.1.3 Budaya India ... 33
2.1.4 Ekspatriasi ... 38
2.1.4.1 Pengertian dan Jenis Ekspatriat ... 38
2.1.4.2 Persiapan dan Pelatihan ... 40
xii
2.1.4.6 Perubahan Fundamental ... 48
2.1.5 Cultural Intelligence (CQ) ... 49
2.1.5.1 Pengertian... 49
2.1.5.2 Metacognitive CQ ... 51
2.1.5.3 Cognitive CQ... 53
2.1.5.4 Motivational CQ ... 54
2.1.5.5 Behavioral CQ ... 55
2.1.6 Kepemimpinan ... 57
2.1.6.1 Pengertian Pemimpin dan Kepemimpinan ... 57
2.1.6.2 Pendekatan Kepemimpinan... 58
2.1.6.3 Fungsi Kepemimpinan ... 64
2.1.6.4 Gaya Kepemimpinan ... 66
2.1.6.5 Kepemimpinan yang Efektif ... 73
2.1.7 Kepemimpinan Lintas Budaya ... 76
2.1.7.1 Kompetensi Lintas Budaya ... 76
2.1.7.2 Leading in Diversity ... 80
2.1.7.3 Komunikasi Lintas Budaya ... 81
2.1.8 Kepemimpinan India ... 84
2.1.8.1 Karakteristik Kepemimpinan ... 84
2.1.8.2 Pemimpin dan Motivasi Karyawan ... 88
2.1.8.3 Kompetensi Kepemimpinan ... 91
2.1.9 Penelitian Terdahulu ... 92
2.2 Kerangka Pemikiran ... 94
BAB III METODE PENELITIAN ... 95
3.1 Pendekatan Penelitian ... 95
3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 96
3.3 Partisipan ... 97
3.4 Jenis dan Sumber Data ... 97
xiii
3.8 Kredibilitas Data ...104
BAB IV PEMBAHASAN ...106
4.1 Gambaran Umum Sekolah...106
4.1.1 Sejarah ...106
4.1.2 Visi dan Misi ...106
4.1.3 Program ...108
4.1.4 Kebijakan ...108
4.1.4.1 Kurikulum ...108
4.1.4.2 Bahasa ...112
4.1.4.3 House System ...114
4.2 Analisis Data ...114
4.2.1 Cultural Intelligence (CQ) ...114
4.2.1.1 Metacognitive CQ ...115
4.2.1.2 Cognitive CQ...118
4.2.1.3 Motivational CQ ...122
4.2.1.4 Behavioral CQ ...126
4.2.2 Gaya Kepemimpinan ...128
4.2.2.1 Authoritarian Style ...128
4.2.2.2 Bureaucratic-Task Style ...132
4.2.2.3 Nurturant Style ...135
4.2.2.4 Nurturant-Task Style ...139
4.2.2.5 Participative Style ...141
4.2.3 Kepemimpinan yang Efektif...145
4.2.4 Manajemen, Komunikasi, dan Motivasi ...148
BAB V PENUTUP ...154
5.1 Kesimpulan ...154
5.2 Implikasi Manajerial ...158
5.3 Saran ...159
xiv
5.4 Keterbatasan Penelitian ...161
xv
Tabel 1.1 Sebaran Tenaga Kerja Asing di Indonesia ... 10
Tabel 1.2 Sebaran Tenaga Kerja Asing Berdasarkan Sektor ... 11
Tabel 1.3 Sebaran Tenaga Kerja Asing Berdasarkan Jabatan ... 11
Tabel 1.4 Tenaga Kerja Asing di Kota Semarang ... 12
Tabel 1.5 Content Domains of Intercultural Competence Instruments... 16
Tabel 2.1 Characteristics of Top Management: A Comparison ... 32
Tabel 2.2 Dynamics of The Expatriate Transformation Process ... 49
Tabel 2.3 Penelitian Terdahulu ... 93
xvi
Gambar 1.1 The Three Layers of Culture... 1
Gambar 2.1 Three Levels of Uniqueness in Mental Programming ... 20
Gambar 2.2 Development of Cross-Cultural Competence ... 79
Gambar 2.3 Indian Leadership Styles ... 88
Gambar 3.1 Strategi Analisis Data ... 102
Gambar 4.1 Authoritarian Style ... 131
Gambar 4.2 Bureaucratic-Task Style ... 134
Gambar 4.3 Nurturant Style ... 138
Gambar 4.4 Nurturant-Task Style ... 141
Gambar 4.5 Participative Style ... 144
xvii
Lampiran A Biodata Narasumber ... 171
Lampiran B Daftar Pertanyaan Wawancara ... 172
Lampiran C Surat Izin Penelitian ... 179
Lampiran D Bukti Melakukan Penelitian ... 180
Lampiran E Hasil Wawancara ... 181
Lampiran F Member Check ... 207
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Berbagai ras, suku, dan bangsa telah mendiami setiap titik kehidupan di dunia hingga saat ini. Tiap kelompok manusia yang tersebar memiliki identitas atau ciri tertentu yang memberi perbedaan antar bangsa. Identitas atau ciri tersebutlah yang disebut dengan budaya. Secara umum, pengertian budaya adalah suatu karakteristik kepercayaan dan perilaku yang telah dibentuk oleh sekelompok individu sejak dahulu (Briscoe, Schuler, & Claus, 2009). Penjelasan berbeda dipaparkan oleh Hofstede, yang mempersempit definisi mengenai budaya menjadi suatu program pemikiran kolektif yang membedakan tiap individu antar kelompok (Hofstede, 1991; Hofstede, Hofstede, & Minkov, 2010).
Gambar 1.1
The Three Layers of Culture
Sumber : International Human Resource Management Policies and Practices for Multinational Enterprise, Third Edition, 2009, hal. 71
Surface Culture
Hidden Culture
Dalam gambar 1.1, budaya dibagi menjadi 3 lapisan. Lapisan terluar atau budaya yang terlihat (surface or explicit culture) merupakan aspek yang dapat dilihat secara kasat mata seperti pakaian, makanan, hingga gaya arsitektural. Lapisan tengah atau budaya yang tersembunyi (hidden culture) merupakan aspek yang tidak terlihat secara kasat mata seperti agama, moral, hingga nilai-nilai kehidupan. Adapun lapisan inti atau budaya yang tidak terlihat (invisible culture) adalah kebenaran budaya universal (Briscoe et al., 2009), yakni kesesuaian antara budaya dengan fakta yang dipraktikkan oleh seluruh umat manusia di dunia.
Perbedaan antar bangsa yang ada tentunya membuat suatu kebudayaan bertolak belakang dengan kebudayaan yang lain. Dalam peta kebudayaan dunia, yang saling bertolak belakang adalah budaya Barat dan Timur. Segala aspek yang terkandung di dalamnya sangat berlawanan secara kontras. Dalam Mas’ud (2008), disebutkan bahwa pandangan dunia Barat terdiri dari:
a. Rasionalisme
Rasionalisme adalah paham yang menyatakan bahwa hanya ada sebuah sumber pengetahuan yang dapat diterima dan diandalkan, yakni rasio (akal) manusia. Rasio digunakan sebagai media untuk menjelaskan segala fenomena yang ada di dunia. Sedangkan untuk fenomena yang belum bisa dicerna oleh rasio, dimasukkan ke dalam kategori anomali.
b. Materialisme
hal-hal yang bersifat tidak kasat mata, sehingga tidak memiliki kepercayaan akan Tuhan, dewa-dewa, dan lain sebagainya. Paham ini merupakan kelanjutan dari paham rasionalisme, yakni rasio digunakan untuk menganalisis segala hal yang bersifat fisik untuk menjelaskan berbagai fenomena yang terjadi.
c. Humanisme
Humanisme adalah paham yang meyakini bahwa manusia adalah patokan atau standar atas segala sesuatu. Prinsip ini muncul sebagai akibat dari prinsip rasionalisme dan materialisme. Dalam humanisme, tidak ada hal yang bersifat mutlak, semua bersifat relatif. Contohnya dalam pandangan mengenai benar dan salah atas suatu hal, tidak semua orang akan setuju untuk membenarkan atau menyalahkan. Semua tergantung pada pemikiran masing-masing, karena paham humanisme menyatakan bahwa hakikat manusia ditentukan oleh manusia itu sendiri.
d. Sekulerisme
lahir sebagai konsekuensi dari ketiga paham sebelumnya. Masyarakat Barat yang terlalu menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi kurang atau bahkan tidak meyakini keberadaan Tuhan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa budaya Barat atau Western culture sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kebenaran yang diyakini merupakan hasil dari rentetan proses pembuktian atas suatu fenomena tertentu. Dengan demikian maka terciptalah karakter manusia yang unggul seperti tepat waktu, tekun, dan tak kenal menyerah dalam mencapai tujuan. Adapun yang paling menonjol dari bangsa Barat adalah paham kebebasan yang dianut. Yakni paham yang meyakini bahwa hidup adalah urusan masing-masing dan tidak selayaknya untuk diatur sedemikian rupa.
Inggris ke berbagai negara di belahan bumi bagian timur. Sikap tersebut bertahan hingga saat ini, yang tercermin dari peran Amerika Serikat sebagai pengontrol dunia dalam berbagai aspek. Contohnya di sektor keuangan, suku bunga di seluruh dunia selalu berpatokan pada The Fed (bank sentral Amerika Serikat).
Budaya Timur atau Eastern culture dapat dikatakan sebagai kebalikan dari budaya Barat. Beragam falsafah yang terkandung di dalamnya sangat berseberangan dengan pandangan dunia Barat. Budaya Timur teramat erat kaitannya dengan tradisi warisan leluhur. Adapun warisan dari leluhur tersebut merupakan kombinasi antara adat istiadat dan keyakinan akan adanya kekuatan tidak kasat mata yang mengontrol kehidupan manusia. Dalam berkehidupan, bangsa Timur memegang teguh norma-norma yang tertanam dalam masyarakat sejak dahulu kala (Tokonaga, 2014). Mulai dari cara menyapa hingga adab bertetangga dalam masyarakat, semuanya diatur oleh norma. Bangsa Timur juga meyakini akan hal-hal yang dianggap tabu atau tidak sesuai norma, yang jika dilakukan akan berdampak buruk baik bagi individu yang terkait maupun bagi individu yang lain. Sehingga dalam budaya Timur, norma adalah patokan atau standar kehidupan yang wajib diikuti oleh segenap masyarakat demi terciptanya kerukunan dan ketenteraman.
begitu meriah layaknya pesta di Indonesia. Bangsa Timur berkebalikan dengan bangsa Barat yang tidak begitu yakin akan eksistensi Tuhan. Kepercayaan yang dianut oleh bangsa Timur pun bervariasi. Islam diwakili oleh negara-negara di Timur Tengah serta Indonesia dan Malaysia. Hindu sudah sedemikian mengakar dalam kehidupan masyarakat India, walaupun India merupakan tempat lahirnya agama Buddha yang dicetuskan oleh Sidharta Gautama. Agama Buddha itu sendiri justru lebih banyak dijumpai di Asia Timur seperti Jepang dan Tiongkok. Adapun warisan kepercayaan dari leluhur dapat dijumpai di Jepang dengan Shinto (menyembah matahari) dan Tiongkok dengan Konfusianisme.
Indonesia adalah salah satu negara yang menjunjung tinggi adat ketimuran dalam setiap hela nafas kehidupan. Negara yang dijuluki sebagai “Zamrud
Khatulistiwa” ini terdiri dari beragam ras, suku, dan bangsa yang tersebar di
5 pulau besar serta ribuan pulau kecil lainnya. Tiap pulau tersebut memiliki khazanah budayanya masing-masing. Semangat pluralisme di Indonesia dilukiskan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti “walaupun berbeda-beda namun tetap satu jua”. Seperti halnya negara-negara Asia lainnya, antara budaya
seperti tradisi Syawalan di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Berbagai kesenian tradisional pun masih tetap eksis hingga saat ini, walau harus melakukan sedikit modifikasi seperti yang dilakukan oleh grup Wayang Orang (WO) Ngesti Pandawa Semarang dan Sriwedari Solo. Sederet hal tersebut menunjukkan bahwa budaya sangat lekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia dan akan selalu dipertahankan sampai kapanpun.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bawa keteguhan terhadap tradisi dan norma yang berlaku membuat karakteristik bangsa Timur sangat kontras dengan bangsa Barat. Bangsa Timur lekat dengan keramahan, sopan santun, dan semangat gotong royong yang tinggi (Carteret, 2011). Beragam nilai kehidupan warisan leluhur membuat bangsa Timur memiliki rasa saling menghargai antar sesama manusia. Ini tentunya berkebalikan dengan bangsa Barat yang terkesan acuh tak acuh dan menampilkan individualisme yang tinggi. Pola kontak sosial di Barat bersifat linear dan terstruktur, sedangkan di Timur dapat mencapai siapa saja dan menciptakan pola yang sangat kompleks serta bercabang di banyak tempat (Liu, 2016). Selain itu, karena fokus kehidupannya tidak untuk meraih mimpi seperti bangsa Barat, maka bangsa Timur cenderung santai dalam menjalani kehidupan. Jika dilihat memang bangsa Timur mempraktikkan pola kehidupan yang teratur mulai dari bangun hingga tidur kembali. Namun dalam menjalaninya tidak terlalu dituntut waktu seperti bangsa Barat.
semula berdiri kokoh menjadi terkikis sedikit demi sedikit. Sebagaimana dijelaskan oleh Friedman, bahwa globalisasi telah membuat dunia seolah mengecil dan terkesan “sama” di berbagai sisi (dalam Ang et al., 2007). Namun
bagi perkembangan dunia ekonomi, globalisasi telah berperan dalam menghasilkan suatu fenomena unik, yakni ekspatriasi (expatriation).
Ekspatriasi adalah suatu praktik mengirimkan tenaga-tenaga profesional untuk melaksanakan tugas di negara lain (Downes, Varner, & Hemmasi, 2010). Individu-individu yang melaksanakan penugasan internasional disebut dengan ekspatriat. Fenomena ekspatriasi telah terjadi seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan perusahaan-perusahaan multinasional yang giat dalam melebarkan sayapnya. Berbagai negara telah menjadi destinasi bagi penugasan internasional dan salah satunya adalah Indonesia. Direktorat Jenderal Penempatan dan Pembinaan Tenaga Kerja (Ditjen Binapenta, 2014, h. 2) menyebutkan bahwa:
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan tenaga kerja asing (TKA) adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di Indonesia.
Para ekspatriat tersebut tersebar di berbagai sektor, profesi, dan jenjang karir atau level jabatan. Umumnya mereka hadir karena adanya faktor penugasan dari organisasi atau perusahaan yang bersangkutan. Faktor tersebut sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Black et al. mengenai 3 peran strategis ekspatriat dalam internasionalisasi perusahaan, yakni fungsi manajemen, transfer ilmu pengetahuan, dan pembangunan manajerial (dalam Bonache & Fernandez, 2007).
a. Undang-Undang b. Peraturan Pemerintah c. Peraturan Presiden d. Peraturan Menteri e. Keputusan Menteri
f. Keputusan Direktur Jenderal Binapenta
g. MoU (Memorandum of Understanding) Ditjen Binapenta dengan Ditjen Imigrasi
Tabel 1.1
Sebaran Tenaga Kerja Asing di Indonesia
No. Negara 2011 2012 2013 2014*)
1. RR Tiongkok 16.153 16.731 14.371 15.341
2. Jepang 10.935 12.803 11.081 10.183
3. Korea Selatan 6.505 8.190 9.075 7.678
4. India 4.974 5.923 6.047 4.680
5. Malaysia 4.938 5.330 4.962 3.779
6. Amerika Serikat 4.483 4.644 2.197 2.497
7. Thailand 3.863 4.146 1.841 941
8. Australia 3.834 3.644 3.376 2.503
9. Filipina 3.816 3.5888 2.601 2.509
10. Inggris 3.144 3.292 2.631 2.092
11. Negara Lainnya 14.662 4.136 10.775 12.401 Total 77.307 72.427 68.957 64.604 Sumber : Tenaga Kerja Asing (TKA) dalam Data dan Informasi, Desember 2014, hal 13
*) Januari sampai dengan Oktober 2014
Jumlah ekspatriat yang tersaji dalam tabel 1.1 tidaklah mengherankan. Para manajer dan teknisi profesional di berbagai perusahaan multinasional telah mengunjungi berbagai belahan dunia secara berkelanjutan, sejalan dengan kondisi perusahaan yang semakin terintegrasi dalam ekonomi global (Caligiuri, 2000). Kemudian Black dan Gregersen (2007) menyatakan bahwa hampir 80 persen perusahaan besar dan menengah telah mengirimkan stafnya dalam rangka international assignment. Ekspatriat di Indonesia masih didominasi oleh
Tabel 1.2
Sebaran Tenaga Kerja Asing Berdasarkan Sektor
No. Sektor 2011 2012 2013 2014*)
1. Pertanian 10.537 2.200 8.015 2.582
2. Industri 23.534 34.051 24.039 23.482
3. Perdagangan dan Jasa 43.416 36.176 36.193 38.540 Total 77.307 72.427 68.957 64.604 Sumber : Tenaga Kerja Asing (TKA) dalam Data dan Informasi, Desember 2014, hal 14
*) Januari sampai dengan Oktober 2014
Dalam tabel 1.2, para ekspatriat mendominasi sektor industri serta perdagangan dan jasa. Para ekspatriat tersebut tersebar di berbagai perusahaan multinasional (contoh: Coca-Cola, Nestle, dan Danone) hingga jaringan hotel internasional (contoh: Swiss-Bellhotel, Accor, dan Hilton).
Tabel 1.3
Sebaran Tenaga Kerja Asing Berdasarkan Jabatan
No. Jabatan 2011 2012 2013 2014*)
1. Profesional 34.811 32.285 23.650 19.522
2. Advisor/Consultant 12.746 13.131 14.125 13.617
3. Manajer 12.485 11.707 13.924 12.557
4. Direksi 6.508 6.448 9.066 8.867
5. Supervisor 4.753 4.311 3.798 6.163
6. Teknisi 5.271 3.750 3.557 2.889
7. Komisaris 733 795 837 989
Total 77.307 72.427 68.957 64.604 Sumber : Tenaga Kerja Asing (TKA) dalam Data dan Informasi, Desember 2014, hal 14
*) Januari sampai dengan Oktober 2014
tenaga profesional yang mumpuni. Sehingga mau tidak mau harus mendatangkan tenaga asing untuk mengisi posisi tersebut.
Dari puluhan ribu ekspatriat yang bekerja di Indonesia, mayoritas berada di Pulau Jawa, termasuk Provinsi Jawa Tengah. Jumlah ekspatriat yang bekerja di Provinsi Jawa Tengah cukup banyak, yakni tercatat sebanyak 857 orang pada tahun 2013 (Ditjen Binapenta, 2014). Jika dilihat dari kuantitas memang kalah apabila dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain seperti DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Namun jumlah tersebut membuktikan bahwa Provinsi Jawa Tengah sudah cukup diperhitungkan sehingga masuk dalam daftar destinasi penugasan internasional. Salah satu kota di Provinsi Jawa Tengah yang menjadi kantong eksistensi tenaga kerja asing adalah Semarang.
Tabel 1.4
Tenaga Kerja Asing di Kota Semarang
No. Sektor 2011 2012 2013
1. Perindustrian/Perdagangan 289 282 295
2. Pertanian 1 1 2
3. Pertambangan Sumber Daya Mineral - - 2
4. Pemukiman dan Prasarana Wilayah - - 4
5. Kebudayaan dan Pariwisata 2 3 1
6. Pendidikan 41 47 45
7. Lembaga/Instansi Pemerintah 1 2 2
8. Jasa Konsultan 2 3 2
Jumlah 336 338 353
Berdasarkan tabel 1.4, dapat dilihat bahwa sebaran ekspatriat di Kota Semarang masih belum merata di semua sektor. Namun perlu digarisbawahi sekotor pendidikan menempati peringkat 2, di bawah perindustrian dan perdagangan. Hal tersebut tidaklah mengherankan, mengingat perkembangan sekolah-sekolah internasional di Kota Semarang yang cukup pesat dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena tersebut lahir dari perkembangan zaman yang berjalan beriringan dengan globalisasi, serta tuntutan manusia modern yang mengedepankan kualitas pendidikan terbaik bagi generasi muda. Pada tahun 2015, berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan No. 31 Tahun 2014, beberapa sekolah internasional beralih status menjadi satuan pendidikan kerja sama atau SPK (Rachman, 2015). SPK adalah satuan pendidikan yang dikelola melalui kerja sama antara Lembaga Pendidikan Asing (LPA) terakreditasi dan Lembaga Pendidikan Indonesia (LPI). Tidak semua ekspatriat yang bekerja di lembaga-lembaga tersebut berprofesi sebagai guru. Beberapa di antaranya menempati posisi sebagai pemimpin dan berperan sentral dalam mengarungi peta percaturan pendidikan di Kota Semarang. Dengan demikian, maka kepemimpinan ekspatriat menjadi komponen penting bagi institusi pendidikan yang dipimpin.
a. Kepemimpinan adalah sesuatu yang melekat pada diri seorang pemimpin yang berupa sifat-sifat tertentu seperti kepribadian (personality), kemampuan (ability), dan kesanggupan (capability) b. Kepemimpinan adalah serangkaian kegiatan (activity) pemimpin yang
tidak dapat dipisahkan dengan kedudukan (posisi) serta gaya atau perilaku pemimpin itu sendiri
c. Kepemimpinan adalah sebagai proses dari hubungan atau interaksi antara pemimpin, bawahan, dan situasi
Dalam konteks lintas budaya, kepemimpinan memiliki tantangan yang lebih kompleks dibandingkan kepemimpinan domestik. Bagi pemimpin ekspatriat, perbedaan budaya (cultural diversity) seolah menjadi jurang dalam yang berpotensi menjadi penghalang dalam mencapai tujuan organisasi. Khususnya di Indonesia, negara yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan norma yang berlaku di masyarakat. Culture shock tentunya menjadi kawan akrab di masa-masa awal kepemimpinan. Umumnya yang kerap dialami adalah persoalan bahasa, makanan, tempat tinggal, sistem transportasi umum, hingga tata cara berkehidupan dalam masyarakat. Culture shock tersebut tidak hanya berlaku bagi ekspatriat dari Barat, namun juga dari Timur. Contohnya saja ketika seorang manajer asal Jepang dengan tingkat kedisiplinan tinggi yang berhadapan dengan karyawan lokal dengan tingkat kedisiplinan yang lebih rendah.
menjelaskan bahwa perbedaan budaya membuat manajer ekspatriat menyesuaikan gaya kepemimpinannya saat memimpin karyawan lokal. Kemudian Russel dan Dickie (2007) menjabarkan sederet pengalaman yang dirasakan oleh manajer ekspatriat saat melebur dalam kebudayaan yang berbeda. Senada dengan Russel dan Dickie, Duncan (2014) juga menjelaskan mengenai pengalaman manajer ekspatriat, namun lebih fokus pada makna akan pengalaman tersebut bagi manajer ekspatriat. Perbedaan budaya memang menjadi masalah utama yang dihadapi oleh ekspatriat di Indonesia, namun sejatinya perlu diperhatikan bahwa kompetensi kepemimpinan merupakan suatu hal yang krusial atau penting untuk dimiliki. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Suutari et al., bahwa seorang ekspatriat dituntut untuk memiliki kompetensi kepemimpinan lintas budaya yang memadai.
Tabel 1.5
Content Domains of Intercultural Competence Instruments
Intercultural Competence
(IDI; Hammer & Bennett 1998)
- X -
Cultural Intelligence Scale
(CQS; Ang et al. 2007) - - X
Sumber : “Intercultural Competence”, The Annual Review Psychology and Organizational Behavior, 2014, hal. 492
Cultural intelligence (CQ) adalah kemampuan untuk bekerja secara efektif
dalam suatu kondisi dengan kebudayaan yang berbeda (Ang et al., 2007; Ang & Dyne, 2008). Situasi dan kondisi yang dimiliki suatu negara tentu berbeda dengan negara yang lain. Sehingga individu dalam dunia modern masa kini dituntut untuk mampu beradaptasi dan bekerja dengan suasana yang berbeda dari negara asal,
dalam rangka mencapai tujuan atau hasil yang diinginkan oleh perusahaan. CQ pertama kali diperkenalkan oleh P. Christopher Earley dan Soon Ang dalam
intelligence (IQ). Ang dan Dyne (2008) menjelaskan bahwa CQ merupakan
sebuah konstruksi multidimensional yang terdiri dari metacognitive (kesadaran), cognitive (pengetahuan), motivational (motivasi), dan behavioral (perilaku).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah adanya gap atau kesenjangan dari penelitian terdahulu yang masih terpusat pada perbedaan budaya. Di samping itu juga belum mengkaji perihal cultural intelligence (CQ) sebagai salah satu kompetensi yang mendukung kepemimpinan ekspatriat di Indonesia. Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka timbul pertanyaan penelitian sebagai berikut:
a. Apa peran CQ dalam menciptakan kepemimpinan lintas budaya yang efektif bagi pemimpin ekspatriat?
b. Apa gaya kepemimpinan yang dipraktikkan oleh ekspatriat dalam memimpin karyawan lokal?
1.3 Tujuan Penelitian
Pada penelitian ini, peneliti bertujuan untuk mengkaji perihal peranan cultural intelligence (CQ) dalam kepemimpinan lintas budaya yang dilakukan
1.4 Manfaat Penelitian a. Bagi Akademisi
Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh akademisi untuk mempelajari peranan cultural intelligence (CQ) bagi ekspatriat, khususnya dalam hal kepemimpinan.
b. Bagi Universitas Diponegoro
Dengan penelitian ini, maka peneliti ikut serta dalam mewujudkan visi Universitas Diponegoro sebagai universitas riset, dengan menghasilkan penelitian yang berkualitas dan mampu bersaing dengan universitas-universitas unggulan lainnya.
c. Bagi Pemimpin Ekspatriat di Indonesia
Dengan penelitian ini, maka pemimpin ekspatriat yang sudah atau akan berkarier di Indonesia dapat mengetahui lebih jauh perihal CQ sebagai salah satu kompetensi yang harus dimiliki dan dikembangkan. Sehingga CQ tersebut dapat menunjang kesuksesan ekspatriat dalam memimpin
karyawan lokal.
d. Bagi Pemimpin Ekspatriat dari Indonesia
1.5 Sistematika Penulisan
Penelitian ini dibagi menjadi 5 bagian sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I
Pendahuluan merupakan bagian yang menjelaskan latar belakang masalah, fokus penelitian, perumusan masalah yang diambil, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB II
Tinjauan pustaka merupakan bagian yang menjelaskan landasan teori yang berhubungan dengan penelitian serta hasil penelitian terdahulu mengenai hubungan antara cultural intelligence (CQ) dan kepemimpinan lintas budaya.
BAB III
Metode penelitian merupakan bagian yang menjelaskan perihal metode yang digunakan, sampel sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.
BAB IV
Hasil dan pembahasan merupakan bagian yang menjelaskan deskripsi objek penelitian, analisis data, dan pembahasan.
BAB V
20
TELAAH PUSTAKA
2.1 Landasan Teori dan Penelitian Terdahulu
2.1.1 Budaya
Budaya adalah suatu karakteristik kepercayaan dan perilaku yang telah
dibentuk oleh sekelompok individu sejak dahulu (Briscoe, Schuler, & Claus,
2009). Adapun Hofstede (1991) serta Hofstede, Hofstede, & Minkov (2010)
menjelaskan bawa budaya adalah suatu program pemikiran kolektif yang
membedakan tiap individu antar kelompok. Lebih lanjut, Hofstede et al.
menjelaskan bahwa budaya merupakan bagian dalam program pembentukan
mental, sehingga perlu dipisahkan antara sifat dasar manusia dengan
kepribadian individu. Budaya ada untuk dipelajari, tidak hanya sekedar
diwarisi dan diperoleh dari lingkungan sosial, sehingga sifatnya bukan
genetis.
Gambar 2.1
Three Levels of Uniqueness in Mental Programming
Sumber: Cultures and Organizations: Software of the Mind (Rev. 3rd ed.),
2010, hal. 6 Universal
Spesific to group or category
Spesific to individual
Human Nature Personality
Culture
Inherited Learned
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
budaya adalah suatu hal yang membedakan individu antar kelompok, atau
antara suatu kelompok dengan kelompok yang lain. Budaya merupakan
sebuah ciri khas yang melekat pada setiap bangsa yang mendiami dunia ini.
Tanpa adanya budaya, maka seluruh manusia yang ada di dunia akan terkesan
sama, semu, dan homogen. Budaya memberi warna dengan segala aspeknya
dan mengiringi kehidupan seluruh umat manusia di dunia.
Gambar 2.1 secara jelas menunjukkan bahwa budaya merupakan suatu
hal yang dipelajari dan mengacu secara spesifik pada kelompok atau kategori
tertentu. Hal tersebut sejalan dengan penjelasan Peoples dan Bailey (1988),
bahwa budaya adalah pengetahuan atau knowledge yang dipancarkan secara
sosial oleh suatu kelompok atau individu. Peoples dan Bailey kemudian juga
menjelaskan bahwa ada beberapa unsur budaya yang terkait dengan
kehidupan manusia, yaitu:
a. Technological knowledge (pengetahuan teknis) secara umum
mengacu pada pengetahuan yang dimiliki oleh seorang individu
mengenai bagaimana cara membuat dan menggunakan peralatan
(tools) untuk hidup sebagai bagian dari lingkungan sosialnya
b. Norms (norma) adalah suatu aturan ideal mengenai bagaimana
sebaiknya seseorang bertindak dalam situasi tertentu
c. Values (nilai) terdiri dari beragam tujuan atau gaya hidup yang
diinginkan atau bermanfaat bagi individu, kelompok, atau
d. Collective understanding (pemahaman kolektif) yakni kemampuan
seorang individu untuk saling berinteraksi tanpa adanya keharusan
untuk menjelaskan mengenai apa yang dilakukan oleh
masing-masing
Unsur-unsur tersebut saling berkaitan satu sama lain dalam mengisi kehidupan
manusia. Pemahaman kolektif tidak akan timbul tanpa adanya pengetahuan,
demikian pula antara norma dan nilai yang saling beriringan dalam
membentuk perilaku manusia.
Budaya erat kaitannya dengan kehidupan manusia. Manusia adalah
makhluk sosial, yang tidak bisa hidup tanpa adanya kehadiran manusia yang
lain. Dengan kodrat tersebut, maka manusia perlu menemukan kelompok
dalam kehidupan sosialnya sebagai suatu cara untuk bertahan hidup.
Kelompok yang dimaksud tentunya adalah kelompok yang terbentuk akibat
adanya suatu kesamaan tertentu. Berdasarkan pemahaman tersebut, Hofstede
et al. (2010) kemudian merumuskan lapisan budaya yang berdasarkan
kelompok-kelompok sosial, yang terdiri dari:
a. National level, mengacu pada kebangsaan atau kewarganegaraan
b. Regional / ethnic / religious & linguistic affiliation level,
sebagaimana suatu negara atau bangsa terdiri dari
kelompok-kelompok budaya / etnis / agama dan bahasa yang berbeda
c. Gender level, mengacu pada keadaan tiap orang, yakni terlahir
sebagai pria atau wanita
d. Generation level, suatu tingkat yang membedakan antar generasi,
e. Social class level, diasosiasikan dengan tingkat pendidikan dan
profesi seseorang
f. Organizational or corporate level, mengacu pada cara seorang
karyawan bersosialisasi dengan lingkungan kerjanya
Tiap lapisan tersebut saling terkait dalam membentuk sistem sosial yang
berkembang di masyarakat. Tiap individu tidak hanya terkonsentrasi pada satu
kelompok saja, namun juga terlibat dalam kelompok yang lain. Namun
demikian, hubungan antar kelompok sosial tersebut tidak selalu harmonis.
Contohnya saja, antara gender values dapat bertentangan dengan generation
values dan religious values yang kurang bisa ditempatkan dalam
organizational values.
Dalam perkembangan literatur mengenai budaya, terdapat berbagai
dimensi yang telah dipaparkan oleh para praktisi terdahulu. Adapun
penjelasan mengenai berbagai dimensi tersebut telah dirangkum oleh
Hofstede (2011), yaitu:
1. Edward T. Hall
a. High-context cultures (mayoritas informasi bersifat implisit)
b. Low-context cultures (hampir semua informasi bersifat eksplisit)
2. Talcott Parsons dan Edward Shils
a. Affectivity (membutuhkan kepuasan) versus affective neutrality
(pengendalian perasaan)
b. Self-orientation versus collectivity-orientation
c. Universalism (menerapkan standar umum) versus particularism
d. Ascription (menilai orang berdasarkan apa yang terlihat) versus
achievement (menilai orang berdasarkan apa yang dilakukan)
e. Specificity (membatasi hubungan pada lingkup tertentu) versus
diffuseness (tidak ada batasan dalam hubungan dengan siapapun)
3. Florence Kluckhohn dan Fred Strodtbeck
a. Evaluasi mengenai perilaku manusia atau human nature (evil -
mixed - good)
b. Hubungan manusia dengan alam atau natural environtment
(subjugation - harmony - mastery)
c. Orientasi pada waktu atau time (toward past - present - future)
d. Orientasi pada aktivitas atau activity (being - being in becoming -
doing)
e. Hubungan di antara orang-orang atau relationships among people
(linearity, i.e., hierarchically ordered positions–collaterality, i.e.,
group relationships–individualism)
4. Mary Douglas
a. Group atau inklusi – klaim dari kelompok atas anggota
b. Grid atau klasifikasi – sejauh mana interaksi tunduk pada
peraturan
Berbagai dimensi di atas tentunya diperoleh dari pengamatan mendalam yang
dilakukan oleh para praktisi. Pengamatan yang dilakukan terhadap perilaku
manusia tersebut pada akhirnya melahirkan beragam dimensi yang membantu
Hingga kini, budaya umumnya diidentikkan dengan seni dan tradisi.
Banyak orang yang jika ditanya mengenai pengertian budaya, maka secara
otomatis akan menjawabnya dengan menyebutkan bermacam-macam
kesenian dan tradisi. Padahal sejatinya, seni dan tradisi merupakan
aspek-aspek yang terkandung dalam budaya. Budaya itu sendiri sifatnya sangat
kompleks dan memiliki banyak aspek. Gambar 1.1 telah menunjukkan
pemahaman mengenai hal ini secara sederhana. Budaya tidak hanya sekedar
apa yang terlihat saja, namun juga mencakup apa yang tidak terlihat.
Contohnya saja, pola pikir masyarakat Eropa tentu berbeda dengan
masyarakat Asia. Pun begitu dengan nilai-nilai kehidupan yang dianut oleh
tiap bangsa, juga termasuk dalam budaya. Dengan pesatnya perkembangan
zaman, tiap individu perlu lebih memahami hakikat budaya, khususnya dalam
menjalani kehidupan sehari-hari. Hal ini perlu dilakukan agar batasan-batasan
budaya tiap bangsa tetap terjaga dan tidak tergerus oleh modernitas yang
senantiasa berkembang.
2.1.2 Budaya Nasional
2.1.2.1 Dimensi Budaya Nasional
Setiap bangsa memiliki kebudayaannya masing-masing, dengan
ciri khas tertentu yang melekat dalam setiap aspek kehidupan. Dengan
demikian, maka tiap bangsa dan negara yang ada di dunia tentunya
saling berbeda. Hofstede et al. (2010) menjelaskan bahwa perbedaan
yang ada pada tiap bangsa dan negara tidak hanya sekedar budaya saja.
Perbedaan tersebut berakar dari sejarah, yang kemudian berkembang
institusi (peraturan, hukum, organisasi). Hofstede et al. kemudian juga
menjelaskan bahwa sistem kebangsaan itu sendiri baru mulai
diperkenalkan pada pertengahan abad ke-20. Beberapa pakar seperti
Geert Hofstede dan Font Trompenaars (dalam Briscoe et al., 2009)
kemudian mengklasifikasikan bangsa-bangsa yang ada di dunia menjadi
berbagai kelompok, yang terdiri dari:
a. Anglo (Australia, Kanada, Irlandia, Selandia Baru, Afrika
Selatan, Inggris, Amerika Serikat)
b. Arab (Abu-Dhabi, Bahrain, Kuwait, Oman, Arab Saudi,
Uni Emirat Arab)
c. Far Eastern (Hong Kong, Tiongkok, Indonesia, Malaysia,
Filipina, Singapura, Vietnam, Taiwan, Thailand)
d. Germanic (Austria, Jerman, Swiss)
e. Latin American (Argentina, Chili, Kolumbia, Meksiko, Peru,
Venezuela)
f. Latin European (Belgia, Prancis, Italia, Portugal, Spanyol)
g. Near Eastern (Yunani, Iran, Turki)
h. Nordic (Denmark, Finlandia, Norwegia, Swedia)
i. Independent (Brazil, India, Israel, Jepang, Korea Selatan)
Pengelompokan sejenis seperti yang diuraikan di atas juga dipaparkan
dalam sebuah riset prestisius bernama GLOBE (Global Leadership and
Organizational Behavior Effectiveness). Hanya saja perbedaannya
terletak pada Far Eastern yang dibagi menjadi 2 kluster, yakni Southern
Dalam berbagai literatur mengenai budaya, terdapat penjelasan
mengenai beragam dimensi dalam budaya nasional. Dimensi yang
paling terkenal adalah buah pemikiran Geert Hofstede yang terdiri dari 5
dimensi. Namun seiring dengan perkembangan literatur, seorang
praktisi asal Bulgaria bernama Michael Minkov menambahkan sebuah
dimensi lagi. Sehingga dimensi Hofstede kini terdiri dari 6 dimensi
(Hofstede et al., 2010; Hofstede, 2011), yaitu:
a. Power Distance – sejauh mana anggota yang kurang kuat
dalam organisasi atau institusi menerima dan berharap bahwa
kekuatan didistribusikan secara tidak merata
b. Uncertainty Avoidance – sejauh mana anggota dalam
kelompok budaya merasa nyaman atau tidak nyaman ketika
menghadapi situasi yang tidak terstruktur
c. Individualism versus Collectivism – integrasi manusia
menjadi kelompok-kelompok primer
d. Masculinity versus Femininity – pembagian peran emosional
antara pria dan wanita
e. Long Term versus Short Term Orientation – pilihan manusia
terhadap fokus usaha, yakni masa depan, masa kini, dan masa
lalu
f. Indulgence versus Restraint – kepuasan dan kontrol atas
hasrat dasar manusia yang saling berlawanan dalam
Adapun dimensi Hofstede tersebut kemudian dikembangkan menjadi 9
dimensi oleh studi GLOBE (dalam House et al., 2002; House et al.,
2010; Hofstede, 2011), yang terdiri dari:
a. Institutional Collectivism – sejauh mana praktik organisasi
dan institusi sosial dalam mendorong serta menghargai
distribusi kolektif atas sumber daya dan tindakan kolektif
b. In-group Collectivism – sejauh mana individu
mengekspresikan kebanggaan, loyalitas, dan kekompakan
dalam organisasi atau keluarga
c. Power Distance – sejauh mana anggota masyarakat berharap
dan setuju bahwa kekuatan harus dibuat bertingkat dan
terpusat pada tingkat yang lebih tinggi pada organisasi atau
pemerintahan
d. Performance Orientation – sejauh mana sebuah organisasi
atau kelompok masyarakat mendorong dan menghargai
anggota atas peningkatan performa dan keunggulan
e. Gender Egalitarianism – sejauh mana suatu kelompok
masyarakat meminimalisasi peran perbedaan gender ketika
mempromosikan kesetaraan gender
f. Future Orientation – sejauh mana individu dalam organisasi
atau kelompok masyarakat terkait dengan perilaku yang
berorientasi pada masa depan seperti perencanaan, investasi
untuk masa depan, dan menunda kepuasan individual atau
g. Humane Orientation – sejauh mana anggota dalam kelompok
masyarakat mendorong dan menghargai antar sesamanya
terhadap berbagai sikap seperti adil, ramah, bijaksana, peduli,
dan baik terhadap orang lain
h. Assertiveness – sejauh mana anggota dalam kelompok
masyarakat adalah individu yang tegas atau agresif dalam
hubungan sosial
i. Uncertainty Avoidance – sejauh mana anggota dalam
kelompok masyarakat mencari kepastian dalam
lingkungannya dengan bergantung pada norma sosial, ritual,
dan praktik birokrasi
Di samping dimensi Hofstede dan GLOBE, masih terdapat dimensi
budaya nasional menurut Trompenaars (dalam Briscoe et al., 2009),
yang terdiri dari:
a. Universalism versus Particularism (penekanan pada aturan
terhadap hubungan)
b. Collectivism versus Individualism
c. Ragam ekspresi emosional (neutral versus emotional)
d. Berbagai keterlibatan dengan orang lain (diffuse versus
specific)
e. Dasar untuk menilai status pada orang lain (achievement
versus ascription)
Walaupun sudah memiliki identitas tersendiri, dalam setiap
Berbagai dimensi yang sudah diuraikan di atas merupakan gambaran
atau cerminan dari perbedaan-perbedaan yang ada pada suatu kelompok
masyarakat. Hendaknya tiap individu menyikapi segala perbedaan yang
ada dengan bijaksana. Hal tersebut perlu untuk dilakukan agar
keharmonisan dan kerukunan dapat tercipta dalam kehidupan
bermasyarakat.
2.1.2.2 Budaya Nasional dan Manajemen
Manajemen berasal dari kata “to manage” yang artinya mengatur
(Hasibuan, 2004). Secara sederhana, manajemen adalah sebuah
rangkaian kegiatan yang terdiri dari planning (merencanakan),
organizing (mengatur), actuating (melaksanakan), dan controlling
(mengawasi). Adapun Davis dan Filley (1973) mengklasifikasikan
manajemen menjadi sebagai berikut:
a. Manajemen sebagai sebuah posisi (administratif; operatif;
“middle management”)
b. Manajemen sebagai sebuah pekerjaan atau aktivitas
(pembuatan keputusan; mengkoordinasi melalui pemikiran
dan tindakan; merencanakan, mengatur, mengawasi)
Manajemen merupakan sebuah nyawa dalam organisasi. Dengan
manajemen yang baik, maka organisasi dapat meraih tujuan-tujuannya.
Seperti yang dijelaskan oleh Bloom dan Van Reenen (2010) bahwa
perusahaan dengan praktik manajemen yang baik cenderung memiliki
produktif, lebih cepat tumbuh, dan memiliki tingkat ketahanan yang
lebih tinggi.
Dengan keragaman yang ada di seluruh penjuru dunia, tentunya
tiap negara memiliki karakteristik manajemennya masing-masing.
Mohiuddin (2012) menyebutkan bahwa gaya manajemen telah terbukti
dipengaruhi oleh budaya sosial di tiap negara. Adapun Bloom dan Van
Reenen (2010) dalam kajiannya menjelaskan bahwa:
a. Praktik manajemen sangat berbeda antar perusahaan dan negara.
Mayoritas perbedaan mengacu pada buruknya sistem manajemen
dalam perusahaan. Contohnya, di Amerika Serikat hanya
terdapat beberapa perusahaan yang termasuk kategori “very
badly managed”. Namun sebaliknya perusahaan dengan kategori
tersebut banyak terdapat di Brazil dan India.
b. Negara dan perusahaan memiliki praktik manajemen yang
berbeda. Contohnya, Amerika Serikat memiliki sistem insentif
yang lebih baik daripada Swedia. Namun sebaliknya, Swedia
lebih baik daripada Amerika Serikat dalam hal pengawasan.
Penjelasan di atas cukup menjelaskan bahwa setiap negara memiliki ciri
khasnya masing-masing dalam praktik manajemen. Ilmu manajemen
memang berasal dari Barat, namun hal tersebut tidak berarti bahwa
sistem manajemen Barat dapat diterapkan di semua negara.
Shukla, Balaji, & Rani (2015) menyebutkan bahwa gaya
manajemen di dunia mengacu pada 2 hal, yakni individualisme dan
Barat, yang menjunjung tinggi semangat kebebasan dan fokus utama
adalah meraih tujuan personal. Sedangkan kolektivisme dipraktikkan
oleh negara-negara Timur, dengan frasa “there’s no me, but WE” dan
memberikan kontribusi penuh terhadap kebutuhan organisasional.
Tabel 2.1
Characteristics of Top Management: A Comparison
Organic Type – Japan System Type – USA
Facilitator Decision maker
Social leader Professional
Group strength Individual initiative and creativity
Emphasis on human relations Emphasis on functional relations
Management by consensus Management by objectives
Leader adapts to change Systems adapt to change
Tabel 2.1 telah menunjukkan adanya perbedaan yang cukup signifikan
dalam praktik manajemen antara Barat dan Timur. Walaupun demikian,
bukan berarti masing-masing negara Timur maupun Barat memiliki
keseragaman dalam praktik manajemen. Jika manajemen Tiongkok
mengikuti prinsip-prinsip Konfusianisme, maka manajemen Uni Emirat
Arab dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Islam. Demikian pula dengan
praktik manajemen negara-negara di Eropa yang saling berbeda. Seperti
yang dijelaskan oleh Perlitz dan Seger (2004), faktor utama yang
melatarbelakangi perbedaan manajemen di Eropa adalah adanya Sumber : “A Comparative Study on Different Styles of Management”,
perbedaan kerangka hukum yang mendasar, yang mengacu pada
Prancis, Jerman, Skandinavia, dan Anglo-Saxon.
Budaya nasional memiliki pengaruh besar terhadap praktik
manajemen dalam organisasi, sehingga tidak dapat dipandang sebelah
mata. Gerhart dan Fang (2005) menyebutkan bahwa ketidakcocokan
antara budaya nasional dengan manajemen dapat mengurangi
keefektifan organisasi. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka tiap
organisasi perlu memerhatikan dengan cermat budaya nasional yang
berlaku untuk diterapkan dalam praktik manajemen. Dengan demikian,
maka organisasi akan selangkah lebih maju dalam mencapai segenap
tujuannya.
2.1.3 Budaya India
India merupakan salah satu negara berkembang di dunia yang memiliki
luas wilayah terbesar di Asia Selatan. 2 hal yang paling ikonik dari India
tentunya adalah industri film (Bollywood) dan mahakarya arsitektural yang
menjadi bagian dari keajaiban dunia, Taj Mahal. Tidak jauh berbeda dengan
Indonesia, India juga merupakan sebuah negara dengan “great diversity”.
Sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia,
India terdiri dari 28 negara bagian dan 7 teritori (Zimmermann, 2015).
Selain itu juga merupakan rumah bagi beragam etnis, suku, kasta, dan agama
(Cheema, 2011). Keragaman tersebut menimbulkan berbagai fenomena unik,
salah satunya adalah ketiadaan bahasa resmi. Tidak semua masyarakat India
berbicara dalam bahasa Hindi. Zimmermann menyebutkan bahwa beberapa
dalam kehidupan sehari-hari. Menurut sejarah, kebudayaan India adalah
budaya yang tertua di dunia. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan
Zimmermann yang menyebutkan bahwa berbagai sumber mendeskripsikan
budaya India sebagai “Sa Prathama Sanskrati Vishvavara” atau “budaya
pertama dan tertinggi di dunia”. Lebih lanjut, Chhokar (2002) menyatakan
bahwa budaya India saat ini merupakan hasil dari evolusi atas kelangsungan
hidup dan perubahan budaya.
Sejarah mencatat bahwa India pernah mengalami masa kolonialisasi
atau penjajahan oleh Inggris. Pada masa itu, bangsa India dianggap lebih
rendah dari bangsa kulit putih Eropa. Kolonial Inggris membatasi segala
pergerakan dalam setiap bidang seperti perekonomian, pendidikan, politik,
hukum, dan lain sebagainya. Kemerdekaan yang diraih oleh India dipelopori
dan diperjuangkan oleh Mahatma Gandhi. Adapun cara yang dilakukan oleh
Gandhi terbilang cukup unik. Gandhi tidak menyukai pertumpahan darah
antar sesama manusia, sehingga dalam memerjuangkan kemerdekaan tidak
melalui peperangan yang menjemukan. Perjuangan yang dilakukan adalah
aktivitas yang lebih membangun, yakni dengan mencukupi kebutuhan primer
secara mandiri seperti pakaian dan garam. Saat itu pihak Inggris tidak
mengizinkan masyarakat India untuk memproduksi garam sendiri, namun
diharuskan untuk membeli dengan harga yang tinggi. Hal yang sama juga
berlaku untuk pakaian. Gandhi kemudian memopulerkan aktivitas memintal
benang menjadi kain dengan alat pemintal tradisional sederhana, yang disebut
dengan gerakan Khadi. Gerakan Khadi inilah yang kemudian menjadi simbol
Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, budaya India saat ini
merupakan sebuah hasil atas evolusi. Evolusi yang dimaksud tersebut adalah
hasil perjalanan panjang dari masa kerajaan, kolonialisasi Inggris, masuknya
Islam, hingga Westernisasi dan kedatangan imigran. Tiap fase yang dihadapi
tersebut membawa karakteristiknya masing-masing dan membentuk bangsa
India di masa kini. Berikut ini adalah penggambaran mengenai budaya India
yang terangkum dalam Culture of India (n.d) dan Indian Culture (n.d), yang
terdiri dari:
a. Humanity – bangsa India adalah bangsa yang humanis dan tenang,
tidak mengenal kekerasan dalam prinsip dan ideologi yang dianut
b. Tolerance – gerakan satyagraha atau ahimsa yang dipelopori oleh
Mahatma Gandhi mengajarkan bahwa kebebasan atau kemerdekaan
dapat diraih tanpa harus menumpahkan darah antar sesama manusia
c. Unity – India merupakan sebuah kombinasi dari nilai-nilai tradisi
lama dan prinsip-prinsip modern, yang memuaskan ketiga generasi
yang ada saat ini
d. Secularism – kebebasan beragama sangat dijunjung tinggi dan tidak
ada batasan yang diterapkan bagi kepercayaan tertentu
e. Closely knit of social system – sistem sosial yang berlaku di
masyarakat didasari oleh kerja sama dan persaudaraan
Adapun Singh (2011) menjelaskan bahwa nilai-nilai inti budaya India terdiri
a. Sistem Kasta
Sistem kasta atau Varna bersumber dari ajaran Hindu yang
merupakan agama mayoritas di India. Terdapat 4 kasta dalam budaya
India yakni Brahma (Brahmin), Ksatria (Khsatriya), Waisya (Vaishya),
dan Sudra (Shudra). Brahma merupakan kasta tertinggi, yang diisi oleh
para elit dan terpelajar. Ksatria sebagai kasta kedua diisi oleh para
prajurit. Kemudian Waisya yang diperuntukkan bagi para pedagang dan
Sudra sebagai kasta terendah yang diisi oleh fakir miskin.
b. Siklus Waktu
Dalam budaya India, waktu diyakini sebagai sebuah siklus yang
selalu berjalan, bukan sebagai sejarah. Dengan pandangan yang banyak
dipengaruhi oleh ajaran Hindu dan Buddha, manusia yang sudah
meninggal akan terlahir kembali atau mengalami reinkarnasi, sebagai
bentuk siklus waktu. Di samping itu juga terdapat kepercayaan bahwa
posisi seorang manusia dalam masyarakat ditentukan oleh performa
di kehidupan yang sebelumnya. Kepercayaan mengenai siklus waktu
tersebut akhirnya menghasilkan masyarakat India dengan orientasi
waktu jangka panjang.
c. Moralitas
Dalam budaya India, Dharma merupakan panutan utama yang
mengarahkan kesejahteraan dan keamanan bagi semua orang. Prinsip
Dharma menitikberatkan pada berbagi limpahan rezeki serta peduli
terhadap sesama manusia dan makhluk hidup lainnya. Dharma tidak
diaktualisasikan dalam tindakan (aachaara). Adapun yang menjadi
hukum paling penting dalam Dharma adalah karma, yakni manusia
harus siap memetik atau menuai hasil dari perbuatan yang telah
dilakukan, tidak hanya di masa kini namun juga di masa depan.
d. Moderasi
Masyarakat India ditandai dengan adanya moderasi yang melekat
dalam kehidupan sehari hari. Sehingga sudah lumrah jika orang tua
mengingatkan anaknya mengenai berbagai hal. Secara psikologis,
bangsa India merupakan kombinasi antara kolektivisme dan
individualisme. Adapun individualisme tersebut dapat berperan selama
tidak melanggar norma-norma yang berlaku.
e. Kekerabatan
Keluarga merupakan sebuah organisasi fundamental yang
membentuk karakteristik individual. Di India, hierarki kekeluargaannya
adalah masculine atau lebih didominasi oleh kaum pria. Adapun dalam
tipikal keluarga India, wanita berperan sebagai pemegang status
marginal dan pria sebagai pembuat keputusan mayoritas.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dilihat bahwa nilai budaya
India tidak jauh berbeda dengan bangsa Asia pada umumnya. Tradisi warisan
leluhur tetap dipelihara, dilestarikan, dan diselaraskan dengan kehidupan
modern. Keragaman budaya yang ada tidak dianggap sebagai batasan atau
penghalang, namun justru menjadi kunci bagi semangat kebersamaan yang
2.1.4 Ekspatriasi
2.1.4.1 Pengertian dan Jenis Ekspatriat
Seiring dengan pesatnya pertumbuhan dan perkembangan
ekonomi global, sudah tidak asing lagi bagi seorang individu untuk
menetap di suatu negara tertentu dalam rangka penugasan internasional
(Shelton, 2006). Pernyataan tersebut merupakan penjelasan dari
fenomena ekspatriasi atau expatriation yang lahir berkat globalisasi.
Individu yang terlibat dalam proses ekspatriasi disebut dengan ekspatriat
atau expatriate.
Umumnya ekspatriat dilandasi oleh faktor penugasan dan
rekrutmen dari instansi atau perusahaan yang terkait. Ada pula yang
mulanya hanya sekedar berwisata, namun kemudian menetap dan
membangun usaha mandiri. Tidak sedikit pula yang akhirnya menjadi
ekspatriat karena faktor keluarga, yakni meniti karier di luar negara asal
karena mengikuti pasangan. Adapun dalam Reiche dan Harzing (2009),
dari 3 kebijakan penggunaan staf internasional dalam perusahaan
multinasional, 2 di antaranya dapat dikategorikan sebagai tipe ekspatriat
berdasarkan kewarganegaraan atau kebangsaan, yakni:
a. Parent Country National (PCN)– kebangsaan karyawan sama
dengan perusahaan induk yang memberi penugasan (contoh:
orang Jerman yang bekerja di Volkswagen cabang Tiongkok)
b. Third Country National (TCN) – kebangsaan karyawan