• Tidak ada hasil yang ditemukan

Participative Style

Dalam dokumen Peran Cultural Intelligence CQ dalam Kep (1) (Halaman 158-165)

BAB IV PEMBAHASAN

4.2 Analisis Data

4.2.2.5 Participative Style

Berdasarkan hasil wawancara, seluruh partisipan sepakat bahwa Principal bukanlah pemimpin yang memiliki kecenderungan untuk

0 1 2 3 4 5 6

Hanya bersikap baik kepada staf tertentu

Memberi perlakuan khusus kepada staf

tertentu

Memberi pujian kepada staf

Iya Tidak

bersikap partisipatif. Dari 3 poin yang diajukan dalam wawancara, hanya satu poin saja yang menimbulkan jawaban beragam. Seluruh partisipan memberikan jawaban yang seragam saat menanggapi perihal konsultasi dan sikap informal. Namun jawaban yang berbeda muncul ketika menyikapi perihal kebebasan yang diberikan pada staf untuk menyelesaikan suatu permasalahan secara bersama-sama.

Ketika menangani berbagai hal yang terkait dengan kepentingan sekolah, Principal menyatakan bahwa beliau kerap berkonsultasi dengan para staf. Hampir setiap hari beliau manfaatkan untuk berkonsultasi dengan staf. Para staf pun sepakat dalam menyikapi hal tersebut. Mereka menyatakan bahwa Principal adalah sosok pemimpin yang sangat terbuka untuk konsultasi. Jika ada hal yang dirasa perlu untuk dikonsultasikan terlebih dahulu dengan staf, pasti akan beliau lakukan. Partisipan ke-3 menuturkan bahwa:

Iya, misalnya soal kontrak. Beliau sudah memperoleh draft dari atasan, kemudian disampaikan ke supervisor, apa yang masih kurang, jadi beliau membutuhkan saran.” (Irene Dyah A. A., 28 tahun, Koordinator Preschool / Guru Kelas TK B).

Kemudian ketika ada suatu permasalahan yang dihadapi oleh staf, Principal menyatakan bahwa beliau memberi kebebasan kepada staf untuk menyelesaikannya secara bersama-sama. Beliau menyatakan bahwa secara keseluruhan, staf memperoleh kebebasan untuk melakukan hal tersebut. Namun tidak semua staf sepakat dalam hal ini. Muncul kontradiksi dalam jawaban yang diberikan oleh para staf yang

menjadi partisipan. Partisipan ke-2 menyatakan bahwa beliau memberi kebebasan kepada staf, seperti yang dijelaskan sebagai berikut:

Kalau beliau, misalnya ada problem dengan parents, daripada kita (guru) selesaikan sendiri tetapi tidak berakhir dengan baik, beliau akan lebih berkenan kalau kita berdiskusi dulu bersama-sama, baru kemudian solusinya disampaikan ke parents.” (Leni Setiowati, 32 tahun, Guru Bahasa Mandarin).

Adapun partisipan ke-3 dan ke-4 menyatakan bahwa sesekali Principal memberi kebebasan pada staf. Jadi sifatnya adalah case by case atau tergantung pada persoalan yang dihadapi. Sedangkan partisipan ke-5 menyatakan bahwa Principal belum terlihat seperti itu.

Principal adalah seseorang yang formal. Beliau berusaha untuk selalu profesional, sehingga tidak sering menunjukkan sikap informal. Di samping itu, beliau juga menganggap bahwa perbedaan usia dengan staf menyebabkan beliau tidak bisa bersikap informal. Hal serupa juga diutarakan oleh partisipan yang lain. Para staf yang menjadi partisipan sepakat bahwa Principal adalah sosok pemimpin yang menjunjung tinggi formalitas. Beliau juga jarang menghabiskan waktu dengan staf karena memiliki kesibukan yang harus dikerjakan. Partisipan ke-4 menuturkan bahwa:

Beliau sangat tidak suka informal. Beliau tipenya yang formal sekali. Saya ingat beliau pernah berkata bahwa beliau adalah pribadi yang sangat formal. Terutama dalam cara berpakaian, beliau berharap kita semua formal.” (Fitriyanti Le, 38 tahun, Koordinator Middle & Senior School).

Sumber: Data Primer

Gambar 4.4 Participative Style

Berdasarkan grafik di atas, maka dapat dilihat bahwa Principal tidak secara mutlak memenuhi kriteria sebagai pemimpin yang partisipatif. Ada kesepahaman antara beliau dan staf perihal konsultasi yang kerap dilakukan. Namun kesepahaman tersebut tidak tampak dalam menyikapi proses penyelesaian masalah. Principal menyatakan bahwa beliau memberi kebebasan pada staf untuk menyelesaikan suatu permasalahan secara bersama-sama. Staf ada yang mengakui hal tersebut, namun ada juga yang tidak. Bahkan ada pula staf yang menyatakan bahwa kebebasan tersebut hanya diberikan sesekali saja, atau tidak berlaku di setiap waktu. Kemudian Principal adalah sosok yang sangat formal, sehingga beliau tidak sering bersikap informal dan jarang menghabiskan waktu bersama staf.

0 1 2 3 4 5 6 Kerap berkonsultasi dengan staf Menyelesaikan suatu permasalahan secara bersama-sama Bersikap informal terhadap staf Iya Tidak Terkadang

4.2.3 Kepemimpinan yang Efektif

Berdasarkan hasil wawancara, seluruh partisipan sepakat bahwa Principal adalah sosok pemimpin yang efektif. Efektivitas tersebut ditunjukkan melalui berbagai karakter yang telah terlihat dalam diri Principal. Baik Principal maupun staf memiliki definisi yang berbeda mengenai pemimpin yang efektif. Namun uniknya, walaupun jawaban yang diberikan berbeda, seluruh jawaban yang diberikan sudah tampak dalam diri Principal.

Bagi Principal, pemimpin dapat dikatakan efektif apabila mampu mengeluarkan kinerja yang terbaik dari segenap staf tanpa menimbulkan stres. Untuk mewujudkan pemikiran tersebut, Principal berujar bahwa beliau menyiapkan serangkaian instruksi bagi para staf. Namun beliau tetap memegang prinsip untuk tidak menuntut tenaga yang berlebihan dari staf. Maka beliau tidak hanya membuat instruksi saja, namun juga menerangkan bagaimana cara untuk mengaturnya agar staf mampu menyelesaikan berbagai tugas dalam waktu yang bersamaan.

Saya tanamkan dalam benak saya, bahwa saya tidak boleh menuntut terlalu banyak pekerjaan pada seseorang. Itu semua tetap harus terbatas pada pekerjaan yang mampu dilakukan. Saya membuat instruksi untuk mereka (staf), tetapi saya juga memberi tahu mereka bagaimana cara untuk mengaturnya, jadi mereka mampu melakukan berbagai aktivitas pada saat yang bersamaan. Kadang-kadang saya memberitahu mereka bagaimana cara untuk menyederhanakan prosedur, jadi mereka mampu untuk melakukan multitasking.” (Smitha Sharma, 54 tahun, Principal).

Pendapat yang berbeda diutarakan oleh partisipan yang lain. Partisipan ke-2 menyatakan bahwa pemimpin yang efektif adalah orang yang mau secara

langsung terjun ke lapangan. Karena terkadang ada pemimpin yang hanya mau menerima komplain saja. Sejatinya seorang pemimpin tidak hanya menerima komplain saja, tetapi juga melakukan cross-check dan menimbang baik buruknya. Kemudian partisipan ke-3 menyatakan bahwa seorang pemimpin itu harus selalu mendengarkan pendapat staf, karena setelah mendengarkan maka akan mampu untuk berpikir dan mencari solusi terbaik. Jika pemimpin tidak bisa mendengarkan bawahannya, hanya berkutat dengan visi atau pikirannya sendiri, hanya akan merugikan staf. Adapun partisipan ke-4 menuturkan bahwa:

Orangnya harus komunikatif. Saya rasa, kalau ada segala sesuatu yang terjadi, maka hal tersebut harus dikomunikasikan dengan bawahan. Selain komunikasi, dia juga harus memberikan contoh yang baik kepada bawahan. Dalam artian, pemimpin tidak hanya memberi perintah saja namun juga menunjukkan bahwa dia bisa melakukan apa yang diperintahkan kepada bawahan.” (Fitriyanti Le, 38 tahun, Koordinator Middle & Senior School).

Sedangkan partisipan ke-5 menyatakan bahwa seorang pemimpin dapat dikatakan efektif apabila mampu meningkatkan kesejahteraan staf.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka makna pemimpin yang efektif

adalah seseorang yang mau mendengarkan bawahannya, komunikatif, mau terjun langsung ke lapangan, serta mampu meningkatkan kesejahteraan

staf. Di mata para staf yang menjadi partisipan, karakteristik tersebut telah ada dalam diri Principal. Beliau tidak ragu untuk terjun langsung melihat situasi dan kondisi yang dialami oleh staf. Partisipan ke-2 berujar bahwa:

Contohnya begini, ada parents yang komplain, mengapa anaknya tidak diberi tugas. Kemudian saya terangkan permasalahannya kepada Principal. Lalu beliau menyaksikan sendiri di kelas yang saya ampu,

bahwa durasi yang ada tidak memungkinkan untuk memberi tugas kepada siswa.” (Leni Setiowati, 32 tahun, Guru Bahasa Mandarin). Kemudian Principal juga berusaha untuk setingkat lebih maju dalam menyejahterakan staf. Ketika beliau mengetahui bahwa masih ada beberapa guru yang belum memiliki asuransi jiwa, maka beliau langsung menghubungi pihak BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Ketenagakerjaan untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Lalu contoh yang lain sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa beliau juga telah memperjuangkan nasib beberapa staf yang belum memperoleh status sebagai pegawai tetap. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kecenderungan beliau untuk mau mendengarkan merupakan karakteristik kebangsaan yang dimilikinya. Yakni beliau akan dengan senang hati menerima berbagai pendapat dalam menyikapi suatu permasalahan tertentu. Beliau tidak menutup diri terhadap berbagai kemungkinan solusi yang ada.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dilihat bahwa hingga saat ini Principal sudah memimpin secara efektif. Hasil kepemimpinan beliau memang belum terlihat secara signifikan, karena GMIS Semarang masih dalam tahap permulaan. Namun beliau sudah menunjukkan berbagai karakteristik pemimpin yang efektif, baik yang disebutkan oleh dirinya sendiri maupun beberapa stafnya. Yakni komunikatif, mau terjun langsung ke lapangan, mau mendengarkan pendapat staf, dan memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan staf.

Dalam dokumen Peran Cultural Intelligence CQ dalam Kep (1) (Halaman 158-165)