2. Secara praktis, hasil analisis ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca agar lebih kritis dan dapat memahami makna dan tanda yang disampaikan dalam sebuah iklan
3. Secara akademis, penelitian ini dapat menjadi sumbangsih kepada Departemen Ilmu Komunikasi Fisip USU, guna memperkaya bahan rujukan penelitian dan sumber bacaan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Paradigma
Paradigma Konstruktivisme dalam ilmu sosial merupakan kritik terhadap paradigma positivis. Menurut paradigma konstruktivisme, realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua orang yang biasa dilakukan oleh kaum positivis. Paradigma konstruktivisme yang ditelusuri dari pemikiran Weber, menilai perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan perilaku alam karena manusia bertindak sebagai agen yang mengonstruksi dalam realitas sosial mereka, baik melalui pemberian makna maupun pemahaman perilaku di kalangan mereka sendiri.
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme karena penelitian yang bersifat kualitatif ini ingin mencari makna yang tersembunyi dibalik iklan Mie Sedaap rasa Ayam Spesial dan mencari hubungannya dengan citra budaya Indonesia.
2.2 Uraian Teoritis
2.2 1 Komunikasi
Kata atau istilah komunikasi (dari bahasa Inggris “communication”),secara etimologis atau menurut asal katanya adalah dari bahasa Latincommunicatus, dan perkataan ini bersumber pada kata communis Dalam kata communis ini memiliki makna ‘berbagi’ atau ‘menjadi milik bersama’ yaitu suatu usaha yang memiliki tujuan untuk kebersamaan atau kesamaan makna.
Komunikasi secara terminologis merujuk pada adanya proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain.Jadi dalam pengertian ini yang terlibat dalam komunikasi adalah manusia. Karena itu merujuk pada pengertian Ruben dan Steward(1998:16) mengenai komunikasi manusia yaitu:
Human communication is the process through which individuals –
in relationships, group, organizations and societies—respond to
and create messages to adapt to the environment and one another.
Bahwa komunikasi manusia adalah proses yang melibatkan individu-individu dalam suatu hubungan, kelompok, organisasi dan masyarakat yang merespon dan menciptakan pesan untuk beradaptasi dengan lingkungan satu sama lain.
Untuk memahami pengertian komunikasi tersebut sehingga dapat dilancarkan secara efektif dalam Effendy(1994:10) bahwa para peminat komunikasi sering kali mengutip paradigma yang dikemukakan oleh Harold Lasswell dalam karyanya, The Structure and Function of Communication in Society. Lasswell mengatakan bahwa cara yang baik untuk untuk menjelaskan komunikasi ialah dengan menjawab pertanyaan sebagai berikut: Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect?
Paradigma Lasswell di atas menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu,yaitu:
1. Komunikator (siapa yang mengatakan?) 2. Pesan (mengatakan apa?)
3. Media (melalui saluran/ channel/media apa?) 4. Komunikan (kepada siapa?)
5. Efek (dengan dampak/efek apa?).
Jadi berdasarkan paradigma Lasswell tersebut, secara sederhana proses komunikasi adalah pihak komunikator membentuk(encode) pesan dan menyampaikannya melalui suatu saluran tertentu kepada pihak penerima yang menimbulkan efek tertentu
2.2 2 Tujuan Komunikasi
Dalam berkomunikasi, tidak hanya untuk memahami dan mengerti satu dengan yang lainnya tetapi juga memiliki tujuan dalam berkomunikasi. Pada umumnya komunikasi mempunyai beberapa tujuan antara lain (Effendy, 1992:8) :
mengubah sikapnya. Misalnya, memberikan informasi mengenai bahaya narkoba pada masyarakat dan remaja khususnya dengan tujuan agar masyarakat dan remaja menjadi tahu bahaya narkoba.
b. Untuk mengubah opini (to change the opinion), yakni memberikan berbagai informasi kepada mayarakat agar masyarakat mau mengubah pendapat dan persepsinya terhadap tujuan informasi yang disampaikan, misalnya informasi mengenai pemilu.
c. Untuk mengubah perilaku (to change the behavior), yaitu memberikan berbagai informasi kepada masyarakat dengan tujuan agar masyarakat akan mengubah perilakunya. Misalnya informasi yang diberikan oleh Pihak Kepolisian kepada masyarakat pengguna sepeda motor agar selalu menggunakan helm selama berkendara untuk keselamatan pengguna itu sendiri.
d. Untuk mengubah masyarakat (to change the society), yaitu memberikan berbagai informasi kepada masyarakat, yang pada akhirnya bertujuan agar masyarakat mau mendukung dan ikut serta terhadap tujuan informasi yang disampaikan
2.2 3 Fungsi Komunikasi
William I. Gorden (dalam Deddy Mulyana, 2005:5-30) mengkategorikan fungsi komunikasi menjadi empat, yaitu:
1. Sebagai komunikasi sosial
sama dengan anggota masyarakat (keluarga, kelompok belajar, perguruan tinggi, RT, desa, ..., negara secara keseluruhan) untuk mencapai tujuan bersama.
a. Pembentukan konsep diri. Konsep diri adalah pandangan kita mengenai diri kita, dan itu hanya bisa kita peroleh lewat informasi yang diberikan orang lain kepada kita. Melalui komunikasi dengan orang lain kita belajar bukan saja mengenai siapa kita, namun juga bagaimana kita merasakan siapa kita. Anda mencintai diri anda bila anda telah dicintai; anda berpikir anda cerdas bila orang-orang sekitar anda menganggap anda cerdas; anda merasa tampan atau cantik bila orang-orang sekitar anda juga mengatakan demikian. George Herbert Mead (dalam Jalaluddin Rakhmat, 1994) mengistilahkan significant others (orang lain yang sangat penting) untuk orang-orang disekitar kita yang mempunyai peranan penting dalam membentuk konsep diri kita. Ketika kita masih kecil, mereka adalah orang tua kita, saudara-saudara kita, dan orang yang tinggal satu rumah dengan kita. Richard Dewey dan W.J. Humber (1966) menamai affective others, untuk orang lain yang dengan mereka kita mempunyai ikatan emosional. Dari merekalah, secara perlahan-lahan kita membentuk konsep diri kita. Selain itu, terdapat apa yang disebut dengan reference group (kelompok rujukan) yaitu kelompok yang secara emosional mengikat kita, dan berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri kita. Dengan melihat ini, orang mengarahkan perilakunya dan menyesuaikan dirinya dengan ciri-ciri kelompoknya. Kalau anda memilih kelompok rujukan anda Ikatan Dokter Indonesia, anda menjadikan norma-norma dalam Ikatan ini sebagai ukuran perilaku anda. Anda juga meras diri sebagai bagian dari kelompok ini, lengkap dengan sifat-sifat doketer menurut persepsi anda.
langsung ke pokok masalah, penanya atau komentator itu sering berbicara panjang lebarm mengkuliahi hadirin, dengan argumen-argumen yang terkadang tidak relevan.
c. Untuk kelangsungan hidup, memupuk hubungan, dan memperoleh kebahagiaan. Sejak lahir, kita tidak dapat hidup sendiri untuk mempertahankan hidup. Kita perlu dan harus berkomunikasi dengan orang lain, untuk memenuhi kebutuhan biologis kita seperti makan dan minum, dan memnuhi kebutuhan psikologis kita seperti sukses dan kebahagiaan. Para psikolog berpendapat, kebutuhan utama kita sebagai manusia, dan untuk menjadi manusia yang sehat secara rohaniah, adalah kebutuhan akan hubungan sosial yang ramah, yang hanya bisa terpenuhi dengan membina hubungan yang baik dengan orang lain. Abraham Moslow menyebutkan bahwa manusia punya lima kebutuhan dasar: kebutuhan fisiologis, keamanan, kebutuhan sosial, penghargaan diri, dan aktualisasi diri. Kebutuhan yang lebih dasar harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum kebuthan yang lebih tinggi diupayakan. Kita mungkin sudah mampu kebuthan fisiologis dan keamanan untuk bertahan hidup. Kini kita ingin memenuhi kebutuhan sosial, penghargaan diri, dan aktualisasi diri. Kebutuhan ketiga dan keempat khususnya meliputi keinginan untuk memperoleh rasa lewat rasa memiliki dan dimiliki, pergaulan, rasa diterima, memberi dan menerima persahabatan. Komunikasi akan sangat dibutuhkan untuk memperoleh dan memberi informasi yang dibutuhkan, untuk membujuk atau mempengaruhi orang lain, mempertimbangkan solusi alternatif atas masalah kemudian mengambil keputusan, dan tujuan-tujuan sosial serta hiburan.
2. Sebagai komunikasi ekspresif
secara lebih ekpresif lewat perilaku nonverbal. Seorang ibu menunjukkan kasih sayangnya dengan membelai kepala anaknya. Orang dapat menyalurkan kemarahannya dengan mengumpat, mengepalkan tangan seraya melototkan matanya, mahasiswa memprotes kebijakan penguasa negara atau penguasa kampus dengan melakukan demontrasi.
3. Sebagai komunikasi ritual
Suatu komunitas sering melakukan upacara-upacara berlainan sepanjang tahun dan sepanjang hidup, yang disebut para antropolog sebagarites of passage,mulai dari upacara kelahiran, sunatan, ulang tahun, pertunangan, siraman, pernikahan, dan lain-lain. Dalam acara-acara itu orang mengucapkan kata-kata atau perilaku-perilaku tertentu yang bersifat simbolik. Ritus-ritus lain seperti berdoa (salat, sembahyang, misa), membaca kitab suci, naik haji, upacara bendera (termasuk menyanyikan lagu kebangsaan), upacara wisuda, perayaan lebaran (Idul Fitri) atau Natal, juga adalah komunikasi ritual. Mereka yang berpartisipasi dalam bentuk komunikasi ritual tersebut menegaskan kembali komitmen mereka kepada tradisi keluarga, suku, bangsa. Negara, ideologi, atau agama mereka.
4. Sebagai komunikasi instrumental
Komunikasi instrumental mempunyai beberapa tujuan umum, yaitu: menginformasikan, mengajar, mendorong, mengubah sikap, menggerakkan tindakan, dan juga menghibur.
Komunikasi berfungsi sebagi instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi dan pekerjaan, baik tujuan jangka pendek ataupun tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendek misalnya untuk memperoleh pujian, menumbuhkan kesan yang baik, memperoleh simpati, empati, keuntungan material, ekonomi, dan politik, yang antara lain dapat diraih dengan pengelolaan kesan (impression management), yakni taktik-taktik verbal dan nonverbal, seperti berbicara sopan, mengobral janji, mengenakankan pakaian necis, dan sebagainya yang pada dasarnya untuk menunjukkan kepada orang lain siapa diri kita seperti yang kita inginkan.
Sementara itu, tujuan jangka panjang dapat diraih lewat keahlian komunikasi, misalnya keahlian berpidato, berunding, berbahasa asing ataupun keahlian menulis. Kedua tujuan itu (jangka pendek dan panjang) tentu saja saling berkaitan dalam arti bahwa pengelolaan kesan itu secara kumulatif dapat digunakan untuk mencapai tujuan jangka panjang berupa keberhasilan dalam karier, misalnya untuk memperoleh jabatan, kekuasaan, penghormatan sosial, dan kekayaan.
Berkenaan dengan fungsi komunikasi ini, terdapat beberapa pendapat dari para ilmuwan yang bila dicermati saling melengkapi. Misal pendapat Onong Effendy (1994), ia berpendapat fungsi komunikasi adalah menyampaikan informasi, mendidik, menghibur, dan mempengaruhi. Sedangkan Harold D Lasswell (dalam Nurudin, 2004 dan Effendy, 1994:27) memaparkan fungsi komunikasi sebagai berikut:
1. Penjajagan/pengawasan lingkungan (surveillance of the information) yakni penyingkapan ancaman dan kesempatan yang mempengaruhi nilai masyarakat.
2. Menghubungkan bagian-bagian yang terpisahkan dari masyarakat untuk menanggapi lingkungannya .
2.2 5 Komunikasi Massa
Komunikasi massa merupakan suatu tipe komunikasi manusia yang lahir seiring dengan penggunaan alat-alat mekanik yang mampu melipat gandakan pesan-pesan komunikasi. Dalam catatan sejarah publistik, komunikasi massa dimulai satu setengah abad abad setelah mesin cetak ditemukan oleh Johan Gutenberg (Wiryanto, 2004:67). Komunikasi Massa sebagai suatu cara yang paling banyak digunakan oleh masyarakat pada saat ini, baik secara komersil ataupun tidak. Perkembangan teknologi komunikasi menyebabkan arus komunikasi dapat berlangsung sangat cepat bahkan hanya dalam hitungan detik.
Menurut Wiryanto komunikasi massa diadopsi dari istilah bahasa Inggris,
mass comunication, sebagai kependekan dari mass media communication
(komunikasi media massa). Artinya, komunikasi yang menggunakan media massa atau komunikasi yang mass mediated. Istilah mass communication diartikan sebagai salurannya, yaitu media massa sebagai kependekatan dari komunikasi media massa (Wiryanto, 2004:69).
Secara teori, pada satu sisi, konsep komunikasi massa mengandung pengertian sebagai suatu proses dimana institusi media massa memproduksi dan menyebarkan pesan kepada publik secara luas, namun pada sisi lain, komunikasi massa merupakan proses dimana pesan tersebut dicari, digunakan, dan dikomsumsi oleh audience. Fokus kajian dalam komuikasi massa adalah media massa. Media massa adalah institusi yang menebarkan informasi berupa pesan, berita, peristiwa (Bungin, 2006:258). Dengan kata lain berdasarkan pengertian Bungin di atas media massa adalah alat yang menyampaikan informasi secara cepat dari sumber pesan ke semua orang.
memungkinkan terjadinya dialog antara pengirim dan penerima; (3) Meluas serempak, artinya dapat mengatasi rintangan waktu dan jarak, karena ia memiliki kecepatan. Bergerak secara luas dan simultan, dimana informasi yang disampaikan diterima oleh banyak orang pada saat yang sama; (4) memakai peralatan tekhnis atau mekanis seperti majalah, televisi, surat kabar dll; (5) bersifat terbuka, artinya pesannya dapat diterima oleh siapa saja dan dimana saja tanpa mengenal usia, jenis kelamin, dan suku bangsa (Cangara, 2006:122).
Josep A. Devito mendefenisikan ada dua pengertian tentang komunikasi massa yaitu, pertama komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya. Ini tidak berarti bahwa khalayak meliputi seluruh penduduk atau semua ornag yang membaca atau semua ornag yang menonton televisi, agaknya ini tidak berati pula bahwa khalayak itu besar dan pada umumnya agak sukar mendefenisikan. Kedua, komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar audio atau visual. Komunikasi massa barangkali akan lebih mudah dan lebih logis bila didefenisikan menurut bentuknya (televisi, radio, surat kabar, majalah,film dan sebagainya) (Nurudin,2007:12). Dengan demikian segala bentuk alat komunikasi yang dapat menjangkau khalayak bisa digolongkan kedalam alat komunikasi massa.
2.2 6 Iklan
jasa yang dijual dipasang di dalam media massa seperti surat kabar, televisi, radio dan lain – lain (KBBI:882). Jadi, berbeda dengan sebuah informasi tantang suatau benda atau jasa, jadi, iklan mempunyai sifat “mendorong” dan “membujuk” agar kita mengingat, menyukai, memilih dan kemudian membelinya. Iklan ada suatu kegiatan menyampaikan berita tetapi berita itu disampaikan atas pesanan pihak yang ingin agar produk atau jasa yang dijualnya diingat, disukai, dipilih dan dibeli. Iklan ditujukan kepada khalayak ramai. 27
Batasan iklan dapat dilihat sebagai “salah satu bentuk komunikasi yang terdiri atas informasi dan gagasan tentang suatu produk yang akan ditujukan pada khalayak secara serempak agar memperoleh sambutan baik. Iklan berusaha untuk memberikan informasi, membujuk dan meyakinkan” (Khoemeny, 2002:25). kegiatan periklanan, sebetulnya sudah dimulai sejak jaman peradaban Yunani kuno dan Romawi kuno. Pada awalnya, iklan dilakukan dalam bentuk pesan berantai atau disebut juga the world of mouth. Pesan berantai ini dilakukan untuk membantu kelancaran jual beli di dalam masyarakat, yang pada waktu itu belum mengenal huruf dan hanya mengenal sistem barter dalam kegiatan jual belinya. Setelah manusia mulai menggunakan sarana tulisan sebagai alat penyampaian pesan, maka kegiatan periklanan mulai menggunakan tulisan – tulisan atau gambar yang dipahatkan pada batu, dinding atau papan (Noviani, 2002:2). Sejarah yang berkembang pada zaman Yunani tersebut akan menjadi tonggak yang akan mengubah bentuk dunia periklanan dimasa sekarang.
Periklanan terus berkembang dari tahun ke tahun dalam percaturan industri dan ekonomi dunia. Dengan sistem pengendalian yang baik iklan telah menyumbangkan jasa reproduksi komoditas yang besar bagi perkembangan industri. Kebutuhan periklanan terus meningkat sampai sekitar $85.000.000 per tahun. Surat kabarlah yang paling banyak menikmati keuntungan peningkatan ini sampai mencapai setengah dari keuntungan mereka. Seratus tahun kemudian, pada awal abad ke-19, surat kabar tetap menikmati keadaan ini sehingga iklan menjadi sistem yang tak terpisahkan dengan semua percaturan bisnis perusahaan.
Dan ketika dunia mengenal televisi pada tahun 1900-an, peran iklan menjadi lebih popular lagi. Bersamaan dengan itu pula, iklan televisi mulai mengendalikan dominasi periklanan hingga sampai saat ini (Khomeiny, 2002:29). Ketika iklan mulai dikenal masyarakat, dia masih berbentuk relief, iklan Koran atau iklan papan nama. Hal ini disebabkan karena media informasi pada saat itu masih sangat terbatas, sebagai keterbatasan masyarakat. Demikian pula perkembangan iklan mengikuti perkembangan media massa pada saat itu.
Karenanya, iklan pertama berupa relief kemudia menjadi iklan koran dan papan nama, berkembangan lagi menjadi iklan radio dan sekarang iklan ditayangkan di televisi, internet, disamping iklan – iklan luar yang muncul dan bertebaran di mana – mana dengan berbagai bentuk.
Untuk mengkaji iklan dengan perspektif semiotika, bisa dilakukan dengan mangkaji sistem tanda dalam iklan. Iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas lambang baik vebal maupun yang berupa ikon. Iklan juga menggunakan 29tiruan indeks, terutama dalam iklan radio dan film. Roland Barthes menganalisa iklan berdasarkan iklan yang dikandungnya berupa :
1. pesan lingustik (semua kata dan kalimat dalam iklan),
2. pesan ikonik yang terkodekan ( konotasi yang muncul dalam foto iklan yang hanya dapat berfungsi jika dikaitkan dengan sistem tanda yang lebih luas dalam masyarakat)
warna yang ditampilkan di dalam iklan, dan yang secara tidak khusus meniru rupa atas bentuk realitas.
Di dalam iklan, tanda – tanda digunakan secara aktif dan dinamis, sehingga orang tidak lagi membeli produk untuk pemenuhan kebutuhan (need), melainkan membeli makna – makna simbolik (simbolic meaning), yang menempatkan Konsumer di dalam struktur komunikasi yang dikonstruksi secara sosial oleh sistem produksi/konsumsi (produser, marketing, iklan) (Piliang, 2003:287).
Periklanan merupakan salah satu bentuk khusus komunikasi untuk memenuhi fungsi pemasaran. Iklan adalah bentuk penyajian pesan yang dilakukan oleh komunikator secara nonpersonal melalui media untuk ditujukan pada komunikan dengan cara membayar (Rendra, 2005:13). Iklan memberikan informasi dan membujuk khalayak ramai agar membeli produk-produk yang ditawarkan. Iklan harus dapat mempengaruhi pemilihan dan 30 keputusan pembeli (Jefkins, 1997:15). Iklan harus menarik dan diperlukan kreatifitas dalam pembuatannya. Untuk menghasilkan iklan yang kreatif diperlukan strategi kreatif. Strategi kreatif dianggap sebagai hasil terjemahan dari berbagai informasi mengenai produk, pasar, dan konsumen sasaran ke dalam suatu posisi tertentu di dalam komunikasi yang kemudian dapat dipakai untuk merumuskan iklan.
Pengakajian dalam perspektif semiotika melalui sistem tanda dalam iklan, iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas lambing, baik verbal maupun non-verbal. Dalam memilih sampel iklan agar bisa dianalisis, dapat dipilih beberapa iklan menarik yang penuh dengan simbol – simbol yang mempunyai makna tersendiri yang dapat dianalisis. Sebaiknya iklan yang dipilih adalah iklan dengan orang, objke, latar belakang menarik, naskah yang menarik dan sebagainya.
Dalam menganalisis iklan, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan, sebagai berikut:
3. Fenomena sosiologi : demografi orang di dalam iklan dan orang – orang yang menjadi sasaran iklan, merefleksikan kelas sosial ekonomi, gaya hidup (life style)
dan sebagainya
4. Sifat daya tarik yang dibuatuntuk menjual produk, melalui naslah dan orang – orang yang digunakan dalam iklan.
5. Desain dari iklan tersebut, perwajahan yang digunakan, warna dan unsur estetik lainnya.
6. Publikasi yang ditemukan di dalam iklan dan khalayak yang diharapkan oleh publikasi tersebut (berger, 2000 : 199)
Iklan (advertisement), sebagai sebuah objek semiotika, mampu mempunyai perbedaan mendasar dengan desain yang bersifat tiga dimensional, khususnya desain produk. Iklan, seperti media komunikasi massa pada umumnya, mempunya fungsi komunikasi langsung (direct communication function), sementara sebuah desain produk mempunyai fungsi komunikasi yang tidak langsung (indirect communication function). Oleh sebab itu, di dalam iklan aspek – aspek komunikasi seperti pesan (message) merupakan unsur utama iklan, yang di dalam sebuah desain produk hanya merupakan salah satu aspek saja dari berbagai aspek utama lainnya (fungsi, manusia, produksi). (Piliang, 2003:263)
2.2 7 Citra Budaya
Iris Varner dan Linda Beamer, dalam Intercultural Communication in the Global Workplace, mengartikan bahwa kebudayaan sebagai pandangan yang koheran tentang sesuatu yang dipelajari, yang dibagi, atau yang dipertukarkan sekelompok orang. Pandangan itu berisi apa yang mendasari kehidupan, apa yang menjadi derajat kepentingan, tentang sikap mereka yang tepat terhadap sesuatu, gambaran suatu perilaku yang harus diterima oleh sesama atau yang berkaitan dengan orang lain (Liliweri, 2001:8).
Kebudayaan adalah komunikasi simbolis, simbolisme itu adalah keterampilan kelompok, pengetahuan, sikap, nilai, dan motif. Makna dari simbol-simbol itu dipelajari dan disebarluaskan dalam masyarakat melalui institusi (Liliweri, 2001:8).
Menurut Levo-Henrikson (1994), kebudayaan itu meliputi semua aspek kehidupan kita setiap hari, terutama pandangan hidup-apa pun bentuknya-baik itu mitos maupun sistem nilai dalam masyarakat (Liliweri, 2001:9)
Di dalam konteks komunikasi antar budaya perlu disadari bahwa manusia selalu berkomunikasi sesamanya melintasi ruang dan waktu (konteks). Konteks itu acapkali memang ada dalam benak manusia, namun perlu dipahami bahwa konteks itu merupakan kombinasi yang melibatkan para peserta komunikasi yang mengisi ‘ruang dan waktu’ komunikasi.
Ada tiga karakteristik penting dari kebudayaan, yaitu.(1) kebudayaan itu dapat dipelajari, (2) kebudayaan itu dapat dipertukarkan, dan (3) kebudayaan itu tumbuh serta berubah (Liliweri, 2001:57).
Kita sebuat kebudayaan itu dapat dipelajari karena interaksi antarmanusia ditentukan oleh penggunaan simbol, bahasa verbal maupun nonverbal. Tradisi Budaya, nilai-nilai, kepercayaan, dan standar perilaku semuanya diciptakan oleh kreasi manusia dan bukan sekedar diwarisi secara instink, melalui proses pendidikan dengan cara-cara tertentu menurut kebudayaan. Perlu diketahui bahwa setiap manusia lahir dalam suatu keluarga, kelompok sosial terntentu yang telah memiliki nilai, kepercayaan, dan standar perilaku yang ditransmisikan melalui interaksi di antara mereka. Jika kebudayaan itu tak dapat dipelajari maka tak mungkinlah manusia yang hidup kini dapat menciptakan barang-barang material, seperti pakaian, makanan, rumah, dan alat-alat rumah tangga baik baik dalam lingkungan kebudayaan sendiri maupun diketahui oleh lingkungan kebudayaan orang lain. Hanya melalui sosialisasi maka kita dapat mempelajari nilai, agama, norma, bahasa, dan kepercayaan yang bersifat abstrak, dan dengan itulah manusia terus menjalani kehidupan mereka.
Disamping dipelajari, kebudayaan itu juga dipertukarkan. Istilah pertukaran merujuk pada kebiasaan individu atau kelompok untuk menunjukkan kualitas kelompok budayanya. Dalam interaksi dan pergaulan antar manusia setiap orang mewakili kelompoknya lalu menunjukkan kelebihan-kelebihan budayanya dan membiarkan orang lain mempelajarinya. Proses pertukaran budaya, terutama budaya material, dilakukan melalui mekanisme ‘belajar budaya’ yang mengakibatkan para ibu yang berasal dari Sunda dan jawa dapat belajar memasak jagung bose (masakan jagung yang bercampur santan kelapa) dan sebaliknya para ibu dari Timor dan Flores belajar membuat oncom dan bajigur dari sunda.
berubah semakin rinci (kompleks) dan kemudian dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi lain. Tenun ikat dari Ende dan Lio di Flores mula-mula ditenun dengan benang yang dicelupkan ke dalam nila. Akibat perkembangan teknologi industri maka lama kelamaan nila mulai ditinggalkan dan para penennun memakai benang sutera sehingga dapat menghasilkan tenun ikat berkualtas ekspor.
2.2 8 Semiotika
Semiotika merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda. Konsep tanda ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia antara yang ditandai (signified) dan yang menandai (signifier). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”.Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), fungsi tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Semiotik mengkaji tanda, penggunaan tanda dan segala sesuatuyang bertalian dengan tanda. Dengan kata lain, perangkat pengertian semiotik (tanda, pemaknaan, denotatum dan interpretan) dapat diterapkan pada semua bidang kehidupan asalkan ada prasyaratnya dipenuhi, yaitu ada arti yang diberikan, ada pemaknaan dan ada interpretasi (Cristomy dan Untung Yuwono, 2004:79).
Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik, bisa dipersepsi indra kita, maksudnya tanda mengacu pada sesuatu di luar tanda itu sendiri: dan bergantung pada pengenalan oleh penggunanya sehingga bisa disebut tanda.
Simbol merupakan tanda berdasarkan konvensi, peraturan atau perjanjian yang disepakati bersama. Simbol baru dapat dipahami jika seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati bersama. Simbol baru dapat dipahami jika seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya. Contohnya: Garuda Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah burung yang memiliki perlambang yang kaya makna. Namun bagi orang yang memiliki latar budaya yang berbeda, seperti orang eskimo, Garuda Pancasila akan dianggap sebagai burung yang biasa saja yang disamakan dengan burung-burung sejenis elang lainnnya.
Berdasarkan bagan di atas dapat dijelaskan bahwa pikiran merupakan mediasi antara simbol dengan acuan. Atas dasar hasil pemikiran itu pula terbuahkan referensi yaitu hasil penggambaran maupun konseptualisasi acuan simbolik. Dengan demikian referensi merupakan gambaran hubungan antara tanda kebahasaan berupa kata-kata maupun kalimat dengan dunia acuan yang membuahkan satua pengertian tertentu. Simbol berbeda dengan tanda, simbol mempunyai arti yang lebih mendalam, simbol merupakan sebuah tanda yang berdasarkan pada konvensi, peraturan atau perjanjian yang disepakati bersama.
Simbol baru dapat dipahami seseorang jika seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya. Burung Dara adalah simbol perdamaian, angka adalah simbol, kita tidak tahu mengapa bentuk 2 mengacu pada sepasang objek; hanya karena konvensi atau peraturan dalam kebudayaanlah yang membuatnya begitu.
2.2 9 Semiologi Roland Barthes
berpendapat bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsiasumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Salah satu area penting yang dirambah Roland Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda tetap membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua (two order significations) yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya.
Tradisi semiotika pada awal kemunculannya cenderung berhenti sebatas pada makna-makna denotatif alias semiotika denotasi. Sementara bagi Barthes, terdapat makna lain yang justru bermain pada level yang lebih mendalam, yakni pada level konotasi. Pada tingkat inilah warisan pemikiran Saussure dikembangkaln oleh Barthes dengan membongkar praktik pertandaan di tingkat konotasi tanda. Konotasi bagi Barthes justru mendenotasikan sesuatu hal yang ia nyatakan sebagai mitos, dan mitos ini mempunyai konotasi terhadap ideologi tertentu.
Tanda konotatif tidak hanya memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Tambahan ini merupakan sumbangan Barthes yang amat berharga atas penyempurnaannya terhadap semiologi Saus sure, yang hanya berhenti pada penandaan pada lapis pertama atau pada tataran denotatif semata. Dengan membuka wilayah pemaknaan konotatif ini, ‘pembaca’ teks dapat memahami Sumber: Roland Barthes (dalam Storey: 1994: 110) penggunaan gaya bahasa kiasan dan metafora yang itu tidak mungkin dapat dilakukan pada level denotatif (Manneke Budiman, dalam Christomy dan Yuwono, 2004: 255). Bagi Barthes, semiotika bertujuan untuk memahami sistem tanda, apapun substansi dan limitnya, sehingga seluruh fenomena sosial yang ada dapat ditafsirkan sebagai ‘tanda’ alias layak dianggap sebagai sebuah lingkaran linguistik.
konotator tunggal. Dalam iklan televisi, susunan tanda-tanda verbal nonverbal dapat menutupi pesan yang ditunjukkan. Citra yang terbangun di dalamnya meninggalkan ‘pesan lain’, yakni sesuatu yang berada di bawah citra kasar alias penanda konotasinya. Sedangkan untuk petanda konotasi, karakternya umum,global dan tersebar sekaligus menghasilkan fragmen ideologis. Dapat dikatakanbahwa ideologi adalah suatu form penanda-penanda konotasi, sementaratampilan iklan melalui ungkapan atau gaya verbal, nonverbal dan visualisasinya merupakan elemen bentuk (form).
Dalam realitas yang termediasi, banyak mitos yang diciptakan media di sekitar kita, misalnya mitos tentang kecantikan, kejantanan, pembagian peran domestik versus peran publik dan banyak lagi. Mitos ini bermain dalam tingkat bahasa yang dalam bahasa Barthes disebut sebagai ‘adibahasa’ atau dari konotator-konotator. Singkatnya, konotasi merupakan aspek bentuk dari tanda, sedangkan mitos adalah muatannya.
Secara semiotis, ideologi merupakan penggunaan makna-makna konotasitersebut di masyarakat alias makna pada makna tingkat ketiga.
Tatanan pertandaan pertama adalah landasan kerja Saussure. Tatanan ini menggambarkan relasi antara penanda dan petanda di dalam tanda, dan antara tanda dengan referennya dalam realitas eksternal. Barthes menyebut tatanan ini sebagai denotasi, hal ini mengacu pada anggapan umum, makna jelaslah tentang tanda. Sebuah foto tentang tanda keadaan jalan mendenotasi jalan tertentu; kata “jalan” mendenotasi jalan perkotaan yang membentang di antara bangunan.
juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya (Budiman, dalam Christomy dan Yuwono, 2004: 255). Dibukanya medan pemaknaan konotatif dalam kajian semiotika memungkinkan “pembaca” iklan memaknai bahasa metaforik yang maknanya hanya dapat dipahami pada tataran konotatif. Dalam mitos, hubungan antara penanda dan petanda terjadi secara termotivasi. Berbeda dengan level denotasi yang tidak menampilkan makna (petanda) yang termotivasi, level konotasi menyediakan ruang bagi berlangsungnya motivasi makna ideologis. pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu; sifatnya objektif.
Makna denotatif merupakan makna objektif (makna sesungguhnya dari kata tersebut). Makna denotatif (denotatif meaning) disebut juga dengan beberapa istilah lain seperti; makna denotasial, makna kognitif, makna konseptual, makna ideasional, makna referensial atau makna proposional. Disebut makna denotasial, referensial, konseptual atau ideasional, karena makna itu menunjuk (denote) kepada suatu referen, konsep atau ide tertentu dari referen. Disebut makna kognitif karena makna itu bertalian dengan kesadaran atau pengetahuan; stimulus (dari pihak pembicara) dan respon (dari pihak pendengar) menyangkut hal-hal yang dapat diserap pancaindra (kesadaran) dan rasio manusia. Disebut makna proporsional karena ia bertalian dengan informasi-informasi atau pernyataanpernyataan yang bersifat faktual.
pembaca. Misalnya kata amplop, kata amplop bermakna sampul yang berfungsi tempat mengisi surat yang akan disampaikan kepada orang lain atau kantor, instansi, jawatan lain. Makna ini adalah makna denotasinya. Tetapi kalimat “Berilah ia amplop agar urusanmu segera beres,” maka kata amplop dan uang masih ada hubungan, karena amplop dapat saja diisi uang. Dengan kata lain, kata amplop mengacu kepada uang, dan lebih khusus lagi uang pelancar, uang pelicin, uang semir atau uang gosok.
Sementara itu, dalam istilah yang digunakan Barthes, konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Ini terjadi saat makna bergerak menuju subjektif atau setidaknya intersubjektif.
Konotasi terjadi tatkala interpretetant dipengaruhi sama banyaknya oleh penafsir dan objek atau tanda. Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda tatanan dalam tatanan pertama. Penanda tatanan pertama merupakan tanda konotasi. Foto khayalan tentang jalan yang sama; perbedaan antara keduanya terkait dengan bentuk, tampilan foto atau dalam penandanya. Barthes menegaskan bahwa setidaknya pada foto (gambar), perbedaan antara konotasi dan denotasi menjadi jelas. Denotasi merupakan reproduksi mekanis di atas film tentang objek yang ditangkap oleh kamera. Konotasi adalah bagian manusiawi dari proses ini; mencangkup seleksi atas apa yang masuk dalam bingkai (frame),
fokus, sudu pandang kamera, mutu film dan sebagianya. Denotasi adalah apa yang difoto, sedangkan konotasi adalah bagaimana memfotonya.
adalah gadis yang sangat jelek. Intonasi yang berbeda dapat mengubah makna sebenarnya.
Makna konotatif bersifat subjektif dalam pengertian bahwa ada pergeseran dari makna umum (denotatif) karena sudah ada penambahan rasa dan nilai tertentu. Kalau makna denotatif hampir bisa dimengerti banyak orang, maka makna konotatif ini hanya bisa dicerna oleh mereka yang jumlahnya relatif lebih sedikit (kecil). Jadi, sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai “nilai rasa’, baik positif maupun negatif. Jika tidak mempunyai nilai rasa, maka dikatakan tidak memiliki konotasi. Tetapi dapat juga disebut berkonotasi negatif (netral) dalam sobur (2003:264).
Ketika kita berbicara tentang denotasi, kita merujuk pada asosiasi primer yang dimiliki oleh sebuah kata bagi kebanyakan anggota masyarakat linguistik tertentu, sedangkan konotasi merujuk pada asosiasi sekunder yang dimilki sebuah kata bagi seseorang atau lebih anggota masyarakat itu. Kadang-kadang konotasi suatu kata sama bagi hampir setiap orang, namun kadang-kadang hanya berkaitan dengan pengalaman satu individu saja, atau lebih sering berkaitan dengan sekelompok kecil individu tertentu.
Barthes menggunakan Konsep connotation-nya untuk menyingkap maknamakna tersembunyi. Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna emotif atau makna evaluatif. Konsep ini menetapkan dua cara pemunculan makna yang bersifat promotif, yakni denotatif dan konotatif.
Pada tingkatan denotatif, tanda-tanda itu mencuat terutama sebagai makna primer yang “alamiah”. Namun pada tingkat konotatif, tahap sekunder, munculah makna yang ideologis.
Semiotika (Semiotic) adalah teori tentang pemberian ’tanda’. Secara garis besar semiotika digolongkan menjadi tiga konsep dasar, yaitu semiotika pragmatik (semiotic pragmatic), semiotika sintaktik (semiotic syntactic) dan semiotika sematik (semiotic sematic).
1. Semiotika Pragmatik (semiotic pragmatic)
batas perilaku subjek. Dalam arsitektur, semiotika prakmatik merupakan tinjauan tentang pengaruh arsitektur (sebagai sistem tanda) terhadap manusia dalam menggunakan bangunan. Semiotika pragmatik arsitektur berpengaruh terhadap indra manusia dan perasaan pribadi (kesinambungan, posisi tubuh, otot dan persendian). Hasil karya arsitektur akan dimaknai sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya, hasil persepsi tersebut kemudian dapat mempengaruhi pengamat sebagai pemakai dalam menggunakan hasil karya arsitektur. Dengan kata lain, hasil karya arsitektur merupakan wujud yang dapat mempengaruhi pemakainya
2. Semiotika Sintaktik (semiotic syntactic)
Semiotika sintaktik menguraikan tentang kombinasi tanda tanpa memperhatikan ’maknanya’ ataupun hubungannya terhadap perilaku subjek. Semiotika sintaktik ini mengabaikan pengaruh akibat bagi subjek yang menginterpretasikannya. Dalam arsitektur, semiotika sintaktik merupakan tinjauan tentang perwujudan arsitektur sebagai panduan dan kombinasi dari berbagai sistem tanda. Hasil karya arsitektur akan dapat diuraikan secara komposisional dan ke dalam bagianbagiannya, hubungan antar bagian dalam keseluruhan akan dapat diuraikan secara jelas.
3. Semiotika Sematik (semiotic sematic)
Semiotika sematik menguraikan tentang pengertian suatu tanda sesuai dengan ’arti’ yang disampaikan. Dalam arsitektur, semiotika sematik merupakan tinjauan tentang sistem tanda yang dapat sesuai dengan arti yang disampaikan. Hasil karya arsitektur merupakan perwujudan makna yang ingin disampaikan oleh perancangnya. Makna tersebut disampaikan melalui ekpresi wujudnya, wujudtersebut akan dimakanai kembali sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya. Perwujudan makna suatu rancangan dapat dikatakan berhasil jika makna atau ’arti’ yang ingin disampaikan oleh perancang melalui rancangannya dapat dipahami dan diterima secara tepat oleh pengamatnya, jika ekspresi yang ingindisampaikan perancangnya sama dengan persepsi pengamatnya.
manusia berdasarkan budaya atau peraturan yang telah disepakati bersama dalam masyarakat. Simbol-simbol yang diciptakan dalam masyarakat tertentu disebarkan melalui komunikasi sehingga simbolsimbol tersebut dimiliki secara luas dan distandarisasi maknanya. Dalam hal ini, peran menonjol dimainkan oleh tenaga komunikasi (komunikasi massa). Sebagai contoh, film-film Hollywood yang booming di abad ini mempengaruhi cara berpakaian, berbicara,life style kita. Kita seakan-akan menjiplak style kebaratang akibat pengaruh media massa (televisi, internet maupun bioskop) yang kita lihat.
Sebuah visual atau simbol seringkali dapat memberikan dua makna bahkan lebih yang bisa saling mendukung atau bahkan saling bertentangan. Untuk itu seorang perancang harus mengetahui kapan dan bagaimana menggunakan visual atau simbol tersebut. Contohnya Burung hantu yang dianggap sebagai binatang yang bijaksana, simbol ilmu pengetahuan dan di daerah manado mangkuni=kabar baik. Namun di daerah tertentu burung hantu dianggap sebagai simbol kesialan. Sematik juga sangat melibatkan indra manusia dalam pembentukkan makna tanda-tanda visual. Suara dapat divisualisasikan dalam bentuk teks yang sesuai, misalnya bunyi ledakan, suara ribut, suara sunyi, musik jazz, suara mesin ketik atau menvisualisasikan orang yang sedang tidur dengan menekankan pada huruf Z yang berurutan. Memvisualisasikan penciuman, misalnya bau bunga mawar bisa divisualisasikan dengan pengharum ruangan, parfum dan minyak wangi. visualisasi indra peraba menggambarkan sesuatu yang memiliki permukaan kasar, lembut, halus, sesuatu yang menonjol kepermukaan atau tenggelam ke dalam. Dapat diimplementasikan untuk produk-produk bayi (yang serba lembut), pelembut pakaian atau sabun untuk kulit halus. Sementara itu indra pengecap untuk menggambarkan rasa manis, pahit, asam dan lainnya. Misalnya, dapat digambarkan dari buah cherry yang lebih mensugesti rasa manis.
misteri identik dengan hitam, gelap dan bersifat teka-teki. Suasana romantis dapat digambarkan dengan warna pink, sepasang burung, pandangan mata yang penuh arti, senyuman atau bisa juga disimbolkan dengan cupid (malaikat cilik yang memegang busur panah).
Sebagai bagian dari desain grafis, desain komunikasi visual adalah ilmu yang mempelajari konsep komunikasi dan ungkapan kreatif, teknik dan media untuk menyampaikan pesan serta gagasan secara visual, termasuk radio dengan mengolah elemen desain grafis berupa bentuk gambar, huruf dan warna serta tata letaknya, sehingga pesan dan gagasan dapat diterima oleh sasarannya. Prinsip desain menekankan pesan visual yang kreatif (asli, inovatif dan lancar),komunikatif, efisien, dan efektif sekaligus menghasilkan desain yang indah dan estetis.
Desain pada dasarnya adalah hasil penyusunan pengalaman visual dan emosional dengan memperhatikan elemen-elemen dan prinsip-prinsip desain yang dituangkan dalam satu kesatuan komposisi yang mantap. Komposisi berasal dari kata Latin Componere yang artinya penggabungan. Pada dasarnya suatu komposisi merupakan penggabungan dari banyak bagian menjadi suatu bentuk yang serasi. Komposisi dianggap sebagai suatu pengorganisasian elemen-elemen desain dengan mengikuti prinsip-prinsip tertentu secara ketat, meskipun sering hanya digunakan sebagai arahan saja tetapi mampu mencapai bentuk abstrak, alamiah, non-objektif, ornamental ataupun struktural.
tersebut antara lain: garis, bentuk (form), ruang, tekstur, keseimbangan, proposisi, keserasian,warna, irama, ukuran serta durasi (jika dalam desain visual iklan).
Analisis Mitos Sebagai Analisis Semiotik
Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang merupakan sebuah “cerminan” yang terbalik (inverted), ia membalik sesuatu yang (sesungguhnya) bersifat kultural atau historis menjadi sesuatu yang (seolah-olah) alamiah. Mitos terbagi menjadi dua yaitu mitos primitif dan masa kini
Dalam kebudayaan kontemporer yang dipenuhi oleh aneka citraan media, ideologi ibarat spektrum yang melintas batas ruang dan waktu. Bahkan van Zoest menyatakan bahwa “ideologi dan mitologi di dalam hidup kita sama dengan kodekode dalam perbuatan semiotis dan komunikasi kita” (Sobur, 2003:208).
Setiap penggunaan teks, penanganan bahasa, perilaku semiosis alias penggunaan tanda umumnya timbul berkat suatu ideologi yang secara sadar atau tidak sadar dikenal oleh pemakai tanda. “Membaca” iklan televisi, dengan demikian tidak ubahnya membongkar praktik ideologis yang bekerja secara manipulatif di dalam sebuah situasi sosial tertentu.
Terdapat banyak varian pengertian ideologi, yang pada awalnya secara singkat menunjuk pada serangkaian ide yang menyusun realitas kelompok. Ideologi bekerja melalui sistem representasi atau kode yang menentukan bagaimana seseorang menggambarkan dunia atau lingkungannya. Dalam mengkaji ragam iklan televisi, terdapat cukup banyak sejumlah iklan yang merekomendasikan makna-makna laten atas pemihakan pesan iklan kepada sekelompok kelas yang berkuasa. Kelas yang dimaksud bisa bermain dalam konteks politik (negara versus masyarakat sipil), gender (pemihakan terhadap dominasi laki-laki versus perempuan) dan sebagainya.
yang dihasilkan oleh penanda konotasi seringkali menghadirkan mitos. Mitos bekerja menaturalisasikan segala sesuatu yang ada dalam kehidupan manusia, sehingga imaji yang muncul terasa biasa saja dan tidak mengandung persoalan. Pada tingkat ini, mitos sesungguhnya mulai meninggalkan jejak ideologis, karena belum tentu ”sesuatu” yang tampil alamiah lantas bisa diterima begitu saja tanpa perlu dipertanyakan kembali derajat kebenarannya.
Oleh sebab itu, mitos tidak berarti menjadi penanda yang sama sekali netral, melainkan menjadi penanda untuk memainkan pesan-pesan tertentu yang boleh jadi berbeda sama sekali dengan makna asalnya. Meskipun, tidak bisa dikatakan juga bahwa kandungan makna mitologis tidaklah dinilai sebagai sesuatu yang salah sehingga ‘mitos’ lantas diperlawankan dengan ‘kebenaran’. Produksi mitos dalam teks membantu pembaca untuk menggambarkan situasi sosial budaya, mungkin juga politik yang ada disekelilingnya. Melalui mitos, sistem makna menjadi masuk akal dan diterima apa adanya pada suatu masa, dan mungkin tidak untuk masa yang lain. Maka kebenaran mitos menjadi sangat relatif, belum tentu sebuah mitos yang beredar sekarang ini dapat diterima pada saat yang lain maupun di tempat lain.
Pada saat media membagi pesan, maka pesan-pesan yang berdimensi konotatif yang nantinya menciptakan mitos. Pengertian mitos di sini tidak senantiasa menunjuk pada mitologi dalam pengertian sehari-hari, seperti halnya cerita-cerita tradisional, legenda dan sebagainya. Bagi Barthes, mitos adalah sebuah cara pemaknaan, dan ia menyatakan mitos secara lebih spesifik sebagai jenis pewacanaan atau tipe wicara (Barthes, 2004:152; Barthes dalam Storey, 1994:107). Suatu mitos dapat menjadi pegangan atas tanda-tanda yang hadir dan menciptakan fungsinya sebagai penanda pada tingkatan yang lain.
Pemikiran Barthes tentang mitos di satu sisi masih melanjutkan pengandaian Saussure tentang hubungan bahasa dan makna atau antara penanda dan petanda. Maka tradisi semiotika pada awal kemunculannya cenderung berhenti sebatas pada makna-makna denotatif alias semiotika denotasi. Sementara bagi Barthes, terdapat makna lain yang justru bermain pada level yang lebih mendalam, yakni pada level konotasi. Konotasi bagi Barthes justru mendenotasikan sesuatu hal yang ia nyatakan sebagai mitos, dan mitos ini mempunyai konotasi terhadap ideologi tertentu.
Tanda konotatif tidak hanya memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Tambahan ini merupakan sumbangan Barthes yang amat berharga atas penyempurnaannya terhadap semiologi Sausure, yang hanya berhenti padapenandaan pada lapis pertama atau pada tataran denotatif semata. Dengan membuka wilayah pemaknaan konotatif ini, ‘pembaca’ teks dapat memahami penggunaan gaya bahasa kiasan dan metafora yang itu tidak mungkin dapat dilakukan pada level denotatif (Manneke Budiman, dalam Christomy dan Yuwono, 2004: 255). Bagi Barthes, semiotika bertujuan untuk memahami sistem tanda, apapun substansi dan limitnya, sehingga seluruh fenomena sosial yang ada dapat ditafsirkan sebagai ‘tanda’ alias layak dianggap sebagai sebuah lingkaran linguistik.
sebuah konotator tunggal. Dalam iklan televisi, susunan tanda-tanda verbal nonverbal dapat menutupi pesan yang ditunjukkan. Citra yang terbangun di dalamnya meninggalkan ‘pesan lain’, yakni sesuatu yang berada di bawah citra kasar alias penanda konotasinya. Sedangkan untuk petanda konotasi, karakternya umum,global dan tersebar sekaligus menghasilkan fragmen ideologis. Dapat dikatakanbahwa ideologi adalah suatu form penanda-penanda konotasi, sementaratampilan iklan melalui ungkapan atau gaya verbal, nonverbal dan visualisasinya merupakan elemen bentuk (form) dari konotator atau konotator. Singkatnya, konotasi merupakan aspek bentuk dari tanda, sedangkan mitos a dalah muatannya. Secara semiotis, ideologi merupakan penggunaan makna-maknakonotasi tersebut di masyarakat alias makna pada makna tingkat ketiga.
Dalam realitas yang termediasi, banyak mitos yang diciptakan media di sekitar kita, misalnya mitos tentang kecantikan, kejantanan, pembagian peran domestik versus peran publik dan banyak lagi. Mitos ini bermain dalam tingkat bahasa yang dalam bahasa Barthes disebut sebagai ‘adibahasa’ atau metalanguage (Strinati, 1995:113). Penanda konotatif menyodorkan makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Dibukanya medan pemaknaan konotatif dalam kajian semiotika memungkinkan “pembaca” iklan memaknai bahasa metaforik atau majazi yang maknanya hanya dapat dipahami pada tataran konotatif. Dalam mitos, hubungan antara penanda dan petanda terjadi secara termotivasi. Berbeda dengan level denotasi yang tidak menampilkan makna (petanda) yang termotivasi, level konotasi menyediakan ruang bagi berlangsungnya motivasi makna ideologis.
terhadap ‘apa’ dan ‘siapa’ yang sedang dibicarakan sehingga terjadi pelipatgandaan makna. Penanda bahasa konotatif membantu untuk menyodorkan makna baru yang melampaui makna asalnya atau dari makna denotasinya. Barthes tentang ideologi di balik mitos memungkinkan seorang ”pembaca” atau analis untuk mengkaji ideologi secara sinkronik maupun diakronik. Menurrut Berger, secara sinkronik, makna tersandung pada suatu titik sejarah dan seolah berhenti di sana, sehingga penggalian pola-pola tersembunyi yang menyertai teks menjadi lebih mungkin dilakukan. Pola tersembunyi ini boleh jadi berupa pola oposisi, atau semacam skema pikir pelaku bahasa dalam representasi (http://abunavis.wordpress.com/)..
Sementara secara diakronik analisis Barthes memungkinkan untuk melihat kapan, di mana dan dalam lingkungan apa sebuah sistem mitologis digunakan. Mitos yang dipilih dapat diadopsi dari masa lampau yang sudah jauh dari dunia pembaca, namun juga dapat dilihat dari mitos kemarin sore yang akan menjadi “founding prospective history” (Sunardi, 2004:116). Media seringkali berperilaku seperti itu, mereka merepresentasikan, kalau bukan malah menciptakan mitos-mitos baru yang kini hadir di tengah masyarakat. Untuk yang terakhir ini, dapatlah dikatakan bahwa media melakukan proses mitologisasi. Kehidupa n kita sehari-hari digambarkan dalam cara yang penuh makna dan dibuat sebuah pemahaman generik bahwa memang begitulah seharusnya dunia. Iklan televisi yang dijejalkan ke ruang pandang masyarakat sehari-hari merupakan dunia kecil yang menjadi ikon dari sebuah raksasa makna: mitos dan ideologi di baliknya.
analisisnya yang beragam sebagai sebuah argumen. Penelusuran kemungkinan argumen (itupun tidak mesti tunggal) merupakan kegiatan yang sangat penting bagi pembaca untuk dapat mengurai –setidaknya– makna luar atau gagasan dari pelaku representasi.
Dari sudut pandang semiotik-sentris, tujuan utama ”membaca” iklan televisi adalah menemukan makna terselubung (latent meaning) yang terkait dengan mitos dan muatan ideologi tertentu. Persoalannya, relativitas kebenaran makna dalam semiotika menyebabkan sebuah tanda dapat dimaknai beragam. Setiap tanda, dalam bahasa Barthes, memiliki sifat polisemy alias berpotensi multitafsir. Hal tersebut disebabkan oleh sifat ambigu dari penanda dan kemungkinan yang diberikan oleh penanda tersebut untuk diinterpretasikan. Oleh karenanya, kendati tidak ada prosedur teknis baku dalam kajian semiotika, seorang ”pembaca”, bukan sekadar penonton tetapi perlu menstrukturkan iklan secara rapi dan konsisten. Rambu-rambu ini penting mengingat tidak terbatasnya tanda yang ada di dalamnya dapat menyebabkan seorang pembaca iklan tersesat dalam rimba tanda, yang menyebabkan proses penafsiran larut dalam problem unlimited semiosis.
Untuk melukiskan relasi sintagmatik dalam iklan, dapat diadopsi satu tipe struktural yang diperkenalkan Barthes yakni anchorage (penambat) beserta tiga tipe struktural lain yang disajikan, yakni argument, montage, dan narrative. Ketiga tipe tersebut dapat dilibatkan bersama dan disesuaikan penggunaannya, khususnya dalam membaca bahasa iklan. Istilah anchorage awalnya diperkenalkan oleh Barthes untuk menunjuk penggunaan tanda verbal tertentu yang mempunyai peran sebagai penunjuk utama makna. Jika pada berita misalnya, judul berita dapat disebut sebagai anchorage, maka anchorage iklan menunjuk pesan utama yang dapat disimpulkan sebagai judul iklan. Pada teks iklan, anchorage mempunyai posisi yang paling berkuasa dalam relasinya dengan tanda-tanda lain yang muncul sehingga penggunaannya menjadi ‘kata terakhir’.
Terdapat semacam hirarki tanda dalam teks, beberapa tanda lebih berarti dibandingkan yang lain. Sebagai kesatuan tanda verbal, anchorage mampu menciptakan pernyataan yang bersifat otoritatif, sementara tanda-tanda lain hanya sekadar memberikan dukungan atau keterangan (http://abunavis.wordpress.com/).
Menerapkan analisis sintagmatik dan paradigmatik sekaligus dalam sebuah telaah semiotis boleh jadi menggiring ”pembaca” pada sebuah wilayah yang kabur dimana batas-batas sintagma dan paradigma tidak jelas benar. Dengan perspektif Barthesian, batas-batas tersebut akan semakin jelas manakala analisis paradigmatik memberatkan penilaian pada sejauh mana berfungsinya tanda-tanda konotatif dalam teks. Butir ini memegang peranan berharga untuk membantu produksi asosiasi makna ideologis dari iklan televisi. Konotasi tidak saja memberi tambahan atas makna dasarnya, lebih dari itu konotasi memberi indikasi akan motivasi dan sikap ‘sang pengarang’ (kreator iklan) atas representasi
seakan-akan memang seperti itulah seharusnya yang terjadi. Kendati demikian titik tolak tersebut seringkali tetap tersembunyi, kemunculannya tersirat dan tidak selamanya bergerak teratur di dalam jalinan pesan-pesan iklan. Di balik setiap pilihan tanda verbal maupun audiovisual (paradigma) yang dirangkai menjadi sebuah tayangan iklan (sintagma), sadar atau tidak sadar mengikutsertakan gagasan maupun keyakinan tersembunyi pelaku representasi.
Apabila dikatakan bahwa ideologi bersembunyi di balik mitos, ini berarti bahwa suatu mitos menyajikan serangkaian kepercayaan mendasar yang terpendam dalam makna konotatif tanda. Kepercayaan tersebut boleh jadi dimunculkan secara sadar oleh pelaku representasi (pengiklan, pembuat iklan maupun media), namun boleh jadi juga secara tidak sadar muncul begitu saja sebagai bagian dari keseharian hidup yang alamiah. Dalam konteks ini, ketidaksadaran adalah sebentuk kerja ideologis yang memainkan peran dalam tiap representasi. Mungkin ini bernada paradoks, karena suatu praktik pertandaan (iklan televisi) tentu dilakukan secara sadar, namun dibarengi dengan ketidaksadaran tentang sebuah ”dunia lain” yang sifatnya lebih imaginer.
Sebagaimana halnya mitos, ideologi dalam representasi iklan tidak melulu berwajah tunggal. Ada banyak mitos, ada banyak ideologi; dan kehadirannya pun tidak mesti terus monoton. Nilai ideologis dari mitos muncul ketika mitos tersebut menyediakan fungsinya untuk mengungkap dan membenarkan nilai-nilai dominan yang ada dalam masyarakat. Maka, menghubungkan pemikiran Barthes dengan varian teori ideologi menjadi sebuah kerja menarik. Berbeda dengan sains, kesadaran ideologis dalam term Barthes berada pada tingkat psikis, berupa imaji yang mengkonstruksi kesadaran yang sifatnya semu. Cara kerja ideologi ibarat camera obscura yang memutarbalikkan kenyataan sehingga masyarakat tidak menyadari kondisi susungguhnya yang melingkupi dirinya.
Sumber : Diimplikasi dari teori yang dipakai
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Penelitian kualitatif merupakan nama yang diberikan bagi paradigma penelitian yang terutama berkepentingan dengan maknadan penafsiran. Penelitian ini didasarkan pada penafsiran terhadap dunia berdasar pada konsep-konsep yang umumnya tidak memberikan angka numerik, seperti etnometodologi atau jenis wawancara tertentu. Metode ini dianggap bersifat interpretatif (Stokes, 2006: 15).
Semiotika adalah salah satu bagian dari bentuk analisis isi kualitatif yang amat berbeda dengan penelitian isi kuantitatif. Penelitian ini menggunakan analisis semiotika untuk menganalisis makna yang terkandung dalam suatu teks.
- Tanda - Semiotika - Komunikasi
Massa - Citra Budaya - Iklan
Subjek Penelitian Iklan Mie Sedaap
Semiotika Roland Barthes
Makna