• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Hubungan Kualitas Kehidupan Kerja dengan Komitmen Afektif Perawat di RSUD Dr. Pirngadi Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Hubungan Kualitas Kehidupan Kerja dengan Komitmen Afektif Perawat di RSUD Dr. Pirngadi Medan"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1 Kualitas Kehidupan Kerja

1.1 Definisi Kualitas Kehidupan Kerja

Tosi, Rizzo, Carroll (1986) mendefenisikan kualitas kehidupan kerja (Quality of Work Life) sebagai kumpulan dari praktik organisasi yang direncanakan , pertama, untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan di tempat kerja dengan tujuan mendorong pertumbuhan manusia secara objektif, kedua, untuk memperbaiki keefektifan organisasi.

Kualitas kehidupan kerja dapat diartikan sebagai keadaan dimana para pegawai dapat memenuhi kebutuhan mereka yang penting dengan bekerja dalam organisasi (Desler, 1984). Nayeri, Deghhan, Tahmineh, Noghabi (2011) mengartikan kualitas kehidupan kerja adalah sebuah sistem untuk menganalisa bagaimana pengalaman kerja individu dan organisasi. Ini menunjukkan sikap dan perasaan pegawai terhadap pekerjaan mereka.

(2)

Kualitas kehidupan kerja adalah dinamika multidimensional yang meliputi beberapa konsep seperti jaminan kerja, sistem penghargaan, pelatihan dan karier peluang kemajuan, dan keikutsertaan di dalam pengambilan-keputusan (Nayeri, et al,. 2011).

Berdasarkan penjabaran mengenai kualitas kehidupan kerja diatas maka dapat disimpulkan secara umum bahwa kualitas kehidupan kerja adalah konsep yang mengambarkan persepsi karyawan terhadap pemenuhan kebutuhan melalui pengalaman kerja dalam organisasi.

Menutut Werther dan Davis (1996) mengatakan bahwa kualitas kehidupan kerja memilki makna supervisi, kondisi pekerjaan, gaji dan insentif serta pekerjaan yang baik. Cassio (2003 dalam Nugroho 2013) mengatakan kualitas kehidupan kerja adalah persepsi karyawan dimana mereka menginginkan rasa aman, kepuasan dan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang sebagai layaknya manusia. Menurut Riggio (2000), kualitas kehidupan kerja ditentukan oleh kompensasi finansial yang diterima, desain pekerjaan, kesempatan untuk berpartisipasi dalam organisasi, keamanan kerja, dan interaksi dengan anggota yang lain dalam organisasi.

(3)

aktualisasi dini. Karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja tidak akan pernah mencapai kematangan psikologis dan pada gilirannya akan menjadi frustasi. Karyawan seperti ini akan sering melamun, mempunyai semangat kerja rendah, cepat lelah dan bosan, emosinya tidak stabil, sering absen dan tidak melakukan kesibukan yang tidak ada hubungan dengan pekerjaan yang harus dilakukan. Dessler (1997) mengemukakan karyawan yang mendapatkan kepuasan kerja biasanya mempunyai catatan kehadiran dan peraturan yang lebih baik, tetapi kurang aktif dalam kegiatan serikat karyawan dan kadang-kadang berprestasi lebih baik daripada karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja.

1.2 Komponen-komponen Kualitas Kehidupan Kerja

Kualitas kehidupan kerja adalah tingkat dimana karyawan ingin memenuhi kebutuhan mereka meliputi pentingnya kebutuhan personal (bertumbuh, kesempatan, keselamatan) maupun penerimaan organisasi (meningkatnya produktivitas, berkurangnya pergantian) melalui pengalaman kerja saat mencapai tujuan organisasi. Nawawi, 2008 menjelaskan ada sembilan aspek yang perlu dikembangkan perusahaan agar dapat memperbaiki kualitas kehidupan kerja para karyawan, yaitu:

1.1.1Partisipasi Pekerja (Employee Participation)

(4)

pertemuan-pertemuan yang tidak sekedar dipergunakan untuk menyampaikan perintah-perintah dan informasi-informasi, tetapi juga untuk memperoleh masukan dan mendengarkan saran-saran atau pendapat para karyawan (Nawawi, 2008).

Partisipasi pekerja merupakan cara pandang dalam melihat sejauh mana seorang karyawan diikutsertakan dalam menentukan keputusannya sendiri atas pekerjaannya. Hal ini dilakukan untuk memberi kebebasan pada karyawan untuk berperan aktif dalam menentukan keputusan pekerjaannya sehingga organisasi tidak bersikap otoriter terhadap karyawan. Oleh sebab itu, semakin tinggi tingkat partisipasi karyawan maka semakin tinggi rasa tanggung jawab untuk menyeselesaikan tugas atau pekerjaannya (Siagian, 2004 dalam Samtica, 2011)

1.1.2 Pengembangan Karier

(5)

Manfaat pengembangan karir menurut Notoadmojo (2007 dalam Samtica, 2011) diantaranya meningkatkan kesadaran akan pentingnya klasifikasi pekerjaan, membantu karyawan untuk menyusun strategi pengembangan, meningkatkan motivasi kerja karyawan, mempermudah proses promosi karyawan, meningkatkan kepuasan kerja, mengurangi turn over, dan meningkatkan loyalitas karyawan.

1.1.3Penyelesaian Konflik

Setiap karyawan sebaiknya dilibatkan dalam penyelesaian konflik baik itu di lingkungan perusahaan maupun sesama karyawan, secara terbuka, jujur dan adil. Ini sangat berpengaruh kepada loyalitas dan dedikasi serta motivasi kerja karyawan. Untuk itu perusahaan perlu mengatur cara dalam penyampaian keluhan atau keberatan serta saran secara terbuka. Di samping itu dapat pula ditempuh dengan kesediaan mendengarkan masalah antar karyawan yang mengalami konflik, atau melalui proses banding pada pimpinan yang lebih tinggi dalam konflik dengan manajer atasannya (Nawawi, 2008).

1.1.4Komunikasi

(6)

pertemuan atau penyampaian sacara langsung pada setiap pekerja, dan dapat disampaikan melalui sarana publikasi perusahaan, seperti: papan buletin, majalah perusahaan, website perusahaan dan lain-lain (Nawawi, 2008). 1.1.5Kesehatan Kerja

Setiap karyawan memerlukan perhatian terhadap pemeliharaan kesehatannya, agar dapat bekerja secara efektif, efesien dan produktif. Untuk itu perusahaan dapat memberikan jaminan kesehatan atau menyelenggarakan program pemeliharaan kesehatan, program rekreasi dan juga program konseling atau penyuluhan bagi para pekerja atau karyawan (Nawawi, 2008).

1.1.6Keselamatan Kerja

Di lingkungan suatu perusahaan, setiap karyawan memerlukan rasa aman atau jaminan kelangsungan pekerjaannya. Untuk itu, perusahaan perlu berusaha menghindari pemberhentian sementara para karyawan, menjadikannya sebagai pekerja atau karyawan tetap dengan memilki tugas-tugas reguler dan memilki program yang teratur dalam memberikan kesempatan karyawan mengundurkan diri, terutama melalui pengaturan pensiun (Nawawi, 2008).

(7)

pengunduran diri atau pensiun. Perusahaan diwajibkan untuk membayar sejumlah uang pesangon kepada karyawan yang telah diberhentikan atau pensiun sebagai uang penggantian yang memang seharusnya diterima karyawan. Undang- Undang yang mengatur pesangon ada dalam Pasal 156 UU No. 13 Tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan. Perhitungan uang pesangon berdasarkan pencapaian masa kerja dan gaji atau upah. Dengan demikian perusahaan harus menjelaskan tentang hak uang pesangon bila pensiun atau mengundurkan diri.

1.1.7Keselamatan Lingkungan

Nawawi (2008) mengatakan lingkungan kerja memiliki pengaruh terhadap produktivitas kerja. Jika lingkungan kerja tidak baik dan aman maka akan menimbulkan beban tambahan bagi para karyawan. Untuk itu perusahaan berkewajiban menciptakan dan mengembangkan serta memberi jaminan lingkungan kerja yang aman. Sesuai dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 156 ayat 1, pengelola tempat kerja wajib melakukan segala bentuk upaya kesehatan melalui upaya pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan bagi tenaga kerja. Oleh sebab itu dibutuhkan bagian atau unit kerja yang menangani keselamatan dan kesehatan kerja (K3) untuk mencegah penyakit akibat kerja (PAK) dan kecelakaan akibat kerja (KAK).

1.1.8Kompensasi yang Layak

(8)

tersebut. Besar kecilnya kompensasi mempengaruhi prestasi kerja, motivasi kerja dan kepuasan kerja karyawan. Kompensasi merupakan segala sesuatu yang diterima oleh karyawan sebagai balas jasa atas kerjadan pengabdian mereka (Samtica, 2011).

1.1.9Kebanggaan

Definisi kata bangga menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perasaan besar hati yang dapat ditujukan dengan menghargai sesuatu. Rasa bangga terhadap institusi bisa diciptakan oleh organisasi kepada karyawannya dengan cara memberikan kesempatan untuk meningkatkan citra positif bagi organisasi dalam rangka mencapai visi, misi dan tujuan organisasi. Dalam bentuk yang sederhana dapat dilakukan melalui logo, lambang, jaket perusahaan dan lain-lain. Di samping itu rasa bangga juga dapat dikembangkan melalui partisipasi perusahaan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara dengan mengikutsertakan karyawan dan kepedulian terhadap masalah-masalah lingkungan sekitar (Nawawi, 2008).

2 Komitmen Organisasi

2.1 Definisi Komitmen Organisasi

(9)

mengungkapkan bahwa komitmen merupakan suatu keadaan di mana individu telah mengikat tindakannya terhadap keyakinan yang sangat mendukung kegiatan dan keterlibatannya sendiri. Berdasarkan pengertian ini, dapat dinyatakan komitmen merupakan perwujudan dan kerelaan seseorang dalam bentuk pengikatan dengandiri sendiri ( individu) atau dengan organisasi yang digambarkan oleh besarnyausaha ( tenaga, waktu dan pikiran) untuk mencapai tujuan pribadi dan visibersama. Purba 2009 : 73. Robert Stringer (2002 dalam Wirawan 2008:133) mengemukakan komitmen merefleksikan perasaan bangga anggota terhadap organisasinya dan derajat keloyalan terhadap pencapaian tujuan organisasi. Pendapat di atas mengemukakan bahwa komitmen itu merupakan suatu sikap yang ditunjukkan seseorang dalam tanggung jawabnya sebagai anggota organisasi.

Komitmen organisasi didefinisikan sebagai ikatan psikologis individu ke organisasi, termasuk rasa keterlibatan kerja, loyalitas dan kepercayaan dalam nilai-nilai organisasi. Komitmen organisasi dari sudut pandang ini ditandai dengan penerimaan karyawan tujuan organisasi dan kesediaan mereka untuk mengerahkan usaha atas nama organisasi (Miller &Lee, 2001). Oleh karena itu komitmen organisasi adalah, tingkat di mana seorang karyawan bersedia untuk mempertahankan keanggotaan karena minat dan hubungan dengan tujuan dan nilai-nilai organisasi.

(10)

organisasi sebagai objek komitmen (Manetje & Martins, 2009). Komitmen organisasi merupakan perasaan yang sangat kuat dan erat dariseseorang terhadap tujuan dan nilai suatu organisasi yang berkaitan dengan peranserta mereka dalam suatu upaya pencapaian tujuan dan nilai-nilai. Keterlibatanindividu dalam suatu organisasi tentunya disebabkan oleh keyakinannya terhadaptujuan organisasi, sehingga akan selalu berupaya dengan sekuat tenaga untukkepentingan organisasi dan mempunyai hasrat untuk tetap bekerja keras bagikepentingan organisasi. Adanya komitmen terhadap organisasi menyebabkanseseorang untuk tetap mampu bertahan bekerja di dalam suatu organisasi denganhati yang tulus dan senang hati. Ini tercermin dari keinginan pegawai untuk tetapmenjadi anggota dalam organisasi, memiliki keyakinan yang kuat dalampenerimaan nilai dan tujuan organisasi, serta berupaya sekuat tenaga dalambekerja untuk mencapai tujuan organisasi.

(11)

Menurut Colquitt, LePine, Wesson (2009) mengatakan karyawan dapat merespon peristiwa negatif saat bekerja dengan empat cara, yaitu: keluar (exit), suara(voice), loyalitas (loyalty), dan penelantaran(neglect).Yang keluar(exit) dan mengabaikan(neglect) mewakili sisi lain dari komitmen organisasi yaitu: perilaku penarikan (withdrawal behavior). Withdrawal behavior terbagi atas dua bagian yaitu: psychological (neglect) dan physical (exit). Contoh psychological termasuk daydreaming (melamun), sosializing (bersosialisasi diluar pekerjaan), looking

busy (tampak sibuk), moonlight (bekerja sambilan), dan cyberloafing

(menggunakan internet). Contoh physical termasuk tardiness (keterlambatan), long breaks (istirhat panjang), missing meetings (tidak menghadiri pertemuan), absenteeism (tidak hadir), dan quitting (keluar).

2.2 Faktor yang Membentuk Komitmen Organisasi

Ada berbagai faktor yang membentuk komitmen organisasi. Faktor-faktor tersebut meliputi: faktor yang berhubungan dengan pekerjaan; kesempatan kerja; karakteristik pribadi; hubungan yang positif; struktur organisasi;dan gaya manajemen.

2.2.1Karateristik pekerjaan

(12)

komitmen terhadap organisasi dan peluang promosi(Manetje & Martins, 2009).

2.2.2Kesempatan Kerja

Adanyakesempatan kerjadapat mempengaruhi komitmen organisasi (Manetje & Martins, 2009). Individu yang memiliki persepsi yang kuatbahwa mereka memiliki kesempatan untuk menemukan pekerjaan lainmungkin menjadi kurang berkomitmen untuk organisasi mereka akibat memikirkan alternatif yang diinginkan tersebut.Akibatnya, keanggotaan dalam organisasi didasarkan pada komitmen kontinyu, di mana karyawan terus menghitung risiko yang tersisa dan meninggalkan organisasi tersebut (Meyer &Allen, 1997 dalam Sersic, 1999).

2.2.3Karateristik Pribadi

(13)

sesuai dengan karakteristik kerja yang berbeda dan pengalaman yang terkait dengan jenis kelamin(Meyer &Allen, 1997 dalam Manetje & Martins, 2009).

2.2.4 Lingkungan Pekerjaan

Lingkungan kerja juga diidentifikasi sebagai faktor lain yang mempengaruhi komitmen organisasi. Salah satu kondisi lingkungan kerja yang umum dapat mempengaruhi komitmen organisasi yang positif adalah kepemilikan parsial dari suatu perusahaan. kepemilikan memberikan karyawan akan rasa penting dan mereka merasa menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan. Faktor lain dalam lingkungan kerja yang dapat mempengaruhi komitmen organisasi adalah praktek kerja dalam kaitannya dengan rekrutmen dan seleksi, penilaian kinerja, promosi dan gaya manajemen (Meyer & Allen, 1997 dalam Manetje & Martins, 2009).

2.2.5Gaya Manajemen

(14)

2.2.6 Sifat-sifat dari imbalan yang diterima

Komitmen organisasi dapat ditingkatkan dengan menerapkan perencanaan pembagian keuntungan (profit sharing plan), berupa insentif atau bonus yang proporsional dan keuntungan organisasi yang diadministrasikan secara jelas dan diterapkan secara adil (Greenberg & Baron, 2008).

2.3 Komponen Komitmen Organisasi

Allen & Meyer (1997 dalam Sersic, 1999) mengemukakan bahwa ada tiga komponen dalam komitmen organisasi, yaitu: komitmen afektif (affective commitment), komitmen normatif (normative commitment), komitmen kontinuan

(15)
(16)

.mengindikasikan bahwa individuakan menunjukkan perilaku tertentu karena mereka percaya hal ini merupakansuatu hak dan modal untuk dilakukan.

3 Komitmen Afektif

3.1 Definisi Komitmen Afektif

Komitmen afektif dikonseptualisasikan sebagai "perasaan positif karyawan yang diidentifikasi dengan, keterikatan dan keterlibatan dalam organisasi kerja". Komitmen afektif berkembang jika karyawan mampu memenuhi harapan mereka dan memenuhi kebutuhan mereka dalam organisasi (karyawan ingin tinggaldalam organisasi) (Meyer danAllen,1984 dalam Bagraim, 2010). Anggota organisasi yang berkomitmen untuk sebuah organisasi secara afektif, terus bekerja untuk organisasi karena mereka ingin (Meyer &Allen, 1991 dalam Manetje & Martins, 2009).

Pengembangan komitmen afektif melibatkan identifikasi dan internalisasi (Beck &Wilson, 2000dalam Sersic, 1999). Pertama, keterikatan afektif individu pada organisasi mereka pertama kali didasarkan pada identifikasi dengan keinginan untuk membangun hubungan menguntungkan dengan organisasi. Kedua, melalui internalisasi, ini mengacu pada selaras tujuan dan nilai-nilai yang dimiliki oleh individu dan organisasi. Secara umum, komitmen organisasi afektif berkaitan dengan sejauh mana seorang individu mengenali dengan organisasi (Allen &Meyer, 1990 dalam Sersic, 1999).

(17)

tetap menjadi pegawai di perusahaan bersangkutan sehingga melakukan pekerjaannya dengan totalitas sedangkan pegawai dengan komitmen kontinuans dan normatif melakukannya hanya karena menghindari kerugian finansial dan kerugian lainnya sehingga tidak melakukan dengan usaha yang optimal (Kusumastuti & Nurtjahjanti, 2013).

Komitmen afektif mengungkapkan ikatan emosional dari karyawan. Karyawan yang menunjukkan komitmen emosional yang tinggi merasa diintegrasikan ke dalam organisasi dan mengidentifikasi diri mereka dengan itu (Mowday, Steers&Porter, et al., 1976 dalam Kanning & Hill, 2012). Secara rinci, ada tiga aspek yang sama membentuk komitmen afektif: a) keyakinan yang kuat dalam tujuan dan nilai-nilai organisasi dan penerimaan karyawan ini, b) kesiapan untuk memberikan dukungan seseorang untuk organisasi, dan c) kebutuhan yang kuat dari karyawan untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi (Mowday, Porter&Steers, 1982 dalam Kanning & Hill, 2012).

3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen afektif

(18)

4 Hubungan Kualitas Kehidupan Kerja dengan Komitmen Afektif

Suatu institusi harus memiliki sumber daya manusia yang berkualitas demi tercapainya tujuan dari institusi tersebut.Demikian juga rumah sakit yang harus memiliki sumber daya manusia yang berkualitas untuk mencapai kualitas pelayanan kesehatan. Salah satu sumber daya manusia di rumah sakit adalah perawat. Sebagai tenaga kesehatan yang paling sering berada di dekat pasien yaitu 24 jam maka peran perawat sangat mempengaruhi pelayanan kesehatan di rumah sakit tersebut. Sehingga perlu untuk menjaga kualitas kehidupan kerja dari perawat itu sendiri (Nawawi, 2008).

Kualitas kehidupan bekerja adalah tingkat dimana para anggota sesuatuorganisasi mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadi penting, melaluipengalaman-pengalaman mereka di dalam organisasi di mana mereka bekerja(Hackman dalam Winardi, 2001). Ada hal-hal yang perlu diperhatikan oleh organisasi dalam mencapai kualitas kehidupan kerja yang baik, yaitu: kompensasi yang layak, keselamatan kerja, rasa aman atas pekerjaan, pengembangan karir dan lain-lain, yang dapat meningkatkan produktivitas organisasi . Hal ini pula yang dapat menumbuhkan komitmen organisasi para karyawan (Nawawi, 2008).

(19)

Allen & Meyer (1997 dalam Sersic, 1999) mengemukakan bahwa ada tiga komponen dalam komitmen organisasi, yaitu: komitmen afektif (affective commitment), komitmen normatif (normative commitment), komitmen kontinuan

(continuance commitment).

Komitmen afektif berkaitan dengan keterikatan emosional karyawan, identifikasi karyawan pada, dan keterlibatan karyawan pada organisasi. Dengan demikian, karyawan yang memiliki komitmen afektif yang kuat akan terus bekerja dalam organisasi karena mereka memang ingin (want to) melakukan hal tersebut ( Allen & Meyer, 1997 dalam Sersic, 1999).Inilah yang diharapkan oleh organisasi yaitu setiap para karyawan merasa memilki (rasa kepemilikian) terhadap organisasi dimana karyawan tersebut bekerja yang tercermin melalui keterlibatan dan perasaan senang serta menikmati peranannya dalam organisasi. Boon, et all (2006 dalam Kusumastuti&Nurtjahjanti, 2013) menambahkan bahwa komitmen afektif dinilai lebih tinggi daripada komitmen normatif dan kontinuan, sedangkan komitmen normatif dinilai lebih tinggi daripada komitmen kontinuan (komitmen rasional).

(20)

Referensi

Dokumen terkait

Simpulan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah : Ha diterima dan Ho ditolak artinya terdapat Hubungan yang signifikan antara beban kerja perawat dengan waktu tanggap

merupakan kekuatan dalam kegiatan siswa mempelajari sikap belajar didasarkan pada motif atau alasan siswa mempelajari. Motif siswa mempelajari baha n mata pelajaran sangat

Observations of post-thawing sperm motility also showed that there was no significant interaction between the type of diluentsto the type of cryoprotectants in

Bayi yang tidak cukup mendapatkan ASI dari ibunya akan berakibat pada pertumbuhan dan kesehatannya (Krisnatuti, 2003). Faktor yang mempengaruhi keputusan ibu untuk memberi MP-

Simpulan: Ada hubungan antara persepsi mahasiswa tentang pembimbing akademik (PA) dengan motivasi untuk berkonsultasi pada mahasiswa semester II program studi DIV Bidan

Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa komponen fungisid sirih hijau ( Piper betle Linn ) terdapat pada kavikol dan karvakrol , sedangkan komponen fungisid sirih merah

Hanya sebagian kecil guru yang mampu menyusun dan membuat sendiri RPP; (2) pengorganisasian pembelajaran yang dilakukan oleh guru SD Negeri 45 Banda Aceh