BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Keagenen (Agency Theory)
Teori keagenan menggambarkan suatu hubungan antara pemegang saham
(principals) dan manajemen (agent). Manajemen merupakan pihak yang dikontrak
oleh pemegang saham untuk bekerja demi kepentingan pemegang saham. Pihak
manejemen yang dipilih harus mempertanggungjawabkan semua pekerjaannya
kepada pemegang saham.
Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan hubungan keagenan sebagai
“agency relationship as a contract under which one or more person (the
principals) engage another person (the agent) to perform some service on their
behalf which involves delegating some decision making authority to the agent”.
Ketika pemilik (manajer) mendelegasikan otoritas pangambilan keputusan
pada pihak lain, terdapat hubungan keagenan antara kedua belah pihak. Hubungan
keagenan, seperti hubungan antara pemegang saham dengan manajer, akan efektif
selama manajer mengambil keputusan investasi yang konsisten dengan
kepentingan pemegang saham. Namun, ketika kepentingan manajer berbeda maka
keputusan yang diambil oleh manajer kemungkinan besar akan mencerminkan
preferensi manajer dibanding dengan pemilik (Pearce dan Robinson, 2008:47).
Masalah keagenan potensial terjadi apabila bagian kepemilikan manajer
atas saham perusahaan kurang dari seratus persen (Masdupi, 2005). Proporsi
kepemilikan yang hanya sebagian dari perusahaan membuat manajer cenderung
perusahaan. Inilah yang nantinya akan menyebabkan biaya keagenan (agency
cost). Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan agency cost sebagai jumlah
dari biaya yang dikeluarkan prinsipal untuk melakukan pengawasan terhadap
agen. Hampir mustahil bagi perusahaan untuk memiliki zero agency cost dalam
rangka menjamin manajer akan mengambil keputusan yang optimal dari
pandangan shareholders karena adanya perbedaan kepentingan yang besar
diantara mereka.
Masdupi (2005) mengemukakan beberapa cara yang dapat dilakukan
dalam mengurangi masalah keagenan. Pertama, dengan meningkatkan insider
ownership. Perusahaan meningkatkan bagian kepemilikan manajemen untuk
mensejajarkan kedudukan manajer dengan pemegang saham sehingga bertindak
sesuai dengan keinginan pemegang saham. Dengan meningkatkan persentase
kepemilikan, manajer menjadi termotivasi untuk meningkatkan kinerja dan
bertanggung jawab meningkatkan kemakmuran pemegang saham.Kedua, dengan
pendekatan pengawasan eksternal yang dilakukan melalui penggunaan hutang.
Penambahan hutang dalam struktur modal dapat mengurangi penggunaan saham
sehingga meminimalisasi biaya keagenan ekuitas. Akan tetapi, perusahaan
memiliki kewajiban untuk mengembalikan pinjaman dan membayarkan beban
bunga secara periodik. Selain itu penggunaan hutang yang terlalu besar juga akan
menimbulkan konflik keagenan antara shareholders dengan debtholders sehingga
Ketiga, institusional investor sebagai monotoring agent.Moh’detal,
(1998) menyatakan bahwa bentuk distribusi saham dari luar (outside
shareholders) yaitu institusional investor dan shareholders dispersion dapat
mengurangi biaya keagenan ekuitas (agency cost). Hal ini disebabkan karena
kepemilikan merupakan sumber kekuasaan yang dapat digunakan untuk
mendukung atau menantang keberadaan manajemen, maka konsentrasi atau
penyebaran power menjadi suatu hal yang relevan dalam perusahaan.
Menurut Bathala et al, (1994) terdapat beberapa cara yang digunakan
untuk mengurangi konflik kepentingan, yaitu :
a) meningkatkan kepemilikan saham oleh manajemen (insider ownership),
b) meningkatkan rasio dividen terhadap laba bersih (earning after tax),
c) meningkatkan sumber pendanaan melalui utang,
d) kepemilikan saham oleh institusi (institutional holdings).
2.2 Luas Pengungkapan
Pengungkapan (disclosure) adalah mengkomunikasikan mengenai posisi
dari keuangan dengan tidak menyembunyikan informasi, apabila dikaitkan dengan
laporan keuangan, disclosure mengandung makna bahwa laporan keuangan harus
memberikan penjelasan yang cukup mengenai hasil aktivitas suatu unit usaha
kondisi keuangan perusahaan kepada para pengguna laporan keuangan (Rinny,
2010).
Dua jenis pengungkapan dalam hubungannya dengan persyaratan yang
ditetapkan standar, yaitu pengungkapan wajib (mandatory disclosure) dan
wajib (mandatory disclosure) adalah pengungkapan minimum yangdisyaratkan
oleh lembaga yang berwenang (BAPEPAM, SAK, Menteri Keuangan, Pajak, dan
lain-lain), sedangkan pengungkapan sukarela (voluntary disclosure) adalah
pengungkapan butir-butir yang dilakukan secara sukarela oleh perusahaan tanpa
diharuskan oleh lembaga yang berwenang (BAPEPAM, SAK, MenteriKeuangan,
Pajak, dan lain-lain) antara lain informasi tentang kejadian setelah tanggal
laporan, analisismanajemen atas operasi perusahaan yang akan datang, prakiraan
keuangan dan operasi pada tahun yang akandatang, dan laporan keuangan,
tambahan yang mencakup ungkapan menurut segmen dan informasi lainnya diluar
harga perolehan.
Menurut Hendriksen (1992) terdapat tiga konsep mengenai pengungkapan
laporan keuangan, yaitu: adequate disclosure, fair disclosure, dan full disclosure.
1. Pengungkapan yang cukup (adequate disclosure)
Pengungkapan informasi oleh perusahaan dengan tujuan memenuhi kewajiban
dalam menyampaikan informasi. Informasi yang diungkapkan sesuai dengan
stadar minimum yang diwajibkan. terutama informasi yang menurut lembaga
terkait wajib disajikan. Pengungkapan jenis ini banyak dilakukan oleh
perusahaan.
2. Pengungkapan yang wajar (fair disclosure)
Pengungkapan yang dilakukan oleh perusahaan dengan menyajikan sejumlah
informasi yang menurut perusahaan dapat memuaskan pengguna Laporan
tambahan lainnya untuk menghasilkan penyajian Laporan Keuangan yang
wajar.
3. Pengungkapan yang lengkap (full disclosure)
Pengungkapan yang menyajikan semua informasi yang relevan. Informasi
yang diungkapkan adalah informasi minimum yang diwajibkan ditambah
dengan informasi lain yang diungkapkan secara suka rela. Full disclosure
dapat membantu mengurangi terjadinya informasi asimetris, namun seringkali
dinilai berlebihan.
Dari ketiga konsep diatas yang sering digunakan adalah adequate
disclosure.
2.3 PeraturanBapepam
Sesuai dengan lampiran Keputusan Ketua BAPEPAM No.
Kep-134/BL/2006 tanggal 7 desember 2006, laporan tahunan wajib dikeluarkan begi
emiten atau perusahaan publik.
Dalam peraturan ini, laporan tahunan perusahaan-perusahaan tersebut
diwajibkan memuat :
1. Tinjauan operasi per segmen usaha, antara lain memuat pembahasan mengenai:
a. produksi;
b. penjualan/pendapatan usaha;
c. profitabilitas; dan
2. Analisis kinerja keuangan yang mencakup perbandingan antara kinerja
keuangan tahun yang bersangkutan dengan tahun sebelumnya, antara lain
mengenai:
a. aktiva lancar, aktiva tidak lancar, dan jumlah aktiva;
b. kewajiban lancar, kewajiban tidak lancar, dan jumlah kewajiban;
c. penjualan/pendapatan usaha;
d. beban usaha; dan
e. laba bersih;
3. Bahasan dan analisis tentang kemampuan membayar hutang dan tingkat
kolektibilitas piutang Perseroan;
4. Bahasan mengenai ikatan yang material untuk investasi barang modal dengan
penjelasan tentang tujuan dari ikatan tersebut, sumber dana yang diharapkan
untuk memenuhi ikatan-ikatan tersebut, mata uang yang menjadi denominasi,
dan langkah-langkah yang direncanakan perusahaan untuk melindungi risiko
dari posisi mata uang asing yang terkait;
5. Bahasan dan analisis tentang informasi keuangan yang telah dilaporkan yang
mengandung kejadian yang sifatnya luar biasa dan jarang terjadi;
6. Komponen-komponen substansial dari pendapatan atau beban lainnya, untuk
dapat mengetahui hasil usaha perusahaan;
7. Jika Laporan Keuangan mengungkapkan peningkatan atau penurunan yang
material dari penjualan atau pendapatan bersih, maka wajib disertai dengan
dengan jumlah barang atau jasa yang dijual, dan atau adanya produk atau jasa
baru;
8. Bahasan tentang dampak perubahan harga terhadap penjualan dan pendapatan
bersih perusahaan serta laba operasi perusahaan selama 2 (dua) tahun atau
sejak perusahaan memulai usahanya, jika baru memulai usahanya kurang dari 2
(dua) tahun;
9. Informasi dan fakta material yang terjadi setelah tanggal laporan akuntan;
10. Prospek usaha dari perusahaan sehubungan dengan industri, ekonomi secara
umum dan pasar internasional serta dapat disertai data pendukung kuantitatif
jika ada sumber data yang layak dipercaya;
11. Aspek pemasaran atas produk dan jasa perusahaan, antara lain: strategi
pemasaran dan pangsa pasar;
12. Kebijakan dividen dan tanggal serta jumlah dividen (kas per saham dan atau
non kas) dan jumlah dividen per tahun yang diumumkan atau dibayar selama
2 (dua) tahun buku terakhir;
13. Realisasi penggunaan dana hasil penawaran umum secara kumulatif sampai
dengan saat terakhir apabila belum dinyatakan habis. Dalam hal terdapat
perubahan dari Prospektus agar dijelaskan;
14. Informasi material, antara lain mengenai investasi, ekspansi, divestasi,
penggabungan/peleburan usaha, akuisisi, restrukturisasi utang/modal,
transaksi yang mengandung benturan kepentingan dan sifat transaksi dengan
15. Perubahan peraturan perundang-undangan yang berpengaruh signifikan
terhadap perusahaan dan dampaknya terhadap Laporan Keuangan (jika ada);
dan
16. Perubahan kebijakan akuntansi, alasan dan dampaknya terhadap Laporan
Keuangan (jika ada).
Pengaturan pengungkapan informasi yang wajib disampaikan oleh
perusahaan publik ini, nantinya dapat dimanfaatkan sebagai bahan analisis dalam
pengambilan keputusan.
2.4 Pengungkapan Sukarela (Voluntary Disclosure)
Pengungkapan sukarela merupakan pengungkapan yang tidak diwajibkan
oleh peraturan. Meek et al (1995) dalam Murtanto (2005) menyatakan bahwa
pengungkapan sukarela merupakan pengungkapan bebas, dimana manajemen
dapat memilih jenis informasi yang akan diungkapkan yang dipandang relevan
untuk pengambilan keputusan bagi pihak-pihak yang memakainya. Dalam
penelitian kali ini yang akan diteliti adalah pengungkapan sukarela dalam laporan
tahunan. Pembatasan dilakukan mengingat alasan-alasan sebagai berikut:
1. pemerintah sudah menetapkan aturan tentang mandatory disclosure
sehingga perusahaan publik menaati peraturan tersebut.
2. pemerintah Indonesia menunjuk Bapepam untuk mengawasi pelaksanaan
peraturan tersebut terhadap perusahaan.
3. semakin meningkatnya kesadaran bagi manajemen perusahaan untuk
membuka diri dalam melaksanakan disclosure pada laporan tahunan, guna
Informasi sukarela dalam laporan tahunan perusahaan dapatmemberikan
sinyal positif dimana perusahaan memberikan informasi yang lebih detil yang
tidak ditemukan dalam laporan keuangan. Hal ini dapat sejalan dengan teori sinyal
yang memberikansinyal-sinyal positif dari suatu perusahaan kepada stakeholders
yang dapat berpengaruhterhadap suatu keputusan yang akan diambil. Seperti
halnya dengan memberikan pandangan proyeksi masa tahun depan
akanmemperlihatkan pada stakeholders mengenai fokus kegiatan operasional
dankemungkinan laba yang dapat diperoleh oleh perusahaan pada periode
mendatang.
Pengungkapan sukarela pada laporan tahunan perusahaan dapat
dipengaruhi olehbeberapa hal, diantaranya melalui karakteristik-karakteristik yang
ada padaperusahaan itu sendiri.
Karakteristik-karakteristik tersebut diantaranya adalah ukuran perusahaan,
profitabilitas, leverage dan tipe kepemilikan publik perusahaan.
Karakteristik-karakteristikperusahaan tersebut dapat mempengaruhi baik-buruknya sinyal-sinyal
yang diberikan perusahaan.
2.5 Karakteristik Perusahaan
Lang dan Lundholm (1993) dan Wallace et al. (1994) dalam Wicaksono
(2011) menggunakan karakteristik perusahaan yang dianggap sebagai proksi
potensial untuk luas pengungkapan yang diklasifikasikan ke dalam dua kelompok
1. Variabel yang berkaitan dengan struktur (structur-related variable)
Variabel-variabel yang berkaitan dengan struktur tersebut dianggap
cenderung stabil dan konstan sepanjang waktu (Wallace et al., 1994). Sejalan
dengan penelitian terdahulu, variabel ukuran perusahaan, tipe kepemilikan akan
diteliti kembali.
2. Variabel yang berkaitan dengan kinerja (performance-related variable)
Variabel kinerja merupakan variabel yang akan berbeda pada waktu-waktu
yang spesifik. Selain itu variabel ini mewakili informasi yang mungkin relevan
bagi pengguna informasi akuntansi (Wallace et al., 1994). Sejalan dengan
penelitian terdahulu variabel profitabilitas dan leverage sebagai pengukuran yang
berkaitan dengan kinerja.
2.6 Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan adalah rata-rata total penjualan bersih untuk tahun
yang bersangkutan sampai beberapa tahun. Dalam hal ini penjualan lebih besar
daripada biaya variabel dan biaya tetap, maka akan diperoleh jumlah pendapatan
sebelum pajak. Sebaliknya, jika penjualan lebih kecil daripada biaya variabel dan
biaya tetap maka perusahaan akan menderita kerugian (Brigham dan Houston
2001:117-119).
Menurut Ferry dan Jones dalam Sujianto (2001), ukuran perusahaan
menggambarkan besar kecilnya suatu perusahaan yang ditunjukkan oleh total
aktiva, jumlah penjualan, rata-rata total penjualan dan rata-rata total aktiva. Jadi,
ukuran perusahaan merupakan ukuran atau besarnya aset yang dimiliki
Ukuran perusahaan merupakan proksi volalitas operasional dan inventory
controlabality yang seharusnya dalam skala ekonomis besarnya perusahaan
menunjukkan pencapaian operasi lancar dan pengendalian persediaan
(Mukhlasin,2002). Ukuran perusahaan diproksikan dari penjualan bersih (net
sales). Total penjualan mengukur besarnya perusahaan. Hal ini dikarenakan biaya
politik cenderung lebih besar, maka perusahaan dengan tingkat penjualan yang
tinggi cenderung memilih kebijakan akuntansi yang mengurangi laba
(Sidharta,2002).
Keadaan yang dikehendaki oleh perusahaan adalah perolehan laba bersih
sesudah pajak karena bersifat menambah modal sendiri. Laba operasi ini dapat
diperoleh jika jumlah penjualan lebih besar dari pada jumlah biaya variabel dan
biaya tetap. Agar laba bersih yang diperoleh memiliki jumlah yang dikehendaki
maka pihak manajemen akan melakukan perencanaan penjualan secara seksama,
serta dilakukan pengendalian secara tepat, guna mencapai jumlah penjualan yang
dikehendaki. Manfaat pengendalian manajemen adalah untuk menjamin bahwa
organisasi telah melaksanakan strategi usahanya dengan efektif dan efisien.
Dalam aspek finansial, penjualan dapat dilihat dari sisi perencanaan dan
sisi realisasi yang diukur dalam satuan rupiah. Dalam sisi perencanaan, penjualan
direfleksikan dalam bentuk target yang diharapkan dapat direalisir oleh
perusahaan.
Perusahaan yang berada pada pertumbuhan penjualan yang tinggi
membutuhkan dukungan sumber daya organisasi (modal) yang semakin besar,
penjualannya rendah, kebutuhan terhadap sumber daya organisasi (modal) juga
semakin kecil. Jadi konsep tingkat pertumbuhan penjualan tersebut memiliki
hubungan positif tetapi implikasi tersebut dapat memberikan efek yang berbeda
terhadap struktur modal yaitu dalam penentuan jenis modal yang akan digunakan.
Apabila perusahaan dihadapkan pada kebutuhan dana yang semakin
meningkat akibat pertumbuhan penjualan, dan dana dari sumber intern sudah
digunakan seluruhnya, maka tidak ada pilihan lain lagi bagi perusahaan untuk
menggunakan dana yang berasal dari luar perusahaan, baik hutang maupun
dengan mengeluarkan saham baru. Menurut Riyanto (1995:229-300), suatu
perusahaan yang besar yang sahamnya tersebar sangat luas, setiap perluasan
modal saham hanya akan mempunyai pengaruh yang kecil terhadap kemungkinan
hilangnya atau tergesernya pengendalian dari pihak yang dominan terhadap
perusahaan yang bersangkutan, sebaliknya perusahaan yang kecil dimana
sahamnya tersebar hanya dilingkungan kecil, penambahan jumlah saham akan
mempunyai pengaruh yang besar terhadap kemungkinan hilangnya kontrol pihak
dominan terhadap perusahaan yang bersangkutan.
Dengan demikian, maka perusahaan yang besar akan lebih berani
mengeluarkan saham baru dalam memenuhi kebutuhan untuk membiayai
pertumbuhan penjualan dibandingkan dengan perusahaan kecil.
Perusahaan yang lebih besar mempunyai akses yang lebih besar untuk
mendapatkan sumber pendanaan dari berbagai sumber, sehingga untuk
memperoleh pinjaman dari krediturpun akan lebih mudah karena perusahaan
persaingan atau bertahan dalam industri. Di sisi lain, perusahaan dengan skala
kecil lebih fleksibel dalam menghadapi ketidakpastian, karena perusahaan kecil
lebih cepat bereaksi terhadap perubahan yang mendadak. Oleh karena itu,
memungkinkan perusahaan besar tingkat leveragenya akan lebih besar dari
perusahaan yang berukuran kecil.
Dari uraian yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa besar
kecilnya (ukuran) perusahaan akan berpengaruh terhadap struktur modal dengan
didasarkan pada kenyataan bahwa semakin besar suatu perusahaan mempunyai
tingkat pertumbuhan penjualan yang tinggi sehingga perusahaan tersebut akan
lebih berani mengeluarkan saham baru dan kecenderungan untuk menggunakan
jumlah pinjaman akan semakin besar pula.
Dari penelitian yang dilakukan oleh para ahli yang menyatakan bahwa
ukuran perusahaan mempunyai pengaruh positif, yang berarti kenaikan ukuran
perusahaan akan diikuti dengan kenaikan struktur modal yang merupakan
penelitian yang dilakukan oleh Sekar, Saidi, Harjudi, Augustinus dan Janny.
Perusahaan besar mungkin akan mengungkapkan informasi yang lebih
banyak sebagai upaya untuk mengurangi biaya keagenan tersebut. Menurut Meek,
Roberts dan Grey (1995) dalam Almilia dan Retrinasari (2007) perusahaan besar
mempunyai kemampuan untuk merekrut karyawan yang ahli, serta adanya
tuntutan dari pemegang saham dan analisi, sehingga perusahaan besar memiliki
insentif untuk melakukan pengungkapan yang lebih luas dari perusahaan kecil.
publik secara umum. Mengungkapkan lebih banyak informasi merupakan bagian
dari upaya perusahaan untuk mewujudkan akuntabilitas publik.
Penjelasan lain yang sering diajukan adalah karena perusahaan besar
memiliki sumber daya yang besar, sehingga perusahaan perlu dan mampu untuk
membiayai penyediaan informasi untuk keperluan internal. Informasi tersebut
sekaligus menjadi bahan untuk keperluan pengungkapan informasi kepada pihak
eksternal, sehingga tidak perlu ada tambahan biaya yang besar untuk dapat
melakukan pengungkapan yang lebih lengkap, sebaliknya perusahaan dengan
sumber daya yang relatif kecil mungkin tidak memiliki informasi siap saji
sebagaimana perusahaan besar, sehingga perlu ada tambahan biaya yang relatif
besar untuk dapat melakukan pengungkapan selengkapa yang dilakukan
perusahaan besar. Perusahaan kecil pada umumnya berada pada situasi persaingan
yang ketat dengan perusahaan lain. Mengungkapkan terlalu banyak tentang jati
dirinya kepada pihak eksternal dapat membahayakan posisinya dalam persaingan
sehingga perusahaan kecil cenderung tidak melakukan pengungkapan selengkap
perusahaan besar (Shingvi dan Desai, 1971;Buzby ,1975) dalam Almilia dan
Retrinasari (2007).
2.7 Profitabilitas
2.7.1 Pengertian Profitabilitas
Profitabilitas merupakan salah satu dari rasio keuangan yang akan menjadi
indikator pengukur baik atau buruknya suatu perusahaan. Ada beberapa
pengertian dari profitabilitas menurut dari para ahli:
Menurut Riyanto (2001:334), profitabilitas adalah rasio keuangan yang
(profit margin on sales, return on total assets, return on net worth dan lain
sebagainya).
Profitabilitas dapat didefinisikan sebagai suatu rasio yang dapat mengukur
kinerja perusahaan secara keseluruhan dan mengukur efisiensi dalam mengelola
aset, kewajiban dan ekuitasnya Fraser dan Ormiston (1998:156) dalam Nadirsyah
(2006).
(Horne dan Wachowicz,2007:222), mengemukakan juga pengertian dari
profitabilitas yaitu rasio yang menghubungkan laba dari penjualan dan investasi.
2.7.2 Jenis Rasio Profitabilitas
Menurut Van Horne dan Machowicz (2007:222) ada dua jenis rasio
profitabilitas, yaitu profitabilitas dalam kaitannya dalam penjualan dan
profitabilitas dalam kaitannya dalam investasi.
1. Profitabilitas dalam kaitannya dalam penjualan.
Pada jenis ini rasio yang pertama dicermati adalah margin laba kotor:
Pada jenis rasio profitabilitas ini, menjelaskan laba dari perusahaan yang
berhubungan dengan penjualan, setelah dikurangi biaya untuk memproduksi
barang yang dijual. Rasio ini merupakan pengukur efisiensi operasi perusahaan,
serta merupakan indikasi dari cara produk menetapkan harganya.
Pengukuran yang lebih spesifik untuk profitabilitas penjualan adalah
margin laba bersih:
Margin laba bersih adalah ukuran profitabilitas perusahaan dari penjualan
setelah memperhitungkan semua biaya dan pajak penghasilan. Margin tersebut
memberitahu kita penghasilan bersih perusahaan per satu dolar penjualan.
2. Profitabilitas dalam hubungannya dengan investasi
Kelompok kedua rasio profitabilitas ini menghubungkan laba dengan
investasi. Salah satu pengukurannya adalah dengan tingkat pengembalian atas
investasi (Return On Investment– ROI), tingkat pengembalian atas aktiva (Return
On Asset – ROA), dan tingkat pengembalian modal sendiri (Return On Equity –
ROE).
2.7.2.1 Return On Investment (ROI)
Menurut Munawir (2004:89),Return On Investment itu sendiri adalah
salah satu bentuk rasio profitabilitas yang dimaksudkan untuk dapat mengukur
kemampuan perusahaan dengan keseluruhan dana yang ditanamkan dalam aktiva
yang digunakan untuk operasi perusahaan dalam menghasilkan keuntungan.
Menurut Husnanet al (2006:74) ROI menunjukkan seberapa banyak laba
bersih yang bisa diperoleh dari seluruh kekayaan yang dimiliki perusahaan, karena
itu dipergunakan angka laba setelah pajak dan (rata-rata) kekayaan perusahaan.
Rasio ROI dinyatakan sebagai berikut :
ROI = laba setelah pajak/kekayaan x 100%
Komponennya adalah sebagai berikut :
1. laba setelah pajak
Laba yang digunakan dalam perhitungan ini adalah laba setelah
pokok (Net Operating Income) ataupun diluar usaha pokok perusahaan
(Non Operating Income) selama satu periode setelah dikurangi pajak
penghasilan.
2. total aktiva atau total aset
Aset adalah harta yang dimiliki perusahaan yang berperan dalam
operasi perusahaan, misalnya : kas, persediaan, aktiva tetap dan aktiva
yang tidak berwujud.
2.7.2.2 Return On Asset (ROA)
Hansen dan Mowen (1997:68) dalam Nadirsyah (2006), ROA merupakan
suatu cara untuk mengaitkan laba operasi dengan aktiva yang digunakan adalah
melalui perhitungan laba yang diperoleh per dolar investasi. Pengembalian atas
aset (ROA) adalah pengukuran kinerja yang paling lazim bagi suatu pusat
investasi. ROA didefinisikan sebagai berikut :
ROA=Laba Bersih / Total Aset X 100%
ROA memberikan suatu dasar yang berguna tidak hanya untuk
mengevaluasi kinerja manajer unit tetapi juga untuk mengevaluasi kinerja seluruh
perusahaan secara stategis.
Blocher et al (2001:963) mengemukaan keuntungan ROA, diantaranya :
1. lebih mudah dimengerti,
2. perbandingan antara tingkat bunga dan tingkat pengembalian dalam
investasi,
Rasio ini mengukur kemampuan aktiva perusahaan memperoleh laba dari
operasi perusahaan. Adanya hasil operasi yang ingin diukur, maka digunakan laba
sebelum bunga dan pajak. Aktiva yang dipergunakan untuk mengukur
kemampuan memperoleh laba operasi adalah aktiva operasional atau lebih
jelasnya rasio ini diukur dengan menghubungkan antara keuntunganatau laba dari
kegiatan pokok perusahaan dengan kekayaan atau aset yang digunakan untuk
menghasilkan keuntungan tersebut (operating assets).
Hansen dan Mowen (1997:70) dalam Nadirsyah (2006) mengemukakan
sedikitnya ada tiga hasil yang positif penggunaan ROA, yaitu :
1. mendorong manejer untuk memfokuskan pada hubungan antara penjualan, beban, investasi, sebagaimana diharapkan dari manejer pusat investasi,
2. mendorong manejer memfokuskan pada efisiensi,
3. mendorong manejer memfokuskan pada efisiensi aktiva operasi.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penggunaan return on assets
(ROA) untuk menilai baik buruknya kinerja suatu perusahaan tidak hanya berguna
untuk menggambarkan kemampuan aktiva perusahaan dalam menghasilkan laba.
Akan tetapi juga dapat menjadi pendorong bagi manejer untuk memfokuskan pada
efisiensi penggunaan aktiva operasi.
2.7.2.3Retun On Equity (ROE)
ROE membandingkan laba bersih setelah pajak (dikurangi dividen biasa)
dengan ekuitas yang telah diinvestasikan pemegang saham di perusahaan.
Rasio ini menunjukkan daya untuk menghasilkan laba atas investasi
membandingkan dua atau lebih perusahaan dalam satu industri yang sama. ROE
yang tinggi sering kali mencerminkan penerimaan perusahaan atas peluang
investasi yang baik dan manajemen biaya yang efektif. Akan tetapi jika
perusahaan telah memilih untuk menerapkan tingkat hutang yang tinggi
berdasarkan standar industri, ROE yang tinggi hanyalah merupakan hasil dari
asumsi resiko keuangan yang berlebihan.
2.8 Leverage
2.8.2 Pengertian Leverage
Leverage merupakan instrumen keuangan yang termasuk dalam rasio
keuangan.Leverage adalah rasio yang digunakan untuk mengukur sampai
seberapa jauh aktiva perusahaan dibiayai oleh hutang (Riyanto,2001:332)Menurut
Van Home dan Wachowicz (2007:209), leverage didefinisikan sebagai rasio yang
digunakan untuk menunjukkan sejauh mana perusahaan dibiayai oleh hutang.
Leverage juga didefinisikan oleh Dermawan Sjahrial (2009:154) adalah
penggunaan sumber dana yang dimiliki beban tetap dengan harapan akan
memperoleh tambahan keuntungan yang lebih besar dari pada beban tetapnya
sehingga akan meningkatkan keuntungan yang tersedia bagi pemegang saham.
Pada variabel leverage ini, peneliti menggunakan leverage keuangan. Hal
ini disebutkan karena leverage keuangan digunakan untuk mengukur total aktiva
yang dibiayai oleh hutang. Leverage keuangan melibatkan penggunaan pendanaan
Disisi lain, leverage keuangan adalah hal yang selalu menjadi pilihan.
Tidak ada perusahaan yang disyaratkan untuk memiliki utang jangka panjang
apapun atau pendanaan dengan saham preferen. Sebagai alternatif, perusahaan
dapat membiayai pengeluaran operasional dan modalnya dari sumber-sumber
internal dan penerbitan saham biasa. Teori keagenan memprediksi bahwa
perusahaan dengan rasio leverage yang lebih tinggi akan mengungkapkan lebih
banyak informasi, karena biaya keagenan perusahaan dengan struktur modal yang
seperti itu lebih tinggi (Jensen dan Meckling, 1976) dalam Mawarta (2001).
Leverage keuangan menjelaskan bagaimana pembelanjaan kebutuhan dana
dilakukan agar memberikan efek yang menguntungkan terhadap earning per
share (EPS) dan rentabilitas modal sendiri (ROE) dengan menentukan tingkat
finansial leverage dapat diketahui bahwa semakin besar pula pengaruh yang
diberikan oleh perubahan EBIT terhadap laba perlembar saham (Dermawan
Sjahrial,2009:154).
2.8.3 Jenis Rasio Leverage
Menurut Horne dan Wachowicz (2007:208), ada dua jenis rasio leverage
keuangan yang biasa lazim digunakan oleh perusahaan yang go public.
1. Rasio hutang terhadap ekuitas.
Agar dapat menilai sejauh mana perusahaan menggunakan uang yang
dipinjamkan, kita dapat menggunakan beberapa rasio hutang (debt ratio) yang
berbeda. Rasio hutang terhadap ekuitas (debt to equity ratio) dihitung hanya
dengan membagi total utang perusahaan (termasuk kewajiban jangka pendek)
Para kreditor secara umum akan lebih suka jika rasio ini lebih rendah.
Semakin rendah rasio ini, maka semakin tinggi tingkat pendanaan perusahaan
yang disediakan oleh pemegang saham dan semakin besar perlindungan bagi
kreditor jika terjadi penyusutan nilai aktiva atau kerugian besar.
2. Rasio hutang terhadap total aktiva.
Rasio hutang terhadap total aktiva (debt to total assets ratio) didapat dari
membagi total utang perusahaan dengan total aktivanya:
Rasio ini menekankan pada peran penting pendanaan yang didukung oleh
pendanaan hutang. Jadi 45%dari aktiva perusahaan didanai oleh hutang,
sementara sisanya sebesar 55% pendanaan berasal dari ekuitas pemegang saham.
Jadi hal ini menunjukkan bahwa semakin besar presentase pendanaan yang
disediakan oleh ekuitas pemegang saham, semakin besar jaminan perlindungan
yang didapat oleh kreditor perusahaan. Semakin tinggi debt to total assets ratio,
semakin besar resiko keuangannya. Sebaliknya,semakin rendah rasio ini maka
semakin rendah resiko keuangannya.
2.9 Tipe Kepemilikan Publik
Tipe kepemilikan perusahaan adalah proporsi kepemilikan asing
(multinasional), manajemen perusahaan (insider ownership), institusional, publik
1. Kepemilikan Asing (Multinasional)
Chibber dan Mujamdar (1999 (dalam Herdinata, 2007), meneliti
kepemilikan asing terhadap kinerja perusahaan di India dengan 1000
perusahaan dalam periode 1988-1991. Hasilnya memperlihatkan bahwa
semakin meningkatnya kepemilikan orang asing semakin meningkat
pulakinerja perusahaan di India. Ketika kepemilikan orang asing lebih besar
dari40%, yakni tingkat kepemilikan yang mengontrol secara total, kinerja
perusahaan jauh lebih baik dan signifikan daripada tingkat kepemilikan yang
lebih rendah. Wiwattanakantang (2001) (dalam Herdinata, 2007),
menjelaskan perusahaan yang dikontrol oleh pemegang saham asing
mempunyai beberapa keunggulan seperti know-how teknologi.
Menurut Susanto (1992) dalam Almilia dan Retrinasari(2007), afiliasi
perusahaan dengan perusahaan asing (multinasional) mungkin akan
melakukan pengungkapan yang lebih luas. Terdapat beberapa alasan
mengenai dugaan ini. Pertama, perusahaan berbasis asing mendapatkan
pelatihan yang lebih baik, misalnya dalam bidang akuntansi, dari perusahaan
induknya dari luar negeri. Kedua, perusahaan berbasis asing mungkin
mempunyai sistem informasi manajemen yang lebih efisien yang memenuhi
kebutuhan pengendalian internal dan kebutuhan informasi perusahaan
induknya. Ketiga kemungkinan juga terdapat permintaan informasi yang lebih
besar kepada perusahaan berbasis asing dari pelanggan, pemasok, analisis dan
stakeholders yang berbeda, sehingga tingkat kelengkapan pengungkapan
yang harus dilakukan pun berbeda.
Perusahaan dengan status penanaman modal asing (PMA) akan
memberikan pengungkapan yang lebih luas dibanding perusahaan domestik.
Perusahaan besar dianggap memiliki informasi yang lebih banyak dibanding
perusahaan kecil. Fitriani (2001) dalam Almilia dan Retrinasari (2007), dalam
penelitiannya menunjukkan bahwa status perusahaan mempunyai hubungan
negatif dengan kelengkapan pengungkapan. Perusahaan dengan status PMA
akan indeks kelengkapan pengungkapannya lebih rendah jika dibandingkan
dengan perusahaan yang berstatus lainnya.
2. Kepemilikan Manajemen Perusahaan (Insider Ownership)
Jensen dan Meckling (1976), menyatakan bahwa adanya kepemilikan oleh
manajemen akan mengurangi secara signifikan konflik keagenan antara
pemilik dan agen (manajemen). Konflik yang terjadi didalam perusahaan
akan dipersepsikan negatif oleh pasar. Jika konflik terjadi pemegang saham
harus mengeluarkan sejumlah biaya baik dalam bentuk biaya monitoring
(monitoring cost), bonding cost dan biaya residual (residual loss) sebagai
akibat dari problema keagenan tersebut.
Semakin besar kepemilikan manajer didalam perusahaan maka semakin
produktif tindakan manajer dalam memaksimalkan nilai perusahaan. Manajer
perusahaan akan mengungkapkan informasi perusahaan dalam rangka untuk
meningkatkan image perusahaan, meskipun ia harus mengorbankan sumber
3. Kepemilkan Institusional
Kepemilikan institusional merupakan proporsi kepemilikan saham oleh
institusi pendiri perusahaan, bukan institusi pemegang saham publik yang
diukur dengan presentase jumlah saham yang dimiliki oleh investor institusi
intern (Sudarma,2003, Fried dan Hasbrouk,1998).
Dengan tingginya kepemilikan manajerial, para investor institusional akan
mendapatkan kesempatan kontrol perusahaan yang lebih sedikit. Ini berarti
hubungan antara kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional adalah
negatif. Hubungan ini sesuai dengan penelitian Fitriani dan Mamduh (2003).
Resiko mempunyai hubungan negatif dan signifikan terhadap kepemilikan
institusional. Tingginya resiko yang dihadapi perusahaan meningkatkan
resiko kebangkrutan dan volalitas dari pendapatan, hal ini akan mengurangi
minat institusi untuk melakukan investasi pada saham perusahaan tersebut
karena institusi lebih mementingkan pada stabilitas pendapatan (Fitri dan
Mamduh,2003).
Dengan jumlah investasi yang tinggi, investor institusional melakukan
monitoring yang semakin ketat dan menghalangi perilaku oportunis manajer.
Monitoring oleh investor institusional ini dapat mengurangi agency cost
dalam hal ini yaitu biaya yang ditanggung pemilik untuk mengawasi agen
seperti biaya audit, sehingga dividen yang dibayarkan juga menurun.
Kehadiran kepemilikan institusional memiliki efek substitusi bagi
4. Kepemilikan Publik
Pemegang saham publik merupakan bagian dari stakeholder yang
membutuhkan informasi untuk menganalisis imbal hasil atas investasi saham
yang ditanamkan pada perusahaan tersebut, sehingga pemegang saham publik
juga memiliki kepentingan terhadap informasi kelangsungan usaha
perusahaan. Dengan demikian, semakin besar kepemilikan publik terhadap
perusahaan, maka diharapkan pengungkapan laporan tahunan perusahaan
sebagai alat untuk pengawasan kinerja perusahaan juga semakin luas
(Wardani:2012). Penelitian yang dilakukan oleh Yularto dan Chariri (2000)
membuktikan bahwa presentase pemegang saham publik (masyarakat)
mempunyai pengaruh terhadap luas pengungkapan sukarela perusahaan di
Indonesia. Dalam penelitian yang dilakukan (Hadi dan Sabeni, (2002), serta
Yularto dan Chariri, (2003) variabel tipe kepemilikan diukur dengan
presentase saham yang dimiliki oleh publik (masyarakat). Pengertian publik
disini adalah pihak masyarakat yang ada di luar manajemen dan tidak
memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan.
Menurut Rosma (2007) kepemilikan publik menunjukkan besarnyaprivate
informationyang harus dibagikan manajer kepada publik.Private
informationtersebut merupakan informasi internal yang semula hanya
diketahui oleh manajer,seperti standar yang dipakai dalam pengukuran kinerja
perusahaan dan keberadaan perencanaan bonus.
Jensen (1976) menyatakan bahwa publik mempunyai peran penting
memiliki financial interest dan bertindak independen dalam menilai
manajemen. Semakinbesar persentase saham yang ditawarkan kepada publik,
maka semakin besar pulainternal yang harus diungkapkan kepada publik.
sehingga kemungkinan dapatmengurangi intensitas terjadinya biaya agensi.
Oleh karena itu kepemilikanpublik dianggap berpengaruh terhadap
pengungkapan sukarela.
5. Kepemilikan Individual
Kepemilikan individu atau keluarga sering dihubungkan peran ganda
mereka didalam perusahaan, yaitu sebagai pemilik dan sebagai pengelola
(manajemen) perusahaan. Menurut sudut pandang ekonomi, individu atau
keluarga membuat investasi khusus didalam perusahaan dalam hal human
capital sehingga mereka sering enggan untuk melakukan kontrol yang ketat
(Fitriani,2001).
Pada sisi lain, kepemilikan individu atau keluarga juga cenderung
mendapatkan manfaat pribadi (private benefit) ketika menjalankan
perusahaan atas pemegang saham minoritas.
Struktur kepemilikan akan mempengaruhi perilaku dan performasi
perusahaan. Menurut Suripto (1998), kepemilikan keluarga akan menciptakan
nilai serta memperbaiki kinerja perusahaannya jika disertai beberapa bentuk
2.10 Penelitian Terdahulu
1. Julia Halim, Carmel Maiden dan Rudolf lumban tobing (2005), yang
melakukan penelitian pengaruh manajemen laba pada tingkat pengungkapan
laporan keuangan pada perusahaan manufaktur yang termasuk dalam indeks
LQ45. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel dependen adalah
manajemen laba dan tingkat pengungkapan laporan keuangan. Sedangkan,
pada variabel independennya terdapat adanya asimetri informasi, kinerja masa
kini/current industry relative performance (CRP), kinerja masa
mendatang/future industry relative performance (FRP), leverage, ukuran
perusahaan, return kumulatif dan current rasio. Objek penelitian mencangkup
34 perusahaan manufaktur yang terdapat di bursa efek Jakarta dan termasuk
indeks LQ45 berdasarkan JSX value line tahun 2001-2002. Hasil yang didapat
dari penelitian ini menyatakan bahwa penelitian yang dilakukan pada 34
perusahaan manufaktur yang termasuk indeks LQ-45 terlihat melakukan
tindakan manajemen laba. Dalam melihat hubungan manajemen laba dengan
indeks pengungkapan ternyata manajemen laba berpengaruh signifikan positif
pada tingkat pengungkapan laporan keuangan sejalan dengan perspektif
Efficient Earning Managements. Namun sebaliknya, tingkat pengungkapan
berpengaruh signifikan negatif pada manajemen laba sejalan dengan
Oppurtunistic Earning Managements. Asimetri informasi, kinerja masa kini,
kinerja masa mendatang, faktor leverage, ukuran perusahaan berpengaruh
signifikan terhadap manajemen laba. Ukuran perusahaan dan return kumulatif
untuk menyatakan faktor current ratio berpengaruh signifikan pada tingkat
pengungkapan.
2. Luciana Spica Almilia dan Ika Retrinasari (2007), yang melakukan penelitian
untuk mengetahui pengaruh rasio likuiditas, rasio leverage, net profit margin,
ukuran perusahaan dan status perusahaan terhadap kelengkapan pengungkapan
pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Dalam
penelitian ini yang menjadi variabel dependen adalah kelengkapan
pengungkapan laporan keuangan tahun 2001-2004 pada perusahaan
manufaktur yang terdaftar di BEI dengan metode purposive sampling.
Sedangkan variabel independen adalah ukuran perusahaan, rasio leverage, rasio
likuiditas, net profit margin dan status perusahaan. Hasil dari penelitian ini
menyatakan bahwa variabel yang mempengaruhi pengungkapan wajib yaitu
variabel rasio likuiditas, rasio leverage, ukuran perusahaan dan status
perusahaan. Kelengkapan perusahaan tidak dipengaruhi oleh semua
variabel-variabel bebas tersebut, sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi
kelengkapan pengungkapan (wajib dan sukarela) adalah variabel rasio
likuiditas, ukuran perusahaan dan status perusahaan yang berpengaruh
signifikan <10%. Pada model 2 menunjukkan bahwa secara simultan dan
parsial likuiditas, leverage, net profit margin, ukuran perusahaan dan status
perusahaan tidak berpengaruh terhadap pengungkapan sukarela. Hal ini
disebabkan karena rendahnya tingkat IKP sukarela, sehingga hasilnya tidak
Penelitian ini juga menemukan bukti bahwa indeks kecukupan pengungkapan
wajib adalah minimum 15,23% dan maksimum adalah 45,25% dengan rata-rata
28,09%. Hal ini menunjukkan bahwa belum semua informasi yang diminta
dalam peraturan Bapepam diungkapan oleh perusahaan. Hal tersebut
disebabkan bukan semata-mata karena kesalahan perusahaan, tetapi karena
memang perusahaan tidak memiliki item-item tersebut. Sedangkan indeks
pengungkapan sukarela berkisar antara 3,8% sampai 34,62% dengan rata-rata
18,5%. Indeks kelengkapan pengungkapan (wajib dan sukarela) minimum
adalah 29,55% dan maksimum adalah 66,56% dengan rata-rata 46,59%.
3. Omar Juhmani (2013) dalam penelitiannya yang berjudul “Struktur
kepemilikan dan pengungkapan sukarela perusahaan : bukti dari Bahrain”.
Dalam penelitian ini omar juhmani menjadikan Struktur kepemilikan
(kepemilikan pemegang saham, kepemilikan manajerial dan kepemilikan
publik) sebagai variabel independen. Sedangkan variabel kontrol yang
dipakainya adalah ukuran perusahaan, leverage, profitabilitas. Variabel
dependen dalam penelitisan ini adalah pengungkapan sukarela (voluntary
disclosure). Dalam penelitian ini peneliti melakukan pengumpulan analisis data
empiris dari 41 perusahaan di Bahrain: data yang dianalisis dengan
menggunakan korelasi bivariat dan analisis regrasi linier berganda
menggunakan SPSS sebagai alat untuk menjelaskan hubungan antara
faktor-faktor struktur kepemilikan dan luas pengungkapan informasi sukarela oleh
perusahaan di Bahrain. Selanjutnya hasil penelitian ini yakni struktur
sukarela. Selanjutnya, ukuran dan leverage perusahaan secara signifikan
berpengaruh positif dengan tingkat pengungkapan informasi sukarela.
4. Gary F. Peters dan Andrea M. Romi (2012) dalam penelitiannya berjudul
“PengaruhCorporate GovernancepadaPengungkapanRisikoSukarela:
BuktidariPelaporan Emisi Gas Rumah Kaca”. Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan pengungkapan sukarela sebagai variabel dependennya dan
corporate governance sebagai variabel independennya. Dalam penelitian ini
peneliti melakukan menggunakan datayang tersedia dari Carbon Disclosure
Project "Kuesioner Emisi Gas Rumah Kaca " dari tahun 2002hingga 2006.
Sampel dari penelitian ini termasuk seluruh perusahaan Amerika Serikat di
FT500, terdiri dari 500 perusahaan terbesar didunia berdasarkan pasar
kapitalisasi dari 2002 sampai tahun 2004, dan S&P 500 perusahaan dari tahun
2005dan 2006. Peneliti menggabungkan model probit untuk menyelidiki
dampak dari karakteristik spesifik perusahaan terhadap keputusan untuk
mengungkapkan informasi akuntansi Greenhouse Gas, kemudian dengan
memasukkan model seleksi sampel Heckman dua tahap untuk mengontrol bias
pemilihan sampel dan menyelidiki karakteristik tata kelola perusahaan pada
kualitas pengungkapan. Peneliti juga menggunakan dua variabel dari
ketertarikan dalam mengevaluasi hubungan antara corporate governance dan
pengungkapan serta kualitas greenhouse gas yaitu komite dan pegawai.
Peneliti menemukan bahwakehadirankomitelingkungan dan Chief
Sustainability Officer (CSO) yang berpengaruh positif dengan kemungkinan
komite eksekutif dan karakteristik khusus mengungkapkan bahwa
kemungkinan pengungkapan dipengaruhi ukuran komite, jumlah pertemuan
komite, keahlian anggota komite dan CSO, dan tumpang tindih antara komite
lingkungan dan komite audit. Keahlian anggota komite lingkungan dan OMS
dipengaruhi oleh kualitas pengungkapan greenhouse gas, sementara komite
yang lebih besar cenderung dipengaruhi oleh kualitas pengungkapan yang
lebih rendah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perusahaan juga harus
mempertimbangkan dampak dari mekanisme corporate governance dalam
menanggapi panggilan regulator dan pemangku kepentingan untuk
transparansi yang lebih besar dari risiko perusahaan.
5. Rr. Puruwita Wardani (2012), meneliti penelitian yang berjudul “Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Luas Pengungkapan Sukarela”. Dalam Penelitian ini
menganalisis apakah ukuran perusahaan, leverage, porsi kepemilikan saham,
likuiditas perusahaan, profitabilitas, serta umur perusahaan berpengaruh
terhadap luas pengungkapan sukarela dengan pendekatan stakeholder theory
yang memiliki tujuan untuk kelangsungan usaha perusahaan sebagai teori
utama, agency theory dan legitimacy theory sebagai teori pendukungnya dan
menggunakan 79 sampel perusahaan sektor riil yang terdaftar di BEI tahun
2009 dengan menggunakan metode regresi berganda. Hasilnya adalah ukuran
perusahaan dan profitabilitas berpengaruh secara positif, namun umur
berpengaruh secara negatif terhadap luas pengungkapan sukarela perusahaan,
sedangkan leverage, porsi kepemilikan saham, dan likuiditas tidak berpengaruh
6. Ardi Murdoko Sudarmadji dan Lana Sularto (2007) meneliti “Pengaruh
Ukuran Perusahaan, Leverage, Profitabilitas dan Tipe Kepemilikan Perusahaan
terhadap Luas Voluntary Disclosure Perusahaan Laporan Tahunan
Perusahaan”. Dalam penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah variabel
Ukuran Perusahaan, Leverage, Profitabilitas dan Tipe Kepemilikan Perusahaan
yang menjadi variabel independen berpengaruh terhadap luas voluntary
disclosure perusahaan yang menjadi variabel dependen dalam penelitian ini.
Sampel yang digunakan dalam penelitian Ardi Murdoko Sudarmadji dan Lana
Sularto ini yaitu terdiri dari 8 perusahaan yang bergerak dalam manufaktur.
Pengolahan dan analisis data menggunakan analisis regresi linier berganda
dengan bantuan program spss. Pengujian data yang digunakan untuk regresi
linier berganda adalah uji asumsi klasik. Hasil penelitian ini didapat bahwa
variabel ukuran perusahaan, leverage, profitabilitas dan tipe kepemilikan
perusahaan tidak berpengaruh terhadap luas voluntary disclosure laporan
tahunan.
7. Bintang Bagus Wicaksono (2011) dalam penelitiannya yang berjudul
“Pengaruh Karakteristik Perusahaan terhadap Luas Pengungkapan Sukarela
pada Laporan Keuangan”. Penelitian ini Bertujuan untuk mengetahui apakah
variabel karakteristik perusahaan (Ukuran Perusahaan, Tipe Kepemilikan,
Profitabilitas, Likuiditas, Status peusahaan, Leverage dan KAP big 4) yang
menjadi variabel independen berpengaruh terhadap luas vouluntary disclosure
laporan tahunan yang menjadi variabel dependennya. Sampel penelitian ini
sampel dipilih dengan menggunakan metode purposive sampling. Total sample
yang diambil adalah 58 perusahaan selama dua tahun 2008-2010. Pengujian
hipotesis dengan menggunakan analisis regresi linier berganda. Hasil penelitian
ini membuktikan secara serentak (uji f) indeks pengungkapan sukarela dapat
dijelaskan oleh seluruh variabel. Sedangakan (uji t) menunjukkan bahwa ada
dua variabel yang signifikan yaitu variabel size dan tipe kepemilikan saham.
8. Wallace et al. (1994) dalam penelitiannya mengambil ukuran perusahaan,
likuiditas, debt equity ratio, earning return, profit margin, tipe industry, dan
tipe auditor sebagai variabel independen dan kelengkapan pengungkapan
sebagai variabel dependen. Penelitian ini menggunakan analisis linier berganda
dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran perusahaan secara
signifikan berhubungan positif dengan indeks kelengkapan pengungkapan
likuiditas secara signifikan berhubungan negatif dengan indeks kelengkapan
Tabel 2.1
Ringkasan Penelitian Terdahulu No Nama
Peneliti Variabel Hasil penelitian
1 Julia Halim, sejalan dengan perspektif Efficient Earning Managements
c. Asimetri informasi, kinerja masa kini, kinerja masa mendatang, faktor leverage, ukuran perusahaan dan sukarela) adalah variabel rasio likuiditas, ukuran perusahaan dan status perusahaan yang berpengaruh signifikan <10%.
b. Pada model 2 menunjukkan bahwa secara simultan dan parsial
3 Omar
Hasil penelitian selanjutnya yaitu menemukan bahwa kehadiran lebih lanjut dari komite eksekutif dan karakteristik khusus
mengungkapkan bahwa kemungkinan pengungkapan dikaitkan dengan ukuran komite, jumlah pertemuan komite, keahlian anggota komite dan CSO, dan tumpang tindih antara komite lingkungan dan komite audit. Hanya keahlian anggota komite lingkungan dan OMS terkait dengan kualitas pengungkapan gas rumah kaca, sementara komite yang lebih besar cenderung berhubungan dengan
2.11 Kerangka Konseptual
Kerangka konseptualmenjelaskan secara teoritis model konseptual
variabel-variabel penelitian, tentang bagaimana pertautan teori-teori yang
berhubungan dengan variabel-variabel penelitian yang ingin diteliti, yaitu variabel
bebas dengan variabel terikat (Sapto Haryoko dalam Iskandar, 2008:54).
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
Fitriani (2001) menyatakan variabel ukuran perusahaan paling konsisten
berpengaruh secara signifikan terhadap luas pengungkapan sukarela. Mawarta
(2001) menduga bahwa pada umumnya perusahaan kecil mempunyai keterbatasan UKURAN
PERUSAHAAN (X1)
PROFITABILITAS (ROA) (X2)
LEVERAGE (X3)
KEPEMILIKAN PUBLIK (X4)
sumber daya yang dimiliki perusahaan. Hasil dari penelitian Mawarta
mengidentifikasikan bahwa ukuran perusahaan mempunyai hubungan positif
terhadap pengungkapan.
Penelitian lain dilakukan oleh Simajuntak (2004) menyatakan bahwa
variabel profitabilitas mempengaruhi tingkat pengungkapan laporan tahunan
perusahaan manufaktur. Na’im dan Fuad Rakhman (2000) membuktikan bahwa
rasio leverage mempunyai hubungan positif dengan kelengkapan pengungkapan
sukarela. Sebaliknya, Fitriani (2001) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa
rasio leverage tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kelengkapan
pengungkapan wajib dan sukarela.
Laporan tahunan dapat dipandang sebagai upaya untuk
mengurangiasimetri informasi antara manajemen dan pemilik. Ada potensi konflik
kepentingan antara manajemen dan pemilik dalam hal luasnya pengungkapan
sukarela laporan tahunan. Semakin banyak saham yang dimiliki oleh publik, maka
semakin besar tekanan yang dihadapi perusahaan untuk mengungkapkan
informasi lebih banyak dalam laporan tahunannya. Hal ini dikarenakan semakin
besar porsi kepemilikan publik, maka semakin banyak pihak yang membutuhkan
informasi tentang perusahaan, sehingga semakin banyak pula butir-butir informasi
yang mendetail yang dituntut untuk dibuka dalam laporan tahunan. Variabel tipe
kepemilikan merupakan variabel yang berpengaruh signifikan terhadap luas
pengungkapan sukarela laporan tahunan perusahaan. Dalam penelitian-penelitian
2.12 Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah diungkapkan sebelumnya, maka
hipotesis dalam penelitian ini adalah:
H1: Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap voluntary disclosure
(pengungkapan sukarela).
H2: Profitabilitas berpengaruh positif terhadap voluntary disclosure
(pengungkapan sukarela).
H3: Leverage berpengaruh positif terhadap voluntary disclosure (pengungkapan
sukarela).
H4: Tipe kepemilikan berpengaruh positif terhadap voluntary disclosure
(pengungkapan sukarela).
H5: Ukuran Perusahaan, Profitabilitas, Leverage dan Tipe kepemilikan secara
simultan berpengaruh positif terhadap voluntary disclosure (pengungkapan