• Tidak ada hasil yang ditemukan

TERIMA KASIH KEPADA. SUSUNAN REDAKSI KERTHA AKSARA...1 Surat Pembaca dan Sambutan Redaksi...2 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA KERTHA AKSARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TERIMA KASIH KEPADA. SUSUNAN REDAKSI KERTHA AKSARA...1 Surat Pembaca dan Sambutan Redaksi...2 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA KERTHA AKSARA"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

SUSUNAN REDAKSI KERTHA AKSARA FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA Pelindung

dekan Fakultas Hukum universitas udayana

Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.,MHum

Wakil dekan iii Fakultas Hukum universitas udayana

Dr. I Gede Yusa, SH.,MH

Pembina

Prof. Dr. I Wayan P Windia, SH.,Msi Prof. Dr. Ibrahim R, SH.,MH Dr. Jimmy Z Usfunan, SH.,MH

I Made Budi Arsika, SH, LLM I Kadek Agus Sudiarawan , SH.,MH

I Gede Pasek Pramana, SH MH

PimPinan umum

Ni Putu Dinar Nareswari

biro umum

Enjita Hairindika

PimPinan redaksi

Ni Putu Diah Chandra Paramita

rePorter

I Putu Yoko Sunarma Yasa A.A Ngurah Duta Putra Adnyana Ida Ayu Kade Irsyanti Nadya Saraswati

Putu Anantha Pramagita Febriyanty Kusumaningrum

Irma Anggi Pratiwi Luh Putu Vicky Andriani

I Kadek Yudiana I Dewa Made Airlangga Made Aristya Kerta Setiawan

Ni Kadek Juliani Fridayani

ilustrator

Putu Winda Pramesti Dewi Angga Rizaldi Ni Nengah Nuri Sasmita DANA BERSUMBER DARI :

DIPA-042.01.2.400969/2016

• Tuhan Yang Maha Esa • Semesta

• Jajaran Rektorat Universitas Udayana

• Jajaran Dekanat Fakultas Hukum Universitas Udayana

• Unit Sumber Daya Informasi (USDI) Universitas Udayana

• Unit Publikasi dan Dokumentasi Fakultas Hukum Universitas Udayana

• Seluruh Civitas Akademika Universitas Udayana • Unit Kegiatan Mahasiswa Generasi Bidikmisi

Udayana

• Bali Tobacco Control Initiative (BTCI) • Madilog Coffee House

• Omah Munir

• Komunitas Pecinta Calonarang

• Perhimpunan Pers Mahasiswa Dewan Kota Bali • Kelian Kampung Bugis Serangan

susunan redaksi kertHa aksara...1

Surat Pembaca dan Sambutan Redaksi...2

laPoran utama Bidikmisi, Bantuan Bagi Mahasiswa “Kurang Mampu” ?...3

laPoran kHusus Sistem SIMAK Rumit, USDI UNUD: “Lama-lama Juga Terbiasa”...6

berita kamPus Rokok Disidak, Vape?...7

PJTD Kolaborasi KA dan Kanaka...8

Sinkronisasi Satu Payung...9

sudut Pandang Pluralisme Kehidupan Masyarakat Kampung Bugis: “Perbedaan Diikat dengan 4S”...10

Sejarah PPMI...11

oPini Sumpah Atau Sampah Mahasiswa? Memahami Sumpah Mahasiswa Agar Tak Tersesat...12

Kebebasan Mengeluarkan Pendapat Tanpa Tanggung Jawab...14

Krisis Toleransi Kebinekaan...15

Pentingnya Skp Dalam Menghadapi “ Degradasi Mental” Mahasiswa Di Era Globalisasi...16

Mikol Di Bale Banjar...18

Remaja Bali Kini...19

Potret sosial...,...20

ProFil Kilas Balik Wayan P. Windia Menjadi Seorang Budayawan yang Ahli “Membuat Kesejukan” ...22

klinik Hukum Endorsement dalam Hukum Bisnis...24

Capres dan Cawapres Tunggal Mungkinkah?...25

Jurnal ilmiaH Panel and Appellate Body Interpretation on the Most-Favoured Nation Treatment Obligation under the General Agreement on Trade in Services...26

inFo Madilog Kedai Kopi dengan Konsep Edukasi...29

Omah Munir Mengenang Sang Pejuang Ham...31

komunitas Berawal dari Hobi Nonton Hingga Menjadi Bagian dari Pertunjukan...32

Catatan PerJalanan Analogi Hidup Dari Kereta...33

sastra berbudaYa Cerpen : Sunflower...34

Cerpen : Gadis Nestapa Penunggu Stasiun...36

Komik...38

Puisi...40

(2)

F, Hukum’15

Saya merasa permasalahan kampus hukum cukup rumit dan kompleks 1. Masalah Parkir di Kampus sudah

over crowded terkesan motor dan

mo-bil dipaksakan parkir padahal parkir sudah penuh.

2. Masalah fasilitas kampus seperti wifi, gedung dan kursi perkuliahan kurang dijaga mahasiswa dan pihak kampus terkesan kurang memperhatikan. GAD Hukum ‘14

1. Sentralisasi S1 ke kampus Bukit dan Denpasar seperti terkesan bumi dan langit di satu sisi kampus Denpasar terkesan seperti kelebihan mahasiswa dan di Bukit seperti kekurangan ma-hasiswa

2. Pengurusan administrasi kurang

banget. Administrasi ke TU, Perpus

ataupun Dekanat terkesan ribet dan memerlukan waktu yang lama dan

pembagian proporsi nilai perlu direv-isi lagi. Nilai mahasiswa yang aktif di kelas sama nilainya dengan yang kuliah hanya sekedar ngampus saja.

NN Hukum’14

Dekanat harus menindaklanjuti dosen yang memberikan nilai jauh di bawah standar. Kami selaku mahasiswa mera-sa dirugikan selama mera-satu semester ka-rena alasan yang sangat tidak masuk akal. Ketika kami menuntut kejelasan akan nilai kami, dosen yang bersang-kutan selalu mengatakan “kamu mer-agukan kinerja saya sebagai dosen?,” dan “Mahasiswa selalu merasa paling benar,” ujarnya.

CKH Hukum’16

Diharapkan pula seluruh civitas ak-tif maupun alumni untuk membantu mengupayakan fisik dan bangunan fakultas, serta segala sarana dan

prasa-rana penunjang sehingga menjadi lebih baik, karena komponen fisik tersebut langsung merepresentasikan FH. Adapun saran fisik yang dapat saya berikan adalah pemindahan Tempat Pembuangan Sampah yang saat ini berada di depan Lambang Fakultas. Hal tersebut tidaklah patut, karena menyandingkan simbolisasi Lambang FH dengan asosiasi Sampah. Alangkah baiknya bila tempat Sampah tersebut dipisah dan jika diperlukan memin-ta TPS mobile dari Pemkot. Sehingga areal kampus steril dari Sampah, dan lebih rapi. FH yang bersih, rapi, trans-paran, dan profesional. Demikianlah simbolisasi tersebut akan mempen-garuhi mental civitas, sehingga akan lebih peduli dengan diri dan lingkun-gan keseluruhan FH.

Sambutan Redaksi

Salam Pers Mahasiswa!

Pekikan salam pembangkit semangat insan pers mahasiswa kami serukan untuk membuka sambutan redaksi ini. Meski pers mahasiswa sedang redup gaungannya, kami tetap memilih ber-karya karena kami beranggapan pers mahasiswa tak ada matinya. Terbitnya majalah Kertha Aksara di awal tahun 2017 ini menjadi cambukan semangat kami untuk bangkit kembali dari tidur lama kami.

Enam bulan sudah Kertha Aksara menerbitkan majalah edisi sebelumn-ya, dan sekiranya awal tahun 2017 ini kami terbitkan kembali majalah Ker-tha Aksara kebanggaan kami. Dinami-ka yang terjadi di Kampus memaksa

kami untuk bekerja dibawa deadline yang sangat pendek. Selama kurang dari sebulan kami mempersiapkan mulai dari Tema, pembuatan berita hingga proses percetakan. Untunglah Tuhan dan Semesta ciptaannya men-dukung kami hingga sejauh ini.

Setelah melalui berbagai perdebat-an dperdebat-an perselisihperdebat-an untuk menen-tukan permasalahan di masyarakat yang akan kami bahas, akhirnya kami menentukan bidikmisi di Universi-tas Udayana sebagai laporan utama (laput). Hal ini berdasarkan beberapa isu di tengah-tengah mahasiswa men-genai penerimaan bidik misi yang acap kali dianggap salah sasaran. Pembaca mungkin bertanya-tanya mengapa

laput kali ini terasa sedikit “mengam-bang”? Di majalah ini gaya penulisan laput sengaja kami buat dengan gaya “mengintip” agar pembaca tergerak untuk menelusuri kebenaran / realita yang ada di masyarakat.

Selanjutnya, anggapan ribetnya sis-tem IMISSU yang dikeluhkan oleh para mahasiswa dan jawaban yang kami terima dari pihak USDI menjadi-kan kami memilihnya sebagai bahasan laporan khusus (lapsus) pada malajah ini. Majalah ini, kami kerjakan dengan motivasi dan dedikasi kami sebagai ba-gian dari Lembaga Pers Kertha Aksara. Akhir kata kami sampaikan, SELAMAT MEMBACA.

Surat Pembaca

(3)

---- Ditemukan Penerima yang Tidak Layak

DENPASAR – Polemik beasiswa Bidikmisi di dataran kampus kini ramai diperbincangkan. Sebab, bea-siswa yang diperuntukkan bagi lu-lusan sekolah menengah atas atau sederajat yang memiliki potensi akademik baik namun memiliki ke-terbatasan ekonomi untuk mengi-kuti pendidikan tinggi ini, disebut-kan masih banyak yang nakal.

Kepala Biro Administrasi Ke-mahasiswaan (BAK) Universitas Udayana, Indra Kecapa kepada LPM Kertha Aksara beberapa waktu lalu menuturkan, sepanjang pelaksanaan Bidikmisi di Universi-tas Udayana, ada beberapa maha-siswa yang diberhentikan bantuan-nya. “Setelah dilakukan monitoring dan evaluasi (Monev, Red) oleh Fakultas, ternyata dinyatakan tidak layak mendapatkan Bidikmisi,” un-gkapnya.

Untuk itu, pihak kampus, dalam hal ini fakultas mesti sering kali melakukan Monev, sebab masih banyaknya di antara calon maha-siswa penerima Bidikmisi yang penampilannya tidak mengesankan dari keluarga yang kurang mampu.

Diketahui, dari 20.000 mahasis-wa di Udayana ada sekitar 4300 mahasiswa penerima Beasiswa, yang 2000 diantaranya adalah pen-erima Bidikmisi. “Sekarang ini ada sekitar 2000 mahasiswa Bidikmisi, pasti ada aja yang nakal, maka dari itu kami butuh laporan dari mas-yarakat dan juga mahasiswa agar Bidikmisi memang tepat sasaran,” ujarnya.

Berdasarkan data yang dihimpun LPM Kertha Aksara dari website resmi Bidikmisi (http://Bidik Mis-ibelmawa.ristekdikti.go.id/), pen-erima Bidikmisi haruslah memiliki orang tua yang tidak mampu. Kri-teria tidak mampu ini berupa pen-dapatan kotor gabungan orangtua/ wali (suami istri) maksimal sebesar Rp 3.000.000,00 per bulan dan atau pendapatan kotor gabungan or-angtua/wali dibagi jumlah anggota keluarga maksimal Rp 750.000,00 setiap bulannya.

Dalam penelusuran LPM Kertha Aksara di tingkat Fakultas Hukum UNUD sendiri, data dari tahun 2014 hingga 2016, menyebutkan angka penerima Bidikmisi men-galami peningkatan tiap tahunnya. Namun pihak kampus mengaku belum pernah menerima laporan akan adanya mahasiswa mampu yang menerima bantuan Bidikmisi.

Hal tersebut diungkapkan oleh Ni Wayan Wiji selaku

Kas-ubag Kemahasiswaan Hu-kum Universitas Udayana saat ditemui di ruangan-nya beberapa waktu lalu. “Hal tersebut seharus-nya tidak terjadi karena universitas telah mener-apkan sistem verifikasi yang ketat,” katanya.

Terlebih, prosedur pen-erimaan Bidikmisi dimu-lai di tingkat Universitas. “Kami menerima data dan mahasiswa yang sudah jadi, kalau untuk survei biasanya diwakilkan oleh Wakil De-kan, jadi mereka yang lebih

banyak tahu,” ungkapnya.\

Tugas lain, dikatakan oleh Serni di bidang Tata Usaha (TU), yakni me-nerima masalah teknis seperti jika IPK turun atau yang bersangkutan berhenti kuliah.

Sementara itu, terkait dengan prosedur pelaporan, Serni terk-esan tertutup. Dalam penyam-paiannya, hanya mengatakan bagi yang keberatan langsung ke pihak rektorat. “Nanti rektorat menegur pihak Fakultas, di Fakultas Wakil Dekan III yang menegur mahasis-wa bersangkutan. Hak beasismahasis-wa mahasiswa yang bersangkutan bisa dicabut karena tidak memenuhi kriteria,” jawabnya singkat.

Di sisi lain, pelaporan secara on-line juga dapat dilakukan di alamat websitehttp://Bidik Misibelmawa. ristekdikti.go.id/masyarakat/pen-gaduan/lapor. Pada website terse-but, diharuskan

untuk mengisi data pribadi sebagai

Bidikmisi, Bantuan Bagi Mahasiswa

“Kurang Mampu” ?

LAPORAN UTAMA

“justicia est constans et perpetua voultas ius suum cuique tribuendi”- Ulpianus

(keadilan adalah kehendak terus menerus dan tetap memberikan kepada masing-masing apa

yang menjadi haknya)

(4)

pelapor dan data diri terlapor. Un-tuk kemudian data diri tersebut diproses oleh pihak yang berwajib.

Dari pihak lainnya, Bayu Sentana selaku Ketua UKM Generasi Bidikmisi Udayana (FGBU) men-yatakan belum pernah menerima laporan terkait mahasiswa mampu yang menerima bantuan Bidikmisi. “Jika ada laporan maka UKM GBU akan berkoordinasi dengan Biro Administrasi Kemahasiswaan akan melakukan visitasi untuk melihat keadaan ekonomi mahasiswa yang bersangkutan dan apabila terbuk-ti mampu kemungkinan terbuk-tindakan selanjutnya akan diberhentikan sebagai

pener-ima Bidikmisi,” tandasnya. (*)

---IP Kecil dan Malas Ikut Ke-giatan, Bidikmi-si Dicoret Dalam Pera-turan Menteri Pendidikan dan Ke b u d a y a a n Republik In-donesia No-mor 96 Tahun 2014 Tentang Penyelengga-raan Bantuan Biaya Pendidi-kan Bidikmisi, d i s e b u t k a n

Bidikmisi merupakan bantuan biaya pendidikan yang berfokus pihak yang memiliki keterbatasan kemampuan ekonomi.

Meski begitu, adanya syarat prestasi pada Bidikmisi ditujukan untuk menjamin para penerima Bidikmisi terseleksi benar-benar mempunyai potensi dan kemauan untuk menyelesaikan pendidikan tinggi. Sehingga Bidikmisi menjadi angin segar bagi mereka yang ber-prestasi namun berada di golon-gan ekonomi menengah ke bawah. Awalnya, dalam uji coba

pen-erapan Bidikmisi sempat terjadi beberapa kendala, namun seir-ing berjalannya waktu, penera-pan Bidikmisi telah mengalami penyempurnaan yang dapat ter-lihat dari ketatnya mekanisme sel-eksi penerimaan mahasiswa untuk menerima bantuan Bidikmisi.

Dari data yang dihimpun LPM Kertha Aksara, untuk menjadi ma-hasiswa Bidikmisi tidaklah mudah. Pelamar Bidikmisi harus mengiku-ti serangkaian prosedur seleksi. Dimulai dengan melakukan reg-istrasi dan pendataan di portal Bidikmisi yang selanjutnya akan dilakukan seleksi yang akan

me-nentukan apakah siswa tersebut layak atau tidak menjadi mahasis-wa Bidikmisi.

Jika telah memenuhi lulus sel-eksi kualifikasi penerimaan Bidik-misi dan dinyatakan lulus sebagai mahasiswa pada perguruan ting-gi yang dituju, pelamar Bidikmisi masih harus mengikuti verifikasi di universitas masing-masing.

Verifikasi dilakukan oleh Tim yang terdiri dari BAK, Wakil De-kan III masing-masing fakultas dan Mahasiswa Penerima Bidikmisi yang tergabung dalam Forum

Gen-erasi Bidikmisi Udayana (FGBU). Hal tersebut disampaikan oleh Indra Kecapa selaku Kepala Biro Administrasi Kemahasiswaan (BAK) Universitas Udayana kepa-da LPM Kertha Aksara beberapa waktu lalu. “Verifikasi ini meng-hasilkan suatu opini layak, layak dengan visitasi dan tidak layak pe-lamar Bidikmisi untuk mendapat-kan Bidik Misi,” ujarnya.

Untuk menentukan kelayakan, lanjut Indra, mengatakan verifika-si dilakukan dengan dua cara yaitu secara administrasi dan juga waw-ancara. Masing-masing tahap mem-berikan point tersendiri kepada

pelamar begi-tu juga pada setiap per-tanyaan saat wawancara. Jika masih ada keraguan mengenai has-il wawancara, maka akan d i l a k u k a n visitasi yaitu mengunjungi rumah maha-siswa untuk membuktikan k e b e n a r a n persyaratan yang diberi-kan oleh ma-hasiswa. Jika mahasiswa yang bersangku-tan memenuhi persyarabersangku-tan untuk menerima Bidik Misi, maka akan dinotifikasi langsung dari Tim Bidikmisi Universitas dan kemu-dian wajib melaksanakan syarat-syarat yang diberikan. “Tetapi ada kemungkinan terjadinya pencabu-tan bantuan Bidikmisi bagi maha-siswa yang telah dinyatakan layak menerima bantuan, “katanya.

Beberapa peserta peneri-ma Bidikmisi, kepada LPM Ker-tha Aksara mengaku sulit untuk memenuhi persyaratan. Meski

LAPORAN UTAMA

Data penerima bidikmisi FH UNUD yang dihimpun tim Redaksi LPM KA dari sumber staf TTata Usaha FH UNUD

(5)

begitu, adanya program Bidikmisi dari pemerin-tah, dapat meringankan segala masalah keuangan di perkuliahan seperti pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) serta mendapat tambahan uang saku dari sisa pembayaran UKT tersebut semester.

Menariknya, dalam peraturan yang diterapkan pen-erima Bidikmisi, yakni para penpen-erima hanya ditanggu-ng delapan semester. Bila yaditanggu-ng bersaditanggu-ngkutan tidak dapat menyelesaikan studinya, maka diharuskan untuk membayar sendiri uang kuliahnya dengan dikenakan UKT terendah.

Timbal baliknya, penerima Bidikmisi diwajibkan untuk aktif mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh fakultas maupun universitas dan juga mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh Generasi Bidikmi-si Udayana (GBU) minimal satu kali per semester.

Hal tersebut dikatakan oleh Indra, (20) salah seo-rang penerima Bidikmisi beberapa waktu lalu. “Kalau soal itu, dibuktikan dengan piagam maupun sertifikat pada saat membuat laporan pertanggungjawaban,” ka-tanya.

Hal senada disampaikan oleh A.D. Mustika (20) sela-ku salah seorang penerima Bidikmisi Fasela-kultas Husela-kum Universitas Udayana angkatan 2015. “Nah, kalau ingin dana Bidikmisi bisa cair, maka Indeks Prestasi (IP) dari mahasiswa penerima Bidikmisi tidak boleh di bawah 2,75,” bebernya.

Sementara itu, Koordinator Bidikmisi Fakultas Hu-kum Universitas Udayana angkatan 2015, Marliani Dewi (20) menambahkan bahwa cara dirinya untuk mengoordinasikan penerima Bidikmisi 2015 adalah dengan membuat grup chat dan di dalam grup terse-but saling mengingatkan untuk tidak terlambat dalam pengumpulan laporan pertanggungjawaban. (*) (Dinar, Enjita, Dece, Febri, Irma)

Pengaturan Penerimaan Bidik Misi

1. UUD NRI 1945 Pasal 31 menyebutkan bahwa

“Se-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan”.

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20

Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab V pasal 12 (1.c), menyebutkan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan bea-siswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mam-pu membiayai pendidikannya. Pasal 12 (1.d), menyebutkan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya.

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 76 (1), menyebutkan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/ atau Perguruan Tinggi berkewajiban memenuhi hak Ma-hasiswa yang tidak mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik. Pasal (2) menyebutkan bahwa pemenuhan hak Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberikan: (a) beasiswa kepada Mahasiswa berprestasi, (b) bantuan atau membebaskan biaya Pendidikan;

4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor

48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, Bagian Ke-lima, Pasal 27 ayat (1), menyebutkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya memberi bantuan biaya pendidikan atau beasiswa kepada peserta didik yang orang tua atau walinya tidak mampu membiayai pendidikannya. Pasal 27 ayat (2), menyebutkan bahwa Pe-merintah dan PePe-merintah Daerah sesuai dengan kewenan-gannya dapat memberi beasiswa kepada peserta didik yang berprestasi.

5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

No-mor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, Pasal 53A yang mene-gaskan bahwa satuan pendidikan tinggi yang diselengga-rakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing wajib menyediakan beasiswa bagi peserta didik berkewarganegaraan Indone-sia yang berprestasi dan wajib mengalokasikan tempat bagi calon peserta didik berkewarganegaraan Indonesia, yang memiliki potensi akademik baik dan tidak mampu secara ekonomi, paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jum-lah keseluruhan peserta didik baru.

6. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

Nomor 96 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Bantuan Biaya Pendidikan Bidikmisi.

(6)

JIMBARAN -| Di zaman yang canggih ini dibutuh-kan kecepatan dan ketepatan dalam mengakses data. Dalam kegiatan keadministrasian, sudah mulai diben-tuk situs-situs pemerintah yang dapat diakses oleh masyarakat luas guna terciptanya suatu integrasi an-tara masyarakat dan pemerintah.

Tak terkecuali dengan kegiatan Administrasi yang dilakukan di Universitas Udayana (UNUD) yang su-dah menerapkan sistem online dalam kegiatan admi-nitrasi seperti pengisian Kartu Rencana Studi (KRS) bagi mahasiswa. Hal ini bukan tanpa alasan, yakni untuk mewujudkan pelayanan yang cepat, tepat dan akurat berbasis teknologi informasi di lingkungan UNUD, maka dibentuk unit yang khusus mengelola sistem informasi UNUD maka dari itu dibentuklah Unit Sumber Daya Informasi (USDI) sesuai dengan Surat Keputusan Rektor No 39/UN.14/HK/2015.

Berangkat dari Surat Keputusan Rektor tersebut terbentuklah sistem Integrated Management

Informa-tion System Of UNUD (IMISSU). “Tujuan dari

diben-tuknya sistem ini adalah untuk Integrasi antar Fakultas di Lingkungan Universitas Udayana,” ujar I Nyoman Piarsa selaku Sekretaris USDI dalam wawancaranya dengan Tim Kertha Aksara pada (4/1),

Sebelum terbentuknya sistem IMISSU ini menurut Piarsa tiap-tiap Fakultas memiliki websiten-ya masing-masing. Hal tersebut menjadi tidak efisien, apabila diperlukan data mahasiswa dari Fakultas lain maka pencari data harus mencarinya hingga ke Fakul-tas tesebut. Namun, adanya sistem IMISSU ini dapat mempermudah mencari data dan menjadikan sumber informasi menjadi satu yaitu pada sistem IMISSU.

IMISSU mengakomodir berbagai fasilitas demi mempermudah mahasiswa dalam melakukan proses administrasi. Diantaranya Beasiswa, Books Catalogue, ELSE U, KKN UNUD, Kuisioner, MCA, SIM Labora-torium, SIMAK Mahasiswa, siSAKTI, SINTA SEKSI, SIMUDAPAPI, Blog Mahasiswa serta UKTku.

Namun dibalik pembaharuan dalam sistem ad-ministrasi ini, timbul keluhan dari mahasiswa. Maha-siswa diwajibkan mengunggah news serta mengisi kuisioner terkait dengan pembelajaran dan pelayanan di Udayana. Pengisian kuisioner dan blog mahasiswa inilah yang dirasa memberatkan karena mahasiswa diwajibkan untuk mengisi konten kuisioner dan blog sebagai syarat untuk melakukan KRS. Untuk kuisioner yang perlu diisi adalah 40 poin pertanyaan setiap mata kuliah, layanan, dan visi misi UNUD sedangkan untuk blog wajib mengupload tiga tulisan baik bersifat ilmiah maupun non ilmiah.

Keluhan ini timbul karena bukan hanya website IMISSU yang tak jarang sulit untuk diakses, dan juga mahasiswa mengeluhkan banyaknya poin kuisioner yang perlu diisi. Namun menurut Piarsa hal tersebut untuk peningkatan mutu pelayanan serta untuk men-gasah kreatifitas mahasiswa UNUD. “Kuisioner mer-upakan bagian dari penilaian mutu untuk mengukur akreditasi dan blog untuk mewadahi kreativitas ma-hasiswa dan belajar menulis maka diperlukan perang-kat,” ujar Nyoman Piarsa. “Di awal memang terasa berat, lama-lama juga terbiasa” imbuhnya.

Rupanya pembaruan sistem SIMAK ini ditujukan agar banyak mahasiswa mengakses website UNUD. Hal itu dapat membantu UNUD dalam webometrics (penilaian terhadap kemajuan seluruh universitas atau perguruan tinggi terbaik di dunia melalui Website uni-versitas). “Cara penilaian webometrics yaitu dari segi konten dan banyaknya orang yang meng-akses,” tu-turnya. UNUD berada di peringkat 23 pada tahun 2015 dan berada di peringkat 9 pada tahun 2016 dari seluruh Universitas di Indonesia. Untuk meningkatkan peringkat tersebut maka, pihak USDI gencar mener-bitkan kegiatan-kegiatan baru serta menghimbau ma-hasiswa untuk turut aktif dalam mengakses website unud. (*) (Dece, Duta)

Sistem SIMAK Rumit,

USDI UNUD: “Lama-lama Juga Terbiasa”

LAPORAN KHUSUS

Dok pribadi KA. I Nyoman Piarsa selak sekretaris USDI yang ditemui oleh reporter KA pada (4/1) Kemarin.

(7)

DENPASAR-| Demi mewujudkan Keinginan Pe-merintah Pusat maupun Daerah meciptakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), Pemerintah Daerah membangun kerjasama dengan seluruh kampus-kampus yang ada di Bali untuk bersama-sama mewujudkan KTR. Selain melakukan kerjasama dengan kampus-kampus, Pe-merintah Daerah belakangan ini rajin melakukan sidak untuk mengecek apakah kampus yang tergolong KTR, sudah dapat diwujudkan atau masih adakah penggu-naan rokok di kampus-kampus.

Fakultas Hukum Universitas Udayana beberapa waktu yang lalu mengadakan kerjasama dengan Satu-an Polisi Pamong Praja (Sapol PP), hasilnya beberapa mahasisiwa terpergok sedang merokok di area kam-pus, dan diberikan sanksi berupa surat pernyataan tidak merokok. Namun ada yang aneh dalam sidak tersebut, pada saat sidak dilakukan mahasiswa yang kedapatan merokok langsung diberi pembinaan dari kampus berupa surat pernyataan untuk tidak mer-okok lagi di area kampus, sedangkan banyak mahasis-wa yang menggunakan vaporizer atau sering disebut Vape yang notabene hampir sama dengan rokok tidak diberi surat pernyataan untuk tidak ngevape di kam-pus atau area KTR lainnya. Hal ini tentunya menim-bulkan pertanyaan apakah KTR merupakan kawasan tanpa rokok konvensional saja, atau termasuk Vape?

Mengenai hal ini kami menanyakan langsung ke Dekan Fakultas Hukum I Made Arya Utama men-gungkapkan bahwa berdasarkan rapat gabungan yang dilakukan dengan Satpol PP, vape tidak dimasukkan da-lam kualifikasi rokok, selain itu dada-lam Perda No 10 Ta-hun 2011 tentang KTR dalam pengertian rokok, tidak dijelaskan mengenai vape maka hal ini menimbulakn

keraguan dalam penegakan, Hal tersebut belum bisa diaktifkan secara menyeluruh, “Dalam konteks peneg-akan hukum, mestinya ada kepastian hukum. Perbaiki dulu normanya, jika disana masih abu-abu harusnya ada Peraturan Gubernur yang mengkualifikasikan rokok elektrik atau vape itu ke dalam rokok. Setelah itu baru dapat di sosialisasikan mengenai hukumnya,” imbunya.

Berbeda dengan pendapat dekan fakultas hukum Universitas Udayana, ketua Bali Tobacco Control

Initi-ative (BTCI), Made Kerta Duana berpendapat bahwa

“Vape itu merupakan salah satu jenis rokok sesuai dengan pengertian rokok dalam Perda No 10 Tahun 2011 tentang KTR, karena dalam pengertian terse-but dijelaskan bahwa rokok ada dalam bentuk lain. vape ini merupakan dalam bentuk lain dan terkand-ung nikotin sintetis didalamnya. Jadi ketika kampus termasuk KTR maka kawasan tersebut juga otomatis termasuk kawasan tanpa vape,” ujarnya saat ditemui di ruang BTCI.

Ketidakjelasan pengaturan mengenai apakah vape juga termasuk rokok, menyebabkan penegaka-kan mengenai penggunaan vape dalam Kawasan Tanpa Rokok mengalami kesulitan dan ketidakpastian. Terle-pas dari pengaturan yang kurang jelas mengenai vape, banyak mahasiswa mulai mengeluhkan bahwa peng-gunaan vape dikampus cukup menganggu, “Sekarang banyak sekali yang menggunakan vape, didalam ge-dung kampus, uap vape tersebut sangat banyak, maka sangat menganggu bagi saya,” ujar salah satu mahasis-wa yang tidak ingin disebutkan namanya.(*) (Anantha, Irma Anggi, Dinar)

ROKOK DISIDAK, VAPE?

BERITA KAMPUS

(8)

DENPASAR | Dua Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) dari lingkungan Universitas Udayana yaitu, LPM Kertha Aksara dari Fakultas Hukum dan LPM Kanaka dari Fakultas Ilmu Budaya melakukan kolab-orasi dalam mengadakan Pelatihan Jurnalistik Tingkat Dasar (PJTD) untuk anggotanya. Pelatihan tersebut berlangsung secara paralel sejak Oktober hingga De-sember 2016. Tujuan diadakannya pelatihan tersebut adalah untuk mengenalkan dunia Jurnalistik dengan harapan dapat memperdalam pengetahuan para an-ggota. Dengan tema “Menilik Jurnalistik Asyik” dua LPM kampus barat ini memulai PJTD tersebut.

Putu Yoko Sunarma Yasa, (20) selaku Ketua Pan-itia PJTD tahun ini mengatakan, kolaborasi dua LPM ini untuk menjalin hubungan yang lebih erat antara dua Lembaga Pers ini. “Kampus kami sebelahan. Sa-ma-sama punya pers mahasiswa. Kalau PJTD bareng kan lebih asyik,” terangnya. Selain itu pelatihan ini juga sebagai pertanda kebangkitan dari

masing-mas-ing LPM terutama LPM Kanaka yang lama vakum di kampusnya. “Ini pelatihan pertama, karena tidak ada anggota yang mendaftar dan juga perekrutan,” terang Dewadharu(19) selaku Pimpinan Umum Kanaka.

Selama sejumlah enam kali pelatihan ada banyak materi yang dipaparkan, diantaranya ada sejarah Pers Mahasiswa, dasar-dasar jurnalistik, penggalian data, teknik wawancara, teknik penulisan, fotografi jurnalis-tik dan manajemen organisasi. Dengan pemateri dari berbagai kalangan jurnalistik. Antara lain dari aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia, Wartawan, Owner Majalah Independent dan Fotografer.

Namun tentunya ada beberapa hal yang perlu diperbaiki dari petatihan tersebut. Seperti yang dike-luhkan oleh salah seorang anggota PJTD Yuli (19), “Untuk semuanya sudah baik, namun manajemen waktu dari panitia perlu di perbaiki” pungkasnya.(*) (Tim Reporter)

Kolaborasi Kertha Aksara dan Kanaka

PJTD BARENG DUA KAMPUS BARAT

BERITA KAMPUS

Dok istimewa KA, peserta dan panita PJTD KA dan Kanaka berfoto bareng seusai melakukan PJTD terakhir di depan kampus FH

dok istimewa KA. Nampak sesi pemberian materi yang dilakukan oleh Kak Sud seorang wartawan dan pemberian materi dari Yoko selaku Ketua Panitia dan Dhar-ma selaku Wakil Ketua Panitia.

(9)

DENPASAR – Jajaran Dekanat Fakultas Hukum Universitas Udayana (FH UNUD) mulai melakukan kinerja untuk tujuan perbaikan pada kampus. Salah satunya adalah wacana yang ditafsirkan oleh kalan-gan mahasasiwa sebagai perampinkalan-gan orkalan-ganisasi yang santer terdengar.

Namun, ketika diwawancarai I Made Arya Utama selaku Dekan terpilih FH UNUD periode 2016-2020 menyanggah istilah perampingan itu. Ia mengatakan bahwa, “Bahasanya jangan perampingan, tapi menggunakan istilah sinkronisasi antar unit ke-giatan di bawah organisasi kemahasiswaan dalam satu wadah organisasi kemahasiswaan yaitu Badan Ekse-kutif Mahasiswa (BEM) dan Dewan Perwakilan Maha-siswa (DPM),” ujarnya.

Hal ini menurutnya disebabkan karena istilah perampingan akan mengakibatkan adanya suatu pen-gurangan fungsi sedangkan pada proses sinkronisasi tidak megalami pengurangan fungsi lembaga itu sendi-ri. Hal tersebut juga disampaikan pada saat memberi-kan sambutan pada acara Musyawarah Anggota VII Udayana Moot Court Community yang lalu.

Hal tersebut dikatakan untuk membangun

KIS, yaitu Koordinasi, Integrasi, dan Sinkronisasi, “Karena bapak ingin unit tertinggi di organisasi ke-mahasiswaan adalah BEM dan DPM. BEM dan DPM harus mengetahui seluruh kegiatan yang menyerta-kan mahasiswa,” imbuhnya. “Kita ingin membangun pemetaan dalam satu tahun ini, apa saja kegiatan yang akan dilakukan oleh unit kemahasiswaan Fakultas Hukum dalam satu tahun, sehingga jangan sampai ada benturan,” tambahnya.

Pengsinkronisasian tersebut bertujuan agar Lembaga Pers Mahasiswa dan Badan Semi Otonom (BSO) berada di bawah payung BEM dan DPM. Ten-tunya hal tersebut menuai pro dan kontra di kalangan mahasiswa, karena sejatinya Pers Mahasiswa bersifat independen dan tidak berada dibawah intervensi sub-stansi dari pihak manapun. Hal senada juga diungkap-kan oleh Ketua BEM FH UNUD Aryantha Wira saat diwawancarai oleh TIM KA, “Untuk Lembaga Pers Mahasiswa Kertha Aksara harus bersifat independ-en dalam lembaga apapun, dan tidak mindepend-endapatkan intervensi substansi dari pihak manapun,” ujarnya.(*) (Dece, Caca)

Dekan Kukuh Satukan Organisasi

Kemahasiswaan Dalam Satu Payung

BERITA KAMPUS

dok pribadi KA. Dekan FH UNUD I Made Arya Utama saat dijumpai oleh Reporter KA pada (13/1).

(10)

Kampung Bugis yang terletak di Pulau Serangan Bali terk-enal karena keharmonisan antar masyarakatnya. Perbedaan suku, ras, dan agama tidak menjadi penghalang keharmonisan hubungan antara masyarakat kampung Bugis yang mayoritas merupakan umat Muslim dan umat Hindu yang sudah hidup turun-temurun dari zaman kerajaan di Bali. Kampung Bugis memiliki hubungan yang sangat erat dengan Puri Pemecutan.

Pada masa peperangan zaman kerajaan di Bali, Raja Badung meminta bantuan kepada orang Bugis untuk ikut berperang karena orang Bugis dipercaya memiliki pertahanan yang tidak diragukan lagi. Setelah perang antara Badung melawan Mengwi berakhir dengan kemenangan oleh kerajaan Badung akhirnya orang Bugis diberikan hadiah sebuah wilayah untuk tempat tempat tinggal, yaitu di Celagi Gendong.

Masyarakat Bugis yang mayoritas adalah pelaut kemudian meminta pada Raja Pemecutan untuk diberikan tempat di-aerah pesisir. Raja kemudian memberikan wilayah di pulau Serangan tapi dengan syarat masyarakat Bugis harus hidup harmonis dengan masyarakat Bali yang tinggal di Serangan.

Setelah berhasil membuat tempat tinggal, orang Bugis in-gin mempunyai tempat untuk mereka melakukan ibadah dan permohonannya disetujui oleh Raja Pemecutan. Pembuatan rumah ibadah masyarakat Bugis dibantu oleh raja beserta anak buahnya. Rumah ibadah tersebut diberi nama Masjid As-Syuhada.

Masjid inilah yang menjadi saksi bisu sejarah pluralisme an-tara masyarakat muslim kampung Bugis dengan umat Hin-du Pemecutan dan Serangan. KehiHin-dupan di Pulau Serangan antara umat muslim dengan umat Hindu berjalan harmonis karena toleransi antar umat bergamanya. Seperti yang dika-takan oleh Muhadi (47) selaku kepala lingkungan Kampung Bugis, “Memang disini sangat akur, sampai tidak pernah ada konflik sedikitpun,” ujarnya saat diwawancarai oleh Tim Ker-tha Aksara (13/1).

Menurut penuturan Muhadi, keharmonisan masyarakat di Pulau Serangan diikat dengan 4 pilar S, yaitu Serangan, Sakenan, Susunan Wadon, dan Syuhada. Serangan adalah nama dari Pulau yang dihuni oleh mereka, Sakenan adalah pura yang terletak di Desa Serangan, Susunan Wadon ada-lah Pura Kahyangan yang berdekatan dengan Pura Sakenan, dan Syuhada adalah masjid yang teletak di kampung Bugis Desa Serangan. 4S inilah yang mejadi ujung tombak pemer-satu perbedaan yang ada di Pulau Serangan. Mulai dari kebu-dayaan, tradisi, agama, dan lain-lain. Persatuan mereka sangat kuat mekipun memiliki perbedaan.

Di antara perbedaan tersebut antara Kampung Bugis den-gan masyarakat asli Seranden-gan memiliki persamaan tradisi, yai-tu magelicik. Kampung Bugis dengan magelicik Al-Quran se-dangkan Hindu Serangan dengan mintar / maminter. Megelicik Al-Quran merupakan tradisi di mana ratusan orang Kam-pung Bugis berjalan mengitari kamKam-pung membawa Al-Quran tua peninggalan leluhur warga Bugis di sini. Tradisi ini meru-pakan warisan turun temurun yang dilakukan setiap sembilan hari setelah 1 Muharram dan digunakan sebagai penolak bala bagi masyarakat kampung Bugis.

Tradisi bermula kala suatu ketika penduduk di Kampung Bugis terjangkit penyakit lever. “Hampir merata warga yang terkena penyakit itu,” tuturnya. Sama seperti tradisi Mege-licik Al-Quran, tradisi maminter juga merupakan tradisi dima-na seluruh masyarakat dari banjar-banjar yang ada mengelil-ingi Pulau Serangan.

Kedua tradisi ini pernah ingin disatukan oleh Bendesa Serangan. Namun masyarakat Kampung Bugis belum bisa melaksanakan karena alasan waktu tradisi yang tidak sama. Selain itu masyarakat kampung Bugis beralasan bahwa mere-ka sudah tua dan tidak sanggup untuk berjalan mengelilingi pulau ini, akhirnya usulan tersebut diterima Bendesa.

Selain tradisi tersebut ada juga kebiasaan yang unik antara masyarakat Kampung Bugis dengan umat Hindu di Pulau Serangan. Pada saat hari raya Galungan umat Hindu biasa memberikan hantaran yang biasanya berupa makanan kepa-da kampung Bugis yang diberikan sebagai tankepa-da terima kasih, sering disebut dengan istilah ngejot. Begitupun sebaliknya pada saat Idul Fitri masyarakat kampung Bugis ngejot kepada umat Hindu.

Keharmonisan diantara perbedaan tersebut selain menjadi sebuah keunikan dan juga menjadi penanda bahwa Bhineka Tunggal Ika masih ada di dalam kehidupan masyarakat Pu-lau Serangan. Telihat dari sejarahnya kampung Bugis sangat menghormati umat Hindu begitu pula umat Hindu yang menghargai masyarakat Kampung Bugis.

Permasalahan maupun permusuhan tidak pernah timbul antara masyarakat Kampung Bugis dan umat Hindu di Seran-gan. Masyarakat di Desa Serangan mereka saling menerima kekurangan dan kelebihan karena kentalnya rasa kekeluar-gaan. Mereka tidak mempermasalahkan perbedaan tersebut mereka menganggap semuanya adalah keluarga, seperti

man-yama braya (bersaudara).

“Sebaiknya bangsa ini meniru apa yang sudah terjadi di Pu-lau Serangan. Mereka sudah turun-temurun menjaga plural-isme dari nenek moyang mereka. Jangan sampai timbul konflik antara umat beragama, marilah hidup berdampingan karena sudah diikat dengan Pancasila. Janganlah mengatasnamakan kepentingan agama diatas kepentingan negara. Bangsa ini memiliki banyak keberagaman. Keberagaman

antara suku, ras, ag-ama, dan budaya ini yang menjadi ciri khas bangsa ini. Marilah kita semua menjaga ke-beragaman terse-but,” pungkas Muhadi menutup pembicaraan. (*)

(Arist-ya, Anantha, Duta)

Pluralisme Kehidupan masyarakat Kampung Bugis :

“Perbedaan Diikat dengan 4s”

SUDUT PANDANG

(11)

Semangat perjuangan bangsa Indonesia untuk melawan penjajahan tidak bisa dilepaskan dari peran pers. Lahirnya pers di Indonesia muncul dari semangat untuk menyadarkan masyarakat yang sedang terjajah untuk menentang segala bentuk penindasan. Adalah R.M Tirtho Adi Soerjo “Sang Pemula”, sang pelopor dunia jurnalistik dan pers di Indonesia yang menerbit-kan Medan Priaji pada tahun 1901 (Sang Pemula, 1985) dengan berita-berita tentang kesewenang-wenangan penjajah terhadap pribumi serta tulisan-tulisan ten-tang peraturan hukum agar masyarakat tidak mudah dibodohi oleh kolonial. Pers ketika itu lahir untuk mencoba menerangkan, mengajarkan, mengajak dan menjajakan pikiran-pikiran kepada rakyat Indonesia untuk memperjuangkan hak-haknya, hingga beberapa tahun kemudian muncul pers mahasiswa yang mem-bawa serta seruan perjuangan untuk kemerdekaan.

Tidak ada yang tahu dengan pasti kapan pers ma-hasiswa mulai muncul, namun jika dilihat dari beber-apa sumber, pers mahasiswa lahir tahun 1920’an oleh organisasi Perhimpoenan Indonesia (PI) yang sedari awal menyerukan persatuan dengan dasar nasional-isme untuk mengusir cengkraman

ko-lonialisme di Indonesia. Tuntutannya kerap dimuat dalam terbitannya yaitu majalah Hindia Poetra, yang kemudi-an berubah nama menjadi Indonesia Merdeka, yang juga termasuk salah satu media yang pertama kali menyeru agar semua wilayah bekas jajahan Hin-dia Belanda dengan mendirikan nasion yang merdeka dibawah nama Indone-sia. (bumirakyat.wordpress.com).

Na-mun tidak dapat dikatakan bahwa PI adalah organ-isasi pers mahasiswa karena minimnya informasi dan dokumentasi, serta tidak disebutkan secara eksplisit bahwa PI adalah organisasi yang menaungi para pegiat pers mahasiswa.

IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia) adalah organisasi pers mahasiswa pertama di Indonesia, yang dibentuk tahun 1958 dan diakui sebagai organisasi pers mahasiswa tingkat nasional satu-satunya oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Namun pasca peristiwa Malari 1974, geliat pers mahasiswa mulai meredup karena represifitas pemerintah orde baru dan ditambah lagi dengan pemberlakuan NKK/ BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koor-dinasi Kemahasiswaan) pada tahun 1978. Kondisi ini menimbulkan keresahan sebagian “golongan muda”

IPMI, sehingga muncul ide untuk membentuk organ-isasi baru yang dapat menaungi para aktivis pers ma-hasiswa sebagai wadah berkumpul, bertukar pikiran, berdiskusi dan menyatukan langkah bersama untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Melalui beberapa diskusi, sarasehan, pekan ori-entasi jurnalistik, temu aktivis pers mahasiswa dan berbagai kegiatan lain yang dilakukan antara tahun 1987 hingga tahun 1991 di berbagai kota di Indone-sia, disepakatilah wadah baru bagi pegiat pers maha-siswa dengan nama PPMI (Perhimpunan Penerbitan Mahasiswa Indonesia). Kesepakatan ini kemudian ditindaklajuti dengan Lokakarya Penerbitan Maha-siswa se-Indonesia (LPMI) yang dilaksanakan di Uni-versitas Brawijaya, Malang pada 15-18 Oktober 1992 dan menghasilkan beberapa keputusan, diantaranya : Menyepakati terbentuknya wadah tingkat nasional yang bernama “Perhimpunan Penerbitan Mahasiswa Indonesia” (PPMI) pada tanggal 15 Oktober 1992 pukul 16:29 WIB, penetapan AD/ART dan program kerja PPMI, serta kurikulum pendidikan dan latihan (diklat) jurnalistik mahasiswa. Disepakati juga untuk melakukan pertemuan lanjutan PPMI

(Kongres PPMI I).

Namun tidak berhenti sampai disitu, masalah legalitas dan peng-gunaan kata “penerbitan” mulai dipermasalahkan. Pemerintah orde baru masih menekankan aturan bah-wa setiap organisasi harus berada

dibawah naungan lembaga pemerin-tahan. PPMI juga diwajibkan mengan-tongi SIUPP (Surat Ijin untuk Usaha Penerbitan Pers) dan STT (Surat Tanda Terdaftar) dari Menteri Penerangan. Maka dengan independensi se-bagai kemuliaan terakhir bagi pers mahasiswa, disepa-katilah untuk merubah kata “Penerbitan” menjadi “Pers”, yang ditetapkan pada Kongres PPMI II, 14-17 Desember 1995 di Gedung Pusat Kegiatan Mahasis-wa Universitas Jember sehingga sejak saat itu, Per-himpunan Penerbitan Mahasiswa Indonesia berubah nama menjadi Perhimpunan Pers Mahasiswa Indone-sia (PPMI). Hal tersebut mempertegas sikap dan po-sisi PPMI sebagai organisasi yang independen dan ot-onom yang berorientasi pada kebebasan masyarakat untuk berpendapat dan memperoleh informasi. (*)

Penulis : Kadek Suardana (Sekjend PPMI Dewan Kota Bali)

PPmi berorientasi Pada kebebasan berPendaPat

SUDUT PANDANG

dok pribadi PPMI. Lambang Perhim-punan Pers Mahasiswa Indonesia.

(12)

“Aku bingung bro, disana ada dua ruangan yang satu ruangan bilangnya “menghafalkan” sumpah mahasis-wa dan yang lagi satu ruangan ruangan “pengucapan” sumpah mahasiswa, ruangan mana yang pertama yang akan aku masuki?,” ujar salah satu mahasiswa ketika bercerita tentang bagaimana ia mendaftar Student Day 2016.

Kita tidak akan membicarakan yang mana duluan penghafalan atau pengucapan, yang penulis ingin bahas adalah sumpah mahasiswa. Ya, sumpah mahasiswa ada-lah sumpah yang wajib hukumnya untuk dihafalkan na-mun dalam prakteknya tidak diimplementasikan untuk seorang mahasiswa baru. Mengapa penulis bisa berkata demikian, kebanyakan termasuk penulis sendiri tidak paham akan maksud dari panitia pelaksana Student Day yang menyuruh mahasiswa yang mendaftar Stu-dent Day untuk mengucapkan dengan lantang dan den-gan semangat yang tinggi sumpah mahasiswa tersebut. Pengucapan sumpah mahasiswa diiringi diangkatnya kepalan tangan kiri ke atas dengan penuh penghayatan dan hati yang ikhlas. Kita harus bisa mengcapkan sump-ah msump-ahasiswa dengan sempurna, tanpa tsump-ahu makna se-jarah dan mengapa kita harus mengucapkannya dengan lantang dan tegas di hadapan kakak-kakak yang berba-hagia tersebut. Bak mencari Pikachu di ladang sabana dan seperti ingin mencapai keadilan tapi tidak meng-etahui definisi keadilan, seperti itulah penulis saat itu.

Sumpah mahasiswa, sumpah yang populer tahun 1998 yang diucapkan oleh hampir seluruh mahasiswa yang ingin menurunkan Soeharto sebagai penguasa saat itu dan ingin meruntuhkan rezim orde baru yang berkuasa selama 32 tahun. Bergema sebagai penyemangat dan pengingat bahwa bawasannya sumpah mahasiswa ada-lah suplemen yang membuat mahasiswa membulatkan tekad dan terus berjuang untuk rakyat.

Secara umum sejarah pergerakan mahasiswa dan kepemudaan terbagi dalam beberapa periode tahun 1908 dimana para pemuda burjois berkumpul dan membuat sebuah organisasi yang bernama Boedi Oetomo, dimana organisasi ini merupakan penggagas perjuangan nasional bangsa Indonesia, dilanjutkan pada tahun 1928 dimana sekumpulan pemuda mengikrarkan diri untuk bangsa Indonesia dan melahirkan Sumpah Pemuda. Setelah itu pada tahun 1945 saat Sukarni dan kawan-kawan pemudanya menculik Soekarno dan Hat-ta dari kediaman mereka dan membawa (yang kemu-dian menjadi) tokoh prolamator ini menuju

Rengas-dengklok, tuntutan Sukarni dan kawan-kawan pemuda saat itu adalah menuntut dua tokoh yang berjasa bagi bangsa ini agar segera memerdekakan bangsa indone-sia.

Pada tahun 1966 mahasiswa pada masa itu geram dan menuntut Soekarno agar turun dari kursi kepres-idenannya dikarenakan ide Demokrasi Terpimpin yang dicetuskan Bung karno dinilai menciptakan pemerin-tahan yang otoriter. Setelah Soekarno runtuh dan di-gantikan oleh Soeharto, mahasiswa mulai merasa bah-wa Soeharto tak jauh berbeda dengan Soekarno yang mencetuskan konsep Demokrasi Terpimpin. Soeharto di nilai otoriter dan melakukan tindakan Korupsi, Kolu-si, Nepotisme (KKN) ditambah hubungan mahasiswa dan militer yang tak harmonis lagi. Melalui pemilihan umum pertama tahun 1971 mahasiswa melancarkan aksi demonstrasi secara besar-besaran menyuarakan agar Soeharto turun dari jabatannya. Puncaknya pada tahun 1974 pada tanggal 15 Januari yang dikenal den-gan Mala Petaka 15 Januari (Malari) mahasiswa mer-usak fasilitas umum dan kantor pemerintahan.

Pada Tahun 1998 merupakan masa keemasan Ma-hasiswa, dengan sekian lama berjuang dan menghadapi segala rintangan yang mulai dari penculikan, pembunu-han dan banyak lagi. Mahasiswa berhasil memaksa Soe-harto turun dari jabatannya. Mahasiswa berpesta pora, meluapkan kegembiraannya dijalanan sambil mengu-capkan Sumpah mahasiswa.

“Kami mahasiswa Indonesia bersumpah Bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan”

“Kami mahasiswa Indonesia bersumpah Berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan”

“Kami mahasiswa Indonesia bersumpah berbahasa satu, bahasa kebenaran, bahasa tanpa kebohongan”

Hidup Mahasiswa, Hidup Mahasiswa, Hidup Mahasis-wa!!!

Mari kita bahas bunyi sumpah mahasiwa ini : - Tentang sumpah pertama :

Tanah air tanpa penindasan. Secara kontekstual se-jarah, pergerakan mahasiswa dirundung represifitas aparatur negara. Pasca reformasi, kebebasan diperluas dalam mengemukakan pendapat dan berekspresi. Lalu bagaimana senior akan menerapkan pemahaman atas makna tanah air tanpa penindasan? Sudah sensitifkah para mahasiswa atas isu-isu kemanusiaan, HAM dan marginalisasi dengan kekerasan?

Memahami Sumpah Mahasiswa Agar Tak Tersesat

Sumpah atau Sampah Mahasiswa?

(13)

- Tentang sumpah kedua :

Bangsa yang gandrung akan keadilan. Mahasiswa hu-kum yang berpegang pada tiga pilar kepastian huhu-kum, keadilan dan kemaslahatan masyarakat luas sejatinya se-cara “etis dan moral” lebih dekat dengan prinsip peneg-akan asas kebangsaan yang gandrung peneg-akan keadilan. Tapi konteks keadilan yang manakah yang dimaksud? Keadilan adalah prinsip universal yang menyangkut subjektivitas individu. Bagaimana meletakkan “sense” individu dalam frame kolektivitas atau keberagaman isu? Apakah kead-ilan yang dimaksud adalah keadkead-ilan sosial sebagaimana termuat dalam sila ke-5 Pancasila? Atau keadilan dalam fragmentasi penegakan hukum? Lalu bagaimana mem-persamakan standar keadilan setiap orang agar menca-pai tujuan yang kolektif?

Ingat-ingatlah kata Pramoedya, seorang yang terdidik harus sudah adil sejak dalam pikirannya.

- Tentang sumpah ketiga :

Berbahasa tanpa kebohongan. Bahwa tidak mengata-kan sesuatu yang seharusnya diketahui orang lain pun termasuk sebagai “tanpa kebohongan,” namun meng-ingkari prinsip “bahasa kebenaran”. Sebab kebenaran membutuhkan pengakuan atas realitas, fakta dan gejala empiris yang ada. Mahasiswa atau pemuda kadang bera-da bera-dalam kondisi dilematis ketika memilah bera-dan memilih antara inconvenience truth atau beautiful lie.

- Tentang pelafalan “Hidup Mahasiswa, Hidup Mahasiswa, Hidup Mahasiswa”

Sejarah pergerakan mengajarkan bahwa pergerakan aksi massa tidak bisa tidak harus melibatkan berbagai macam komponen dalam masyarakat. Pergerakan maha-siswa atau kepemudaan yang tidak melibatkan kompo-nen lain hanya berujung pada eksklusivisme perjuangan. Itu mengapa banyak gugatan dari kaum akademis atas seremonial peringatan hari kebangkitan nasional yang didasarkan atas tanggal kelahiran Boedi Oetomo.

Ya, BO adalah organisasi kepemudaan/mahasiswa yang bergerak dalam kerangka ma-sa-masa pergolakan melawan kolonialisme belanda, tapi isu yang dibawa bukanlah nasional-isme atau pergerakan berskala nasional. Isu yang dipilih adalah sektoral berkaitan dengan pen-didikan, dan begitu pula dengan komponen di dalam BO sendi-ri – yang oleh sebagian sejar-awan, dianggap terlalu priayi atau cenderung eksklusif.

Mengutip Sukarno, “samen-bundeling van alle revolution-aire krachten” bahwa dalam menjalankan suatu revolusi diperlukan pelibatan

unsur-un-sur revolusioner. Apakah gerakan mahasiswa belaka cukup? Saya rasa tidak. Tengok saja gerakan Bali Tolak Reklamasi, apakah hanya dimotori dan dijalankan oleh mahasiswa atau komponen kepemudaan? Tentu tidak. Banyak elemen lain dalam masyarakat yang turut ser-ta, mulai dari seniman, masyarakat adat, hingga kelom-pok-kelompok yang selama ini disibukkan oleh agenda/ urusan domestik, ya, ibu-ibu rumah tangga. Meskipun mungkin tidak secara langsung turun ke jalan, setidakn-ya tanpa ada sosok ibu, pihak setidakn-yang selama ini “ditindas” oleh budaya patriarkis di mayoritas daerah di Bali, gera-kan Bali Tolak Reklamasi tidak agera-kan berjalan.

Lalu, apakah hanya dengan mengucapkan “Hidup Ma-hasiswa” saja berarti komponen lain dianaktirikan atau disingkirkan begitu saja? Tentu bisa didalilkan sebaliknya, namun, perhatian terhadap hal-hal kecil merefleksikan sensitifitas kita atas hal-hal yang lebih besar.

Tengok kondisi pergerakan dalam balutan aksi dan ger-akan nyata mahasiswa di kota-kota besar lain di Indo-nesia, tentu selain di Denpasar ini. Di Surabaya, Sema-rang, Yogyakarta, Bandung dan Jakarta, iklim pergerakan mahasiswa jauh lebih hangat dan dinamis dibandingkan dengan iklim di Denpasar. Kegiatan turun aksi ke jalan adalah hal lumrah. Pekik sorak mahasiswa pun tidak ter-batas pada “Hidup Mahasiswa” belaka, namun dilengkapi dengan “Hidup Buruh!”, “Hidup Rakyat Miskin Kota!”, ”Hidup Perempuan!”, ”Hidup Petani!”, dan lain sebagain-ya. Mereka menyadari, tanpa buruh, tanpa masyarakat miskin kota, dan kaum marjinal lainnya, mahasiswa bukanlah apa-apa.

Mahasiswa hidup dalam kungkungan penjara akademis, sebagaimana George Bernard Shaw menyamakan kondisi antara sekolah dengan penjara. Tanpa menyadari kondisi sosial di masyarakat, tanpa melihat gejala empiris di luar sana, mahasiswa justru akan menjadi komponen kontra revolusi, pihak yang menghambat jalannya pembebasan kaum terpinggirkan. Lafebvre dengan baik merekonstruksi wacana atas “ruang” sebagai sesuatu yang diru-muskan oleh agregasi kepentingan dan interaksi antar komponen yang ada di dalamnya. Ingatlah, bahwa ruang yang selama ini dimiliki oleh mahasiswa tidak akan memberi dampak apa-apa pada sedikitpun cita bangsa, jika tidak dibarengi dengan perumusan atas ruang dan implementasi atasnya.

Ingat-ingatlah, bahaya laten pergerakan kaum intelektual ada-lah eksklusifisme yang menubuh. (*) (I Putu Yoko Sunarma Yasa & I Made Bhasudewa Krisna N.P,)

OPINI

(14)

Kebebasan mengeluarkan pendapat secara lisan mau-pun tertulis menjadi hak setiap warga negara. Dimana ke-bebasan ini merupakan Hak Asasi Manusia yang dijamin dalam pasal 28 Undang–Undang Dasar 1945 dan UU No. 9 Tahun 1998. Diera ini, kebebasan mengeluarkan pendap-at tidak hanya dappendap-at dilakukan dengan aksi demonstrasi namun dengan adanya berbagai media sosial setiap orang dapat berpendapat secara luas. Namun berkembangnya media sosial penyalur pendapat secara global tersebut tidak dapat disikapi atau digunakan dengan baik oleh para penggunanya (netizen). Masih ingat kasus penghinaan Pres-iden Joko Widodo yang dilakukan oleh Muhammad Arsyad seorang tukang sate yang diproses secara hukum. Muham-mad Arsyad melalui akun media sosialnya mengunggah foto seronok antara Jokowi dan Megawati yang telah diedit sebelumnya. Pada tanggal 23 Oktober 2014, Muhammad Arsyad ditanggkap karena dianggap melanggar Pasal 29 UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi serta pasal 310 dan 311 KUHP tentang pencemaran nama baik dan diancam dengan pidana penjara selama 12 tahun.

Penghinaan yang dilakukan Muhammad Arsyad mel-alui media sosial ini merupakan salah satu cotoh dari mengemukakan pendapat secara tidak bertanggung jawab. Dari penelusuran kasus ini di media sosial terdapat be-berapa kelompok yang menolak penahanan Muhammad Arsyad atas nama hak kebebasan berpendapat. Kelompok orang ini menggangap kasus ini terlalu dilebih–lebihkan dan apabila sampai diproses, kasus Arsyad pada akhirnya akan menunjukan pembatasan hak berpendapat itu sendiri.

Sayangnya, kelompok pendukung dibatalkannya proses hukum Arsyad ini tidak memahami dengan betul makna dari kebebasan berpendapat. Penulis mengutip, Pasal 1 ayat (1) UU No. 9 Tahun 1998, bahwa menyampaikan pen-dapat adalah hak warga negara untuk menyampaikan pik-iran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesusai dengan perundang–undangan yang berlaku. Artinya dalam menyampaikan pendapat, tidak dapat dilakukan sebebas-bebasnya dengan sekehendak hati tanpa memperhtikan hak asasi orang lain dimana pendapat tersebut juga harus bisa di pertanggungjawabkan.

Hak berpendapat yang dimiliki itu dibatasi oleh hak ke-merdekaan yang dimiliki oleh orang lain. Pembatasan ini diatur dalam pasal 28 J ayat (2) yang menyebutkan “Da-lam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib untuk tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang–undang dengan maksud untuk menjamin penga-kuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan dalam suatu masyarakat demokratis.

Alasan penangkapan Muhammad Arsyad ini merupakan pelanggaran kebebasan berpendapat dan dapat menimbul-kan stigmen bahwa hak berpendapat amenimbul-kan mulai dibatasi

oleh pemerintah merupakan pen-dapat yang salah. Hal ini tidak rel-evan dengan fak-tanya, karena di dalam UUD 1945 membatasi kebe-basan berpendapat ini tidak melanggar hak asasi orang lain dan kebebasan

da-lam berpendapat harus dilakukan dengan tanggung jawab. Sangat disayangkan proses hukum Muhammad Ar-syad ini akhirnya tidak berujung pada penjatuhan pidana padanya. Secara implisit, pembebasannya dalam kasus ini memenangkan kelompok yang menganggap kebebasan berpendapat dapat dilakukan sebebasnya. Hal itu yang menyebabkan pada media sosial banyak tersebar berita hoax yang tidak bertanggung jawab. Belum lagi komentar berisi pelecehan, kata kasar dan berisi kebencian. Konflik agama, ras, suku mudah dipercikan melalui komentar neti-zen di media sosial yang berisi unsur pelecehan. Pemerin-tah dirasa takut dalam penegakan kebebesan berpendapat secara bertanggung jawab diakibatkan desakan masyarakat sendiri apabila hal ini ditegakan maka akan terjadi pem-batasan berpendapat yang berujung pada perampasan hak kebebasan pendapat tersebut.

Situasi ini bagai buah simalakama, apabila pemerintah menegaskan pembatasan dalam berpendapat ini akan ber-dampak pada penolakan rakyat dan pemerintah dianggap akan merampas hak mengeluarkan pendapat. Namun apa-bila terus saja hal ini berlanjut, proses hukum terhadap orang yang tidak bertanggungjawab ini tidak dilaksanakan dengan semestinya jadilah seperti sekarang, dimana seorang mengeluarkan pendapat sebebas-bebasnya tanpa peduli berita itu berita bohong, mengandung kebencian, dan atau dapat menimbulkan konflik suku, agama dan ras (SARA) yang kedepannya dapat menimbulkan perpecahan. Penu-lis berpendapat pemerintah dapat memfilter orang yang tidak bertanggung jawab ini dibarengi dengan edukasi ke-pada masyarakat luas bahwa suatu kebebasan berpendapat itu tidak bisa dilakukan sebebas–bebasnya karena ada hak kebebasan orang lain yang membatasinya. Kekhawatiran akan dirampasnya kebebasan mengeluarkan pendapat ini dapat ditindaklanjuti dengan pengawasan pemerintah da-lam menjalankan kebijakannya. Untuk itu sudah semestinya antara pemerintah dan masyarakat berhubungan baik dan bekerja sama dalam menunjang kebebasan berpendapat yang tentunya dilakukan dengan bertanggung jawab agar tidak terjadi konflik yang memecah persatuan.(*) (Winda Pramesti Dewi)

Kebebasan Mengeluarkan

PEnDAPAT

tanpa

TAnggung JAwAB

OPINI

(15)

Kebhinekaan merupakan suatu ciri khas tersendiri bagi Indonesia, terdiri dari 6 agama berbeda, dan 1.340 suku bangsa yang tersebar dari Sabang sampai Merauke telah menggambarkan jelas bagaimana kebhinekaan atau beranekaragamnya negara ini. Sebagai negara yang memi-liki keberagaman, toleransi merupakan harga mati untuk Indonesia. Menurut Presiden Joko Widodo, sebagai bangsa yang majemuk Indonesia harus memperkuat diri dengan semangat toleransi dan persatuan di tengah kebinekaan. Toleransi adalah modal bangsa yang kokoh untuk mengh-adapi berbagai tantangan bangsa yang akan dihmengh-adapi kede-pannya.

Namun toleransi yang seharusnya menjadi modal bangsa untuk menghadapi berbagai tantangan, akhir-akh-ir ini sedang dalam fase-fase krisis. Sikap tidak mau hidup bersama dalam sebuah komunitas yang beragam telah mel-ahirkan ekspresi intoleransi dalam bentuk kebencian, per-musuhan, diskriminasi dan tindakan kekerasan terhadap “yang berbeda”. Sikap intoleransi yang terjadi di Indone-sia saat ini yakni adanya penyebaran isu ataupun informasi tentang ajaran agama orang lain, penyebaran sikap keben-cian, pembatasan hak asasi manusia dan lainnya.

Krisis Toleransi di Indonesia makin tergambar dari beberapa pemberitaan di media mengenai ada beberapa oknum Pengawal Ahlus Sunnah (PAS) yang membubarkan acara Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) di Bandung, umat muslim yang menolak mengucapkan selamat Natal, masyarakat Bali yang mulai ingin menjadi Bali berdaulat, dan kasus-kasus lainnya menggambarkan bagaimana Indo-nesia saat ini mengalami krisis toleransi kebhinekaan. An-caman intoleransi dan krisis kepribadian yang melanda saat ini disebabkan karena beberapa alasan. Lemahnya penega-kan hukum, keegoisan dari masing-masing agama dan suku, serta diperparah dengan penggunaan media sosial yang tidak bijak dari masyarakat.

Menurut Wahid Institute (WI), lemahnya penegakan hukum adalah salah satu sebab tindakan aksi intoleren se-makin berkembang. WI berpandangan, pemerintah pusat mempunyai keinginan untuk menyelesaikan namun niat itu tidak diimplementasikan secara nyata. Dalam kasus-kasus intoleransi kebinekaan dalam penegakan hukum, aparatur negara kita cenderung melemah. Kasus sweeping yang dilakukan oleh Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS) yang berujung kekerasan di Restoran Social Kitchen, Solo menjadi bukti bahwa kepolisian masih kurang sigap dalam mencegah aksi-aksi yang mengarah kepada perbuatan-per-buatan intoleransi kebinekaan. Seharusnya negara tidak boleh kalah melawan intoleransi, tapi harus hadir meneg-akkan hukum, kemanan, dan ketertiban melalui perangkat negara sesuai peraturan perundang-undangan.

Saling hujat, merasa agama atau sukanya paling baik, merupakan bukti bahwa keegoisan dari masing-masing kelompok di Indonesia saat ini sangat besar. Paling lucu lagi, setiap daerah meminta pahlawan dari daerahnya

mas-ing-masing dimasukkan ke dalam uang baru keluaran Bank Indonesia. Bayangkan bagaimana egoisnya masyarakat Indonesia sekarang, apakah mungkin pahlawan yang begitu banyak jumlahnya, semua masuk ke dalam uang Indonesia tentu itu sangat tidak mungkin. Pola pikir yang egois dari masyarakat sekarang inilah yang menyebabkan Indonesia sedang dilanda krisis toleransi ke-binekaan. Masyarakat kita sudah mulai lupa bahwa nega-ra ini bukan milik suatu golongan, suku atau agama saja.

Founding Father kita Soekarno pernah mengatakan bahwa

“Negara Republik Indonesia ini bukan hanya milik satu golongan, satu agama, satu suku saja tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke”.

Kemudahan penyebaran informasi melalui media sosial ibaratkan dua sisi mata uang, disatu sisi membawa dampak postif disisi lain membawa dampak negatif. Negat-ifnya pengguna media sosial yang makin hari makin men-ingkat membuat kontrol terhadap para pengguna media sosial sulit dilakukan. Banyaknya pengguna media sosial membawa dampak terhadap kebenaran dari setiap infor-masi yang beredar di media sosial. Kurangnya kemampuan masyarakat Iindonesia dalam memilah berita menyebabkan banyaknya beredar berita-berita palsu, Hate Speech, dan aksi provakasi di media sosial. Instagram, Twitter, Facebook semua dipenuhi dengan provakasi. Di Twitter contohnya kicauan Dwi Estiningsih yang heboh karena menyebutkan 5 dari 11 pahlawan terpilih adalah kafir. Hal-hal provokasi seperti inilah yang banyak terdapat di media sosial. Inilah yang menyebabkan terpancingnya emosi dari agama atau suku tertentu yang nantinya dapat menyebabkan perpeca-han di Negara ini. Penggunaan media sosial yang tidak bijak, semakin mempertegas bagaimana Indonesia sekarang se-dang dalam krisis toleransi kebhinekaan.

Semboyan Bhineka Tunggal Ika yang berarti berbe-da-beda tapi tetap satu yang seharusnya menjadi alat pe-mersatu masyarakat Indonesia yang majemuk, perlahan mulai pudar. Masyarakat sekarang tidak lagi memandang bahwa perbedaan itu sebagai sebuah keberagaman yang mempersatukan, menerima perbedaan sebagai sebuah kekuataan bukan sebagai ancaman atau gangguan. Namun Masyarakat sekarang memandang perbedaan sebagai suatu hal yang mengganggu, suatu hal yang harus dimusnahkan, hingga di Indonesia ini tidak ada perbedaan lagi.(*) (Anan-tha Pramagi(Anan-tha)

Krisis Toleransi Kebhinekaan

OPINI

(16)

Di Era Tahun 70an-80an ketika mendengar MAHA-SISWA, maka banyak sekali kata-kata Romantisme yang ditujukan kepada Mahasiswa, seperti “ Agent of

Change, Agent of Control, Agent of Modernitation”.

Na-mun hal tersebut hanyalah nama romantis ketika era itu. Di era Globalisasi sekarang ini Mahasiswa di In-donesia mengalami “Degradasi Mental” yang sangat kritis, hal ini dapat dilihat dengan minimnya partisipa-si mahapartisipa-siswa dalam memperjuangkan hak-hak mas-yarakat tertindas/ masmas-yarakat miskin dan tidak peka dengan permasalahan sosial, ekonomi dan budaya yang ada di sekitarnya. Bahkan kecenderungan sikap yang ditunjukkan oleh mahasiswa adalah bersikap Skeptis, Apatis, dan Opportunis. Parahnya lagi ketika pergerakan-pergerakan Mahasiswa di Era Globalisa-si sekarang ini lebih banyak disusupi oleh kepentin-gan-kepentingan Oknum tertentu untuk memuluskan atau melancarkan rencana tertentu dengan mengim-ing-imingi Mahasiswa dengan janji-janji manis bahkan Uang. Hal ini jelas mencederai spirit Idealisme Intel-ektual Mahasiswa sebagai Agen perubahan dan Agen kontrol dalam masyarakat.

Ada banyak permasalahan yang sering dihada-pi oleh mahasiswa dewasa ini sehingga mereka men-galami “Degradasi Mental”, antara lain :

- Masalah Nilai dan Akademik : ini merupakan salah satu masalah yang dihadapi oleh mahasiswa di bangku perkuliahan, mau bagaimana lagi mereka sudah memi-lih di jalan ini. Bagi mahasiswa, tentunya tidak lagi asing dengan seabrek tugas kuliah yang numpuk. Belum lagi menjelang ujian tengah semester (UTS) ataupun ujian akhir semester (UAS). Beeeh, nilai yang tidak memuas-kan tentunya bikin mahasiswa cukup stres dengan masalah ini. Nah, paling berat lagi kalau mahasiswa harus mengulang mata kuliah tersebut. Solusinya adalah, Mahasiswa harus kembali memantapkan

“Tri-as Tradition of Student” (tiga tradisi mah“Tri-asiswa) yaitu,

Membaca, Menulis, dan Berdiskusi. Ketiga tradisi dasar ini merupakan Dewa Penolong bagi Mahasiswa yang mengalami masalah dengan Nilai dan akademiknya.

- Masalah Uang : Ini merupakan masalah klasik bagi mahasiswa yang sedang duduk di bangku kuliah, apa-bila mereka tidak mampu untuk memanage keuan-gan yang diberikan oleh orang tua mereka, tak pelak jika mental mereka akan menjadi rusak dengan mau mengambil pekerjaan yang bukan tugas utama mere-ka, seperti misalnya melakukan pergerakan yang di-dasari atas iming-iming uang. Hal ini sebenarnya ha-rus disikapi oleh mahasiswa itu sendiri dengan cara mengatur pengeluaran mereka setiap harinya (seperti

biaya kost, biaya makan, biaya transportasi, dll) bah-kan mencatatnya di sebuah buku khusus agar mereka tahu seberapa besar pengeluaran yang sudah mereka keluarkan.

- Masalah Dosen : Pastinya mahasiswa menjumpai berbagai jenis dan karakter dosen di bangku kuliah. Mulai dari yang baik banget dan murah nilai, dosen yang ngajarnya enak banget, yang galak dan judes bah-kan sampai yang killer banget. Menghadapi hal ini, ma-hasiswa tentunya harus mengetahui bagaimana cara bersikap. Sebab, jika tidak mahasiswa bisa saja meng-hadapi masalah yang justru berpengaruh dengan nilai akademisnya.

- Masalah Teman : Hubungan pertemanan di kampus memang tidak selalu berjalan mulus. Ada kalanya hal kecil sekalipun bisa membuat masalah muncul dalam sebuah persahabatan. Kita akan memiliki sahabat jika dia selalu ada untuk kita saat sedih maupun senang. Saling mendukung dan menyemangati. Pertemanan yang baik juga bukan karena materi atau ingin saling memanfaatkan. Namun, pertemanan yang baik ada saat kita saling memahami perbedaan dan rasa ingin saling menuju perbaikan bersama-sama. Jangan sampai konflik dengan teman membuat kita salah mengambil jalan sebagai mahasiswa. Sebagai mahasiswa kita juga harus belajar semakin dewasa untuk saling mengerti dan menghargai pendapat serta pemikiran orang lain.

Selain beberapa permasalahan di atas, Mahasiswa wa-jib untuk menyeimbangkan kemampuan Hard skill dan

Soft Skill mereka dengan mengembangkan kecerdasan

tidak hanya dalam koridor akademis, tetapi juga po-tensi pribadinya dengan mengikuti kegiatan-kegiatan kemahasiswaan yang ada di kampus masing-masing agar mereka tidak terjerumus ke dalam jurang degra-dasi mental. Mahasiswa dapat digolongkan menjadi 2 (dua) Jenis, yaitu Ordinary Student dan Extra Ordinary

Student. Ordinary Student atau mahasiswa yang sering

disebut mahasiswa “Kupu-Kupu” (kuliah Pulang) ada-lah Mahasiswa yang hanya mementingkan kepentin-gan akademis saja tanpa berpartisipasi dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan. Sedangkan Extra Ordinary

Student adalah Mahasiswa yang mampu

menyeimbang-kan antara kepentingan akademis dengan keikutser-taannya dalam kegiatan-kegiatan organisasi kemaha-siswaan. Tak heran jika kebanyakan mahasiswa jenis

Extra Ordinary Student ini akan menjadi orang Sukses

dalam karirnya, karena mereka sudah terbiasa untuk membagi waktu.

PENTINGNYA SKP DALAM MENGHADAPI

“ DEGRADASI MENTAL” MAHASISWA DI ERA

GLOBALISASI

(17)

Revolusi Mental harus dilakukan oleh Mahasis-wa, sebagaimana yang telah diwacanakan oleh Pe-merintah Republik Indonesia. Terkait mengenai jenis mahasiswa Ordinary Student, SKP merupakan salah satu solusi yang tepat untuk menumbuhkan kem-bali semangat Idealisme dan Intelektualisme dalam pengembangan diri mereka. SKP merupakan singka-tan dari Satuan Kredit Partisipasi. Jika SKS didapatkan melalui keikutsertaan mahasiswa dalam perkuliahan, maka SKP didapatkan melalui keikutsertaan maha-siswa dalam kegiatan-kegiatan kemahamaha-siswaan yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa, maupun organisasi-organisasi lain yang ada di kam-pus. Standar minimal jumlah SKP yang harus dimiliki mahasiswa harus ditentukan secara tegas dan jelas, agar adanya Balancing antara lama waktu mahasiswa menyelesaikan kuliah dengan jumlah kegiatan kema-hasiswaan, hal ini mencegah terhambatnya maha-siswa untuk lulus ketika harus mengejar point SKP. SKP ini juga dapat dijadikan salah satu syarat bagi mahasiswa yang akan mengikuti Sidang Skripsi.

Terdengar rumit, ya? Singkatnya seperti ini, agar seorang mahasiswa bisa memperoleh gelar Sarja-na, ia harus mengikuti Ujian/ Sidang Skripsi (untuk mahasiswa Fakultas Hukum). Sementara untuk bisa mengikuti Ujian / Sidang Skripsi tersebut, salah satu syaratnya adalah memiliki Satuan Kredit Partisipa-si yang telah ditentukan jumlahnya. Bagaimana cara mengumpulkan SKP? Salah satunya, SKP dapat di-kumpulkan melalui pelatihan-pelatihan dan kegiatan ilmiah seperti Pelatihan PKM, Seminar Hukum ber-skala Regional, Nasional, dan Internasional, Sosialisa-si ilmiah serta mengikuti kegiatan-kegiatan organisaSosialisa-si kemahasiswaan seperti menjadi panitia dalam suatu kegiatan kemahasiswaan, mengikuti perlombaan il-miah (PKM, Peradilan Semu, Debat) dan non ilil-miah (seperti POMNAS, DIES, Bidang Olah Raga dan Seni) serta kegiatan-kegiatan lainnya.

Wah, sulit juga ya menjadi seorang Sarjana Hukum. Apa sih sebenarnya tujuan diberlakukan sistem sep-erti ini? Dengan adanya SKP, diharapkan akan lahir

Tunas Yuris Muda yang melakukan “long-life learning and Action” sehingga kompetensi Seorang Mahasis-wa yang akan menjadi Sarjana Hukum semakin ting-gi, tidak hanya dalam hard skill tetapi juga dalam soft skill nya , dan pastinya “Degradasi Mental” yang di-alami oleh mahasiswa tidak akan terjadi. Optimalisasi pemberian Social Justice kepada masyarakat juga bisa terwujud.

dok istimewa. A.A Ngurah Oka Yudistira Darmadi SH.,MH Staf Pengajar FH UNUD

(18)

D

isetujui atau tidak, fakta menunjukan minuman keras (miras) dijual bebas kala berlangsungn-ya bazzar di bale banjar. Bagaimana sebaiknberlangsungn-ya hal ini disikapi? Sebelum membahas lebih jauh, kiranya perlu dikenal lebih dulu tentang miras dan bale banjar.

Miras adalah minuman yang memabukan seper-ti anggur, bir, arak, tuak. Ada juga yang menyebutkan bahwa miras adalah minuman yang mengandung al-kohol. Secara yuridis, tidak dikenal istilah miras. Yang dikenal adalah minuman beralkohol (mikol). Ber-dasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 20/M-DAG/PER/4/2014, sejatinya mikol dapat dikelompokan ke dalam tiga golon-gan, yaitu: Mikol Golongan A, Golongan B, dan Mikol Golongan C.

Mikol Golongan A dengan kadar etil alkohol atau etanol sebesar 5% (lima persen), meliputi antara lain bir, low alcohol wine, anggur brem bali. Mikol Golongan B dengan kadar etil alkohol atau etanol lebih dari 5% (lima

persen) sampai dengan 20% (dua puluh persen), meliputi antara lain champagne, koktail anggur, sake dan tuak. Mikol Golongan C dengan kadar etil alkohol atau etanol lebih dari 20% (dua puluh persen) sampai

dengan 50% (lima puluh persen), meliputi antara lain brandy, whiskies, vodka, sopi.

Keberadaan mikol di Bali selalu memunculkan wa-cana pro dan kontra. Pihak pro berpendapat bahwa mikol banyak manfaatnya, selain berperan sebagai pe-lengkap upacara keagamaan. Mikol juga berfungsi se-bagai sarana pengobatan. Bahkan ada masyarakat yang justru menggantungkan hidupnya dari produksi mikol. Di lain pihak, ada yang berpendapat bahwa mikol se-bagai sumber utama penyebab terjadinya tindak krim-inal. Meskipun demikian penjualan mikol tetap bebas. Mikol masih ditemui saat berlangsungnya bazzar di bale banjar. Seolah-olah mikol dapat dikonsumsi oleh siapapun, tidak peduli umur, status sosial ataupun mo-tivasinya.

Banjar atau banjar pakraman adalah kelompok masyarakat yang merupakan bagian dari desa pakra-man di Bali. Ada 2 fungsi penting banjar, yakni fungsi sosial dan religius. Kata sosial merujuk pada kegiatan

pesukadukaan, yakni aktifitas tolong-menolong antar sesama krama (warga) dalam keadaan suka, seperti melaksanakan upacara keagamaan (perkawinan, dll) dan duka (ngaben/kematian). Mendekati hari besar keagamaan (Galungan/Kuningan), bale banjar diguna-kan sebagai tempat berkumpul rutin menyelenggara-kan kegiatan penggalian dana berupa bazzar. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan oleh sekaa teruna (anggota pemuda intern banjar) dengan tujuan menghimpun

dana guna menunjang aktivitas generasi muda. Sebagai informasi tambahan, pada awalnya pelaksanaan

ba-zzar di banjar hanya dikenal di desa pakraman yang berada di wilayah Kota Denpasar. Namun sejalan dengan perkembangan zaman, bazzar juga dilaksanakan di desa pakraman di luar Kota Denpasar.

Penyelenggaraan bazzar di bale banjar sejatinya ber-tujuan positif, namun tidak tertutup kemungkinan dalam pelaksanaannya justru beru-jung pada keributan. Hal ini tidak dapat dipungkiri, meng-ingat bazzar yang diseleng-garakan di bale banjar identik dengan mikol. Meski-pun saat ini pemerintah telah mengeluarkan regulasi yang membatasi penjualan mikol (hanya dapat dijual oleh badan hukum yang telah mengantongi izin, sep-erti hotel, restaurant, supermarket dan hypermarket), namum mikol juga dijual bebas pada waktu pelaksa-naan bazaar di banjar. Bahkan belakangan ini muncul berbagai inisiatif dari beberapa banjar untuk mensi-asati agar dalam bazzar yang diselenggarakan tetap tersedia mikol. Kenyataan di atas didukung opini yang menyatakan bahwa mikol adalah sumber keuntungan terbesar dalam penyelengaraan bazzar. Keuntungan tersebut kemudian dipergunakan untuk menunjang aktivitas generasi muda (sekaa teruna) banjar. Meski-pun demikian, dengan segala hormat ada baiknya hal ini patut dipertimbangkan kembali. Apakah terpuji jika aktivitas generasi muda disokong dari hasil penjualan mikol? Ini yang patut direnungkan.

Mikol di Bale Banjar

dok istimewa. I Gede Pasek Pramana, S.H.,M.H. Staf pengajar FH UNUD

Referensi

Dokumen terkait

Kuliah di IPB University merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga bagi saya karena IPB merupakan tempat yang sangat tepat untuk belajar.. Hal itu saya rasakan dari

Oleh karena itu, saya mengajak para dosen, peneliti, mahasiswa, dan alumni IPB University untuk terus-menerus dan serius mengembangkan riset, publikasi ilmiah, dan inovasi

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah (1) Mendapatkan network diagram dari pekerjaan proyek pembangunan rumah hunian, sehingga dapat diketahui durasi penyelesaian

Hasil penelitian menunjukan bahwa variabel Lingkungan kerja (X) secara tidak langsung berpengaruh secara signifikan terhadap variabel Kinerja Karyawan (Y) melalui

Uji kandungan aflatoksin B 1 pada produk olahan jagung dan Kacang tanah dari dari Kabupaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) menunjukkan

Keyboard ini merupakan piranti masukan data yang dapat mengubah huruf, angka ataupun kode lain menjadi isyarat listrik yang dapat diproses komputer..

Pada kontrol PID ini terdapat masukan berupa nilai suhu serta parameter Kp, Ki, dan Kd yang telah didapat sebagai keluaran sistem yang nantinya akan dimasukkan ke aktuator

Dengan teknik wawancara ini, penulis dapat menggali data selengkap-lengkapnya terhadap bagaimanakah pelaksanaan Undang-undang nomer 23 tahun 2011 tentang pengelolaan