• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN. cepat tumbuh termasuk mangium (Soedarsono, 2001).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN. cepat tumbuh termasuk mangium (Soedarsono, 2001)."

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1. Latar Belakang

Berdasarkan Keputusan Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan No. 151/Kpts/V/1991, jenis kayu mangium (Acacia mangium Willd.) termasuk 18 jenis tanaman yang ditetapkan sebagai tanaman pokok Hutan Tanaman Industri (HTI). Jenis mangium umum diketahui sebagai salah satu jenis andalan HTI disamping jati, pinus, mahoni, agathis, gmelina, eucalyptus, sengon, sungkai, sonokeling, jabon, dan bakau. Mangium dikenal memiliki keunggulan karena cepat tumbuh, mampu memiliki diameter batang yang besar, kualitas kayu cukup baik, mampu bertoleransi pada berbagai jenis tanah, pH dan lahan yang tidak subur, berfungsi mengendalikan erosi tanah dan mengatasi rumput alang-alang.

Meski demikian, kontribusi HTI untuk pasokan industri pengolahan kayu secara aktual baru tercatat sekitar 1,5 persen dari total pasokan legal. Diketahui pula bahwa bila program reboisasi berhasil, maka pada tahun 2000 telah terdapat sekitar 26 juta hektar hutan tanaman yang terdiri atas 6 juta ha HTI, 7 juta ha reboisasi Daerah Aliran Sungai (DAS) dan 13 juta ha penghijauan DAS (Anonim, 2001) meski pada kenyataannya total realisasi HTI sampai Pelita VI baru sebesar 2,7 juta ha. Hutan rakyat pada April 2001 menunjukkan luas 1,3 juta ha dengan potensi 43 juta m3

Data tahun 2003 menyebutkan bahwa hutan Indonesia yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber produksi kayu yang berkelanjutan mencapai 1,3 juta ha HTI yang merupakan ± 30% target Departemen Kehutanan sebesar 5,8 juta ha, dan ± 1 juta ha hutan rakyat. Dengan produktivitas sebesar 20-26 juta m

dan terdiri atas lima jenis kayu cepat tumbuh termasuk mangium (Soedarsono, 2001).

3

/ha/tahun dari HTI dan 8,6 juta m3/ha/tahun dari hutan rakyat, dapat dihasilkan hampir 100 juta m3 kayu dari hutan buatan yang siap dipakai untuk berbagai keperluan setiap tahunnya. Jenis kayu yang dominan berasal dari ketiga macam hutan (yaitu hutan alam, HTI dan hutan rakyat), dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

(2)

Tabel 1. Profil Produksi dan Jenis Kayu pada Tiga Tipe Hutan Indonesia

Profil Hutan Alam

Produksi

Hutan Tanaman Industri

Hutan Rakyat

Luas (juta ha) 71,7 5,8 1,0

Produksi per tahun (m3/ha) 1,0 20-26 -

Produksi tahunan berkelanjutan (juta m3) - 90 8,6

Jenis kayu Ulin

Merbau Meranti Kamper Keruing Damar Laut Bangkirai Kempas Sungkai Borneo, dsb Acacia mangium Gmelina arborea Agathis Pinus Jati Mahoni Karet, dsb Nangka Durian Mangga Kelapa Suren Sengon, dsb

Sumber: Surjokusumo et al. (2003).

Berdasarkan data sampai dengan Desember 2009, luas areal HTI seluruh Indonesia berdasarkan SK yang dikeluarkan adalah 9 juta ha bagi 206 pemegang IUPHHK-HT, sementara realisasi tanaman baru 4,3 juta ha oleh 140 perusahaan aktif. Sementara itu gambaran kinerja dapat dijelaskan bahwa tingkat produksi kayu bulat HIT tahun 2008 adalah 24,5 juta m3 dan selama lima tahun terakhir rata-rata produksi kayu bulat HTI sebesar 15,77 juta m3

Mangium merupakan salah satu jenis kayu HTI yang sangat menjanjikan. Dengan kemampuannya yang cukup baik dalam menahan beban (TS 12 – TS 27), kayu mangium layak diperhitungkan sebagai bahan struktural. Terlebih lagi pertumbuhannya sangat cepat dibandingkan kayu HTI lainnya, yaitu mencapai 40-45 m

. Nilai investasi HTI tahun 2008 sebesar Rp 12,05 trilyun, dan investasi tersebut merupakan pertumbuhan sektor riil kehutanan yang penting karena pembangunan hutan tanaman merupakan alternatif percepatan untuk: (1) perbaikan mutu lingkungan (pro-enviroment), (2) pemenuhan pasokan bahan baku industri (pro-growth), (3) peningkatan kesejahteraan masyarakat (pro-poor) dan (4) penyerapan tenaga kerja (pro-job). Laju pertumbuhan HTI akan semakin besar, bahkan akan menjadi tulang punggung pertumbuhan sektor kehutanan masa depan meninggalkan peran hutan alam, karena permintaan kayu yang terus naik seiring pertumbuhan ekonomi (Purwita, 2011).

3

/ha/tahun, hanya sedikit di bawah sengon, padahal kualitas mangium jauh lebih baik dibanding sengon, sebagaimana tampak pada Gambar 1. Ditambah hasil dari hutan produksi alam dan kebun rakyat di pemukiman dapat dibayangkan betapa melimpahnya kayu yang dihasilkan di Indonesia sepanjang tahun (Surjokusumo et al., 2003).

(3)

Gambar 1. Peringkat Pertumbuhan Volume Jenis Kayu dari Hutan Alam Dibandingkan dengan Jenis Kayu dari Hutan Tanaman (Surjokusumo et al., 2003)

Terdapat kesan umum bahwa kayu yang diperoleh dari hasil budidaya HTI memiliki sifat dan kondisi yang tidak sebaik kayu dari hutan alam, yakni lebih kecil dalam ukuran, kenampakan visual yang lebih jelek, lebih lemah kekuatannya sehingga kualitasnya lebih rendah. Namun demikian, sifat dasar dan karakter jenis mangium tidak menunjukkan nilai yang mengecewakan bila dibanding dengan jenis kayu dengan budidaya sejenis, bahkan dalam sifat pengerjaannya mampu sebaik kayu alam. Dibandingkan beberapa jenis lainnya, sifat dasar dan karakter pengerjaan jenis mangium terurai dalam Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Perbandingan Sifat Dasar dan Karakter Pengerjaan Beberapa Jenis Kayu

Sifat Dasar Jenis Kayu

Mangium Gmelina Sengon Karet Nyatoh Meranti Kerapatan (gr/cm3 0,42- 0,56 ) 0,15 - 0,42 0,22 - 0,38 0,55 - 0,65 0,45 - 0,1 0,52 - 0,6 K.Lentur Statis: MOR (Kgf/cm2 MOE (Kgf/cm ) 2) 984 -1.035 117.740 578 - 629 93.380 456 - 527 70.035 588 - 669 93.380 761 - 832 123.830 639 - 761 103.530 Penyusutan: Radial (%) Tangensial (%) 3,4 6,5 3,0 6,3 3,0 5,5 3,0 7,0 3,0 7,0 2,7 7,5

Pengeringan Lambat Sedang Mudah Lambat Mudah Mudah

Sifat Pengerjaan: Penggergajian Moulding Pengupasan Pembelahan Pengamplasan Perakitan Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Berbulu Mudah patah Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Sumber: Djojosoebroto (2003).

Di Indonesia terdapat 142 jenis bambu, di samping 30 jenis bambu introduksi dari luar negeri. Dari jumlah tersebut hanya belasan jenis yang sudah dibudidayakan, meski

0 10 20 30 40 50 60 P er tum bu han, m 3/h a /th H ut an P roduk s i T er bat a s H ut an P roduk s i J a ti P inus s p P inus C ar ibaea , 12t h E uc al ipt u s degl upt a 6 -10 t h A c ac ia m an gi um 9 -10 t h A lbi z z ia c hi nen s is 8 -12 t h

(4)

masih subsistem karena selama ini perdagangan bambu masih mengandalkan tumbuhan bambu liar di pekarangan, kebun rakyat ataupun penjarahan hutan (Rahardi, 2004).

Kondisi material kayu di Indonesia yang relatif masih mudah didapatkan dan kebiasaan penyediaan dan penggunaan kayu selama ini yang hanya mengandalkan jenis, menyebabkan kaidah konstruksi untuk menggunakan bahan sehemat mungkin dengan tetap menjaga keamanannya masih tampak diabaikan. Penggunaan kayu dilakukan secara berlebihan dan tidak rasional. Akibatnya kelestarian produksi hutan terancam sehingga ketersediaan kayu pun menipis. Untuk mengurangi ancaman terhadap hutan, ilmu konstruksi kayu sangat perlu untuk terus dikembangkan.

Dengan adanya perubahan secara kondisional baik yang menyangkut kapasitas industri maupun adanya desakan kebutuhan kayu untuk berbagai penggunaan, tidak tertutup kemungkinan terjadi perluasan tujuan penggunaan kayu mangium. Pemanfaatan kayu mangium hingga saat ini telah mengalami spektrum yang lebih luas, baik untuk bubur kertas, kayu pertukangan maupun kayu energi (bahan bakar dan arang). Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menunjang perluasan pemanfaatan kayu mangium dalam bentuk kayu utuh, venir, partikel dan serat untuk tujuan pembuatan moulding dan bahan baku meubel. Meski demikian, informasi jenis kayu mangium dalam hal keteknikan untuk tujuan konstruksi kayu masih belum banyak karena penelitian dalam bidang ini jarang dilakukan.

Dalam penggunaan kayu sebagai bahan konstruksi, jenis kayu cepat tumbuh belum dimanfaatkan secara maksimal karena kurangnya informasi teknologi dan kurangnya pengetahuan tentang rekayasa yang memungkinkannya. Disamping itu, animo masyarakat akan kayu cepat tumbuh termasuk jenis mangium ini untuk penggunaan konstruksi masih rendah, karena relatif mudahnya memperoleh kayu dari hutan alam baik secara legal maupun tidak. Perolehan kayu dari hutan alam yang tidak terkendali ini telah menyebabkan kerusakan hutan (deforestation) sampai seluas 1,6 juta ha/tahun selama 10 tahun terakhir, atau bahkan mencapai 3,6 juta ha/tahun senilai Rp 30 triliun per tahun sejak tahun 2000, dan menyebabkan 43 juta ha kawasan hutan telah rusak (Pelangi, 2002; Kompasa, 2004). Laju deforestasi Indonesia sejak 2005 hingga kini masih seluas 1,17 juta ha/tahun, dan meski pemerintah mencanangkan program deforestasi terencana, namun resiko semakin menipisnya kayu dari hutan alam merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari (REDD-Indonesia 2010).

(5)

Disamping itu, penyerapan karbon pada jenis mangium mencapai 133.39 ton C per hektar. Dalam dunia carbon trading, harga per ton C sebesar 10 dollar AS sehingga rehabilitasi HTI mangium bisa menghasilkan dana 1,333.9 dollar AS per hektar, 100 dollar AS lebih tinggi dibanding kemampuan kebun karet yang mampu menyerap karbon 123.9 ton C per hektar (Kompasb

Padahal, hutan merupakan rumah besar bagi berbagai populasi hewan dan tumbuhan yang berinteraksi secara holistik dalam sistem ekologi. Dengan demikian sudah selayaknya kalau kayu jenis cepat tumbuh (fast growing species) yang berasal baik dari HTI maupun hutan rakyat harus dipertimbangkan sebagai substitusi perolehan kayu hutan alam sebagai bahan kayu konstruksi, yang tentunya sebelumnya telah diberikan perlakuan rekayasa teknologi untuk meningkatkan kualitasnya. Pengembangan hutan tanaman industri dengan jenis mangium (Acacia mangium Willd) sebagai jenis unggulan, merupakan salah satu jawaban guna menjamin ketersediaan kayu tersebut. Untuk mencapai tujuan di atas, penelitian mengenai rekayasa dan keteknikan kayu jenis mangium sebagai bahan konstruksi sangat diperlukan agar diketahui metoda dan data yang terbaik sehingga memberikan jaminan kepercayaan kepada masyarakat yang memerlukannya.

, 7 Nopember 2003).

Produk kayu rekayasa struktural merupakan hasil rekayasa sifat struktural yang dimiliki oleh kayu dan diperoleh melalui berbagai metoda selain pemilahan visual sederhana. Sebagai contoh, produk kayu rekayasa laminasi dibuat dengan merekatkan bersama-sama bahan serpih kayu, venir, kayu berukuran kecil, atau bahan berserat kayu lainnya hingga menjadi unit bahan komposit yang integral dan berukuran lebih besar serta memiliki karakteristik penampilan struktural (APA-EWA, 2002).

Upaya memperbesar dimensi kayu yang bermanfaat bagi tujuan struktural inilah yang menjadi dasar pemikiran dilakukannya penelitian ini, sehingga diperoleh pengetahuan baru tentang sifat yang dimilikinya guna memenuhi kepentingan kayu struktural. Percobaan dilakukan terhadap model sambungan kayu dengan pasak berpenahan geser (bearing slip connector, shear connector) sehingga keberhasilan penelitian ini akan memberi peluang baik pada sambungan kayu maupun pada kayu lamina mekanis.

Salah satu bentuk konstruksi yang cukup penting bagi bangunan adalah konstruksi atap yang cukup banyak menggunakan komponen kayu. Bentangan kuda-kuda yang dipergunakan terkadang lebih panjang daripada ukuran yang tersedia di pasaran, sehingga

(6)

diperlukan sambungan. Pada konstruksi atap, kayu menerima gaya aksial (yaitu gaya yang bekerja searah serat sepanjang batang), sehingga penggunaan kayu dengan sambungan yang memperhitungkan gaya aksial mutlak diperlukan untuk konstruksi atap.

Sambungan dengan baut adalah jenis sambungan yang paling sering digunakan karena faktor kemudahan dalam pengerjaan. Namun demikian, jenis sambungan tersebut kurang efisien karena bila terjadi gaya geser maka akan ditahan oleh baut dan kayu dengan hanya seluas penampang baut. Disamping itu, kuat tekan kayunya adalah seluas lubang baut, yaitu diameter lubang baut dikalikan tebal kayu. Hal tersebut akan berbeda kalau digunakan sambungan pasak geser, dimana yang akan menahan gaya aksial adalah pasak dan kayu, yaitu untuk geser pasak adalah luas penampang pasak dikalikan panjang pasak, sedang untuk kuat tekan kayu adalah sebesar setengah luas penampang lubang pasak dikalikan dengan panjang lubang pasak.

Gambar 2. Profil Sambungan Tampang Dua dan Mekanisme Kerja Pasak Penahan Geser.

Gambar 2 menunjukkan bentuk sambungan tampang dua (double shear three member connections) yang memiliki sepasang pasak penahan geser dan diapit dua pengencang (pelekap). Antar komponen sambungan terdapat celah tipis sehingga tidak terjadi geser antar komponen, demikian pula pengencang dimasukkan pada lubang

(7)

pengencang yang diameternya lebih besar, sehingga terjadi pengabaian pengaruh pengencang pada kekuatan sambungan. Sebaliknya pembuatan lubang pasak penahan geser jangan sampai membuat pasak geser longgar, sehingga kinerja yang berhasil pada saat pembebanan akan terjadi mekanisme cengkeraman komponen ke pasak penahan geser seperti pada Gambar 2 tersebut.

Gambar 3. Rolling Shear dan Kerusakan pada Komponen Glulam Struktural (Fellmoser dan Blaß, 2004)

Apabila pasak penahan geser merupakan bahan kayu yang tersusun atas serat-serat, maka pada saat pembebanan akan terjadi gaya tekan dan geser yang karena serat relatif berbentuk silinder maka akan mengakibatkan gaya geser-gelinding (rolling shear) antar serat yang mengakibatkan pasak terbelah pada bidang yang mengandung titik pusat gaya. Gambar 3 menunjukkan proses tersebut.

Sambungan merupakan titik lemah dalam suatu konstruksi bangunan. Oleh karena itu ditempat-tempat hubungan atau sambungan inilah yang meminta perhatian besar (Wirjomartono, 1977). Cara penyambungan kayu harus diperhatikan sedemikian rupa, sehingga dalam batas batas tertentu, gaya tarik atau gaya tekan yang timbul dapat diterima dan disalurkan.

Tidak seperti halnya pada konstruksi baja, dimana sambungan dapat melekat rapat, pada sambungan kayu sering timbul sesaran yang besar sesuai dengan besarnya sambungan itu. Lazimnya sambungan itu mempunyai faktor keamanan sebesar 2 – 4 berdasarkan beban patahnya. Disamping itu sesaran diperbolehkan maksimal 1,5 mm, karena sesaran yang besar akan menimbulkan tegangan sekunder yang besar (Wirjomartono, 1977).

Dengan adanya teknologi sambungan ini menyebabkan orang memungkinkan membangun konstruksi bangunan yang besar dari kayu dengan alat sambung kayu moderen. Sambungan kayu menurut Wirjomartono (1977) dapat dibagi menjadi tiga

(8)

golongan besar yaitu sambungan desak, sambungan tarik dan sambungan momen. Sedangkan mengenai alat sambung dapat digolongkan menjadi empat golongan yaitu golongan paku, baut, sekrup; golongan pasak kayu, golongan alat-alat sambung modern (kokot Bulldog, Geka, Alligator, Bufa dan cincin belah) serta golongan perekat. Bentuk sambungan menurut Yap (1984) dibagi menjadi sambungan tegak (butt joint), sambungan serong (plain scarf joint), sambungan serong bertingkat (stepped scarf joint), sambungan jari (finger joint) dan sambungan eksentris (lap joint). Houwink dan Salomon (1967) bahkan menguraikan 12 macam sambungan kayu dengan bentuk yang berbeda. Structural Education Program (STEP) juga telah mengeluarkan publikasi yang memuat acuan terakhir yang dipakai di Eropa tentang rekayasa sambungan kayu tersebut (Blass et al.,1995).

Sambungan dengan pasak bulat (dowel) selama ini dikenal sebagai pengikat siku pada panel pintu, jendela, pigura ataupun konstruksi ringan lainnya. Lebih banyak ditemui sambungan kayu dengan mempergunakan baut sebagai pengikat lebih karena kepraktisannya, sementara Yap (1984) menyatakan bahwa konstruksi dengan sambungan baut tersebut hanya separuh tingkat efisiensinya dibandingkan pasak. Hal yang dianggap kritis pada pasak bulat adalah efek penyusutan pasak yang tidak seimbang dengan penyusutan baloknya karena jenis kayu yang berbeda pada paparan cuaca pemakaian sehingga dikhawatirkan menjadi titik lemah sambungan. Untuk itu upaya stabilisasi dimensi pasak diperlukan agar penyusutan menjadi minimal.

Sementara itu, baik PKKI NI-5 (1961) maupun R-SNI (2002) tentang Tata Cara Perencanaan Konstruksi Kayu Indonesia hanya sejauh menyebutkan persyaratan peletakan baut, paku ataupun pasak, namun hasil penelitian mengenai hal tersebut khususnya bagi kayu Indonesia belum dilaksanakan sehingga persyaratan tersebut merupakan adopsi hasil rekayasa teknologi kayu dari luar. Di lain pihak, metoda sambungan kontemporer sudah sampai pada teknik sambungan kayu lamina dengan mempergunakan glulam rivets, pembuatan tiang kincir angin dengan metoda glued-in bolts dan pemasangan kipas kincir pada rotor dengan metoda glued-in rods (Madsen, 1992).

Balok laminasi mekanis dengan pasak sebagai penahan geser merupakan variasi bentuk lain dari SLT (Stress Laminated Timber), yaitu beberapa balok yang disusun berdiri pada sisi tebal dan diikat rapat dengan pengencang baja sehingga tahanan geser menjadi besar. Dalam kajian ini dicoba dalam bentuk ukuran pendek dan disebut dengan

(9)

bentuk sambungan tampang dua berpasak penahan geser sehingga mampu menguji kemampuannya dalam pembebanan tarik (melalui uji tekan).

Untuk itu penelitian ini diharapkan mampu menjawab awal tantangan kebutuhan data teknologi rekayasa kayu tersebut khususnya bagi jenis mangium sebagai salah satu jenis kayu budidaya yang diunggulkan.

2. Perumusan Masalah

Dari latar belakang sebagaimana diuraikan di atas, masalah yang dihadapi saat ini berkaitan dengan dengan upaya pembuatan sambungan kayu berpenahan geser untuk tujuan konstruksi sejak dari penyipan bahan baku adalah sebagai berikut:

a. Dihubungan dengan persyaratan tegangan ijin menurut standar yang berlaku, apakah kayu mangium dapat memenuhinya hingga mampu digunakan sebagai kayu konstruksi.

b. Dengan upaya teknik engineered wood berupa laminasi mekanis dengan menggunakan pasak, produk kayu mangium apakah mampu digunakan sebagai upaya menambah dimensi kayu yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dimensi kayu konstruksi.

c. Bagaimanakah perilaku kekuatan sambungan kayu dengan pasak penahan geser dengan variasi bentuk pasak, jenis pasak, jumlah pasak dan pengaruhnya pada kemampuan sambungan dalam menahan beban.

d. Perilaku kekuatan sambungan kayu dengan pengencang bambu berbaji apakah dapat berfungsi sama dengan pengencang baut yang telah umum digunakan.

e. Karena riapnya yang besar, yang bahkan dapat mencapai diameter 40 cm dalam umur 12 tahun, tanaman mangium tujuan konstruksi yang daur teknisnya 25-30 tahun dapat dipersingkat karena telah mencapai dimensi yang memungkinkan sebagai substitut kebutuhan kayu dari hutan alam dalam memenuhi kebutuhan kayu konstruksi. Meski dari sisi dimensi telah memenuhi persyaratan kebutuhan kayu konstruksi, namun hasil penelitian tentang sifat kekuatan dan rekayasanya untuk tujuan konstruksi masih perlu dilakukan pengujian.

3. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian yang akan dilaksanakan adalah meningkatkan peran kayu hasil budidaya hutan tanaman khususnya kayu mangium sebagai kayu konstruksi, sedangkan tujuan khusus penelitian adalah:

(10)

a. Memperoleh data sifat fisis dan mekanis kayu mangium umur 17 tahun melalui pengujian contoh kecil bebas cacat (small clear specimen) guna diketahui sifat dasarnya.

b. Melihat kelayakan kayu mangium pada kisaran umur 17 tahun sebagai bahan kayu konstruksi melalui pemilahan kayu ukuran full-scale (baik secara visual maupun masinal) dan penentuan tegangan ijin. Termasuk di dalamnya identifikasi cacat yang menjadi karakteristik kayu mangium dan hubungannya dengan kelayakannya sebagai kayu konstruksi.

c. Mengembangkan teknologi pasak penahan geser pada sambungan kayu tampang dua dengan menggunakan dua bentuk pasak yakni pasak bulat (dowel) dan pasak segi empat, tiga jenis bahan (material) pasak yakni pasak sejenis tanpa perlakuan, pasak sejenis yang dipadatkan (densifikasi) dan pasak baja, serta menggunakan dua jenis alat pengencang yaitu baut dan pelekap bambu berbaji.

d. Mencoba suatu bentuk sambungan tampang dua dengan variasi jumlah dan ukuran jarak peletakan pasak bulat (dowel) dan pasak segi empat terhadap ujung, sisi dan spasi antar pasak dalam suatu susunan pasak dan arah pembebanannya.

e. Memberikan data teknis kayu mangium sebagai kayu konstruksi yang memungkinkan masyarakat pengguna kayu untuk memanfaatkan jenis tersebut sebagai bahan bangunan tanpa keragu-raguan.

f. Membuktikan adanya peluang kayu mangium sebagai substitusi kayu dari hutan alam Indonesia.

4. Luaran yang Diharapkan

Hasil penelitian diharapkan memberikan luaran (output) berupa:

a. Diperoleh data sifat fisis dan mekanis mangium umur 17 tahun baik dalam bentuk contoh kecil bebas cacat maupun dalam ukuran penggunaan dan hubungannya dengan kemampuan sebagai bahan bangunan kayu.

b. Diperolehnya pola perilaku kekuatan sambungan kayu dengan menggunakan pasak penahan geser berbentuk bulat dan segi empat dalam berbagai variasi jumlah pasak yang dipergunakan.

c. Diperoleh hasil percobaan pengaruh perlakuan pemadatan kayu bahan pasak dan penggunaannya terhadap kekuatan sambungan kayu dibandingkan dengan pasak baja ataupun pasak kayu sejenis tanpa pemadatan.

(11)

d. Diperoleh hasil percobaan pengaruh perlakuan jenis pengencang baut dan bambu terhadap kekuatan sambungan kayu dibandingkan dengan pengencang berupa plat klam.

e. Memberikan kontribusi yang nyata terhadap kemungkinan aplikasi hasil penelitian dan memberikan keyakinan kepada masyarakat pengguna kayu bahwa mangium mampu dimanfaatkan sebagai kayu konstruksi dengan mengikuti metoda yang dilaksanakan f. Memperkuat pendapat bahwa kekurangan pasokan kayu untuk tujuan konstruksi akibat

menurunnya potensi hutan alam dapat ditutupi oleh percepatan hasil produksi dari hutan tanaman dan membuka peluang lebih lanjut bagi kegiatan penelitian lanjutan yang lebih luas bagi jenis kayu cepat tumbuh lainnya.

g. Data penelitian akan sangat menunjang penyempurnaan R-SNI (2002) tentang Tata Cara Perencanaan Konstruksi Kayu Indonesia (Revisi NI-5 PKKI 1961).

h. Secara tidak langsung penelitian akan memberikan kontribusi yang nyata bagi perkembangan ilmu pengetahuan bahwa kayu mangium dengan umur 17 tahun mampu digunakan sebagai bahan kayu konstruksi tanpa menunggu daur teknis 25 – 30 tahun.

5. Alur Pikir Penelitian

Alur pikir dalam usulan penelitian ini mengikuti bagan alir sebagaimana diuraikan dalam Gambar 4 berikut:

Mangium (Acacia mangium Willd.)

STRUKTURAL

SOLID WOOD ENGINEERED WOOD

Daur teknis ky kons HTI: 25 – 30 thn Di Lapangan: 17 thn, D> 40 cm

LAMINASI MEKANIS DENGAN PASAK SYARAT KAYU KONSTRUKSI

Sasaran Penelitian:

UJI SIFAT KAYU: - SAMBUNGAN PASAK GESER DOUBLE SHEAR:

( small clear & full scale specimen) . Bentuk pasak: Bulat dan Segi Empat

• Fisis . Bahan pasak: Mangium, M. Densifikasi, Ulin, Baja •

Mekanis . Bahan pengencang: Plat, Baut, Bambu dan Perekat •

Rekayasa . Jumlah: Sepasang, Dua dan Tiga pasang - PEMODELAN HASIL KEKUATAN

Penelitian Pendukung - REKOMENDASI TEKNIS SAMB. PASAK

- SIFAT FISIS, MEK & REKAYASA

- PEMODELAN HUBUNGAN KEKUATAN CKBC DAN BALOK

- REKOMENDASI TEKNIS KAYU KONSTRUKSI

(12)

6. Ruang Lingkup dan Sasaran Kegiatan a. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian dilakukan dalam lingkup rekayasa teknologi kayu mangium sebagai konstruksi kayu rekayasa melalui sambungan pasak penahan geser dalam berbagai bentuk, jumlah dan bahan (material) pasak.

b. Sasaran Kegiatan

Kegiatan berlangsung selama 1(satu) tahun dengan dua sasaran umum seperti yang disajikan pada Tabel 3 berikut:

Tabel 3. Sasaran dan Jenis Kegiatan Penelitian

Sasaran Jenis Kegiatan

1. Sifat Dasar dan Kelas Tegangan

- Penelitian sifat dasar dalam bentuk contoh kecil bebas cacat (small clear

specimen, fisis dan mekanis) serta sifat rekayasa (sifat-sifat kekuatan) kayu

mangium umur 17 tahun dalam bentuk kayu utuh (full scale) sehingga diperoleh nilai sifat dasar dan kelas tegangan ijinnya berdasar metoda versi ASD dan LRFD.

- Model hubungan sifat mekanis ckbc dan balok.

- Pemanfaatan mesin pemilah kayu PANTER dan alat uji non destruktif SYLVATEST DUO dan pemodelan hubungan dengan nilai uji melalui alat UTM (Universal Testing Machine).

2. Sambungan Kayu Double Shear dengan variasi Jenis, Bahan dan Jumlah Pasak dan variasi Jenis Pengencang

- Teknologi sambungan kayu mangium secara mekanis dengan alat sambung kayu pasak bulat (dowel) dan pasak segi empat dengan kayu yang sejenis (tanpa perlakuan), pasak kayu sejenis yang didensifikasi, pasak ulin dan pasak baja

- Perlakuan variasi pengencang: plat klam, baut, bambu dan perekat - Arah pembebanan: sejajar serat komponen sambungan, tegaklurus pasak. - Pemodelan hasil kekuatan berdasar variable pasak yang dilakukan

3.Balok Susun - Penerapan idealisasi sambungan tampang dua berpasak penahan geser terbaik ke bentuk bentang panjang dalam balok susun (balok laminasi mekanis).

7. Kebaruan Penelitian (Novelty)

Penelitian mengandung nilai kebaruan dalam beberapa aspek sebagai berikut: 1. Informasi sifat fisis, mekanis dan informasi teknis kayu mangium umur 17 tahun

sebagai kayu bahan bangunan, sebagai pelengkap informasi sifat dasar kayu mangium yang selama ini hanya bersumber pada informamsi kayu mangium umur 8-12 tahun.

(13)

2. Informasi tentang sistem sambungan pasak dengan berbagai variasi pasak, pasak geser dan pengencang komponen sambungan.

3. Informamsi tentang pasak penahan geser sebagai alternatif pasak dalam sambungan tampang dua yang belum dibahas dalam berbagai pustaka.

4. Aspek variasi bahan pasak penahan geser dalam kekuatan sistem sambungan berpasak.

5. Aspek pengaruh pemadatan, fungsi pasak dan modus kerusakan (failure mode) pada sistem sambungan yang menggunakan pasak geser.

Kebaruan ini bisa dilihat dari posisinya dalam status pengetahuan (state of the art) yang selama ini telah dilaksanakan dalam penelitian kayu mangium sebagai bahan kayu rekayasa (enginereed wood) untuk tujuan konstruksi seperti tercantum pada Lampiran 2.

(14)

Gambar

Tabel 2.   Perbandingan Sifat Dasar dan Karakter Pengerjaan Beberapa Jenis Kayu
Gambar 2.  Profil Sambungan Tampang Dua dan Mekanisme Kerja Pasak                      Penahan Geser
Gambar 3. Rolling Shear  dan Kerusakan pada Komponen Glulam Struktural (Fellmoser  dan Blaß, 2004)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil kegiatan pengabdian kepada masyarakat menunjukkan bahwa siswa sangat antutias mengikuti kegiatan secara daring terlihat dari nilai menulis pantun meningkat

Proses aklimatisasi dilakukan dengan cara ikan yang dibungkus dalam plastik packing dimasukkan ke kolam dalam posisi terapung selama 1-5 menit kemudian sedikit

Setelah jumlah perkiraan permintaan untuk tahun selanjutnya pada setiap suku cadang kritis maka hal yang selanjutnya akan dilakukan adalah melakukan perhitungan

Penduga dari parameter distribusi Pareto ini diperoleh dengan menggunakan metode terbaik dari metode momen, metode kemungkinan maksimum, metode momen peluang terboboti dan

Pada kotak dialog Surface Blur yang muncul geserlah slider Radius untuk mengatur luas area yang akan terkena efek dan geserlah slider. Threshold untuk mengontrol jumlah Pixel

Pada pasien ini, ulser yang ditemukan umumnya berbentuk bulat atau oval dengan diameter 2 hingga 8 mm, dasar ulser dangkal dan berwarna putih, dikelilingi daerah eritema

orang dalam satu negara”. Data 12) tersebut menunjukkan adanya strata sosial ataupun kelas sosial masyarakat. Hal tersebut tampak dari diksi yang digunakan, seperti

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Tugas Akhir ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar Kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi,