• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menyambut Era Baru Belajar Islam Lewat Internet Welcoming The New Era Learning Islam Through The Internet 506

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Menyambut Era Baru Belajar Islam Lewat Internet Welcoming The New Era Learning Islam Through The Internet 506"

Copied!
209
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Daftar Isi

Metode Istinbat Hukum

di Lembaga Bahtsul Masail NU

The Method of Decision Making of Islamic Law in Nahdlatul Ulama (LBM-NU) — 421

Vivin Baharu Sururi

Telaah Seni Rampak Bedug Sebagai Media Dakwah di Banten Analysis of Rampak Bedug Art

as Media of Da’wa in Banten — 455

Tatu Siti Rohbiah

Pesan Dakwah Akhlak Lewat Media Cetak (Studi Kasus Majalah Hidayah)

Message of Da’wa Akhlak in Print Mass Media (A Case Study of Hidayah Magazine) — 477

Uup Gufron

Menyambut Era Baru “Belajar Islam Lewat Internet” Welcoming The New Era “Learning Islam

Through The Internet” — 506

A. Khoirul Anam

Dakwah Dengan Media Film :

Oase di Tengah Krisis Film-Film Yang Tidak Bermutu Dawah By Using Movies:

Oasis in The Midst of Crisis Movies That Are Not Qualified — 530

Naif Adnan

Epistemologi Mistik dalam Dunia Filsafat Islam Mystical Epistemology in Islamic Philosophy — 552

(4)

Neo-Sufisme dan Gerakan Perlawanan Kaum Sufi Neo Sufisme and Sufi Resistance Movement — 572

Ikhwanul Mu’minin

Aqidah Asas Kesempurnaan Insan Aqidah of Human Perfection Principle — 594

(5)

in Nahdlatul Ulama (LBM-NU)

Metode Istinbat Hukum

di Lembaga Bahtsul Masail NU

Vivin Baharu Sururi

Pascasarjana IAIN Surakarta. email : vivin.sururi@gmail.com

Abstract : The method of LBM NU istinbat is not static, but he has developed over time, in line with the changing times and adapt to the surrounding context. For easy of explanation, it is divided into three periods. At the beginning of the period, LBM NU used qauli and ilhaqi method. In the second period, or the period is referred to as epidemic update that began in the 1990s, the method used is manhaji method. Progress in setting legal form in LBM NU with this method is no longer the word mauquf the problems being discussed. The latter period is also the period of purification. At this time, LBM NU fence itself from the current liberal thinking and excessive. Then, came the idea of tashfiyatul fikrah al-nahdliyah.

Abstraksi : Metode istinbat LBM NU tidaklah statis, tapi ia mengalami perkembangan dari masa ke masa, seiring dengan perubahan zaman dan menyesuaikan diri dengan konteks yang melingkupinya. Untuk memudahkan penjabaran, maka dibagi menjadi tiga periode perkembangan metode istinbat yang digunakan oleh LBM NU dalam mengambil putusan hukum. Pada periode permulaan, LBM NU menggunakan metode qauli dan ilhaqi. Pada periode kedua, atau disebut sebagai periode pembaruan yang dimulai pada taun 1990-an, metode yang digunakan adalah metode manhaji, jika metode qauli sudah tak lagi berkutik. Bentuk kemajuan dalam penetapan hukum di LBM NU dengan metode ini adalah tak ada lagi kata mauquf atas persoalan yang

(6)

sedang dibahas. Periode terakhir disebut juga dengan periode penjernihan. Pada masa ini, LBM NU memagari diri dari arus pemikiran yang liberal dan kebablasan. Maka muncullah gagasan tashfiyatul fikrah al-nahdliyah, pemurnian cara berfikir ala NU.

Keyword: Decision Making, Islamic Law, Method, Qauli, and Manhaji

A. Pendahuluan

Lembaga Bahtsul Masail (LBM) adalah lembaga fatwa di kalangan NU. Sebelum dilembagakan, bahtsul masail merupakan tradisi yang telah mengakar di kalangan pesantren, jauh sebelum NU berdiri. Masing-masing pesantren punya forum semacam ini untuk menjawab persoalan masyarakat di sekitar pesantren, khususnya terkait hukum Islam. Berdasarkan catatan sejarah, keputusan bahtsul masail yang melibatkan kiai-kiai antar pesantren telah ada beberapa bulan pasca hari lahir NU, 31 Agustus 1926.

Bisa dibilang, LBM adalah taswirul afkar-nya kaum pesantren setelah NU lahir. Lembaga fatwa ini mempunyai keunikan khas yang berbeda dengan lembaga fatwa yang dimiliki ormas Islam lain. Dalam penggalian hukum, LBM NU tidak langsung merujuk pada al-Quran dan hadis, tapi melalui kitab-kitab klasik atau biasa disebut kitab kuning. Kitab-kitab ini merupakan karya yang berhaluan pada empat mahdzab yang dijadikan referensi pemikiran dan gagasan dalam pembahasan. Mengapa hanya empat madzhab? Selain alasan pendapatnya yang telah terkodifikasi dengan baik, pemilihan empat mahdzab juga dilandasi atas beberapa alasan.

Pertama, keempat mahdzab tersebut sudah diterima dan diikuti oleh mayoritas umat Islam di seluruh dunia, selama berabad-abad. Kedua, mereka sudah teruji dalam menghadapi kritik dan koreksi secara terbuka

(7)

sepanjang sejarahnya. Ketiga, mereka dinilai cukup fleksibel dalam menghadapi tantangan dari perkembangan zaman yang selalu berubah. Kelima, para kiai yakin bahwa metode yang digunakan oleh keempat mahdzab tersebut bersumber dari al-Quran dan Hadis.

Empat mahdzab ini dijadikan pegangan kiai-kiai dalam pemecahan suatu masalah pada LBM NU. Kitab-kitab yang digunakan pun merujuk pada kitab-kitab yang tidak keluar dari koridor empat mahdzab tersebut. Karena yang dijadikan rujukan dalam penentuan hukum Islam adalah pendapat ulama dalam kitab-kitab kuning, maka perbedaan pendapat dalam satu kasus pun seringkali terjadi.

Nah, bagaimana cara menyelesaikan jika terjadi perbedaan pendapat antar ulama, baik yang termaktub dalam satu kitab, atau kitab-kitab lain yang sama-sama menjadi rujukan? Pada titik inilah penelitian ini menjadi menarik. Penelitian ini akan menggali metode yang digunakan dalam pengambilan hukum di LBM NU. Cara peneyelesaian perbedaan pendapat dalam kitab-kitab rujukan LBM NU ini, tentu berbeda dengan cara penyelesaian pertentangan antar ayat dalam al-Quran, atau antar matan dalam hadis. LBM NU punya cara tersendiri dalam menyelesaikan masalah khilafiyah dalam satu keputusan.

Uniknya, dinamika cara pengambilan keputusan hukum dalam LBM NU ini begitu dinamis. Sejak awal berdiri hingga sekarang, telah terjadi perkembangan yang cukup berarti terkait dengan metode istinbat hukum. Jadi, cara pemgambilan hukum LBM NU dari masa ke masa inilah yang akan ditelaah lebih jauh dalam penelitian ini. Berikut ini adalah perkembangan metode istinbat di LBM NU dalam memutuskan hukum atas suatu perkara.

B. Periode Rintisan: Tashwirul Afkar dan Tuntutan Bermadzhab

Jejak Nahdlatul Ulama (NU), kalau ditelisik, sejatinya telah mengakar dan mendarah daging di bumi Nusantara, jauh sebelum organisasi ini lahir tahun 1926. Tanggal 31 Januari 1926 tak lebih hanya

(8)

sebuah dentuman sejarah, di mana para ulama memproklamasikan kemerdekaan dan kedaulatan tradisi keislaman yang mereka warisi dari para pendahulunya, yang kini dikenal dengan Islam Indonesia, atau Islam yang bersahabat dengan tradisi masyarakat Indonesia.

NU kala itu merupakan rumah besar yang dijadikan tempat berteduh tradisi-tradisi Islam yang sudah ratusan tahun hidup dan berkembang di Nusantara. Tradisi itu tidak berdiri sendiri atau diterima begitu saja, tanpa adanya proses asimilasi pemikiran dan landasan epistemologis. Tradisi yang berkembang di lingkungan NU selalu diperkuat dengan argumentasi atau dalil yang bersumber dari kitab-kitab klasik yang dikaji di pesantren.

Makanya, jangan coba-coba mempermasalahkan keabsahan tradisi yang dilakoni Nahdliyyin, seperti tahlilan, selamatan, muludan, ziarah kubur, memukul bedug, dan lain-lain., pasti mereka punya argumentasi yang kuat dan jelas sumbernya. Ini membuktikan sejak dulu NU punya prinsip dan tradisi intelektual yang kuat dan mengakar. Persoalan sehari-hari yang timbul di tengah-tengah masyarakat menjadi bagian dari tugas kalangan pesantren untuk memberikan pencerahan.

Geliat intelektualisme semacam ini sudah jadi makanan kiai sehari-hari dan tentunya para santri di pesantren, jauh sebelum tahun 1926. Biasanya, forum yang mereka gelar disebut syawir atau musyawarah dan halaqah atau diskusi. Tradisi intelektual berkembang di pesantren melalui pengajaran kitab-kitab kuning hasil karya para ulama dari berbagai mazhab yang berkembang sejak masa-masa awal Islam.

Tradisi fiqih juga dikembangkan melalui forum kajian keagamaan antarpesantren seperti bahtsul masail (pengkajian masalah-masalah sosial keagamaan), dan forum-forum sejenis, baik yang mengkaji masalah-masalah aktual (waqi’iyyah) maupun tematik (maudu’iyyah). Ini menandakan bahwa proses transmisi pengetahuan dan pengembangan wawasan di kalangan kiai-kiai dan pesantren begitu dinamis dan tak pernah berhenti.

(9)

Tahun 1918, dalam rangka mengembangkan pemikiran Islam di Nusantara, KH. Abdul Wahab Chasbullah telah mendirikan kelompok diskusi keislaman di perkotaan untuk merambah kalangan yang lebih luas. Kelompok itu diberi nama Tashwirul Afkar, (eksplorasi pemikiran) yang bermarkas di Surabaya, Jawa Timur.1

Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang terbatas. Tetapi berkat prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat yang diterapkan dan topik-topik yang dibicarakan mempunyai jangkauan kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat kelompok ini menjadi sangat populer dan menarik perhatian di kalangan pemuda. Banyak tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu dalam forum itu untuk mendebatkan dan memecahkan permasalahan pelik yang dianggap penting.

Tashwirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Ia juga menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antar tokoh nasionalis sekaligus jembatan bagi komunikasi antara generasi muda dan generasi tua. Dari posnya di Surabaya, kelompok ini menjalar hampir ke seluruh kota di Jawa Timur. Bahkan gaungnya sampai ke daerah-daerah lain seluruh Jawa.

Kelompok ini tidak hanya bermaksud mendiskusikan masalah-masalah keagamaan dan kemasyarakatan yang muncul, tetapi juga menggalang kaum intelektual dari tokoh-tokoh pergerakan kala itu. Tema-tema yang dibahas pun terkait soal-soal kebangsaan dan nasionalisme, terutama berkenaan dengan kezaliman penjajahan Belanda.2 Kelompok ini memasukkan unsur-unsur kekuatan politik

untuk menentang penjajahan. Progresivitas berpikir dan bertindak adalah kunci utama komunitas ini. Karena itu, halaqah ini berkembang menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang gandrung pada pemikiran keislaman dan kemasyarakatan.

Dalam perkembangannya, di samping Nahdlatul Wathan (1914) dan Nahdlatut Tujjar (1918), eksistensi Tashwirul Afkar tidak bisa dilepaskan

(10)

dari sejarah kelahiran NU, 1926. Justru, kelompok yang dibidani KH. Wahab Chasbullah inilah embrio gagasan Ahlussunnah Wal Jamaah (aswaja) ala NU kali pertama digelindingkan. Lalu, gagasan tersebut dipatenkan oleh KH. Hasyim Asy’ari dalam Qanun Asasi NU. Mbah Hasyim dari awal tidak pernah menjelaskan secara rigid apa definisi aswaja itu sesungguhnya, melainkan hanya menekankan pentingnya berpegang teguh pada salah satu mahdzab yang telah ditetapkan.3

Menurut KH. Makruf Amin, genealogi pemikiran aswaja NU yang mengajak umat Islam untuk bermahdzab ini banyak dipengaruhi oleh ide-ide Syeikh Nawawi yang dituangkan dalam Nihayah al-Zain.4 Satu

misal, tercermin dengan pembatasan empat mahdzab dalam bidang fikih. Sebab, kata Syeikh Nawawi, dibanding para fuqaha yang lain, pendapat imam empat itu telah terkodifikasi dan disusun secara sistematis.

Aswaja model seperti itu yang dianut NU. Meski secara definisi aswaja adalah ma ana alaihi wa ashabih, tapi NU tidak bisa mengambil pendapat semua imam ahli fikih atau para sahabat yang jauh lebih senior. Seperti Imam al-Baqir (57-114 H), al-Auza’i (w. 157 H), Sufyan al-Tsauri (w. 160 H), Sufyan ibn Uyainah (w. 198 H), dan lain-lain. Mengapa? Jawabnya jelas, karena mahdzabnya belum terkodifikasi dan tersusun dengan baik. Jadi, di mata kiai Ma’ruf, aswaja NU adalah “aswaja selektif”.5 Yaitu

mengikuti mahdzab Syafii, Maliki, Hambali, Atau Hanafi dalam bidang fikih. Bidang aqidah merujuk pada imam al-Asy’ari atau al-Maturidi. Dan terakhir, memilih Junaid al-Baghdadi atau al-Ghazali sebagai panutan dalam lelakon tasawuf. Kalau begitu, aswaja sejatinya mengandung makna yang amat luas, namun dengan adanya “aswaja selektif” ala NU, maka keberadaannya disederhanakan, dikotak-kotakkan dalam mahdzab. Mengapa terjadi? Setidaknya ada tiga alasan yang melatarbelakanginya waktu itu.

Pertama, firman Allah dalam surat al-Nahl ayat 43, “Maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahuinya.” Ayat ini secara tegas menyatakan bahwa orang awam

(11)

yang tidak mengetahui duduk persoalan dalam agama, atau soal-soal lain, sebaiknya bertanya atau mengikuti pendapat orang-orang ahli atau pakar.

Dalil inilah yang dijadikan argumentasi para ulama tentang pentingnya bertaqlid pada suatu mahdzab bagi orang awam. Jika tidak bertaqlid, tindakan atau perbuatan orang awam dikhawatirkan menyimpang dengan ajaran agama Islam. Dengan adanya madzhab, maka orang awam tidak akan susah-susah bertanya tentang suatu masalah, tinggal mengikuti apa kata imam mahdzab yang termkatub dalam kitab-kitabnya.

Kedua, dari sisi historis, para sahabat Nabi yang memiliki ilmu keislaman yang tinggi dan mempunyai keahlian dalam menetapkan fatwa itu jumlahnya sangat minim. Di samping itu, para sahabat Nabi juga acapkali membuat suatu keputusan atau fatwa tanpa diketahui dengan jelas dalil atau dasar hukumnya. Pemikiran mereka cenderung tercerai berai dan tidak tersusun secara sistematis. Sehingga merujukknya pun dirasa sulit. Jadi bukan karena para sahabat itu tidak lebih pintar dari imam mahdzab yang dianut NU, tapi pemikiran mereka yang tidak terkodifikasi dengan baik.

Ketiga, secara rasional akan nampak jelas, ketika ada orang awam sedang menemukan suatu persoalan yang ia tidak tahu status hukumnya, maka ada dua kemungkinan. Ia tidak berani bertindak karena belum tahu dasar hukumnya. Atau bisa juga, ia asal bertindak tanpa memperdulikan status hukum. Dua kemungkinan ini adalah pilihan yang tidak tepat. Seharusnya, agar sampai pada tujuan dan tidak tersesat dijalan, sebaiknya orang yang tidak tahu itu mengikuti pendapat orang yang lebih tahu dan memahami persoalan.

Itulah beberapa argumentasi mengapa NU harus bermahdzab. Pemikiran para imam mahdzab ini bisa dibilang sumber mata air yang tak pernah kering mengalirkan pemikiran-pemikiran segar dan dinamis di kalangan warga NU. Di antara tiga bidang (fikih, aqidah, tasawuf)

(12)

yang masuk dalam rumusan aswaja, ternyata bidang fikih lebih dominan menyedot perhatian kalangan nahdliyyin. Maklum, karena pesantren yang merupakan basis kekuatan NU adalah tempat rujukan masyarakat dalam penyelesaian masalah hukum Islam.

Jika masyarakat menemukan masalah, dapat dipastikan, larinya ke pesantren. Apa kata kiai, itulah jawabannya. Masalah yang mengemuka di masyarakat adalah masalah sehari-hari, baik terkait dengan hukum ibadah maupun muamalah. Karena itu, ruang lingkup pengkajiannya pun seputar masalah fiqhiyyah. Hanya sedikit yang punya masalah soal aqidah atau tasawuf.

Forum tanya jawab dan pembahasan masalah keagamaan seperti ini, di kalangan NU, dikenal dengan bahtsul masail. Ini diadakan untuk menjawab kebutuhan masyarakat terhadap hukum Islam praktis yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Bahtsul masail sejatinya adalah tradisi yang telah mengakar di kalangan pesantren, jauh sebelum NU berdiri. Masing-masing pesantren punya forum semacam ini untuk menjawab persoalan masyarakat di sekitar pesantren, khususnya terkait hukum Islam.

Berdasarkan catatan sejarah, keputusan bahtsul masail yang melibatkan kiai-kiai antar pesantren telah ada beberapa bulan pasca hari lahir NU, 31 Agustus 1926. Namun, secara institusional, baru mengemuka pada Muktamar XXVIII di Yogyakarta, tahun 1989. Saat itu, Komisi I merekomendasikan kepada PBNU untuk membentuk Lajnah Bahtsul Masail Diniyah sebagai lembaga permanen yang fokus pada soal-soal keagamaan.

Rekomendasi Komisi I digodok lagi dalam halaqah Denanyar, 26-28 Januari 1990, di Pondok Pesantren Mambaul Maarif Denanyar Jombang, Jawa Timur. Halaqah ini juga menghasilkan rekomendasi untuk membentuk Lajnah Bahtsul Masail Diniyah. Lajnah ini diharapkan jadi tempat bertemunya para ulama dan intelektual di lingkungan NU untuk duduk bersama membahas permasalahan keagamaan yang terjadi di

(13)

masyarakat, atau bisa disebut istinbat jama’i, penggalian dan penetapan hukum secara kolektif.

Berdasarkan rekomendasi-rekomendasi resebut, akhirnya PBNU menerbitkan Surat Keputusan No. 30/A.I.05/5/1990 perihal terbentuknya Lajnah Bahtsul Masail Diniyah.6 Sejak itu, lajnah ini menjadi forum resmi

yang memiliki wewenang menjawab segala permasalahn keagamaan yang dihadapi warga NU. Di sinilah tempat kawah candradimukanya para intelektual pesantren beradu argumen dalam pembahasan persoalan keagamaan.

Lajnah Bahtsul Masail, menurut kiai Makruf, adalah taswirul afkar-nya kaum pesantren setelah NU lahir.7 Dalam pergulatan bahtsul masail, tidak

bisa dilepaskan dari empat mahdzab yang dijadikan referensi pemikiran dan gagasan dalam pembahasan. Selain alasan pendapatnya yang telah terkodifikasi dengan baik, pemilihan empat mahdzab juga dilandasi atas beberapa alasan.

Pertama, keempat mahdzab tersebut sudah diterima dan diikuti oleh mayoritas umat Islam di seluruh dunia, selama berabad-abad. Kedua, mereka sudah teruji dalam menghadapi kritik dan koreksi secara terbuka sepanjang sejarahnya. Ketiga, mereka dinilai cukup fleksibel dalam menghadapi tantangan dari perkembangan zaman yang selalu berubah. Kelima, para kiai yakin bahwa metode yang digunakan oleh keempat mahdzab tersebut bersumber dari al-Quran dan Hadis.8

Empat mahdzab ini dijadikan pegangan kiai-kiai dalam pemecahan suatu masalah pada forum bahtsul masail. Kitab-kitab yang digunakan pun merujuk pada kitab-kitab yang tidak keluar dari koridor empat mahdzab tersebut, atau dikenal dengan sebutan “kitab kuning”. Karena yang dijadikan rujukan dalam penentuan hukum Islam adalah pendapat ulama dalam kitab-kitab kuning, maka perbedaan pendapat dalam satu kasus pun seringkali terjadi.

Untuk bisa memilih, pendapat mana atau siapa yang didahulukan?, Muktamar I di Surabaya sudah memberikan rambu-rambu yang

(14)

menunjukkan tingkat kualitas pendapat ulama di antara berbagai pendapat (qaul) yang bertaburan. Peringkat tersebut yaitu:

Peringkat pertama, pendapat yang disepakati oleh al-Syaikhani, yaitu imam Nawawi dan imam Rafii. Kedua, pendapat Imam Nawawi. Ketiga, pendapat imam Rafii. Keempat, pendapat yang didukung oleh jumhur atau mayoritas ulama. Kelima, pendapat ulama yang terpandai. Dan terakhir, pendapat ulama yang paling wara’, yaitu menjauhkan diri dari dosa, kemaksiatan, dan sesuatu yang masih meragukan hukumnya atau subhat.9

Adanya peringkat ini merupakan bentuk kehati-hatian kalangan NU dalam memecahkan persoalan dan menetapkan hukum Islam. Kiai-kiai NU mempunyai karakteristik dalam beristinbat. Mereka tidak pernah menjawab persoalan langsung bersumber dari al-Quran atau hadis. Mereka memandang, matarantai khazanah intelektual itu tidak boleh terputus, dari periode ke periode. Apabila menjawab persoalan langsung bersumber dari al-Quran atau hadis, berarti ada matarantai pemikiran yang terputus dan terlompati. Ini tidak dibenarkan dalam tradisi intelektual NU.

Prinsip ini tergambar jelas seperti dikemukakan KH. Hasyim Asy’ari dalam pengantar Anggaran Dasar NU.

“Wahai para ulama dan tuan-tuan yang takut kepada Allah dari golongan Ahlussunah Wal Jamaah, golongan madzhab imam yang empat. Engkau sekalian telah menuntut ilmu dari orang-orang sebelum kalian dan begitu seterusnya secara bersambung sampai kepada kalian. Dan engkau sekalian tak gegabah memperhatikan dari siapa mempelajari agama. Maka oleh karenanya, kalianlah gudang bahkan pintu ilmu tersebut. Janganlah memasuki rumah melainkan melalui pintunya. Barang siapa memasuki rumah tidak melalui pintunya, maka ia disebut pencuri.”10

Pada titik ini, peran ulama madzhab empat begitu dominan, terutama melalui karya-karya yang dikategorikan sebagai kitab-kitab mu’tabarah

(15)

(diakui). Kitab-kitab inilah yang dijadikan pintu masuk untuk memahami segala persoalan yang berkembang di masyarakat. Di pesantren-pesantren yang menjadi basis NU, kitab-kitab itu jamak disebut “kitab kuning”. Siapapun yang mau memahami nash al-Qur’an atau hadis, tidak bisa langsung melakukan interpretasi berdasarkan nash an sich, tapi harus melalui matarantai kitab-kitab kuning yang sudah dianggap mu’tabarah tadi.

Saking sentralnya, kaitan kitab kuning dengan ormas Islam terbesar di Indonesia ini pun tak terpisahkan. Warga nahdliyyin menempatkan kitab kuning sebagai acuan utama dalam kehidupan sehari-hari. Terutama yang menyangkut masalah hukum ibadah atau ritual, akhlak atau perilaku, dan mu’amalah atau hubungan sosial. Perilaku warga NU itu tercermin dari cara mereka bersikap. Ketika warga menemui persoalan, rujukannya adalah bertanya ke kiai. Lalu, kiai menjelaskan berdasarkan keterangan dari kitab kuning.

Meski dalam bidang fikih NU mengikuti empat madzhab, mayoritas kitab yang dikaji di pesantren adalah kitab-kitab karya para ulama Syafi’iyah. Mulai dari kitab fikih tingkat dasar, seperti Safinatun Naja, Taqrib, Kifayatul Ahyar; menengah seperti Fathul Qarib, Fathul Wahab, Fathul Mu’in, I’anatuth Thalibin, Hasyiyah Bajuri, Muhazzab; hingga tingkat tinggi seperti Nihayatul Muhtaj, Hasyiyah Qalyubi wa Umairah, Al-Muharrar, Majmu Syarh Muhazzab. Semuanya merupakan susunan para ulama mazhab Syafi’i.

Kitab-kitab tersebut, berisi paparan mengenai hukum-hukum hasil ijtihad Imam Syafi’i, yang kemudian diuraikan lagi oleh para ulama pengikutnya dari abad ke abad. Hasil pemikiran ijtihad Imam Syafi’i sendiri, didiktekan (imla) kepada muridnya, Al-Buwaithi, yang menyusunnya lagi menjadi kitab Al-Umm (Induk). Dari Al-Umm inilah lahir kitab-kitab fiqh susunan para ulama mazhab Syafi’i, baik yang ringkas dan tipis, seperti Taqrib karya Abu Suja, maupun yang panjang lebar dan tebal-tebal seperti Nihayatul Muhtaj karya Ar-Ramli, atau Majmu Syarah Muhazzab karya An-Nawawi.

(16)

Bahasan hukum-hukum dalam kitab kuning, bersumber dari hasil ijtihad para ulama mazhab (disebut mujtahid shagir dan ulama pendiri mazhab yang merupakan mujtahid kabir, atau mujtahid mutlaq), yang menggali langsung dari al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw. Yang mereka gali dan dijadikan bahan ijtihad, adalah hal-hal yang bersifat temporer, aktual, namun belum terdapat nash yang jelas di dalam Alquran dan Hadis. Untuk hal-hal yang sudah dijelaskan di dalam Alquran dan Hadis, tidak lagi dijadikan bahan ijtihad.

Untuk melihat posisi dan sejauhmana makna penting kitab kuning di kalangan NU, setidaknya ada beberapa abstraksi yang perlu dicermati. Pertama, cara pandang masyarakat NU terhadap pesantren. Pesantren jamaknya dipandang sebagai sebuah ‘subkultur’ yang mengembangkan pola kehidupan yang tidak seperti biasa atau katakanlah unik. Di samping faktor kepemimpinan kiai-ulama, kitab kuning adalah faktor penting yang menjadi karakteristik subkultur itu.

Kitab kuning seakan menjadi kitab pusaka yang mandraguna. Kitab yang terus ‘diwariskan’ turun temurun dari generasi ke generasi, sebagai sumber bacaan utama bagi masyarakat pesantren yang cukup luas. Dengan begitu, ini merupakan bagian dari sebuah proses berlangsungnya pembentukan dan pemeliharaan subkultur yang unik tersebut.

Kedua, kitab kuning juga difungsikan oleh kalangan pesantren sebagai ‘referensi’ nilai universal dalam menyikapi segala tantangan kehidupan. Karena itu, bagaimanapun perubahan dalam tata kehidupan, kitab kuning harus tetap terjaga. Kitab kuning dipahami sebagai mata rantai keilmuan Islam yang dapat bersambung hingga pemahaman keilmuan Islam masa tabiin dan sahabat.

Makanya, memutuskan mata rantai kitab kuning, sama artinya membuang sebagian sejarah intelektual umat. Kita mungkin sering mendengar sebuah hadis yang disabdakan oleh Rasulullah saw. “al-ulamâ warosatul anbiyâ”, ulama adalah pewaris para Nabi. “Apapun masalahnya, jawabnya adalah kitab kuning.” Itulah ungkapan mudah

(17)

untuk menggambarkan betapa luasnya khazanah dalam kitab kuning seperti dipahami kalangan pesantren, sehingga semua masalah dapat terselesaikan olehnya.

Ketiga, segi dinamis yang diperlihatkan kitab kuning. Ternyata segi dinamisnya adalah transfer pembentukan tradisi keilmuan fikih yang didukung penguasaan ilmu-ilmu instrumental, termasuk ilmu-ilmu humanistik (adab). Pesantren NU yang akrab dengan khazanah klasik kitab kuning inilah yang membedakan dengan lembaga pendidikan lain yang lebih cenderung pada adopsi terhadap keilmuan Barat.

Dalam penggalian hukum dalam kitab-kitab kuning yang dianggap mu’tabarah itu tidak asal-asalan, tapi NU punya standar istinbat.

Pertama, metode qauli. Yaitu penggalian hukum berdasarkan pendapat ulama fikih yang sudah tertera dalam kitab-kitab mu’tabarah. Apapun pertanyaan yang muncul tinggal dicarikan jawabannya saja. Kalau tidak ada dalam kitab yang satu, buka kitab-kitab yang lain, sampai ketemu. Jika telah ditemukan, maka itulah jawabannya. Jadi, pada dasarnya tidak sampai menggali hukum, tapi hanya “searching pendapat” saja, lalu disampaikan. Dengan metode ini maka hukum sudah langsung bisa diketahui tanpa perlu mengotak-atik nash. Tinggal mencomot pendapat yang sudah jadi saja.

Meski begitu, ada ketentuan baku dalam pemilihan pendapat (qaul) siapa yang akan dijadikan dasar hukum. Jika jawaban atas masalah telah ditemukan dalam kitab rujukan, maka ditelusuri lagi, apakah semua ulama sepakat (satu qaul) atau ada pendapat lain (beberapa qaul). Kalau tidak ada beda pendapat, berarti jawaban kasus itu telah jelas. Tinggal menetapkan hukum sesuai yang telah tertera dalam kitab-kitab tersebut. Bila dalam satu kasus terdapat beberapa pendapat, maka pendapat-pendapat itu harus dikompromikan (taqrir jama’i). Jika alot, maka diambil qaul yang paling kuat (arjah). Bila setelah diteliti, ternyata tidak ada yang paling kuat maka ditetapkan adanya dua alternatif jawaban (fihi qaulani atau aqwal).11

(18)

Ini bisa dilihat dalam keputusan bahtsul masail NU, pada muktamar I (21-23 September 1926), tentang boleh atau tidaknya harta dari zakat digunakan untuk pendirian masjid, madrasah, atau pondok pesantren, yang dianggap bisa disamakan dengan sabilillah. Jawabnya adalah tidak boleh. Karena yang dimaksud sabilillah adalah mereka yang berperang untuk membela agama Allah. Jawaban ini bersumber dari kitab Rahmatul Ummah. Di sana dikatakan dengan redaksi yang jelas, “Para ulama sepakat atas tidak bolehnya mengeluarkan harta zakat untuk mendirikan masjid atau mengafani mayat.”12

Kedua, metode ilhaqiy. Ini mirip dengan metode qiyas, menyamakan hukum perkara yang belum disebutkan dalam teks (al-Quran dan hadis) dengan perkara yang sudah dijelaskan dalam teks. Bedanya, dalam ilhaqiy, yang dijadikan sandaran adalah hukum yang sudah termaktub dalam kitab-kitab mu’tabarah. Jadi, bila suatu masalah tidak ditemukan redaksinya dalam kitab-kitab kuning yang dianggap sudah mu’tabarah itu, maka jalan keluarnya adalah ilhaqu masa’il binadhairiha, menyamakan hukum suatu kasus yang belum dijawab oleh kitab dengan kasus serupa yang telah dijawab oleh kitab.

Dalam penggunaan metode ini ada prosedur ilhaq yang harus dipenuhi: mulhaq bih (perkara yang belum ada ketetapan hukumnya), mulhaq alaih (perkara yang sudah ada kepastian hukumnya), dan wajh al-ilhaq (faktor keserupaan antara mulhaq bih dan mulhaq alaih). Semua itu ditentukan oleh para mulhiq (pelaku ilhaq) yang sudah ahli.13

Contohnya adalah hukum jual beli petasan untuk merayakan hari raya atau acara pengantin. Keputusan bahtsul masail pada Muktamar II (9-11 Oktober 1927) menyatakan, hukum jual beli tersebut adalah sah. Karena, ada maksud baik yaitu membuat suasana ramai dan perasaan gembira dengan adanya suara petasan.14

Pendapat ini didasarkan pada kitab I’anah al-Thalibin juz III/121-122. “Adapun membelanjakan harta untuk bersedekah, aspek-aspek kebaikan, makanan, pakaian, dan hadiah, maka tidak termasuk tindakan yang

(19)

sia-sia. Menurut pendapat yang terkuat, mengapa diperbolehkan?, karena didalamnya mengandung tujuan besar, yaitu mendapatkan pahala atau bersenang-senang. Karena itu dikatakan, dalam hal kebaikan tidak ada yang dinamakan israf dan tidak ada kebaikan dalam israf.”

Pada kitab Al-Bajuri (h. 652-654) diterangkan, “Menjual sesuatu yang dapat dilihat (dihadirkan) itu diperbolehkan asal memenuhi persyaratan: barang itu suci, dapat dimanfaatkan, dapat diserahkan dan dimiliki oleh pembeli.”

Dari rujukan di atas, tak ada yang mengatakan secara eksplisit hukum jual beli petasan, yang ada hanya uraian singkat tentang diperbolehkannya membelanjakan harta untuk kebaikan dan kesenangan. Kemudian soal keabsahannya merujuk pada keabsahan jual beli benda-benda yang dapat dihadirkan, suci, dan bermanfaat. Jadi wajh al-ilhaq-nya adalah sama-sama benda suci dan bermanfaat.

Menurut Kiai Ma’ruf, dua metode ini pada dasarnya belum beranjak dari nalar copy-paste dari teks (qauli). Kedua metode ini masih terbilang tekstual. Karena itu, ada masalah besar yang dihadapi para ulama NU kala itu, banyak permasalahan yang tidak ada jawabannya, atau disebut mauquf. Ini tentu memprihatinkan, mengingat problem yang muncul adalah masalah kontemporer yang dihadapi masyarakat sekarang. Di sinilah letak kelemahan kitab-kitab mu’tabarah itu, ternyata tidak semua masalah itu sudah termaktub di sana. Ini wajar, sebab kitab-kitab itu ditulis pada ratusan tahun yang lalu.

Terjadinya keputusan mauquf atas beberapa masalah ini memang disebabkan oleh beberapa hal. Antara lain, pertama, kitab-kitang kuning yang dianggap mu’tabarah itu sudah tidak mampu menjangkau persoalan yang timbul belakangan. Banyak sekali masalah kekinian yang belum disinggung oleh kitab-kitab tersebut. Kedua, para kiai NU belum berani memutuskan hukum suatu masalah keluar dari rujukan kitab-kitab mu’tabarah. Apalagi, menginterpretasikan langsung dari al-Qur’an atau hadis.

(20)

Ketiga, para kiai NU belum berani bermadzhab kepada imam madzhab empat secara manhaji (metodologi). Keempat, dalam praktik istinbat hukum, para kiai masih terpaku pada pendapat ulama-ulama madzab syafii saja, seperti al-Nawawi dan al-Rafii. Padahal, NU memberikan keleluasaan untuk mengikuti empat madzhab. Karena itulah mahtsul masail di NU, terutama pada tahun 1980-an, mengalami banyak kebuntuan. Para kiai NU terkesan gagap dalam menghadapi masalah modernitas, dan Lajnah Bahtsul Masail kurang memadai dalam menjawab tantangan zaman.

Kiai Ma’ruf Amin menamai fenomena ini dengan sebutan bermadzhab secara tekstual. Karena mengikuti apa adanya yang dikatakan oleh imam madzhab atau murid-muridnya. Kalau begini adanya maka hukum Islam menjadi statis dan sangat normatif. Akibatnya, banyak masalah yang menemui jalan buntu (di-mauquf-kan). Ketika masalah dihukumi mauquf, maka yang bingung adalah masyarakat. Merekalah yang sehari-hari berhadapan dengan masalah itu. Mereka butuh penjelasan keputusan hukum yang cepat, realistis, dan tetap tidak menyimpang dari koridor ketentuan agama Islam.

Karena itu, tidak bisa ditawar lagi, dibutuhkan langkah terobosan atas kemandegan yang selama ini dialami para kiai dalam istinbat hukum. Maka, perlu cara alternatif dalam penetapan hukum di NU. Bukan berarti saatnya meninggalkan kitab-kitab kuning di pesantren, tapi mencari metode baru yang kontekstual dan tetap menjadikan kitab-kitab mu’tabarah sebagai pijakan.

C. Periode Pembaruan: Perpaduan Qauli dan Manhaji

Pada era 1980-an, forum-forum bahtsul masail NU sering kali menemukan kebuntuhan, masalah yang mengemuka tak ditemukan qaulnya dalam kitab-kitab. Karena itu, masalah-masalah pun terpaksa di-mauquf-kan. Mengapa? Metode qauli nampaknya kurang efektif menjawab tantangan zaman. Saatnya pembenahan dan penyegaran

(21)

metode istinbat dalam lajnah bahtsul masail. Usulan pembaruan metode ini lamat-lamat didengungkan oleh beberapa kalangan di NU. Mereka umumnya menganggap penting peninjauan ulang metode bahtsul masail yang selama ini berjalan.

Metode qauli saja dianggap tidak cukup untuk membahas permasalahan kekinian yang membludak. Perlu metode baru yang tidak kaku, lebih applicable, dan kontekstual dalam pemahaman teks. Salah satu tokoh yang perihatin dengan kondisi bahtsul masail NU yang sedang mandeg ini adalah kiai Makruf Amin, yang waktu itu menjabat sebagai Katib Aam PBNU. Karena itu, pada Musyawarah Nasional Alim Ulama (Munas) NU di Bandar Lampung, tahun 1992, ia begitu bersemangat untuk merumuskan sistem baru dalam pengambilan keputusan hukum dalam bahtsul masail, yaitu metode manhaji.

“Mulai 1992 para kiai tidak tekstual atau qaulan saja, tapi juga tekstual atau manhajan,” kata Kiai Ma’ruf Amin.15 Masalahnya, jika persoalan

hukum yang di-bahtsul masa’il-kan sangat krusial dan harus diputus waktu itu juga, sementara para kiai yang berkumpul dari seluruh Indonesia berkata, “Kami tidak berani bersuara karena qaul-nya tidak ada,” lalu kemana lagi umat akan mengadu? Maka, penerapa metode manhaji dari empat madzhab inilah yang dijadikan jalan keluar untuk menjawab persoalan kontemporer.

Kalau ditelaah, istilah metode manhaji ini tidak langsung ujug-ujug muncul di Munas Lampung. Tapi ada proses pergulatan yang melatarbelakangi. Bermula pada tahun 1988, atas restu Rais Syuriah NU wilayah Jawa Tengah KH. MA. Sahal Mahfudh dan Rais Syuriah NU wilayah Jawa Timur KH. Imran Hamzah, halaqah yang bersifat nasional digelar di pondok pesantren Watucongol Muntilan Magelang, Jawa Tengah. Tema yang diangkat adalah Telaah Kitab Kuning secara Kontekstual.16

Pertemuan yang digelar dari tanggal 15-17 Desember ini ternyata mendapat sambutan yang luar biasa, baik dari kiai-kiai sepuh maupun

(22)

anak-anak muda NU yang berbasis di kampus. Di penghujung acara, halaqah ini merumuskan lima rekomendasi.

Pertama, Memahami teks kitab klasik harus disertai dengan analisis terhadap konteks sosial historisnya. Kedua, mengembangkan kemampuan observasi dan analisis terhadap teks kitab kuning. Ketiga, memperbanyak studi banding (muqabalah) dengan kitab-kitab lain, baik dalam ligkup madzhab Syafii maupun madzhab lainnya. Keempat, meningkatkan intensitas diskusi dengan para intelektuual dan pakar, jika masalah yang dikaji berkaitan dengan fenomena sosial di luar kitab kuning. Terakhir, mampu menghadapkan kajian teks kitab kuning dengan wacana aktual dengan menggunakan bahasa yang komunikatif.17

Rekomendasi ini terus didengungkan di berbagai forum, terutama di halqah-halaqah internal pesantren. Dengan tujuan agar gagasan ini juga bisa dimengerti dan dipahami oleh kalangan pesantren. Pertengahan bulan Oktober 1989, menjelang Muktamar XXVIII, forum serupa digelar. Halaqah kali ini digelar di pondok pesantren al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, dengan tema yang lebih besar, “Masa Depan NU”. Halaqah ini melakukan telaah kembali tentang makna “bermadzhab” yang selama ini berkembang di NU. Kesimpulan saat itu, bermadzhab itu tidak semata-mata qauli, mengikuti pendapat imam. Tapi bermadzhab juga bisa secara manhaji, mengikuti metodologinya.18

Muktamar XXVII usai. Sayang, tak ada perubahan mendasar yang dihasilkan pertemuan kiai-kiai NU lima tahunan itu, terutama terkait metode istinbat bahtsul masail. Untuk kembali mendengungkan metode manhaji, halaqah pengkajian metode bahtsul masail kembali digelar. Kali ini dilaksanakan di pondok pesantren Manbaul Maarif Jombang. Pertemuan kali ini menghasilkan gagasan penetapan hukum dalam bahtsul masail yang lebih responsif.19

Pertama, memahami dan mengamalkan ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis dengan menggunakan sistem bermadzhab adalah cara yang terbaik. Kedua, bermadzhab itu ada dua model,

(23)

bermadzhab secara qauli dan manhaji. Ketiga, bagi orang awam pilihannya adalah bermadzhab secara qauli. Sedang bagi individu yang memiliki perangkat keilmuan tapi belum mencapai derajat mujtahid muthlaq mustaqil, mujtahid yang sepenuhnya mandiri, maka bermanhaj dilakukan secara manhaji.

Keempat, bermadzhab manhaji dilakukan dengan cara istinbat jama’i, penggalian dan penetapan hukum secara kolektif. Ini bisa dilakukan bila ditemukan ayat aqwal (beberapa pendapat) dari madzhab empat oleh para ahlinya. Adapun terhadap hal-hal yang ditemukan aqwalnya, namun masih berbeda (mukhtalaf fiha), maka dilakukan taqrir jama’i, penetapan secara kolektif. Kelima, bermdzhab baik manhaji maupun qauli dilakukan dalam ruang lingkup madzhab empat.

Hasil dari rangkaian halaqah yang digelar di pesantren-pesantren itulah yang kemudian diusung di Munas Alim Ulama NU di Bandar Lampung, 1992. Gagasan dan rekomendasi yang ditelorkan di halaqah itu dibahas pada forum Munas Lampung. Akhirnya usaha untuk memecah kebekuan metodologi bahtsul masail di NU berbuah manis. Ini tak bisa dilepaskan dari peran kiai Ma’ruf Amin, yang saat itu bagian dari kelompok “NU tua” dan strtuktural, yang begitu bersemangat untuk menggolkan metode ini.

“Ini adalah bagian dari dinamisasi pemikiran di NU,” kata kiai Ma’ruf. NU itu sebenarnya sangat akomodatif dan fleksibel dengan perubahan demi kemajuan. “Ini adalah buktinya,” imbuhnya.20 Sikap NU ini bisa

dilihat dari hasil rumusan keputusan Munas yang dibidani oleh kiai Ma’ruf Amin, terkait dengan alur prosedur penetapan hukum di bahtsul masail NU.21

1. Dalam kasus ketika jawaban cukup dengan ibarat kitab dan di sana terdapat hanya satu qaul/wajah, maka dipakailah qaul/wajah sebagaimana diterangkan dalam ibarat mereka.

(24)

terdapat lebih dari satu qaul/wajah, maka dilakukan taqrir jama’i untuk memilih satu qaul/wajah.

3. Dalam kasus tidak ada satu qaul/wajah sama sekali yang memberikan penyelesaian, maka dilakukan prosedur ilhaqul-masail bi nazha’iriha secara jama’i oleh para ahlinya.

4. Dalam kasus tidak ada satu qaul/wajah sama sekali dan tidak mungkin dilakukan ilhaq, maka bias dilakukan istinbat jama’i dengan prosedur bermazhab secara manhaji oleh para ahlinya.

Munas di Lampung saat itu juga menghasilkan terobosan gagasan kerangka analisis masalah, terutama dalam memecahkan masalah sosisal. Pertama, analisa masalah dan dampaknya. Kajian ini dimulai dari pembahasan sebab dan mengapa suatu kasus bisa terjadi. Setelah itu, baru dianalisa dampaknya, baik positif maupun negatif. Dalam menganalisa suatu masalah dan dampak disyaratkan adanya tinjauan dari berbagai factor, mulai dari faktor ekonomi, faktor budaya, foktor politik, faktor sosial dan lainnya.

Kedua, analisa hukum. Usai mempertimbangankan latar belakang dan dampak, keputusan bahtsul masail juga harus memperhatikan pertimbangan dari sudut pandang Islam dan hukum posistif. Jika dirinci, setidaknya analisa hukum itu meliputi Status hukum (ahkam al-khamsah), dasar dari ajaran Ahlussunah wal jamaah, dan hukum positif.

Ketiga, analisa tindakan. Analisa ini meliputi peran dan pengawasan. Apa yang harus dilakukan sebagai konsekuensi dari fatwa diatas. Lalu, siapa saja yang akan melakukan, bagaimana, kapan, dan dimana hal itu hendak dilakukan? Serta, bagaimana mekanisme pemantauan agar semua berjalan sesuai dengan rencana? Langkah-langkah yang bisa ditempuh dalam beberapa analisa tindakan.

(a) Jalur politik. Berusaha pada jalur kewenangan negara dengan sasaran mempengaruhi lebijaksanaan pemerintah. (b) Jalur budaya. Berusaha membangkitkan pengertian dan kesadaran masyarakat melalui

(25)

berbagai media massa dan forum seperti pengajian dan lain-lain). (c) Jalur ekonomi. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat). (d) Jalur sosial lainnya. Upaya meningkatkan kesehatan masyarakat, lingkungan dan seterusnya).

Poin terobosan dan terbaru dari prosedur penetapan hukum adalah penetapan metode manhaji, jika metode qauli sudah tak lagi berkutik. Dengan menggunakan metode ini, secara otomatis kerangka analisis masalah juga harus dilakukan. Penerapan metode ini, menurut kiai Ma’ruf, harus mengikuti secara hirarkis metode istinbat yang diterapkan oleh empat imam madzhab. Berarti harus mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh imam madzhab.22

Pertama, Madzhab Hanafi. Ada tujuh tahapan yang diterapkan madzhab hanafi dalam penetapan hukum. Secara berurutan mulai dari al-Qur’an, al-hadis al-shahih, aqwâl al-shahâbah, qiyâs, al-istihsan, ijmâ’ dan al-‘urf.

Kedua, Madzhab Maliki. Hirarki penetapan hukum yang digunakan madzhab ini yaitu: al-Quran, al-hadis al-Shahih, Ijma Sahabat, Amal Ahl Madinah, fatwa sahabat, qiyas, al-istihsan, al-mashalih al-mursalah, dan al-zara’i.

Ketiga, Madzhab Syafii. Penetapan hukumnya melalui empat urutan metodologi: al-Quran, al-hadi al-shahih, Ijma, aqwal al-shahabah, qiyas.

Keempat, Madzhab Hambali. Metode penetapan hukumnya berdasarkan hirarki sebagai berikut: nas, ijma, qiyas, mashalih al-mursalah, al-istihsan, al-zara’i, fatwa shahabat, dan al-istishab.

Munas di lampung, bagi kiai Ma’ruf, adalah masa tajdid di NU. Dulu yang hanya menggunakan qauli saja, kini menggunakan qauli wa manhaji, dulu tekstual kini kontekstual. Bentuk kemajuan dalam penetapan hukum di bahtsul masail ini langsung terlihat di forum Munas tersebut. Saat itu, tak ada lagi kata mauquf. Pada Munas Lampung 1992, bahtsul masail telah membahas hukum bunga bank. Dalam penetapan hukum

(26)

bunga bank, para peserta musyawarah punya pandangan yang berbeda-beda. Jika diklasifikasi, ada tiga pendapat.

1. Pendapat yang menyamakan antara bunga bank dengan riba secara mutlak, jadi hukumnya haram.

2. Pendapat yang tidak menyamakan antara bunga bank dengan riba, berarti hukumnya boleh.

3. Pendapat yang mengatakan hukumnya syubhat, tidak indentik dengan haram.

Pendapat pertama berpijak pada beberapa argumentasi, antara lain: a. Bunga itu dengan segala jenisnya sama dengan riba sehingga

hukumnya haram.

b. Bunga itu sama dengan riba dan hukumnya haram. Akan tetapi boleh dipungut sementara sebelum beroperasinya system perbankan yang Islami (tanpa bunga).

c. Bunga itu sama dengan riba, hukunmya haram. Akan tetapi boleh dipungut sebab adanya kebutuhan yang kuat (hajah rajihah).

Sedang pendapat kedua berpegangan pada beberapa kesimpulan, antara lain:

a. Bunga konsumtif sama dengan riba, hukumnya haram, dan bunga produktif tidak sama dengan riba, hukumnya halal.

b. Bunga yang diperoleh dari bank tabungan giro tidak sama dengan riba, hukumnya halal.

c. Bunga yang diterima dari deposito yang dipertaruhkan ke bank hukumnya boleh.

d. Bunga yang tidak haram, kalau bank itu menetapkan tariff bunganya terlebih dahulu secara umum.

(27)

Sebelum Munas di Lampung, pembahasan hukum bunga bank ini sudah berkali-kali digelar, tapi belum sampai pada titik klimak kesimpulan. Antara lain, Muktamar II tahun 1927 yang memutuskan haramnya bunga gadai; Muktamar XIV tahun 1937 mengenai keharaman bunga bank; Muktamar XIV tahun 1939 memutuskan bahwa bunga koperasi haram; Konbes Syuriah NU tahun 1957 yang menegaskan keharaman bunga bank; Muktamar XXV tahun 1971 mengharamkan bunga deposito; Munas NU tahun 1987 menetapkan bahwa uang administrasi bagi peminjam uang koperasi itu sama dengan bunga, jadi hukumnya haram.

Jadi, pembahasan hukum bunga dalam transaksi keuangan baru mencapai klimak ketika bahtsul masail di Munas Lampung. Pada aras ini, posisi kiai Ma’ruf berada pada kelompok yang mengharamkan bunga bank dengan perkecualian ketika dalam keadaan dharurat, misalnya ketika seseorang berada pada suatu daerah yang banknya belum menggunakan sistem tanpa bunga.

Bagi kiai Ma’ruf, bunga bank itu sama persis dengan praktik riba.23

Karena itu, dalil-dalil pengharamannya pun sudah jelas termaktub dalam nas, baik al-Qur’an maupun hadis. Dalil pertama, bersumber dari al-Qur’an. Firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 130:

ًﺮَﻀُْﳏ ٍْﲑَﺧ ْﻦِﻣ ْﺖَﻠِﻤَﻋ ﺎَﻣ ٍﺲْﻔَـﻧ ﱡﻞُﻛ ُﺪَِﲡ َمْﻮَـﻳ

ْﻦِﻣ ْﺖَﻠِﻤَﻋ ﺎَﻣَو ا

ُﻪﱠﻠﻟاَو ُﻪَﺴْﻔَـﻧ ُﻪﱠﻠﻟا ُﻢُﻛُرﱢﺬَُﳛَو اًﺪﻴِﻌَﺑ اًﺪَﻣَأ ُﻪَﻨْـﻴَـﺑَو ﺎَﻬَـﻨْـﻴَـﺑ ﱠنَأ ْﻮَﻟ ﱡدَﻮَـﺗ ٍءﻮُﺳ

ِدﺎَﺒِﻌْﻟﺎِﺑ ٌفوُءَر

.

ْﻢُﺘْﻨُﻛ ْنِإ ﺎَﺑﱢﺮﻟا َﻦِﻣ َﻲِﻘَﺑ ﺎَﻣ اوُرَذَو َﻪﱠﻠﻟا اﻮُﻘﱠـﺗا اﻮُﻨَﻣآ َﻦﻳِﺬﱠﻟا ﺎَﻬﱡـﻳَأ ﺎَﻳ

َﲔِﻨِﻣْﺆُﻣ

.

ْﻢُﺘْﺒُـﺗ ْنِإَو ِﻪِﻟﻮُﺳَرَو ِﻪﱠﻠﻟا َﻦِﻣ ٍبْﺮَِﲝ اﻮُﻧَذْﺄَﻓ اﻮُﻠَﻌْﻔَـﺗ َْﱂ ْنِﺈَﻓ

َﺗ ﻻ ْﻢُﻜِﻟاَﻮْﻣَأ ُسوُءُر ْﻢُﻜَﻠَـﻓ

َنﻮُﻤَﻠْﻈُﺗ ﻻَو َنﻮُﻤِﻠْﻈ

.

لﺎﻗ ﻪﻨﻋ ﷲا ﻲﺿر ﺮﺑﺎﺟ ﻦﻋ

:

ﻪﻴﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﷲا لﻮﺳر ﻦﻌﻟ

ءاﻮﺳ ﻢﻫ لﺎﻗو ﻪﻳﺪﻫﺎﺷو ﻪﺒﺗﺎﻛو ﻪﻠﻛﺆﻣو ﺎﺑﺮﻟا ﻞﻛأ ﻢﻠﺳو

)

ﻩاور

ﻢﻠﺴﻣ

(

تارﻮﻈﶈا ﺢﻴﺒﺗ ةروﺮﻀﻟا

ﺔﺻﺎﺧ وأ ﺖﻧﺎﻛ ﺔﻣﺎﻋ ةروﺮﻀﻟا ﺔﻟﺰﻨﻣ لﺰﻨﺗ ﺔﺟﺎﳊا

“Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh; dan Allah memperingatkan kamu terhadap siksa-Nya. dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.” (QS. Ali Imran: 130)

(28)

444_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.III 2013

Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 278-279:

ًﺮَﻀُْﳏ ٍْﲑَﺧ ْﻦِﻣ ْﺖَﻠِﻤَﻋ ﺎَﻣ ٍﺲْﻔَـﻧ ﱡﻞُﻛ ُﺪَِﲡ َمْﻮَـﻳ

ْﻦِﻣ ْﺖَﻠِﻤَﻋ ﺎَﻣَو ا

ُﻪﱠﻠﻟاَو ُﻪَﺴْﻔَـﻧ ُﻪﱠﻠﻟا ُﻢُﻛُرﱢﺬَُﳛَو اًﺪﻴِﻌَﺑ اًﺪَﻣَأ ُﻪَﻨْـﻴَـﺑَو ﺎَﻬَـﻨْـﻴَـﺑ ﱠنَأ ْﻮَﻟ ﱡدَﻮَـﺗ ٍءﻮُﺳ

ِدﺎَﺒِﻌْﻟﺎِﺑ ٌفوُءَر

.

ْﻢُﺘْﻨُﻛ ْنِإ ﺎَﺑﱢﺮﻟا َﻦِﻣ َﻲِﻘَﺑ ﺎَﻣ اوُرَذَو َﻪﱠﻠﻟا اﻮُﻘﱠـﺗا اﻮُﻨَﻣآ َﻦﻳِﺬﱠﻟا ﺎَﻬﱡـﻳَأ ﺎَﻳ

َﲔِﻨِﻣْﺆُﻣ

.

ْﻢُﺘْﺒُـﺗ ْنِإَو ِﻪِﻟﻮُﺳَرَو ِﻪﱠﻠﻟا َﻦِﻣ ٍبْﺮَِﲝ اﻮُﻧَذْﺄَﻓ اﻮُﻠَﻌْﻔَـﺗ َْﱂ ْنِﺈَﻓ

َﺗ ﻻ ْﻢُﻜِﻟاَﻮْﻣَأ ُسوُءُر ْﻢُﻜَﻠَـﻓ

َنﻮُﻤَﻠْﻈُﺗ ﻻَو َنﻮُﻤِﻠْﻈ

.

لﺎﻗ ﻪﻨﻋ ﷲا ﻲﺿر ﺮﺑﺎﺟ ﻦﻋ

:

ﻪﻴﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﷲا لﻮﺳر ﻦﻌﻟ

ءاﻮﺳ ﻢﻫ لﺎﻗو ﻪﻳﺪﻫﺎﺷو ﻪﺒﺗﺎﻛو ﻪﻠﻛﺆﻣو ﺎﺑﺮﻟا ﻞﻛأ ﻢﻠﺳو

)

ﻩاور

ﻢﻠﺴﻣ

(

تارﻮﻈﶈا ﺢﻴﺒﺗ ةروﺮﻀﻟا

ﺔﺻﺎﺧ وأ ﺖﻧﺎﻛ ﺔﻣﺎﻋ ةروﺮﻀﻟا ﺔﻟﺰﻨﻣ لﺰﻨﺗ ﺔﺟﺎﳊا

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS. Al-Baqarah: 278-279).

Dalil kedua, hadis Nabi.

ًﺮَﻀُْﳏ ٍْﲑَﺧ ْﻦِﻣ ْﺖَﻠِﻤَﻋ ﺎَﻣ ٍﺲْﻔَـﻧ ﱡﻞُﻛ ُﺪَِﲡ َمْﻮَـﻳ

ْﻦِﻣ ْﺖَﻠِﻤَﻋ ﺎَﻣَو ا

ُﻪﱠﻠﻟاَو ُﻪَﺴْﻔَـﻧ ُﻪﱠﻠﻟا ُﻢُﻛُرﱢﺬَُﳛَو اًﺪﻴِﻌَﺑ اًﺪَﻣَأ ُﻪَﻨْـﻴَـﺑَو ﺎَﻬَـﻨْـﻴَـﺑ ﱠنَأ ْﻮَﻟ ﱡدَﻮَـﺗ ٍءﻮُﺳ

ِدﺎَﺒِﻌْﻟﺎِﺑ ٌفوُءَر

.

ْﻢُﺘْﻨُﻛ ْنِإ ﺎَﺑﱢﺮﻟا َﻦِﻣ َﻲِﻘَﺑ ﺎَﻣ اوُرَذَو َﻪﱠﻠﻟا اﻮُﻘﱠـﺗا اﻮُﻨَﻣآ َﻦﻳِﺬﱠﻟا ﺎَﻬﱡـﻳَأ ﺎَﻳ

َﲔِﻨِﻣْﺆُﻣ

.

ْﻢُﺘْﺒُـﺗ ْنِإَو ِﻪِﻟﻮُﺳَرَو ِﻪﱠﻠﻟا َﻦِﻣ ٍبْﺮَِﲝ اﻮُﻧَذْﺄَﻓ اﻮُﻠَﻌْﻔَـﺗ َْﱂ ْنِﺈَﻓ

َﺗ ﻻ ْﻢُﻜِﻟاَﻮْﻣَأ ُسوُءُر ْﻢُﻜَﻠَـﻓ

َنﻮُﻤَﻠْﻈُﺗ ﻻَو َنﻮُﻤِﻠْﻈ

.

لﺎﻗ ﻪﻨﻋ ﷲا ﻲﺿر ﺮﺑﺎﺟ ﻦﻋ

:

ﻪﻴﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﷲا لﻮﺳر ﻦﻌﻟ

ءاﻮﺳ ﻢﻫ لﺎﻗو ﻪﻳﺪﻫﺎﺷو ﻪﺒﺗﺎﻛو ﻪﻠﻛﺆﻣو ﺎﺑﺮﻟا ﻞﻛأ ﻢﻠﺳو

)

ﻩاور

ﻢﻠﺴﻣ

(

تارﻮﻈﶈا ﺢﻴﺒﺗ ةروﺮﻀﻟا

ﺔﺻﺎﺧ وأ ﺖﻧﺎﻛ ﺔﻣﺎﻋ ةروﺮﻀﻟا ﺔﻟﺰﻨﻣ لﺰﻨﺗ ﺔﺟﺎﳊا

Dari Jabir RA. Dia berkata, “Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, pemberi makan dengan harta riba, penulis dan kedua saksinya, seraya menegaskan, ‘mereka semua sama’.” (HR. Muslim).24

Dalil ketiga, kaidah fikih. Dalil ini digunakan untuk melegitimasi pengecualian.

ًﺮَﻀُْﳏ ٍْﲑَﺧ ْﻦِﻣ ْﺖَﻠِﻤَﻋ ﺎَﻣ ٍﺲْﻔَـﻧ ﱡﻞُﻛ ُﺪَِﲡ َمْﻮَـﻳ

ْﻦِﻣ ْﺖَﻠِﻤَﻋ ﺎَﻣَو ا

ُﻪﱠﻠﻟاَو ُﻪَﺴْﻔَـﻧ ُﻪﱠﻠﻟا ُﻢُﻛُرﱢﺬَُﳛَو اًﺪﻴِﻌَﺑ اًﺪَﻣَأ ُﻪَﻨْـﻴَـﺑَو ﺎَﻬَـﻨْـﻴَـﺑ ﱠنَأ ْﻮَﻟ ﱡدَﻮَـﺗ ٍءﻮُﺳ

ِدﺎَﺒِﻌْﻟﺎِﺑ ٌفوُءَر

.

ْﻢُﺘْﻨُﻛ ْنِإ ﺎَﺑﱢﺮﻟا َﻦِﻣ َﻲِﻘَﺑ ﺎَﻣ اوُرَذَو َﻪﱠﻠﻟا اﻮُﻘﱠـﺗا اﻮُﻨَﻣآ َﻦﻳِﺬﱠﻟا ﺎَﻬﱡـﻳَأ ﺎَﻳ

َﲔِﻨِﻣْﺆُﻣ

.

ْﻢُﺘْﺒُـﺗ ْنِإَو ِﻪِﻟﻮُﺳَرَو ِﻪﱠﻠﻟا َﻦِﻣ ٍبْﺮَِﲝ اﻮُﻧَذْﺄَﻓ اﻮُﻠَﻌْﻔَـﺗ َْﱂ ْنِﺈَﻓ

َﺗ ﻻ ْﻢُﻜِﻟاَﻮْﻣَأ ُسوُءُر ْﻢُﻜَﻠَـﻓ

َنﻮُﻤَﻠْﻈُﺗ ﻻَو َنﻮُﻤِﻠْﻈ

.

لﺎﻗ ﻪﻨﻋ ﷲا ﻲﺿر ﺮﺑﺎﺟ ﻦﻋ

:

ﻪﻴﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﷲا لﻮﺳر ﻦﻌﻟ

ءاﻮﺳ ﻢﻫ لﺎﻗو ﻪﻳﺪﻫﺎﺷو ﻪﺒﺗﺎﻛو ﻪﻠﻛﺆﻣو ﺎﺑﺮﻟا ﻞﻛأ ﻢﻠﺳو

)

ﻩاور

ﻢﻠﺴﻣ

(

تارﻮﻈﶈا ﺢﻴﺒﺗ ةروﺮﻀﻟا

ﺔﺻﺎﺧ وأ ﺖﻧﺎﻛ ﺔﻣﺎﻋ ةروﺮﻀﻟا ﺔﻟﺰﻨﻣ لﺰﻨﺗ ﺔﺟﺎﳊا

“Keadaan dharurat itu menyebabkan diperbolehkannya hal-hal yang dilarang.”25

(29)

Metode Istinbat Hukum di Lembaga Bahtsul Masail NU _445

ًﺮَﻀُْﳏ ٍْﲑَﺧ ْﻦِﻣ ْﺖَﻠِﻤَﻋ ﺎَﻣ ٍﺲْﻔَـﻧ ﱡﻞُﻛ ُﺪَِﲡ َمْﻮَـﻳ

ْﻦِﻣ ْﺖَﻠِﻤَﻋ ﺎَﻣَو ا

ُﻪﱠﻠﻟاَو ُﻪَﺴْﻔَـﻧ ُﻪﱠﻠﻟا ُﻢُﻛُرﱢﺬَُﳛَو اًﺪﻴِﻌَﺑ اًﺪَﻣَأ ُﻪَﻨْـﻴَـﺑَو ﺎَﻬَـﻨْـﻴَـﺑ ﱠنَأ ْﻮَﻟ ﱡدَﻮَـﺗ ٍءﻮُﺳ

ِدﺎَﺒِﻌْﻟﺎِﺑ ٌفوُءَر

.

ْﻢُﺘْﻨُﻛ ْنِإ ﺎَﺑﱢﺮﻟا َﻦِﻣ َﻲِﻘَﺑ ﺎَﻣ اوُرَذَو َﻪﱠﻠﻟا اﻮُﻘﱠـﺗا اﻮُﻨَﻣآ َﻦﻳِﺬﱠﻟا ﺎَﻬﱡـﻳَأ ﺎَﻳ

َﲔِﻨِﻣْﺆُﻣ

.

ْﻢُﺘْﺒُـﺗ ْنِإَو ِﻪِﻟﻮُﺳَرَو ِﻪﱠﻠﻟا َﻦِﻣ ٍبْﺮَِﲝ اﻮُﻧَذْﺄَﻓ اﻮُﻠَﻌْﻔَـﺗ َْﱂ ْنِﺈَﻓ

َﺗ ﻻ ْﻢُﻜِﻟاَﻮْﻣَأ ُسوُءُر ْﻢُﻜَﻠَـﻓ

َنﻮُﻤَﻠْﻈُﺗ ﻻَو َنﻮُﻤِﻠْﻈ

.

لﺎﻗ ﻪﻨﻋ ﷲا ﻲﺿر ﺮﺑﺎﺟ ﻦﻋ

:

ﻪﻴﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﷲا لﻮﺳر ﻦﻌﻟ

ءاﻮﺳ ﻢﻫ لﺎﻗو ﻪﻳﺪﻫﺎﺷو ﻪﺒﺗﺎﻛو ﻪﻠﻛﺆﻣو ﺎﺑﺮﻟا ﻞﻛأ ﻢﻠﺳو

)

ﻩاور

ﻢﻠﺴﻣ

(

تارﻮﻈﶈا ﺢﻴﺒﺗ ةروﺮﻀﻟا

ﺔﺻﺎﺧ وأ ﺖﻧﺎﻛ ﺔﻣﺎﻋ ةروﺮﻀﻟا ﺔﻟﺰﻨﻣ لﺰﻨﺗ ﺔﺟﺎﳊا

“Kebutuhan itu dapat menempati kedudukan dharurat, baik secara umum maupun khsusus.”26

Sedangkan argumentasi kelompok yang berpendapat, bunga bank adalah tidak sama dengan riba, yaitu berdasarkan ayat yang sama tapi interpretasi yang berbeda. Praktik riba memang dilarang dalam al-Qur’an, sebagaimana ayat yang dikutip di atas, surat Ali Imran ayat 130 dan al-Baqarah ayat 278 sampai 279. Masalahnya adalah apakah sama antara bunga dengan riba? Bagi kelompok ini, bunga bank itu tidak sama dengan riba.

Pertama, al-Thabari menyatakan, ayat 130 dalam surat al-Imran turun terkait dengan adanya praktik riba yang terjadi pada masa jahiliyah. Konteks riba pada zaman itu yaitu pelipatgandaan umur binatang yang dihutang. Bila hewan yang dihutang berumur satu tahun, lalu jatuh tempo dan tidak bisa membayarnya, maka pembayaran boleh ditangguhkan. Tapi, ketika jatuh tempo lagi, maka pembayarannya harus menggunakan binatang yang berumur dua tahun. Begitu seterusnya hingga lunas.27

Jadi yang dilarang adalah segala macam dan bentuk praktik riba seperti yang terjadi pada masa jahiliyah. Tidak semua “nilai tambah” dari pokok hutang yang kini dikenal dengan istilah “bunga”, secara otomatis dihukumi layaknya “riba”.

Kedua, riba yang diharamkan dalam surat al-Baqarah 278, menurut Muhammad Rasyid Ridho, adalah riba yang berlipat ganda seperti dalam surat Ali Imran ayat 130. Konteksnya disesuaikan dengan sebab dan kondisi yang melatari pada saat itu.

D. Periode Penjernihan: Tashfiyatul Fikrah Nahdliyah

Adalah sebuah konsekuensi, ketika kran keterbukaan dan dinamisasi dalam berfikir telah dibuka, maka arus pemikiran yang warna-warni pun mengalir ke NU. Peluit tajdid, yang ditiup para kiai pada Munas

(30)

NU di Lampung, 1992, ternyata mendapat sambutan yang luar biasa dari berbagai kalangan, termasuk anak muda NU, yang mengenyam dunia perguruan tinggi. Mereka memandang, NU tidak lagi jumud, tekstual, dan kaku, tapi dinamis dan kontekstual. Sejak itu, gagasan dan pemikiran anak-anak muda NU yang mayoritas berbasis di perguruan tinggi itu merasa direstui oleh bapaknya, kiai-kiai di pesantren tempat mereka ngaji atau jajaran pengurus NU.

Sejak dasawarsa 1980-an, disadari atau tidak, pemikiran kalangan muda NU telah memberikan warna berbeda dalam jagat pemikiran Islam kontemporer di tanah air. Berbagai gelagat pemikiran mereka telah menghiasai ragam pemikiran kontemporer, yang tidak hanya, mencengangkan para kiai pesantren sebagai bapak mereka, namun juga para pengamat asing yang selama ini menganggap NU sebagai organisasi kaum tradisional. Tesis Deliar Noor yang mengkategorikan NU sebagai kaum tradisionalis28 seolah patah, bahkan berbalik seratus

delapan puluh derajat.

Karena yang disinyalir Deliar Noor sebagai kaum modernis saat itu malah diambang degradasi, dan lambat laun pemikiran mereka tersalip oleh progresifitas anak muda NU yang mulai menjelajahi berbagai ruang-ruang di luar mainstream kepesantrenan. Perkembangan metode bahtsul masail NU dari qauli ke qauli wa manhaji juga tak bisa dilepaskan dari keterlibatan anak-anak muda ini. Mereka terlibat aktif dalam halaqah-halaqah ke-NU-an yang digelar pada era 1980-an akhir, yang mendiskusikan perlunya perubahan tradisi intelektual di NU, dari tektual ke kontekstual.

Gagasan pembaruan yang mereka usung ini direstui oleh kiai Ma’ruf Amin saat itu. Makanya, ketika Munas di Lampung, kiai Ma’ruf adalah kalangan “NU tua” yang gigih dalam memperjuangkan metode manhaji sebagai terobosan untuk memecah stagnasi dalam bahtsul masail NU. Namun, dalam perkembangannya, pasca Munas di Lampung, kiai Ma’ruf memandang bahwa lampu hijau metode manhaji dan kontekstualitas dalam pemahaman teks keagamaan, yang digagasnya di Lampung itu,

(31)

di salahgunakan oleh anak-anak Muda NU. “Mereka memahaminya bahwa kontekstual itu ya pemahaman Islam secara liberal, bebas sebebas-bebasnya,” katanya.29

Akibatnya, menurut pengamatan kiai Ma’ruf, pemikiran anak-anak Muda NU ini terlalu kontekstual sampai meninggalkan teks. Pemikiran mereka pun seringkali memancing resistensi dari beberapa kalangan kiai-kiai sepuh.

Misalnya, pembacaan teks dengan nalar kritis oleh anak Muda NU yang progresif-liberal dapat dijumpai dalam buku Kritik Nalar Fiqih NU30 yang ditulis kaum muda NU sebagai bukti kritik mereka terhadap

disiplin fikih dan tradisi berfikih NU, khususnya dalam forum bahtsul masa’il. Lebih dari itu, geliat kaum muda kritis dengan memosisikan ushul fiqh sebagai disiplin yang tidak bebas kritik. Di mata kaum hibrida NU ini, ushul fiqh dipandang sebagai biang problem yang mendasari produk-produk fikih yang tidak kreatif dan responsif terhadap masalah aktual yang dihadapi umat.

Satu lagi, contoh menarik dari konfrontasi NU muda dan NU tua ini bisa dilihat pada kasus penolakan para peserta Muktamar NU di Boyolali tahun 2004, terhadap hermeneutika dan kelompok Islam liberal. Penolakan itu dianggap, beberapa pengamat NU, sebagai cerminan kesenjangan berpikir antara anak muda dan kalangan kiai tua. Bagi anak muda NU, penolakan terhadap hermeneutika bukan dianggap sebagai sebuah wacana tandingan atau wacana alternatif, akan tetapi malah dibaca sebagai simbol “pengekangan kembali” kebebasan berfikir.

Sementara bagi kiai Ma’ruf dan juga sebagian besar peserta Muktamar, menganggap bahwa hermeneutika dan ide-ide yang disusung oleh anak muda NU yang progresif-liberal itu sebagai disiplin yang keluar dari rel-rel keagamaan yang dipakemkan selama ini. Bahkan, kiai Ma’ruf maknai gerakan anak Muda NU ini sebagai elemen yang mengancam pencabutan batas-batas cara berfikir ala NU dengan mengimpor teori-teori dari Barat. Ia berpendapat, ada sebagian pemikiran orang-orang NU yang sudah berani menabrak pagar fikrah nahdliyah NU.

(32)

Karena itu, agar pemikiran dan gerakan ini tidak kian kebablasan, kiai Ma’ruf membuat rumusan fikrah nahdliyah, paradigma berfikir ala NU. “Untuk membendung proses liberalisasi di NU, maka kita munculkan gagasan tashfiyatul fikrah al-nahdliyah (pemurnian cara berfikir ala NU),” tegasnya. Dengan gagasan ini, berarti NU balik lagi jadi tertutup dan normatif? Kiai Ma’ruf menepis, “Nu itu la konservatifiyyan wala librariyyan, wa lakin tatowwuriyyan wa manhajiyyan,” terangnya. NU itu tidak konservatif, tidak pula liberal. Tapi NU itu dinamis dan punya kerangka metode berfikir yang jelas.31

Gagasan kiai Ma’ruf ini ditanggapi positif oleh sebagian besar kiai NU dan menjadi agenda besar dalam Munas Alim Ulama NU di Surabaya tahun 2006. Waktu itu, ia dijuluki sebagai arsitek manhaj fikrah al-nahdliyah, metode berfikir ala NU. Fikrah Nahdliyah adalah kerangka berpikir yang didasarkan pada ajaran Ahlussunnah wal Jamaah yang dijadikan landasan berpikir NU (khiththah nahdliyah) untuk menentukan arah perjuangan dalam rangka islah al-ummah, perbaikan umat. Pada titik ini, kiai Ma’ruf ingin menempatkan NU sebagai manhaj al-fikr. Sebagai manhaj, NU punya tiga koridor berfikir.

Pertama, dalam bidang Aqidah/teologi, Nahdlatul Ulama mengikuti manhaj dan pemikiran Abu Hasan Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi.

Kedua dalam Bidang Fiqih/Hukum Islam, Nahdlatul Ulama bermazhab secara qauli dan manhaji kepada salah satu Madzahib Al-‘Arba’ah (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali).

Ketiga, Dalam bidang Tasawuf, Nahdlatul Ulama mengikuti Imam al-Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid al Ghazali.

Tiga aspek itu dalam aplikasinya mempunyai ciri-ciri yang dapat dijadikan petanda fikrah nahdliyah, atau dalam keputusan Munas tersebut disebut khashais fikrah nahdliyah.

1. Fikrah Tawassuthiyyah (pola pikir moderat), artinya NU senantiasa bersikap tawazun (seimbang ) dan i’tidal (moderat) dalam menyikapi

(33)

berbagai persoalan. NU tidak tafrith atau ifrath.

2. Fikrah Tasamuhiyah (pola pikir toleran), artinya NU dapat hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain walaupun aqidah, cara pikir, dan budayanya berbeda.

3. Fikrah Ishlahiyyah (pola pikir reformatif), artinya NU senantiasa mengupayakan perbaikan menuju ke arah yang lebih baik (al-ishlah ila ma huwa al-ashlah).

4. Fikrah Tathowwuriyah (pola pikir dinamis), artinya NU senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai persoalan. 5. Fikrah Manhajiyah (pola pikir metodologis), artinya NU senantiasa

menggunakan kerangka berpikir yang mengacu kepada manhaj yang telah ditetapkan oleh Nahdlatul Ulama.

Sebagai ketua tim perumus Munas di Surabaya, kiai Ma’ruf, juga merumuskan “al-kutub mu’tabarah” yang selalu dijadikan rujukan utama warga NU dalam bahtsul masail. Mengapa dirumuskan? Sebab, sejak bahtsul masail tahun 1984 di Situbondo, kriteria al-kutub al mu’tabarah dipermasalahkan. Tapi, hingga Muktamar ke-31 di Boyolali, tidak ada perkembangan pembahasan secara signifikan. Karena itu, kata kiai Ma’ruf, Munas Surabaya memandang perlu untuk membahas dan menetapkan kreteria al-Kutubu al-Mu’tabarah.32

Al-Kutub Al-Mu’tabarah adalah kitab-kitab dari al-madzhab al-arba’ah (Hanafi, Maliki, syafi’i dan Hambali) dan kitab-kitab lain yang memenuhi kriteria fikrah nahdliyah. Sedangkan ke-muktabar-an suatu kitab itu didasarkan atas: pertama, penulis (muallif)-nya yang antara lain memiliki sifat Sunni, Wara’, dan ‘Alim. Kedua, Isi kitab, baik pendapat(qaul)-nya sendiri maupun kutipan (manqulat). Jika pendapatnya sendiri tolok ukurnya adalah argumentasi dan manhaj yang digunakan. Namun, jika berupa kutipan maka tolok ukurnya adalah shihhatun naql (validitas kutipan). Ketiga, adanya pengakuan kitab tersebut dari komunitas mazhabnya. []

(34)

Daftar Pustaka

Asj’ari, Hasjim, Ihya Amal al-Fudala’, Muqaddimah Anggaran Dasar NU, Kendal: tp, 1969

Asy’ari, Hasyim, Qann Asasi Nahdatul Ulama, Kudus: Menara Kudus, 1973 Darwis, Ellya KH. ed., Gur Dur NU dan Masyarakat Sipil, Yogyakarta: LkiS, 1994

Azizy, Ahmad Qodri, Islam dan Permasalahan Sosial, Yogyakarta: LKIS, 2000, h. 50-54.

Bruinessen, Martin van, NU Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta: LkiS, 1994

Coulson, N.J., A history of Islamic Law, Edinburgh: Edinburgh University Press, 1964

al-Dawâlibî, Ma’rûf, al-Madkhal ilâ ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, Lebanon: Dâr al-Kitâb al-Jadîd, 1965

Feillard, Andree, NU vis a vis Negara, terj. Lesmana, Yogyakarta: LKIS, 1999 Greg Barton dan Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal: Persinggungan

Nahdatul Ulama dan Negara, Yogyakarta: LkiS, 1997

Imam AZ dan Nasikh, Liputan: Dari Halaqah Denanyar, Majalah Santri, No. 3, th. 1, 1990

Junaidal, Hamad bin Abdurrahman, Manâhij Bâhitsîn fī al Iqtishâd al-Islâmî, Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1406 H

Khalaf, Abdu al-Wahab, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, Kairo: Dâr al-Qalam, 1978

Madkur, Muhammad Salam, Manâhij Ijtihâd fî Islâm, Kuwait: al-Mathba’ah al-‘Ashriyah, 1973

Mahfudz, Sahal, Nuansa Fiqih Sosial, Yogyakarta: LkiS, 1994

(35)

NU, Keputusan Munas Alim Ulama Nahdhatul ulama, di Bandar Lampung, 16-20 Rajab 1412 H/21-25 Januari 1992 M.

Masyhuri, Aziz, Masalah Keagamaan NU, Surabaya: PP RMI dan Dinamika Press, tt.

Mubarok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000

Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1996

Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, diterjemahkan dari The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1980

Rahmat, Imdadun, ed. kritik Nalar Fikih NU, Jakarta: Lakpesdam, 2002

as-Syatibi, Abi Ishaq, Al-Muwafaqat fi Ushûl al-Syarî’ah, editor Abdullah Darras Beirut: Dâr al-Fikr, tt.

al-Sayyis, Muhammad ‘Alî, Târîkh al-Fiqh al-Islâmî, Pent. Dedi Junaidi, Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 1996

al-Suyûthî, Jalâluddîn ‘Abdurrahmân, Tadrîb al-Râwî, Beirut: Dâr al-Fikr, 1972 As Syafi’i, Muhammad Idris, Al Risalah, editor Ahmad Muhamamd Syakir,

Beirut: Dar al-Fikr, 1939 M/1358 H

Sya’labî, Ta’lîl al-Ahkâm, Kairo: Dâr al-Nahdah al-’Arabiyah, 1981

Al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Quran, juz IV, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1972

al-Qardhâwî, Yûsuf, al-Ijtihâd fi al-Syari’ah al-Islâmiyah ma’a Nazhrah Tahlîlilyah fî al-Ijtihâd al-Mua’ashir, Kuwait: Dâr al-Qalam, 1985 Zahrah, Muhammad Abû, Ushûl al-Fiqh, Mesir: Dâr al-Fikr al-’Arabî, 1958 al-Zuhaylî, Wahbah, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu Beirut:Dâr al-Fikr, 1998

(36)

Hasil Mudzakarah Pengembangan Ulum al-Diniyah Melalui Telaah Kitab secara Kontekstual, di PP Watucongol, Muntilan, Magelang, 15-17 Desember 1988.

Materi Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama 1992, Sistem Pengambilan Keputusan Hukum dan Hirarki Hasil Keputusan Bahtsul Masil Jakarta: Sekjen PBNU, 1002

Pidato Ma’ruf Amin dalam Halaqah Aswaja, Membincang Multi Tafsir Aswaja NU, PP RMI, 2008.

(37)

Endnotes

1.

Andree Feillard, NU vis a vis Negara, terj. Lesmana, Yogyakarta: LKIS, 1999, h.

8-9.

2.

Andree Feillard, NU vis a vis Negara, h. 8-9.

3.

Upaya Membakukan buku dan Membukukan Baku Aswaja, Ummu Risalah Aula, 3, th. XIX, maret 1997, h. 19-20.

4.

Wawancara dengan Kiai Ma’ruf Amin

5.

Wawancara Kiai Ma’ruf Amin

6.

Imam AZ dan Nasikh, Liputan: Dari Halaqah Denanyar, Majalah Santri, No. 3, th. 1, 1990, h. 22-26.

7.

Pidato Ma’ruf Amin dalam Halaqah Aswaja, Membincang Multi Tafsir Aswaja NU, PP RMI, 2008.

8.

Khotib Sholeh, Menyoal Efektivitas Bahtsul Masail, dalam Imdadun Rahmat (ed.) kritik Nalar Fikih NU, Jakarta: Lakpesdam, 2002, h. 224.

9.

Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan NU, Surabaya: PP RMI dan Dinamika Press, h. 367.

10.

Hasjim Asj’ari, Ihya Amal al-Fudala’, Muqaddimah Anggaran Dasar NU, Kendal: tp, 1969, h. 37-38.

11.

Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan..., h. 364.

12.

Abu Hamdan Abdul Jalil Hamid Kudus , Ahkam al-Fuqaha’, Juz I, Semarang: Toha Putra, tt, h. 9.

13.

Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan..., h. 367.

14.

Khamid Kudus, Ahkam al-Fuqaha, juz II, h. 24-25.

15.

Wawancara Kiai ma’ruf Amin

16.

Hasil Mudzakarah Pengembangan Ulum al-Diniyah Melalui Telaah Kitab secara Kontekstual, di PP Watucongol, Muntilan, Magelang, 15-17 Desember 1988.

17.

Hasil Mudzakarah Pengembangan Ulum al-Diniyah...

18.

Ahmad Qodri Azizy, Islam dan Permasalahan Sosial, Yogyakarta: LKIS, 2000, h. 50-54.

19.

Majalah Santri, No. 3, th. I, 1990, h. 27.

(38)

21.

Sistem Pengambilan Keputusan Hukum dalam Bahtsul Masail di Lingkungan NU, Keputusan Munas Alim Ulama Nahdhatul ulama, di Bandar Lampung, 16-20 Rajab 1412 H/21-25 Januari 1992 M.

22.

Wawancara Kiai Ma’ruf Amin

23.

Wawancara kiai Ma’ruf Amin

24.

Muslim, Shahih Muslim, juz III, h. 1219. Lihat juga, Tirmidzi, Jami’

al-Tirmidzi, Juz III, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, h. 512.

25.

Al-Suyuti, al-Ashbah wa al-Nadhair, h. 60.

26.

Al-Suyuti, al-Ashbah wa al-Nadhair, h. 62.

27.

Al-Thabari, Jami’ al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, juz IV, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1972, h. 204-205.

28.

Ulasan selengkapnya lihat, Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1942, diterjemahkan dari The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1980.

29.

Wawancara Kiai Ma’ruf Amin.

30.

M. Imaduddin Rahmat (ed.), Kritik Nalar Fiqh NU: Transformasi Paradigma

Bahtsul Masa’il, Jakarta: Lakpesdam NU, 2002.

31.

Wawancara Kiai Ma’ruf Amin.

32.

Pembahasan tentang kitab mu’tabarah ini belum tuntas, baru pada tahap definisi dan keriteria. Pembahasan belum sampai pada nama-nama kitab yang bisa dijadikan standar (ummahat al-kitab). Nama-nama kitab dari masing-masing mahdzab yang disebut di sini adalah masih sebatas usulan, belum disahkan.

Referensi

Dokumen terkait