• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VII DAMPAK SERANGAN JAMUR PELAPUK TERHADAP SIFAT-SIFAT KAYU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VII DAMPAK SERANGAN JAMUR PELAPUK TERHADAP SIFAT-SIFAT KAYU"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB VII

DAMPAK SERANGAN JAMUR PELAPUK TERHADAP

SIFAT-SIFAT KAYU

Pengaruh Serangan Jamur Pelapuk terhadap Struktur Anatomi Kayu

Kayu memiliki struktur kompleks dan dapat menyimpan air yang sangat penting bagi kelangsungan hidup organisme perusak kayu. Selain itu, rongga-rongganya dapat memfasilitasi aktivitas dan pergerakan organisme perusak serta hifa-hifa jamur dalam kayu. Dengan demikian kayu bukan hanya menjadi bahan makanan organisme perusak, tapi juga sebagai media yang mendukung dan melindungi organisme tersebut dalam melangsungkan kehidupannya.

Hasil pengamatan mikroskopis pada preparat slide mikrotom kayu sengon dan pinus yang digunakan dalam uji pelapukan menujukkan keberadaan hifa-hifa jamur dalam sel jari-jari, sel pembuluh kayu sengon dan dalam saluran interseluler kayu pinus (Gambar 23 dan 24). Artinya sel jari-jari, sel pembuluh dan saluran interseluler tersebut menjadi awal akses utama serangan jamur pelapuk ke dalam kayu daun lebar maupun kayu daun jarum. Dengan demikian proporsi, ukuran, Gambar 23 Hifa (h) jamur pelapuk G. applanatum dalam saluran interseluler

(i) dan sel jari-jari (j) kayu pinus serta dalam sel pembuluh (p) kayu sengon (perbesaran 450 x).

(2)

distribusi dan orientasi sel-sel dan saluran interseluler tersebut akan menentukan tingkat kolonisasi jamur dalam kayu.

Jamur G. applantum dan S. commune mampu menembus ke bagian dalam jaringan kayu dengan kecepatan invasi yang berbeda. Jamur G. applanatum sendiri bergerak relatif lebih cepat dalam mengkolonisasi jaringan kayu dibandingkan dengan jamur S. commune. Hal ini terkait dengan sifat pertumbuhan jamur yang berlainan antar jenis yang berbeda. Kemampuan hidup berbagai jenis jamur pelapuk dalam keterbatasan air dan nutrisi dalam kayu juga dapat berlainan.

Mekanisme serangan jamur pelapuk pada kayu diawali ketika spora dari sumber infeksi menempel pada kayu dan berkecambah membentuk hifa-hifa jamur yang kemudian bercabang-cabang membentuk miselium yang melekat pada permukaan kayu. Hifa-hifa jamur kemudian masuk melalui sel jari-jari yang merupakan jalan paling mudah bagi hifa jamur untuk mendegradasi kayu. Selain itu, jari-jari merupakan sel-sel parenkim yang mengandung zat-zat makanan bagi Gambar 24 Hifa (h) jamur pelapuk S. commune dalam saluran interseluler

(i) dan sel jari-jari (j) kayu pinus serta dalam sel pembuluh (p) kayu sengon (perbesaran 450 x).

(3)

jamur, sebagaimana diungkapkan Bowyer et al. (2003) bahwa gula dan pati terdapat dalam lumen sel dan parenkim jari-jari kayu. Zat-zat tersebut merupakan nutrisi yang mudah dikonsumsi oleh jamur dalam jumlah terbatas. Sel jari-jari juga merupakan jalan yang mudah dilewati oleh hifa-hifa jamur karena secara alami sel jari-jari juga berfungsi sebagai sarana transportasi. Sel jari-jari yang tersusun seperti susunan batu bata pada bangunan, berfungsi dalam sintesis, penyimpanan, transport lateral bahan biokimia dan air (Rowell 2005). Selain itu sel parenkim jari-jari berdinding tipis sehingga relatif mudah terdegradasi dan ditembus oleh hifa jamur. Dalam kayu daun lebar, sel-sel jari-jari yang menjadi sarana pergerakan jamur ini, memiliki ukuran yang lebih bervariasi dan lebih besar daripada dalam kayu daun jarum (Butterfield 2006), bahkan proporsi sel jari-jari dalam kayu daun lebar pada umumnya 30% lebih banyak daripada dalam kayu daun jarum (Ridout 2004). Dengan demikian akses hifa-hifa jamur pada arah radial dalam kayu daun lebar secara fisik relatif lebih besar dibandingkan dengan dalam kayu daun jarum. Selain itu, sel jari jari yang berorientasi pada arah radial menjadikan bidang tangensial kayu lebih terbuka dibandingkan dengan bidang radial sebagai jalan invasi hifa-hifa jamur ke dalam kayu.

Pada arah longitudinal, jalan termudah bagi jamur dalam menginvasi ke dalam kayu daun lebar adalah melalui sel pembuluh, sedangkan pada kayu daun jarum melalui saluran interseluler. Kemudahan itu terjadi karena pergerakan air dalam kayu daun lebar terjadi melalui sel-sel pembuluh yang ujungnya bersambungan satu sama lain. Pada dinding ujung sel-sel pembuluh ini terdapat bidang perforasi sehingga bisa dilewati air (Ridout 2004). Selain itu, sel pembuluh memiliki ukuran cukup besar untuk dimasuki hifa yaitu antara 50-200 µm bahkan bisa lebih dari 300 µm (Rowell 2005), sementara diameter hifa pada umumnya antara 1-30 µm (Walker & White 2005). Sel pembuluh dan saluran interseluler yang berorientasi pada arah longitudinal menjadikan bidang lintang kayu pada umumnya lebih banyak terbuka bagi akses spora dan hifa jamur sehingga bisa menempel dan masuk ke dalam jaringan kayu. Bidang lintang kayu juga lebih tinggi permeabilitasnya dibandingkan dengan bidang radial dan tangensial, sehingga air dan kelembaban dapat cepat masuk ke dalam kayu pada arah longitudinal secara kapiler dan menjadikan bagian dalam kayu kondusif bagi

(4)

pertumbuhan dan pergerakan hifa-hifa jamur. Di dalam sel pembuluh, hifa-hifa jamur tidak mendapatkan cukup bahan yang bisa dikonsumsi karena saluran pembuluh memiliki dinding sel sekunder tebal dan mengalami lignifikasi serta tidak mengandung sitoplasma (Zwieniecki & Holbrook 2000), akan tetapi hifa-hifa jamur juga dapat bergerak ke sel-sel lainnya melewati noktah, sehingga terjalin akses pergerakan hifa dalam kayu baik pada arah longitudinal maupun arah lateral.

Noktah merupakan celah di antara dinding sekunder sel kayu. Umumnya noktah berpasangan di antara dua sel yang berhubungan (Gambar 25). Ada dua tipe noktah, yaitu noktah halaman (bordered pits) dan noktah sederhana (simple

pits). Noktah sederhana menghubungkan antar sel-sel parenkim seperti antar sel

jari-jari, sedangkan noktah halaman pada umumnya terdapat pada dinding sel-sel trakeid kayu daun jarum dan sel-sel serabut kayu daun lebar. Noktah halaman yang menghubungkan antar sel-sel trakeid memiliki membran. Membran tersebut terdiri atas pasangan dinding primer dan lamela tengah. Bagian luarnya disebut margo yang terdegradasi secara alami dan memungkinkan air melewatinya. Adapun bagian tengahnya tetap utuh membentuk torus (Butterfield 2006). Selain Gambar 25 Noktah sederhana (a) menghubungkan dua sel parenkim; noktah

halaman (b) menghubungkan rongga antar dua sel trakeid; dan noktah setengah halaman (c) menghubungkan sel trakeid dengan sel parenkim (Bowyer et al. 2003).

(5)

kedua tipe noktah tersebut ada juga noktah setengah halaman (half-bordered pits) yang menghubungkan sel trakeid dengan sel jari jari atau sel parenkim aksial (Fujita & Harada 2001). Pada dinding saluran pembuluh juga terdapat banyak noktah setengah halaman yang menghubungkannya dengan parenkim aksial dan parenkim jari-jari di sekitarnya (Bowyer et al. 2003). Kondisi struktur kayu seperti itu mempermudah bagi hifa-hifa jamur untuk menginvasi dan masuk ke bagian dalam kayu.

Untuk mendapatkan sumber nutrisi yang lebih banyak terutama selulosa dalam dinding sel kayu, jamur pelapuk terhalang oleh lamela tengah dan dinding primer yang kaya lignin. Jalan yang relatif mudah bagi jamur untuk dapat masuk ke dalam sel kayu pada umumnya melewati noktah terutama pada awal serangan dengan terlebih dahulu mendegradasinya secara enzimatik dan secara fisik oleh hifa yang sangat halus (Ø 1 µm). Secara alami, noktah pada dinding sel dapat dilewati air dalam proses fisiologi pohon terutama pada bagian margo yang lebih permeabel. Bahkan dalam kayu daun jarum, pergerakan air melalui sel-sel trakeid yang memiliki banyak noktah halaman (bordered pit) (Butterfield 2006). Dengan terdegradasinya noktah pada dinding sel serabut dan trakeid maka air lebih mudah masuk ke dalam sel kayu secara kapiler. Oleh karena itu kayu-kayu yang terserang jamur pelapuk cenderung lebih tinggi kadar airnya daripada kayu yang utuh.

Setelah berhasil masuk ke dalam rongga, hifa tumbuh dan menempel pada dinding sekunder. Maka terjadilah degradasi dinding sel kayu mulai dari dinding lumen sel (dari dalam rongga sel). Dinding sekunder sel kayu yang kaya selulosa terdegradasi terutama yang disekitar hifa sehingga terbentuk alur-alur erosi dan menyebabkan penipisan dinding sel kayu dari dalam (lumen) ke luar dinding sel (Schwarze et al. 2000 ). Degradasi dinding sel kayu ini terjadi secara enzimatik yang spesifik bagi setiap jenis jamur sehingga laju degradasi yang terjadi juga dapat berlainan antar jenis jamur.

(6)

Scanning electron micrograph (5kV) menunjukkan bahwa torus dalam

noktah halaman sel kayu Pinus insularis telah terdegradasi jamur G. applanatum dalam 4 minggu inkubasi, sedangkan jumlah tori terdegradasi semakin banyak dalam inkubasi 12 minggu (Gambar 26). Adapun noktah-noktah yang terdegradasi jamur S. commune setelah pengumpanan 4 minggu pada dinding sel kayu pinus relatif sedikit. Baru kemudian setelah 12 minggu inkubasi terjadi banyak noktah yang terdegradasi (Gambar 27). Ini membuktikan bahwa jamur S.

commune lebih lambat dalam mendegradasi kayu pinus dibandingkan dengan

jamur G. applanatum.

Pada kayu sengon, kerusakan noktah juga terjadi oleh jamur G. applanatum (Gambar 28). Sementara itu studi yang dilakukan oleh Green dan Clausen (1999) selama 3 minggu inkubasi ditemukan bahwa jamur pelapuk putih menghidrolisis semua membran noktah halaman, sedangkan jamur pelapuk coklat hanya merusak torus, melemahkan dan merobek membran noktah. Kedua jenis jamur sama-sama memiliki kapasitas menghidrolisis pektin, merusak membran noktah dan meningkatkan permeabilitas kayu selama kolonisasi sehingga lebih mudah menyerap air.

Gambar 26 Bagian noktah pada dinding sel kayu pinus yang terdegradasi (d) oleh jamur pelapuk G. applanatum (perbesaran 2000 x).

(7)

Gambar 28 Bagian noktah pada dinding sel kayu sengon (t) yang terdegradasi jamur pelapuk G. applanatum (perbesaran 2000 x).

Gambar 27 Bagian noktah pada dinding sel kayu pinus yang terdegradasi (d) oleh jamur pelapuk S. commune (perbesaran 2000 x).

(8)

Hasil pengamatan dengan mikroskop stereo pada kayu pinus dan sengon setelah uji pelapukan terhadap jamur G. applanatum dan S. commune menunjukkan terbentuknya lubang dan rongga-rongga yang dapat dilihat dengan mikroskop stereo (Gambar 29 dan 30). Rongga-rongga yang tampak pada bidang radial terutama disebabkan degradasi sel jari-jari dan sel-sel kayu di sekitarnya yang semakin lama semakin luas. Pada kayu pinus, lubang-lubang besar juga terjadi karena sel-sel trakeid di sekitar saluran interseluler terdegradasi sehingga memperbesar saluran tersebut. Adapun pada kayu sengon, lubang-lubang besar terjadi karena degradasi sel-sel parenkim aksial dan sel-sel serabut di sekitar saluran pembuluh. Banyaknya rongga-rongga dan lubang yang terbentuk dapat berpengaruh pada kekuatan kayu.

Masa inkubasi semakin lama, proses dedgradasi semakin keras sehingga terjadi kerusakan struktur sel. Pada kayu yang diinkubasi selama 8 dan 12 minggu lebih banyak terbentuk lubang dibandingkan dengan yang diinkubasi selama 4 minggu. Kayu uji menjadi lebih berongga-rongga setelah inkubasi 8 minggu terutama yang diserang jamur G. applanatum. Pola degradasi kayu Gambar 29 Rongga-rongga (r) yang terbentuk oleh jamur pelapuk G.

(9)

sengon dan pinus oleh jamur G. applanatum dan S. commune tersebut merupakan tipe pelapukan simultan.

Miselium yang tumbuh dalam lumen sel dapat membentuk lubang-lubang dan mendegradasi dinding sel secara progresif (Bowyer 2003). Levin dan Castro (1998) juga menemukan pola degradasi yang serupa pada kayu populus yang diserang oleh jamur pelapuk putih Trametes trogii, yaitu kayu menjadi berongga-rongga serta porous seperti spong, sedangkan pada kayu salix meninggalkan sel-sel pembuluh sehingga kayu menjadi stringy (terdiri atas banyak benang). Adapun Luna et al. (2004) mengungkapkan bahwa serangan jamur G. lucidum menyebabkan kombinasi delignifikasi selektif dan pelapukan simultan. Ciri utama delignifikasi selektif adalah terjadinya pemisahan antar sel-sel kayu, sedangkan pelapukan simultan ditandai dengan erosi dan penipisan dinding sel kayu serta terbentuknya rongga-rongga pada kayu. Dengan demikian jamur penyebab pelapukan simultan dapat menurunkan masa dan kekuatan kayu lebih besar dibandingkan dengan jamur penyebab delignifikasi selektif. Schwarze et al. (2000) telah membuktikan bahwa kayu beech yang lapuk simultan oleh jamur

Gambar 30 Rongga-rongga (r) yang terbentuk oleh jamur pelapuk S.

(10)

Fomes fomentarius mengalami penurunan nilai keteguhan pukul lebih besar

daripada yang mengalami delignifikasi selektif oleh G. pfeifferi.

Pada pelapukan lebih lanjut banyak dinding sel yang menipis bahkan habis terdegradasi sehingga terjadi peningkatan volume rongga dalam kayu dan kekuatannya menurun drastis. Bila kayu tersebut mengering, akan mudah mengalami collapse dan perubahan bentuk.

Pengaruh Serangan Jamur Pelapuk terhadap Sifat Kimia Kayu

Selulosa, hemiselulosa dan lignin adalah komponen kayu yang menjadi sumber nutrisi jamur pelapuk dengan terlebih dahulu diuraikan menjadi molekul-molekul sederhana dengan bantuan metabolit yang dihasilkan pada ujung dan sisi hifa (Bowyer et al. 2003). Hasil uji biodeteriorasi media serbuk kayu pinus dan sengon oleh jamur G. applanatum dan S. commune menunjukkan terjadinya gejala lapuk putih. Hal ini terbukti dengan perubahan warna media serbuk kayu dalam baglog dari coklat menjadi lebih pucat (coklat muda). Perubahan warna tersebut sudah tampak dalam masa inkubasi 2 minggu (Gambar 31) dan merupakan indikasi terjadinya degradasi lignin dalam kayu pinus dan sengon oleh jamur G.

applanatum dan S. commune.

Penelitian ini menujukkan bahwa proporsi kandungan selulosa dalam kayu sengon lebih tinggi daripada dalam kayu pinus (Gambar 32). Walker (2006) juga

Gambar 31 Perubahan warna media serbuk kayu setelah diinokulasi dengan jamur pelapuk G. applanatum (GS) dan S. commune (SS) selama dua minggu (S=kontrol).

(11)

mengungkapkan bahwa kadar selulosa dalam kayu daun lebar pada umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan dalam kayu daun jarum. Hasil analisis kimia membuktikan bahwa telah terjadi perubahan komposisi kimia media serbuk kayu sengon dan pinus setelah uji biodeteriorasi dengan jamur G. applanatum dan S.

commune. Kadar selulosa media serbuk kayu menurun cukup besar setelah uji

biodeteriorasi, sedangkan proporsi kandungan ligninnya tidak banyak berubah. Hal ini menunjukkan laju degradasi selulosa oleh kedua jamur tersebut lebih tinggi daripada degradasi lignin. Penurunan kadar selulosa yang lebih tinggi daripada lignin ini merupakan ciri lapuk putih simultan. Adapun dalam lapuk putih selektif (delignifikasi selektif), lignin terdegradasi lebih banyak daripada selulosa, terutama dalam tahap awal pelapukan (Schwarze et al. 2000).

Penurunan kadar selulosa yang lebih besar dibandingkan dengan lignin ini menunjukkan bahwa sudah terjadi degradasi berat dalam dinding sekunder sel-sel kayu. Hal ini mengingat bahwa sebagian besar selulosa dalam sel serabut kayu daun lebar atau dalam sel trakeid kayu daun jarum berada pada dinding sekunder. Selulosa, hemiselulosa dan lignin berada pada setiap lapisan dinding sel, tapi proporsi selulosa tertinggi adalah di bagian tengah lapisan S2 dinding sekunder. Adapun proporsi lignin tertinggi adalah di lamela tengah. Proporsi lignin

(a) (b)

Gambar 32 Kadar selulosa dan lignin serbuk kayu pinus (a) dan sengon (b) setelah 12 minggu uji biodeteriorasi dengan jamur pelapuk G.

(12)

dibandingkan dengan komponen kimia lainnya semakin berkurang pada lapisan S1, S2, dan S3 (Bowyer et al. 2003).

Pada uji biodeteriorasi ternyata jenis jamur berpengaruh nyata terhadap komposisi selulosa dan lignin dalam kayu (Lampiran 17). Total kadar selulosa dan lignin kayu sengon dalam uji dengan jamur G. applanatum relatif lebih rendah dibandingkan dengan yang diumpankan terhadap jamur S. commune, sedangkan pada kayu pinus total kadar selulosa dan ligninnya lebih rendah pada media serbuk kayu yang diumpankan terhadap S. commune. Hal ini menunjukkan bahwa degradasi kayu sengon oleh jamur G. applanatum lebih besar daripada oleh jamur S. commune. Hasil penelitian Dill dan Kraeplin (1986) juga membuktikan bahwa G. applanatum dapat menimbulkan delignifikasi ekstensif dan penguraian sel-sel serabut dalam kayu.

Kayu yang terserang jamur pelapuk pada umumnya lebih lunak bila ditekan dengan kuku atau benda keras dan bila dicungkil dengan benda tajam serabut-serabutnya mudah putus. Adapun kayu utuh bila dicungkil benda tajam serabutnya tidah mudah putus. Menurut Senese (2010) selulosa merupakan komponen utama pada dinding sel kayu yang memberikan kekuatan pada kayu. Selulosa lebih berperan dalam kekuatan tarik aksial, sedangkan hemiselulosa dan lignin lebih menentukan elastisitas dan kekuatan tekan kayu (Ridout 2004). Oleh karena itu perubahan dalam komponen utama kayu ini akan merubah kemampuan struktural kayu. Degradasi selulosa dan lignin kayu akibat serangan jamur pelapuk pada struktur bangunan sangat berbahaya. Sebagai contoh, dalam struktur balok lentur yang biasa dipakai pada bagian dasar kuda-kuda atap, apabila terjadi pelapukan, maka kondisi balok menjadi kritis, karena bagian bawah balok lentur mengalami tegangan tarik, sedangkan pada bagian atasnya mengalami tegangan tekan sejajar serat.

Penurunan kadar selulosa oleh kedua jenis jamur pada kayu sengon lebih besar dibandingkan dengan yang terjadi pada kayu pinus. Kandungan dan komposisi lignin berperan penting dalam ketahanan kayu dari pelapukan. Pada Gambar 32 tampak bahwa proporsi lignin dalam kayu pinus lebih tinggi daripada dalam kayu sengon. Ridout (2004) juga melaporkan bahwa jamur pelapuk putih

(13)

lebih banyak menyerang jenis kayu daun lebar, karena banyak pelapuk putih kesulitan mendegradasi lignin dalam kayu daun jarum yang jenis dan kuantitasnya berbeda dengan kayu daun lebar.

Karakteristik lignin pinus yang merupakan kayu daun jarum berbeda dengan lignin pada sengon yang merupakan kayu daun lebar. Penyusun utama lignin dalam kayu daun jarum adalah unit fenilpropan dengan satu metoksil (guaiasil, G), sedangkan penyusun utama lignin dalam kayu daun lebar adalah unit fenilpropan dengan dua metoksil (siringil, S) dan guaiasil (Martinez et al. 2005). Kandungan lignin siringil berkaitan dengan kerentanan kayu dari serangan jamur pelapuk. Kayu yang tinggi kadar lignin siringilnya yaitu kayu red maple, lebih cepat terdegradasi jamur Trametes versicolor daripada kayu boxelder yang rendah kadar liginin siringilnya. Padahal kedua jenis kayu tersebut memiliki komposisi kimia dan sifat anatomi yang agak sama (John et al. 1994).

Selain lignin, perlindungan alami yang dimiliki kayu dari serangan organisme perusak adalah zat ekstraktif. Sebagaimana diungkapkan oleh Rowell

et al. (2005) bahwa ekstraktif dalam kayu daun lebar maupun kayu daun jarum

dapat menyebabkan kayu awet. Zat ekstraktif terdiri atas lemak, asam lemak, fenol, terpena, steroid, asam resin, rosin, lilin, dan senyawa organic lainnya. Menurut Harris (2001) jenis dan kadar ekstraktif menentukan daya tahan kayu dari pelapukan. Methanol merupakan ekstraktif kayu yang dapat menahan serangan jamur dan bisa digunakan sebagai bahan pengawet. Ekstraktif penahan pelapukan lainnya adalah tanin terlarut, courmarin, alkaloid, terpenoid, dan steroid, semuanya merupakan produk metabolit sekunder. Selain itu Harju et al. (2003) melaporkan bahwa kayu Scot pine (Pinus sylvestris L) yang tahan dari serangan jamur Coniophora puteana memiliki kandungan ekstraktif fenolik lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak tahan. Begitupula Venalainen et al. (2002) melaporkan bahwa keawetan kayu Scots pine dari jamur pelapuk terutama dipengaruhi oleh konsentrasi pinosylvin dan monometil eter yang merupakan senyawa fenolik yang tergolong stilbena.

(14)

Pengaruh Serangan Jamur Pelapuk terhadap Berat Kayu

Jamur G. applanatum dan S. commune merupakan jamur pelapuk putih yang mampu mendegradasi dinding sel kayu yang terdiri atas selulosa, hemiselulosa dan lignin menjadi gula sederhana secara enzimatik yang kemudian diserapnya. Dengan demikian, semakin banyak masa kayu yang terurai mengakibatkan penurunan berat kayu yang semakin tinggi dan menujukkan kemampuan mendegradasi jamur yang semakin tinggi.

Jamur G. applanatum dapat secara cepat menyelimuti ketiga jenis kayu uji (kamper, pinus dan sengon), sedangkan S. commune hanya menutup sebagian permukaan kayu uji (Gambar 33). Penurunan berat terjadi pada ketiga contoh uji kayu oleh jamur G. applanatum dan S. commune. Penurunan berat kayu uji tersebut semakin tinggi dengan semakin lamanya masa inkubasi, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 34.

Dalam konstruksi kayu di lapangan kehilangan masa kayu tersebut bisa lebih lambat daripada yang terjadi dalam eksperimen ini, karena di alam banyak mikroorganisme lain yang dapat menjadi penghambat pertumbuhannnya, atau karena kondisi lingkungannya yang tidak selamanya mendukung pertumbuhannya, terutama adalah ketersediaan air pada kayunya.

Gambar 33 Kolonisasi jamur G. applanatum (a) dan S. commune (b) pada contoh uji kayu.

(15)

Pada Gambar 35 juga terlihat bahwa kehilangan berat kayu sengon, kamper dan pinus yang disebabkan oleh jamur G. applanatum lebih besar dibandingkan dengan yang diakibatkan oleh jamur S. commune. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan jamur G. applanatum dalam mendegradasi kayu lebih tinggi dibandingkan dengan jamur S. commune. Bahkan pada kayu sengon, G.

applanatum menyebabkan kehilangan berat kayu hampir dua kali yang

diakibatkan S. commune, yaitu rata-rata masing-masing 12,6% dan 6,7% selama Gambar 34 Penurunan berat kering kayu kamper (a), pinus (b), dan sengon

(c) oleh jamur pelapuk G. applanatum dan S. commune.

(a)

(b)

(16)

12 minggu inkubasi. Dengan demikian kehadiran jamur G. applanatum dalam konstruksi harus lebih diwaspadai dan segera dikendalikan serangannya.

Nsolomo (2000) dalam penelitiannya juga membuktikan bahwa G. australe dan S. commune merupakan jamur pelapuk putih yang mengakibatkan penurunan berat kayu Ocotea sebesar 16% dan 2% selama empat bulan inkubasi. Degradasi kayu oleh G. australe ternyata nilainya lebih besar dibandingkan dengan degradasi oleh S. commune.

Di antara ketiga jenis kayu terbukti secara statistik bahwa kayu sengon paling tinggi penurunan beratnya, disusul kemudian oleh kayu kamper dan yang terkecil penurunan beratnya adalah kayu pinus (Lampiran 18). Hal ini menunjukkan bahwa kayu sengon paling tidak tahan dari serangan jamur pelapuk yang digunakan dalam penelitian ini. Sengon yang dikenal jenis kayu cepat tumbuh (fast growing species) sebagian besar terdiri atas kayu gubal dan tidak memiliki ekstraktif bersifat racun yang dapat melindunginya dari serangan jamur pelapuk.

Lapuk berat (lebih dari 10% penurunan berat kayu) oleh G. applanatum hanya terjadi pada kayu sengon, yang sudah terjadi dalam masa inkubasi 8 minggu. Kayu kamper dan pinus mengalami lapuk sedang disebabkan oleh jamur

G. applanatum pada masa inkubasi berurutan 8 dan 12 minggu. Dalam penelitian

ini jamur S. commune tidak menimbulkan lapuk berat walaupun pada kayu seperti sengon yang termasuk paling tidak awet.

Variasi ketahanan kayu dari serangan jamur pelapuk ini terutama dipengaruhi oleh kandungan zat ekstraktifnya sebagaimana diungkapkan oleh Butterfield (2006) bahwa akumulasi zat ekstraktif jenis polifenol dalam kayu teras menyebabkan penurunan kadar air dan dapat memperlambat pelapukan oleh jamur. Celimene et al. (1999) juga melaporkan bahwa pinosilvin yang diekstrak dari kayu Pinus banksiana dan Pinus resinosa, dapat menahan pertumbuhan jamur pelapuk putih. Ekstrak kayu kamper (Dryobalanops aromatica) banyak mengandung terpena dan asam lemak. Terpena dan polifenol merupakan senyawa antimikroba yang sering terdapat dalam kayu. Beberapa triterpen yang teridentifikasi dengan HPLC (High Performance Liquid Chromatographhy)

(17)

dalam kayu kamper adalah kapurone, dryobalanone, dipterocarpol, dan terpinihidrat, dengan proporsi yang bervariasi antar daerah pertumbuhan dan umur pohon (Ali et al. 1990).

Pengaruh Serangan Jamur Pelapuk terhadap Berat Jenis Kayu

Berat jenis (BJ) merupakan indikator kepadatan masa kayu. Kayu dengan BJ tinggi pada umumnya memiliki dinding sel yang tebal. Kayu yang telah diumpankan pada jamur pelapuk dan mengalami penurunan berat, berat jenisnya tampak tidak banyak berbeda dengan kayu kontrol (Gambar 35). Hasil analisis statistik juga menunjukkan bahwa jamur G. applanatum maupun S. commune tidak berpengaruh nyata pada berat jenis (BJ) kayu (Lampiran 19).

Perubahan BJ kayu yang tidak nyata ini dapat disebabkan oleh peristiwa

collapse sel-sel kayu sehingga terjadi penurunan volume kayu yang tidak normal.

Dinding sel kayu yang menipis dan menurun kekuatannya dapat mengalami

collapse, sehingga dinding sel melipat ke dalam. Sebagaimana dilaporkan oleh

Gambar 35 Berat jenis kayu kamper, pinus, dan sengon setelah pengumpanan terhadap jamur pelapuk G. applanatum dan S. commune.

(18)

Erwin et al. (2008) bahwa dinding sel kayu dapat mengalami penipisan akibat serangan jamur pelapuk putih khususnya S. commune.

Perbedaan BJ antar jenis kayu pada umumnya merupakan sifat bawaan masing-masing jenis kayu. BJ kayu kamper yang lebih tinggi daripada BJ kayu sengon mengindikasikan bahwa dinding sel kayu kamper lebih tebal daripada dinding sel kayu sengon. Hal ini juga menentukan ketahanan relatif kayu kamper yang lebih tinggi daripada kayu sengon ketika diserang jamur pelapuk.

Pengaruh Serangan Jamur Pelapuk terhadap Modulus Lentur dan Modulus Patah Kayu

Hasil pengolahan data sifat mekanis modulus lentur (MOE) dan modulus patah (MOR) kayu dalam uji pelapukan terhadap jamur G. applanatum dan S.

commune menunjukkan bahwa nilai MOE dan MOR kayu menurun setelah

pengumpanan pada jamur pelapuk G. applanatum dan S. commune. Penurunan sifat mekanis kayu terjadi karena hifa-hifa jamur yang masuk ke dalam kayu dengan enzim yang dihasilkannya telah merusak sel-sel kayu sehingga terbentuk rongga-rongga dalam kayu. Dengan demikian terjadi pelemahan kekokohan struktur kayu seiring dengan semakin luasnya serangan jamur di dalam kayu.

Secara statistik terbukti adanya perbedaan yang nyata pada nilai mekanis kayu yang diumpankan terhadap jamur dengan nilai kontrolnya (Lampiran 20). Pada umumnya nilai rata-rata penurunan sifat mekanis kayu oleh jamur G.

applanatum cenderung lebih besar daripada oleh S. commune (Gambar 36 dan

37). Selama 12 minggu inkubasi penurunan MOE kayu kamper oleh G.

applanatum dan S. commune adalah 17% dan 14%; penurunan MOR-nya

berturut-turut adalah 22% dan 14%. Hal ini menujukkan bahwa daya rusak jamur

G. applanatum pada kayu kamper lebih tinggi dibandingkan dengan jamur S. commune. Nilai penurunan sifat mekanis oleh kedua pelapuk putih ini cukup

besar.

Dalam struktur rangka bangunan, penurunan kekuatan kayu ini bisa kritis karena walaupun tidak seluruh bagian batang lapuk terserang jamur, tapi bagian

(19)

tersebut menjadi titik lemah sehingga dapat menjadi titik awal terjadinya kerusakan dan ketidak-stabilan struktur rangka bangunan.

Pilihan jenis kayu menentukan berapa lama struktur kayu bisa bertahan dari serangan jamur pelapuk. Pada Gambar 36 dan 37 tampak bahwa nilai MOE dan MOR kayu sengon adalah paling rendah dibandingkan dengan kayu pinus dan kamper. Dalam penelitian ini, rata-rata penurunan kekuatan oleh jamur pelapuk selama 12 minggu inkubasi yang terjadi pada kayu sengon juga adalah yang paling besar yaitu 35% dan 46% untuk MOE dan MOR nya. Sedangkan pada kamper penurunan MOE dan MOR nya adalah 16% dan 18%. Pada kayu pinus penurunan MOE dan MOR nya adalah 22% dan 34%. Perbedaan ini terkait dengan variasi kandungan ekstraktif sesuai dengan yang diungkapkan Butterfield (2006) bahwa zat ekstraktif penting dalam memperlambat pelapukan kayu oleh jamur, contohnya resin pada kayu daun jarum yang merupakan campuran bahan organik yang kompleks.

Gambar 36 MOE (modulus lentur) kayu kamper, pinus, dan sengon setelah pengumpanan terhadap jamur pelapuk G. applanatum dan S.

(20)

Uji Lapang Pelapukan Kayu

Hasil uji lapang pelapukan kayu tidak menyentuh tanah di berbagai daerah pada umumnya menunjukkan penurunan kekuatan kayu. Dalam hal ini nilai modulus lentur (MOE) dan modulus patah (MOR) kayu yang dipaparkan terhadap lingkungan selama 12 minggu lebih rendah dibandingkan dengan kayu kontrol baik sengon maupun kamper. Hal ini menunjukkan telah terjadinya degradasi kayu selama uji lapangan tersebut. Proses pelapukan pada umumnya terjadi secara dinamis oleh berbagai organisme. Sebagaimana diungkapkan oleh Nicholas dan Crawford (2003) bahwa bakteri, Actinomycetes dan Ascomycetes sering mendahului serangan pada kayu sebelum serangan jamur pelapuk Basidiomycetes yang lebih agresif dalam mendegradasi kayu.

Semakin tinggi indeks pelapukan (IP) daerah, maka nilai MOE dan MOR kayu yang diumpankan di daerah tersebut cenderung semakin rendah. Sebagai contoh di Bogor yang IP nya tinggi (157) nilai MOE dan MOR kayunya rata-rata Gambar 37 MOR (modulus patah) kayu kamper, pinus, dan sengon setelah

pengumpanan terhadap jamur pelapuk G. applanatum dan S.

(21)

83.018,1 kg/cm2 dan 1.139,0 kg/cm2 untuk kamper, sedangkan untuk kayu sengon 28.235,5 kg/cm2 dan 325,6 kg/cm2. Adapun di Bekasi yang IP-nya 65, nilai MOE dan MOR kayu kamper setelah uji lapang pelapukan adalah 103.919,5 kg/cm2 dan 1.321,9 kg/cm2, sedangkan untuk kayu sengonnya 47.561,0 kg/cm2 dan 550,4 kg/cm2. Secara statistik terdapat korelasi yang kuat antara indeks pelapukan (IP) daerah dan degradasi yang terjadi pada kayu yang diumpankan di daerah tersebut yang dinyatakan dengan nilai MOE dan MOR-nya.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa indeks pelapukan berpengaruh sangat nyata terhadap modulus lentur dan modulus patah kayu kamper dan sengon. Hasil uji korelasi dan analisis ragam indeks pelapukan (IP) dengan sifat mekanis kayu tersaji dalam Lampiran 21. Korelasi IP dengan sifat mekanis kayu tersebut ternyata lebih kuat dibandingkan dengan korelasi antara masing-masing faktor iklim dengan sifat mekanis kayu. Gambar 38 dan 39 mencerminkan hubungan indeks pelapukan dengan nilai MOE dan MOR kedua jenis kayu.

Pada indeks pelapukan di bawah 35 yang menunjukkan kelas bahaya pelapukan sedang, nilai MOE dan MOR kayu setelah uji pelapukan tampak tidak berbeda dengan kontrolnya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam masa uji pelapukan tidak menyentuh tanah selama 12 minggu di daerah kelas bahaya pelapukan sedang, sifat mekanis kayu belum menurun. Dengan demikian untuk mendeteksi degradasi kayu berdasarkan sifat mekanis di daerah kelas bahaya sedang perlu waktu yang lebih lama dari 12 minggu.

Faktor suhu tidak menunjukkan korelasi yang baik dengan sifat mekanis kayu sebagai indikator degradasi kayu, mungkin karena perbedaan suhu antar kota ataupun kabupaten di Jawa relatif tidak besar, yang terendah 20 oC (Lembang) yang tertinggi 28 oC (Jakarta Utara). Secara umum jamur memiliki rentang toleransi suhu yang cukup lebar untuk hidupnya, sebagaimana dijelaskan Nicholas dan Crawford (2003), bahwa jamur tumbuh pada suhu 12-40 oC. Menurut Rao (2005) jamur pelapuk juga pada umumnya tumbuh dalam kondisi yang cukup lembab dan suhu yang relatif tinggi, yaitu pada kelembaban 95% dan suhu 20-40 o

C. Tapi menurut Bowyer et al. (2003) pertumbuhan jamur agak lambat pada suhu di atas 35 oC dan pada umumnya terhenti pada suhu lebih dari 38 oC. Di

(22)

daerah iklim sedang yang memiliki empat musim, suhu di bawah 12oC atau di atas 40oC bisa sering terjadi. Sehingga wajar serangan jamur pelapuk pada komponen bangunan di Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan dengan di negara-negara lain yang beriklim sedang.

Kelembaban udara relatif rendah korelasinya dibandingkan dengan curah hujan dengan nilai mekanis kayu setelah uji pelapukan. Bahkan secara statistik diantara faktor-faktor cuaca yang paling kuat korelasinya dengan degradasi kayu uji adalah curah hujan. Kelembaban udara di Lembang lebih tinggi dibandingkan dengan di Bogor, sedangkan degradasi kayunya lebih tinggi yang diumpankan di Bogor. Kelembaban di Lembang adalah 84,7%, di Bogor 83,9%. Dibandingkan dengan nilai mekanis kayu yang diuji pelapukan di Bogor (tersebut di atas), kayu yang diuji pelapukan di Lembang lebih tinggi MOE dan MOR nya, yaitu 92.984,9 kg/cm2 dan 1.203,1 kg/cm2 untuk kamper, sedangkan pada kayu sengon 34.240,9 kg/cm2 dan 397,6 kg/cm2. Di Bogor volume curah hujan dan jumlah hari hujan bulanannya, yaitu 346 mm dan 13 hari hujan per bulan. Sedangkan di Lembang 141 mm dan 12 hari hujan per bulan. Hal ini sesuai dengan penjelasan Leicester

et al. (2003) bahwa laju pelapukan yang terjadi dipengaruhi oleh jenis kayu,

Gambar 38 Pengaruh indeks pelapukan daerah terhadap modulus lentur (MOE) kayu dalam uji lapang pelapukan.

(23)

indeks iklim (berdasarkan suhu dan curah hujan) serta waktu tenggang awal pelapukan.

Nilai mekanis kayu dalam uji pelapukan ini lebih kuat berkorelasi dengan jumlah hari hujan yang lebih dari 0.25 mm per bulan dibandingkan dengan curah hujan rata-rata bulanan. Kondisi tersebut juga tampak pada grafik hubungan faktor-faktor cuaca dengan degradasi kayu yang dinyatakan dengan variasi nilai MOE dan MOR kayu (Lampiran 22). Sebagai contoh, dua daerah yang memiliki volume curah hujan bulanan yang sama bisa berbeda jumlah hari hujannya. Bila volume curah hujan hariannya tinggi, maka jumlah hari hujannya akan lebih sedikit dibandingkan dengan yang volume curah hujan hariannya relatif rendah. Dalam hal ini kontinyuitas pembasahan dan ketersediaan air bagi pertumbuhan jamur lebih terjamin pada frekwensi hujan yang tinggi.

Gambar 39 Pengaruh indeks pelapukan daerah terhadap modulus patah (MOR) kayu dalam uji lapang pelapukan.

(24)

Dalam uji pelapukan tanpa menyentuh tanah ini terjadi serangan jamur pewarna terlihat dengan munculnya pewarnaan pada kayu yang diumpankan (Gambar 40). Secara visual serangan jamur pelapuk belum dapat dilihat dalam masa pengumpanan 12 minggu ini. Walau demikian tumbuhnya jamur pewarna pada kayu dapat menjadi petunjuk ke arah pelapukan kayu, karena proses pelapukan pada umumnya terjadi secara dinamis oleh sejumlah mikroorganisme. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Nicholas dan Crawford (2003) bahwa kolonisasi kayu oleh mikroorganisme terjadi secara dinamis yaitu oleh bakteri, jamur pewarna dan pelapuk lunak, kemudian Basidiomycetes. Proses suksesi kolonisasi ini dalam kayu yang tidak diawetkan bisa terjadi dalam 70 hari-an.

Proses biodeteriorasi dalam uji lapangan ini banyak dipengaruhi oleh faktor cuaca. Pembasahan kayu oleh air hujan menjadikan kadar air kayu naik dan dapat ditumbuhi jamur. Selain itu, radiasi ultraviolet dari sinar matahari dapat menyebabkan degradasi lignin pada permukaan kayu walaupun sangat kecil dan dalam waktu yang lama. Sebagaimana dijelaskan oleh Kutz (2005) bahwa ultraviolet dari cahaya matahari dapat mengoksidasi komponen lignin pada kayu. Kerusakan yang tampak pada kayu akibat fotodegradasi adalah perubahan warna dan retak-retak. Padahal lignin merupakan komponen kimia pelindung dalam kayu.

Demikian pula halnya dengan pemanasan sinar matahari dan pembasahan air hujan yang berulang kali dalam waktu lama dapat menyebabkan perubahan dimensi dan retakan kayu. Pembasahan air hujan yang berulang kali juga dapat menyebabkan pencucian ekstraktif kayu secara bertahap. Sehingga ekstraktif dalam kayu kamper yang menjadikannya awet, lama kelamaan mengalami pencucian dan berkurang sifat proteksinya dari serangan organisme perusak.

Gambar 40 Pewarnaan pada kayu kamper (K) dan sengon (S) dalam uji lapang pelapukan.

(25)

Di Pulau Jawa banyak daerah yang memiliki curah hujan rata-rata bulanan yang tinggi, sehingga memiliki potensi pelapukan kayu yang tinggi. Pembasahan menyebabkan kayu lebih disukai jamur dan sangat mendukung untuk pertumbuhannya. Kayu pada kondisi pemakaian atau pada keadaan kering udara berkadar air sekitar 16%, sehingga jamur pelapuk akan sulit tumbuh. Hal ini sebagaimana dijelaskan Nicholas dan Crawford (2003) bahwa untuk mendukung terjadinya pelapukan kayu dibutuhkan kadar air minimal pada titik jenuh serat (28–30)%. Air sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan jamur pelapuk, yaitu sebagai pelarut dalam proses metabolisme, pengangkutan metabolit, enzim dan organel, sebagai pengisi penting kerangka dan sebagai kekuatan pendorong pertumbuhan.

Dalam uji pelapukan lapangan ini juga terbukti bahwa dibandingkan dengan kayu kamper, kayu sengon menunjukkan penurunan sifat mekanis yang lebih besar, terutama nilai modulus patahnya (MOR) karena keawetan kayu sengon lebih rendah daripada kayu kamper. Sehingga kayu sengon lebih cepat terdegradasi oleh organisme perusak dibandingkan dengan kayu kamper. Kayu kamper dan sengon digunakan dalam pengujian ini mewakili kayu awet dan kayu tidak awet yang banyak digunakan masyarakat dalam konstruksi rumah. Menurut Martawijaya et al. (1989) kayu kamper termasuk kelas awet II, sedangkan kayu sengon termasuk kelas awet IV. Walupun termasuk katagori awet, kayu kamper juga terdegradasi yang ditandai dengan nilai mekanis (MOE dan MOR) lebih rendah dari kontrolnya.

Gambar

Gambar 26  Bagian  noktah  pada  dinding  sel  kayu  pinus  yang  terdegradasi  (d)  oleh jamur pelapuk G
Gambar 27  Bagian  noktah  pada  dinding  sel  kayu  pinus  yang  terdegradasi  (d)  oleh jamur pelapuk S
Gambar 31  Perubahan warna media serbuk kayu setelah diinokulasi dengan  jamur pelapuk G
Gambar 32  Kadar  selulosa  dan  lignin  serbuk  kayu  pinus  (a)  dan  sengon  (b)  setelah  12  minggu  uji  biodeteriorasi  dengan  jamur  pelapuk  G
+5

Referensi

Dokumen terkait

(3) Tim Penilai Direktorat Jenderal dari Kantor Pusat berwenang untuk melakukan Penilaian dalam rangka Pemanfaatan, Pemindahtanganan, atau pelaksanaan kegiatan lain sesuai

Demikian juga gempa dengan magnitude 8,8 yang terjadi tahun lalu di Chile, waktu dalam satu hari telah dipangkas sebesar 1,26 mikrodetik dan menggeser poros Bumi sekitar 8 cm..

Berdasarkan hasil Praktek Kerja Lapang (PKL) tentang penerapan teknologi busmetik pada pembesaran udang vannamei di UPT PBAP Bangil, Pasuruan dapat ditarik

Menurut Sawyer’s (2009:10), ruang lingkup audit internal adalah sebagai berikut: “Audit internal adalah sebuah penilaian yang sistematis dan objektif yang dilakukan

Adapun sebanyak 40,72% mahasiswa calon guru menyatakan tidak selalu menyiapkan media pembelajaran berbasis TIK sebelum proses belajar mengajar dan mahasiswa calon

Pada penelitian ini, penulis menemukan 35 ciri agresif pada tokoh perempuan, yang mana dua diantaranya merupakan data yang sama pada masing-masing tokoh,

KETIGA : Segala biaya yang dikeluarkan sehubungan ditetapkannya Keputusan ini dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, Desa Bangunjiwo Kecamatan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kreativitas belajar pada hasil belajar mata kuliah Akuntansi Biaya II pada Mahasiswa FKIP Akuntansi UMS