Dosen STEKOM
Eni Endaryati, S.Kom, M.Si Program Studi Komputer Akuntansi
Eko Siswanto, S.Kom Program Studi Sistem Komputer
Iman Saufik Suasana, S.Kom, M.Kom Program Studi Teknik Komputer
Kasih Purwantini, S.Kom, M.Si. Program Studi Komputerisasi Akuntansi Sukemi Kamto Sudibyo, S.Kom, M.Si Program Studi Komputer Akuntansi Sri Wahyuning, S.Kom, M.Si Program Studi Komputerisasi Akuntansi Tantik Sumarlin, S.Kom, M.Si Program Studi Komputer Akuntansi Vivi Kumalasari S., S.E, M.Si Program Studi Komputer Akuntansi
Alumnus STEKOM
Nanik Setyamurti, S.Kom Program Studi Komputer Akuntansi
Putri Nurjanah, S.Kom Program Studi Sistem Komputer
Ratna Indah Dwipunti, S.Kom Program Studi Komputer Akuntansi Vega Alen Septiana, S.Kom Program Studi Komputer Akuntansi Wisnu Agusta Alfiandanu, S.Kom Program Studi Sistem Komputer
Jurnal KOMPAK diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Elektronika dan Komputer (STEKOM). Jurnal KOMPAK sebagai sarana komunikasi dan penyebarluasan hasil penelitian,
pemikiran serta pengabdian pada masyarakat
Analisis dan Perancangan Sistem Informasi Laporan Keuangan Sebagai Tolok Ukur Kinerja Keuangan Perusahaan dengan Metode Rasio Keuangan (PT. KR Semarang)
Nanik Setyamurti, Eni Endaryati 1 – 13
Sistem Informasi Akuntansi Persediaan Obat Berbasis Multiuser pada Apotek Winong Kidul Pati
Putri Nurjanah, Iman Saufik 14 – 19
Perancangan Sistem Informasi Administrasi Keuangan pada Sanggar Tari Sekar Tanjung Kendal Berbasis Client Server
Ratna Indah Dwipunti, Sukemi Kamto Sudibyo 20 – 24
Sistem Informasi Akuntansi Persediaan Barang dengan Metode FIFO (Studi Kasus Pada De Kosmo Factory Outlet)
Sri Wahyuning 25 – 31
Pengaruh Budaya dan Teknologi Komputer terhadap Kepuasan Kerja dengan Sistem Informasi sebagai Variabel Intervening di Kabupaten Semarang
Tantik Sumarlin 32 - 40
Sistem Informasi Akuntansi Simpan Pinjam dan Analisis Laporan Keuangan dengan Metode CAMEL (Studi Kasus Di KSU Manunggal Jaya Kendal)
Vega Alen Septiana, Kasih Purwantini 41 – 48
Kecurangan Pelaporan Keuangan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Vivi Kumalasari 49 - 68
Sistem Informasi Pengolahan Data Gaji dan Perhitungan PPH Pasal 21 pada CV. Sinar Teknik Ngaliyan Semarang
KOMPAK
JURNAL ILMIAH KOMPUTER AKUNTANSI
Penanggung Jawab :
Ketua Sekolah Tinggi Elektronika dan Komputer
Pemimpin Redaksi :
Unang Achlison, S.T, M.Kom
Mitra Bestari :
Prof. YL Sukestiyarno M.S, Ph.D (Universitas Negeri Semarang)
Sekretaris Redaksi :
Rini Rubhiyanti, S.Kom, M.Si
Dewan Redaksi :
Dr. Ir. Agus Wibowo, M.Kom, M.Si, M.M
Eni Endaryati, S.Kom, M.Si
Sukemi Kamto Sudibyo, S.Kom, M.Si
Sulartopo, S.Pd. M.Kom
Vivi Kumalasari S., S.E, M.Si
Desain Grafis :
Joseph Teguh Santoso, S.Kom, M.Kom
Setyo Adi Nugroho, S.E, M.Kom
Alamat Redaksi :
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Sekolah Tinggi Elektronika dan Komputer
Jl. Majapahit No. 605 Semarang Telp. 024-6723456
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa dengan terbitnya Jurnal KOMPAK
(Komputer Akuntansi) Edisi April 2015, Volume 8 Nomor 1 Tahun 2015 dengan
artikel-artikel yang selalu mengikuti perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam
bidang Komputer Akuntansi.
Semua artikel yang dimuat pada Jurnal Komputer Akuntansi (KOMPAK) ini telah
ditelaah oleh Dewan Redaksi yang mempunyai kompetensi di bidang Komputer
Akuntansi.
Pada edisi ini kami menyajikan beberapa topik menarik tentang penerapan
metode-metode dalam Sistem Keuangan yaitu: “Analisis dan Perancangan Sistem Informasi
Laporan Keuangan Sebagai Tolok Ukur Kinerja Keuangan Perusahaan dengan Metode
Rasio Keuangan”, serta “Sistem Informasi Akuntansi dengan menyajikan Sistem
Informasi Akuntansi Persediaan Barang dengan Metode FIFO”, dan “Sistem Informasi
Akuntansi Simpan Pinjam dan Analisis Laporan Keuangan dengan Metode CAMEL”.
Topik selanjutnya adalah makalah tentang Sistem Informasi Akuntansi berbasis Multiuser
atau Client Server yaitu: “Sistem Informasi Akuntansi Persediaan Obat Berbasis
Multiuser”, serta “Perancangan Sistem Informasi Administrasi Keuangan pada Sanggar
Tari Sekar Tanjung Kendal Berbasis Client Server”, dan “Pengaruh Budaya dan
Teknologi Komputer terhadap Kepuasan Kerja dengan Sistem Informasi sebagai Variabel
Intervening di Kabupaten Semarang”. Sebagai penutup kami menyajikan makalah
mengenai yaitu Pelaporan Keuangan dan Perpajakan yaitu: “Kecurangan Pelaporan
Keuangan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi”, dan “Sistem Informasi Pengolahan
Data Gaji dan Perhitungan PPH Pasal 21”.
Terima kasih yang mendalam disampaikan kepada penulis makalah yang telah
berkontribusi pada penerbitan Jurnal KOMPAK edisi kali ini. Dengan rendah hati dan
segala hormat, mengundang Dosen dan rekan sejawat peneliti dalam bidang Elektronika
dan Komputer untuk mengirimkan naskah, review, gagasan dan opini untuk disajikan pada
Jurnal Komputer Akuntansi (KOMPAK) ini.
Sebagai akhir kata, saran dan kritik terhadap Jurnal Komputer Akuntansi
(KOMPAK) yang membangun sangat diharapkan. Selamat membaca.
Semarang, April 2015
KOMPAK
JURNAL ILMIAH KOMPUTER AKUNTANSI
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ... i
Daftar Isi ... ii
1. Analisis dan Perancangan Sistem Informasi Laporan Keuangan Sebagai Tolok Ukur
Kinerja Keuangan Perusahaan dengan Metode Rasio Keuangan (PT. KR Semarang)
(Nanik Setyamurti, Eni Endaryati) ... 1
2. Sistem Informasi Akuntansi Persediaan Obat Berbasis Multiuser pada Apotek Winong
Kidul Pati (Putri Nurjanah, Iman Saufik) ... 14
3. Perancangan Sistem Informasi Administrasi Keuangan pada Sanggar Tari Sekar Tanjung
Kendal Berbasis Client Server (Ratna Indah Dwipunti, Sukemi Kamto Sudibyo) ... 20
4. Sistem Informasi Akuntansi Persediaan Barang dengan Metode FIFO - Studi Kasus
Pada De Kosmo Factory Outlet (Sri Wahyuning) ... 25
5. Pengaruh Budaya dan Teknologi Komputer terhadap Kepuasan Kerja dengan Sistem
Informasi sebagai Variabel Intervening di Kabupaten Semarang (Tantik Sumarlin) ... 32
6. Sistem Informasi Akuntansi Simpan Pinjam dan Analisis Laporan Keuangan dengan
Metode CAMEL - Studi Kasus Di KSU Manunggal Jaya Kendal (Vega Alen Septiana,
Kasih Purwantini) ... 41
7. Kecurangan Pelaporan Keuangan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
(Vivi Kumalasari) ... 49
8. Sistem Informasi Pengolahan Data Gaji dan Perhitungan PPH Pasal 21 pada CV. Sinar
Teknik Ngaliyan Semarang (Wisnu Agusta Alfiandanu, Eko Siswanto) ... 69
KECURANGAN PELAPORAN KEUANGAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHINYA
VIVI KUMALASARI
Sekolah Tinggi Elektronika dan KomputerJl. Majapahit 605 & 304 Semarang Indonesia E-mail : [email protected]
Abstract
This study examines the effect of the characteristics of the company (leverage, ROA, and the change in total assets) and the characteristics of the external auditor (audit firm tenure and status KAP) against fraudulent financial reporting. The sample used in this study as many as 84 companies, which consists of 42 companies that perform fraudulent financial reporting and the 42 companies that do not perform fraudulent financial reporting. The sample used in this study is the data pairs (matched-pairs sample) which consists of the data companies doing fraudulent financial reporting and data company that does not perform fraudulent financial reporting. Logistic regression models with SPSS used in this study.
The results of this study indicate that the leverage, the change in total assets, the audit firm tenure, and KAP status has no effect on fraudulent financial reporting. The results of this study also showed Return on Assets (ROA) significant negative effect on fraudulent financial reporting.
Keywords: financial reporting fraud, fraudulent financial reporting, corporate characteristics, the characteristics of the
external auditors
Intisari
Penelitian ini menguji pengaruh karakteristik perusahaan (leverage, ROA, dan perubahan total aset) dan karakteristik auditor eksternal (audit firm tenure dan status KAP) terhadap kecurangan pelaporan keuangan. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 84 perusahaan, yang terdiri dari 42 perusahaan yang melakukan kecurangan pelaporan keuangan dan 42 perusahaan yang tidak melakukan kecurangan pelaporan keuangan. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah data berpasangan (matched-pairs sample) yang terdiri dari data perusahaan yang melakukan kecurangan pelaporan keuangan dan data perusahaan yang tidak melakukan kecurangan pelaporan keuangan. Model regresi logistik dengan SPSS digunakan dalam penelitian ini.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa leverage, perubahan total aset, audit firm tenure, dan status KAP tidak berpengaruh terhadap kecurangan pelaporan keuangan. Hasil penelitian ini juga menunjukkan Return on Assets (ROA) berpengaruh negatif signifikan terhadap kecurangan pelaporan keuangan.
Kata kunci: kecurangan pelaporan keuangan, fraudulent financial reporting, karakteristik perusahaan, karakteristik
auditor eksternal
.
A. PENDAHULUAN
Beberapa kasus skandal keuangan seperti Enron, Global Crossing, WorldCom, dan
lain-lainnya menyebabkan masalah pelaporan
keuangan dan kualitas audit menjadi fokus perhatian bagi para regulator di Amerika Serikat. Fraudulent financial reporting adalah perilaku yang disengaja atau ceroboh, baik dengan
tindakan atau penghapusan, yang menghasilkan laporan keuangan yang menyesatkan (bias)
(Effendi, 2006). Kecurangan pelaporan
keuangan yang dilakukan oleh perusahaan menimbulkan berbagai macam efek negatif. Penelitian yang dilakukan oleh The Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission (COSO) terhadap 350 kasus kecurangan pelaporan keuangan
perusahaan-perusahaan publik di Amerika Serikat dalam kurun waktu 10 tahun (1998-2007) menemukan bahwa kecurangan dalam pelaporan keuangan
memberikan konsekuensi negatif yang
signifikan terhadap para investor dan eksekutif. Dugaan kecurangan telah mengakibatkan penu-runan abnormal harga saham rata-rata 16,7% dalam 2 hari setelah diumumkan (COSO, 2010). Di Indonesia, kasus kecurangan pelaporan keuangan juga menimbulkan efek negatif bagi banyak pihak seperti kasus-kasus yang terjadi di Amerika Serikat. Salah satu contoh kasus kecurangan pelaporan keuangan yang terjadi di Indonesia adalah kasus PT Kimia Farma. Kasus ini membuat PT Kimia Farma dikenakan sanksi administratif berupa denda yaitu sebesar Rp500 juta dan direksi Lama PT Kimia Farma periode 1998-Juni 2002 diwajibkan membayar sejumlah Rp1 milyar karena melakukan kegiatan praktek penggelembungan atas laporan keuangan per 31 Desember 2001. Ludovicus Sensi W, Rekan KAP Hans Tuanakotta dan Mustofa selaku auditor PT Kimia Farma diwajibkan membayar sejumlah Rp100 juta. Sanksi ini dikenakan atas risiko audit yang tidak berhasil mendeteksi adanya penggelembungan laba yang dilakukan oleh PT Kimia Farma meskipun telah melakukan prosedur audit sesuai dengan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) dan tidak diketemukan adanya unsur kesengajaan (Bapepam, 2002).
Beberapa karakteristik perusahaan dan
karakteristik auditor eksternal dipandang dapat mendorong timbulnya kecurangan dalam hal pelaporan keuangan. George (2009) meneliti
karakteristik-karakteristik perusahaan dan
karakteristik-karakteristik auditor eksternal di Amerika Serikat yang dibagi dalam 11 variabel kontrol yang dibedakan menjadi 7 variabel non-dummy dan 4 variabel non-dummy. Variabel leverage, variabel ROA, variabel perubahan total aset, variabel arus kas operasi, dan variabel perubahan opini going concern merupakan variabel kontrol yang mendukung hipotesis George (2009). Hal ini berarti variabel leverage, variabel ROA, variabel perubahan total aset, variabel arus kas operasi, dan variabel perubahan opini going concern berpengaruh terhadap kecurangan pelaporan keuangan. Kontradiksi dengan penelitian George (2009), penelitian Toit (2008) menemukan bahwa profitabilitas dan pertumbuhan aset bukan merupakan karakteristik
perusahaan yang berhubungan dengan
kecurangan pelaporan keuangan. Penelitian Toit (2008) juga menemukan bahwa umur perusahaan
berhubungan negatif dengan kecurangan
pelaporan keuangan.
Hasil penelitian George (2009), Johnson et al. (2002), serta Carcello dan Nagy (2004) menunjukkan bahwa kemungkinan kecurangan laporan keuangan adalah negatif bila dikaitkan dengan auditor firm tenure. Hal ini berarti bahwa semakin lama masa auditor firm tenure, semakin rendah probabilitas bahwa klien
tersebut akan terlibat dalam kecurangan
pelaporan keuangan.
Hasil penelitian George (2009), Carcello dan Nagy (2004), serta Geiger dan Raghunandan (2002) juga menunjukkan bahwa kecurangan pelaporan keuangan yang paling mungkin terjadi adalah pada tahun-tahun awal keterlibatan auditor. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan khusus tentang klien di awal
perikatan dengan auditor sehingga
mengakibatkan rendahnya kemampuan dalam mendeteksi salah saji material. Perikatan yang
lama membantu auditor mengembangkan
pengetahuan khusus tentang klien dan
pemahaman mendalam tentang bisnis dan risiko klien. Berbeda dengan penelitian lainnya,
penelitian Johnson et al. (2002) tidak
menemukan bukti bahwa perikatan yang lebih lama (9 tahun atau lebih) berhubungan dengan rendahnya kualitas laporan keuangan.
Penelitian COSO (1999) terhadap
perusahaan yang terdaftar di SEC selama periode Januari 1987 sampai dengan Desember 1997 menyimpulkan bahwa terdapat 300 perusahaan
yang melakukan kecurangan pelaporan
keuangan. Karakteristik perusahaan yang
melakukan kecurangan pelaporan keuangan yaitu memiliki permasalahan financial distress dan terdapat kecurangan dengan jumlah uang yang besar. Penelitian Carcello dan Nagy (2004) terhadap 267 perusahaan di Amerika Serikat selama tahun 1990-2001 juga menemukan bahwa kecurangan pelaporan keuangan yang lebih tinggi akan terjadi pada perusahaan dengan financial distress yang tinggi pula.
Penelitian yang dilakukan di Indonesia, seperti penelitian yang dilakukan Sumarwoto (2006) terhadap 181 perusahaan di Indonesia, menemukan bahwa tidak terdapat pengaruh
signifikan antara kebijakan rotasi yang bersifat mandatory pada kualitas laporan keuangan. Penelitian Soselisa dan Mukhlasin (2008) menunjukkan bahwa financial leverage dan jenis KAP tidak berpengaruh terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi. Penelitian Soselisa dan Mukhlasin (2008) juga menunjukkan bahwa
komposisi aktiva lancar dalam aktiva
perusahaan, ukuran perusahaan, dan opini auditor secara signifikan berpengaruh terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi. Hal ini kontradiksi dengan penelitian Palmrose (1988) dalam Soselisa dan Mukhlasin (2008) dan penelitian yang dilakukan oleh Persons (1995). Penelitian Palmrose (1988) dalam Soselisa dan Mukhlasin (2008) menemukan bahwa kasus kecurangan lebih jarang terjadi pada perusahaan yang menggunakan jasa KAP yang masuk dalam kelompok The Big Six. Penelitian yang
dilakukan oleh Persons (1995) juga
menunjukkan bahwa financial leverage
berpengaruh secara signifikan dengan
kecenderungan kecurangan akuntansi.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh George (2009) yang hanya menguji pengaruh audit firm tenure terhadap probabilitas kecurangan pelaporan keuangan di Amerika Serikat, maka penelitian ini akan menguji
pengaruh karakteristik perusahaan dan
karakteristik auditor eksternal terhadap
kecurangan pelaporan keuangan perusahaan-perusahaan di Indonesia. Penelitian yang
dilakukan oleh George (2009) hanya
menggunakan 1 variabel independen berupa audit firm tenure, maka penelitian kali ini menggunakan variabel independen dan variabel kontrol yang dibedakan menjadi dua kategori. Dua kategori tersebut adalah karakteristik perusahaan dan karakteristik auditor eksternal. Karakteristik perusahaan yang diuji dalam penelitian ini meliputi variabel leverage, variabel ROA, variabel perubahan total aset, variabel umur perusahaan, dan variabel financial distress. Karakteristik auditor eksternal yang diuji dalam penelitian ini meliputi variabel audit firm tenure dan variabel status KAP.
Variabel status Kantor Akuntan Publik (KAP) yang belum diuji dalam penelitian George (2009) dipakai sebagai variabel dummy dalam penelitian ini. Berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu (George, 2009; Soselisa dan
Mukhlasin, 2008) yang menguji ukuran KAP berdasarkan KAP The Big Four dan non-Big Four, variabel status KAP dalam penelitian ini dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu KAP lokal di Indonesia yang berafiliasi dengan Organisasi Audit Asing (OAA) atau Kantor Akuntan Publik Asing (KAPA) dan KAP lokal di Indonesia yang non-afiliasi dengan Organisasi Audit Asing (OAA) atau Kantor Akuntan Publik Asing (KAPA). Pada tahun 2010, terdapat 45 KAP di Indonesia yang berafiliasi dengan OAA dan KAPA (Soepriyanta, 2010) dan pada Januari 2012 terdapat 48 KAP di Indonesia yang berafiliasi dengan OAA dan KAPA (PPAJP, 2012). Perusahaan beranggapan bahwa auditor yang berasal dari KAP besar dan memiliki afiliasi internasional adalah auditor yang memiliki kualitas tinggi karena auditor tersebut banyak mendapat pelatihan, adanya pengakuan internasional serta adanya peer review (Indriani, 2012).
Penelitian ini hanya menggunakan 1 variabel kontrol dari 11 variabel kontrol yang terdapat dalam penelitian George (2009), yaitu variabel financial distress yang diukur dengan Altman financial distress’ score. Variabel umur
perusahaan yang belum terdapat dalam
penelitian George (2009) akan digunakan sebagai variabel kontrol dalam penelitian ini.
Variabel financial distress dipilih dalam
penelitian ini karena bila sebuah perusahaan mengalami financial distress yang tinggi maka akan semakin tinggi pula kemungkinannya melakukan kecurangan pelaporan keuangan (Carcello dan Nagy, 2004).
Variabel umur perusahaan dipilih dalam
penelitian ini karena penelitian-penelitian
terdahulu yang menguji hubungan antara umur perusahaan dan kecurangan pelaporan keuangan
belum banyak dilakukan. Faktor umur
perusahaan juga merupakan faktor yang
mempengaruhi kinerja perusahaan. Umur
perusahaan dapat menunjukkan kemampuan dalam mengatasi kesulitan dan hambatan yang dapat mengancam kehidupan perusahaan serta
menunjukkan kemampuan perusahaan
mengambil kesempatan dalam lingkungannya untuk mengembangkan usaha. Umur perusahaan juga dapat menunjukkan kemampuan dalam
perusahaan berdiri maka perusahaan tersebut semakin menunjukkan eksistensinya dalam lingkungannya dan makin bisa meningkatkan kepercayaan investor (Rosid, 2012). Penelitian Toit (2008) menemukan bahwa perusahaan yang melakukan kecurangan pelaporan keuangan
adalah perusahaan yang berumur muda.
Penelitian Ramadhani dan Lukviarman (2009) membuktikkan bahwa perusahaan yang berumur di bawah 30 tahun memiliki kemungkinan yang
besar untuk mengalami kebangkrutan
dibandingkan dengan perusahaan yang berumur di atas 30 tahun. Situasi ini akan mendorong
perusahaan untuk melakukan kecurangan
pelaporan keuangan.
Berbeda dengan penelitian George (2009) yang menggunakan lima indikator kuantitatif kecurangan laporan keuangan Beneish (1999) sebagai alat pengukuran variabel dependen maka
penelitian ini akan menggunakan daftar
perusahaan yang melakukan kecurangan
pelaporan keuangan dan perusahaan yang tidak melakukan kecurangan pelaporan keuangan sebagai cara pengukuran variabel dependen. Cara pengukuran variabel dependen dalam penelitian ini seperti yang digunakan dalam penelitian Bai et al. (2008). Penelitian Bai et al. (2008) menggunakan data 24 false financial reports dan 124 non-false financial reports
perusahaan-perusahaan di China. Daftar
perusahaan yang melakukan kecurangan
pelaporan keuangan diperoleh dari press release laporan Bapepam tahun 2005-2010 yang memuat daftar perusahaan-perusahaan yang melakukan
berbagai jenis pelanggaran (termasuk
kecurangan pelaporan keuangan) dan diberi sanksi oleh Bapepam.
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu terdapat research gap yang menjelaskan tentang
pengaruh karakteristik perusahaan dan
karakteristik auditor eksternal terhadap
kecurangan pelaporan keuangan. Adanya
ketidakkonsistenan hasil penelitian-penelitian
sebelumnya menyebabkan perlu dilakukan
penelitian lanjutan yang didukung oleh teori yang mendasari sehingga dapat diajukan permasalahan tentang pengaruh karakteristik perusahaan dan karakteristik auditor eksternal terhadap kecurangan pelaporan keuangan di Indonesia. Lebih lanjut, masalah yang diteliti dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan
sebagai berikut:
1. Apakah karakteristik perusahaan (leverage, ROA, dan perubahan total aset) dan karakteristik auditor eksternal (audit firm tenure dan status KAP) secara parsial
mempengaruhi kecurangan pelaporan
keuangan perusahaan-perusahaan yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2005 sampai tahun 2010?
2. Apakah karakteristik perusahaan (leverage, ROA, dan perubahan total aset) dan karakteristik auditor eksternal (audit firm tenure dan status KAP) secara simultan
mempengaruhi kecurangan pelaporan
keuangan perusahaan-perusahaan yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2005 sampai tahun 2010?
B. DASAR TEORI
1. Teori Agensi
Teori agensi menyangkut hubungan
kontraktual diantara dua pihak, yaitu prinsipal dan agen. Menurut Jensen dan Meckling (1976) hubungan keagenan adalah hubungan kontrak antara seseorang atau lebih (prinsipal) dengan orang lain (agen), di mana agen memberikan beberapa pelayanan atas nama prinsipal dan prinsipal mendelegasikan beberapa otoritas pengambilan keputusan kepada agen. Pihak prinsipal menyediakan fasilitas dan dana untuk menjalankan perusahaan serta pihak agen mempunyai kewajiban untuk mengelola apa yang diamanahkan pemegang saham kepadanya. Jensen dan Meckling (1976) juga menyatakan bahwa ketika pemilik yang sekaligus merangkap sebagai manajer (owner manager) menjual sebagian sahamnya kepada pihak luar, biaya agensi akan muncul karena adanya perbedaan antara kepentingan owner manager dengan kepentingan para pemegang saham. Biaya agensi ini muncul karena adanya asimetri informasi dan konflik kepentingan antara prinsipal dan agen. Biaya agensi yang timbul diantaranya adalah biaya monitoring yang dilakukan oleh pihak prinsipal. Biaya monitoring ini mencakup biaya untuk proses auditing, penganggaran, kontrol, dan sistem kompensasi agen.
Adanya biaya agensi menyebabkan pihak manajemen harus dapat mengurangi biaya agensi untuk meningkatkan nilai perusahaan. Salah satu
cara untuk mengurangi biaya agensi adalah dengan melakukan pengungkapan informasi perusahaan. Pihak agen diwajibkan memberikan laporan periodik kepada pihak prinsipal tentang kondisi perusahaan yang dijalankannya. Pihak prinsipal akan menilai kinerja agennya melalui laporan keuangan yang disampaikan sehingga
laporan keuangan merupakan sarana
akuntabilitas manajemen kepada pemiliknya. Dalam hal ini, laporan keuangan merupakan
salah satu alat yang pokok untuk
mengkomunikasikan informasi keuangan pada
pihak-pihak diluar entitas sehingga
memungkinkan dilakukannya audit laporan keuangan oleh pihak ketiga sehingga dapat meningkatkan kualitas informasi keuangan yang dilaporkan oleh manajemen.
2. Fraudulent Financial Reporting
Fraudulent financial reporting adalah perilaku yang disengaja atau ceroboh, baik dengan tindakan atau penghapusan, yang
menghasilkan laporan keuangan yang
menyesatkan (bias) (Effendi, 2006). Kecurangan pelaporan keuangan yang terjadi di suatu perusahaan memerlukan perhatian khusus dari auditor independen. Ada tiga hal penyebab fraudulent financial reporting, yaitu (Effendi, 2006):
a. Manipulasi, falsifikasi, dan alterasi atas catatan akuntansi dan dokumen pendukung atas laporan keuangan yang disajikan. b. Salah penyajian (misrepresentation) atau
kesalahan informasi yang signifikan dalam laporan keuangan.
c. Salah penerapan (misapplication) dari
prinsip akuntansi yang berhubungan dengan jumlah, klasifikasi, penyajian (presentation), dan pengungkapan (disclosure).
Fraudulent financial reporting juga dapat
disebabkan karena adanya kolusi antara
manajemen dengan auditor independen (Effendi, 2006). Salah satu upaya untuk mencegah adanya kolusi adalah dengan melakukan rotasi KAP.
Dalam hubungan auditor-klien terdapat
kecenderungan bahwa seiring dengan perjalanan waktu, auditor akan mulai menyesuaikan dengan berbagai keinginan manajemen dan kemudian tidak sepenuhnya bertindak independen (Geiger dan Raghunandan, 2002).
3. Argumentasi Pendukung dan Penentang
Kewajiban Rotasi KAP
Hoyle (1978) menyatakan 2 dasar alasan rotasi KAP yang bersifat wajib yaitu kualitas dan kompetensi pekerjaan audit cenderung menurun secara signifikan dari waktu ke waktu dan
independensi auditor dapat rusak oleh
panjangnya hubungan dengan manajemen. SEC
Practice Section Executive Committee
mengihktisarkan berbagai argumentasi pihak yang mendukung rotasi KAP yang bersifat wajib, yaitu (1) Auditor cenderung tumbuh terlalu akrab dengan manajemen klien sehingga mereka mulai mengidentifikasi dengan masalah manajemen dan kehilangan skepticism. (2) Auditor menjadi stale (basi) karena memandang pengujian sebagai pengulangan perikatan yang sebelumnya pada klien yang sama. (3) Auditor tergoda untuk meratakan lingkup masalah dalam upaya untuk mempertahankan perikatan dalam jangka yang lebih panjang (AICPA, 1992 dalam Sumarwoto, 2006). Prioritas auditor adalah menyenangkan dan mempertahankan klien daripada mengikuti standar profesional.
Mautz dan Sharaf (1961) dalam Myers et al. (2003) menyatakan bahwa semakin luasnya hubungan antara KAP dengan klien akan menyebabkan berkurangnya independensi KAP karena obyektifitas KAP akan berkurang seiring dengan berjalannya waktu. Seiring dengan perjalanan waktu, auditor mulai menyesuaikan dengan berbagai keinginan manajemen dan
kemudian tidak sepenuhnya bertindak
independen (Geiger dan Raghunandan, 2002). Perikatan KAP dengan klien dalam waktu yang panjang akan membuat kurangnya inovasi audit, kurang kuatnya prosedur audit, munculnya hubungan kekeluargaan dan munculnya percaya diri yang berlebihan terhadap klien.
Di Indonesia, rotasi KAP bersifat
mandatory dengan ditetapkannya Keputusan Menkeu (KMK) No. 359/KMK.06/2003 tentang perubahan KMK No. 423/KMK.06/2002 tentang Jasa Akuntan Publik tertanggal 21 Agustus 2003, yang mengatur tentang pembatasan dan rotasi terhadap akuntan publik. Dalam pasal II Keputusan Menkeu tersebut dijelaskan bahwa KAP yang telah memberikan jasa audit umum untuk 5 tahun buku berturut-turut atau lebih atas laporan keuangan dari suatu entitas pada saat berlakunya Keputusan Menteri Keuangan ini,
dapat melaksanakan audit umum atas laporan keuangan suatu entitas tersebut sampai dengan tahun buku 2003. Lebih lanjut, akuntan publik yang telah memberikan jasa audit umum untuk 3 tahun buku berturut-turut atau lebih atas laporan keuangan dari suatu entitas pada saat berlakunya
Keputusan Menteri Keuangan ini, dapat
melaksanakan audit umum atas laporan
keuangan suatu entitas tersebut sampai dengan tahun buku 2003.
Pasal II Keputusan Menkeu (KMK) No.
359/KMK.06/2003 tersebut merupakan
perubahan dari 6 ayat 4 dan pasal 59 ayat 5 dan 6 KMK No. 423/KMK.06/2002. Pasal 6 ayat 4 Kepmenkeu tersebut memuat bahwa pemberian jasa audit umum atas laporan keuangan dari suatu entitas dapat dilakukan oleh KAP paling lama untuk 5 tahun buku berturut-turut dan oleh seorang akuntan publik paling lama 3 tahun berturut-turut. Selanjutnya di pasal 59 ayat 5 dan
6 dinyatakan bahwa KAP yang telah
memberikan jasa audit umum untuk 5 tahun buku berturut-turut atau lebih dan masih mempunyai perikatan audit umum untuk tahun buku berikutnya atas laporan keuangan dari suatu entitas pada saat berlakunya Keputusan
Menteri Keuangan ini, hanya dapat
melaksanakan perikatan dimaksud untuk 1 tahun buku berikutnya dan Akuntan Publik yang telah memberikan jasa audit umum untuk 3 tahun buku berturut-turut atau lebih dan masih mempunyai perikatan audit umum untuk tahun buku berikutnya atas laporan keuangan dari suatu entitas pada saat berlakunya Keputusan
Menteri Keuangan ini, hanya dapat
melaksanakan perikatan dimaksud untuk 1 tahun buku berikutnya.
Hal ini berarti suatu KAP dan Akuntan Publik maksimal melakukan audit umum untuk tahun buku 2003 sesuai pasal II KMK No. 359/KMK.06/2003. Pada tahun buku 2004 diperkirakan akan terdapat jumlah yang cukup signifikan perusahaan yang merotasi KAP karena harus memenuhi kewajiban rotasi yang
sifatnya mandatory sesuai KMK No.
359/KMK.06/2003.
KMK No. 359/KMK.06/2003 tersebut kemudian diperbaharui dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 17/PMK.01/2008 yang menjelaskan bahwa pemberian jasa audit umum atas laporan
keuangan dari suatu entitas dilakukan oleh KAP paling lama untuk 6 tahun buku berturut-turut dan oleh seorang akuntan publik paling lama untuk 3 tahun buku berturut-turut. Akuntan publik dapat menerima kembali penugasan audit umum untuk klien sebagaimana dimaksud setelah 1 tahun buku tidak memberikan jasa audit umum atas laporan keuangan klien tersebut. Jasa audit umum atas laporan keuangan dapat diberikan kembali kepada klien yang sama melalui KAP setelah 1 tahun buku jasa audit umum tidak diberikan melalui KAP tersebut.
Pada tahun 2011, pemerintah juga telah menetapkan UU No. 5 tahun 2011 tentang akuntan publik pada tanggal 3 Mei 2011. Pasal 4 undang-undang tersebut menjelaskan bahwa pemberian jasa audit oleh Akuntan Publik dan/atau KAP atas informasi keuangan historis suatu klien untuk tahun buku yang berturut-turut dapat dibatasi dalam jangka waktu tertentu. Ketentuan mengenai pembatasan pemberian jasa audit atas informasi keuangan historis diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Perusahaan yang diharuskan merotasi KAP secara wajib berbeda dari perusahaan yang ingin merotasi KAP. General Accounting Office (GAO) (2003) menjelaskan bahwa perusahaan yang secara periodik merotasi KAP akan membawa pada cara pandang baru pada KAP dan membantu mereka menghadapi masalah pelaporan keuangan ketika ada pembatasan masa penugasan KAP. Hubungan KAP-klien yang diperpanjang terus menerus akan membawa pekerjaan audit menjadi terlalu rutin dan akhirnya akan berpengaruh pada kompetensi. Perusahaan yang merotasi KAP secara voluntary
disebabkan karena KAP yang terdahulu
bertindak konservatif dan tidak sejalan dengan kepentingan manajemen perusahaan sehingga perusahaan ingin mencari KAP yang dapat memenuhi kepentingannya (Sumarwoto, 2006). KAP baru yang berasal dari rotasi KAP yang bersifat wajib akan membawa skepticisme lebih besar pada audit. Hal ini disebabkan karena KAP baru tersebut tidak akan memandang klien sebagai sumber penghasilan yang terus-menerus karena masa penugasan dibatasi pada periode tertentu. Perusahaan yang merotasi KAP secara
voluntary akan mendapatkan beberapa
keuntungan, misalnya: (1) Perusahaan mengganti
menyesuaikan dengan keinginan manajemen. (2) Mencari KAP yang dipandang lebih luwes. (3) Signal bahwa perusahaan mau merotasi KAP di masa mendatang (Sumarwoto, 2006).
Pendukung rotasi KAP yang bersifat voluntary mengidentifikasi adanya kerugian pada rotasi KAP yang bersifat wajib, yaitu pada kualitas audit. Pengaruh negatif pada kualitas audit dalam tahun pertama penggunaan jasa KAP baru adalah KAP tersebut sedang pada
tahap awal belajar. Kompleksitas bisnis
perusahaan besar dan kompleksitas seputar pelaporan keuangan menyebabkan KAP baru memerlukan waktu untuk memahami bisnis perusahaan. Jika KAP baru kurang memiliki pengetahuan yang cukup tentang dengan resiko
khusus perusahaan maka kemungkinan
kegagalan audit akan meningkat (Sumarwoto, 2006). Argumen ini konsisten dengan beberapa penelitian yang mengindikasikan bahwa pada awal-awal tahun perikatan, proporsi kegagalan audit dan tuntutan pengadilan terhadap resiko audit lebih besar (George, 2009; Carcello dan Nagy, 2004; Geiger dan Raghunandan, 2002).
C. METODE PENELITIAN
Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan-perusahaan di Indonesia sedangkan sampel yang digunakan adalah data berpasangan (matched-pairs sample) yang terdiri dari data
perusahaan yang melakukan kecurangan
pelaporan keuangan dan data perusahaan yang
tidak melakukan kecurangan pelaporan
keuangan. Model data berpasangan (matched-pairs sample) ini digunakan dalam penelitian Suparlan dan Andayani (2010). Metode data berpasangan (matched-pairs sample) diharapkan
dapat memberikan keseimbangan sampel
penelitian.
Data perusahaan yang melakukan
kecurangan pelaporan keuangan diperoleh dari press release laporan Bapepam tahun 2005-2010 yang berisi daftar perusahaan yang dikenai sanksi oleh Bapepam karena melakukan berbagai jenis pelanggaran. Berbagai jenis pelanggaran di press release laporan Bapepam tahun 2005-2010 yang tergolong kecurangan pelaporan keuangan adalah:
1. Salah saji atau adanya kesalahan informasi yang signifikan yang disajikan dalam laporan keuangan.
2. Salah penerapan dari prinsip akuntansi yang berhubungan dengan jumlah, klasifikasi, penyajian, dan pengungkapan.
Data perusahaan yang tidak melakukan
kecurangan pelaporan keuangan diambil secara acak (random sampling) perusahaan-perusahaan dari berbagai jenis industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2005-2010, kecuali dari sektor perbankan dan keuangan. Perusahaan yang tidak melakukan kecurangan pelaporan keuangan yang digunakan sebagai sampel merupakan perusahaan dengan tingkat aset yang seukuran dan berada dalam jenis industri yang sama dengan perusahaan yang melakukan kecurangan pelaporan keuangan.
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengujian logistic
regression (regresi logistik). Model yang
digunakan untuk menguji hubungan antara variabel yang berhubungan secara spesifik dapat dirumuskan sebagai berikut:
Keterangan :
Yi,t : kecurangan pelaporan keuangan
perusahaan i pada periode t
LEVi,t : Leverage perusahaan i pada
periode t
ROAi,t : Return on asset (ROA) perusahaan
i pada periode t
ASSTGROWi,t : Perubahan total aset
perusahaan i pada periode t
TENUREi,t : audit firm tenure dari KAP yang
memberikan jasa audit kepada
perusahaan i pada periode t
STATUSi,t : status KAP yang memberikan jasa
audit kepada perusahaan i pada periode t
FCi,t : financial distress perusahaan i pada
periode t
UMURi,t : umur perusahaan perusahaan i pada
periode t
β = slope variabel independen dimana β0 adalah konstan atau nilai Y ketika semua nilai X adalah 0
Ɛ(i,t) = error term, secara normal terdistribusi antara rata-rata 0
Tabel 1
Ringkasan Definisi Operasional Variabel
Sumber: berbagai jurnal yang diolah
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan press release laporan
Bapepam terdapat 42 kasus kecurangan
pelaporan keuangan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama tahun 2005-2010. Data perusahaan-perusahaan yang melakukan kecurangan pelaporan keuangan ini kemudian dipasangkan dengan data perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama tahun 2005-2010 yang tidak melakukan kecurangan pelaporan keuangan berdasarkan total aset yang seukuran dan jenis industri yang sama.
Tabel 2
Ringkasan Sampel Penelitian
Sumber: diolah dari press release laporan Bapepam 2005-2010 dan laporan tahunan perusahaan 2005-2010.
Data perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama tahun 2005-2010 yang tidak melakukan kecurangan pelaporan yang digunakan sebagai sampel adalah 42 perusahaan. Total sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 84 perusahaan. Total sampel ini mewakili 17 sub jenis industri.
Hasil pengujian statistik deskriptif
menunjukkan
bahwa
perusahaan
yang
melakukan kecurangan pelaporan keuangan
memiliki leverage ratio antara 0,03-0,90;
ROA antara (0,63)-0.28; perubahan total aset
antara (0,64)-10,13; frekuensi audit firm
tenure 2,5 tahun; menggunakan jasa KAP
yang
berafiliasi
dengan
OAA/KAPA
sebanyak 36 perusahaan (85,71 persen);
financial distress’ score antara
(15,83)-26,92; dan umur perusahaan antara 3-99
tahun. Perusahaan yang tidak melakukan
kecurangan pelaporan keuangan memiliki
leverage ratio antara 0,17-0,95; ROA antara
(0,13)-0,40; perubahan total aset antara
(0,13)-2,16; frekuensi audit firm tenure 3
tahun; menggunakan jasa KAP yang
berafiliasi dengan OAA/KAPA sebanyak 39
perusahaan
(92,86
persen);
financial
distress’ score antara (5,39)-14,47; dan umur
perusahaan antara 7-150 tahun.
Tabel 3
Audit Firm Tenure Perusahaan yang
Melakukan Kecurangan Pelaporan Keuangan
Tabel 4
Audit Firm Tenure Perusahaan yang Tidak
Melakukan Kecurangan Pelaporan Keuangan
Tabel 5
Data Umur Perusahaan-perusahaan yang Melakukan
Kecurangan Pelaporan Keuangan Sumber: data sekunder yang diolah Keterangan:
∑ Perusahaan yang berusia 1-50 tahun = 38 ∑ Perusahaan yang berusia 51-100 tahun = 4
Tabel 6
Data Umur Perusahaan-perusahaan yang Tidak Melakukan
Kecurangan Pelaporan Keuangan
Keterangan:
∑ Perusahaan yang berusia 1-50 tahun = 41 ∑ Perusahaan yang berusia 51-100 tahun = 0 ∑ Perusahaan yang berusia 101-150 tahun = 1
Rata-rata leverage dan ROA pada
perusahaan yang melakukan kecurangan
pelaporan keuangan adalah 0,52 dan -0,004.
Nilai ini lebih rendah bila dibandingkan
dengan rata-rata leverage dan ROA pada
perusahaan
yang
tidak
melakukan
kecurangan pelaporan keuangan, yaitu 0,53
dan 0,05. Rata-rata perubahan total aset pada
perusahaan yang melakukan kecurangan
pelaporan keuangan adalah 0,45 sedangkan
rata-rata
perubahan
total
aset
pada
perusahaan
yang
tidak
melakukan
kecurangan pelaporan keuangan adalah 0,21.
Hal ini berarti perusahaan yang melakukan
kecurangan pelaporan keuangan cenderung
untuk melakukan manipulasi pada aset
perusahaan.
Pada Tabel 7 dan 8 dapat dilihat bahwa
perusahaan-perusahaan yang melakukan
kecurangan pelaporan keuangan; terdapat 38 perusahaan yang berumur 1-50 tahun dan 4 perusahaan yang berumur 51-100 tahun. Pada perusahaan-perusahaan yang tidak melakukan kecurangan pelaporan keuangan terdapat 41 perusahaan yang berumur 1-50 tahun dan 1 perusahaan yang berumur 101-150 tahun. Hal ini berarti kecurangan pelaporan keuangan banyak dilakukan oleh perusahaan yang berusia antara 1-50 tahun. Apabila data umur perusahaan digolongkan menurut nilai median, berarti
kecurangan pelaporan keuangan banyak
dilakukan oleh perusahaan yang berusia muda.
Overall Model Fit
Statistik -2LogL digunakan untuk
menentukan apakah penambahan variabel
independen ke dalam model akan memperbaiki model fit. Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa selisih -2LogL adalah 15,279 dengan df 7 dan
angka ini signifikan secara statistik
(0,033<0,05). Hal ini berarti penambahan variabel independen (LEV, ROA, ASSTGROW,
TENURE, STATUS) ke dalam model
memperbaiki model fit. Hasil uji kekuatan prediksi model pada Tabel 11 juga menunjukkan
bahwa kekuatan prediksi model untuk
memprediksi kecurangan pelaporan keuangan adalah 61,9 persen.
Tabel 7
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1
Step 15.279 7 .033
Block 15.279 7 .033
Model 15.279 7 .033
Sumber: data sekunder yang diolah
Hasil pengujian Hosmer and Lemeshow
Test pada Tabel 10 juga menunjukkan
bahwa besarnya nilai statistik Hosmer and
Lemeshow Test sebesar 4.811 dengan
probabilitas signifikansi 0,778 yang nilainya
lebih besar dari 0,05. Hal ini berarti model
dapat diterima.
Sumber: data sekunder yang diolah
Tabel 9
Hasil Uji Kekuatan Prediksi Model
Sumber: data sekunder yang diolah
Tabel 8
Hosmer and Lemeshow Test
Step
Chi-square
Df
Sig.
Persamaan Regresi
Berdasarkan Tabel 12 dapat dilihat
koefisien untuk persamaan regresi dari penelitian ini. Apabila koefisien regresi dimasukkan dalam model di atas, maka persamaan matematis yang diperoleh adalah:
Berdasarkan persamaan di atas dapat dilihat bahwa nilai koefisien regresi dari variabel
Return on Assets (ROA), audit firm tenure
(TENURE), status KAP (STATUS) bernilai negatif. Hal ini berarti ketiga variabel tersebut
berhubungan negatif dengan kecurangan
pelaporan keuangan. Dengan kata lain, semakin rendah ROA, semakin pendek audit firm tenure, dan penggunaan jasa KAP yang non-afiliasi
dengan OAA/KAPA akan meningkatkan
kecurangan pelaporan keuangan.
Nilai koefisien regresi dari variabel
leverage (LEV), perubahan total aset
(ASSTGROW), financial distress (FC) dan umur perusahaan (UMUR) bernilai positif. Hal ini berarti keempat variabel tersebut berhubungan positif dengan kecurangan pelaporan keuangan sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin besar leverage, semakin tinggi nilai financial
distress, dan semakin besar/tua umur perusahaan
akan meningkatkan kecurangan pelaporan
keuangan.
Tabel 10. Hasil Uji Hipotesis
Sumber: data sekunder yang diolah
Pengujian Hipotesis
Hipotesis penelitian ini diuji dengan melakukan
analisis regresi logistik sebuah variabel
dependen (Y) dengan 5 variabel independen (leverage (LEV), Return on Assets (ROA), perubahan total aset (ASSTGROW), audit firm
tenure (TENURE), dan status KAP (STATUS)).
Signifikansi model regresi memberikan dasar
untuk menerima atau menolak hipotesis
penelitian. Kesimpulan mengenai hipotesis setiap variabel independen ditentukan dengan
tanda (positif/negatif) dan signifikansinya
dengan koefisien variabel yang bersangkutan. Nilai Nagelkerke R Square diinterpretasikan seperti nilai R2 pada multiple regression. Hasil pengujian nilai Nagelkerke R Square diperoleh nilai sebesar 0.222 yang berarti variabilitas variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh variabilitas variabel independen sebesar 22,2 persen. Sedangkan sisanya yaitu 77,8 persen dijelaskan oleh model lainnya yang tidak dimasukkan dalam model regresi.
Tabel 11
Cox & Snell R Square dan Nagelkerke R Square Test
Step Cox & Snell R
Square
Nagelkerke R Square
1 .166 .222
Sumber: data sekunder yang diolah
Pengujian Hipotesis Pertama (Ha1)
Variabel leverage (LEV) mempunyai sig. (0.821) > dari α (alfa)=0.05. Hal ini berarti variabel leverage (LEV) tidak signifikan pada level 5% dan hipotesis alternatif ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel leverage (LEV) tidak berpengaruh terhadap kecurangan pelaporan keuangan.
Pengujian Hipotesis Kedua (Ha2)
Variabel Return on Assets (ROA)
mempunyai sig. (0.017) < dari α (alfa)=0.05. Hal ini berarti variabel Return on Assets (ROA)
signifikan pada level 5%. Walaupun variabel
Return on Assets (ROA) signifikan pada level
5% akan tetapi hipotesis alternatif ditolak karena hipotesis penelitian menunjukkan hubungan positf dan persamaan regresi menunjukkan hubungan negatif. Hal ini berarti bahwa variabel
Return on Assets (ROA) berpengaruh negatif
signifikan terhadap kecurangan pelaporan
keuangan.
Pengujian Hipotesis Ketiga (Ha3)
Variabel perubahan total aset
(ASSTGROW) mempunyai sig. (0.381)> dari α (alfa)=0.05. Hal ini berarti variabel perubahan total aset (ASSTGROW) tidak signifikan pada level 5% dan hipotesis alternatif ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel perubahan total aset (ASSTGROW) tidak berpengaruh terhadap kecurangan pelaporan keuangan.
Pengujian Hipotesis Keempat (Ha4)
Variabel audit firm tenure (TENURE) mempunyai sig. (0.148) > dari α (alfa)=0.05. Hal ini berarti variabel audit firm tenure (TENURE) tidak signifikan pada level 5% dan hipotesis alternatif ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel audit firm tenure (TENURE)
tidak berpengaruh terhadap kecurangan
pelaporan keuangan.
Pengujian Hipotesis Kelima (Ha5)
Variabel status KAP (STATUS)
mempunyai sig. (0.311) > dari α (alfa)=0.05. Hal ini berarti variabel status KAP (STATUS) tidak signifikan pada level 5% dan hipotesis alternatif ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa
variabel status KAP (STATUS) tidak
berpengaruh terhadap kecurangan pelaporan keuangan.
Uji Simultan
Hasil perhitungan pada tabel 12
menunjukkan nilai sig. 0.480 > dari α (alfa)=0.05. Hal ini berarti bahwa leverage,
Return on Assets/ROA, perubahan total aset, audit firm tenure, dan status KAP secara
bersama-sama (simultan) tidak berpengaruh terhadap kecurangan pelaporan keuangan.
Pembahasan Hasil Penelitian Kecurangan Pelaporan Keuangan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin rendah ROA maka semakin tinggi kecurangan pelaporan keuangan. Altman (2009) menyatakan bahwa profitabilitas yang rendah atau negatif menyebabkan perusahaan sulit untuk mendapatkan ekuitas baru sehingga mendorong perusahaan untuk berada pada kondisi leverage yang tinggi. Pernyataan Altman (2009) didukung oleh ringkasan data penelitian pada Lampiran 1. Pada Lampiran 1 dapat dilihat bahwa pada
perusahaan yang melakukan kecurangan
pelaporan keuangan; 27 perusahaan memiliki ROA yang lebih rendah daripada perusahaan yang tidak melakukan kecurangan pelaporan keuangan, 15 perusahaan memiliki ROA yang lebih tinggi daripada perusahaan yang tidak melakukan kecurangan pelaporan keuangan. Data penelitian tahun 2008 juga menunjukkan bahwa perusahaan yang melakukan kecurangan pelaporan keuangan memiliki ROA dan laba setelah pajak yang rendah bahkan negatif. Pada Lampiran 1 juga dapat dilihat bahwa pada
perusahaan yang melakukan kecurangan
pelaporan keuangan; 19 perusahaan memiliki rasio leverage yang lebih rendah daripada perusahaan yang tidak melakukan kecurangan pelaporan keuangan, 23 perusahaan memiliki rasio leverage yang lebih tinggi. Adanya fakta bahwa ROA dan laba setelah pajak yang rendah bahkan negatif serta rasio leverage yang tinggi
akan mendorong perusahaan melakukan
kecurangan pelaporan keuangan sehingga pada
tahun 2008 kasus kecurangan pelaporan
keuangan jumlahnya meningkat secara
signifikan.
Lebih lanjut, hasil penelitian ini juga
menunjukkan bahwa financial distress
berpengaruh positif signifikan terhadap
kecurangan pelaporan keuangan. Kondisi
financial distress mendorong perusahaan melakukan kecurangan pelaporan keuangan agar kondisi perusahaan seolah-olah “baik” dan investor semakin tertarik untuk menanamkan modal mereka di perusahaan tersebut. Argumen ini didukung oleh penelitian COSO (1999)
bahwa karakterisitik perusahaan yang melakukan
kecurangan pelaporan keuangan adalah
perusahaan yang mengalami financial distress. Penelitian COSO (1999) juga didukung oleh penelitian Toit (2008) bahwa financial distress
berhubungan positif signifikan dengan
kecurangan pelaporan keuangan.
Leverage
Leverage menggambarkan struktur modal
perusahaan. Semakin besar proporsi utang yang digunakan oleh perusahaan maka investor menanggung risiko yang semakin besar pula. Perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi akan beralih ke equity financing. Hal ini
menyebabkan perusahaan tersebut harus
memiliki kinerja yang baik dan laba yang tinggi untuk menarik calon investor sehingga akan
menciptakan motivasi untuk melakukan
manipulasi laba. Semakin tinggi rasio leverage,
semakin menunjukkan kinerja keuangan
perusahaan yang buruk dan dapat menimbulkan ketidakpastian mengenai kelangsungan hidup perusahaan (Rudyawan dan Badera, 2008). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
leverage tidak berpengaruh terhadap kecurangan
pelaporan keuangan. Hasil penelitian ini
didukung oleh hasil penelitian Soselisa dan Mukhlasin (2008) bahwa financial leverage tidak
berpengaruh terhadap kecenderungan
kecurangan akuntansi. Hasil penelitian Hutomo (2012) juga menunjukkan bahwa debt to total
assets terbukti tidak berpengaruh signifikan
dalam mendeteksi kecurangan dalam pelaporan keuangan (fraudulent financial reporting). Hasil penelitian ini kontradiksi dengan beberapa penelitian terdahulu (Sherliza, 2011; George,
2009; Toit, 2008; Salman, 2002) yang
menyatakan bahwa leverage berpengaruh positif terhadap kecurangan pelaporan keuangan.
Pada Tabel 3 dan Tabel 4 dapat dilihat bahwa rata-rata leverage pada perusahaan yang melakukan kecurangan pelaporan keuangan adalah 0,52. Nilai ini lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata leverage pada perusahaan yang tidak melakukan kecurangan pelaporan keuangan, yaitu 0,53.
Altman (2009) menyatakan bahwa
profitabilitas yang rendah atau negatif
menyebabkan perusahaan sulit untuk
mendapatkan ekuitas baru sehingga mendorong
perusahaan untuk berada pada kondisi leverage yang tinggi. Pada Lampiran 1 dapat dilihat tentang perbandingan rasio leverage, total hutang, dan total aset antara perusahaan yang melakukan kecurangan pelaporan keuangan dan perusahaan yang tidak melakukan kecurangan
pelaporan keuangan di Indonesia. Pada
perusahaan yang melakukan kecurangan
pelaporan keuangan; 19 perusahaan memiliki rasio leverage yang lebih rendah daripada perusahaan yang tidak melakukan kecurangan pelaporan keuangan, 23 perusahaan memiliki rasio leverage yang lebih tinggi daripada perusahaan yang tidak melakukan kecurangan
pelaporan keuangan. Lebih lanjut, pada
perusahaan yang melakukan kecurangan
pelaporan keuangan; 22 perusahaan memiliki total hutang dan total aset yang lebih rendah daripada perusahaan yang tidak melakukan kecurangan pelaporan keuangan. Dua puluh perusahaan memiliki total hutang dan total aset yang lebih tinggi daripada perusahaan yang tidak melakukan kecurangan pelaporan keuangan. Hal ini berarti pada kasus kecurangan pelaporan keuangan di Indonesia, mayoritas perusahaan yang melakukan kecurangan pelaporan keuangan memiliki total hutang dan total aset yang lebih rendah dibandingkan perusahaan yang tidak melakukan kecurangan pelaporan keuangan. Ditinjau dari rasio leverage, sebanyak 45,24 persen perusahaan yang melakukan kecurangan pelaporan keuangan memiliki rasio leverage yang lebih rendah dibandingkan perusahaan yang tidak melakukan kecurangan pelaporan keuangan.
Apabila ditinjau secara parsial, mayoritas
perusahaan yang melakukan kecurangan
pelaporan keuangan memiliki total hutang dan total aset yang lebih rendah dibandingkan perusahaan yang tidak melakukan kecurangan pelaporan keuangan. Lebih lanjut, apabila ditinjau dari rasio leverage, sebanyak 54,76 persen perusahaan yang melakukan kecurangan pelaporan keuangan memiliki rasio leverage yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan yang
tidak melakukan kecurangan pelaporan
keuangan. Hal ini dapat menyebabkan leverage
tidak berpengaruh terhadap kecurangan
pelaporan keuangan di Indonesia seperti pada hasil penelitian ini.
Return on Assets (ROA)
Rasio profitabilitas menunjukkan
kesuksesan suatu perusahaan dalam
menghasilkan laba bagi perusahaan. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa profitabilitas yang tinggi akan mendorong pihak manajemen untuk mengungkapkan informasi kepada para investor karena pihak manajemen merasa bahwa hal ini akan menyakinkan para investor tentang profitabilitas perusahaan dan menarik perhatian para investor baru terhadap perusahaan mereka. Hal ini mendorong pihak manajemen melakukan manipulasi laba agar laba perusahaan menjadi lebih tinggi dan laporan keuangan disajikan tidak sewajarnya. Perusahaan dengan profitabilitas yang rendah cenderung untuk melakukan
overstatement pada pendapatan dan
understatement pada biaya (Persons, 1995).
Apabila perusahaan dapat mencapai rasio profitabilitas yang tinggi maka akan memicu
pihak manajemen untuk mengungkapkan
informasi sehingga mengurangi resiko adanya pandangan yang negatif dari pasar. Perusahaan yang mencapai rasio profitabilitas yang tinggi mengungkapkan informasi untuk memperoleh dana dengan biaya yang rendah dan untuk menghindari penurunan harga saham (Subroto, 2009).
Kontradiksi dengan argumen di atas, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Return on
Assets (ROA) berpengaruh negatif signifikan
terhadap kecurangan pelaporan keuangan. Hal ini berarti semakin rendah ROA maka semakin tinggi kecurangan pelaporan keuangan. Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian Salman (2002) yang menunjukkan bahwa
profitabilitas merupakan karakteristik
perusahaan yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi adanya kecurangan pelaporan keuangan. Altman (2009) juga menyatakan bahwa profitabilitas yang rendah atau negatif
menyebabkan perusahaan sulit untuk
mendapatkan ekuitas baru sehingga mendorong perusahaan untuk berada pada kondisi leverage yang tinggi.
Berbeda dengan hasil penelitian ini, hasil penelitian George (2009) menyatakan bahwa ROA berpengaruh positif signifikan terhadap kecurangan pelaporan keuangan. Hasil penelitian
Toit (2008) yang menunjukkan bahwa
profitabilitas bukan merupakan karakteristik
perusahaan yang berhubungan dengan
kecurangan pelaporan keuangan.
Pada Tabel 3 dan Tabel 4 dapat dilihat bahwa rata-rata ROA pada perusahaan yang melakukan kecurangan pelaporan keuangan adalah -0,004. Nilai ini lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata ROA pada perusahaan yang tidak melakukan kecurangan pelaporan keuangan, yaitu 0,05.
Pada Lampiran 1 dapat dilihat tentang perbandingan ROA, total laba setelah pajak, dan total aset antara perusahaan yang melakukan kecurangan pelaporan keuangan dan perusahaan yang tidak melakukan kecurangan pelaporan keuangan di Indonesia. Pada perusahaan yang melakukan kecurangan pelaporan keuangan; 27 perusahaan memiliki ROA yang lebih rendah daripada perusahaan yang tidak melakukan kecurangan pelaporan keuangan, 15 perusahaan memiliki ROA yang lebih tinggi daripada perusahaan yang tidak melakukan kecurangan
pelaporan keuangan. Lebih lanjut, pada
perusahaan yang melakukan kecurangan
pelaporan keuangan; 23 perusahaan memiliki laba bersih setelah pajak yang lebih rendah daripada perusahaan yang tidak melakukan
kecurangan pelaporan keuangan dan 22
perusahaan memiliki total aset yang lebih rendah daripada perusahaan yang tidak melakukan kecurangan pelaporan keuangan. Hal ini berarti pada kasus kecurangan pelaporan keuangan di
Indonesia, mayoritas perusahaan yang
melakukan kecurangan pelaporan keuangan memiliki ROA, laba bersih setelah pajak, dan total aset yang lebih rendah dibandingkan perusahaan yang tidak melakukan kecurangan pelaporan keuangan. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa semakin rendah ROA maka semakin tinggi kecurangan pelaporan keuangan.
Perubahan Total Aset
Pertambahan aset suatu perusahaan
mencerminkan bahwa perusahaan tersebut
sedang mengalami pertumbuhan. Berkaitan dengan hal ini, terdapat kemungkinan bahwa aset tidak dilaporkan secara semestinya di dalam laporan keuangan. Persons (1995) menyatakan bahwa aktiva lancar pada laporan keuangan
perusahaan-perusahaan yang melakukan
usaha dan persediaan. Perusahaan-perusahaan yang melakukan kecurangan akuntansi biasanya melakukan overstatements terhadap piutang usaha dan persediaan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perubahan total aset tidak berpengaruh terhadap kecurangan pelaporan keuangan. Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian Toit (2008) yang menunjukkan bahwa perubahan total aset bukan merupakan karakteristik perusahaan yang berhubungan dengan kecurangan pelaporan keuangan. Kontradiksi dengan hasil penelitian ini, hasil penelitian George (2009) menunjukkan bahwa pertumbuhan aset berpengaruh signifikan terhadap kecurangan pelaporan keuangan. Pada Lampiran 1 dapat dilihat bahwa sebanyak 20 perusahaan yang melakukan kecurangan pelaporan keuangan memiliki perubahan total aset yang lebih rendah daripada perusahaan yang
tidak melakukan kecurangan pelaporan
keuangan. Hasil penelitian ini yang
menunjukkan bahwa perubahan total aset tidak berpengaruh terhadap kecurangan pelaporan keuangan dapat disebabkan karena adanya keseimbangan sampel di mana hampir 50 persen
perusahaan yang melakukan kecurangan
pelaporan keuangan memiliki perubahan total aset yang lebih rendah daripada perusahaan yang
tidak melakukan kecurangan pelaporan
keuangan.
Audit Firm Tenure
Perikatan yang lama antara perusahaan dengan KAP dapat menurunkan independensi auditor sehingga auditor cenderung untuk mengikuti keinginan pihak manajemen dan meningkatkan kecurangan pelaporan keuangan. Hal ini menyebabkan rotasi KAP secara wajib dipandang sebagai salah satu solusi untuk menjaga independensi auditor dan mengurangi kecurangan pelaporan keuangan Perusahaan yang diharuskan merotasi KAP secara wajib berbeda dari perusahaan yang ingin merotasi KAP. KAP yang berasal dari rotasi KAP yang bersifat mandatory akan membawa skepticisme lebih besar pada audit. Hal ini disebabkan karena KAP baru tersebut tidak akan memandang klien sebagai sumber penghasilan yang terus-menerus karena masa penugasan dibatasi pada periode tertentu. Perusahaan yang merotasi KAP secara
voluntary akan mendapatkan beberapa
keuntungan, misalnya: (1) Perusahaan mengganti
KAP baru dengan harapan dapat lebih
menyesuaikan dengan keinginan manajemen. (2) Mencari KAP yang dipandang lebih luwes. (3) Signal bahwa perusahaan mau merotasi KAP di masa mendatang (Sumarwoto, 2006).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
audit firm tenure tidak berpengaruh terhadap
kecurangan pelaporan keuangan. Penelitian Johnson et al. (2002) tidak menemukan bukti bahwa perikatan yang lebih lama (9 tahun atau lebih) berhubungan dengan rendahnya kualitas laporan keuangan. Penelitian Wibowo dan Rossieta (2008) juga tidak menemukan bukti tentang pengaruh audit firm tenure terhadap kualitas audit. Tabel 5 dan 6 menunjukkan bahwa pada perusahaan yang melakukan kecurangan pelaporan keuangan; terdapat 33 perusahaan dengan audit firm tenure selama 1-3 tahun dan 9 perusahaan dengan audit firm tenure selama 4-6 tahun. Pada perusahaan yang tidak melakukan kecurangan pelaporan keuangan; terdapat 29 perusahaan dengan audit firm tenure selama 1-3 tahun dan 13 perusahaan dengan
audit firm tenure selama 4-6 tahun. Hasil
penelitian ini yang menunjukkan bahwa audit
firm tenure tidak berpengaruh terhadap
kecurangan pelaporan keuangan dapat
disebabkan karena tidak terdapat perbedaan signifikan antara audit firm tenure perusahaan yang melakukan kecurangan pelaporan keuangan dengan audit firm tenure perusahaan yang tidak melakukan kecurangan pelaporan keuangan. Berbeda dengan penelitian lainnya, hasil penelitian George (2009) serta Carcello dan Nagy (2004) menunjukkan bahwa semakin lama masa audit firm tenure maka semakin rendah probabilitas bahwa klien tersebut akan terlibat dalam kecurangan pelaporan keuangan.
Pada Tabel 3 dan 4 dapat dilihat bahwa rata-rata audit firm tenure perusahaan yang melakukan kecurangan pelaporan keuangan adalah 2,5 tahun dan rata-rata audit firm tenure perusahaan yang tidak melakukan kecurangan pelaporan keuangan adalah 3 tahun. Data penelitian menunjukkan bahwa selain rotasi KAP secara voluntary, terdapat beberapa perusahaan yang melakukan rotasi KAP secara
mandatory. Apabila ditinjau dari sisi rotasi KAP
secara mandatory, kecurangan pelaporan
pada tahun-tahun awal keterlibatan auditor (George, 2009; Carcello dan Nagy, 2004; serta Geiger dan Raghunandan, 2002). Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan khusus tentang klien di tahun-tahun awal keterlibatan auditor sehingga mengakibatkan rendahnya kemampuan dalam mendeteksi salah saji material. Hal ini dibuktikkan pada Tabel 3 bahwa rata-rata audit firm tenure perusahaan yang melakukan kecurangan pelaporan keuangan adalah 2,5 tahun.
Pada perusahaan yang melakukan
kecurangan pelaporan keuangan terdapat
beberapa perusahaan yang melakukan rotasi secara voluntary. Perusahaan yang merotasi KAP secara voluntary disebabkan karena KAP yang terdahulu bertindak konservatif dan tidak
sejalan dengan kepentingan manajemen
perusahaan sehingga perusahaan ingin mencari KAP yang dapat memenuhi kepentingannya
(Sumarwoto, 2006). Hal ini mendorong
terjadinya kecurangan pelaporan keuangan pada suatu perusahaan.
Status KAP
KAP yang berstatus afiliasi adalah KAP lokal yang berkerjasama dengan KAPA atau OAA. Perusahaan beranggapan bahwa auditor yang berasal dari KAP besar dan memiliki afiliasi internasional adalah auditor yang memiliki kualitas tinggi karena auditor tersebut banyak mendapat pelatihan, adanya pengakuan internasional serta adanya peer review (Indriani, 2012).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
status KAP tidak berpengaruh terhadap
kecurangan pelaporan keuangan. Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian Soselisa dan Mukhlasin (2008) yang menunjukkan bahwa
jenis KAP tidak berpengaruh terhadap
kecenderungan kecurangan akuntansi. Berbeda dengan penelitian Soselisa dan Mukhlasin (2008), penelitian Wibowo dan Rossieta (2008)
menunjukkan bahwa KAP besar akan
memberikan kualitas audit yang lebih tinggi sehingga jenis KAP berhubungan positif dengan kualitas audit.
Kontradiksi dengan pernyatan Indriani (2012), apabila ditinjau dari sampel penelitian (Lampiran 2), sebanyak 36 (85,71 persen)
perusahaan yang melakukan kecurangan
pelaporan keuangan menggunakan jasa KAP yang berafiliasi dengan OAA/KAPA. Pada perusahaan yang tidak melakukan kecurangan pelaporan keuangan, sebanyak 39 (92,86) persen perusahaan menggunakan jasa KAP yang berafiliasi dengan OAA/KAPA. Hal ini membuktikkan bahwa pada kasus kecurangan pelaporan keuangan di Indonesia sebagian besar melibatkan KAP yang berafiliasi dengan
KAPA/OAA. Adanya skandal-skandal
akuntansi, terutama yang dilakukan dengan motif “mempercantik” kinerja atau laba yang dilaporkan sehingga saham perusahaan terlihat menarik dan menguntungkan bila dibeli oleh investor di pasar modal mengakibatkan publik terutama investor mempertanyakan kembali kualitas audit yang telah dilakukan oleh suatu KAP, terutama KAP besar yang telah memiliki nama dan reputasi baik. Saat ini terdapat penilaian skeptis dari publik bahwa KAP besar tidak menjamin laporan keuangan yang diaudit tidak mengandung kesalahan yang material (Riyatno, 2010).
Tidak adanya perbedaan signifikan antara status KAP pada perusahaan yang melakukan kecurangan pelaporan keuangan dengan status KAP pada perusahaan yang tidak melakukan kecurangan pelaporan keuangan menyebabkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa status KAP tidak berpengaruh terhadap kecurangan pelaporan keuangan
E. SIMPULAN
Penelitian ini menguji pengaruh
karakteristik perusahaan (leverage, ROA, dan perubahan total aset) dan karakteristik auditor eksternal (audit firm tenure dan status KAP)
terhadap kecurangan pelaporan keuangan.
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 84 perusahaan, yang terdiri dari 42
perusahaan yang melakukan kecurangan
pelaporan keuangan dan 42 perusahaan yang
tidak melakukan kecurangan pelaporan
keuangan. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah data berpasangan
(matched-pairs sample) yang terdiri dari data perusahaan yang melakukan kecurangan pelaporan keuangan dan data perusahaan yang tidak melakukan kecurangan pelaporan keuangan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa