• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "3. METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

3. METODOLOGI

3.1. Kerangka Pemikiran

Tumbuhan obat adalah salah satu kekayaan koleksi KRB dan merupakan kekayaan alam yang dibutuhkan oleh masyarakat dari masa ke masa. Pemenuhan kebutuhan tumbuhan obat yang hanya bersandarkan keberadaannya di alam tanpa budidaya akan semakin sulit dan alam pun akan kehabisan stoknya. Hal ini terjadi di beberapa kawasan hutan seperti di Taman Nasional Ujung Kulon untuk kasus pule dan di Taman Nasional Meru Betiri untuk kasus kedawung (Hidayat 2006). Kekayaan dan keanekaragaman spesies tumbuhan obat yang dimiliki bangsa Indonesia ini ternyata belum memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan masyarakatnya (Waluyo 2009). Penanganan secara pasif (in situ) tumbuhan obat yang hidup di kawasan konservasi relatif memadai, akan tetapi bagi spesies tumbuhan obat liar yang hidup di luar wilayah sistem cagar alam secara teknis tidak terjamin keamanannya (Djumidi et al. 1999). Dalam hal ini Suhirman (1999) telah mengingatkan bahwa manusia tidak menyadari betapa pentingnya tumbuhan tidak hanya untuk kesejahteraan tetapi juga untuk kelangsungan hidup kita, mereka tidak peduli akan kepunahan spesies. Pelibatan berbagai pemangku kepentingan dalam mengkaji dan mengembangkan kebijakan, hukum, dan strategi akan mempengaruhi pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya tumbuhan obat (WHO-IUCN-WWF 2010).

Dalam rangka menuju pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang tumbuhan obat, maka diperlukan suatu strategi pengembangannya. Pengembangan tumbuhan obat di Indonesia perlu adanya dukungan penuh kebijakan pemerintah terutama adanya jaminan terselenggaranya penelitian yang berkelanjutan. Langkah-langkah yang harus ditempuh antara lain: inventarisasi dan karakterisasi keanekaragaman spesies tumbuhan obat, kerjasama antar lembaga penelitian, LSM, dan perusahaan farmasi serta lembaga penelitian independen lainnya, serta penentuan skala prioritas arah penelitian tumbuhan obat (Purwanto 2002). Dalam hal ini penentuan prioritas konservasi tumbuhan obat merupakan salah satu prioritas penelitian yang dinyatakan dalam draft Guidelines

(2)

Penyusunan strategi pengelolaan konservasi tumbuhan didorong oleh adanya masalah-masalah terkait dengan lingkungan hidup. Untuk dapat mengatasi masalah-masalah tersebut diperlukan sumberdaya manusia yang mampu mengelola sumberdaya alam secara bijaksana (Rideng 1999). Sumberdaya manusia secara mikro mencakup dua aspek yaitu aspek fisik (postur tubuh, kesehatan, daya tahan, dan sebagainya) dan aspek non fisik (kognitif, afektif dan psikomotor). Kedua aspek tersebut saling melengkapi sehingga merupakan kesatuan yang utuh. Kualitas kedua aspek tersebut perlu terus ditingkatkan melalui pendidikan.

Salah satu bentuk pengelolaan tumbuhan adalah koleksi secara ex situ. Koleksi ex situ menurut Lascurain et al. (2008) menyediakan bahan untuk penelitian, reintroduksi, pendidikan, dan peningkatan kepedulian masyarakat. Pelestarian ex situ tumbuhan obat sebenarnya secara langsung dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia (Diwyanto 2002) dan dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:

1. Penyimpanan dalam kamar-kamar bersuhu dingin. 2. Kebun koleksi.

3. Kebun plasma nutfah. 4. Kebun botani/kebun raya.

KRB sudah lama memiliki koleksi tumbuhan obat baik secara khusus maupun yang tersebar di pelosok kebun. Saat ini tumbuhan obat koleksi KRB baru berperan sebagai penghias dan pelengkap taman. Beberapa koleksi mengalami kematian dan kehilangan baik akibat alami, ulah manusia, maupun bencana alam (Hidayat et al. 2007). Sesuai kaidah konservasi terutama mengenai pemanfaatan yang berkelanjutan seharusnya koleksi tumbuhan obat KRB dapat dirasakan keberadaan dan manfaatnya oleh masyarakat umum. Di sisi lain sebagai lembaga konservasi flora ex situ skala nasional dan internasional, KRB sangat diharapkan kiprahnya untuk memenuhi Target 8 dan 9 GSPC (CBD 2002) dimana 60% spesies terancam dapat dikoleksi secara ex situ dan 70% dari keragaman tumbuhan pangan dan bernilai ekonomi dapat dikonservasi serta yang berhubungan dengan pengetahuan lokal dapat dipertahankan.

(3)

Secara historis tumbuhan obat adalah bagian penting dari kebun raya (Shan-an (Shan-and Zhong-ming 1991), Kebun raya memer(Shan-ank(Shan-an secara penuh dalam berbagai kegiatan mulai dari seleksi, analisis, pendugaan, budidaya, konservasi, dan perlindungan tumbuhan obat (Akerele 1991). Keberadaan kebun raya sebagai lembaga konservasi ex situ berperan sangat penting dalam perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan sumber daya alam seperti tumbuhan obat.

Suhirman (2001) menyatakan ada empat strategi yang perlu dikerjakan dalam bidang konservasi keanekaragaman tumbuhan:

1. Penggemblengan ahli konservasi menjadi kader konservasi. 2. Penentuan prioritas taksa yang akan dikonservasi.

3. Pendidikan konservasi bagi seluruh lapisan masyarakat. 4. Penegakan hukum.

Selain itu Suhirman (2001) juga menyatakan pentingnya penentuan ancaman terhadap tumbuhan tertentu, karena tanpa pengetahuan yang benar tentang faktor-faktor yang mengancam suatu spesies maka tidak mungkin kita dapat melaksanakan konservasinya secara seksama.

Pada dasarnya konservasi berkaitan erat dengan kebutuhan masyarakat. Konservasi sering dianggap hanya merupakan beban saja karena menghabiskan pikiran, dana yang besar, tenaga yang melelahkan dan berkepanjangan. Pandangan tersebut diduga bahwa upaya konservasi dilihat sebagai suatu kewajiban dimana tidak tampak adanya kegiatan yang diiringi oleh proses pemanfaatannya (Diwyanto 2002). Masyarakat di sekitar kebun botani melihat kebun dari kepentingan masing-masing, sehingga kalau kebun botani tidak memberi manfaat apapun kepada dirinya mereka tidak akan termotivasi untuk tidak merusak apalagi memeliharanya. (Ruslan & Sastrapradja 2008).

Di Indonesia pemanfaatan tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terus dikembangkan, namun rendahnya pengetahuan dasar pemanfaatan sumberdaya genetika dari tumbuhan menyebabkan ketidakpedulian masyarakat dalam kegiatan konservasi tumbuhan (Basuki et al. 1999). Penyebab lain yang lebih mendasar adalah kurangnya informasi tentang konservasi tumbuhan kepada masyarakat. Tingkat mengetahui, memahami, dan mampu mengelola sesuai dengan etika konservasi hanya akan terlaksana melalui proses

(4)

pendidikan baik pendidikan formal maupun pendidikan non formal atau penyuluhan (Bari dan Supriatna 1999).

Menurut Bari dan Supriatna (1999) upaya pelestarian sumberdaya hayati tumbuhan harus ditingkatkan melalui pendidikan. Pendidikan konservasi seharusnya tidak hanya untuk masyarakat umum tetapi juga untuk para politikus dan pembuat kebijakan (Suhirman 1999). Etika pemanfaatan tumbuhan harus menjadi kesadaran dan langkah utama umat manusia dalam mengelola sumberdaya alam hayati. Konservasi adalah salah satu etika pilihan yang disadari dan akan menjamin kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lain. (Bari dan Supriatna 1999).

Hal yang penting menurut Amzu (2007) untuk dapat terwujudnya konservasi seperti apa yang diharapkan adalah prasyarat adanya kerelaan berkorban untuk konservasi. Kerelaan berkorban sebenarnya adalah suatu sikap yang timbul dikarenakan adanya nilai obyek yang memenuhi harapan. Nilai dapat memotivasi individu untuk melakukan suatu tindakan tertentu (Sumitomo 2004).

Azwar (2010) menjelaskan bahwa pengetahuan mengenai proses terbentuknya sikap individu dan kelompok akan sangat bermanfaat dalam penanganan masalah-masalah sosial. Penanganan itu antara lain dalam bentuk pemberian stimulus-stimulus tertentu untuk memperoleh efek perilaku yang diinginkan. Dalam kaitan konservasi tumbuhan obat Amzu (2007) mengajukan konsep tri-stimulus amar konservasi sebagai alat untuk mengimplementasikan pengelolaan kawasan konservasi (Gambar 1). Sukarnya tujuan konservasi terwujud memuaskan tidak lain penyebabnya adalah terjadi bias pemahaman dan pengalaman dalam masyarakat antar konteks nilai-nilai alamiah (Bio-ekologi dan kelangkaan) nilai-nilai manfaat (ekonomi) dan nilai-nilai rela-religius (agama, keikhlasan, moral dan sosial budidaya).

Nilai alamiah adalah nilai-nilai kebenaran di alam. Tumbuhan obat KRB memiliki catatan di Bagian Registrasi sehingga nilai kebenaran secara ilmiah dan historis adalah stimulus utama dalam pelestariannya. Sebagai tumbuhan yang ditanam di luar habitatnya tumbuhan obat koleksi KRB banyak mengalami kematian dan gangguan dalam pertumbuhannya. Beberapa spesies langka menjadi koleksi yang kritis bagi KRB sehingga memerlukan perhatian khusus.

(5)

Gambar 1 Diagram alir “tri-stimulus amar konservasi”: stimulus, sikap dan perilaku aksi konservasi (Amzu 2007).

Nilai manfaat berkaitan erat dengan pandangan praktis atau pragmatis, yang bahkan menjadi pegangan banyak orang, terutama apabila dikaitkan dengan kenyataan dan tujuan yang ingin dicapai baik pada tingkat individu, kelompok maupun masyarakat (Amzu 2007). Beragam bakteri, kapang, serta makhluk mikro lainya telah diketahui sebagai kekayaan tersembunyi di antara spesies koleksi tumbuhan obat. Beragam penyakit dapat diatasi tumbuhan obat mulai dari gangguan kulit hingga gangguan organ dalam manusia, ini merupakan nilai yang belum termanfaatkan dari koleksi tumbuhan obat KRB (Hidayat et al. 2006).

Nilai rela, moral dan spiritual bangsa Indonesia yang berkaitan dengan konservasi tumbuhan sebagai kearifan berbagai suku dan agama yang dianut bangsa Indonesia dapat disampaikan, yang secara umum ditekankan kepada sikap harmonis dengan Tuhan, terhadap sesama makhluk dan terhadap alam lingkungan (Bari dan Supriatna 1999). Kecintaan terhadap alam dan tumbuhan, kesenangan akan keindahan taman/tumbuhan, kesejukan, ketenangan, kenyamanan dan keamanan adalah beberapa contoh nilai yang dapat mendorong kerelaan masyarakat untuk konservasi. Menurut Amzu (2007) stimulus rela-religius sangat berpengaruh dan efektif mendorong terwujudnya sikap dan perilaku untuk aksi konservasi.

Tri-Stimulus Amar Konservasi

• Stimulus Alamiah

Nilai-nilai kebenaran dari alam, kebutuhan keberlanjutan sumberdaya alam hayati sesuai dengan karakter bioekologinya

• Stimulus Manfaat

Nilai-nilai kepentingan untuk manusia: manfaat ekonomi, manfaat obat, manfaat biologis/ekologis dan lainnya

• Stimulus Rela

Nilai-nilai kebaikan, terutama ganjaran dari Sang Pencipta Alam, nilai spritual, nilai agama yang universal, pahala, kebahagiaan, kearifan budaya/ tradisional, kepuasan batin dan lainnya Sikap Konservasi Cognitive persepi, pengetahuan, pengalaman, pandangan, keyakinan Affective emosi, senang- benci, dendam, sayang, cinta dll Overt actions kecenderungan bertindak Perilaku Aksi Konservasi Konservasi

(6)

Selanjutnya berdasarkan pada modifikasi konsep tri stimulus amar konservasi, skema solusi konservasi tumbuhan obat yang dapat memenuhi harapan masyarakat dan sesuai fungsi KRB adalah sebagai berikut:

Tri Stimulus amar konservasi KRB Masya-rakat Tumbuhan obat Tupoksi: Konservasi Penelitian Pendidikan Rekreasi Harapan Solusi Konservasi : Pemanfaatan TO berkelanjutan, berkeadilan, beradab dan berdaulat 3.2. Metode

3.2.1. Lokasi dan waktu penelitian

Penelitian dilakukan di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor. Pengumpulan data dilakukan pada bulan September – Desember 2010, baik data primer maupun data sekunder.

3.2.2. Alat dan bahan

Katalog koleksi KRB dan buku-buku tentang tumbuhan obat sebagai alat utama dalam inventarisasi dan identifikasi koleksi tumbuhan obat. Sebagai bahan kajian adalah semua koleksi tumbuhan yang terdapat di kebun koleksi dan

data-Gambar 2 Konsep skematik solusi konservasi tumbuhan obat berdasarkan harapan masyarakat dan tupoksi KRB.

(7)

data koleksi yang terdapat di Bagian Registrasi Koleksi KRB. Berbagai laporan dan berkas/dokumen koleksi tumbuhan obat di KRB menjadi bahan pendukung.

Seperangkat alat kuisioner yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas tiga macam kuisioner:

1. Kuisioner berupa pernyataan-pernyataan yang disusun dalam lembaran tes yang memuat informasi dan harapan masyarakat terhadap KRB dan koleksi tumbuhan obat.

Pernyataan-pernyataan dalam kuisioner ini diperoleh dengan melakukan wawancara pendahuluan terhadap 100 orang pengunjung dan 50 orang pegawai KRB untuk memperoleh gambaran pendapat dan harapan tentang keberadaan tumbuhan obat di KRB. Selanjutnya hasil wawancara ini disusun menjadi beberapa pernyataan dan ditanya ulang kepada 100 orang pengunjung lainnya untuk mendapatkan respon setuju atau tidak setuju. Dua puluh pernyataan yang mendapatkan respon setuju paling banyak dipilih sebagai pernyataan pada kuisioner akhir dengan skala Likert.

2. Kuisioner untuk menentukan spesies prioritas konservasi di kebun, terutama ditujukan kepada orang atau badan tertentu yang bergerak di bidang tumbuhan obat. Kuisioner ini berupa lembar uji penentuan spesies prioritas (Lampiran 4). 3. Kuisioner yang ditujukan kepada pengamat/pengawas KRB untuk menentukan spesies mendesak ditindaklanjuti berupa matriks uji pembandingan berpasangan (Lampiran 14).

3.2.3. Metode pengumpulan data

Untuk mendapatkan sejumlah data yang pasti dan akurat sesuai tujuan penelitian maka telah dilakukan tahapan kegiatan sebagai berikut:

1. Dalam rangka mengkaji data terkini koleksi tumbuhan obat di KRB maka dilakukan:

a. Inventarisasi koleksi baik secara desk study maupun observasi di kebun.  Desk study dengan mengacu kepada katalog koleksi KRB menandai

semua spesies tumbuhan yang diduga bermanfaat sebagai bahan obat berdasarkan pustaka-pustaka yang telah disiapkan di meja kerja.

(8)

 Observasi dilakukan dengan cara mengecek ke kebun mengenai spesies yang telah ditandai pada katalog untuk memastikan keberadaannya. b. Observasi potensi dan kegunaan koleksi dilakukan dengan penggalian

informasi melalui buku kebun dan hasil-hasil penelitian serta pustaka tumbuhan obat.

c. Kategori kelangkaan dan spesies prioritas dicek berdasarkan dokumen-dokumen berikut: IUCN red list 2010, WCMC 1997, IBSAP 2003, BGCI priority 2008 dan CITES 2010.

d. Wawancara terstruktur untuk mendapatkan spesies prioritas dan spesies yang mendesak ditindaklanjuti. Spesies prioritas dengan menggunakan lembar uji penentuan spesies prioritas ditujukan kepada para peneliti dan praktisi tumbuhan obat yang berkaitan di bidangnya. Taksa yang diuji adalah spesies yang telah dilakukan pengecekan status dan kategori kelangkaannya. Sejumlah 30 peneliti/praktisi terlibat dalam pengisian lembar uji ini. Sementara itu lembar uji berupa matriks pembandingan berpasangan digunakan untuk menentukan spesies prioritas yang perlu segera ditindaklanjuti aksi konservasinya. Responden untuk matriks ini dipilih para pengamat/pengawas koleksi KRB yang sehari-hari bekerja di kebun koleksi.

2. Penggalian harapan masyarakat dilakukan melalui wawancara dan kuisioner. Wawancara dilakukan baik kepada pengunjung (mewakili masyarakat umum), praktisi kesehatan/pengobat tradisional, industri obat tradisional dan peneliti untuk mendapatkan sejumlah informasi mengenai harapan masyarakat terhadap peran KRB dalam pengelolaan koleksi tumbuhan obat dan aspek-aspek konservasi lainnya.

Penentuan responden dilakukan sebagai berikut: Responden masyarakat umum

Responden dipilih dengan metode random sampling. Penentuan jumlah responden didasarkan pada data pengunjung pada bulan Oktober 2010. Jumlah responden diambil dengan menggunakan rumus Slovin (Riduwan dan Akdon 2009), yaitu:

(9)

n= dengan presisi 5% (tingkat kepercayaan 95%), dimana: n = jumlah sample (responden)

N= jumlah populasi sample, dalam hal ini diambil jumlah rata-rata pengunjung dalam seminggu setelah dikurangi wisatawan mancanegara dan dikurangi wisatawan anak-anak, sehingga diperoleh N = 4551 dan n = 368

Selanjutnya pengambilan sampling per hari dilakukan dengan proportionate

random sampling dengan rumus ni = x n, dimana:

ni = jumlah sample menurut hari Ni = jumlah sample seluruhnya (368)

n = jumlah pengunjung rata-rata dalam hari bersangkutan N = jumlah pengunjung dalam seminggu (4551)

Dengan demikian diperoleh sample (ni) untuk hari Senin hingga hari Minggu sebagai berikut:

Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Minggu Total

29 27 35 28 21 92 136 368

Responden praktisi/pengobat, industri dan peneliti dipilih secara acak dari berbagai lembaga terkait seperti berikut:

a. Mewakili praktisi/pengobat adalah 2 pengobat dari Taman Sringanis, 2 praktisi dari Karyasari, 1 orang dari Wana Tani dan 7 orang perawat/bidan. b. Mewakili industri obat tradisional adalah 1 orang dari Liza Herbal, 2 orang

dari Kampoeng Djamoe, 1 orang dari Parang Husada dan 1 dari Aneka Sari. c. Mewakili peneliti adalah 16 orang dari LIPI, 2 orang dari Balitro, 2 orang dari

Litbang Kehutanan, 2 orang dari BPTO, 2 orang dari IPB dan 1 orang LSM.

3. Untuk mengkaji apakah program konservasi tumbuhan obat di KRB sudah sesuai dengan harapan masyarakat maka dilakukan pengecekan aktivitas KRB yang berkaitan dengan konservasi tumbuhan obat melalui laporan tahunan KRB tahun 2000 hingga tahun 2009.

(10)

3.2.4. Pengolahan data

Hasil inventarisasi dan observasi koleksi ditabulasikan dalam suatu daftar kegunaan tumbuhan obat sedangkan hasil pengecekan kategori kelangkaan ditabulasikan dalam daftar koleksi tumbuhan obat yang perlu perhatian lebih.

Daftar koleksi tumbuhan obat yang perlu perhatian lebih dijadikan dasar dalam pembuatan kuisioner untuk mendapatkan spesies prioritas konservasi. Spesies prioritas diperoleh dengan total skor yang dihasilkan dari lembar uji penentuan spesies prioritas untuk setiap taksa yang dinilai. Skor total diperoleh dengan menjumlahkan skor setiap unsur penilaian, sehingga diperoleh rentang skor dengan tiga kategori (Risna et al. 2010) yaitu kategori A (memerlukan aksi konservasi segera) dengan nilai total > 50, kategori B (aksi konservasi bisa ditunda) dengan nilai total 42-50 dan kategori C ( belum/tidak memerlukan aksi konservasi secara aktif) dengan nilai total < 42.

Agar pelaksanaan konservasi di KRB lebih efisien dan efektif sesuai dengan kondisi koleksi terkini maka perlu diadakan uji pembandingan kepentingan antar spesies koleksi bersangkutan. Pembandingan antar spesies tidak dimaksudkan untuk menghilangkan spesies dari daftar prioritas konservasi. Pembandingan lebih menekankan kepada alternatif prioritas berdasarkan kriteria-kriteria yang dianggap penting pada situasi dan kondisi spesies di kebun saat ini. Kriteria yang diperbandingkan ditentukan berdasarkan kesepakatan responden terkait yang dianggap mengetahui kondisi spesies di kebun. Jika dalam penentuan spesies prioritas tahap pertama menggunakan 17 kriteria yang berlaku secara umum (Lampiran 4), maka dalam uji pembandingan spesies ini hanya menggunakan tiga kriteria yang dianggap berhubungan langsung dengan kepentingan keberlangsungan spesies tersebut di kebun. Tiga kriteria tersebut yaitu (1) status dan kelangkaan spesies, (2) ancaman keberadaan spesies di kebun dan (3) manfaat spesies secara langsung bagi masyarakat.

Untuk menentukan koleksi tumbuhan obat yang mana harus segera ditindaklanjuti aksi konservasinya, maka diambil spesies dengan skor tertinggi (kategori A) untuk dianalisis lebih lanjut. Dalam hal ini digunakan analisis AHP (analytic hierarchy process) dengan menggunakan software expert choice. Matrik pembandingan berpasangan adalah dasar dari analisis ini. Nilai yang ditetapkan

(11)

setiap sel matriks berada di antara satu sampai dengan sembilan (Dermawan 2009).

Untuk menguji apakah pembandingan yang dilakukan oleh responden sudah konsisten, maka diuji dengan uji konsistensi. Pembandingan dianggap konsisten bila nilai inconsistency ratio lebih kecil dari 0,1. Uji konsistensi dilakukan baik saat pelaksanaan pembandingan kepentingan antar kriteria maupun pembandingan kepentingan antar spesies. Hirarkinya adalah seperti disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Hirarki pembandingan berpasangan untuk spesies prioritas

(5) Sangat Setuju

Hasil wawancara dengan masyarakat mengenai harapan konservasi tumbuhan obat di KRB diolah dengan skala Likert (Metode Likert’s Of Summated Rating) melalui program excel. Nilai skala Likert sebagai berikut:

(4) Setuju

(3) Netral (tidak pasti) (2) Tidak setuju (1) Sangat Tidak Setuju

spesies prioritas alternatif status kelangkaan spesies pilihan ancaman keberadaannya di kebun spesies pilihan manfaat langsung spesies pilihan Tingkat 1 Tujuan Tingkat 2 Kriteria Tingkat 3 Pilihan

(12)

Selanjutnya penilaian dilakukan untuk masing-masing komponen konservasi dengan menggunakan rumus standard skala Likert t-test. Rumusnya adalah (Azwar 2010):

dimana:

X = Skor responden pada skala Likert yang hendak diubah menjadi skor T = Mean skor kelompok

s = Standar deviasi kelompok

Responden dengan nilai T di atas 50 dianggap favorable (sesuai atau menguntungkan) dan persentase favorable diinterpretasikan sebagai berikut (Riduwan dan Akdon 2009):

0% - 20% sangat lemah 21% - 40% lemah

41% - 60% cukup 61% - 80% kuat

81% - 100% sangat kuat

Harapan masyarakat yang diperoleh dari kuisioner ditabulasikan dalam suatu tabel harapan. Selanjutnya untuk menyusun aksi konservasi maka dilakukan pengecekan silang antara harapan masyarakat dengan aktivitas KRB dalam sepuluh tahun terakhir. Diagram Venn digunakan untuk menggambarkan irisan antara harapan masing-masing tipologi masyarakat dengan aktivitas KRB. Harapan masyarakat yang belum terarsir dengan aktivitas KRB dijadikan dasar dalam menyusun aksi konservasi tumbuhan obat pada masa yang akan datang.

Gambar

Gambar 1   Diagram alir “tri-stimulus amar konservasi”: stimulus, sikap dan                      perilaku aksi konservasi (Amzu 2007)
Gambar 2  Konsep skematik solusi konservasi tumbuhan obat                        berdasarkan harapan masyarakat dan tupoksi KRB

Referensi

Dokumen terkait

Metode angket adalah daftar pertanyaan tertulis yang telah dirumuskan sebelumnya untuk dijawab oleh responden terpilih dan merupakan suatu mekanisme pengumpulan data

Pada hari ini Rabu tanggal Dua Belas bulan September tahun Dua Ribu Dua Belas dengan mengambil tempat di Kantor Badan Pusat Statistik Kota Batam,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada pembelajaran biasa dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah

Agar data yang diperoleh tervalidasi, maka dilaksanakan penerapan tata kerja analisis untuk menentukan kadar unsur dalam cuplikan acuan standar SRM NIST 1548a typical diet dan SRM

problem solving terhadap kemampuan berpikir kritis mahasiswa, sekaligus mengeksplorasi perbedaan kemampuan berpikir kritis mahasiswa antara kelompok kemampuan tinggi,

Setelah Presiden Hosni Mubarak jatuh, militer Mesir menghadapi tantangan serius bagaimana mereka menstranformasikan diri menjadi organisasi militer yang profesional dan

- Peserta merupakan siswa/siswi SMP &amp; SMA sederajat tingkat Provinsi Riau - Terdiri dari 2 orang peserta. - Tema : -Rendahnya minat penggunaan bahasa indonesia -Penyebab

Meningkatnya konsentrasi ambien menyebabkan meningkatnya dampak pencemaran pada kesehatan manusia dan nilai ekonomi dari gangguan kesehatan tersebut (Gambar 4 dan Gambar 5).. Gambar