PROGRAM KREATIFITAS MAHASISWA
PEMBENIHAN ABALON Haliotis asinina
DI BALAI BUDIDAYA LAUT LOMBOK,
NUSA TENGGARA BARAT
BIDANG KEGIATAN:
PKM-AI
Diusulkan oleh: Anita Bidaryati C14050497 (2005) M. Johan Chandra C14052986 (2005) Fariq Azhar C14061370 (2006)INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
1. Judul Kegiatan : Pembenihan Abalon Haliotis asinina di Balai Budidaya Laut Lombok, Nusa Tenggara Barat
2. Bidang Kegiatan : (√) PKM-AI ( ) PKM-GT
3. Ketua Pelaksana Kegiatan
a. Nama Lengkap : Anita Bidaryati b. NIM : C14050497 c. Jurusan : Budidaya Perairan d. Institut : Institut Pertanian Bogor
e. Alamat Rumah dan No Tel./HP : Babakan Raya VI no.168 A, Dramaga, Bogor /081334374922
f. Alamat email : [email protected]
4. Anggota Pelaksana Kegiatan/Penulis : 3 orang
5. Dosen Pendamping
a. Nama Lengkap dan Gelar : Dr. Tatag Budiardi b. NIP : 132 169 277
c. Alamat Rumah dan No Tel./HP : Jl. Soka VI/10, Taman Cimanggu, Bogor /08129863163
Bogor, 31 Maret 2009 Menyetujui
Ketua Jurusan Ketua Pelaksana Kegiatan
(Dr. odang Carman) (Anita Bidaryati) NIP. 131 578 847 NIM.C1 4050 497
Wakil Rektor
Bidang Kemahasiswaan Dosen Pendamping
(Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS) (Dr. Tatag Budiardi )
PEMBENIHAN ABALON Haliotis asinina
DI BALAI BUDIDAYA LAUT LOMBOK,
NUSA TENGGARA BARAT
Anita Bidaryati, M. Johan Chandra, Fariq Azhar
Departemen Budidaya Perairan-Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor
ABSTRAK
Abalon merupakan komoditas yang patut untuk dibudidayakan karena memiliki nilai ekonomis tinggi. Di indonesia, budidaya abalon mulai diteliti Loka Budidaya Laut Lombok sejak tahun 1997 dengan tingkat kelangsungan hidup benih dilaporkan baru mencapai 0,6%. Rekayasa teknologi yang sedang dilakukan adalah rekayasa wadah pemijahan yang dilengkapi dengan perlakuan kejutan suhu dan diversifikasi pakan alami. Kegiatan ini bertujuan agar mahasiswa mampu memperoleh keahlian, pengetahuan tentang pembenihan abalon serta mampu memecahkan permasalahan yang ada saat itu. Praktek lapangan ini dilaksanakan pada tanggal 2 Juli sampai dengan tanggal 19 Agustus 2008. Kegiatan yang dilakukan meliputi 3 pendekatan yaitu mengikuti secara langsung, wawancara dan studi literatur mengenai kegiatan pembenihan abalon. Pembenihan semi massal dilakukan melalui perlakuan kejutan suhu dengan perbandingan jantan:betina 1:3 dan fekunditas 21.300 telur/induk betina. Diversifikasi pakan alami bagi larva abalon dilakukan melalui penambahan jenis pakan alami berupa Amphora sp., dan Navicula sp.. Hasil pengamatan terhadap larva umur 2 bulan menunjukkan bahwa pertumbuhan abalon adalah 0,78 mm per minggu dengan model pertumbuhan larva abalon selama 4 minggu ditunjukkan dalam persamaan linier: y = 0,7842x + 1,1634 (R2 = 0.9876) dan dapat digunakan untuk memprediksi pertumbuhan abalon.
Kata kunci: abalon, pemijahan, telur, pakan alami
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Abalon Haliotis spp. atau siput laut disebut juga awabi, mutton fish, sea ear dan dalam bahasa daerah sasak (Lombok) disebut medau atau kerang mata tujuh.
Haliotis asinina Linnaeus 1758 merupakan spesies abalon tropis yang dapat
ditemui di Indonesia Bagian Timur (Bali, Lombok, Sumbawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua). Kegiatan budidaya untuk menghasilkan benih abalon merupakan komponen produksi yang sangat penting karena ketersediaan benih di alam yang sangat terbatas tidak dapat diandalkan untuk pengembangan budidaya maupun
konsumsi. Data SEAFDEC tahun 2007 menunjukkan bahwa pasar tidak dapat memenuhi 7.000 ton permintaan dunia akan abalon. Oleh karena itu, usaha budidaya abalon sangat prospektif untuk dikembangkan.
Nilai ekonomis abalon yang tinggi memberi pengaruh prestis bagi yang mengkonsumsinya. Di luar negeri abalon bisa menjadi makanan eksotik yang harganya mahal. Salah satu restoran di Hongkong memajang produk menunya di internet bernama Abalone with Congee dijual seharga US$82 (lebih dari Rp 700.000,00) (Bonang, 2008). Di samping itu, cangkangnya mempunyai nilai estetika yang berpotensi untuk dikembangkan dalam berbagai bentuk kerajinan tangan.
Abalon memiliki nilai gizi daging yang tinggi sehingga sejalan dengan meningkatnya kebutuhan akan variasi sumber protein. Menurut United States Department of Agriculture (USDA) (2003), setiap 100 g abalon mengandung nutrien seperti yang tercantum pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Kandungan nutrisi per 100 g daging abalon
Sumber: www.thailandabalone.com
Di beberapa negara, abalon sudah dikembangkan sejak lama misalnya di Jepang dan Taiwan. Di Indonesia, Balai Budidaya Laut (BBL) Lombok mulai tahun 1997 telah mengembangkan perekayasaan pembenihan abalon tropis jenis
Haliotis asinina Linnaeus 1758 dan sejak tahun 2002 mulai memproduksi
benihnya dalam hatceri (Sofyan et al., 2005). Sementara ini tingkat kelangsungan hidup benih relatif masih rendah yaitu antara 0,6-1,0% (Bonang, 2008).
Praktek kerja lapang merupakan salah satu cara untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman terhadap usaha budidaya terutama pembenihan abalon. Balai Budidaya Laut Lombok merupakan salah satu tempat yang dianggap cocok mengingat keberhasilannya secara teknis dalam usaha pembenihan abalon.
TUJUAN
Kegiatan pembenihan ini bertujuan untuk mempelajari seluruh kegiatan pembenihan abalon Haliotis asinina; serta meningkatkan pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan penalaran dalam berbagai aspek bioteknik usaha pembenihan abalon tropis Holiotis asinina yang meliputi pematangan gonad,
Kandungan (nutrisi dasar) Jumlah Kandungan Vitamin Jumlah Kandungan mineral Jumlah Kalori 83 kalori Vitamin B1 0,01 mg Natrium 182 mg
Protein 18 g Vitamin B2 0,27 mg Magnesium 35 mg
Lemak 0,1 g Vitamin B6 0,07 mg Kalium 229 mg
Kolesterol 59 mg Vitamin B12 4,93 mmg Selenium 45 mcg Karbohidrat 2,7 g Vitamin E 0,62 mg Kalsium 16 mg
Asam folat (folacin) 8 mmg Besi Seng 0,5 mg 0,9 mg
pemijahan, perawatan telur, perawatan larva dan pemeliharaan benih serta faktor pendukung pembenihan tersebut.
METODE PELAKSANAAN
Kegiatan praktek lapangan ini dilaksanakan pada tanggal 2 Juli sampai 19 Agustus 2008. Lokasi praktek adalah di Balai Budidaya Laut (BBL) Lombok Stasiun Sekotong, Dusun Gili Genting, Desa Sekotong Barat, Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat, Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Komoditas yang diamati adalah abalon tropis Haliotis asinina yang mulai dipijahkan sejak bulan Mei 2008.
Kegiatan praktek lapangan ini meliputi pengumpulan data primer dan data sekunder yang dilaksanakan melalui 3 pendekatan yaitu: observasi (pengamatan) terhadap semua fasilitas yang digunakan; mengikuti dan melaksanakan secara langsung seluruh kegiatan pembenihan; melakukan wawancara dan diskusi; serta melakukan studi literatur yang berkaitan dengan budidaya abalon.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kegiatan yang dilakukan dalam pembenihan abalon meliputi: pemijahan induk, pemanenan telur, pemeliharaan larva sampai menjadi benih serta kultur pakan alami. Sistem pembenihan yang diterapkan bertujuan untuk mendapatkan benih siap tebar ukuran cangkang 1,5 cm. Teknologi yang digunakan merupakan hasil perekayasaan balai dan adopsi teknologi dari lembaga riset. Perekayasaan teknologi bertujuan untuk meningkatkan produksi dan mutu serta kualitas benih.
Pemijahan Induk
Seleksi induk dilakukan 3-4 hari menjelang bulan terang dan bulan gelap karena abalon akan matang gonad pada waktu-waktu tersebut sepanjang tahun. Setyono (2003) menyatakan bahwa peristiwa pematangan sel telur H. asinina di perairan Lombok dipengaruhi secara langsung oleh rentang pasang surut. Lundelius & Freeman (1986) dalam Setyono (2004) menyatakan bahwa sinyal panjang hari terang diterima oleh sebuah reseptor cahaya yang terdapat pada ganglion otak. Sinyal tersebut selanjutnya mengaktifkan sel neurosekresi dalam ganglion otak untuk melepaskan hormon yang menstimulasi perkembangan organ reproduksi.
Induk yang dipijahkan biasanya berukuran cangkang ≥ 4-5 cm, dalam kondisi segar dan sehat, tidak terluka serta gonadnya tampak menggembung dengan warna gonad yang jelas. Warna gonad menunjukkan jenis kelamin. Gonad jantan berwarna putih keruh dan gonad betina berwarna biru tua kehitaman. Tingkat kematangan gonad abalon dilihat dengan memegang cangkang abalon kemudian menyingkap otot kaki pada sisi yang berlawanan dengan letak lubang
cangkang menggunakan spatula berbahan plastik. Setyono (2004) membuat sebuah pedoman berupa deskripsi pengelompokan tingkat kematangan gonad abalon H. asinina (Tabel 2).
Tabel 2. Klasifikasi tingkat kematangan gonad H.asinina (Setyono, 2004) Tingkat Gonad Tingkat Kematangan Visual Gonad (%) Deskripsi 0 Pengisian / pembentukan <25
Gonad terlihat di ujung dari kelenjar pencernaan, gonad jantan terlihat berwarna krem putih dan gonad betina terlihat berwarna hijau muda.
1 Pematangan 25-49 Gonad berkembang dan menutup kira-kira 25-49 % dari bagian kelenjar pencernaan
2 Matang >49
Gonad berkembang penuh, menutup lebih dari 49% dari kelenjar pencernaan. Gonad jantan berwarna oranye, betina berwarna hijau. Biota yang matang penuh gonad akan menutup >75% dari kelenjar pencernaan, menjadi cembung dan dapat terlihat dengan jelas. 3 Pemijahan sebagian dan istirahat <50
Biota melepaskan gamet dan gonad menjadi mengerut dan pucat. Sulit dibedakan antara biota yang baru mengalami pembentukan gonad dan yang telah mengalami pelepasan gonad, dan hanya dapat dibedakan berdasarkan ukuran presentase area gonad. Pemijahan semi massal dilakukan pada akuarium berkapasitas 200 liter yang dilengkapi dengan shelter berupa potongan pipa PVC, catridge filter, egg
collector, dan heater untuk meningkatkan suhu saat akan dilakukannya proses
pemijahan. Perbandingan induk jantan dan betina yang ditebar dalam akuarium pemijahan adalah 1:3. Feisal (2005) menyebutkan bahwa hingga saat ini belum ditemukan perbandingan jantan dan betina yang optimum untuk pemijahan abalon. Jumlah induk yang ditebar dalam akuarium pemijahan adalah sebanyak 12 ekor yang terdiri dari 3 induk jantan dan 9 induk betina. Sementara itu, produksi telur dari pemijahan semi massal selama praktek lapang yang teramati dari 12 ekor induk tersebut tertera pada Tabel 3 berikut.
Tabel 3. Produksi telur abalon periode Juli-Agustus 2008
Tanggal pengamatan Wadah pemijahan Jantan : betina Jumlah telur 3 Agustus 2008 Akuarium 0,2 m3 3:9 26.800 5 Agustus 2008 Akuarium 0,2 m3 3:9 352.000 7 Agustus 2008 Akuarium 0,2 m3 2:6 250.000
Induk abalon biasanya memijah selama 3-4 hari dalam satu periode pemijahan. Hasil pengamatan selama kegiatan pembenihan (Tabel 3) menunjukkan bahwa rata-rata jumlah telur yang dihasilkan dari 12 ekor induk yang sama pada satu kali periode pemijahan adalah 250.000-400.000 telur dengan rata-rata 209.600 telur. Dari perhitungan ini, dapat diketahui bahwa fekunditas induk abalon adalah 21.300 telur/induk betina.
Pemijahan abalon dapat berlangsung 2 kali dalam 1 bulan, yaitu saat bulan gelap dan bulan terang. Pemijahan berlangsung pada malam hari sekitar pukul 23.00 hingga 06.00. Rangsangan pemijahan yang diberikan berupa peningkatan suhu sebesar 3-5o dari suhu normal, dalam hal ini suhu air ditingkatkan dari 27oC menjadi 32oC. Peningkatan suhu ini mulai dilakukan pada sore hari hingga proses pemijahan telah selesai yang ditandai dengan telah terkumpulnya telur berwarna hijau pada egg collector.
Hasil pengamatan terhapap proses pemijahan menunjukkan saat akan berlangsungnya proses pemijahan, mula-mula induk jantan akan merayap pada dinding ke permukaan air lalu menyemprotkan sperma melalui lubang cangkangnya. Induk betina kemudian dengan cara yang sama menyemprotkan telurnya. Fallu (1991) menyebutkan bahwa induk abalon yang matang gonad dan siap memijah akan bermigrasi untuk mencari tempat yang lebih tinggi (seperti batuan karang) dan mengeluarkan telurnya dalam suatu kelompok besar.
Gambar 1. Akuarium pemijahan dengan perlakuan peningkatan suhu Dalam kondisi yang optimal, baik dari segi lingkungan maupun kualitas induknya, telur yang dihasilkan dari 100 induk dengan perbandingan jantan : betina 1:3 dilaporkan dapat mencapai 400.000/pemijahan. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu perekayasa BBL Lombok, dari jumlah induk tersebut produksi telur terendah yaitu 18.000 dan rata-rata 200.000/pemijahan. Sofyan (2004) dalam Oktarina (2006) menyebutkan bahwa telur abalon mengendap di dasar bak dan berwarna hijau dengan fekunditas bisa mencapai antara 200.000-300.000 telur. Fallu (1991) menyebutkan bahwa fekunditas abalon sangat tergantung pada spesiesnya.
Teknologi perangsangan pemijahan abalon perlu dikembangkan untuk meningkatkan produksi benih. Selain kejutan suhu, beberapa metode yang telah diteliti meliputi penyinaran dengan sinar UV, penambahan hidrogen peroksida (H2O2), kejutan pH, pengeringan, serta gamet abalon itu sendiri. Metode-metode
ini digunakan berbeda di setiap daerah, bergantung pada kondisi lingkungan serta spesies yang dikembangkan (Feisal, 2005).
Pemijahan secara massal juga sedang dilakukan di BBL Lombok. Pemijahan dilakukan di bak pemijahan berbahan fiber kapasitas 1,5 m3 yang didalamnya dipasang 3 kotak industri yang telah disatukan. Pada masing-masing kotak dilengkapi dengan pipa paralon sebagai shelter dan pakan secukupnya serta 4 titik aerasi. Kotak dipasang di kolom bak sehingga memudahkan penyifonan sisa pakan di bawah kotak. Jumlah induk jantan yang ditebar sebanyak 25 ekor
dan dimasukkan ke dalam kotak industri di bagian tengah. Sedangkan induk betina sebanyak 75 ekor dimasukkan dalam kotak di kedua sisi kotak jantan. Penggunaan kotak ini bertujuan agar induk tidak merayap keluar. Feisal (2005) menambahkan bahwa abalon memiliki tingkah laku khusus dalam memijah. Selain memperkecil dan memperbanyak jumlah gamet sebagai strategi reproduksinya, abalon memijah secara berkelompok untuk mempertinggi peluang pembuahan. Disamping itu, abalon jantan cenderung lebih mudah terangsang untuk memijah bila dibandingkan dengan yang betina dan sperma abalon yang memijah dapat merangsang abalon lain baik jantan maupun betina yang sudah matang gonad ikut memijah. Dengan demikian, diharapkan proses pemijahan lebih optimal sehingga produksi telur lebih maksimal.
Pemanenan Telur
Proses pembuahan abalon terjadi di luar tubuh (external fertilization). Betina dan jantan yang berdekatan akan mengeluarkan telur dan sperma kemudian bercampur di dalam air. Telur abalon tidak mengapung tetapi tenggelam, namun karena ukuran dan masa jenisnya sangat kecil dan tidak berbeda jauh dengan masa jenis air menyebabkan telur-telur ini terangkat ke kolom air oleh gerakan air. Selama 4 jam telur akan mengapung di permukaan selanjutnya memasuki kolom air dan melayang mengikuti arus (Fallu, 1991). Telur ini kemudian keluar melalui saluran pembuangan (outlet) sehingga tertampung di egg colector serta menempel di tepian plankton net. Setelah dihitung kepadatannya dengan metode sampel, telur ditebar ke dalam bak fiber kapasitas 1,5 m3 yang telah dilengkapi 20 unit
rearing plate bersih dalam posisi berjajar memanjang di kedua sisi panjang bak.
Telur yang menetas menjadi larva terus berubah bentuk menjadi larva
trocophore dan stadia veliger. Setelah satu minggu, larva tenggelam untuk
menempati subtrat (tempat menempel). Pada stadia ini abalon disebut stadia spat dengan ukuran 5 mm (Fallu, 1991). Larva abalon membutuhkan stimulan yang sangat spesifik untuk melangsungkan proses metamorfosis dan menetap menjadi larva bentik. Apabila larva tidak menemukan tempat menetap, ia akan bertahan sebagai plankton hingga 3 minggu dalam kondisi lingkungan yang optimal. Walaupun demikian, kurang dari 1% yang akan berhasil menyelesaikan metamorfosis dan tumbuh menjadi abalon dewasa (Searcy-Bernal et al.,1992
dalam Feisal, 2006)
Rearing plate merupakan media penempelan pakan alami dan larva abalon
yang terbuat dari vinil gelombang berbentuk persegi panjang berukuran 50x40 cm2. Enam lembar vinil gelombang disatukan dengan batang aluminium berdiameter 0,5 cm dan panjang 20 cm. Antar lembar dipisahkan dengan potongan pipa paralon sepanjang 3-4 cm. Dengan demikian, padat tebar pakan alami maupun larva abalon dapat ditingkatkan.
Pemeliharaan Larva
Stadia larva merupakan stadia paling kritis terkait dengan ketersediaan pakan alaminya. Kelangsungan hidup (SR) benih dalam pembenihan abalon yang telah dilakukan di BBL Lombok dilaporkan baru mencapai 0.6%. Hal ini diduga karena kurangnya ketersediaan pakan alami pada saat larva mulai menempel. Oleh karena itu, pada tahun anggaran 2008 dilakukan diversifikasi pakan alami yang sifatnya menempel pada substrat selain Nitzchia yaitu Amphora dan Navicula.
Sebelum larva abalon ditebar ke bak pemeliharaan larva, pakan alami sudah harus menempel di plate dan bak. Setyono (2004), menyatakan bahwa pertumbuhan juvenil abalon dapat dipercepat dengan kondisi pemeliharaan yang bagus termasuk pakan yang sesuai dan melimpah. Oleh karena itu, pakan alami sudah harus ditebar dua minggu sebelumnya. Indikator bahwa pakan alami telah menempel adalah warna coklat pada plate dan dinding-dinding bak.
Menurut Hibbert (1977) dalam Gimin et al. (2002) estimasi pertumbuhan pada moluska dilakukan dengan menghitung dan mengukur dimensi cangkang atau volume biota. Pengamatan terhadap pertumbuhan larva abalon dengan diversifikasi pakan alami selama kegiatan praktek lapang dilakukan terhadap larva hasil pemijahan sejak bulan Mei (Gambar 2). Pengukuran dilakukan dengan mengukur panjang cangkang menggunakan jangka sorong terhadap 30 sampel yang dipilih secara acak (Tabel 4).
Tabel 4. Panjang rata-rata larva abalon
Tanggal pengamatan Panjang rata-rata (mm) Pertumbuhan (mm/minggu) 18 Juli 2008 2.05 ± 0,7 - 25 Juli 2008 2.61 ± 0,6 0,56 1 Agustus 2008 3.44 ± 0,7 0,83 8 Agustus 2008 4.39 ± 0,5 0,95 Rata-rata 0,78
Pertumbuhan Larva Abalon
y = 0.7842x + 1.1634 R2 = 0.9876 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 minggu ke-p a n ja n g r a ta -r a ta ( m m )
Gambar 2. Grafik pertumbuhan larva abalon
Pertumbuhan rata-rata larva abalon berumur 2 bulan berdasarkan Tabel 4 dan Gambar 2 adalah 0,78 mm/minggu. Model pertumbuhan larva abalon selama 4 minggu ditunjukkan dalam persamaan linier: y = 0,7842x + 1,1634 (R2 =
0.9876). Nilai determinan yang kuat mengindikasikan, bahwa model pertumbuhan tersebut dapat digunakan untuk memprediksi pertumbuhan abalon.
Setyono (2003) menambahkan bahwa fase juvenil dibagi menjadi dua, yaitu fase juvenil awal dan juvenil. Fase juvenil awal dimulai pada saat terjadinya penempelan sampai abalon memiliki cangkang sepanjang 10 mm. Selanjutnya, fase juvenil dimulai dari ukuran ini, yaitu ketika abalon mulai makan makro alga. Berdasarkan data di atas, fase juvenil (berukuran 10 mm) dimulai ketika abalon berumur ± 3 bulan dan dibutuhkan waktu ± 5 bulan untuk mencapai ukuran benih yaitu 1,5 cm. Di BBL Lombok, abalon umur 1,5 bulan sudah mulai diberi pakan rumput laut berukuran halus. Hal ini disebabkan pada fase ini ukuran mulutnya kira-kira mencapai 1/5 dari panjang tubuhnya dan insang sudah terbentuk sehingga peredaran darahnya sudah berfungsi. Namun, hingga saat ini belum diketahui kecepatan tumbuhnya, baik di habitat alaminya maupun dalam wadah budidaya (Feisal, 2005).
Abalon dapat beraktivitas secara normal pada suhu dan salinitas normal yaitu antara 28-34 0C dan salinitas 29-37 ‰. Abalon akan mengalami stres dan berakhir dengan kematian karena kenaikan atau penurunan suhu dan salinitas yang tajam (Fallu, 1991). Pengelolaan kualitas air dilakukan dengan menggunakan sistem flowtrough pada wadah pemeliharaan sehingga air selalu terganti. Sirkulasi air juga menyebabkan kualitas air lebih bagus serta mencegah timbulnya penyakit karena air selalu berganti (Fallu,1991).
Kualitas air yang masuk ke dalam bak pemeliharaan larva abalon dijaga dengan menyaring air yang masuk melalui saluran inlet menggunakan cartridge
filter dengan serat polipropilen mesh size 1 µm yang selalu diganti setiap pagi dan
sore. Untuk mencukupi kebutuhan oksigen, di tiap bak pemeliharaan larva dipasang 4 titik aerasi yang dipasang secara merata. namun demikian, teknik ini masih kurang karena air dari laut yang masuk ke tandon utama tidak difilter. Akibatnya, banyak ditemukan biota-biota kecil baik di air maupun menempel di tubuh dan cangkang abalon karena tidak tersaring oleh cartridge filter. Dikhawatirkan, hal ini akan menjadi agen pembawa (carier) penyakit dan mengganggu pertumbuhan abalon.
Hasil pengamatan kualitas air dalam bak pemeliharaan larva pada bulan Juli adalah DO 3,7 ppm, suhu 25 0C dan salinitas 35,1 ppt. Dari data ini dapat diketahui bahwa kisaran suhu dan salinitas berdasarkan penjelasan di atas telah memenuhi syarat. Namun demikian, konsentrasi oksigen terlarut pada wadah tergolong rendah. Umumnya, konsentrasi oksigen terlarut dalam kegiatan budidaya ≥ 5 ppm. Kurang dari kisaran ini dapat menyebabkan pertumbuhan biota terganggu.
Abalon akan tumbuh lebih baik pada tempat yang terdapat lebih banyak
shelter (Setyono, 2003). Pada wadah pendederan dan pemeliharaan induk, shelter
dibuat dari potongan pipa PVC berdiameter 6 inci dengan panjang 30 cm yang dibelah menjadi dua, dan ditempatkan di dalam kotak industri masing-masing 1 potong per kotak industri (3 potong dalam 1 bak). Abalon akan bersembunyi di balik shelter sepanjang hari dan akan merayap keluar pada malam hari. Sedangkan pada pemeliharaan larva digunakan rearing plate.
Pada beberapa tempat di dunia, pengontrolan cahaya digunakan pada pengkondisian abalon. Pada umumnya abalon dipelihara pada ruangan tertutup dengan sumber cahaya dari lampu. Di Jepang, abalon dikondisikan dengan
panjang hari konstan sampai empat bulan. Oktarina (2006) dari penelitiannya menyimpulkan fotoperiod dapat mempengaruhi tingkat konsumsi pakan dan pertumbuhan abalon dari spesies H.asinina. Abalon dengan perlakuan gelap 24 jam memiliki tingkat pertumbuhan lebih baik jika dibandingkan dengan 12 jam gelap:12 jam terang serta 24 jam terang. Di Amerika Serikat, Haliotis rufescens paling baik berada dalam kondisi gelap total tanpa adanya periode terang sama sekali (Fallu, 1991). Di BBL Lombok sendiri belum ada perlakuan khusus terkait dengan fotoperiod.
Kultur Pakan Alami
Larva abalon bersifat menempel di dinding bak dan plate, oleh karena itu pakan alami yang digunakan sebagai pakan awal larva adalah yang juga memiliki sifat menempel. Di BBL Lombok digunakan pakan alami berupa Nitzschia,
Amphora dan Navicula yang dikultur secara bertingkat dari skala laboratorium
sampai semi massal. Kultur bertingkat skala laboratorium dilakukan mulai dari 100 ml, 500 ml, 1 liter, 2 liter, kemudian 5 liter atau 10 liter bergantung pada kepadatannya. Dari setiap perpindahan volume kultur dilakukan pengenceran sebanyak dua kali. Pupuk yang digunakan yaitu NaSiO3, Na2EDTA, Urea+K,
vitamin stock, trace metal dan FeCl3 sebanyak 1 ml/l media.
Gambar 3. Pakan alami untuk larva abalon
Kultur semi massal sebagai lanjutannya dilakukan pada volume 15-20 liter dalam toples berkapasitas 25 liter dan dengan 2-3 kali pengenceran. Pupuk yang ditambahkan adalah silikat, vitamin mix dan KW21 dengan dosis 1 ml/l media. Kultur secara keseluruhan dilakukan di dalam ruangan bersuhu 20-25 0C dan penyinaran 24 jam serta diberi aerasi. Sebagai media kultur adalah air laut yang direbus dan telah didinginkan.
KESIMPULAN
Fekunditas induk betina abalon adalah 21.300 telur/induk betina. Pertumbuhan larva abalon berumur 2 bulan sebesar 0,78 mm/minggu. Model pertumbuhan larva abalon selama 4 minggu ditunjukkan dalam persamaan linier:
y = 0,7842x + 1,1634 (R2 = 0.9876) dan dapat digunakan untuk memprediksi pertumbuhan abalon.
Pembenihan abalon yang dilakukan di BBL Lombok masih memiliki SR yang rendah yaitu 0,6-1%. Kesulitan dalam kegiatan pembenihan yang dialami
Navicula sp
.
Nitzchia sp. Amphora sp.
adalah saat pemeliharaan larva sampai menjadi benih karena fase ini merupakan fase kritis abalon. Ketersediaan pakan alami yang berlimpah dan kualitas air yang baik menjadi faktor pembatas dalam kegiatan budidaya yang dilaksanakan. Untuk itu diperlukan laboratorium dengan standar yang baik agar kontaminasi pada kultur pakan alami dapat diminimalisir. Selain itu, perlu dilakukan filtrasi di setiap pintu masuk air serta pengembangan metode-metode pemijahan yang baru dan aplikatif.
Teknik pembenihan abalon lainnya yang menambah wawasan dan softskill mahasiswa yaitu diversitasi pakan alami dan penggunaan kotak industri untuk memaksimalkan produksi. Dengan demikian praktek lapangan ini mampu memberikan pengetahuan baik teknis maupun non teknis kepada mahasiswa mengenai pembenihan abalon.
Daftar Pustaka
Anonim. 2004. Abalone information. Thai Abalone Co, Ltd, Thailand.
www.thailandabalone.com. [Diakses tanggal 27 Juli 2008].
Anonim, 2008. Kujungan kerja tim abalon di Provinsi Sulawesi Tenggara.
www.seafdec.com. [Diakses tanggal 12 Juni 2008].
Bonang. 2008. Abalon makanan bermanfaat: produksi benih kerang abalon (Haliotis asinina) di Loka Budidaya Laut Lombok. www.faperta.ugm.ac.id. [Diakses tanggal 19 Juli 2008].
Effendi, M. I. 1997. Biologi perikanan: Yogyakarta.
Fallu, R. 1991. Abalone farming. Fishing News Book. Oxford. 195pp.
Feisal, F. 2005. Embriogenesis dan perkembangan larva abalon mata tujuh (Haliotis asinina Lin. 1758). [skripsi]. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor: Bogor. Gimin, R., Mohan, R., Thinh, L.V. and Griffiths, A.D. 2004. The relationship of
shell dimensions and shell volume to live weight and soft tissue weight in the mangrove clam, Polymesoda erosa (Solander, 1786) from northern Australia. NAGA, Worldfish center Quarterly, 27 (3): 32- 35
Oktarina, S. 2006. Pengaruh perbedaan fotoperiode terhadap pertumbuhan abalon (Haliotis asinina Linnaeus, 1758). [skripsi]. Jurusan Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Diponegoro: Semarang.
Setiawati, K. M., Makatutu, D., dan Rusdi, I. 1994. Studi Pendahuluan Pemijahan Abalon, Haliotis asinina. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai 10(3): 39-44 Setyono, D. E. D. 2003. Reproductive biology and production techniques for
tropical abalone (Haliotis asinina L.) in eastern Indonesia. PhD thesis,
Otago University: New Zealand.
---. 2004. Abalone (Haliotis asinina L) : 2. Factors affect gonad
maturation. Oseana Volume XXIX Nomor 4 : 9-15.
Sofyan, Y, Bagja, I. 2006. Pembenihan Abalon (Haliotis asinina). Lombok: Balai Budidaya Laut (BBL) Lombok, Departemen Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya.