1
motif panji. Geguritan Jaé Cekuh masuk ke dalam motif panji memiliki ciri-ciri: penamaan tokoh secara implisit bernama Raden, pertemuan dengan kekasih pada saat perburuan di hutan, adanya pepatah dan ungkapan, serta pertemuan dengan punakawannya terjadi di hutan. Geguritan ini menarik untuk diteliti, melihat keunikan pemberian judul, wacana yang terkandung dalam geguritan adalah éling karena naskah berkaitan dengan penyadaran dalam kehidupan.
Penelitian ini bertujuan untuk menambah pengetahuan geguritan dalam masyarakat. Selain itu bertujuan mendeskripsikan bentuk, fungsi dan makna wacana éling geguritan Jaé Cekuh. Membedah ketiga masalah tersebut dipergunakan teori wacana Van Dijk dalam mengkaji bentuk dan fungsi wacana, serta teori semiotika Riffater untuk mengkaji makna wacana.
Hasil analisis menunjukkan bahwa, bentuk wacana éling dalam Geguritan Jaé Cekuh yaitu éling, pakéling, kaélingan dan mangélingang. Segi fungsi, fungsi wacana éling sebagai penyadaran dan edukasi terhadap pikiran, perkataan dan tingkah laku. Terkait dengan makna dalam Geguritan Jaé Cekuh yaitu basa sebagai pembangkit éling, basa yang dimaksud dari basa secara ilmiah maupun basa dalam arti bahasa yang sama-sama penting dan meningkatkan éling atau kesadaran, serta makna rasa sebagai pembangkit éling, rasa yang dimaksud rasa basa atau bumbu-bumbu dan rasa bahasa yang membangkitkan éling.
ABSTRACT
WACANA ÉLING DALAM GEGURITAN JAÉ CEKUH
Geguritan Jaé Cekuh is on geguritan containing motive ensign. Geguritan enteredinto motives panji having traits figures: narming implicitly named raden, meeting with a lover when hunting in the woods, and proverbial expreeeion, as well as meetings with punakawan happened in the forest. Geguritan is interesting to be researched, grating see the uniqueness of the title, discourse contained in geguritan is manuscript éling because pertaining to the realization in life.
This research is to introduce geguritan existence in society, describedthe discourse éling geguritan, function discourse éling, and meaning discourse éling. Dissected third the issue use the theory discourse Van Dijk study form and function discourse, and the theory logician Riffater study meaning discourse.
The analysis shows that, the form of discourse éling in geguritan Jaé Cekuh, éling, pakéling, kaélingan, and mangélingang. Terms of the function, the function of discourse éling as the realization and education against mindand manneisma. Associated with meaning in geguritan Jaé Cekuh namely alkaline as power station éling, who referred to a bases scientifically nor alkaline in the sense of language that is equally important and improve éling or consciousness, meaning taste as well as power station éling, flavor tha referred to taste bases or bumbu-bumbu and taste language that arous éling.
Keywords: discourse, éling, Geguritan Jaé Cekuh.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iii
PERSYARATAN KEASLIAN ... vi
UCAPAN TERIMAKASIH ... vii
ABSTRAK ... ix
ABSTRACT ... x
GLOSARIUM.. ... xi
DAFTAR ISI ... xii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 9 1.3 Tujuan Penelitian ... 9 1.3.1 Tujuan Umum ... 10 1.3.2 Tujuan Khusus ... 10 1.4 Manfaat Penelitian ... 11 1.5 Manfaat Teoritis ... 11 1.6 Manfaat Praktis ... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka ... 12 2.2 Konsep ... 16 2.2.1 Konsep Wacana ... 17 2.2.2 Konsep Eling ... 17 2.3 Landasan Teori ... 18 2.4 Model Penelitian ... 23
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ... 25
3.2 Lokasi Penelitian ... 26
3.3 Jenis dan Sumber Data ... 26
3.4 Instrumen Penelitian ... 27
3.5 Metode dan Teknik Penyediaan Data ... 28
3.6 Metode dan Teknik Analisis Data ... 28
3.7 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Penelitian ... 29
3.8 Ruang Lingkup Penelitian ... 29
3.9 Sistematika Penyajian ... 29
BAB IV DESKRIPSI NASKAH 4.1 Identifikasi Teks ……….. . 31
4.2 Geguritan Jaé Cekuh dalam Khazanah Kesusastraan Bali……… 33
4.3 Geguritan Jaé Cekuh sebagai WacanaSastra ……… ... 35
BAB V BENTUK WACANA
É
LING 5.1 Struktur Formal ………. ... 375.1.1 Struktur Makro ……… ... 37
5.1.2 Superstruktur ……… ... 38
5.1.3 Struktur Mikro ……… ... 40
5.2 Struktur Naratif ……… .... 74
5.2.2 Bentuk Wacana Éling ……… .... 85
5.2.2.1 Éling……… ... 85
5.2.2.2 Pakéling………... 97
5.2.2.3 Kélingang……… ... 107
5.2.2.4 Mangélingang……… ... 108
BAB VI FUNGSI WACANA ÉLING DALAM GEGURITAN JAÉ CEKUH 6.1 Fungsi Wacana Éling sebagai Penyadaran ……… 111
6.1.1 Penyadaran Terhadap Pikiran ……… ... 112
6.1.2 Penyadaran Terhadap Perkataan ……… .. 117
6.1.3 Penyadaran Terhadap Tingkah Laku ……… 118
6.2 Fungsi Wacana Éling sebagai Edukasi ... 122
6.2.1 Edukasi Terhadap Pikiran ... 122
6.2.2 Edukasi Terhadap Perkataan ... 123
6.2.3 Edukasi Terhadap Tingkah Laku ... 125
BAB VII MAKNA WACANA ÉLING DALAM GEGURITAN JAÉ CEKUH 7.1 Basa sebagai Pembangkit Éling ... 127
7.2 Rasa sebagai Pembangkit Éling ... 135
BAB VIII PENUTUP 8.1 Simpulan ………. 139
8.2 Saran ……… 140 DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesadaran diri diperlukan untuk memahami keadaan diri dengan setepat-tepatnya. Seseorang dikatakan memiliki kesadaran apabila dapat memahami emosi, memahami rasa yang dirasakan, serta paham adanya kewajiban dan tanggung jawab. Orang yang berada dalam keadaan sadar memiliki kemampuan memonitor diri, yakni dapat membaca situasi, memahami orang lain, dan mengerti keinginan orang lain terhadap dirinya. Dengan kata lain, kesadaran diri adalah jika seseorang sadar mengenai pikiran, perkataan, perbuatan, dan dapat mengevaluasi diri sendiri.
Apabila seseorang telah sadar akan tugas dan peran dikehidupan ini, maka pikiran, perkataan, dan perbuatan difokuskan kepada hal-hal yang bermanfaat. Sesungguhnya kesadaran diri bermanfaat dalam memahami diri dalam berhubungan dengan orang lain, dapat mengembangkan dan mengimplementasikan kemampuan diri, serta dapat menentukan pilihan hidup. Pada kenyataannya, zaman sekarang sangat sulit untuk memahami diri sendiri, banyak yang kurang sadar terhadap tugas dan peran dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya tidak sadar akan kewajiban dan tanggung jawab.
Budaya mengenal istilah éling, merupakan satu aktivitas mengenal diri sendiri (Ratnawati, 2007: 82). Éling, suatu aktivitas yang mangandalkan kekuatan pikiran yang menyertakan kekuatan batin untuk melakukan hal positif yang tidak
hanya berguna bagi diri sendiri tetapi juga orang lain. Sebagai manusia yang baik, éling atau penyadaran harus tetap ada dalam kehidupan sehari-hari agar dapat mengendalikan diri, mengontrol diri ke arah yang lebih baik, dan menjauhkan diri dan orang lain dari bahaya.
Éling dalam bahasa Bali berarti „ingat, sadar‟ (Dewan Pimpinan Pusat Prajaniti, 1971: 40). Eling apabila dikaitkan dengan Jnana Tatwa, berarti tidak lupa, kesadaran terhadap sifat-sifat dalam diri, kesadaran dari diri sendiri untuk melaksanakan tugas dan kewajiban. Kesadaran dan waspada muncul apabila rasa perhatian telah dibangun, apabila kesadaran tidak terjaga dengan baik, maka akan muncul belenggu dan rintangan. Kesadaran senantiasa diawali dari diri sendiri, mengenal diri sendiri sehingga dapat mengendalikan diri ke arah yang lebih baik. Dapat dikatakan, kesadaran dari diri sendiri berawal dari mengenali kekuatan dan kelemahan diri, perilaku diri, pola pikir, dan prinsip diri.
Secara konseptual éling yaitu menekankan penguasaaan terhadap diri sendiri dalam merespons sesuatu yang bermakna (Ratnawati, 2007: 83). Konsep penguasaan diri yang memiliki kaitan logis dengan nilai keseimbangan, dalam arti orang yang sanggup menguasai dirinya sendiri akan sanggup menciptakan keseimbangan serta keselarasan hidup dengan masyarakat sekitar.
Salah satu karya sastra tradisional Bali, yaitu Geguritan Jaé Cekuh, mengungkapkan adanya kesadaran diri yang bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari. Geguritan sebagai karya sastra tradisional memiliki peranan dalam membina moral masyarakat Bali. Hal ini disebabkan geguritan mengandung nilai-nilai sosial dan tradisional pendukungnya yang dapat diterapkan dalam kehidupan
bermasyarakat atau sebagai pemecah masalah yang ada dan berkembang di masyarakat.
Sastra tradisional Bali memiliki peranan dan manfaat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Sastra tradisional tersebut berperan sebagai rekaman kebudayaan, mengandung berbagai ragam lukisan kebudayaan, buah pikiran, ajaran budi pekerti, nasihat, hiburan, pantangan termasuk kehidupan agama waktu itu, sebagaimana yang dinyatakan oleh Baried (dalam Bagus, 1991:2). Keberadaan sastra tradisional Bali dapat membuka wawasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan keadaan terdahulu, sehingga dapat memberikan gambaran mengenai kisah di zaman dahulu.
Dari segi struktur, geguritan mempunyai sistem konvensi sastra atau aturan tertentu yang cukup ketat. Geguritan dibentuk oleh pupuh atau pupuh-pupuh yang diikat oleh beberapa syarat yang disebut padalingsa, yaitu banyaknya suku kata dalam tiap baris, banyaknya baris dalam tiap bait, dan bunyi akhir tiap-tiap baris (Agastia, 1980: 16--17). Padalingsa yang ada, menyebabkan dalam penyampaian pupuh tersebut harus dilagukan. Hal ini merupakan perbedaan geguritan dari segi bentuk dengan karya sastra tradisional lainnya.
Dilihat dari segi isinya, geguritan memiliki isi yang beraneka ragam, yaitu: dipandang sebagai karya sastra yang mengandung aspek cerita yang dikarang berdasarkan kreativitas pengarangnya, geguritan yang mengetengahkan cerita Panji, geguritan yang digubah dari petikan episode karya sastra Jawa Kuna, geguritan yang digubah dari bentuk satua, dan geguritan yang di dalamnya mengandung cerita atau kisah sejarah seperti babad (Sancaya, 2003: 8).
Keberadaan cerita Panji dalam masyarakat dan kebudayaan Bali tersimpan di berbagai ranah, baik dalam teks-teks cerita rakyat, sastra kidung dan geguritan (macapat), maupun berbagai bentuk seni pertunjukan tradisional seperti gambuh, arja, topeng, drama gong, prembon serta pertunjukan lainnya. Melalui pertunjukan motif panji melahirkan berbagai versi cerita Panji yang berbeda dengan pakem cerita panji. Cerita- cerita Panji versi seni pertunjukan banyak mempengaruhi penulisan-penulisan karya sastra dengan motif dan tema Panji selanjutnya. perkembangan cerita panji di Bali, terjadi melalui beberapa tahapan, yaitu: 1) melalui cerita Panji Malat (Kidung Malat), 2) melalui seni pertunjukan, 3) melalui cerita-cerita rakyat (dongeng), 4) melalui versi cerita Panji dari luar Bali, dan 5) melalui penggabungan dari seni sastra dan seni pertunjukan (Sancaya, 2015: 4).
Cerita Panji terdiri dari beberapa dari berbagai versi, tetapi ada satu benang merah yang menghubungkan antara cerita Panji satu dengan yang lainnya. Unsur-unsur pokok cerita Panji, disampaikan oleh Robson adalah, a) adanya Unsur-unsur dua kerajaan di tanah Jawa, yaitu Daha dan Koripan (terdapat variasi nama, namun maksudnya tetap menunjukkan dua kerajaan tersebut), b) Kerajaan Koripan lebih tua dari kerajaan Daha, 3) dalam hal ini pangeran dari Koripan bertunangan dengan putri Daha, 4) sebelum menikah pangeran dan putri menikah, terjadi berbagai peristiwa yang menghalangi perkawinan mereka, 5) setelah sang pangeran berhasil mengatasi semua permasalahan (misalnya dengan cara menyamar) mereka dapat menikah dan berakhirlah cerita itu dengan bahagia (Bagus, 1986: 3).
Abad XVII zaman Kerajaan Gelgel banyak dilahirkan karya sastra Bali yang dipengaruhi cerita Panji yang kuat. Hingga tahun 1990-an kisah tentang Panji masih popular dalam masyarakat Bali, walaupun dalam kalangan yang terbatas. Selang beberapa tahun, keadaan berubah tokoh Panji tidak diketahui dengan baik oleh generasi selanjutnya. Tema cerita Panji tidak lagi menjadi pokok pembahasan, namun pada kelompok mabasan dan para sastrawan, cerita Panji masih dikenal dengan baik.
Cerita-cerita yang memiliki motif Panji dalam sastra Bali ditandai oleh beberapa hal, yaitu melalui penyebutan judul secara eksplisit seperti Panji Marga, Panji Malat Rasmi dan nama tokoh-tokoh secara implisit, misalnya nama Raden Mantri, Raden Galuh, dan Mantri Alit. Penamaan tokoh secara implisit ditemukan dalam teks-teks cerita rakyat maupun dalam teks-teks kidung serta macapat. Ciri lainnya sebagai tanda bahwa suatu karya sastra memiliki motif panji, yaitu: pertemuan panji dengan kekasihnya terjadi dalam perburuan, adanya pepatah dan ungkapan, dan pertemuan panji dengan punakawannya terjadi di hutan (Poerbatjaraka, 1988: 219).
Geguritan Jaé Cekuh, salah satu geguritan yang mengetengahkan cerita panji. Geguritan Jaé Cekuh memiliki motif cerita panji karena terlihat dari penggunaan nama tokoh, yaitu Raden Mantri, Raden Anom dan Mantri Alit. Pertemuan Raden Anom Darmika dengan Diah Udiatmika terjadi di hutan pada saat Raden Anom sedang berburu bersama Pagag dan Pageg. Selanjutnya, terdapat penggunaan pepatah dan ungkapan sebagai pelipur lara dalam Geguritan Jaé Cekuh, penggunaan pepatah dan ungkapan tersebut disampaikan oleh
tokoh-tokoh di dalamnya. Serta dalam Geguritan Jaé Cekuh pertemuan Raden Anom dengan punakawan-punakawannya yang menghilang, terjadi di dalam hutan. Dilihat dari ciri tersebut Geguritan Jaé Cekuh masuk ke dalam bagian karya sastra bermotif panji.
Pemilihan Geguritan Jaé Cekuh sebagai objek penelitian karena pemilihan judul geguritan ini unik oleh pengarang, Jae dan Cekuh sebagai judul memiliki peran penting dalam cerita. Segi gaya bahasa yang dipergunakan setiap pergantian pupuh menggunakan kata-kata yang mengacu pada pupuh berikutnya (sasmita ning tembang), dari segi isi geguritan memiliki hal-hal yang menarik berhubungan dengan yang diteliti sehingga penting untuk dibaca dan dikupas secara mendalam. Selain itu penyamaran yang terdapat dalam geguritan juga menjadi hal yang menarik. Terjadi beberapa penyamaran, yaitu: Jae berubah menjadi Priyaka, Cekuh menjadi Soka, Tabia menjadi Jempiring, ini terjadi saat pencarian Diah Udiatmika. Penyamaran Darmika berubah menjadi Tamtam saat sampai di desa Basur, selanjutnya penyamaran terakhir saat mencoba menyelamatkan Udiatmika, Pagag dan Pageg berubah menjadi pedagang, Jae menjadi Desak Nyurnyur, dan Cekuh menjadi Bibi Inya.
Penelitian ini menggunakan data primer berupa lontar Geguritan Jaé Cekuh koleksi perpustakaan lontar di Gedong Kirtya Singaraja. Panjang naskah 51 cm, lebar 3,5 cm serta tebal 173 lembar disimpan dengan nomor IV d 1231/ 13. Naskah lontar ini merupakan turunan dari lontar milik Jero Mpu Ketut Sangging di Desa Bastala Singaraja, yang diturun oleh Ida Putu Djlantik di Desa Tangguwisia Singaraja.
Selain menggunakan data primer, penelitian ini juga menggunakan data sekunder berupa naskah yang berisi transkrip Geguritan Jaé Cekuh. Naskah ini menggunakan huruf Latin yang ditraskrip oleh I Wayan Mandra tanggal 2 September 1946 dan diketik di atas kertas HVS Folio sebanyak 171 halaman oleh I Gede Suparna pada tanggal 19 Mei 1988. Geguritan Jaé Cekuh terdiri atas 14 macam pupuh yang dipergunakan secara berulang-ulang, dengan jumlah total 1.691 bait pupuh.
Geguritan Jaé Cekuh menceritakan penyadaran Darmika seorang anak raja yang bertemu pujaan hati saat berburu di hutan. Karena terjadi kesalahpahaman yang disebabkan Diah Gerong, Udiatmika pergi meninggalkan istana. Selama perjalanan mencari pujaan hatinya, hingga akhirnya Darmika bahagia. Dalam perjalanan atau pengembaraan panjang yang ditempuh Raden Anom Darmika saat mencari Diah Udiatmika, terjadi banyak hal. Raden Darmika bertemu dengan para dukuh yang banyak memberikan petuah, pengalaman, hingga hadiah. Saat perjalanan, Darmika juga bertemu dengan orang-orang yang memfitnahnya sebagai pencuri, dianiaya sampai tidak sadarkan diri, hingga diselamatkan oleh dukuh beserta murid-muridnya di sungai.
Setiap halangan dan rintangan yang dialami Darmika selalu mendapat bantuan dan penyadaran, sehingga dapat berbuat yang lebih baik. Berkat kegigihan, tiba saatnya Darmika sampai di Puri Mayura, bertemu dengan Diah Udiatmika. Di akhir cerita Darmika juga menikahi Dewi Smaratejun yang ditemuinya di Puri Mayura, serta Darmika menjadi raja yang menguasai tiga negara. Perjalanan dan pengalaman yang dilalui oleh Darmika, selalu
mengingatkan dan menyadarkan, agar kita sebagai manusia hendaknya sadar berperilaku, berkata dan berpikir yang baik sehingga menemukan hal yang baik pula. Beberapa yang diingatkan atau penyadaran dengan kewajiban, tanggung jawab,baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Penyadaran Darmika tersebut muncul dari diri sendiri baik dari ingatan maupun pengalaman yang didapat, dan dari teman serta orang bijaksana. Begitu sebagai manusia, hal-hal yang menyadarkan seseorang bisa timbul dari diri sendiri dan pengalaman yang dialami, serta dari orang-orang bijaksana yang berada di sekitar.
Cerita sekilas di atas menyampaikan mengenai perjalanan dan perjuangan hidup seseorang dalam mencapai kebahagian tidaklah mudah. Banyak hal baik dan buruk yang akan dihadapi, sebagai manusia hanya dapat selalu berusaha untuk éling dengan pikiran, perkataan, dan perbuatan, serta éling mengikuti pedoman tingkah laku yang baik agar senantiasa mendapatkan hal yang baik pula. Geguritan Jaé Cekuh sebelumnya sudah pernah diteliti oleh Kusala (1989), dalam penelitian yang berjudul “Aspek Penokohan Geguritan Jaé Cekuh”. Penelitian ini melukiskan persoalan lewat penampilan tokoh-tokoh yang ada dalam teks geguritan. Hal ini dilihat dari intensitas keterlibatan tokoh Raden Anom Darmika maupun Diah Udiatmika dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita yang digambarkan lewat hubungannya dengan tokoh-tokoh lainnya dilihat dari fisik, psikologi, dan sosiologi. Adanya penelitian sebelumnya sebagai gambaran dan referensi penelitian selanjutnya. Penelitian kali ini membahas mengenai wacana éling dalam Geguritan Jaé Cekuh.
Geguritan Jaé Cekuh secara ekspilisit mengungkapkan konsep éling sebagai upaya penyadaran. Éling dalam geguritan menyediakan suatu jalur atau jalan masuk yang bermanfaat untuk memahami diri sendiri. Éling memberi tempat berpijak di dalam diri kita sendiri, mendewasakan diri menghadapi masalah, dan selalu waspada menghadapi masalah yang datang menghampiri sebagai proses kehidupan.
Éling mendapat prioritas dalam penulisan ini dengan pertimbangan, éling dapat dianggap semacam pintu gerbang menuju pemahaman hidup yang lebih luas, dalam membangun kepribadian menjadi seorang manusia. Selalu éling, dapat mempermudah seseorang dalam menjalani hidup, selalu mengingat tugas dan kewajiban menjadi manusia.
Penelitian mengenai wacana éling penting dilakukan, untuk mengingatkan dan menyadarkan manusia agar dapat berpikir, berkata, dan berperilaku lebih baik sehingga memperoleh kebahagiaan yang sejati. Mengingat sebagai manusia yang menjalani hidup secara individu maupun sosial, sikap éling dalam sangat diperlukan sebagai acuan yang dapat memberikan kedamaian dalam kehidupan. Melihat beberapa hal tersebut, penelitian mengenai éling pentik dilakukan dan dapat dipergunakan sebagai perbandingan dan acuan dalam kehidupan sehari-hari. 1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimanakah bentuk wacana éling dalam Geguritan Jaé Cekuh? 1.2.2 Apakah fungsi wacana éling dalam Geguritan Jaé Cekuh?
1.2.3 Apakah makna wacana éling dalam Geguritan Jaé Cekuh? 1.3 Tujuan
Tujuan penelitian ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Untuk lebih jelasnya kedua tujuan itu diuraikan secara terpisah sebagai berikut.
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk menggali dan mengungkap keberadaan naskah-naskah karya sastra tradisional terutama berupa geguritan yang terdapat dan tersimpan di masyarakat. Penelitian ini juga diharapkan dapat menginformasikan atau mengomunikasikan keberadaan geguritan yang dapat dipergunakan sebagai objek penelitian sehingga akan dapat bermanfaat.
Selain itu penelitian bertujuan menyebarkan geguritan Bali ke masyarakat umum terutama generasi muda sebagai penerus bangsa, agar memahami dan menanggapi keberadaan geguritan ini secara positif. Memahami dan menanggapi yang dimaksud dapat melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam naskah-naskah lontar geguritan.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini berkaitan dengan permasalahan yang telah ditetapkan, sehingga tujuan khusus penelitian ini adalah :
1. Untuk mendeskripsikan bentuk wacana éling dalam Geguritan Jaé Cekuh. 2. Untuk memberikan gambaran tentang fungsi wacana éling dalam Geguritan
3. Untuk menjelaskan makna wacana éling dalam Geguritan Jaé Cekuh. 1.4 Manfaat
Penelitian ini bermanfaat memberikan sumbangan keilmuan dan secara praktis. Berdasarkan uraian tujuan penelitian di atas, manfaat dari penelitian ini ada dua, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat praktis yang dipaparkan sebagai berikut.
1.4.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai salah satu sumber informasi pengetahuan terutama di bidang ilmu sastra, khususnya karya sastra tradisional berupa geguritan. Manfaat lainnya untuk dapat mengungkap bentuk geguritan Bali berdasarkan unsur instrinsik dan ekstrinsik yang saling berkaitan, dan menambah wawasan mengenai fungsi dan makna geguritan Bali. 1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis penelitian ini berguna bagi masyarakat pembaca karena dari hasil penelitian dapat memperkaya wawasan budaya bangsa mengenai karya sastra geguritan terutama untuk memperkenalkan dan memberikan pengetahuan secara lebih mendalam mengenai geguritan. Dari hasil penelitian, masyarakat mengetahui tentang éling yang dipergunakan sebagai dasar bertingkah laku yang baik dan benar. Setelah mengetahui tentang éling yang baik, lebih lanjut dapat menyadari akan adanya kewajiban, kebenaran dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari serta kehidupan bermasyarakat.